BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti negara Indonesia adalah negara yang menempatkan agama sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut kemudian dinyatakan secara tegas dalam Konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa” yang kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. 1 Dengan demikian kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan. 2 Dengan demikian negara harus menjamin kemerdekaan bagi setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pemeluk agama memerlukan kebebasan beragama dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Kebebasan beragama
1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terbitan Fokus Media,
Bandung. 2
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta: Erlangga, 1985, hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
merupakan salah satu hak asasi manusia (human rights) 3 yang bersifat nonderogable rights 4 dan dijamin oleh berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) baik tingkat internasional 5 maupun nasional. 6 Pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dan berdasarkan undang-undang demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 7
3
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengertian hak asasi manusia adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. 4 Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 j.o Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang termasuk kategori non-derogable rights yaitu hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan-keadaan apapun dan oleh siapapun, termasuk Negara. 5 Beberapa instrumen internasional mengenai kebebasan beragama adalah Pasal 18, Pasal 26, dan Pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ; Pasal 18 Kovenan Internasional HakHak Sipil dan Politik ; Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi Diskrimasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan; Pasal 14, Pasal 29, Pasal 30 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Anak. Instrumen internasional mengenai kebebasan beragama tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. 6 Beberapa instrumen nasional mengenai kebebasan beragama adalah UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnik. 7 Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun pembatasan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan melalui undang-undang, akan tetapi untuk kategori non-derogable rights tidak dapat dilakukan pembatasan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. 8 Konstitusi Negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah salah satu instrumen pemenuhan hak asasi manusia yaitu mengatur mengenai perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2). Disamping setiap orang memiliki hak-hak asasi yang harus dilindungi, maka dia juga mengemban kewajibankewajiban asasi yang harus dilaksanakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945. 9 Kebebasan memeluk agama atau kepercayaan dan menjalankan ibadah menurut agama atau kepercayaannya itu merupakan kaidah pribadi (forum internum) sedangkan ketertiban dan kedamaian hidup bersama merupakan kaidah antar pribadi (forum eksternum). 10 Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi perbenturan antara kepentingan kaidah pribadi dengan kaidah antar pribadi yang 8
Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa :”Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”. Dalam penjelasan Pasal 73 ini lebih dipertegas bahwa pembatasan yang dimaksud dalam pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9, dan yang dimaksud dengan “kepentingan bangsa” adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa. 9 Pasal ini mewajibkan setiap orang (human obligations) untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 10 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung : Penerbit Alumni, 1982, hlm.16.
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dibutuhkan kaidah hukum dalam bentuk peraturan untuk mengatur masyarakat demi terciptanya kesejahteraan dan ketertiban sosial sebab manusia tidak akan dapat hidup hanya dengan kaidah-kaidah pribadi tanpa diatur juga oleh kaidah antar pribadi. Oleh karena pentingnya hubungan antara kebebasan beragama dengan ketertiban umum itu, maka negara melakukan pembatasan terhadap tindakantindakan yang dianggap menodai atau menghina agama lain yang dapat memicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama j.o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang Penodaan Agama, maka diadakanlah kriminalisasi terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di Indonesia, sehingga pelanggaran terhadap kaidan ini dianggap sebagai tindak pidana dan negara dapat menjatuhkan pidana. Dengan demikian, kepentingan agama yang awalnya merupakan kepentingan pribadi atau kaidah pribadi berubah menjadi kepentingan publik atau kaidah antar pribadi dan lebih jauh lagi menjadi kaidah sosial. Undang-Undang Penodaan Agama ini merupakan instrumen hukum pidana yang berlaku saat ini (ius constitutum) untuk menghukum tindak pidana penodaan agama di Indonesia. Penjelasan umum undang-undang tersebut menjelaskan
bahwa
undang-undang
tersebut
dikeluarkan
berdasarkan
pertimbangan bahwa timbulnya aliran-aliran/organisasi-organisasi kepercayaan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama. Ajaran pada aliran/organisasi kepercayaan tersebut banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Pada kenyataannya, aliran/organisasi tersebut pada akhirnya bertambah banyak dan berkembang kearah yang membahayakan agama-agama yang ada. Penerapan Undang-Undang Penodaan Agama ternyata dikritik oleh berbagai pandangan yang menganggap bahwa undang-undang ini sudah tidak efektif lagi diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sekarang. Undang-Undang Penodaan Agama ini sering mengandung kata-kata yang tidak jelas dan sukar didefinisikan, sehingga cenderung terjadi kesalahan pemahaman dan penerapan yang berlebihan. Pasal 1 Undang-Undang Penodaan Agama dan penjelasannya menyebutkan
“Terhadap
badan/aliran
kebatinan,
Pemerintah
berusaha
menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah ke-Tuhanan Yang Maha Esa…” yang menunjukkan bahwa Pemerintah telah masuk ke dalam ranah eksistensi spiritual yang merupakan forum internum. Sampai saat ini, sudah banyak terpidana karena tindak pidana penodaan agama di Indonesia. Beberapa di antaranya yaitu11 Arswendo Atmawiloto (5 tahun), H.B. Jassin (1 tahun penjara dengan masa 2 tahun masa percobaan), Mas’ud Simanungkalit (3 tahun), Yusman Roy (2 tahun), Lia Eden (2 tahun), Abdurrahman (3 tahun), Ahmad Musadeq (4 tahun), dan berbagai putusan pengadilan lainnya. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, tidak ada kesamaan atau kesesuaian mengenai definisi penodaan agama yang layak 11
Sumber Wahid Institute pada http://pmg.hukumonline.com/berita/baca/hol15437/delikagama-dalam-ruu-kuhp-iovercriminalizationi, diunduh pada hari Rabu 27 Februari 2012 pukul 13.45 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dijadikan acuan untuk memutus kasus-kasus penodaan agama di masa yang akan datang untuk dapat menjamin kepastian hukum. Kasus-kasus yang berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan yang hendak dicapai melalui undang-undang ini dapat dikatakan belum tercapai. Dengan kata lain, kebijakan hukum pidana yang diterapkan melalui undang-undang ini untuk melindungi kepentingan agama, menanggulangi tindak pidana penodaan agama, dan memenuhi tujuan pemidanaan, sampai saat ini masih menyisakan berbagai persoalan. Di negara Indonesia, negara tidak memiliki otoritas keagamaan (Theokrasi) dan negara Indonesia juga bukanlah negara sekuler murni. Dalam hal ini, kaitannya dengan Undang-Undang Penodaan Agama akan menimbulkan berbagai pertanyaan. Mengenai penafsiran sesuatu agama, maka tafsiran atas ajaran mana yang akan dipilih? Kegiatan keagamaan yang seperti apa yang sesuai dan yang menyimpang dari ajaran agama? Tak kalah pentingnya, dari aspek hukum pidana juga muncul pertanyaan. Apakah kebijakan hukum pidana dalam menentukan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sebagai tindak pidana sudah tepat dikategorikan sebagai kejahatan? Apakah pemidanaan terhadap penodaan agama sudah memenuhi tujuan pemidanaan? Apakah secara substansi Undang-Undang Penodaan Agama masih relevan diterapkan pada masa sekarang ini? Apakah hukum pidana dalam menanggulangi penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2008 sudah tepat?
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain: 1. Bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia? 2. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama?
C. Tujuan Penulisan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain: 1. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penulisan 1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak pidana penodaan agama, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas. 2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama penegak hukum tentang kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana terhadap kepentingan agama, serta memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana kepentingan agama, dalam hal pembentukan dan
penerapan
undang-undang
pencegahan
penyalahgunaan
dan/atau
penodaan agama.
E. Keaslian Penulisan Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul “ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PENYALAHGUNAAN
NO
1/PNPS/1965
DAN/ATAU
TENTANG
PENODAAN
PENCEGAHAN
AGAMA
DALAM
RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA”, terlebih
Universitas Sumatera Utara
dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 28 Oktober 2011 (terlampir) menyatakan ada satu judul yang memiliki sedikit kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut adalah “Analisis Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama (Islam) di Indonesia” yang ditulis oleh Ismuhadi / 020200092. Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum. (sekretaris Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan oleh penulis, karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan juduljudul di atas. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
F. Tinjauan Kepustakaan Penulisan skripsi ini berkisar tentang Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap
Undang-Undang
No
1/PNPS/1965
Tentang
Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Adapun Tinjauan Kepustakaan tentang skripsi ini, adalah sebagai berikut : 1. Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan Hukum Pidana biasa disebut dengan Politik Hukum Pidana. Politik Hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Marc Ancel, pernah menyatakan bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen yaitu criminology, criminal law, dan penal policy. Dikemukakannya, penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya pembuat undang-undang tetapi kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada pelaksana putusan pengadilan. 12 Sudarto menyatakan untuk melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan kata lain, melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang 12
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005, hlm 21.
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. 13 Politik Hukum Pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan : (a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui, (b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah ter jadinya kejahatan, (c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan hukum pidana harus dilaksanakan. 14 Pengertian Politik Hukum Pidana sebagaimana yang dikemukan di atas dapat disimpulkan, bahwa Politik Hukum Pidana adalah upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana yang akan datang dengan melihat dan menyesuaikan keadaan penegakan hukum pada saat ini. 2. Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama merumuskan mengenai tindak pidana terhadap kepentingan agama. Ada dua delik yang diatur dalam undang-undang ini, yaitu delik penyelewengan agama dan delik anti agama. Delik penyelewengan agama adalah perbuatan-perbuatan menafsirkan atau melakukan kegiatan agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 merumuskannya sebagai berikut :
13
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008, hlm 18-19. 14 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Perumusan dalam delik penyelewengan agama, ada dua hal yang perlu dianalis, yaitu pengertian penafsiran dan perbuatan. Persoalan utamanya adalah bahwa “pokok-pokok ajaran” yang menjadi ukuran “penyimpangan” tidak dapat menjadi alasan suatu tindakan hukum tanpa membenahi pemerintah, secara langsung atau tidak langsung, dengan otoritas keagamaan yang terlalu besar. Delik anti agama terbagi dalam dua hal yaitu delik penodaan agama dan delik menganjurkan agar orang tidak menganut suatu agama. Perbuatan melanggar ketentuan ini diancama dengan pidana maksimal lima tahun penjara. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 merumuskannya sebagai berikut : “Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersedikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Penggunaan sarana hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tetap diakomodir dalam Rancangan KUHP
Universitas Sumatera Utara
(RKUHP) Tahun 2008, dan bahkan diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab VII Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama. Dalam RKUHP 2008, Tindak Pidana terhadap Agama meliputi Penghinaan terhadap Agama (Pasal 341, Pasal 342, Pasal 343, Pasal 344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama, sedangkan Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah meliputi gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan keagamaan (Pasal 346, Pasal 347) dan perusakan tempat ibadah (Pasal 348). 3. Pembaharuan Hukum Pidana Pembaharuan Hukum Pidana (penal reform) termasuk dalam bidang kebijakan hukum pidana (penal policy) yang merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) dan kebijakan sosial (social policy). Usaha pembaharuan hukum pidana ini, tidak saja identik dengan pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. 15 Menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan
15
Barda Nawawi Arief menyatakan, bahwa tidak ada artinya hokum pidana (KUHP) diperbaharui apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya. Dengan kata lain, criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya. Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal structure reform). Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman 133.
Universitas Sumatera Utara
hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. 16 Pembaharuan Hukum Pidana harus dilakukan dengan cara pendekatan kebijakan, sehingga pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. 17 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya melakukan pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan yang meliputi :
18
1. Kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum; 2. Kebijakan untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat; 3. Kebijakan untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai dan menunjang tujuan nasional yaitu social defence dan social welfare; 4. Upaya peninjauan dan penilaian kembali pokok pemikiran, ide-ide dasar, nilai-nilai filosofik, sosio politik dan sosio cultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum pidana.
G. Metode Penelitian Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe cara secara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya 16
Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, BPHN Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung : Binacipta, 1986, hlm. 94. 17 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm 25. 18 Ibid, hlm 26.
Universitas Sumatera Utara
bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder. 19 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto. Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 20. Asas-asas hukum yang dimaksud dapat dibedakan menjadi asas hukum konstiutif dan asas hukum regulatif dimana kedua asas ini merupakan landasan dasar pembentukan hukum yang mengikat dan berkeadilan. Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan in concreto guna menyelesaikan suatu permasalahan 21 yaitu hukum yang sesuai dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama.
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 2007, hlm. 13-14. 20 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesiam Jakarta, hlm. 15. 21 Ibid, hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis dan Sumber Data Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial maupun nonkomersial 22. Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut : 1) Bahan-bahan hukum primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana); c) Undang-Undang
Nomor
1/PNPS/1965
Tentang
Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama j.o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden sebagai Undang-Undang; d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; e) Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 140/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
22
Diambil dari http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 13 November 2011 Pukul 13.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
2) Bahan-bahan hukum sekunder Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik. 3) Bahan-bahan hukum tersier Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi. 4. Analisis Data Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya 23. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Depok: Universitas Indonesia Press, 1994, hlm. 69.
Universitas Sumatera Utara
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas. c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
H. Sistematika Penulisan Pembahasan dan Penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I:
PENDAHULUAN Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II: PENGATURAN
TENTANG
TINDAK
PIDANA
PENODAAN
AGAMA
Universitas Sumatera Utara
Pada bagian pertama akan mengemukakan pengaturan tindak pidana penodaan agama dalam Hukum Indonesia. Pada bagian kedua akan menyajikan kelemahan rumusan tindak pidana penodaan agama dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. BAB III KEBIJAKAN
HUKUM
PIDANA
TERHADAP
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA Pada bagian pertama akan mengemukakan tentang Kebijakan Hukum Pidana. Pada
bagian
kedua
akan
mengemukakan
Perumusan
Tindak
Pidana Penodaan Agama dalam RKUHP Tahun 2008 serta Tujuan Pemidanaan pada RKUHP Tahun 2008. BAB V
PENUTUP Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara