BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Indonesia adalah Negara Kepulauan (Archipelagic State) terbesar di dunia. Indonesia
memiliki panjang garis pantai 95.181 km, memiliki 17508 pulau.1 Memiliki luas wilayah perairan 5.877.879 km2, terdiri dari laut teritorial 285.005 km2, ZEE 2.692.762 km2, dan Perairaan Pedalaman 2.012.402 km2. Luas wilayah daratan 2.012.402 km2, yang berarti dua per tiga dari luas keseluruhan wilayah atau jurisdiksi nasional Indonesia merupakan wilayah perairan. Anugrah besar dari Tuhan Yang Maha Esa atas Negeri yang pernah diperintah oleh silih berganti Kerajaan Maritim ini merupakan suatu kesyukuran sekaligus tantangan yang meminta tanggung jawab yang sangat besar, terutama terkait dengan aspek keamanan, keselamatan dan perlindungan lingkungan. Meski sudah sejak dahulu nenek moyang kita telah mendiami wilayah Indonesia dengan pengaruh yang sangat kuat dari kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya, Mojopahit, dan Samudera Pasai, namun keutuhan Nusantara sebagai sebuah Negara Kepuluan bukanlah kita terima begitu saja. Perjungan untuk memperoleh Status Negara Kepulauan justru diperoleh setelah Indonesia melepaskan diri dari belenggu Penjajahan Kolonial Belanda. Sejarah perkembangan bangsa Indonesia telah menunjukan, bahwa inti kejayaan negara kepulauan Nusantara ini adalah integritas Nusantara sebagai satu kesatuan dan kekuatan yang bulat dan utuh dalam semua aspek kehidupan. Hanya kekuasaan yang mampu menegakkan dan mempertahankan intergritas Nusantara yang dapat berjaya di kepulauan Nusantara,
1
Tentang jumlah pulau Indonesia banyak data dari berbagai lembaga yang masing-masing berbeda, misal Kementerian Luar Negari 17.508, Kememndagri 17.504 dan terakhir data TNI AL jumlah pulau Indonesia adalah 17.499 baik bernama maupun tidak bernama dalam dalam proses toponimi.
Universitas Sumatera Utara
seperti yang ditunjukan oleh Kemaharajaan Sriwijaya dan Majapahit di masa lalu dan oleh NKRI di masa sekarang.2 Tetapi karena sifatnya yang terbuka, maka laut juga dianggap sebagai Warisan Bersama Umat Manusia, sehingga hampir setiap negara merasa berhak untuk melintasi dan memanfaatkan lautan bagi kepentingannya. Asumsi tersebut tentu dapat menjadi sumber konflik yang potensial apabila tidak diatur melalui perangkat hukum laut internasional yang mengatur antara hak dan kewajiban setiap negara berkaitan dengan perlintasan melalui laut, karena berkaitan dengan keamanan dan kedaulatan sebuah negara. Pertentangan antara keinginan menguasai laut dan adanya sifat alami laut sebagai ruang terbuka, ahkirnya melahirkan berbagai perjanjian, kesepakan bersama, serta aturan hukum internasional.3 Tetapi meskipun norma-norma hukum Internasional terus lahir, tidak ada satu negarapun mampu menjamin akan terbebas dari sengketa antar negara, termaksud yang paling ekstrim terlibat dalam perang terbuka yang mengancam kedaultan wilayahnya. Petapeta geografis yang dimiliki suatu negara dapat diubah oleh perang dan negara-negara baru dapat muncul dari perang itu.4Oleh karena itu pula, maka masalah upaya penegakkan dan mempertahankan intergritas Nusantara adalah tantangan abadi bangsa Indonesia.5 Untuk menjamin perlindungan dan kesatuan wilayah Nusantara, maka pemerintah Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 telah mendeklarasikan Konsepsi Nusantara melalui Pengumuman Pemerintah RI yang dikenal dengan “Deklarasi DDjuanda”6, yang
2
Wahyono S, Kusumoprojo, Beberapa Pikiran Tentang Kekuatan dan Pertahanan di Laut, (Jakarta: Surya Indah, 1979), hal. 85. 3 Agus Rustandi, Isu Keamanan Maritim dan PSI PerspektifAngkatan Laut, Jakarta, 2006, hal. 1. 4 Andi Widjajanto, et al, Intelijen: Velax et Exactus, Jakarta : Pacivis bekerjasama dengan Kemitraan, 2006, hal. 14. Dari Perpektif hitoris, adanya norma veto power yang diberikan oleh lima negara anggota permanen Dewab Keamanan PBB sebenarnya menyampaikan pesan bahwa perang antar negara sejak lima puluh tahun sejak pembentukanya hamper tidak dapat dicegah jika perang semacam itu melibatkan salah satu dari lima negara anggota permanen. 5 Wahyono S, Kusumoprojo, op. cit, hal. 1. 6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara Pada Konperensi Hukum Laut Ke-III, (Jakarta: PT Alumni, 2003), hal. 1. Menurutnya, konsepsi Nusantara pada awalnya kalau dilihat dari sudut hukum pada hakekatnya merupakan tindakan sepihak Indonesia untuk mewujudkan suatu konsepsi atau buah pikiran dalam bidang hukum laut agar menjadi kenyataan.
Universitas Sumatera Utara
kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.7 Hal terpenting dan bersejarah dari konsepsi tersebut adalah : “Bahwa segala perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Replubik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Replubik Indonesia. Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Replubik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang”. Melalui Deklarasi Djuanda tersebut, disamping mengubah cara penarikan garis pangkal lurus, pemerintah Indonesia juga telah mengubah lebar laut territorial Indonesia yang tadinya 3 mil laut menjadi 12 mil laut.8 Deklarasi yang disampaikan oleh Pemerintah RI ini mendapat reaksi dan kecaman yang keras dari negara-negara lain, teruutama yang sangat berkepentingan dengan jalur lalu lintas internasional memang harus melalui wilayah Indonesia. Mereka mengangap Indonesia telah melanggar Hukum Laut Internasional. Amerika Serikat bahkan menjadi negara pertama yang mengajukan proses ketika “Deklarasi
7
Saat ini sudah disempurnakan lagi dengan Undang-undang RI No. 6 Tahun 1996 untuk menyesuaikan dengan azas dan rezim kepulauan sebagaimana disebutkan dalam Bab IV KOnvensi PBB tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB Tentang Hukum Laut) 8 Lihat penjelasan Undang-undang RI Nomor 17 tahun 1985, ini berarti perairan yang dahulu merupakan bagian dari Laut Lepas menjadi Perairan Kepulauan dan menjadi wilayah Perairan Indonesia. Lihat juga, Hasjim Djalal, Masa Depan Indonesia Sebagai Negara Kesatuan : Ditinjau dari Hukum Laut dan Kelautan, Makalah Seminar, Jakarta, 2000, hal. 9. Perubahan status hukum Perairan Indonesia tersebut, juga membawa perubahan terhadap keseluruhan luas wilayah perairan Indonesia dari kira-kira 2.027.080 juta km2 pada tahun 1945 menjadi kira-kira 5.193.250 juta km2 dan kawasan alam kekayaan Indonesia tidak hanya perairan Nusantara dan Laut Wilayah tetapi juga dengan ZEE dan landas Kontinen sampai kira-kira 3 juta km2 lagi, yang dengan demikian membuat seluruh kawasan kekayaan alam Indonesia menjadi kira-kira 8 juta km2, atau kirakira 4 kali lipat dari kawasan kekayaan alam Indonesia pada waktu proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Universitas Sumatera Utara
DDjuanda” ini diumumkan.9 Namun adanya reaksi internasional tersebut, justru menjadi sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk menjelaskan sekaligus mempertahankan pendiriannya. Indonesia tetap konsisten memperjuangkan dan mempertahankan prinsip pokok kesatuan wilayah nasional itu, baik di forum negara-negara berkembang, maupun negaranegara Asia Afrika ataupun melalui forum-forum Non- Blok dan di berbagai forum akademik ilmiah internasional dimana-mana. Perjuangan melalui jalur akademis antara lain dilakukan melalui pertemuan tahunan yang diadakan oleh Law of the Sea Institue University Rhode Island, di Kingston Amerika Serikat.10 Di kalangan Akademis, konsepsi negara kepulauan menemukan seorang pendukung yang sangat kuat dan berpengaruh dalam diri Prof. Daniel O‟ Connell, seorang Gurubesar Hukum Internasional Universitas Cambridge yang menaruh perhatian besar terhadap konsepsi negara kepulauan sejak tahun 1969, ketika masih menjadi Gurubesar pada University of Adelaide.11 Konsepsi hukum negara kepulauan yang diperjuangkan Indonesia ahkirnya masuk dalam pembahasan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Perjuangan yang teguh selama hampir 25 tahun, membuahkan hasil dengan diterimanya Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaica, tanggal 10 Desember 1982. Indonesia kemudian meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tanggal 13 desember 1985. Ini artinya konsepsi Wawasan Nusantara menjadi salah satu prinsip yang diterima dan diakui dalam hukum laut internasional yang baru. Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut mulai berlaku sejak tanggal 16 November 1994.
9
Atje Misbach Muhjiddin, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, (Bandung: Penerbit Alumni, 1993) 10 Mochtar, op. cit, hal. 23. 11 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Selain mencakup wilayah darat, laut, udara dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 juga mengakui hak-hak Indonesia atas kawasan dan kekayaan alam di luar Nusantara Indonesia, seperti: 1.
Hak untuk mendirikan Zona Tambahan selebar 12 mil lagi di luar laut wilayah yang 12 mil yang mengelilingi seluruh Nusantara Indonesia;
2.
Hak atas ZEEI12 selebar 200 mil dari garis-garis pangkal yang mengelilingi seluruh Nusantara Indonesia;
3.
Hak atas adalah landas kontinen13 sampai keseluruh lanjutan wilayah darat nusantara Indonesia ke dasar laut;
4.
Hak-hak untuk berpatisipasi dan ikut memanfaatkan kekayaan-kekayaan alam di alut bebas di luar ZEE, dan
5.
Hak untuk ikut mengatur dan memanfaatkan dasar laut internasional di luar dasar kontinen. Tetapi pengakuan terhadap prinsip negara kepulauan Indonesia dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 harus pula dibayar dengan mewadahi dan menghormati kepentingan yang sah dan hak-hak tertentu negara pengguna perairan negara kepulauan, seperti hak lintas kapal dan pesawat udara asing melalui alur laut kepulauan. Pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan telah diakomodasikan berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 yang dapat dilaksanakan melalui alur-alur laut yang ditentukan oleh negara kepulauan bersama-sama dengan International Maritime Organization/ IMO.Namun apabila negara kepulauan tidak menetapkan alur-alur laut kepulauanya maka Pasal 53 (12) Konvensi Hukum 12
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawanya dan air diatasnya dengan batas terluas 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilyah Indonesia. Apabilah ZEEI tumpang tindih dengan ZEE negara-negara yang pantainya salng berhadapan atau berdampingan, maka batas ZEE ditetapkan dengan persetujuan kedua negara. Luas wilayah ZEEI sekitar 2.700.000 Km2. Lihat, Undang-undang RI Nomor 5 tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, 1983. 13 Landas Kontinen adalah wilayah di luar 12 mil laut dengan kedalaman 200 meter atau lebih dimana masih mungkin diselengarakan eksplorasi dan eksploitas kekayaan alam. Lihat, Undang-undang RI Nomor 4/Prp/Tahun 1960 Perairan Indonesia, 1960.
Universitas Sumatera Utara
Laut 1982 menetapkan bahwa kapal dan pesawat udara asing tetap dapat melaksanakan haknya dengan menggunakan rute-rute biasa yang digunakan untuk pelayaran internasional. Untuk penetapan alur-alur laut kepulauan tersebut, dalam Pasal 53 ayat (9) Konvensi Hukum Laut 1982 ditentukan bahwa negara kepulauan harus mengajukan usul penetapan alur-alur laut kepulauannya kepada organisasi internasional yang berwenang dengan maksud untuk dapat diterima. Penetapan alur laut kepulauan tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan memperhatikan kepentingan masyarakat internasional melalui organisasi internasional yang kompeten yaitu International Maritime Organization/ IMO. TNI Angkatan Laut telah mengambil prakarsa sejak tahun 1987 untuk merancang Alur Laut Kepulauan Indonesia yang akan dimajukan sebagai usul Pemerintah RI kepada IMO.14 Keseriusan TNI AL dalam upaya mewujudkan alur laut kepulauan di wilayah perairan Indonesia ini antara lain melalui penyelenggaraan Forum Strategis TNI AL keempat yang diselenggarakan di Seskoal Jakarta dari tanggal 12-27 Agustus 1991. Pemerintah Indonesia mengusulkan Konsep ALKI Utara Selatan sebagai berikut:15 1. ALKI-1
: Selat Sunda- Laut Jawa Bagian Barat- Selat KarimataLaut Natuna- Laut Cina Selatan.
2. ALKI-II
: Selat Lombok- Selat Makasar- Laut Sulawesi.
3. ALKI III-A
: Laut Sawu- Selat Ombai- Laut Banda- Laut Seram- Laut Maluku- Samudera Pasifik.
4. ALKI III-B
: Laut Timor- Selat Leti- Laut Banda- terus ke Utara ke ALKI III A
5. ALKI III-C
: Laut Arafura- Laut Banda- terus ke Utara ke ALKI IIIA.
6. ALKI III-D
: Laut Sawu ke ALKI III-A.
14
Setjen Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Kebijakan Pengaruh Alr Laut Kepulauan Indonesia terhadap Ekonomi Suatu Kawasan, Jakarta, 2005, hal. 12. 15 Nicolas P. Ello, “Penetapan Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)”, dalam Majalah TNI AL Cakrawala, No. 361 Tahun 1999.
Universitas Sumatera Utara
7. ALKI III-E
: Dari ALKI III-A ke Laut Sulawesi.
Usul penetapan ALKI Utara-Selatan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia telah dibahas dalam Sidang Komite Keselamatan Pelayaran IMO ke-67 (Maritime Safety Committee/ MSC-67) pada bulan Desember 1996 dan pada Sidang Sub-Komite Keselamatan Navigasi IMO ke-43 (NAV-43) bulan Desember 1997. Sidang Pleno MSC-69 IMO pada tanggal 19 Mei 1998 secara resmi telah menerima tiga jalur ALKI yang diusulkan oleh Indonesia. Untuk menindaklanjuti keputusan IMO tersebut, sesuai kententuan Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. Pada saat bersamaan keluar juga Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan. Penetapan ALKI tentu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, selain dapat memberikan dampak positif bagi kegiatan nasional untuk kesejahteraan rakyat, juga dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia. Kondisi geografi Indonesia memiliki posisi terbuka yang setiap saat dapat menjadi peluang bagi negara lain untuk masuk dan melakukan aktivitasnya di wilayah Indonesia dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Potensi ancaman di ALKI tentu akan berdampak kepada lingkungan perairan dan pulau sekitarnya, begitu pula sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas serta sesuai dengan judul skripsi ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, antara lain: 1.
Bagaimana Pengaturan Alur Laut Kepulauan Berdasarkan UNCLOS 1982?
2.
Bagaimana hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia?
3.
Bagaimana potensi ancaman di Alur Laut Kepulauan Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain:
1.
Untuk mengetahui Pengaturan alur laut kepulauan berdasarkan UNCLOS 1982 .
2.
Untuk mengetahui hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia.
3.
Untuk mengetahui potensi ancaman di Alur Laut Kepulauan Indonesia. Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat
yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Secara Teoritis Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan denganhak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepulauan Indonesia. 2.
Secara Praktis Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang
lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta aparat – aparat hukum yang terkait di
Universitas Sumatera Utara
tiap-tiap negara mengenai isu hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
D.
Keaslian Penulisan Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa
yang telah penulis pelajari dari buku-buku mengenai hak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan indonesia. Penulis berupaya untuk menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan menguji isuhak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan indonesia dengan instrumen hukum internasional dan hukum nasional yang mengaturnya. Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Melakukan Lintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia” belum pernah ditulis sebelumnya. Meskipun terdapat penulisan skripsi yang juga membahas mengenai hak kapal asing melakukan lintas dalam lingkungan Fakultas hukum USU dengan judul Hak dan Kewajiban Kapal Asing yang Melintas di Perairan Kepulauan Indonesia,16 namun skripsi tersebut mengkaji mengenai hak kapal asing melakukan lintas di perairan Indonesia. Berbeda sudut pandang penulisannya dengan karya ilmiah ini yang mengkaji lebih dalam mengenai isu hak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepulauan Indonesia. Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrasi bagian kemahasiswaan dan perpusatakaan Fakulatas Hukum Universitas Sumatera Utara.
16
Ivan Rhesa: Hak dan Kewajiban Kapal Asing yang Melintas di Perairan Kepulauan Indonesia, 2005 USU Repository © 2006
Universitas Sumatera Utara
E.
Tinjauan Kepustakaan Dalam pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari sumber – sumber hukum
internasional yang termaktub dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yaitu: a.
17
international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states (Perjanjian – perjanjian internasional);
b.
international custom, as evidence of a general practice accepted as law (Hukum kebiasaan internasional); thegeneral principles of law recognized by civilized nations (Prinsip – prinsip umum
c.
hukum internasional); d.
subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. (Putusan – putusan pengadilan internasional dan ajaranajaran para sarjana terkemuka). Pasal 53 ayat (2) Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, menyatakan:
“Semua Kapal dan Pesawat Udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan demikian” Disamping pengaturan hukum berdasarkan konvensi internasional, terdapat juga pengaturan hukum nasional mengenai hak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan Indonesia yaituPeraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002.
17
Statute of the International Court of Justice (1945), pasal 38 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
F.
Metode Penelitian Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut: 1.
Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu
pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah hak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan Indonesia. 2.
Data Penelitian Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu: 18 a.
Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu: Berbagai dokumen peraturan internasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai perangkat hukum internasionalnya dan Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, uu No 4/Prp
18
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Kedua, (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986), hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan sebagai perangkat hukum nasionalnya. b.
Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative records) yaitu: Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer.
Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang isuhak dan kewajiaban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan Indonesia yang ditinjau dari sudut pandang hukum internasional dan hukum nasionalnya seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain. c.
Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu: Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing. 3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut: a.
Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
b.
Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.
c.
Mengelompokkan data-data yang relevan dengaan permasalahan.
Universitas Sumatera Utara
d.
Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4.
Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut: 19 a.
Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil
pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah
b.
diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran idealyang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus. c.
Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu
sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.
G.
Sistematika Pembahasan Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang
saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I
Bab I adalah Bab Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan. 19
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 10-11.
Universitas Sumatera Utara
Bab II
Di dalam bab ini, dibahas tentang pengaturan alur laut kepulauan berdasarkan UNCLOS 1982 mulai dari penjelasan mengenai Negara Kepulauan, masalah aluralur kepulauan, sampai dengan penerapan ALKI di perairan Indonesia.
Bab III
Bab III membahas hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing melakukan lintas di alur laut kepuluan. Pertama-tama, bab ini menjelasakan bagaimana Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. Kemudian bab ini membahas mengenai Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 Tentang Hak Dan Kewajiban Kapal Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan. Berikutnya membahas mengenai Rute Penerbangan di Atas Alur Laut Kepulauan dan dalam sub bab terahkir membahas Rute Penerbangan dalam UNCLOS 1982 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002.
Bab IV
Bab ini membahas mengenai potensi ancaman di alur laut kepulauan Indonesia. Bab ini membahas tentang masalah pelanggaran wilayah akibat ditetapkannya alur laut kepulauan Indonesia. Kemudian bab ini juga membahas masalah penangkapan ikan secara illegal. Dan pada sub bab terahkir membahas mengenai masalah pencemaran lingkungan laut akibat di berlakukannya alur laut kepulauan Indonesia.
Bab V
Bab ini adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran mencakup gagasan dan usulan dari penulis
Universitas Sumatera Utara
terhadap permasalahan yang dibahas pada skripsi ini berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara