1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembangunan bidang kesehatan menjadi perhatian penting dalam
komitmen internasional yang dituangkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs terdapat tujuan yang terkait langsung dengan bidang kesehatan anak yaitu menurunkan angka kematian bayi. Angka kematian bayi menjadi salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat yang menentukan indeks pembangunan manusia, dan kematian pada masa neonatus merupakan penyumbang terbesar angka kematian bayi. Badan
kesehatan
dunia
(World
Health
Organization/WHO)
memperkirakan empat juta neonatus meninggal setiap tahun, sekitar 75% terjadi pada minggu pertama. Penyebab terbanyak kematian neonatus adalah kegawatan karena infeksi berat (sepsis) 36%, prematuritas 28%, dan kelainan bawaan 7% (WHO, 2006). Angka kematian infeksi berat pada neonatus diperkirakan 16% sampai 30%. Sekitar 16% neonatus di Amerika Serikat meninggal karena infeksi berat. Angka kematian neonatus di Inggris pada tahun 1996-1997 adalah 10% (Zupan, 2005). Angka kejadian infeksi berat neonatus di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-18 per 1000 dan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo angka kematian dari infeksi berat neonatus mencapai 14% (Aminullah, 2008). Laporan bagian Neonatologi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar tahun 2009 menyebutkan bahwa kematian neonatus terbanyak karena kegawatan neonatus terutama pada
2
pernapasan yaitu 42,7% dari 159 neonatus yang meninggal, 17,6% karena sepsis, 9,4% karena bayi berat lahir rendah, dan sisanya penyebab lain (Kardana, 2011). Kegawatan pada neonatus sering dihubungkan dengan infeksi berat pada neonatus, yang terjadi akibat dari masalah sebelumnya pada bayi maupun ibu. Neonatus yang lahir dengan tonus otot yang buruk disertai dengan gangguan pada sistem respirasi dan kardiovaskular merupakan gejala klinis infeksi berat yang memerlukan tindakan segera (White dkk., 2005). Penanganan awal terhadap kegawatdaruratan neonatus (resusitasi neonatus) dan ketersediaan sarana perawatan intensif neonatus (Neonatal Intensive Care Unit; NICU) sangat menentukan prognosis dan kemungkinan kematian pada neonatus (White dkk., 2005). Standarisasi sarana dan prasarana NICU pada rumah sakit sangat diperlukan. Pada rumah sakit yang sudah menerapkan standar pelayanan neonatus, prognosis neonatus sangat tergantung pada derajat berat sakitnya. Faktor alat maupun penunjang lain termasuk sumber daya manusia, kemungkinan sangat kecil pengaruhnya terhadap prognosis neonatus (Powers dan Lund, 2005). Akhirakhir ini kebutuhan untuk perawatan intensif semakin meningkat. Jumlah NICU di negara berkembang seperti Indonesia masih sangat terbatas dan hanya terdapat di rumah sakit-rumah sakit besar, sehingga penggunaan sarana ini diharapkan efektif dan efisien. Unit perawatan intensif neonatus di RSUP Sanglah menyediakan ruangan, sarana, dan tenaga yang lengkap sesuai standar pelayanan neonatus tingkat ketiga. Ruang perawatan khusus neonatus tingkat ketiga merupakan perawatan neonatus dengan kegawatan (White dkk., 2005).
3
Beberapa pusat kesehatan mengembangkan sistem skoring untuk menentukan derajat berat sakit pada neonatus seperti Clinical Risk Index for Babies (CRIB), CRIB II, Score for Neonatal Acute Physiology (SNAP) dan Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension (SNAPPE), Neonatal Therapeutic Intervention Scoring System (NTISS), dan lainnya. Score for Neonatal Acute Physiology dan SNAPPE pada awalnya lebih sering digunakan karena skoring ini lebih banyak menilai disfungsi fisiologi organ pada neonatus. Kedua skoring ini dibuat dengan memodifikasi sistem skoring yang digunakan pada penilaian fisiologi anak-anak. Score for Neonatal Acute Physiology terdiri dari 27 item penilaian dan SNAPPE terdiri dari semua item SNAP ditambah tiga item yaitu: berat lahir, APGAR skor, dan Kecil Masa Kehamilan (Richardson dkk., 1993a). Score for Neonatal Acute Physiology merupakan alat yang bisa dipakai untuk pengukuran langsung derajat berat sakit pada neonatus. Skor pada SNAP tidak hanya sesuai dengan derajat berat sakit tetapi dapat menduga kemungkinan kematian neonatus (Richardson dkk., 1993b). Score for Neonatal Acute Physiology Perinatal Extension digunakan untuk menduga kematian neonatus lebih baik karena memperhitungkan berat lahir, kecil masa kehamilan, dan keadaan saat lahir (APGAR skor). Pada era tahun 1990-an SNAP dan SNAPPE telah digunakan di Amerika Serikat dan didapatkan bahwa skor SNAP dan SNAPPE berhubungan linier dengan derajat berat sakit dan risiko kematian neonatus, bahkan didapatkan risiko kematian >50% bila skor SNAPPE >40 (Richardson dkk.,1993a; Escobar dkk., 1995).
4
Penilaian derajat berat sakit neonatus dengan menggunakan SNAP atau SNAPPE memerlukan banyak item pemeriksaan yang harus dilengkapi, sehingga penggunaannya menjadi rumit dan tidak praktis. Pada tahun 2001 Richardson dkk. menyederhanakan item pemeriksaan yaitu enam item untuk SNAP II dan sembilan item untuk SNAPPE II. Penelitian yang dilakukan Sundaram dkk. di India mendapatkan SNAP II lebih dari 40 memiliki nilai duga positif 88% untuk kematian neonatus dengan spesifisitas 86,6% (Sundaram dkk., 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa SNAPPE II sangat baik untuk menduga kematian pada neonatus, seperti penelitian yang dilakukan di Oxford oleh Zupancic dkk. (2007) dan Dammann dkk. (2009) mendapatkan bahwa hanya SNAP-PE II yang mampu menduga kematian neonatus secara bermakna. Penelitian yang dilakukan di Italia oleh Gagliardi dkk. tahun 2004 mendapatkan CRIB, CRIB II dan SNAPPE II mempunyai kemampuan diskriminasi yang baik dalam menduga kematian neonatus, khusus untuk neonatus dengan berat lahir sangat rendah CRIB dan CRIB II mempunyai diskriminasi yang lebih baik (Gagliardi dkk., 2004). Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Mia dkk. (2005) di Surabaya mempunyai diskriminasi yang baik untuk menduga kematian neonatus. Penelitian tersebut mendapatkan titik potong SNAPPE II adalah 30 dengan sensitivitas 81,8% dan spesifisitas 76,9% (Mia dkk., 2005). Penelitian oleh Thimoty dkk. (2009) di Bandung mendapatkan titik potong SNAPPE II adalah 51. Penelitian oleh Thimoty dkk. (2009) juga mendapatkan diskriminasi yang baik untuk menduga kematian neonatus dengan nilai area under curve 0,933 (IK95% 0,843 sampai 1,0). Kedua penelitian tersebut terdapat perbedaan nilai titik potong.
5
Thimoty dkk. mendapatkan perbedaan tersebut karena faktor tipe dan derajat berat sakit neonatus serta faktor kualitas pelayanan di NICU (Thimoty dkk., 2009). Adanya standarisasi pelayanan NICU di Indonesia, adanya kesamaan ras dan demografi maka diharapkan terdapat nilai titik potong yang ideal untuk SNAPPE II. Indonesia belum memiliki nilai titik potong ideal untuk SNAPPE II. Penelitian yang multisenter khususnya di negara berkembang seperti Indonesia diperlukan untuk mendapatkan nilai titik potong yang ideal. Penelitian ini diperlukan untuk mendapatkan nilai titik potong SNAPPE II untuk menduga kematian neonatus.
1.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah SNAPPE II dapat
dipakai sebagai alat duga kematian neonatus?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum Membuktikan peranan SNAPPE II sebagai alat duga kematian neonatus. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Menentukan titik potong untuk SNAPPE II sebagai alat duga kematian neonatus. 2. Menentukan kalibrasi untuk SNAPPE II sebagai alat duga kematian neonatus. 3. Menentukan diskriminasi untuk SNAPPE II sebagai alat duga kematian neonatus.
6
1.4
Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis: penelitian ini diharapkan dapat menentukan nilai titik potong SNAPPE II yang ideal dan penelitian ini dapat memberikan alternatif pemeriksaan untuk menentukan derajat berat sakit neonatus atau menduga kemungkinan kematian neonatus. Data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis: penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kondisi neonatus yang objektif. Titik potong SNAPPE II yang didapatkan pada penelitian ini merupakan salah satu rujukan yang dapat diterapkan di Indonesia. Informasi dari SNAPPE II diperlukan dalam memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) untuk orangtua neonatus mengenai derajat berat sakit yang dialami.