28
BAB IV KONDISI UMUM Letak Geografis Lembah Mulo, Desa Mulo, Provinsi DIY Penelitian ini dilakukan di kawasan Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Mulo terletak pada posisi geografis 8° 1’ 0’’ LS - 8° 2’ 0’’ LS dan 110° 34’ 0’’ BT - 110° 34’ 30’’ BT. Lokasi kawasan penelitian berjarak 60 km dari ibukota Yogyakarta dan terletak pada ketinggian 150-300 meter di atas permukaan laut. Secara administratif Desa Mulo berbatasan dengan Desa Duwet di sebelah utara, Desa Kemiri (Kecamatan Tepus) di sebelah selatan, Desa Serpeng (Kecamatan Semanu) di sebelah Timur, dan Desa Wunung di sebelah Barat. Lembah Mulo secara administrasi terletak di Desa Mulo, Kecamatan Wonosari seperti yang tersaji pada Gambar 5. Desa Mulo memiliki luas 120,7 Ha sementara luas Lembah Mulo sendiri adalah 17 Ha. Kawasan tersebut belum dikembangkan secara optimal dan berpotensi sebagai objek wisata andalan desa sekaligus kabupaten dengan menerapkan konsep ekowisata. Lembah Mulo berbatasan dengan tegalan di sebelah utara, perkebunan milik warga di sebelah selatan, pemukiman di sebelah barat, dan perkebunan milik Departemen Kehutanan di sebelah timur.
Gambar 5. Peta Orientasi Tapak Penelitian (Sumber: Google Map diakses pada 17 Desember 2012)
29
Tata Guna Lahan Desa Mulo memiliki luas total kawasan sebesar 162,30 Ha. Kawasan tersebut terdiri atas lahan terbangun (31,29 Ha) dan lahan terbuka (131,01 Ha). Lahan terbangun terdiri dari pemukiman warga, tempat ibadah (masjid, mushola, dan gereja), fasilitas publik (sekolah, kantor pemerinahan dan administrasi), dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan lahan terbuka terdiri atas tegalan, perkebunan rakyat, pemakaman, dan sawah tadah hujan (Tabel 6).
Tabel 6. Tata Guna Lahan Desa Mulo No.
Tata Guna Lahan
1 Lahan terbangun 2 Sawah tadah hujan 3 Tegalan 4 Perkebunan Jumlah
Luas (Ha) 31,29 55,41 72,71 2,89 162,30
% 19,28 34,14 44,80 1,78 100
Kawasan Lembah Mulo sendiri memiliki luas 16,4 Ha dan secara administrasi masuk ke wilayah Desa Mulo dan sebagian kecil lainnya masuk wilayah Kecamatan Semanu seperti tersaji pada Gambar 6 dan Gambar 7. Kondisi saat ini didominasi oleh ruang terbuka. Lahan terbangun berupa pemukiman warga tersebar di beberapa dusun pada kawasan ini. Terdapat dua telaga yang terletak tidak jauh dari lembah.
Gambar 6. Peta Tata Guna Lahan Lembah Mulo
30
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 7. Tata Guna Lahan Kawasan Lembah Mulo dan Sekitarnya (a) tegalan, (b) perkebunan, (c) permukiman, (d) telaga
Keadaan Fisik Lembah Mulo Topografi dan Kemiringan Kawasan karst di Kabupaten Gunungkidul terletak pada zona Pegunungan Seribu di bagian selatan kabupaten yang dikenal dengan Pegunungan Sewu. Zona ini mempunyai topografi yang khas sebagai bentukan ekosistem karst. Morfologi yang terbentuk akibat proses karst ini, antara lain kerucut karst, telaga karst, shink hole, goa, sungai bawah tanah, dan tebing terjal. Kecamatan Wonosari dan sekitarnya memiliki ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan lereng rata-rata 25-30°. Luas keseluruhan Pegunungan Sewu adalah 78.344,20 Ha. Secara geomorfologi daerah karst Pegunungan Sewu Kabupaten Gunungkidul dapat digolongkan ke dalam karst transisi, dimana tipe ini merupakan kawasan yang memiliki karakteristik antara tipe holokarst dan mezokarst. Ciri dari tipe ini adalah adanya bentukan-bentukan eksokarst dan endokarst seperti kubah karst, doline, ulava, dan sedikit landcover. Kawasan ini berdrainase permukaan yang sedikit dan mempunyai banyak lembah-lembah kering. Kawasan karst Pegunungan Sewu mempunyai lapisan yang semakin
31
menipis dari arah selatan ke utara dengan cliff pada pantai serta beberapa teluk yang datar. Menurut terjadinya, karst Pegunungan Sewu termasuk karst tropik dengan ciri pelarut batuan yang tinggi, kapasitas menyalurkan air yang tinggi, ketinggian di atas permukaan laut yang bervariasi, intensitas hujan yang tinggi, tektonisasi, cone karst, doline karst, tower karst, dan collapse sinkhole. Karst di Pegunungan Sewu juga dapat digolongkan ke dalam fluviokarst karena beberapa tempat tertutup vegetasi dan dipengaruhi aliran sungai. Berdasarkan Kajian Pengelolaan dan Pengembangan Ekosistem Kawasan Karst di Kabupaten Gunungkidul yang dilakukan oleh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998, Kawasan Pegunungan Sewu dibagi menjadi dua satuan medan: a.
Dataran aluvial dan lembah karst. Satuan medan ini secara umum merupakan dataran dengan proses solusi yang intensif yang membentuk bentukan-bentukan negatif, seperti lembah karst, doline, dan uvala. Topografi medan adalah datar bergelombang, lereng berbentuk U, dan lapisan tanahnya dalam karena proses deposisi.
b. Perbukitan karst, komplek doline dan kubah karst. Satuan medan ini merupakan bagan terbesar pada kawasan karst Gunungkidul. Perbukitan karst tropika basah. Bentuk bukit membulat dan berlereng curam ini mempunyai lapisan tanah yang tipis. Permukaannya berlapis dan diperkirakan terbentuk di bawah kondisi penutup hutan. Bersadasrkan ketebalan dan kenampakan kawasan karst Kabupaten Gunungkidul dibagi kedalam: a. Zona Inti Karst Merupakan daerah inti karst dimana terjadi proses kartisifikasi yang sesungguhnya dengan cepat. Bentuk eksokarst dan endokarst dominan dijumpai pada kawasan ini. Ketebalan batu gamping mencapai 800 meter. Kawasan ini meliputi bagian selatan kawasan karst Pegunungan Sewu yang secara administratif meliputi Kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Girisubo. Rongkop, sebagian Semanu, sebagian Playen, dan sebagian Ponjong.
32
b. Zona Sub-Inti Karst Merupakan daerah dengan ketebalan batuan gamping yang mulai menipis. Kawasan ini telah banyak dimanfaatkan secara intensif guna keperluan manusia terutama pertambangan. Secara administratif meliputi Kecamatan Playen, Paliyan, dan sebagian besar Semanu serta Ponjong. c. Daerah Karst Pantai Merupakan daerah karst yang berada di bagian paling selatan dari Pegunugan Sewu dengan kenampakan cliff, mushroom rock, pantai, teluk, dan sempadan pantai. Daerah pantai karst ini memanjang dari ujung barat sampai ujung timur Pegunungan Sewu meliputi Kecamatan Purwosari, Saptosari, Tanjungsari, Tepus, dan Girisubo.
Kondisi topografi pada kawasan Lembah Mulo berbukit-bukit dengan focal point berupa lembah karst dengan kemiringan yang curam dan lebih dari 60% seperti terlihat pada Gambar 8. Lembah karst tersebut dikelilingi oleh tapak yang berbukit-bukit dengan kemiringan bervariasi seperti terlihat pada Gambar 9. Tapak dengan kondisi datar dapat ditemui pada kawasan Desa Mulo dan Desa Serpeng yang didominasi oleh pemukiman warga. Titik tertinggi kawasan berada pada 152 meter di atas permukaan laut sedangkan titik terendah kawasan berada pada ketinggian 47 meter di atas permukaan laut. Klasifikasi kemiringan dibedakan menjadi datar, landai dan miring. Angka tertingi diberikan kepada kemiringan 0-15% (datar) karena tapak ini sangat mendukung untuk kegiatan ekowisata. Nilai terendah diberikan untuk kemiringan >25 % karena pada tapak ini kurang mendukung untuk dibangun suatu bentuk fisik bangunan dan juga rawan terjadi erosi, sehingga pembangunan fisik sangat dibatasi. Daerah dengan kemiringan datar tersebar pada area pemukiman warga, sekitar jalan raya dan pada beberapa tempat di dasar lembah. Tapak yang datar dapat dimanfaatkan sebagai kawasan yang dapat digunakan sebagai area terbangun. Peletakan bangunan seperti shelter, gardu pandang, dan perkemahan dapat dikembangkan pada area ini. Dasar lembah yang relatif datar juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tracking susur lembah pada waktu-waktu tertentu.
33
Area dengan kemiringan sedang tersebar pada kawasan perkebunan, tegalan, dan sekitar tebing lembah. Area dengan kemiringan ini merupakan tempat mengalirnya air menuju area yang lebih rendah pada kawasan. Pemanfaatan area ini sebatas jalur ekowisata, perkemahan pada spot-spot tertentu, dan selebihnya dibiarkan sebagai kawasan hijau. Sementara area dengan kemiringan curam merupakan daerah dengan pemanfaatan minimum berhubung dengan sensitifitas area ini yang tinggi. Area ini hanya dimanfaatkan sebagai objek view dan sisanya dibiarkan tetap alami. Pada beberapa spot lereng yang sangat curam dapat dilakukan pengembangan berupa area panjat tebing.
Gambar 8. Peta Topografi
34
Gambar 9. Peta Lereng
35
36
Geologi dan Tanah Menurut Suyoto (1994) berdasarkan susunan stratigafinya formasi batuan yang ada di Pegunungan Sewu Gunungkidul memiliki urutan-urutan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut: a. Formasi Wungkal-Gamping Merupakan formasi yang berada paling bawah dan paling tua dalam zona Pegunungan Sewu, yang terdiri dari batu pasir, kuarsa, napal pasiran, batu lempung, dan lensa batu gamping dengan umur Eosen atas. b. Formasi Kebo-Butak Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi WungkalGamping dengan ketebalan 650 meter. Kelompok batuan yang menyusun formasi ini ada dua, yaitu: bagian bawah terdiri dari batu pasir, lanau, lempung, serpih, tulf, dan aglomerat; dan bagian atas yang terdiri atas batu pasir dan batu lempung dengan sisipan tipis tuf asam. Umur dari formasi ini adalah Oligosen hingga Miosen bawah. c. Formasi Semilir Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Kebo-Butak dengan material penyusun berupa breksi batuan apung, batu pasir, dan serpih. Umur formasi ini Miosen awal bagian tengah sampai tengah bagian bawah. d. Formasi Nglanggran Formasi ini menjari dengan Formasi Semilir dengan material penyusun berupa breksi gunung api, batu pasir vulkanik, lava andesit basalt, breksi autoklastik, serta mempunyai umur Miosen awal bagian tengah sampai tengah bagian bawah. e. Formasi Sambipitu Formasi ini mempunyai posisi menjari tehadap Formasi Nglanggran yang tersusun oleh perselingan batu pasir dan serpih. Umur formasi ini adalah Miosen tengah bagian bawah.
37
f. Formasi Oyo Formasi ini diendapkan secara tidak selaras dengan Formasi Nglanggran dan membagi dengan Formasi Sambipitu. Penyusun formasi ini terdiri atas batu gamping, napal, dan tuf andesit. Umur formasi ini adalah Miosen awal bagian atas sampai tengah bagian bawah. g. Formasi Wonosari Posisi formasi ini menjari terhadap Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo. Batuan penyusun formasi ini adalah batu gamping berlapis, reef limestone, batu gamping napalan, dan batu lamau. h. Formasi Kepek Formasi ini menjari tehadap Formasi Wonosari dengan penyusunan utama batuannya adalah perselingan batu gamping dengan napal. Formasi ini mempunyai umur Miosen atas. i. Endapan kuarter terrarosa dijumpai di daerah karst Pegunungan Sewu. Endapan ini adalah campuran tanah pelapukan gamping, sisa-sisa sedimen yang tidak mampu terangkut oleh air dan tanah lempung berwarna merah. Terrarosa tersebar dan mengisi bagian dasar cekungan dan bagian dasar dolina-dolina. j. Endapan Aluvial Endapan ini berasal dari deposisi sungai dan tersusun oleh lempung berwarna hitam, lanau, pasir, kerakal, berangkal, dan sisa-sisa tanaman.
Kawasan Lembah Mulo didominasi oleh batuan kapur yang tersebar pada penjuru kawasan. Berdasarkan data pada peta tanah yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Gunungkidul tahun 2010, kawasan Lembah Mulo memiliki jenis tanah mediteran merah dan rendzina. Jenis tanah ini memiliki hubungan dengan iklim laut
tengah
(mediterania) yang dicirikan dengan musim dingin banyak hujan dan musim panas kering. Tanah ini pertama kali ditemukan dan diselidiki sekitar laut tengah disepanjang pantai Eropa, sepanjang pantai asia barat yang mengitari laut tengah.
38
Selain itu tanah inipun terdapat di Amerika Selatan dan Asia Tenggara (Indonesia, Laos, Filipina). Jenis tanah ini terutama yang merah juga terkenal dengan nama Terra Rossa. Dibandingkan dengan batu kapur sebagai bahan induk tanah Mediteran Merah Kuning memperlihatkan akumulasi sesquioksida dan silika, sedangkan jika dibandingkan dengan jenis-jenis tanah dari daerah humid seperti latosol, jenis tanah ini mempunyai lebih kadar alkali dan alkali tanah. Tingginya kadar Fe dan rendahnya kadar bahan organik menyebabkan tanah Mediteran Merah Kuning berwarna merah mengkilat, bertekstur geluh dan mengandung konkresi Ca dan Fe. Di Indonesia tanah jenis ini lanjut mengalami pembentukan tanah dengan cara lixiviasi dan kalsifikasi lemah, tekstur berat, konsistensi lekat, kadar bahan organik rendah, reaksi alkalis, derajad kejenuhan bsa tinggi, horison B tekstur berwarna kuning merah, mengandung konkresikonkresi kapur dan besi, horison eluvial umumnya tererosi, dengan topografi berbukit sampai pegunungan. Area tapak didominasi oleh tanah jenis mediteran merah dan rendzina seperti tersaji pada Gambar 10 dan Gambar 11. Tanah mediteran merupakan jenis tanah yang tergolong kurang peka (SK. Menteri Pertanian 24 November 1980 dalam Penuntun Analisis Tapak). Tanah jenis ini dalam bentuk fisik merupakan pelapukan dari batuan kapur sehingga kadar hara pada tanah ini rendah. Kedalaman top soilnya tidak terlalu dalam. Area sensitif tanah jenis ini pada tapak terletak pada daerah yang dekat dengan pinggiran lembah karena rawan erosi. Tanah disekitar kali memiliki kandungan hara yang lebih baik dari tanah disekitarnya karena area tersebut dialiri air dan lumpur yang kaya akan bahan organik.
Gambar 10. Penampakan Tanah Pada Kawasan Lembah Mulo
Gambar 11. Peta Tanah
39
40
Hidrologi Kawasan Lembah Mulo merupakan daerah yang kering dan kesulitan air. Pada dasar lembah terdapat bekas aliran Kali Ngingrong yang kondisi kualitas dan kuantitas airnya seperti yang tersaji pada Gambar 12. Kali Ngingrong akan terisi air ketika musim hujan dan akan surut ketika musim kemarau tiba. Kali Ngingrong berujung pada dua buah mulut goa yang berbeda, yaitu Goa Ngingrong dan Goa Mulo. Kali tersebut selanjutnya masuk ke dalam gua dan pada dasar gua terdapat telaga dan sungai bawah tanah (pada Goa Ngingong). Sungai dan telaga bawah tanah tersebut kabarnya merupakan sumber air masyarakat sekitar pada zaman dulu. Pada tempat lain di Desa Serpeng terdapat dua telaga karst, yaitu Telaga Serpeng I dan Telaga Serpeng II. Telaga Serpeng II dari segi ukuran dan kuantitas air lebih luas daripada Telaga Serpeng I. Kedua telaga tersebut merupakan daerah tangkapan air kawasan sekitar khususnya Desa Serpeng seperti tersaji pada Gambar 13. Hidrologi pada kawasan ini dibedakan berdasarkan keberadaan dan tingkat kebersihannya. Nilai tertinggi diberikan pada badan air yang berada di endokarst karena keberadaannya sangat langka dan sensitif. Sedangkan nilai paling rendah diberikan pada badan air yang berada di eksokarst, kotor, dan keruh.
Gambar 12. Kali Ngingrong
Gambar 13. Peta Hidrologi
41
42
Iklim Gunungkidul secara umum memiliki iklim tropis kering. Berdasarkan data yang diperoleh dari Triple A Atlas Gunungkidul tahun 2005, curah hujan pertahunnya hanya 1906 mm per tahun. Suhu rata-ratanya sebesar 26°C dan kelembapan rata-ratanya 81% (Tabel 7). Kawasan lembah Mulo memiliki keunikan tersendiri. Jika musim kemarau (April-September) tiba maka lembah akan terlihat gersang tanpa ada vegetasi berupa perdu pun ditambah pohon-pohon jati yang meranggas. Namun, bila musim hujan (Oktober-Maret) maka Lembah Mulo akan terlihat hijau dan ditumbuhi oleh tanaman liar serta pohon jati yang mendominasi kawasan. Tabel 7. Kondisi Iklim Gunungkidul (1995-2005) Curah Hujan Suhu No. Bulan (mm) (°C)
Kelembapan (%)
1
Januari
319
25,5
86
2
Februari
306
25,7
86
3
Maret
288
26,0
84
4
April
146
26,5
84
5
Mei
157
26,5
82
6
Juni
67
25,7
80
7
Juli
28
25,5
78
8
Agustus
23
25,5
76
9
September
33
26,0
75
10
Oktober
96
26,8
78
11
November
188
26,3
83
12
Desember
255
26,0
85
26
81
Jumlah Rata-rata
1906 158,83
Sumber: Tripel A Atlas Gunungkidul 2005
43
Keanekaragaman Hayati Ekosistem karst menyebabkan daerah tersebut miskin unsur hara dan kekurangan air. Tidak semua tumbuhan mampu berkembang dengan baik pada kondisi lingkungan karst. Banyak warga sekitar membudidayakan tanaman yang adaptif dan kuat terhadap kekeringan dan kurang unsur hara dalam tanah, seperti jati, kayu putih, dan akasia (Tabel 8). Peranan vegetasi di kawasan karst selain untuk budidaya yang dapat menghasilkan nilai ekonomi juga sangat penting untuk menekan terjadinya erosi.
Tabel 8. Vegetasi pada Kawasan Lembah Mulo No.
Nama Latin
Nama Lokal
Famili
1 Acacia auriculiformis
Akor
Fabaceae
2 Acacia leochophloea
Pilang
Fabaceae
3 Acacia tomentosa
Klampis
Fabaceae
4 Acacia villosa
Akvil
Fabaceae
5 Alstonia scholaris
Pulai
Apocynaceae
6 Antidesma bunius
Wuni
Phyllanthaceae
7 Butea monosprema
Ploso
Fabaceae
8 Caesalpinia sappan
Secang
Fabaceae
9 Cassia fistula
Trengguli
Fabaceae
10 Cassia siamea
Johar
Fabaceae
11 Dalbergia latifolia
Sonokeling
Fabaceae
12 Eucalyptus alba
Kayu putih
Myrtaceae
13 Euginia cuminl
Duwet
14 Glirisedia spp.
Gamal
15 Lagestroemia spp.
Bungur
Lythraceae
16 Leucaena glauca
Kemlanding
Fabaceae
17 Paraserianthes falcatania
Sengon
Fabaceae
18 Pinus merkusii
Pinus
Pinaceae
19 Swietenia mahogani
Mahoni
Meliaceae
20 Tectona grandis
Jati
Lamiaceae
Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Gunungkidul
44
Kawasan Lembah Mulo juga terdapat satwa-satwa yang khas dan merupakan endemik ekosistem karst. Beberapa diantaranya adalah burung walet, ular king kobra, kelelawar, trenggiling, landak, dan lain-lain (Tabel 9). Burung walet merupakan satwa endemik kawasan karst yang menjadikan goa sebagai sarangnya seperti tersaji pada Gambar 14 dan Gambar 15. Satwa ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar kawasan. Pada beberapa spot kawasan juga kadang kala ditemui ular king kobra yang sangat berbisa.
Tabel 9. Satwa pada Kawasan Lembah Mulo No.
Nama Latin
Nama Lokal
Famili
1 Aerodramus fluaphagus
Burung walet
Apodidae
2 Bronchocela jubata
Bunglon
Agamidae
3 Gekko gecko
Tokek
Gekkonidae
4 Hemiscorpius lepturus
Kalajengking
Dromopoda
5 Hystrix javanica
Landak
Erethizontidae
6 Manis javanica
Trenggiling
Manidae
7 Naja sputatrix
Kobra
Elapidae
8 Ophiophagus hannah
King cobra
Elapidae
9 Pteropus brunneus
Kalong
Pteropodidae
10 Pteropus hypomelanus
Codot
Pteropodidae
11 Python reticulatus
Sanca kembang
Pythonidae
12 Rattus argentiventer
Tikus sawah
Muridae
13 Viverricula indica
Musang
Viverridae
Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Gunungkidul
(a) (b) Gambar 14. Vegetasi dan Satwa di Kawasan Lembah Mulo (a) pohon jati, (b) kelelawar
Gambar 15. Peta Keanekaragaman Hayati
45
46
Visual Lembah Mulo memiliki beragam objek karst yang masih alami. Kawasan ini memiliki goa, sungai bawah tanah, lembah karst, telaga karst, sinkhole, dan bukit karst. Pandangan ke arah Lembah Mulo merupakan good view dengan pemandangan lembah yang indah dan bukit-bukit yang berjejer ke arah pantai selatan. Titik tertinggi kawasan berada pada bukit tepat disamping lembah yang dapat menjangkau pemandangan kawasan lembah dengan leluasa. Titik terendah pada kawasan terdapat pada sinkhole karst yang untuk mencapai tempat tersebut memerlukan keahlian khusus dalam hal memanjat dinding. Good view lain pada kawasan adalah dua telaga yang terletak dekat dengan pemukiman warga. Dominasi pohon jati yang masif menciptakan kesan tersendiri pada kawasan. Kawasan lembah akan tampak hijau ketika musim hujan tiba dan tampak kering dan tandus saat musim kemarau seperti yang tersaji pada Gambar 16 dan Gambar 17. Bad view ditemui pada beberapa kios yang tersebar di kawasan Lembah Mulo yang belum tersusun dengan baik. Tegalan warga yang dibiarkan tidak terawat pun menjadi bad view pada kawasan Lembah Mulo. Beberapa pemandangan yang tidak baik pada tapak bisa direduksi dengan penataan kembali kios-kios yang belum tersusun dengan rapi tersebut dan menata tegalan warga menjadi lebih rapi dalam pola penanamannya.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 16. Kondisi Visual Lembah Mulo (a) Lembah Mulo, (b) perkebunan jati, (c) luweng (sinkhole), (d) Goa Ngingrong, (e) bukit karst, (f) tegalan
Gambar 17. Peta Visual
47
48
Kondisi Sosial Budaya Desa Mulo Lembah Mulo terletak di Desa Mulo Kecamatan Wonosari. Kondisi alamnya yang susah dan tandus membuat banyak masyarakatnya bermigrasi ke kota. Sebagian besar masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, baik petani sawah tadah hujan maupun petani ladang. Curah hujan yang rendah membuat petani mengalihkan pola pertaniannya ke ladang ketika musim kemarau tiba. Pada kawasan dengan kemiringan yang curam penduduk setempat memanfaatkan area tersebut dengan menanaminya dengan tanaman jati, akasia, kayu putih, dan lain-lain. Penduduk setempat sepertinya sudah mampu memahami tentang konservasi area yang memiliki kemiringan yang curam dengan ditanami tanaman kayu tahunan. Budaya Jawa masih terasa kental dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Pada waktu tertentu diadakan berbagai kegiatan yang masih memiliki rasa budaya yang kuat. Pascapanen masyarakat melaksanakan rasulan, yaitu rangkaian acara sebagai ungkapan rasa sukur kepada Tuhan atas hasil panen yang telah mereka terima. Rangkaian acara rasulan biasanya diiringi dengan tarian daerah reog dogdog dan wayang kulit. Masyarakat setempat juga rutin mengadakan bersih-bersih desa dan kerja bakti.
Kependudukan Desa Mulo Berdasarkan Wonosari Dalam Angka Tahun 2008, Desa Mulo terdiri atas tiga dusun, yaitu Karang Asem, Mulo, dan Kepil dengan 11 RW dan 34 RT. Jumlah penduduk Desa Mulo sebanyak 4368 orang yang terdiri atas 2095 laki-laki dan 2273 perempuan dengan kepadatan penduduk 629 orang/km2. Islam merupakan agama yang dianut sebagian besar masyarakat dengan persentase mencapai 99%. Umur 15-19 tahun merupakan kelompok yang paling banyak terdapat di Desa Mulo dengan 440 orang seperti yang terlihat pada Tabel 10. Berdasarkan data juga terlihat bahwa tidak ada penduduk yang bermigrasi menuju Desa Mulo. Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh keadaan Desa Mulo yang tidak begitu bagus untuk memperbaiki taraf kehidupan calon penduduk yang akan bermigrasi kesana.
49
Tabel 10. Penduduk Desa Mulo Menurut Kelompok Umur Kelompok Umur Laki-laki Perempuan 0-4 163 162 5-9 181 178 10-14 174 168 15-19 215 224 20-24 178 182 25-29 164 187 30-34 163 189 35-39 160 185 40-44 143 157 45-49 127 131 50-54 102 106 55-59 86 101 60-64 80 92 65-69 58 75 70-74 53 60 75+ 50 75 Jumlah 2.095 2.273 Sumber: Wonosari Dalam Angka Tahun 2008
Jumlah 325 360 342 440 360 350 352 345 299 258 208 188 171 133 113 125 4.368
Data kependudukan dapat menunjukkan kira-kira berapa banyak tenaga kerja yang dapat terserap untuk mengelola kegiatan ekowisata di kawasan Lembah Mulo. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Bab I pasal 1 dan 2 disebutkan bahwa usia angkatan kerja adalah rentang usia antara 15-64 tahun. Masyarakat yang memiliki umur antara 15-64 tahun (usian angkatan kerja) yang berjumlah 2971 orang di kawasan Lembah Mulo berpotensi sebagai tenaga kerja. Masyarakat dapat melakukan kegiatan wisata seperti dengan membentuk Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), menjual beragam kuliner khas daerah, menjual cinderamatan, dan lain-lain.