PENDAHULUAN Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut
pedalaman dan teritorialnya seluas 3.1 juta km2 dan Zone Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia seluas 2.7 km2(Dahuri, 2001). Dengan demikian jelas, bahwa Indonesia mempunyai kekayaan sumberdaya hayati pesisir dan lautan yang besar. Salah satu bentuk kekayaan tersebut adalah hutan mangrove, yang luasnya di Indonesia pada tahun 1993 diperlurakan sekitar 3 771 493 ha (Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, 1993). Adapun proporsi daerah hutan mangrove di Indonesia adalah 35.1 % di Irian Jaya, 20.6 % di Kalimantan Timur, 9.6 % di Sumatera Selatan, dan daerah lainnya kurang dari 6 % (Kusmana, 1995).
Pada dasarnya hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik, karena ekosistem mangrove memadukan dua tipe ekosistem yaitu ekosistem daratan dan lautan. Selain sebagai suatu ekosistem yang unik, hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting, baik dari aspek sosial, ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis binatang dan turnbuhan serta manusia yang hidup bergantung pada hutan mangrove. Disamping itu, hutan mangrove juga mempunyai berbagai peranan lingkungan yang penting, baik terhadap lahan, satwa liar maupun perikanan serta dimanfaatkan manusia untuk memperoleh hasil alam (Anwar, Damanik, Hisyarn dan Whitten, 1984). Menurut Saenger, Hegerl dan Davies (1981), selain mempunyai peran yang penting untuk keludupan, ekosistem hutan mangrove mempunyai beberapa fungsi,
2
yakni : (1) h g s i fisik meliputi menjaga garis pantai agar tetap stabil, mempercepat perluasan lahan, melindungi pantai dan tebing sungai, mengolah limbah; ( 2 ) fungsi biologis atau ekologis meliputi tempat bersarangnya burungburung besar, habitat alami bagi banyak jenis biota, daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah perlindungan (shelferarea) bagi biota perairan; dan (3) fungsi
ekonomi meliputi keberadaan tambak, tempat pembuatan garam, rekreasi, kayu dan balok. Walaupun telah disadari, bahwa hutan mangrove mempunyai peran dan fungsi penting, akan tetapi kondisi hutan mangrove saat ini telah mengalami banyak kerusakan. Kusmana (1991) menyebutkan, bahwa kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yakni faktor alam dan faktor manusia. Dari faktor alam kerusakan tersebut dapat terjadi melalui pengaruh proses selmentasi maupun kenaikan pennukaan air laut. Adapun dari faktor manusia, kerusakan yang terjadi merupakan akibat perilaku manusia itu sendiri seperti aforestasi, reforestasi dan eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali serta pencemaran di perairan estuaria pantai dan lokasi tumbuhnya mangrove. Menurut Dahuri (1996), ada beberapa faktor yang dapat mengancam kelestarian mangrove yaitu : ( 1 ) tanah timbul dan tanah tenggelam; (2) masalah sosialekonomi dan kesadaran masyarakat; (3) penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak; (4) kegiatan pembangunan di darat; (5) kegiatan pembangunan di laut; dan (6) lemahnya pengelolaan hutan mangrove. Dari keenam faktor tersebut maka faktor penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak memberikan kontribusi terbesar bagi penurunan luas dan kerusakan ekosistem
3
mangrove. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (P30) LIPI dan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) LAPAN (2000) yang memperlihatkan adanya penurunan luas hutan mangrove sejalan dengan adanya pertambahan luas pertambakan. Data Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian tahun 1990 luas tambak mencapai 269 000 ha dan tahun 1998 sebesar 340 000 ha, yang berarti meningkat sebesar 71 000 ha atau 26.4 %. Peningkatan tersebut tentunya akan mengakibatkan terjadinya konversi lahan-lahan mangrove yang ada di Indonesia. Selanjutnya, penelitian P30 LIPI dan Pusfatja LAPAN (2000) juga menunjukkan, bahwa rasio hutan mangrove dengan tarnbak & pesisir utara Pulau Jawa telah cukup mengkhawatirkan. Hal ini diduga karena hutan mangrove yang ada sudah tidak dapat lagi menjaga keseimbangan lingkungan pantai. Hasil penelitian tersebut menunjukkan rasio hutan mangrove dengan tambak di pesisir utara Jawa Barat dan DKI sebesar 16 % : 84 %, di pesisir utara Jawa Tengah 3 % : 97 %, dan di pesisir utara Jawa Timur sebesar 27 % : 73 %. Pada prinsipnya konversi hutan mangrove menjadi pertambakan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu tambak terbuka dan tambak hutan. Sistem tambak terbuka merupakan suatu sistem tambak dengan hutan mangrove seluruhnya ditebang, sehingga lahan pertambakan terbuka dari lingkungannya, baik lingkungan laut maupun lingkungan darat. Sistem ini praktis dilakukan, namun secara ekologi sangat merugikan lingkungan sekitarnya. Hal ini terjadi karena sistern tambak terbuka akan mengakibatkan terganggunya mata rantai utama jaringan makanan bagi biota akuatik. Disamping itu, terdapat kecenderungan terjadinya pencemaran dari sistem tambak terbuka akibat
4
intensifikasi sistem tambak tersebut. Sistem tambak hutan dapat diartikan sebagai suatu sistem pertambakan yang mengkombinasikan konservasi hutan mangrove dengan pembukaan lahan tambak. Salah satu bentuk dari hutan tambak adalah sistem turnpangsari atau silvofishery. Contoh lain adalah pembukaan tambak di lahan belakang jalur hijau mangrove. Dalam ha1 ini beberapa keuntungan yang didapat dari penggunaan hutan tambak adalah : (1) terjaganya prinsip kelestarian hutan mangrove; (2) biaya perrnudaan mangrove relatif murah; (3) ter'bentuknya sarana pengangkutan dari saluran-saluran bekas pemeliharaan ikan; dan (4) dapat memberi kehidupan yang lebih layak kepada penduduk setempat. Walaupun sistem hutan tambak seperti yang telah dijelaskan diatas memiliki berbagai keuntungan yang lebih tinggi, baik secara ekologis maupun ekonomi, namun implementasinya masih perlu dikaji lebih mendalam lagi. Salah satu faktor yang perlu dikaji adalah rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove yang optimum secara ekologi dan ekonomi. Perum Perhutani (1988) menentukan rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove sebesar 20 : 80, yang berarti daerah hutan mangrove yang boleh dikonversi hanya sekitar 20 % dari luas hutannya. Penelitian Meilani (1996) tampaknya sejalan dengan ketentuan Perum Perhutani (1988) yang mendapatkan rasio empang parit dengan hutan mangrove sebesar 20 : 80. Penelitian Zuna (1998) menghasilkan rasio empang parit dengan hutan mangrove sebesar 54 % luasan empang parit dan 46 % luasan hutan mangrove. Dilihat dari hasil penetapan kedua rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove tersebut tampak adanya perbedaan nilai yang cukup besar. Penetapan menurut Perum Perhutani (1988) maupun Meilani (1996) menekankan pada aspek
5
konservasi, sedangkan Zuna (1998) mencoba melihat dari sisi aspek ekologr dan ekonomi yang walaupun masih dalam lingkup terbatas, tetapi sudah mengkaji aspek teknis penerapan di lapangan yang lebih memungkinkan, Untuk itu, tampaknya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove yang optimum di berbagai tempat, sehingga didapatkan rasio yang secara ekologi masih cukup baik tetapi secara ekonomi layak untuk diusahakan.
Permasalahan Seperti telah dijelaskan, bahwa hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam di daerah pesisir yang potensial untuk dimanfaatkan. Namun pemanfaatannya hams dilakukan secara optimum, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove tersebut. Pola tambak tumpangsari dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang cukup baik dalam pemanfaatan hutan mangrove secara optimum. Sistem empang parit merupakan salah satu bentuk pola tambak tumpangsari yang diyakini merupakan alternatif terbaik dalam prakteknya di lapangan. Secara umum bentuk sistem empang parit adalah parit-parit empang selebar
5 m dari tanggul yang mengelilingi hutan mangrove clan panjang parit disesuaikan dengan keadaan luasan hutan yang direboisasi. Dengan mengikuti ketentuan ini maka rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove akan berkisar 20 : 80, yaitu 20 % luasan empang parit dan 80 % luasan hutan mangrove. Namun demikian dalam kenyataannya rasio tersebut sulit diterapkan bahkan seringkali terjadi penylmpangan pembukaan lahan mangrove yang jauh Iebih besar dari 20 %. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memperoleh rasio yang dianggap
6 optimum untuk diterapkan di lapangan. Akan tetapi ternyata hasil penelitian seperti yang dilakukan Meilani (1996) dan Zuna (1998) menunjukkan perbedaan nilai rasio yang cukup besar. Perbedaan yang terjadi tersebut lebih banyak Qtentukan oleh pendekatan yang berbeda dalam melakukan penelitian rasio antara empang parit dengan lahan berhutan mangrove. Dalam ha1 ini ada dua pendekatan yang sering digunakan untuk menentukan rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove optimum, yaitu pendekatan konsewasi ekosistem mangrove dan pendekatan ekonomi. Masing - masing pendekatan mempunyai kekuatan dan kelemahan, namun jarang sekali keduanya diteliti secara bersama-sama sehingga hasilnya akan lebih baik dan sesuai dengan konsep pengelolaan hutan mangrove lestari. Dengan demikian diperlukan gabungan pendekatan ekologi dan ekonomi agar hasilnya mendekati optimum. Pendekatan ini dapat diartikan sebagai pendekatan ekologi dan ekonomi. Secara m u m pendekatan ekologi dan ekonomi merupakan suatu pendekatan gabungan dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional tennasuk hutan mangrove. Pendekatan ini secara bersama-sama menggunakan parameter ekologi dan parameter ekonomi untuk menentukan nilai optimum dari keduanya. Akan tetapi, seperti yang disinyalir oleh Kusmana (1996), bahwa data dasar ekologi ternyata terbatas. Disamping itu, data ekonomi mangrove yang terkumpul ternyata juga masih tergolong kurang lengkap. Untuk itu diperlukan pengurnpulan data ekologi dan ekonomi secara serempak untuk menentukan rasio empang parit dengan luasan hutan mangrove yang optimum. Untuk itu pennasalahan mendasar adalah : 1. Bagaimana karakteristik parameter ekologi pada berbagai rasio empang parit dengan luasan hutan mangrove yang berbeda.
7
2. Bagaimana kondisi kelayakan ekonomi pada berbagai rasio empang parit dengan luasan hutan mangrove yang berbeda. 3. Berapakah nilai optimum dari rasio empang parit dengan luasan hutan
mangrove.
Kerangka Pemikiran Prinsip dasar dari pola tambak tumpangsari empang parit adalah melindungi vegetasi hutan mangrove sekaligus memberikan hasil lain dari segi perikanan. Dengan demikian &lam pola tambak tumpangsari empang parit dikandung dua nilai sekaligus yaitu nilai ekologi dan nilai ekonomi. Secara ilmiah nilai ekologi dari suatu hutan mangrove dapat diukur dari beberapa komponen yaitu komponen vegetasi, guguran serasah, kualitas tanah, kualitas air maupun biota air. Adapun nilai ekonomi dari hutan mangrove tersebut dapat diukur dari aspek finansialnya untuk menentukan kelayakan usaha yang dijalankan. Selanjutnya dari dua parameter tersebut (ekologi dan ekonomi) dapat disusun suatu skenario optimisasi rasio empang parit dengan luasan hutan mangrove, yang secara ekolog ekosistem mangrove relatif stabil sekaligus secara ekonomi layak untuk diusahakan. Optimisasi yang ditemukan diharapkan dapat menjadi arahan yang tepat dalam pemanfaatan hutan mangrove yang lestari. Secara diagrarnatik kerangka pemikiran tersebut diperlihatkan pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : a. Mengkaji beberapa aspek ekologi seperti persentasi hidup semai, guguran serasah, kesuburan tanah, kualitas air, kelimpahan plankton dan bentos serta persentase hidup ikan dalam hubungannya dengan produksi ikan bandeng pada sistem tambak turnpangsari pola empang parit.
k Hutan Mangrove
Tambak Turnpangsari Pola Empang Parit r
I
- -
I
I
Nilai Ekologi
I
Nilai Ekonomi
I Vegetasi
Serasah
Analisis Finansial
I Net Present Value
I
Benefit Cost Ratio
Internal Rate o fReturn
I
1
Ekologi - Ekonomi
I I
Rasio Empang Parit dengan Luasan Mangrove yang Optimum
I
Hutan Mangrove Lestari
I
I I
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian b. Mengkaji kelayakan ekonomi terutama kelayakan finansial dari tambak
turnpangsari pola empang parit.
c. Menentukan rasio antara empang parit dengan lahan berhutan mangrove yang optimum dengan rnemaksimumkan parameter ekologi dan ekonomi.
9
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna dalam upaya pengelolaan hutan mangrove dengan sistem tambak turnpangsari secara lestari terutama dalam upaya : a. Penetapan pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan tambak turnpangsari. b. Penentuan luas daerah penanaman atau reboisasi hutan mangrove oleh Perum Perhutani maupun masyarakat.