BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perang terbuka telah lama usai namun ancaman ranjau antipersonil dari sisa-sisa peperangan tidak seketika terhapus bersamaan dengan berakhirnya perang itu sendiri. Ancaman-ancaman dari ranjau antipersonil yang mengancam hak hidup warga sipil membuat International Committee of the Red Cross (ICRC) mulai mengumpulkan tentang data warga sipil yang menjadi korban dari ranjau antipersonil pada tahun 1990an. Hal tersebut dilakukan oleh ICRC untuk memberikan bukti nyata mengenai ancaman yang ditimbulkan oleh ranjau antipersonil bagi kelangsung hidup warga sipil. Selanjutnya, ICRC tidak berjalan sendiri pada tahun 1992 International Campaign To Ban Landmines (ICBL) sebagai jaringan yang bekerjasama dengan ICRC untuk mencari data mengenai ranjau antipersonil agar dapat menyadarkan Negara-negara internasional mengenai ancaman yang ada. Tercacat setiap tahunnya ranjau antipersonil menelan korban sekitar 15.000-20.000 orang di dunia1. Sedangkan menurut International Campaign to Ban Landmine (ICBL) setiap harinya ranjau antipersonil menelan sekitar 10 korban yang artinya setiap tahun ranjau antipersonil menelan sekitar 4.000 korban2. Setelah perjuangan mencari bukti nyata untuk meyakinkan Negara-negara internasional agar memberikan dukungan terhadap gerakan pelarangan penggunaan ranjau antipersonil maka ICRC dan ICBL tidak berdiri sendiri dan kedua organisasi non government ini mulai mendapat dukungan pertamanya dari Negara terkuat didunia yaitu Amerika Serikat. Amerika Serikat merupakan Negara pertama yang menyerukan mengenai penghapusan penggunaan ranjau antipersonil di PBB pada bulan September 1994, hal itu disampaikan pada saat Amerika Serikat masih di bawah pemerintahan Clinton. Dengan mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, Kanada dan organisasi-organisasi non government lainnya, maka pada tahun 1997 sepakat di adakan Konvensi pertama mengenai larangan penggunaan ranjau antipersonil, konvensi tersebut di kenal dengan sebutan Konvensi Ottawa yang tujuan utama dalam Konvensi
1
diakses pada 12 September 2015. 2 diakses pada 12 September 2015.
tersebut adalah pelarangan penggunaan, pengembangan, penimbunan maupun transfer ranjau antipersonil3. Tidak hanya sebagai Negara pertama yang menyuarakan penghapusan penggunaan ranjau antipersonil, sejak tahun 1993 AS telah menjadi Negara penyumbang dana terbesar dengan jumlah lebih dari 2.4 milyar USD. Sumbangan tersebut disebarkan ke lebih dari 90 Negara untuk membantu Negara-negara didunia dalam proses pembersihan dan penghancuran ranjau antipersonil yang masih aktif dan tersebar diseluruh dunia4. Dalam Konvensi pertama ini Negara-negara internasional secara sukalera menghadiri Konvensi ini untuk bernegosiasi mengenai perjanjian apa yang akan ada dalam Konvensi ini. Konvensi ini menghasilkan beberapa poin utama pada pasal 1 mengenai ranjau antipersonil dan Negara-negara yang terlibat dalam perjanjian ini. Dalam pasal ini Negara-negara anggota harus berusaha agar tidak terlibat dalam penggunaan, pengembangan, produksi, pembelian dan penimbunan ranjau antipersonil serta Negara-negara yang masih memiliki ranjau antipersonil harus melakukan pembersihan dan penghancuran ranjau-ranjau tersebut5. Pada tahun 1997 bulan Desember Konvensi ini dibuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Negara-negara yang terlibat. Laporan pada tahun 2006 sekitar 149 Negara didunia telah meratifikasi perjanjian tersebut, dengan kata lain tinggal 45 Negara lagi yang belum meratifikasi perjanjian internasional ini6. Untuk saat ini laporan terakhir yang di dapatkan pada tahun 2009 tinggal beberapa Negara lagi yang belum meratifikasi perjanjian tersebut, Negara-negara tersebut antara lain Amerika Serikat, India, Cina dan Rusia7. Sebuah pertanyaan ketika begitu banyak Negara-negara internasional yang telah meratifikasi Konvensi Ottawa namun Negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, Cina dan Rusia justru tidak ikut meratifikasi Konvensi Ottawa. Amerika Serikat sebagai salah satu Negara pelopor pelaksanaan Konvensi Ottawa justru merupakan salah satu Negara yang menolak untuk meratifikasi Konvensi Ottawa, tidak hanya
3
Banning Anti-Personnel Mines the OttawaTreaty Explained. International Committee of the Red Cross Mines-Arms Unit 19 Avenue de la Paix 1202 Geneva,Switzerland. ICRC,1998. Hlm 1. 4 The US Department of State reported that in fiscal year 2014 it provided more than $140 million in Conventional Weapons Destruction assistance (including mine action, and destruction and security of small arms, light weapons, and conventional munitions)., Form B. Diakses pada 4 Februari 2016. 5 Konvensi tentang Pelarangan Penggunaan, Penimbunan, Produksi dan Pengiriman Ranjau Anti-personil dan tentang Penghancurannya, 18 September 1997. Dalam . 6 diakses pada 12 September 2015. 7 diakses pada 22 September 2015.
sebagai pelopor AS juga sebagai Negara penyumbang terbesar dalam pendanaan untuk membantu penghancuran ranjau antipersonil yang tersebar dihampir seluruh Negara didunia ini. Pasca penolakan ratifikasi oleh AS pada Konvensi tahun 1997, pada tahun 2004 dimasa pemerintahan Bush, Bush kembali menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan bergabung dalam Konvensi Ottawa8. Padahal seperti yang kita ketahui Amerika Serikat merupakan salah satu Negara yang mempelopori diadakannya Konvensi Ottawa. Laporan terakhir yang didapatkan pada masa-masa pertama jabatan Obama, Obama masih menyatakan akan melanjutkan keputusan Presiden Bush yaitu penolakan ratifikasi Konvensi Ottawa. Namun, laporan terakhir yang didapatkan pada tahun 2014, AS melalui presiden Obama telah menyatakan bahwa AS sedang dalam proses untuk menyepakati perjanjian ini melalui pernyataan Obama “We’re going to continue to work to find ways that would allow us to ultimately comply fully and accede to the Ottawa Convention”9. Tetapi kenyataan yang ada, sampai saat ini memasuki tahun 2016 AS belum kembali mengupdate tentang kebijakan pihak AS mengenai perjanjian ini. Melihat perkembangan Amerika Serikat selama 19 tahun sejak 1997-2016 dimana telah terjadi tiga kali pergantian presiden dan keputusan yang diambil terhadap Konvensi Ottawa masih sama yaitu masih menolak untuk meratifikasi Konvensi, maka penulis tertarik untuk menemukan jawaban di balik alasan Amerika Serikat yang belum meratifikasi Konvensi tersebut dan menggantungkan kebijakannya selama 19 tahun. Penulis kemudian tertarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang membuat Amerika Serikat memutuskan untuk belum meratifikasi perjanjian ini. Kenapa kemudian penelitian ini ada karena penelitian ini akan berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, selain melihat faktor-faktor luar yang mempengaruhi keputusan AS, penelitian ini akan memfokuskan pembahasan mengenai negosiasi yang terjadi pada tiga era kepemimpinan yaitu dimulai pada masa kepemimpinan Presiden Willian Jefferson Clinton atau lebih dikenal dengan Bill Clinton sejak tahun 1993-2001 yang kemudian dilanjutkan pada masa kepemimpinan Presiden George Walker Bush Jr sejak tahun 2001-2009 dan yang terakhir pada masa kepemimpinan Presiden Barack Hussein Obama pada tahun 2009-sekarang. Ada
8
President Obama: Join the Treaty to Ban LandminesPosted: 04/04/2012 5:58 pmEDT Updated: 06/04/2012 5:12 am EDT. diakses pada 26 september 2015. 9 Office of the Press Secretary, “Remarks by the President at Clinton Global Initiative,” The White House, 23 September 2014.Dalam Diakses pada 4 Februari 2016.
kesinambungan yang terjadi pada ketiga era ini dalam merespon Konvensi Ottawa yaitu samasama masih menolak untuk meratifikasi, namun dibalik kesinambungan tersebut ada pergulatan lain yang harus dihadapi. Oleh karena itu penelitian ini akan memperjelas faktor-faktor apa yang mempengaruhi penolakan ratifikasi Konvensi Ottawa dan bagaimana faktor tersebut berbeda di tiga era yaitu pada era Clinton, Bush dan Obama.
1.2 Rumusan Masalah Mengapa Amerika Serikat menolak meratifikasi perjanjian larangan penggunaan ranjau antipersonil sejak tahun 1997-2015?
1.3 Tinjauan Pustaka Konvensi Ottawa atau lebih dikenal dengan The Convention on the Prohibition of the Use, Stockpiling, Production and Transfer or Anti-Personnel Mines adalah konvensi yang terdiri dari pasal yang sangat minim yaitu 22 pasal, namun dalam pasal-pasal tersebut tergambar jelas obligasi dan presisi demi mengikat komitmen setiap Negara-negara terlibat. Setiap Negara terlibat menyatakan setuju bahwa tidak akan pernah menggunakan dalam keadaan apapun, mengembangkan, memproduksi, memperoleh, mempertahankan ataupun mentransfer ranjau antipersonil10, yang terpenting dalam konvensi ini adalah kesediaan para Negara terlibat untuk memberikan bantuan bagi warga atau masyarakat yang terkena ranjau antipersonil11. Adanya pandangan-pandangan umum dari Epistemic Community mengenai betapa bahanyanya ancaman ranjau antipersonil baik dari sisi kemanusiaan, kesehatan dan keamanan masyarakat, akhirnya menarik NGO seperti ICBL International Campaign to Ban Landmine yang memutuskan untuk melakukan pergerakan dalam penolakan penggunanaan ranjau antipersonil dan akhirnya melahirkan Konvensi Ottawa pada tahun 1997. Lebih jauh dalam tulisan Chairul Bariah S.H mengenai mengapa penggunaan ranjau antipersonil tidak diperbolehkan lagi, Bariah mencoba melihat larangan itu dengan melihat dari sisi Weapon Convention 1980, dalam Konvensi ini telah tercantum Protocol on Prohibitions or Restriction on the use of Mines, Booby-traps and other
10
Convention on the Prohibition of the Use, Stockpiling, Production and Transfer or Anti- -Personnel Mines and on Their Destruction, Article 1. Dalam “Universalization of the Convention on the Prohibition of Antipersonnel Mines-its Foundations, Current Status and the Future” Toma Galli, LL.B. Hlm.355 (2007). 11 Ibid. Hlm 356.
Devices yang terdapat pada Protokol II, pada protokol II terdapat pasal 2, yang pasal ini mengatur beberapa pengertian penting mengenai ranjau, antara lain, “ranjau boobytraps, alat-alat (devices) lain, obyek militer, obyek sipil dan recording. Ranjau dirumuskan sebagai setiap munisi yang ditempatkan di bawah, di atas tanah dan dibuat supaya, dapat diledakkan/meledak apabila didekati atau disentuh oleh manusia atau kendaraan. Booby-traps adalah setiap alat atau material yang dirancang, dibangun atau disesuaikan untuk membunuh atau melukai dan yang bekerjanya secara tidak terduga apabila seseorang mengganggu (disturbs) atau mendekati obyek yang tampaknya tidak berbahaya atau melaksanakan suatu perbuatan yang tampaknya tidak membahayakan (apparently safe act)”
Protokol II ini diharapkan menjadi salah satu perangkat hukum tentang penggunaan senjata dalam pertempuran termasuk penggunaan ranjau antipersonil agar Negara-negara pengguna ranjau antipersonil dapat menggunakan senjata tersebut sesuai dengan peraturan yang ada namun pada kenyataannya Negara-negara di dunia belum sepenuhnya menaati ketentuan tersebut malah penggunaannya semakin merajalela,12 bahkan dari beberapa Negara yang terlibat dalam konvensi masih ada juga Negara yang menolak untuk menandatangani perjanjian padahal Negara-negara dunia telah mengetahui betapa ranjau antipersonil telah banyak memberikan kesengsaraan bagi korban. Salah satu Negara yang belum meratifikasi Konvensi Ottawa adalah AS. AS sebagai Negara yang cenderung bersifat realis selalu membuat kebijakan internasional yang mengutamakan kepentingan Negaranya. Dalam setiap proses pembuatan keputusan, AS selalu melibatkan dua badan didalam pemerintahannya yaitu eksekutif (presiden) dan legislatif (kongres). Presiden atau eksekutif dapat membuat kebijakan luar negeri melalui; responses to foreign events, proposals for legislation, negotiation of international agreements, policy statements, policy implementations, and independent action. Dalam setiap pembuatan kebijakan luar negeri AS bukan hanya presiden saja yang berhak mengambil keputusan tetapi kongres juga memiliki peran besar dari proses pembuatan kebijakan luar negeri. Kongres terlibat dan dapat membuat kebijakan luar negeri melalui; resolutions and policy statements, legislative directives, legislative pressure, legislative restrictions/funding denials, informal advice, and congressional oversight13.
Chairul Bariah.,“Penggunaan Ranjau Darat Ditinjau dari Conventional Weapons Convention 1980” dalam Digitized by USU digital library 2003 . Hlm. 4. 13 Bambang Cipto. 2007. Politik dan Pemerintahan Amerika.Yogyakarta : Lingkaran Buku. 12
AS merupakan Negara besar yang keterlibatannya dalam sebuah konvensi atau perjanjian memang sangat diperhitungkan. Ada beberapa konvensi yang diratifikasi dan ada pula yang belum diratifikasi contohnya Konvensi Ottawa dan konvensi Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (CTBT). CTBT adalah traktat mengenai pelarangan uji coba nuklir secara menyeluruh oleh semua orang, dimana saja berada, di permukaan bumi, di atmosfir, di air maupun di tanah14. Perjanjian ini telah dinegosiasikan sejak tahun 1994-1996. 183 Negara telah menandatangani perjanjian ini termasuk AS,namun AS hanya menandatangani tanpa meratifikasi, dari 183 Negara yang menandatangani 164 Negara meratifikasi namun Negara-negara yang justru memiliki nuklir dalam jumlah besar belum meratifikasi perjanjian ini diantaranya Cina, Mesir, India, Iran, Israel, Korea Utara, Pakistan dan Amerika Serikat15. Dalam jurnal Jofi Joseph dengan judul “Renew the Drive for CTBT Ratification” Joseph bercerita tentang bagaimana proses ratifikasi yang rumit yang harus dijalani oleh AS. Dalam tulisan ini Joseph mengindikasikan bahwa pihak pembuat keputusan AS yaitu presiden Barack Obama berusaha agar ia bisa meratifikasi traktat ini dengan alasan bahwa dengan meratifikasi maka Obama ingin menunjukkan komitmen pemerintah AS untuk melakukan kerjasama multilateral dan dengan ini Obama ingin menunjukkan bahwa AS berkomitmen untuk memperbaiki kegagalan yang pernah terjadi pada masa Nuclear Proliferation Treaty (NPT)16. Namun keinginan Obama untuk meratifikasi CTBT bertolak belakang dengan keputusan para senat dan partai oposisi yang menolak untuk meratifikasi CTBT karena kepemilikan nuklir AS. Jika AS memutuskan untuk meratifikasi maka akan ada batasan-batasan terhadap nuklir AS dan ada keyakinan dari Senat bahwa suatu saat proses uji coba nuklir akan dibutuhkan oleh nuklir, jadi jika AS meratifikasi CTBT maka suatu saat nanti AS tidak bisa melakukan uji coba nuklir17. Proses penolakan ini kemudian menunjukkan ke kita bahwa sebuah pembuatan kebijakan luar negeri yang diambil oleh sebuah Negara pasti dipengaruhi oleh faktor domestik dan internasional, dalam tulisan Joseph, Joseph menggambarkan bahwa faktor domestik yaitu tekanan dari senat AS yang akhirnya membuat presiden Obama belum bisa meratifikasi perjanjian CTBT, walaupun
14
diakses pada 24 November 2015. Ibid. 16 Jofi Joseph “Renew the Drive for CTBT Ratification”. Center for Strategic and International StudiesThe Washington Quarterly : 2009. Hlm. 81. 17 Ibid. 15
sebenarnya Obama sesungguhnya ingin meratifikasi perjanjian tersebut namun Obama harus memperhatikan dan mempertimbangkan faktor domestik yang ada. Selain AS, Kanada juga menjadi salah satu Negara yang menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto, pada e-jurnal ilmu hubungan internasional Universitas Mulawarman yang disusun oleh Ike Anggi Yulianto dengan judul “Pengunduran diri Kanada dari Protokol Kyoto” penulis menyebutkan bahwa sebelumnya pada 20 April 1998 Kanada telah menandatangani Protokol Kyoto18 namun kemudian Kanada mengubah keputusannya dan secara resmi pada 12 Desember 2011 pihak Kanada menyatakan keluar dari Protokol Kyoto. Menurut jurnal ini ada dua faktor yang mempengaruhi kanada sehingga kanada memutuskan untuk mengundurkan diri, sama halnya dengan AS dua faktor pengunduran Kanada adalah karena faktor domestik dan faktor internasional, Faktor domestik antara lain didasari faktor Lingkungan, Kondisi Geografis & Alam Kanada, Lingkungan Non-Manusia, Ekonomi Kanada, Proses Politik – Perubahan Kepemimpinan Partai dalam Pemerintahan Kanada, Kegagalan Kanada dalam Mencapai Target Protokol Kyoto, faktor internasionalnya antara lain, faktor Institusi Internasional – Protokol Kyoto danKondisi internasional - Persaingan Ekonomi dengan Negara-negara Anggota NAFTA19. Meskipun banyak Negara-Negara yang belum menandatangani maupun meratifikasi Konvensi Ottawa namun telah banyak juga Negara-negara yang meratifikasi konvensi initercatat pada 24 may 1999 sekitar 195 Negara ikut berpartisipasi, namun jenis partisipasi dari NegaraNegara tersebut berbeda-beda ada yang langsung meratifikasi, ada yang cuma menandatangani dan ada juga belum menandatangani. Sedikit mengejutkan jika dilihat dari sisi Negara anggota Uni Eropa, sebagian besar Negaranegara anggota Uni Eropa telah meratifikasiKonvensi Ottawa 20, tercatat dalam laporan pada tahun 1999 Negara-negara anggota Uni Eropa seperti Prancis, Inggris, Italia dan Jerman. Banyaknya Negara-negara anggota Uni Eropa yang mendukung pelarangan ranjau antipersonil menarik perhatian seorang penulis bernama David Long yang mengaggap bahwa terdapat kesulitan yang dialami oleh Uni Eropa dalam proses pelarangan ranjau antipersonil ini. Oleh karena itudalam jurnal Europ Public Policy yang berjudul The European Union and the Ottawa Process to Ban
18
<www.laws-lois.justice.gc.ca> diakses pada 3 November 2015. Anggi Ike Yulianto., “Pengunduran Diri Kanada dari Protokol Kyoto” dalam eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (3): 793-806. 20 Landmine Monitor Report dalam <www.the-monitor.org/> 1999 oleh International Campaign to Ban Landmine. 19
Landmines, David Long mencoba melihat bagaimana hubungan antara Uni Eropa dengan Konvensi Ottawa dan bagaimana kesulitan yang dihadapi oleh UE dalam proses pelarangan ranjau antipersonil dengan kondisi dimana beberapa Negara besar yang tergabung dalam UE telah meratifikasi perjanjian tersebut namun disisi lain ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan oleh UE dalam pengambilan keputusan untuk pelarangan ranjau antipersonil21. Dalam tulisannya Long menyatakan bahwa UE pelan-pelan kehilangan perannya dalam proses Ottawa, pecahnya suara antara Negara-negara anggota UE membuat UE mengalami kesulitan dalam proses Ottawa, apakah UE akan menyetujui dan mendukung konvensi tersebut yang artinya UE mendukung beberapa Negara anggota UE namun secara otomatis berarti UE melawan Negara-negara anggota UE yang tidak menandatangani Konvensi Ottawa. Menurut Long, posisi Negara-negara anggota pada umumnya dipengaruhi oleh kampanye yang terjadi dalam Negaranya sendiri, dengan kata lain posisi UE pada Ottawa dipengaruhi oleh kampanye-kampanye domestik yang menyatakan pro pada pelarangan ranjau antipersonil. Sedangkan posisi UE didapatkan dari penggabungan Negara-negara anggota melalui proses negosiasi intergovermental22. Lebih jauh menurut Long posisi UE pada larangan ranjau antipersonil sebenarnya sangat dipengaruhi oleh tawar menawar antara pemerintah, kemudian posisi tawar menawar ini didukung dengan adanya faktor institusional seperti council presiden, pertemuan-pertemuan antara grup kerja dan negosiasi intra UE sehingga semakin melancarkan keberadaan setiap kesepakatan yang ada23. Dalam pergerakan UE pada kampanye ranjau antipersonil ini UE diibaratkan sebagai “dinosaurus” yang lambat karena hal ini maka Poisis UE kemudian dipertanyakan dalam proses Ottawa, hilangnya suara UE pada awal 1997 membuat krisis untuk Ottawa dan juga UE. Kampanye ranjau antipersonil menciptakan norma dimana norma UE yang ada dalam konsensus dan solidaritas kalah dari norma kemanusiaan yang di advokasi oleh kampanye yang sebagian anggota. Dari penjelasan diatas Long mengambil kesimpulan bahwa UE dapat dikatakan sebagai faktor penting dalam gerakan global yang mendukung larangan penggunaan ranjau antipersonil namun David Long, “The European Union and the Ottawa Process to ban landmines” Journal of European Public Policy 9:3 June 2002. 22 Ibid. Hlm 444. 23 Ibid. 21
UE bukan merupakan aktor penting24. Juga dapat ditarik kesimpulan bahwa posisi UE dalam proses Ottawa sebenarnya dipengaruhi secara masiv oleh dukungan dan kesepakatan Negaranegara anggota UE yang sejak awal telah meratifikasi Konvensi Ottawa. Selain dari UE dari Asia Tenggara ada Indonesia yang juga telah meratifikasi Konvensi Ottawa pada tahun 2006, sebelumnya pada 1997 Indonesia hanya menandatangani namun pada tahun 2006 lalu Indonesia akhirnya memutuskan untuk meratifikasi Konvensi tersebut. Dalam tulisan Budi Hartanto “Analisis teori Pilihan Rasional Diplomasi Pertahanan Indonesia dalam Rezim Internasional Mine Ban Treaty”, Hartanto mencoba melihat ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Ottawa dengan menggunakan teori rasional aktor melihat cost and benefit yang didapatkan oleh Indonesia atas ratifikasi Konvensi Ottawa. Menurut Hartanto dilihat secara normatif bahwa Indonesia meratifikasi konvensi ini karena Indonesia ingin mengakhiri penderitaan dan korban yang terkena ranjau antipersonil terutama korban warga sipil. Dilihat dari sisi cost Konvensi Ottawa tentu akan membatasi gerak Indonesia dalam penggunaan, produksi maupun transfer ranjau antipersonil namun hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Indonesia karena dari segi jumlah ranjau antipersonil yang dimiliki oleh Indonesia memang tidak besar, selain itu ranjau yang dimiliki oleh Indonesia pada umumnya hanya digunakan sebagai alat untuk latihan oleh militer Indonesia. Oleh karena itu dari sisi cost Indonesia tidak mengalami kerugian sama sekali. Dilihat dari sisi benefit, menciptakan citra baik Indonesia dimata dunia sebagai salah satu Negara yang melindungi hak asasi manusia25. Sedikit berbeda dengan tulisan Joseph yang menyatakan bahwa ada perbedaan pendapat yang terjadi antara pembuat keputusan dan senat di AS, dimana pembuat keputusan ingin meratifikasi perjanjian CTBT namun pihak senat tidak menyetujui hal tersebut, hal ini kemudian memunculkan polemik dalam ranah pemerintahan AS, namun hal utama yang bisa kita lihat adalah bahwa pengaruh domestik merupakan hal yang juga ikut andil dalam sebuah proses pembuatan kebijakan internasional. Begitu pula dengan tulisan Long David yang menunjukkan bagaimana Uni Eropa pada awalnya berkeberatan untuk meratifikasi Konvensi Ottawa namun berubah haluan ketika Negara-
24
Ibid. Hlm. 445. Budi Hartanto “Analisis Teori Pilihan Rasional Diplomasi Pertahanan Indonesia dalam Rezim Internasional Mine Ban Treaty”., Dalam diakses pada 19 oktober 2015. 25
negara anggota Uni Eropa cenderung mendukung untuk meratifikasi Konvensi Ottawa, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan sebuah Negara memang dipengaruhi oleh dukungan dari Negara lain, hal ini juga dipengaruhi oleh alasan-alasan lain, hal ini dijadikan penulis sebagai rujukan bahwa keputusan AS tentunya dipengaruhi oleh dukungan atau kebijakan Negara-negara bagian AS. Dilihat dari tulisan Budi Hartanto mengenai kenapa Indonesia mau meratifikasi Konvensi Ottawa membuktikan bahwa ada hal-hal positiv yang mempengaruhi sehingga Indonesia mau meratifikasi. Hal ini akan menjadi acuan bagi penulis untuk melihat lebih jauh mengapa AS menolak meratifikasi padahal jika meratifikasi tentu akan ada hal-hal positiv yang didapatkan oleh AS. Sedangkan tulisan Chairul Bariah mengenai kajian ranjau antipersonil dalam Weapon Convention menunjukkan posisi tulisan ini, bahwa tulisan ini pantas untuk dikaji mengingat betapa ancaman yang diberikan oleh ranjau darat merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi warga sipil sehingga tulisan ini diharapkan akan menjadi kajian yang bermanfaat bagi pendidikan. Meskipun kajian ini telah banyak dikaji oleh penulis-penulis terdahulu namun kajian ini kemudian lebih memfokuskan pada alasan mengapa AS menolak untuk meratifikasi Konvensi Ottawa. Berdasarkan tinjaun pustaka ini, maka dapat disimpulkan bahwa tulisan ini berusaha untuk menjawab mengapa AS masih menolak untuk meratifikasi konvensi Ottawa, meskipun telah banyak tulisan-tulisan yang juga mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan mengapa AS menolak meratifikasi konvensi-konvensi internasional lainnya, namun tulisan ini berbeda karena tulisan ini mencoba melihat alasan AS menolak ratifikasi lebih dalam dengan melihat bagaimana pergolakan politik yang terjadi pada tiga era Presiden AS yaitu sejak era Clinton, Bush Jr hingga kini yaitu Obama.
1.4 Kerangka Pemikiran Penolakan ratifikasi yang dilakukan oleh AS atas Konvensi Ottawa merupakan bagian dari politik internasional sebuah Negara. AS sebagai negara adikuasa tidak terlepas dari kebijakan internasional yang harus dibuat oleh karena itu terdapat lima komponen yang menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS. Mempertahankan Integritas Negara. Konsep kesatuan nasional dalam negeri meliputi pengelolaan, pengawasan, dan pengaturan wilayah dari satu Negara termasuk mengurus warga Negara di dalam dan di luar negeri. Meningkatkan kepentingan
ekonomi. Hal ini menggambarkan bahwa sebuah kebijakan luar negeri didasari untuk meningkatkan kemakmuran Negara. Negara besar seperi AS pun tidak dapat mendapatkan kemakmuran dan kekayaan begitu saja, oleh sebabnya AS sebagai Negara adikuasa pun tetap membuat kebijakan luar negeri yang akan menguntungkan Negaranya. Menjamin keamanan nasional. Keamanan nasional tidak dapat diabaikan dalam kebijakan luar negeri karena setiap Negara harus melindungi Negaranya dari serangan dalam bentuk apapun terutama bagi AS yang cenderung menggunakan kekuatan militer untuk mencapai kepentingan nasionalnya, oleh sebab itu keamanan merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam kebijakan luar negeri. Melindungi martabat nasional, manusia selalu mementingkan martabatnya begitu pula sebuah Negara, Negara harus mempertimbangkan apakah sebuah kebijakan luar negeri akan dapat meningkatkan martabat Negaranya atau justru merendahkan martabat Negaranya. Membangun kekuasaan, kekuasaan merupakan hal yang dicari oleh setiap pihak, dengan kekuasaan kita dapat memprakarsai dan mengontrol suatu hal sesuai dengan keinginan kita. Oleh karena itu sebuah kebijakan luar negeri harus diperhitungkan dengan matang sehingga dapat mencapai kekuasaan yang diinginkan26. Lima dasar inilah yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri AS. Selain lima dasar tersebut, Menurut Bambang Cipto juga terdapat aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri AS diantaranya Presiden, Dewan Keamanan Nasional, Departemen Luar Negeri, CIA, Departemen Pertahanan, Kongres, Media massa, dan Kelompok kepentingan27. Kegley dan Witkopff menggambarkan bagaimana proses pembuatan kebijakan luar negeri tersebut dengan lingkaran konsentris sebagai berikut:
26 27
Carlton Clymer Rodee. “Pengantar Ilmu Politik”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995. Bambang Cipto. “Politik dan Pemerintahan Amerika”. Yogyakarta: Lingkar Buku. 2007.
Gambar 1.4.1 The institutional Setting: The Concentric Circles of Policy Making. Adaptasi dari Roger Hillman, To Move a Nation, New York: Doubleday, 1967. Hlm. 541-544. Sumber: (Eugene R. Wittkopf, Christopher M. Jones, Charles W. Kegley, Jr., 2008)
Lingkaran konsentris ini, menggambarkan bahwa posisi Presiden AS berada pada titik pusat lingkaran atau berada di titik sentral, hal ini menunjukkan bahwa Presiden AS merupakan aktor utama dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS dan tidak hanya sebagai aktor sentral tetapi juga sebagai aktor penentu kebijakan yang akan dibuat. Terlepas dari Presiden sebagai aktor sentral dalam pembuatan kebijakan luar negeri tentunya Presiden tidak boleh mengabaikan aktor-aktor disekitarnya, mengingat AS merupakan Negara demokrasi dan memang Presiden harus mempertimbangkan pengaruh-pengaruh dari aktor lain disekelilingnya yang berada dalam satu konsentris namun pada lingkaran yang berbeda. Lapisan pertama pada konsentris yang berada dalam satu lapisan dengan Presiden adalah Presidential Adviser atau penasehat Presiden dan beberapa orang yang masuk dalam political appointees yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan direktur CIA. Orang-orang inilah yang mempunyai peran besar untuk membantu Presiden dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS. Menteri Luar Negeri AS mempunyai peran untuk memberi masukan kepada Presiden untuk mempertimbangkan kebijakan mana yang akan diambil. Menurut Kegley dan Witkopff Menteri Luar Negeri merupakan penasehat Presiden yang terpenting dalam kebijakan luar negeri AS, karena departemen luar negeri merupakan satu-satunya agen pemerintah yang mengkoordinasikan
seluruh aktivitas luar negeri AS, oleh sebab itu Menteri Luar Negeri sebagai kepala departemen luar negeri adalah penasehat yang baik bagi Presiden karena Menteri Luar Negeri mengetahui banyak mengenai bagaimana hubungan luar negeri AS, sehingga bisa memberikan nasehat dan informasi akurat yang telah dikumpulkan oleh staff departemen luar negeri AS di penjuru dunia. Setelah Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan juga memiliki peran besar dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS, seperti yang kita ketahui bahwa keamanan nasional dan kebijakan luar negeri merupakan hal yang tidak dapat dipishkan dan mengingat AS sebagai Negara yang cenderung menggunakan kekuatan militernya untuk mencapai kepentingannya oleh karena itu Menteri Pertahanan memiliki peran yang cukup besar dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri AS. Menteri Pertahanan akan memberi informasi dan nasehat tentang strategi dalam bidang keamanan dan politik luar negeri. Peran Menteri Pertahanan akan semakin bermanfaat ketika kebijakan luar negeri AS tidak dapat membawa AS mencapai kepentingan nasionalnya, maka kekuatan militer AS akan bergerak dan saat inilah peran utama Menteri Pertahanan akan nampak secara maksimal. Terlepas dari peran Menteri Pertahanan dibidang keamanan, Central Intelligence Agency (CIA) juga merupakan aktor lain yang ikut terlibat dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri AS. CIA sebagai badan yang berwenang untuk mengumpulkan dan menganalisis informasiinformasi penting yang dibutuhkan presiden dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS. Analisis informasi yang dilakukan oleh CIA akan diberikan kepada Presiden dan Dewan Keamanan maupun kongres yang kemudian akan membantu Presiden untuk mempertimbangkan kebijakan mana yang akan diambil. CIA merupakan salah satu agen inteligen terbaik yang ada didunia yang dapat mengumpulkan informasi dan data Negara-negara lain baik menggunakan tenaga manusia maupun menggunakan mata-mata yang didukung oleh kecanggihan teknologi yang luar biasa. Konsentris kedua yang mengelilingi Presiden adalah executive branch pada pemerintahan AS yang terdiri dari kepala badan-badan federal, anggota kabinet, wakil Presiden juga para ahli atau agen-agen yang menjadi kepala departemen pemerintahan dan yang akan memberikan informasi yang dibutuhkan Presiden sesuai dengan fungsi kerja departemen tersebut. Biasanya para kepala departemen ini adalah orang-orang terpilih yang memang ahli pada bidangnya. Selain kepala departemen Presiden juga biasa membutuhkan ahli-ahli dari luar yang dikenal dengan sebutan
Epistemic Comunity28. Epistemic Community akan memberikan informasi mengenai pengetahuan dan keahlian yang dimiliki yang akan menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden. Bagian terluar dari konsentris ini diisi oleh beberapa aktor yaitu media massa atau opini publik, kelompok kepentingan dan kongres. Media massa yang kemudian akan menciptakan opini publik hal ini saling berkaitan. Para pembuat keputusan memiliki ketergantungan dengan media massa karena para pembuat keputusan akan mendapatkan informasi mengenai peristiwa yang terjadi dalam ranah nasional maupun ranah internasional, dengan ini para pembuat keputusan dapat mengetahui opini publik melalui informasi yang diberikan oleh media pers. Tidak hanya sebagai pemberi informasi bagi para elit politik, pers kemudian menjadi penyalur informasi yang didapat dari elit politik untuk disebarkan ke masyarakat luas, agar masyarakat dapat terlibat dalam kebijakan yang diambil oleh para elit politik, dengan ini diharapkan terjadi transparansi kebijakan antara para pembuat kebijakan dengan masyarakat yang diharapkan akan mendukung kebijakan tersebut. Dukungan dari media massa ini sangat dibutuhkan bagi Presiden sehingga terjadi hubungan timbal balik antara keduanya. Aktor lain dalam konsentris ini adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan turut berperan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri AS karena kelompok kepentingan secara langsung memiliki hubungan dengan eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan AS. Hubungan yang terjalin antara kelompok kepentingan dengan anggota legislatif merupakan hubungan yang tidak terlepas dari masalah finansial. Kelompok kepentingan adalah kelompok yang memiliki kelebihan dari segi finansial dan kelompok ini akan memberikan bantuan bagi pihak legislatif yang membutuhkan bantuan dari segi finansial ketika kampanye, hal ini kemudian membuat pihak legislatif seperti memiliki hutang ke kelompok kepentingan sehingga pada saat proses pembuatan kebijakan luar negeri kelompok kepentingan akan memberikan pengaruh-pengaruh dalam proses tersebut. Biasanya kelompok kepentingan akan cenderung mempengaruhi demi mencapai kepentingannya sendiri terutama kepentingan dibidang finansial. Aktor terakhir yang juga terlibat dan berada pada lingkaran konsentris terluar adalah kongres. Kongres merupakan pelabuhan terakhir dari proses pembuatan kebijakan luar negeri AS. Setelah melewati banyak aktor yang masuk dalam lingkaran konsentri seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Petahanan, CIA, executive branch, Media Massa, dan kelompok kepentingan, Presiden
28
Epistemi Community adalah suatu jaringan orang-orang profesional yang memiliki keahlian dan kompetensi dalam suatu wilayah science dan memiliki otoritas untuk mengusulkan atau membuat kebijakan berdasarkan ilmunya.
kemudian akan membuat perumusan kebijakan luar negeri, kemudian proposal tersebut akan diajukan ke kongres. Maka kongres adalah aktor selanjutnya yang akan memutuskan kebijakan mana yang akan diambil. Dalam kongres akan ada komisi-komisi yang terbagi dalam tiga komisi yang fungsinya berhubungan dengan proses kebijakan luar negeri, tiga komisi tersebut antara lain: 1.) Komisi Otoritas yang berfungsi untuk mengkaji proposal yang diajukan eksekutif atau meninjau kembali program-program yang telah berjalan untuk dilanjutkan atau dihentikan. 2.) Komisi Apropriasi yang berfungsi untuk membiayai program pemerintah yang telah mendapat otoritas dari komisi otoritas. 3.) Komisi Kontrol yang berfungsi untuk melakukan pengawasan atas penggunaan uang dan legalisasi, dan perilaku anggota kongres 29. Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri AS Presiden merupakan aktor sentral yang menentukan yang dikelilingi oleh aktor-aktor lain yang turut berperan untuk memberikan nasehat, masukan, maupun informasi yang dibutuhkan Presiden, informasi tersebut akan membantu dan menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden untuk memutuskan kebijakan apa yang kemudian akan diambil. Setelah membuat rumusan kebijakannya, rumusan tersebut akan diserahkan kepada kongres dan kemudian kongres yang akan memutuskan apakah rumusan kebijakan tersebut dapat diterapkan atau rumusan kebijakan tersebut belum memadai dan perlu dilakukan perbaikan kembali. Jika kemudian rumusan kebijakan tersebut diterima oleh kongres maka Presiden bersama Menteri Luar Negerinya akan menjalankan kebijakan luar negeri tersebut. Berdasarkan proses pembuatan kebijakan luar negeri AS yang telah dipaparkan sebelumnya. Maka, dalam penelitian ini penulis menggunakan dua kerangka pemikiran yang relevan. Dua kerangka pemikiran ini saling berhubungan yaitu Two level games oleh Robert D. Putnam sebagai konsep dasarnya yang kemudian dilajutkan oleh William D. Cooplin dengan politik internasional. Cooplin melihat politik internasional sebuah Negara jauh lebih dalam dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Putnam. Namun, pada dasarnya kedua pemikiran ini memiliki tujuan yang sama yaitu mencoba melihat bagaimana sebuah perjanjian internasional diratifikasi atau tidak
Yunianti dalam tesis “Peran Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice dalam Pelaksanaan Kebijakan Luar Negeri AS pada Masa Pemerintahan George Walker Bush Analisis Kasus Perang Irak”. 2009. Hlm. 29-30. 29
diratifikasi oleh sebuah Negara karena adanya pengaruh dari dua faktor yaitu faktor internasional dan faktor domestik. Konsep Two level games ini diperkenalkan oleh Robert D. Putnam seorang ilmuwan politik dan kebijakan publik di Harvard University. Dalam bukunya yang berjudul Diplomcy and Domestic Politics : the Logic of Two-Level Games Putnam mengatakan bahwa politik domestik dan politik internasional saling mempengaruhi satu sama lain 30. Dalam tulisannya Putnam menyatakan bahwa proses pembuatan kebijakan luar negeri dibentuk melalui proses negosiasi dan diplomasi yang dilakukan oleh pihak yang bersangkutan 31. Proses tawar menawar yang dilakukan oleh pihak bersangkutan akan berjalan dengan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor domestik dan faktor internasional, pihak bersangkutan yang dimaksud digambarkan dengan kepala pemerintahan, perwakilan pengusaha, pimpinan partai, kementrian dan pimpinan senat 32. Putnam menjelaskan bahwa dalam faktor domestik, kelompok–kelompok domestik akan berusaha mengejar kepentingan mereka dengan cara menekan pemerintah agar pemerintah mengadopsi kebijakan yang menguntungkan kelompok domestik tersebut, kelompok domestik tidak berdiri sendiri karena politisi yang mencari kekuasaan akan membangun koalisi dan bekerjasama bersama kelompok-kelompok domestik. Sedangkan faktor internasional, pemerintah berusaha untuk memaksimalkan kemampuan mereka untuk mengatasi tekanan domestik sambil meminimalisir konsekuensi yang dapat merugikan33. Faktor domestik dan internasional ini kemudian saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain sehingga putnam memberikan satu penawaran analisis yang disebut dengan win-set34demi tercapainya keberhasilan dalam negosiasi yang bertujuan untuk menemukan kebijakan internasional mana yang harus diambil. Hubungan antara domestik dan internasional yang saling memiliki keterkaitan kemudian akan membawa kita untuk menemukan jawaban dari kebijakan mana yang kemudian harus diambil. Maka akan terlihat bahwa semakin besar kesepakatan yang tercapai di level domestik maka akan semakin besar pula win-set di level I mencapai keberhasilan,
30
Robert D. Putnam. (1998). Diplomacy and Domestic Politics:The Logic of Two level games. International Organization , hlm. 427-433. 31 A. Watson (2005). Diplomacy: The Dialouge Between States. Routledge. 39-40 32 Robert D. Putnam (1998). “Diplomacy and Domestic Politics:The Logic of Two level games”. International Organization, 435. 33 Ibid. Hlm 434. 34 Win-sets adalah level keberhasilan yang harus dicapai dalam membuat kesepakatan di level domestic.
tapi sebaliknya, semakin rumit proses penyetujuan kebijakan di level domestik akan melemahkan posisi tawar di level internasional35. Berangkat dari dasar yang telah dibangun oleh Putnam dan keterkaitannya dengan penjelasan tentang bagaimana proses pembuatan kebijakan luar negeri AS, maka William D. Cooplin membawa paket yang lebih lengkap dalam tulisannya mengenai politik internasional, Cooplin menyebutkan terdapat tiga faktor yang menjadi pengaruh munculnya kebijakan politik luar negeri sebuah Negara36, yaitu: pertama, Kondisi politik dalam negeri, kedua, kemampuan ekonomi, ketiga, konteks internasional. 1.4.1 Kondisi Politik Dalam Negeri Dalam hal ini sebutan yang sering dikemukakan adalah policy influencer system atau sistem pengaruh kebijakan, serta peran sistem yang ada dalam proses pembuatan keputusan. Terdapat empat kategori policy influencer yang terdiri dari Birokrat, partai, kepentingan dan pengaruh massa37. a. Birokrat Setiap Negara tentunya memiliki perangkat-perangkat Negara yang biasa dikenal dengan sebutan birokrat. Menurut Cooplin pembuatan keputusan sebuah Negara biasanya dipengaruhi oleh birokrat atau dikenal dengan sebutan bureaucratic influencer (birokrat yang mempengaruhi). b. Partai Politik Partai politik merupakan bentuk policy influencer yang juga turut mempengaruhi pembuatan keputusan dalam sebuah Negara. Influencer ini bertujuan menerjemahkan tuntutantuntutan masyarakat menjadi tuntutan-tuntutan politis, yaitu tuntutan-tuntutan kepada para pengambil keputusan yang menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah. Influencer ini berupaya mempengaruhi kebijakan dengan cara menekan para penguasa dan dengan menyediakan personelpersonel yang bisa berperan dalam pengambilan keputusan38. c. Kepentingan Setiap Negara pasti mengedepankan kepentingan nasionalnya dalam pembuatan keputusan. Oleh karenanya kepentingan merupakan salah satu influencer dalam politik 35 Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr, “Understanding Foreign Policy Decision Making”, (New York: Cambridge University Press, 2010) Hlm. 133-134. 36 William D. Cooplin, “Pengantar Politik Internasional, Suatu Telaah Teoritis”, alih bahasa Drs. Marsedes Marbun, Bandung. Sinar Baru, Edisi kedua, Cetakan Kedua, 2003, Hlm. 30. 37 Ibid. Hlm. 81. 38 Hlm.17. diakses pada 5 November 2015.
internasional sebuah Negara. Interest influencer (kepentingan yang mempengaruhi), terdiri atas sekelompok orang yang bergabung bersama karena didasarkan pada kepentingan yang sama. Pada umumnya kepentingan tersebut lebih mengarah pada kepentingan ekonomi karena seperti yang kita ketahui orang-orang biasanya lebih mudah dimotivasi jika itu berhubungan dengan ekonomi. Meskipun begitu, tidak selalu kepentingan dihubungkan dengan ekonomi karena terkadang kepentingan juga bisa dipengaruhi oleh hal-hal non ekonomi terutama apabila ada ikatan-ikatan etnis atau geografis di antara mereka yang terlibat39. d. Massa Massa atau opini publik merupakan influencer yang juga mempengaruhi sebuah Negara dalam pembuatan keputusan40. Dalam hal ini, opini publik menjadi bahan pertimbangan oleh para pembuat keputusan, para pembuat keputusan akan merasionalisasikan apa yang menjadi opini publik setelah merasionalisasikan maka pembuat kebijakan akan membuat keputusan berdasarakan pada hasil yang dianggap paling rasional41. Dari empat policy influencer yang telah dijelaskan, tiga diantaranya merupakan poin yang paling besar mempengaruhi proses pengambilan kebijakan luar negeri yaitu birokrat, partai politik dan kepentingan. Ketiga policy influencer ini dapat menggambarkan bagaimana kondisi AS saat ini dalam pembuatan keputusan mengenai ratifikasi Konvensi Ottawa. Birokrat, memiliki peran yang sangat besar dalam pemerintahan AS, kaum-kaum birokrat di AS antara lain adalah senat dan representatives house atau DPR. Kedua wakil rakyat inilah yang memiliki suara yang kuat dalam kongres dan berhak memutuskan sebuah kebijakan sesuai dengan hasil voting yang ada. Oleh karena itu presiden memiliki hak untuk membuat keputusan namun presiden tidak boleh mengabaikan suara birokrat yang ada, sehingga diperlukan kongres yang dihadiri oleh senat dan DPR demi mendapatkan keputusan yang disepakati oleh seluruh pihak berwenang. Kedua, adalah partai politik, seperti yang kita ketahui bahwa dalam perpolitikan AS terdapat dua partai besar yang memang bersaing dalam kancah perpolitikan AS yaitu partai Demokrat dan partai Republik. Kedua partai ini merupakan partai yang memang memiliki kekuasaan yang besar dalam perpolitikan AS dan memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi pengambilan keputusan terhadap kebijakan luar negeri AS. Ketiga, kepentingan yang William D. Cooplin, “Pengantar Politik Internasional”, Suatu Telaah Teoritis, alih bahasa Drs. Marsedes Marbun, Bandung. Sinar Baru, Edisi kedua, Cetakan Kedua, 2003, Hlm.87. 40 Ibid.Hlm.88. 41 Ibid. Hlm.90. 39
mempengaruhi pembuatan keputusan, kepentingan biasanya didasari adanya faktor ekonomi maupun faktor non ekonomi dalam kasus AS dalam pembuatan keputusan tentang ratifikasi masalah ekonomi merupakan salah satu masalah utama yang menjadi bahan pertimbangan untuk menolak meratifikasi, selain masalah ekonomi hal lain yang membuat AS tidak meratifikasi Konvensi Ottawa yaitu janji AS kepada Korea Selatan, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu AS telah menyatakan bahwa AS akan selalu menjamin keamanan Korea Selatan dan akan selalu berada dibelakang Korea Selatan, dan AS menjaga keamanan Korea Selatan salah satunya dengan menggunakan ranjau darat yang disebar di perbatasan antara Korea Utara dan Korea Selatan untuk tetap menjaga perjanjian perdamaian antara Korea Utara dan Korea Selatan. Oleh sebab itu AS memutuskan untuk menolak ratifikasi Konvensi Ottawa karena jika AS meratifikasi Konvensi Ottawa maka AS juga harus menghancurkan ranjau darat yang tersebar di perbatasan atau Korean Demilitarized Zone (DMZ) antara Korea Utara dan Korea Selatan sementara itu jika AS menghancurkan ranjau darat tersebut maka secara langsung AS telah melanggar janjinya ke Korea Selatan untuk tetap menjaga keamanan dan perdamaian di Korea Selatan42. 1.4.2 Kemampuan Ekonomi Situasi Ekonomi dan Militer di sebuah Negara termasuk faktor geografis yang selalu menjadi pertimbangan utama dalam pertahanan dan keamanan43. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam kekuatan militernya AS banyak menggunakan ranjau antipersonil dalam setiap peperangan yang dijalani oleh AS, disamping harga yang murah dan proses kerja yang efisien maka setiap Negara tentu akan banyak menjatuhkan pilihannya pada ranjau antipersonil untuk pertahanan militernya. 1.4.3 Konteks Internasional Konteks Internasional (situasi di Negara yang menjadi tujuan politik luar negeri), serta pengaruh dari Negara-negara lain yang relavan dengan permasalahan yang dihadapi. Dalam pembuatan keputusan AS tentunya AS mempertimbangkan konteks internasionalnya. Konvensi Ottawa adalah konvensi mengenai pelarangan penggunaan ranjau antipersonil yang sebagian besar
42
hlm. 7. diakses pada 6 November 2015. 43 William D. Cooplin, “Pengantar Politik Internasional”, Suatu Telaah Teoritis, alih bahasa Drs. Marsedes Marbun, Bandung. Sinar Baru, Edisi kedua, Cetakan Kedua, 2003, Hlm.30.
Negara di dunia telah meratifikasi namun ada beberapa Negara-negara kuat di dunia yang masih belum menandatangani konvensi ini yaitu AS, Rusia, India dsb. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan bagi AS untuk menolak menandatangai Konvensi Ottawa karena melihat konteks internasionalnya dimana Rusia sebagai Negara yang memang sejak dulu memiliki sejarah kelam dengan AS juga belum menandatangani Konvensi Ottawa, jika AS menandatangani Konvensi Ottawa maka AS merasa akan ada ancaman dari Rusia, oleh karena itu AS masih menahan diri untuk bergabung dan terlibat secara tertulis dengan kovensi Ottawa.
Politik Dalam Negeri: a.Birokrat b.Partai Politik c.Kepentingan
Tindakan Politik Luar Negeri :
Pengambil Keputusan :
Penolakan meratifikasi Konvensi Ottawa
Presiden-presiden AS
Konteks Internasional : Hubungan dengan Rusia sebagai negara pesaing AS yang juga belum menandatangani Konvensi Ottawa.
Kondisi Ekonomi dan Militer : Kondisi militer AS yang masih membutuhkan Ranjau antipersonil untuk pertahananya Gambar 1.4.2 Proses pengambilan keputusan yang diadaptasi dari konsep William D. Cooplin yang diaplikasikan untuk menjawab masalah dalam penelitian. Sumber : (Coplin, 1992)
Dari gambar diatas maka dapat disimpulkan bahwa keputusan AS untuk menolak meratifikasi Konvensi Ottawa dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi politik dalam negeri dimana suara birokrat, partai politik dan kepentingan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan,
kemudian faktor kedua adalah kondisi ekonomi dan militer AS, jika dilihat
lebih jauh hal
ini berhubungan dengan birokrat yang juga ada hubungannya dengan militer yaitu kondisi militer AS yang memiliki kebutuhan yang cukup besar terhadap ranjau antipersonil sehingga sulit bagi AS untuk seketika menghentikan penggunaannya ranjau antipersonil. Faktor ketiga yaitu konteks internasional, tidak terlibatnya Rusia dalam Konvensi Ottawa memberikan ancaman tersendiri dalam konteks internasional AS, dimana seperti yang kita ketahui sejarah panjang nan kelam antara AS dan Rusia telah membuat hubungan antara kedua Negara ini selalu penuh dengan ketegangan sehingga jika AS menandatangani Konvensi Ottawa namun Rusia justru tidak menandatangani konvensi ini maka AS merasa akan ada ancaman dari pihak Rusia yang dianggap akan mengganggu kestabilan keamaan di AS oleh karena itu AS tetap mempertahankan ranjau antipersonil untuk berjaga-jaga jika suatu saat terjadi konflik. Berdasarkan kerangka pemikiran Putnam dan Cooplin yang telah dijabarkan sebelumnya, kedua kerangka pemikiran ini menunjukkan bahwa pada dasarnya sebuah kebijakan internasional yang di ambil oleh sebuah Negara dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor domestik dan faktor internasional. Tujuan utama kedua kerangka pemikiran ini adalah sama yaitu untuk menemukan jalan untuk mencapai sebuah kebijakan, tetapi cara untuk mencapai kebijakan itu dilihat dari sisi yang lebih detail oleh konsep yang diajukan oleh Cooplin. Putnam hanya melihat faktor domestik melalui negosiasi yang harus dijalankan oleh pihak-pihak pembuat keputusan dalam sebuah Negara, menurut Putnam keterkaitan antara faktor domestik dan internasional sangat bergantung pada proses negosiasi pada ranah domestik, semakin mudah menemukan kesepakatan di domestik maka akan semakin mudah mendapatkan keputusan, hal ini kemudian akan dilihat lebih jauh dalam penelitian ini dengan melihat bagaimana perlakuan tiap-tiap kepala pemerintahan dalam tiga era yaitu pada masa Clinton, Bush dan Obama, dalam pengambilan keputusan tentunya para kepala Negara harus bernegosiasi dengan pihak senat dan pihak DPR. Negosiasi yang harus dihadapi dalam peta perpolitikan AS merupakan negosiasi yang cukup rumit karena ada dua partai politik besar di AS yang sejak dulu tidak pernah memiliki pendapat yang sama. Kedua partai politik ini akan saling menjatuhkan ketika berada dalam posisi sebagai partai oposisi. Oleh sebab itu sulit didapatkan keputusan untuk meratifikasi konvensi Ottawa karena adanya perbedaan pendapat antara kepala negara, senat dan DPR. Jika Putnam melihat dari sisi negosiasi maka dalam kerangka pemikiran Cooplin, Cooplin tidak hanya mempertimbangkan mengenai negosiasi antara para pihak pembuat keputusan saja
tetapi lebih jauh Cooplin juga berusaha melihat bagaimana keadaan ekonomi sebuah Negara, dengan itu Cooplin bisa melihat secara detail mengenai bagaimana kemudian faktor domestik begitu mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dalam sebuah Negara. Berdasarkan penjabaran yang telah ada sebelumnya maka penulis menggunakan kerangka pemikiran Putnam mengenai negosiasi dan menggabungkannya dengan kerangka pemikiran Cooplin yaitu politik internasional yang dikenal dengan sebutan policy influencer. Konsep ini melihat proses pembuatan kebijakan internasional dengan melihat dari tiga konteks yaitu Kondisi politik dalam negeri yang dibagi kedalam empat bagian yaitu birokrat, partai, massa dan kepentingan. Kemampuan ekonomi dan konteks internasional. Ketiga faktor ini adalah faktor yang memang pengaruhnya sangat besar dan dapat menggambarkan bagaimana kondisi AS dalam proses pembuatan keputusan dalam Konvensi Ottawa, oleh karena itu penulis mengambil konsep ini sebagai konsep yang tepat untuk diterapkan dan digunakan dalam penulisan karya ini. Terlepas dari beberapa faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, tentunya tidak dapat menilai AS sebagai Negara kuasa hanya dengan beberapa faktor yang telah ada, oleh karena itu penelitian ini akan berusaha menemukan jawaban lain yang dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian yang ada. 1.5 Argumen Utama Berdasarkan konsep negosiasi Putnam dan politik internasional Cooplin dapat dibangun argumen utama bahwa dalam setiap pembuatan kebijakan internasional selalu ada faktor internasional dan domsetik yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan tersebut. Untuk posisi AS dalam kebijakan terhadap konvensi Ottawa, AS memutuskan untuk menolak meratifikasi Konvensi Ottawa karena dipengaruhi oleh faktor-faktor domestik diantaranya faktor negosiasi yang terjadi antara kepala pemerintahan AS dengan senat dan DPR. Faktor ini sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Putnam mengenai Two level gamess dimana pihak-pihak dalam pemerintahan AS yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan harus menyatukan pendapat melalui proses negosiasi. Namun karena adanya perbedaan pendapat antara Presiden AS dengan senat dan DPR sehingga membuat proses negosiasi menjadi rumit. Faktor lainnya adalah kondisi politik dalam negeri yang dibagi kedalam tiga bagian yang mempengaruhi yaitu birokrat, partai politik dan kepentingan. Birokrat AS yang terdiri dari orangorang dari dua partai politik di AS menganggap bahwa kepentingan militer serta kepentingan ekonomi AS terhadap ranjau masih sangat tinggi, sehingga tidak tepat jika AS harus melepaskan
ranjau darat. Kemampuan ekonomi dan kondisi militer AS. Hal ini berhubungan dengan AS sebagai salah satu negara yang memproduksi dan menjual ranjau antipersonil, keuntungan yang didapatkan oleh AS dalam penjualan senjata ini dapat meningkatkan ekonomi AS, selain itu kepentingan AS terhadap kekuatan militer membuat AS enggan untuk kehilangan ranjau antipersonil sehingga membuat AS tetap menolak untuk meratifikasi konvensi Ottawa. Faktor terakhir adalah konteks internasional, masih adanya beberapa negara yang belum meratifikasi konvensi Ottawa membuat AS merasa terancam jika harus meratifikasi terlebih dahulu, ditambah lagi Negara-negara yang belum meratifikasi konvensi Ottawa merupakan Negara-negara yang dianggap sebagai lawan dari AS seperti Rusia maupun Cina, sehingga untuk menghindari ancaman dari Negara lain dan demi menjaga kestabilan keamanan nasional, AS memutuskan untuk tetap mempertahankan ranjau antipersonil. 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dimana penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan dan situasi secara sistematis, faktual, dan akurat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi dan literatur. Dalam melihat proses pengambilan kebijakan dilevel domestik maupun internasional, penulis menggunakan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang akan digunakan oleh peneliti adalah data dari situs resmi. Sedangkan data sekunder akan didapatkan dari tinjauan pustaka atas berbagai sumber-sumber seperti jurnal, koran, majalah, buku, maupun artikel internet. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dimana peneliti sebagai instrumen utama untuk pengumpulan data dan pengolahan atau analisa data, serta sangat memfokuskan perhatian pada proses dan arti dari suatu peristiwa yang diteliti. Penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menghasilkan deskripsi yang rinci tentang bagaimana faktor domestik dan faktor internasional dalam pemerintahan AS, ketika AS harus mengambil keputusan yang berhubungan dengan sebuah rezim internasional ICBL mengenai perjanjian pelarangan penggunaan ranjau antipersonil. Adapun batasan penelitian yang diteliti difokuskan pada faktor domestik dan faktor internasional yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan dalam pemerintahan ASterkait perjanjian pelarangan penggunaan ranjau antipersonil. Mengapa kemudian hal ini menjadi menarik karena sejak awal AS merupakan Negara yang sangat mendukung dikukuhkannya pelarangan
penggunaan ranjau antipersonil, namun ketika perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh banyak Negara justru AS menjadi salah satu Negara yang menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut. Dalam pendekatan kualitatif, penelitian dapat dilakukan dalam tiga tahapan yaitu pengumpulan data (data collective), pengolahan data (data analysis), dan laporan penelitian (reportwriting)44. Data dan informasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah secondary data yaitu data terpercaya yang telah terlebih dahulu dikumpulkan oleh peneliti lain. Data ini didapatkan dari situs-situs shareholder yang terlibat. Sebelum menganalisa data yang telah terkumpul, penulis melakukan pengumpulan literatur untuk memahami konsep pengambilan keputusan terlebih dahulu. Konsep pengambilan keputusan bukanlah hal baru dalam ilmu Hubungan Internasional karena ilmu Hubungan Internasional memang banyak berbicara tentang proses pengambilan keputusan, untuk membantu menganalisis bagaimana proses pengambilan keputusan dalam sebuah Negara penulis menggunakan konsep Policy Influencer yang ditawarkan oleh William D. Cooplin. Sedangkan untuk menambah pemahaman maka penulis menggunakan beberapa konsep-konsep yang telah dipakai dalam penelitian-penelitian terdahulu yang berasal dari Jurnal Ilmu Hubungan Internasional Universitas Mulawarman, kemudian skripsi-skripsi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Andalas, selain itu peneliti juga menggunakan jurnal jurnal dari situs resmi seperti JSTOR sebagai acuan, jurnal tersebut diantaranya yang ditulis oleh Joseph mengenai Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (CTBT). Penulis juga mendapatkan informasi melalui referensi yang diungkapkan dalam buku dan artikel yang sebelumnya penulis gunakan. Referensireferensi tersebut penulis telusuri kembali melalui pencarian di internet. 1.7 Sistematika Penulisan Pada bab I dalam penelitian ini, seperti yang telah ada, isi dari bab I adalah diawali dengan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi fokus pada satu titik persoalan, kemudian tinjauan pustaka yang diharapkan akan dapat membantu menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, kemudian dilanjutkan dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, argumen
44
J.W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, Sage Publications, California, 1994, Hlm.148.
sementara berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka teori yang ada, lalu metode yang digunakan dalam penelitian, dan bab I akan diakhiri dengan sistematika penulisan penelitian. Bab II, bab ini akan memaparkan mengenai bagaimana proses pembuatan kebijakan luar negeri AS terhadap Konvensi Ottawa pada era William Jefferson Clinton. Bab III akan menjelaskan mengenai bagaimana proses pembuatan kebijakan luar negeri AS terhadap Konvensi Ottawa era George Walker Bush. Bab IV, akan memaparkan mengenai bagaimana proses pembuatan kebijakan luar negeri AS terhadap Konvensi Ottawa pada era Barack Obama, kemudian bab ini juga akan berisi analisis terhadap bab-bab sebelumnya. Bab V, akan berisikan kesimpulan.