1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
17.508 pulau dengan panjang garis pantai 99.093km, sehingga memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat besar (Lestari, 2015). Luas wilayah perairan Indonesia sebesar 7,9 juta km2 atau 81 persen dari luas total Indonesia (Bakosurtanal, 2013). Wilayah pesisir Indonesia memiliki beberapa sumberdaya pesisir dan lautan yang potensial dikembangkan, meliputi: pertambangan dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, perikanan dengan potensi 6,7 juta ton per tahun, pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 21 titik potensial, dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) antara lain: hutan bakau dan terumbu karang (Budiharsono, 2001). Wilayah pesisir sangat penting untuk dikaji mengingat 60% dari penduduk Indonesia bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Pertambahan penduduk yang meningkat setiap tahun menyebabkan banyak permasalahan yang terjadi. Secara garis besar permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir meliputi: pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumberdaya alam, abrasi pantai, dan alih fungsi lahan kawasan lindung untuk kepentingan lainnya. Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan dua ekosistem besar, yaitu ekosistem laut dan ekosistem darat. Sifat khas wilayah pesisir adalah fluktuasi suhu, salinitas serta pasang surut yang besar dan berpengaruh terhadap kondisi
2
ekosistem. Ditinjau dari proses terbentuknya, ekosistem wilayah pesisir dapat dikelompokkan menjadi ekosistem yang terbentuk secara alami dan ekosistem buatan. Ekosistem yang terbentuk secara alami meliputi: ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang, sedangkan ekosisistem buatan seperti tambak, sawah pasang surut, kawasan wisata, kawasan industri, dan pemukiman (Dahuri, dkk., 2001). Kulon Progo merupakan kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah pesisir Kulon Progo berada di pantai selatan Yogyakarta yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Pantai tersebut merupakan muara 3 sungai besar yaitu Sungai Progo, Sungai Serang, dan Sungai Bogowonto. Muara sungai merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan ekosistem mangrove. Berdasarkan Djohan (2000), potensi tumbuh mangrove di daerah muara sungai adalah 95% dan di daerah rawa belakang sebesar 75%. Ekosistem mangrove dikenal sebagai ekosistem hutan payau yang didominasi oleh tumbuhan vaskular pohon mangrove antara lain: Rhizopora spp., Bruguiera spp., dan Avicennia spp. Mangrove memiliki peran yang sangat penting secara fisik maupun ekologis. Secara fisik, mangrove berperan melindungi pantai dari hempasan gelombang pasang dan intrusi air laut ke sumber air tawar permukiman penduduk yang tinggal di rawa belakang, sedangkan peran mangrove secara ekologis sebagai kontributor bahan organik dalam jejaring makanan. Bahan organik berasal dari seresah mangrove yang masuk ke dalam jejaring makanan baik ekosistem mangrove itu sendiri maupun ekosistem lepas pantai. Peran
3
ekologis lainnya dari mangrove adalah sebagai tempat pembesaran dan pemijahan udang dan ikan baik yang bernilai ekonomis maupun ekologis, sehingga mangrove sangat mendukung produktivitas perikanan pantai dan lepas pantai. Laporan potensi perikanan pantai Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) (1987) menyebutkan bahwa wilayah pesisir Kulon Progo memiliki potensi untuk tambak. Perikanan tambak merupakan kegiatan memelihara ikan atau udang air payau atau laut di suatu wadah yang terkontrol atau semi terkontrol. Komoditas yang paling banyak dibudidayakan oleh masyarakat adalah udang. Alasan tambak udang berkembang di wilayah Kulon Progo dikarenakan kondisi lahan dapat digunakan untuk budidaya udang dan secara ekonomi dinilai sangat menguntungkan. Pengkajian kondisi fisik wilayah untuk budidaya udang sangat diperlukan karena udang hidup di dasar tambak dan lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan, sehingga parameter lingkungan untuk udang sering digunakan sebagai acuan persyaratan air bagi biota air yang lain. Unsur fisik memiliki peran penting dalam pengelolaan wilayah pesisir. Kajian fisik diperlukan sebagai dasar pemetaan potensi wilayah untuk berbagai pemanfaatan. Data potensi yang dikeluarkan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan, terdapat lahan potensial untuk mangrove dan tambak. Permasalahan yang sering terjadi adalah lahan potensial untuk pengembangan tambak ternyata juga merupakan habitat alami mangrove. Alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak dikhawatirkan akan terus terjadi.
4
Menurut Kusmana dkk. (2003), mangrove mempunyai fungsi fisik yang penting terhadap keterdapatan daratan, yaitu mampu menahan ombak dan gelombang laut, menahan angin, mengendalikan abrasi, banjir, penetral bahan pencemar, dan penangkap sedimen. Keberadaan hutan mangrove juga dapat berfungsi sebagai barrier (penghalang) masuknya air laut ke daratan, sehingga dapat mencegah intrusi air laut. Mengingat fungsi mangrove bagi wilayah pesisir, maka keberadaan mangrove perlu dipertahankan keberadaannya. Berdasarkan permasalahan di atas, diperlukan adanya zonasi wilayah pesisir Kulon Progo untuk magrove dan atau tambak udang. Zonasi adalah bentuk pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan (RTRW Kabupaten Kulon Progo tahun 20122032). Penelitian tentang Kajian Fisik Wilayah Pesisir Kulon Progo untuk Penentuan Zona Kawasan Mangrove dan Tambak Udang sangat diperlukan agar lokasi mangrove dan atau budidaya udang di wilayah pesisir Kulon Progo dapat dipetakan secara jelas serta menghasilkan arahan strategi pengelolaannya. 1.2.
Perumusan Masalah Djohan (2000) menyatakan bahwa wilayah pesisir Kulon Progo memiliki
potensi pengembangan mangrove yang terdapat di daerah muara Sungai Bogowonto beserta lagunanya. Setyawan, dkk. (2002) meneliti luasan mangrove di Kulon Progo mencapai 100 ha, terdapat di Dusun Pasirmendit dan Dusun Pasir Kadilangu, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon. Data dari Dinas KKP DIY Tahun 2009 menyatakan bahwa lahan mangrove di Kulon Progo menjadi 20ha.
5
Penanaman mangrove terus dilakukan oleh pemerintah daerah, kelompok masyarakat, dan perguruan tinggi
hingga tanggal 1 Agustus 2009 kawasan
Pasirmendit ditetapkan menjadi Daerah Perlindungan Mangrove (DPM). Wilayah pesisir Kulon Progo juga memiliki potensi tambak udang seluas 650ha. Pada tahun 2011 luas lahan tambak udang adalah 10ha, bertambah luas menjadi 15ha pada tahun 2012, dan tahun 2014 sekitar 24ha (progoupdate.com, diakses tanggal 2 Juli 2014). Pertambahan Perluasan lahan tambak udang tidak hanya memanfaatkan lahan kosong atau lahan yang kurang produktif, tetapi juga dilakukan di area tumbuh mangrove. Perda DIY No. 16 tahun 2011 tentang zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil telah memetakan zona kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, dan kawasan strategis nasional. Peraturan tersebut menyatakan bahwa zona perikanan budidaya (tambak) berada di kawasan yang sama dengan keberadaan mangrove di Kulon Progo, sedangkan zona mangrove belum ditentukan secara jelas. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulon Progo juga belum menyebutkan adanya zona mangrove secara jelas, sedangkan kawasan peruntukan budidaya air payau sudah ada, yaitu Kecamatan Temon, Kecamatan Wates, dan Kecamatan Galur. Padahal mangrove di pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta hanya tumbuh secara alami di Kulon Progo. Berdasarkan data di atas, diperlukan kajian fisik wilayah pesisir Kulon Progo agar dapat diketahui lokasi yang memiliki potensi untuk mangrove dan atau tambak udang. Selanjutnya dilakukan zonasi wilayah untuk kawasan mangrove
6
dan atau tambak udang serta pengelolaannya agar kedua bentuk pemanfaatan lahan tersebut tidak saling mengganggu. Berdasarkan permasalahan yang terdapat di wilayah studi, dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah kondisi fisik lahan wilayah pesisir Kulon Progo sesuai untuk zonasi mangrove dan atau tambak udang? 2. Di mana lokasi yang sesuai untuk penentuan zona mangrove dan atau tambak udang? 3. Dengan memperhatikan pemanfaatan lahan yang sudah ada dan kebijakan pemerintah, bagaimana arahan strategi pengelolaan kawasan mangrove dan atau tambak udang yang ideal di wilayah pesisir Kulon Progo? 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian secara garis besar adalah memberikan rekomendasi
pengelolaan yang ideal untuk kawasan mangrove dan tambak udang berdasarkan kondisi fisik wilayah pesisir Kulon Progo, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis kondisi fisik wilayah pesisir Kulon Progo. 2. Menentukan zona yang sesuai untuk kawasan mangrove dan atau tambak udang di wilayah pesisir Kulon Progo. 3. Menyusun rekomendasi pengelolaan kawasan mangrove dan atau tambak udang di wilayah pesisir Kulon Progo.
7
1.4.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu : 1. Sebagai sumber informasi kepada stakeholder mengenai zona-zona yang sesuai untuk mangrove dan atau tambak udang serta pengelolaan kawasan berdasarkan keadaan fisik yang dimiliki wilayah pesisir Kulon Progo. 2. Sebagai
sumbangan
pemikiran
bagi
institusi
pendidikan
untuk
pengembangan penelitian sejenis. 3. Sebagai sumbangan pemikiran dan implementasi dari ilmu pengetahuan selama studi di Magister Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) UGM kepada masyarakat Kulon Progo. 1.5.
Keaslian Penelitian Penelitian yang berjudul Kajian Fisik Wilayah Pesisir Kulon Progo untuk
Penentuan Zona Kawasan Mangrove dan atau Tambak Udang merupakan suatu pemikiran yang dilatarbelakangi oleh adanya mangrove dan tambak udang di wilayah pesisir Kulon Progo, khususnya di sekitar muara Sungai Bogowonto. Luasan lahan untuk tambak udang setiap tahun selalu bertambah dan mulai dilakukan di area mangrove. Sementara itu, zonasi untuk mangrove dan tambak belum jelas. Hal tersebut berpotensi memunculkan permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir jika tidak segera dilakukan zonasi untuk kedua bentuk kegiatan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yang baru apabila ditinjau dari tujuan dan waktu penelitian. Penelitian-penelitian terladulu dengan tempat penelitian
8
yang sama, umumnya membahas kesesuaian lahan untuk mangrove atau tambak udang saja, sedangkan penelitian ini membahas keduanya. Penelitian serupa menggunakan metode pembobotan (scooring), sedangkan penelitian ini menggunakan metode perbandingan (matching) agar lebih mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi pengelolaan agar zonasi yang dibuat dapat diterapkan secara berkelanjutan. Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.1.
9
Tabel 1.1 Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Yang Penulis Lakukan Penulis, tahun Riqqi dan Nganro (2000)
Judul Prototipe Pemanfaatan SIG untuk Pengelolaan Kawasan Tambak
Parwaty, dkk. (2004)
Aplikasi Data Landsat dan SIG untuk Potensi Lahan Tambak di Kabupaten Banyuwangi
Tujuan Mengembangkan prototipe SIG untuk mengelola kawasan pesisir dengan kasus pengelolaan kawasan tambak di Kabupaten Serang, Jawa Barat
Metode Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode scooring dan pembobotan Analisis keberlanjutan lahan dengan pendekatan model struktur hierarki, untuk standarisasi data/kriteria menggunakan metode revise probability dan Group Decision Making (GDM) dalam pembobotannya Pengolahan data spasial menggunakan teknik overlay bertingkat dari 6 peta tematik diperoleh 2970 unit lahan dengan berbagai sifat tanah dan air
Hasil yang diperoleh Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, kawasan pertambakan di daerah Teluk Banten pada umumnya sesuai untuk dijadikan kawasan pertambakan Berdasarkan analisis keberlanjutan lahan, kawasan tambak Teluk Banten sebelah barat akan mengalami tantangan yang berat karena adanya perkembangan industri dan pemukiman. Kawasan tambak yang baik berada di sekitar pulau Dua dan kawasan yang berada pada muara sungai Ciujung Lama dan Sungai Ciujung
Mengevaluasi potensi lahan yang sesuai untuk budidaya tambak
Menggunakan inderaja Landsat 7ETM dengan resolusi spasial 30 x30 m. Analisis visual menggunakan kombinasi kanal Nang Penentuan potensi lahan untuk tambak menggunakan tolok ukur dan kriteria lingkungan
Potensi lahan yang sesuai untuk perikanan tambak di Kabupaten Banyuwangi terdapat di 3 kecamatan, yaitu Muncar, Rogojampi, dan Pesanggrahan Potensi lahan yang agak sesuai terdapat di Kecamatan Srono, Cluring, Singajuruh, Pesanggrahan, Banyuwangi, Glagah dan Kabat
10 Lanjutan Tabel 1.1 Taha (2004)
Giap et.al. (2005)
Zonasi Hutan Mangrove di Desa Cemara Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu
Membuat zonasi pengelolaan hutan yang meliputi zona pemanfaatan, zona inti (untuk kepentingan pelestarian) dan zona lainnya yang diperlukan
Penarikan sampel dilakukan secara porposive sampling terhadap 4 jenis tipe penutupan dan penggunaan lahan, yaitu mangrove, air, tambak, dan tanah kosong Penarikan jenis vegetasi dan fauna mangrove dilakukan dengan transek Penentuan zonasi dilakukan dengan metode scooring
Zona inti mempunyai luas 898,463 ha (29,59% dari luas total), sedangkan zona pemanfaatan intensif mempunyai luas 2.081,969 ha (68,58% dari luas total). Luas total kawasan mangrove di Desa Cemara adalah 3.035,923 ha. Zona inti mempunyai tipe penutupan lahan berupa mangrove ditambah jumlah luas total sempadan pantai dan sempadan sungai. Zona pemanfaatan intensif mempunyai tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa tambak, air, dan tanah kosong.
Sistem Informasi Geografis untuk Evaluasi Lahan Budidaya Udang di Haiphong, Vietnam
Identifikasi lahan yang sesuai untuk budidaya udang di Haiphong Vietnam menggunakan SIG
Kesesuaian lahan menggunakan metode penilaian dan pembobotan
Model evaluasi lahan ini berfungsi untuk mengidentifikasi area yang sesuai untuk budidaya udang dan menentukan lokasi lahan yang paling menguntungkan, konservasi yang efektif, dan pengelolaan kesesuaian lahan Perkiraan ada 31% (2604 ha) dari total wilayah di Haiphong sangat sesuai untuk budidaya udang. Ini adalah penemuan baru, karena pada penemuan terdahulu hanya ada 1690 ha lahan yang sesuai untuk budidaya udang
11
Lanjutan Tabel 1.1 Mishra, dkk. (2008)
Setyawan, dkk. (2008)
Penilaian Kualitas Air Perikanan Tambak yang Berada di Ekosistem Mangrove Bhitarkanika, Orissa, India
Mengetahui pengaruh kualitas air tambak terhadap ekosistem mangrove Bhitarkanika
Metode statistik dengan software MSTAT-C (1988). Tiap parameter dibandingkan dengan menggunakan ANNOVA, P≤ 0,05
Kegiatan tambak udang tidak berpengaruh terhadap flora dan fauna di ekosistem mangrove saat itu, walaupun ada fluktuasi parameter fisik dan kimia air yang secara kontinyu berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem pada jangka panjang.
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah : 3. Diagram Profil Vegetasi
Mengetahui diagram profil vertikal dan horizontal vegetasi mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah
Pengumpulan data dilakukan dengan metode belt transect dari garis pantai kemudian dianalisis di Laboratorium
Diagram profil vegetasi secara vertikal dan horizontal menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik, dimana vegetasi didominasi tumbuhan muda, yang hanya memiliki (1)-2-(3-4) strata kanopi Kesesuian lahan di wilayah pesisir Kota Bengkulu untuk budidaya perikanan tambak terdapat di Kecamatan Muara Bengkahulu (Kelurahan Rawa Makmur) dan Kecamatan Kampung Melayu.
Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode penilaian dan pembobotan
12 Lanjutan Tabel 1.1 Triyatmo, B (2012)
Pola Pengembangan Budidaya Perikanan Tambak Berbasis Karakteristik Lingkungan Di Pesisir Antara Sungai Bogowonto Kabupaten Kulon Progo dan Sungai Jali Kabupaten Purworejo
Mengetahui karakteristik lingkungan pesisir secara spasial dan temporal Mengetahui keadaan aktual penggunaan dan produktivitas lingkungan pesisir dalam hubungan dengan karakteristiknya Mengevaluasi kesesuaian lingkungan pesisir untuk budidaya perikanan tambak Menentukan pola pengembangan budidaya perikanan tambak di sepanjang pesisir sepanjang tahun
Metode interpretasi peta, survey, pengamatan, dan wawancara Analisis kesesuaian lahan menggunakan metode pembobotan dan pengharkatan parameter karakteristik lingkungan
Pola pengembangan budidaya perikanan tambak di pesisir bentuklahan gumuk pasir dengan sumber air langsung dari laut, komoditas yang sesuai yaitu udang vannamei dan udang windu. Teknologi budidaya perikanan tambak adalah semi intensif dan intensif Pola pengembangan budidaya perikanan tambak di pesisir bentuklahan swale dengan sumber air dari Sungai Pasir-Jati, komoditas yang sesuai adalah bandeng dan nila. Teknologi budidaya perikanan tambak adalah ekstensif.