1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana telah disebutkan secara tegas di dalam konstitusi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia dalam melaksanakan berbagai kegiatannya selalu berdasarkan hukum. Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia. Sebagai hukum nasional, berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subjek hukum dan objek hukum tertentu pula. Subjek hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga negara asing yang berdomisili di Indonesia, sedangkan objek hukum Indonesia adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di wilayah hukum Indonesia. Dalam hubungan antar manusia kemudian dikenal suatu konsep mengenai hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya dengan layak yang biasa disebut Hak Asasi Manusia (HAM). Definisi mengenai hak asasi dalam peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap
2
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.1 Definisi hak asasi yang disebutkan di atas mengandung dua teori besar mengenai lahirnya hak asasi. Dua teori besar tersebut ialah teori hukum alam dan teori perjanjian. Teori hukum alam dapat dilihat dalam adanya kesadaran bahwa hak asasi manusia bersifat kodrati dan melekat serta merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan teori perjanjian dapat diketahui dengan adanya ketentuan bahwa hak asasi tersebut diatur dan dilindungi oleh hukum dan Pemerintah. Sebagai sebuah negara, Indonesia di dalam konstitusinya juga memberikan jaminan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Hal ini terdapat dalam ketentuan Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia. Pada ketentuan tersebut terdapat hak-hak asasi yang diakui oleh negara. Beberapa hak asasi yang terdapat dalam ketentuan tersebut ialah hak untuk hidup serta mempertahankan kehidupannya, hak untuk membentuk keluarga dan keturunan melalui perkawinan yang sah, hak atas pengakuan jaminan dan perlindungan hukum, hak untuk memeluk agama dan beribadat, hak untuk hidup sejahtera serta hak untuk tidak disiksa.2 Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia juga dapat dilihat dalam tujuan negara Indonesia yang terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI) alinea IV (empat). Dalam alinea IV (empat) itu disebutkan bahwa pemerintah Indonesia wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, menyejahterakan rakyat 1 2
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28A – 28I
3
Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia sebagai tujuan negara tersebut dapat dilihat sebagai bentuk pengakuan dan jaminan atas hak asasi manusia. Penegakan dan jaminan atas perlindungan hak asasi manusia tersebut haruslah dimanifestasikan dalam suatu produk hukum. Produk hukum tersebut bukan hanya memberi paksaan bagi warga negara untuk saling menghargai hak asasi manusia, tapi juga mengikat negara ataupun penguasa. Tidak hanya mengikat negara ataupun penguasa untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, namun juga mengikat negara untuk melakukan penegakan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hukum positif di Indonesia, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mengenai masalah hak asasi manusia. Beberapa hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai hak asasi manusia antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Tap. MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; 3. Tap. MPR Nomor V/MPR/2000 mengenai Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional; 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Covention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment; 5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; 7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant
On
Economic
Social
And
Cultural
Rights (ICESCR); 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR); 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat; 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. Produk hukum tersebut mengatur mengenai hukum materiil dan formil mengenai perlindungan hak asasi manusia. Produk hukum yang telah ada berlaku secara positif di Indonesia, pada kenyataannya tidak menjamin adanya penegakan terhadap hak asasi manusia. Sepanjang perjalanan Negara Indonesia banyak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah
5
“setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Hingga saat ini banyak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia, bahkan beberapa kejadian pelanggaran hak asasi manusia tersebut dilakukan oleh aparatur negara. Kejadian pelanggaran hak asasi manusia oleh aparatur Negara tersebut seringkali penyelesaiannya tidak memperoleh penyelesaian yang jelas. Menurut sumber Litbang Kontras setidaknya ada beberapa pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa yang hingga saat ini belum terselesaikan, diantaranya adalah: 1. Pembantaian masal terhadap anggota maupun simpatisan PKI pada tahun 1965 yang diperkirakan jumlah korbannya sekitar 1,5 juta orang; 2. Kasus di Timor-Timur pra referendum pada tahun 1974-1999 yang diperkirakan jumlah korbannya mencapai ratusan ribu oleh aparat TNI; 3. Kasus di Aceh setelah dideklarasikannya pendirian GAM oleh Hasan Di Tiro yang diperkirakan jumlah korban penghilangan paksa mencapai 350 orang; 4. Kasus-kasus di Papua. Operasi militer intensif dilakukan oleh TNI untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya alam, antara perusahaan tambang internasional, aparat negara, berhadapan dengan penduduk lokal;
6
5. Peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989 yang mengakibatkan korban meninggal sebanyak 235 orang dan sejumlah orang yang hilang; 6. Penculikan aktivitis prodemokrasi pada tahun 1997-1998 dengan jumlah korban 23 orang dan 13 orang diantaranya belum kembali hingga saat ini.3 Sebagian pelanggaran HAM oleh rezim yang berkuasa tersebut dilakukan dengan penculikan atau penghilangan secara paksa orang-orang yang dianggap bertentangan dengan pihak rezim yang berkuasa. Penghilangan orang secara paksa ini dilakukan tanpa adanya proses hukum terlebih dahulu. Penghilangan orang secara paksa ini jelas-jelas bertentangan dengan hak-hak asasi yang telah dijunjung dalam konstitusi Indonesia sebelum dan setelah amandemen. Hak-hak yang dilanggar dengan adanya penghilangan secara paksa ini misalnya hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh perlindungan, jaminan serta kepastian hukum yang adil, hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, hak untuk berkomunikasi dan informasi, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, dan lainnya. Praktek penghilangan paksa di Indonesia ini dapat dilihat dalam artikel oleh Usman Hamid dan Sri Suparyati yang menyatakan bahwa: Penghilangan orang secara paksa —atau ‘penculikan’ dalam istilah yang lebih populer—merupakan praktek politik yang sering terjadi di negara-negara otoriter di dunia. Pada masa itu praktek politik kekerasan seperti ini digunakan sebagai bentuk respon dalam meredam ekspresi politik masyarakat yang coba menggunakan hak-hak dan kebebasan dasarnya sebagai seorang warga negara. Bahkan hakhaknya sebagai manusia-pun turut dirampas. 3
Kontras, Data Pelanggaran HAM, http://kontras.org/data/persoalan_penting_HAM_di_IND.pdf, diakses pada tanggal 13 Maret 2015
7
Penghilangan paksa merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa itu. Mulai dari tahun 1965 (pembantaian massal PKI dan pendukung Soekarno yang di PKI-kan), 1984 (Tanjung Priok), 1989 (Talangsari, Lampung), 1997-1998 (penculikan aktifis pro-demokrasi) hingga saat ini. Semua bentuk penghilangan paksa tersebut belum juga memperoleh pertanggungjawaban negara yang adil. Bahkan sebagian besar dari mereka belum diketahui keberadaannya.4 Penghilangan orang secara paksa ini kemudian menjadi perhatian banyak pihak, baik dalam dan luar negeri karena perbuatan ini acap kali digunakan oleh rezim yang berkuasa di suatu Negara ataupun wilayah untuk memepertahankan kepentingan ataupun idiologinya. Berdasarkan keadaan ini kemudian lahir sebuah kesadaran untuk melindungi setiap orang dari penghilangan secara paksa. Penegakan hukum terhadap kasus penghilangan paksa di Indonesia masih belum berhasil secara baik. Hal itu terkendala oleh beberapa hal seperti produk hukum yang belum memadai maupun kofigurasi politik yang masih didominasi oleh pihak-pihak yang diduga menjadi orang yang bertanggung jawab dalam kasus penghilangan orang secara paksa serta belum adanya kemauan politis (political will) dari penguasa. Produk hukum yang belum memadai dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang belum mengatur secara jelas dan kongkrit mengenai penghilangan orang secara paksa. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia hanya mengatur mengenai
4
Usman Hamid, Sri Suparyati, 2014 “Penghilangan Orang http://kontras.org/index.php?hal=opini&id=27, diakses pada tanggal 28 Agustus 2014
Paksa”,
8
pelanggaran berat Hak Asasi Manusia berupa Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Genosida. Konfigurasi
politik
juga
menentukan
dalam
penyelesaian
kasus
penghilangan orang secara paksa. Berdasarkan pendekatan melalui konfigurasi politik yang ada dapat dilihat bahwa pihak-pihak yang diduga sebagai pihak yang bertanggung jawab masih memiliki dominasi dan pengaruh terhadap kekuasaan saat ini maupun yang akan datang. Nama-nama seperti Prabowo Subianto yang diduga pihak yang paling bertanggung jawab sebagai komandan Kopassus yang membentuk Tim Mawar dalam kasus penghilangan 23 orang aktifis pada periode tahun 19971998 masih menjadi calon Presiden pemerintahan 2014-2019.5 Koalisi yang mendukungnya juga memiliki kursi yang mendominasi di parlemen masa pemerintahan 2014-2019. Pada kubu yang berseberangan dengannya juga terdapat nama Hendropriyono yang diduga pihak yang bertanggung jawab dalam kasus penghilangan dan penembakan ratusan jemaah dan petani pada kasus Talangsari pada tahun 1989 serta Wiranto yang diduga bertanggung jawab dalam kasus kekerasan Timor-Timur pasca jajak pendapat atau referendum pada tahun 1999. Selain itu masih ada Muchdi Purwoprandjono yang sama seperti Prabowo Subianto juga dianggap bertanggung jawab dalam kasus penghilangan aktifis dan mahasiswa yang termasuk dalam kelompok pro demokrasi pada tahun 1997-1998. 5
Made Supriatna, Melacak Tim Mawar, http://indoprogress.com/2014/05/melacak-tim-mawar/, diakses pada tanggal 13 Maret 2015
9
Belum adanya kemauan politis (political will) dari penguasa juga menyebabkan buntunya penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia, secara khusus dalam kasus penghilangan orang secara paksa. Belum adanya kemauan politis (political will) dari penguasa ini dapat terlihat dari keengganan pihak penguasa untuk mengadakan penyelidikan secara mendalam dan membentuk pengadilan ad hoc untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Indriaswati “Hampir sepuluh tahun kekuasaan Presiden Yudhoyono, tidak muncul satu pun inisiatif dari pemerintah, untuk menyelesaian bermacam tunggakan kejahatan negara di masa lalu".6 Keadaan yang kurang mengutungkan bagi penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia dalam negeri mengakibatkan para aktifis dan penggiat hak asasi manusia melihat solusi alternatif melalui instrumen hukum internasional yang ada. Hal ini selanjutnya memunculkan desakan kepada pemerintah yang berkuasa untuk melakukan ratifikasi sejumlah konvensi internasional seperti Optional Protocol International Convenant on Civil and Political Right (Protokol Tambahan Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik), Second Optional Protocol International Convenant on Civil and Political Right (Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik), Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak tentang Perdagagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak, Konvensi Internasional tentang Perlindungan 6
Elsam, “Elsam: 10 Tahun SBY, Nihil Penyelesaian Kasus HAM”, http://www.elsam.or.id/article.php?act=content&id=2769&cid=101&lang=in#.Uqc2FHCw3t8, diakses pada tanggal 28 Agustus 2014
10
Hak-Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya serta beberapa perjanjian internasional lainnya. Selain itu juga ada desakan untuk meratifikasi konvensi internasional yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan dari penghilangan secara paksa yakni Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Person s from Enforced Disseapearance). Sebelumnya telah disebutkan bahwa kasus penghilangan orang secara paksa telah menjadi perhatian banyak pihak, baik. Perhatian yang mendalam ini kemudian memunculkan kesadaran mengenai pentingnya penegakan terhadap kasus penghilangan orang secara paksa yang telah terjadi serta adanya ancaman mengenai kejadian yang serupa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Kesadaran inilah yang kemudian melahirkan konvensi internasional mengenai Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Secara Paksa. Konvensi ini disepakati pada tanggal 6 Februari 2007 di Paris, Perancis. Menurut ketentuan Pasal 39 ayat (2) Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa, konvensi ini berlaku 30 hari setelah diratifikasi oleh 20 negara. Irak menjadi negara ke-20 yang meratifikasi konvensi ini pada tanggal 23 November 2010. Oleh karena itu, konvensi ini secara resmi memiliki kekuatan hukum pada tanggal 23 Desember 2010. Hingga saat ini konvensi ini telah diratifikasi oleh 43 Negara.7 7
http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/CED/Pages/ConventionCED.aspx, diakses pada tanggal 13 Maret 2013
11
Pada tahun 2010, Indonesia melalui menteri luar negeri Marty Natalegawa telah menandatangani konvensi ini. Namun hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi konvensi internasional ini. Dengan adanya kejadian penghilangan paksa yang telah berulang di Indonesia dan tidak adanya penyelesaian atas kasus penghilangan paksa yang terjadi serta adanya peluang akan terjadinya penghilangan paksa pada masa depan diharapkan konvensi ini dapat membantu menyelesaikan masalah penghilangan paksa. Dalam konvensi ini terkandung asas-asas yang telah diakui sebagai prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti universal and inalienable, interdependent and indisvisible, equal and non-disrimatory, serta both rights and obligations. Konvensi ini juga berisi jaminan dan perlindungan setiap orang dari penghilangan secara paksa oleh rezim yang berkuasa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan dalam konvensi tersebut, seperti ketentuan dalam Article 1 yang menyebutkan “No one shall be subjected to enforced disappearance” atau Article 3 yang menyebutkan bahwa “Each State Party shall take appropriate measures to investigate acts defined in article 2 committed by persons or groups of persons acting without the authorization, support or acquiescence of the State and to bring those responsible to justice”. Penyelesaian pelanggaran HAM merupakan salah satu arah kebijakan dalam mewujudkan supremasi hukum. Pentingnya penegakan terhadap HAM merupakan penguatan agenda reformasi 1998, sebagaimana tertuang di dalam Tap. MPR No. V/MPR/2000 mengenai Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
12
Ketetapan ini menegaskan penghormatan dan penegakan HAM sebagai standar moral baru dalam proses pembaharuan politik ketatanegaraan yang lebih demokratis. Lebih jauh, pandangan ini kembali ditekankan dalam Tap. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, yang menyebutkan penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu indikator dalam mewujudkan keberhasilan merealisasikan visi Indonesia sebagai negara yang demokratis dan sejahtera.8 Keberadaan konvensi ini memang diharapkan dapat memberikan perlindungan hak asasi berupa perlindungan dari penghilangan paksa, namun konvensi ini tidak dapat dengan serta merta diratifikasi oleh Indonesia. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terutama mengenai kesesuaian konvensi ini dengan sistem hukum yang ada di Indonesia, baik struktur, substansi maupun budaya hukumnya. Berdasarkan pemaparan yang dilakukan oleh penulis terdapat sebuah permasalahan dalam urgensi ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disseapearance) terhadap penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan diteliti oleh penulis adalah: 8
Elsam, “Masukan Elsam dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I DPR RI terkait dengan pembahasan RUU tentang Pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa”, http://www.elsam.or.id/downloads/518735_Masukan_Elsam_RDPU_Penghilangan_Paksa.pdf diakses pada tanggal 28 Agustus 2014
13
1. Apa urgensi ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disseapearance) terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia? 2. Faktor-faktor apakah yang menentukan ratifikasi sebuah konvensi dalam sistem hukum Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui urgensi ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa (International Convention
for
the
Protection
of
All
Persons
from
Enforced
Disseapearance) terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia. 2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apakah yang menentukan ratifikasi sebuah konvensi dalam sistem hukum Indonesia. D. Manfaat Penelitian Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan, baik dalam hal akademis maupun praktis. 1. Kegunaan Akademis Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu hukum dalam bidang perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama mengenai perlindungan setiap orang dari penghilangan orang secara paksa.
14
2. Kegunaan Praktis Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan bantuan dan masukan bagi para praktisi, baik penegak hukum, Lembaga Swadaya Masyarakat maupun masyarakat yang memiliki perhatian terhadap penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama yang menyangkut mengenai penghilangan orang secara paksa. E. Keaslian Penelitian Dalam penelusuran kepustakaan yang dilakukakan, penulis menemukan penulisan hukum dan tesis yang berkaitan dengan Urgensi Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance). Penulisan hukum tersebut memiliki beberapa perbedaan dengan penulisan hukum yang akan dilakukan oleh penulis. Penulisan hukum yang memiliki keterkaitan dengan penulisan hukum yang akan dilakukan penulis ialah: 1. Penulisan Hukum oleh Aulia Nur Rachmi pada tahun 2014 mengenai Prospek Ratifikasi Indonesia Terhadap International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance Ditinjau Dari Sistem Penegakan Hukum Indonesia. Penulisan hukum ini memiliki perbedaan memiliki beberapa perbedaan dengan penulisan hukum yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu: a) Penulisan hukum tersebut lebih menggunakan pendekatan hukum Internasional dengan melakukan kajian terhadap yang terdapat dalam
15
ketentuan konvensi ini sedangkan Penulis akan menggunakan pendekatan Hukum Tata Negara dengan melihat secara lebih mendalam konsekuensi ratifikasi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dengan melihat kesesuaiannya dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia dan dengan memperhatikan kedudukan dan kewenangan lembaga negara yang berperan dalam ratifikasi konvensi ini; b) Penulisan hukum tersebut belum menjelaskan secara menyeluruh faktor-faktor yang menentukan beserta hal-hal yang diperlukan dalam meratifikasi sebuah konvensi sebagaimana yang akan dilakukan oleh Penulis dalam tesis ini; c) Penulisan hukum tersebut belum menyebutkan secara tegas kasuskasus mengenai pelanggaran hak asasi manusia berupa penghilangan orang secara paksa yang terjadi di Indonesia beserta ketentuan dalam konvensi ini yang dapat memaksa negara untuk melakukan penegakan hukum terhadapnya. 2. Tesis oleh Putu Bravo Timothy pada tahun 2012 dengan judul Penguatan Fungsi dan Kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) dalam Upaya Rekonsiliasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Di Masa Lalu. Tesis ini memiliki kesamaan dengan penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis terutama dalam hal meneliti
16
perlindungan hak korban pelanggaran Hak Asasi di masa lalu, namun terdapat perbedaan antara lain: a) Objek penelitian pada tesis tersebut adalah KOMNASHAM sedangkan objek penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah Konvensi
Internasional
mengenai
Perlindungan
Semua
dari
Penghilangan Secara Paksa; b) Penelitian tersebut berfokus pada pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat pada masa lalu sedangkan penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis berfokus pada penghilangan orang secara paksa, baik yang terjadi pada masa lalu maupun untuk melindungi orang dari penghilangan secara paksa pada masa yang akan datang.