BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara kepulauan (Archipelagic State) yang berada pada posisi silang dunia, diantara dua benua yaitu benua Asia-Australia dan diantara dua samudera yaitu samudera Indonesia-Pasifik. Demikian pula dengan perbandingan wilayah laut yang lebih luas dari pada wilayah daratannya. Wilayah darat dan laut keseluruhannya adalah 5.193.250 km² yang terdiri dari 2.027.170 km² daratan dan 3.166.080 km² perairan 1 . Pada tanggal 16 November 1994 Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) telah berlaku efektif (enter into force). Setelah berlakunya Konvensi ini maka luas wilayah Indonesia bertambah menjadi 8.193.163 km², yang terdiri dari 2.027.087 km² daratan dan 6.166.163 km² lautan. Luas wilayah laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta km² laut teritorial, 2,8 juta km² perairan nusantara dan 2,7 km² Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 2 Laut yang secara alami telah menjadi lingkungan kehidupan memiliki empat makna yang sangat strategis, yaitu : (1) Sebagai gudang sumber daya alam dan media untuk mencari nafkah,(2) Sebagai pemersatu bangsa,(3) Sebagai media pertahanan dan (4) Sebagai media perhubungan. Kita ketahui bersama bahwa dua pertiga lalu 1
Suhaidi, Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran yang Bersumber dari Kapal : Konsekwensi Penerapan Hak Pelayaran Internasional Melalui Perairan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2004) hlm. 2. 2 Ibid
lintas perdagangan melalui laut. Dengan demikian, betapa besar manfaat laut bagi kelangsungan perekonomian dunia. Apabila laut tidak aman, maka kelancaran perekonomian negara-negara pengguna laut akan terganggu. 3 Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan : (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengelolaan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non konvensional. Secara keseluruhan, potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor kelautan diperkirakan mencapai USD 500 miliar (4.500 triliyun) per tahun. 4 Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia menyebabkan kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5 milyar (USD/tahun). Setiap tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara illegal di perairan Indonesia, penyelundupan kayu berkisar Rp.6,6 trilyun per tahun, belum lagi pencemaran laut yang sebenarnya mencapai jarak sepanjang 167.000 km. Isu utama yang menonjol di Asia Pasifik yaitu sea piracy, trafficking in person (human trafficking), terorisme di laut dan juga berhubungan dengan penyelundupan. Di
3
Slamet Soebiyanto, ”Keamanan Nasional ditinjau dari Perspektif Tugas TNI Angkatan Laut”, Majalah Patriot, 2007, hlm. 10. 4 Rohmin Dahuri, Loc.Cit.
kawasan Asia Tenggara diperkirakan mencapai ribuan pucuk senjata pertahun, 80 % kegiatan penyelundupan tersebut dilakukan melalui laut. 5 TNI Angkatan Laut sebagai komponen utama pertahanan negara di laut berkewajiban untuk menjaga kedaulatan negara dan integritas wilayah NKRI, mempertahankan stabilitas keamanan di laut, melindungi sumber daya alam di laut dari berbagai bentuk gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Konsepsi dasar terhadap perwujudan keamanan di laut pada hakikatnya memiliki dua dimensi yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan keamanan yang saling berkaitan satu dengan lainnya. 6 Dalam pasal 73 ayat (1) UU Nomor 45 tahun 2009, disebutkan bahwa ada tiga instansi yang diberi wewenang sebagai penyidik (Perwira TNI AL, Penyidik Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan) yang berkaitan dengan proses perkara tindak pidana perikanan sampai dengan perkara dapat dilimpahkan ke Kejaksaan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerawanan adanya perbedaan penafsiran peraturan perundang-undangan dan perbedaan pola penegakan hukum diantara sesama aparat, bahkan timbul kekhawatiran akan adanya ketidak harmonisan atau gesekan antar aparat dalam pelaksanaan operasi penegakan hukum dilaut 7 . Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan laut, tetapi masih dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan 5
Joko Sumaryono, ”Forum Koordinasi dan Konsultasi Operasi Keamanan Laut dan Penegakan Hukum” , Majalah Patriot, 2007, hlm. 3. 6 Bernard Kent Sondakh, ”Pengamanan Wilayah Laut Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta : 2004, hlm. 12. 7 M. Dandha, ”Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan”, Forum Hukum, Volume 4, Nomor 2, 2007, hlm. 26.
laut yang ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan upayaupaya koordinasi berbagai pihak dalam upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan melakukan revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk diatur kembali melalui instrument Peraturan Presiden. 8 Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini perlu penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusi/instansi pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003, dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang menjadi dasar hukum organisasi tersebut. 9 Untuk menciptakan kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I melaksanakan operasi kamla terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang tergelar dijajaran, dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber sumber daya alam untuk kepentingan nasional maupun daerah 10 .
8
Begi Hersutanto, Problematika Sinergi dalam Grand Design Nasional Kebijakan Keamanan Laut, (Jakarta : penerbit CSIS, 2007) hal. 1. 9 Ibid, hal. 2. 10 Sops Lantamal I Belawan, ”Laporan Bulanan Bid. Operasi dan Latihan Bulan Nopember 2009”, hlm. 1.
Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu : 1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; 2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; 3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; 4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut; 5. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undang-undang telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas. Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing 11 . Beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut. 11
Leonard Marpaung,”Target Baru Illegal Fishing”, Forum Hukum, Volume 2 Nomor 2, 2009, hlm. 17.
Ketidakpastian hukum dicirikan oleh beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada, inkonsistensi dalam penerapan, diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal asing yang melanggar, persengkokolan antara pengusaha lokal, pengusaha asing dan pihak peradilan. Peradilan terhadap pelanggarpun lambat, berlarut-larut dan korup 12 . Dalam UU Nomor 9 tahun 1985 maupun UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sangat jelas bahwa illegal fishing diganjar pidana penjara dan denda sepadan pelanggaran yang dilakukan. Sanksi pidana penjara dan denda tidak diterapkan semestinya. Ketidakjelasan lainnya adalah ganjaran/sanksi terhadap birokrasi perijinan dan pengawas serta aparat penegak hukum di laut yang dengan sengaja melakukan pungutan di luar ketentuan atau meloloskan pelanggar dengan kongkalikong 13 . Illegal fishing dikenal dengan illegal, unregulated, unreported fishing tidak hanya terjadi di Indonesia saja, beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan 14 . Data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang, kesalahan mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu, menangkap ikan dengan jaring terlarang, menggunakan bahan peledak, ABK tidak disijil dan
12
Ibid Ibid 14 Djoko Tribawono, ”Illegal Fishing Antara Dua Pilihan”, http;//www.p2sdkpkendari.com/index.php?pilih, Diakses tanggal 12 April 2010. 13
Dikutip
dari
pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing yang tidak memiliki ijin kerja. Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan internasional yang harus dihormati, seperti hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, pemasangan kabel laut serta perikanan tradisional negara tetangga. Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tidak mengatur pembagian kewenangan secara tegas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti, sehingga ketiga instansi tersebut menyatakan instansinya sama-sama berwenang dalam penegakan hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya. Menurut Lufsiana, hal inilah yang disebut sebagai konflik kewenangan dalam penegakan
hukum
perikanan.
Konflik
kewenangan
seperti
ini
tidaklah
menguntungkan dan mencerminkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan dipandang lemah dan tidak optimal, sehingga berdampak kepada kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah masih menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi dan tetap terus berlangsung. Untuk itu segera dicarikan solusinya, guna tercipta suatu kondisi yang tertib, aman serta adanya kepastian hukum. Hal tersebut berpengaruh
positif bagi para pelaku usaha dibidang perikanan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat 15 . B. Perumusan Masalah Dengan latar belakang
tersebut di atas,
maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kewenangan penyidik TNI AL dalam penanganan tindak pidana illegal fishing? 2.
Bagaimana hubungan kerjasama antar aparat
penyidik tindak pidana
illegal fishing? 3. Apa kendala dan faktor yang menghambat pelaksanaan penegakan hukum dalam tindak pidana illegal fishing yang dilakukan oleh Penyidik TNI Angkatan Laut di Lantamal I? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dan kegunaan penelitian dalam penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui kewenangan TNI AL dalam penanganan tindak pidana illegal fishing. 2.
Untuk mengetahui hubungan kerjasama antar aparat
penyidik tindak
pidana illegal fishing.
15
Lufsiana,”Konflik Kewenangan Penegakan Hukum Perikanan”, http://Artikelcakrawala/search/TNI-AL/, Diakses tanggal 25 Desember 2009.
Dikutip
dari
3. Untuk mengetahui kendala dan faktor yang menghambat pelaksanaan penegakan hukum dalam tindak pidana illegal fishing yang dilakukan oleh Penyidik TNI Angkatan Laut di Lantamal I. D. Manfaat Penelitian Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Diharapkan dapat berguna dan bermanfaat untuk pengembangan teoriteori hukum atau ilmu pengetahuan hukum pidana dan hukum acara pidana serta perbendaharaan pustaka ilmu hukum. 2. Secara Praktis Dapat dijadikan bahan masukan bagi aparat penegak hukum di laut guna menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di lapangan. E. Keaslian Penulisan Didasarkan dari pemeriksaan yang dilakukan oleh penulis diperpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian tentang ”Penegakan Hukum Oleh Penyidik TNI AL dalam penanganan Tindak Pidana Illegal Fishing” belum ada ditemukan judul penelitian yang sama persis, baik judul maupun permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dikategorikan penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademisi dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif. Semua ini merupakan implikasi
etis dari proses menemukan kebenaran dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan permasalahan. F. Kerangka Teori dan konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam pembahasan mengenai Penegakan hukum oleh penyidik TNI AL dalam penanganan tindak pidana illegal fishing, teori utama yang digunakan adalah teori Lawrence M. Friedman, dalam bukunya Legal Culture and Social Development mengenai sistem hukum. Dalam pandangannya tentang penegakan hukum, bahwa untuk memahami efektif tidaknya hukum di dalam masyarakat, harus diperhatikan komponen-komponen sistem hukum sebagai berikut : 1. Komponen Struktural dalam sistem hukum mencakup berbagai institusi, bentuk serta proses yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Salah satu lembaga tersebut adalah pengadilan. Dalam hubungan ini, pembicaraan termasuk pula tentang struktur organisasi, landasan bekerjanya hukum, kompetensi dan lain sebagainya. 2. Komponen Substantif, mencakup keluaran (output) dari sistem hukum, apakah dalam bentuk peraturan, keputusan ataupun doktrin, sepanjang hal tersebut dipergunakan dalam proses bersangkutan.
3. Komponen Budaya (budaya hukum) adalah keseluruhan sikap dan nilainilai serta tingkah laku yang menentukan bagaimana hukum tersebut berlaku pada masyarakat. 16 Menurut Koesnadi Hardjasoemantri penegakan hukum merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat ikut berperan dalam penegakan hukum 17 Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa masalah penegakan hukum dalam dimensi sosial, tidak dapat dipisahkan oleh : 1. Peranan faktor manusia yang menjalankan penegakan hukum itu. 2. Soal lingkungan proses penegakan hukum yang dikaitkan dengan manusianya secara pribadi. 3. Penegak hukum sebagai suatu lembaga. 18 Dalam hal penyidikan yang menjadi topik pembahasan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai penyidikan yang dilakukan oleh Perwira TNI Angkatan Laut selaku penyidik terhadap perkara-perkara atau kasus-kasus tindak pidana perikanan (illegal fishing) di perairan Lantamal I khususnya di laut ZEEI. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 16
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis dan Praktik (Bandung : Penerbit PT. Alumni, 2008), hlm. 410. 17 Alvy Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta : Penerbit PT. Sofmedia, 2009) hlm. 7. 18 Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 135.
1983 tentang Pelaksanaan KUHAP pasal 17 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh Perwira TNI AL dan penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang Nomor 5 Tahun1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam pasal 14 ayat (1) yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Perwira TNI AL sedang hukum acaranya mengatur beberapa tindakan penyidikan yang menyimpangi ketentuan yang diatur dalam KUHAP, misalnya pada pasal 13 ayat (1) bahwa batas waktu penangkapan di laut adalah 7 x 24 jam, selanjutnya pasal 14 ayat (3) mengenai kewenangan mengadili tindak pidana di ZEEI tidak mengenal adanya asas locus delicti, tetapi berdasarkan daerah pelabuhan kapal disandarkan. Sehingga Undang-undang ini merupakan pengkhususan dari KUHAP, atau dikenal dengan asas hukum ”Lex Specialis derogat lex Generalis”. 2. Kerangka Konsepsi Pengertian ”illegal fishing” dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal fishing dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary, ”illegal” 19 artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. “Fish” 20 artinya
19
ikan
atau daging ikan dan
Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Edisi Kedelapan Tahun 2002, (Jakarta : Penerbit Modern English Press) hlm. 925. 20 Ibid, hlm. 707.
”fishing” 21 artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan bahwa ”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan jenis dan ukuran yang dilarang 22 . Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan pihak lain. 23 Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan 21
Ibid. Lambok Silalahi, ”Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Perairan Pantai Timur Sumatera Utara”,Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, (Medan : USU 2006), hlm. 58. 23 Sekolah Staf dan Komando TNI AL, ”Wawasan Nusantara”, Paket Instruksi, Jakarta, 2002, hlm. 83. 22
dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun nasional. 24 Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya. 25 Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. 26 Surat Izin Usaha
Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut. 27 Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. 28
24
Adi Susanto, “Hubungan antara Penegakan Hukum di Laut dan Ketahanan Nasional, Forum Hukum, Volume 4, Nomor 4, 2007, hlm. 6. 25 Republik Indonesia,”Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ”, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 2009, Pasal 1 titik 5 26 Ibid,Pasal 1 titik 9. 27 Ibid,Pasal 1 titik 16. 28 Ibid,Pasal 1 titik 17.
Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan. 29 Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. 30 Wilayah Perairan Indonesia adalah laut territorial Indonesia, perairan kepulauan dan perairan pedalaman. 31 G.
Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process) 32 . Adapun sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan 29
Ibid,Pasal 1 titik 18. Ibid,Pasal 1 titik 23. 31 Republik Indonesia, “Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia”. 32 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika 2006), hlm. 118. 30
secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu 33 . Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai tindak pidana illegal fishing. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena menelaah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian 34 . Analisa hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan peranan TNI AL sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana illegal fishing. 3. Sumber Data Penelitian a. Penelitian Kepustakaan, diperoleh dari :
1) Bahan Hukum Primer: Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan baik hukum nasional maupun internasional yang berhubungan dengan
33
C.G.F. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, (Bandung : Penerbit Alumni, 1994), hlm. 89. 34 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, (Malang :Penerbit Bayumedia, 2008), hlm. 302.
penegakan hukum di laut khususnya tentang perikanan. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud, misalnya: a) Undang-undang Nomor
5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia; b) Undang-undang Nomor 17 Tahun 1983 tentang Hukum Laut (United Nations Convention On The Law Of The Sea) 1982; c) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; d) Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; e) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; f) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia; g) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan; h) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.11/Men/ 2006 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan; i) Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.04/
Men/2007 tentang
Pembentukan Tim Teknis
Penanganan Tindak
Pidana di bidang Perikanan; j) Surat Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
B.352/Men.KP/VII/2006 tentang
Pembentukan Forum Koordinasi
Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan di Tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota; k) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 17 Nopember 1983 tentang
Penyelesaian kasus-kasus atau pelanggaran
tindak pidana di laut tanpa mengkwatirkan locus delicti; l) Surat Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Nomor Skep/907/XII/1987 tanggal 23 Desember 1987 tentang Pengangkatan Perwira TNI Angkatan Laut sebagai Penyidik 35 . 2) Bahan hukum sekunder: Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi 36 . 3) Bahan hukum tersier:
35
Dinas Pembinaan Hukum Mabesal, “Kewenangan Perwira TNI AL Sebagai Penyidik”, Jakarta, 2009, hlm. 3. 36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Kencana, 2007), hlm. 142.
Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah 37 . b. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan dilaksanakan dalam upaya memperoleh bahanbahan langsung dari institusi yang berwenang dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana illegal fishing. Hal ini dilakukan karena tidak semua bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan. Untuk mendukung penelitian ini diperlukan data penunjang, maka ditentukan pihak-pihak sebagai nara sumber sebagai berikut : 1. Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal 1) Belawan 2. Direktorat Kepolisian Perairan Polda Sumut di Belawan 3. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara 4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya 38 .
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Penerbit UI-Press, 1990), hlm. 14. 38 Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Citra Aditya Bakti 2004), hlm. 97.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : a. Penelitian kepustakaan (Library Research) Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literaturliteratur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah dan putusanputusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Proses pengumpulan bahan-bahan melalui penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan tanya jawab secara langsung kepada nara sumber. 5. Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data 39 . Analisis dimulai dengan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul dari wawancara, peraturan, karya ilmiah, pendapat ahli (doktrin) yang berkaitan dengan judul penelitian dan laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung data sekunder. Baik data primer maupun data sekunder dilakukan
39
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 97.
analisis secara deskriptif, sehingga dapat menguraikan dan menggambarkan permasalahan yang ada.