BAB I PENDAHULUAN
1. Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Permasalahan Dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut UUD 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa : “ Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Prinsip dari Negara Kesatuan adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah Pusat (Central Government) tanpa adanya gangguan oleh delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (local government)”.1 Dalam suatu negara kesaiutuan segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan demikian urusan-urusan negara dalam negara kesatuan itu tetap merupakan suatu kebulatan dan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di negara itu adalah pemerintah pusat.2 Dengan adanya ketentuan tersebut berarti bahwa dalam melaksanakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan apapun dalam rangka kenegaraan harus dapat mencerminkan ikatan negara kesatuan. Namun karena geografisnya wilayah Negara Indonesia itu sangat luas yang meliputi banyak pulau yang besar dan kecil serta kondisi masyarakatnya dengan suku dan kebudayaan yang berbeda-beda, maka sudah tentu tidaklah mungkin jika segala sesuatunya akan diurus seluruhnya oleh Pemerintah Pusat .3 Untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan sampai ke seluruh pelosok negara maka wilayah negara Indonesia dibagi atas beberapa daerah. Oleh pemerintah pusat masing-masing daerah itu diberi hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah 1
F. Sugeng Istanto, 1998, Beberapa Segi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Indonesia, Karya Putera, Yogyakarta, h. 16. 2 M. Solly Lubis, 1997, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Alumni Bandung, h. 22. 3 Moh. Kusnardi dan Harmaey Ibrahim, 2001, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia IV, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan CV. Sinar Bhakti.
tangganya sendiri (hak otonomi).4 Sehingga dengan demikian dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah terutama pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sedangkan daerah-daerah yang mendapat hak otonomi disebut dengan daerah otonomi. Dasar hukum pembagian wilayah negara atas daerah-daerah otonomi tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 18 yang menyebutkan: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerinta daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat (6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembatuan (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang. Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan mengenal asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan , dengan memberi kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi Daerah. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberi kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah
Daerah
secara
proporsional
diwujudkan
dengan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejalan dengan era reformasi saat ini, pelaksanaan otonomi daerah yang ditetapkan oleh pemerintah republik Indonesia yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2001, tentu saja 4
F. Sugeng Istanto, 1991, Beberapa Segi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Indonesia, Karya Putera, Yogyakarta.
tidak sedemikian saja memenuhi kebutuhan daerah. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yaitu dengan melakukan penataan kewenangan, organisasi, perangkat daerah, penataan relokasi personil. Otonomi pada prinsipnya memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah,
sebagai
wujud
nyata
pelaksanaan
pemenuhan
aspirasi
rakyat,
dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan berlakunya undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menyebabkan
terjadinya
pergeseran-pergeseran
paradigma
pemerintahan
ke
arah
desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus pemerintahan di daerah. Pelaksanaan otonomi ini diletakkan pada daerah kabupaten dan kota. Daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom diberikan kewenangan yang luas dalam berbagai bidang pemerintahan dengan berdasarkan asas desentralisasi. Pemerintah kabupaten dan kota diberikan kewenangan penuh dan tanggung jawab yang luas untuk menentukan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan dari urusan pemerintahan. Propinsi Bali terdiri dari sembilan (9) daerah otonom, salah satunya kota Denpasar. Kota Denpasar merupakan ibu kota propinsi. Sebagai pusat pemerintahan propinsi Bali dan kota Denpasar dengan berbagai aktifitas kehidupan yang merupakan modal dasar untuk menunjang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Keberhasilan pembangunan kota Denpasar yang dicerminkan dari laju pertumbuhan ekonomi, telah menjadi daya tarik migran ke kota Denpasar. Semakin meningkatnya pembangunan maka diperlukan sarana dan prasarana yang mendukung. Sektor perhubungan merupakan salah satu sarana/ indikator dari pergerakan laju kehidupan kota Denpasar demi meningkatkan prasarana perhubungan maka diberikan wewenang kepada Dinas Perhubungan kota Denpasar untuk mengatur lalu lintas kota Denpasar. Kewenangan yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan kota Denpasar didasarkan atas Peraturan Daerah selanjutnya ditulis Perda Kota Denpasar baik dalam
menentukan produk hukum, menentukan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, serta pembiayaan atas unsur-unsur pemerintahan yang menjadi wewenangnya. Pembangunan
perhubungan/transportasi
di
kota
Denpasar
diharapkan
dapat
mewujudkan arus lalu lintas/angkutan kota yang lancar, tertib, aman dan nyaman. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai program seperti : peningkatan dan pengembangan sistem lalu lintas, peningkatan dan pengembangan manajemen angkutan umum, peningkatan dan pengembangan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana angkutan perkotaan. Berdasarkan prinsip otonomi daerah yang utuh dan luas yang berimplikasikan pada diberikannya kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah kabupaten kota untuk menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan, dan pemerintah kota Denpasar melaksanakan wewenang tersebut. Pelaksanaan kewenangan pengujian berkala kendaraan bermotor di kota Denpasar, dimana pemerintah kota Denpasar mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 26 tahun 2001 tentang penyelenggaraan pengujian kendaraan bermotor.
1.1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari uraian dalam latar belakang masalah, maka perumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 ?
2.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor di Kota Denpasar ?
1.1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan terhadap pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai yaitu pelaksanaan pengujian kendaraan
bermotor berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 dan Faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor di Kota Denpasar. 1.1.4 Orisinalitas Denpasar sebagai ibu kota di Propinsi Bali, memiliki kedudukan yang sangat strategis yakni sebagai pusat kegiatan yang menyangkut aspek kehidupan masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara pesat pada masa sekarang maupun masa mendatang. Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat tersebut membawa implikasi terhadap kondisi lalu-lintas yang semakin padat dan tidak teratur sehingga tidak dapat dijaminnya keamanan, keindahan, ketertiban dan kelancaran dalam berlalu lintas. Oleh karena itu pemerintah melakukan tindakan berupa pelebaran jalan, penambahan jaringan jaringan jalan baru, pengaturan tempat-tempat parkir, pengaturan angkutan dan transportasi jalan serta pengujian kendaraan bermotor. Pengujian kendaraan meliputi kegiatan memeriksa, menguji, mencoba dan meneliti yang diarahkan kepada setiap kendaraan wajib uji secara keseluruhan pada bagian-bagian kendaraan secara fungsional dalam sistem komponen serta dimensi teknisnya baik berdasarkan ketentuan yang berlaku maupun berdasarkan persyaratan teknis yang obyektif. Pada prinsipnya setiap jenis kendaraan bermotor wajib dilakukan uji berkala. Dikatakan pada prinsipnya oleh karena sampai saat ini uji berkala belum diberlakukan terhadap kendaraan-kendaraan pribadi dan juga belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut. Dalam peneltian skripsi ini agar tidak terdapat kesamaan dengan skripsi atau karya ilmiah sebagai plagiat, belum ditemukan adanya kesamaan dalam penulisan skripsi ini. Dengan melakukan perbandingan sebagai pijakan didalam melakukan pembahasan dan menganlisa permasalahan, agar karya tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui penegakkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 26 tahun 2001 tentang penyelenggaraan pengujian kendaraan bermotor. 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor berdasarkan UU No.23 Tahun 2014. 2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan pengujian kendaraan bermotor di Kota Denpasar ?
1.3 Manfaat Penulisan 1.3.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis bermanfaat bagia mahasiswa didalam pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai pengujian berkala kendaraan bermotor. 1.3.2 Manfaat Praktis Secara praktis bermanfaat sebagai bahan bacaan dan bahan referensi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian khususnya mengenai pengujian berkala kendaraan bermotor.
1.4
Landasan Teori Kerangka teori yang disusun dalam skripsi ini, mengambarkan hubungan antara konsep
negara hukum dinamis yang memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengatur segala kebutuhan masyarakat dengan kewenangan mengatur dari pemerintah. Khusus mengenai kewenangan mengatur dalam konteks peraturan perUndang-Undangan, ada beberapa batasan yang harus ditaati oleh pemerintah, secara formal bahwa kewenangan mengatur berasal dari kewenangan yang besifat delegasi dan atribusi, namun demikian ada pula yang bersifat kewenangan bebas dan hal ini diluar kontek peraturan perUndangundnagan namun diakui karena mengikat umum. Berbagai teori yang dipergunakan dalam penelitian ini diketengahkan teori, konsep, asas-asas hukum serta pandangan sarjana sebagai pembenaran teoritis. Pembenaran teoritik tersebut terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Konsep Negara Hukum Suatu Negara dapat dikatakan sebagai negara hukum “rechstaat” menurut Burkens, (sebagaimana dikutip Yohanes Usfunan) apabila memenuhi syarat-syarat:5 1) Asas legalitas. Pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perUndang-Undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formil dan Undang-Undang sendiri merupakan tumuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting Negara hukum. 2) Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. 3) Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan diri pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk Undang-Undang. 4) Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia. Bagir Manan, lebih lanjut mengetengahkan ciri-ciri minimal Negara hukum sebagai berikut:6
5
Yohanes Usfunan, 1988, Kebebasan Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana UNAIR Surabaya, hal.111.
1) Semua tindakan harus berdasarkan hukum. 2) Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya. 3) Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas). 4) Adanya pembagian kekuasaan
2. Konsep Kewenangan Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda, menurut Philipus M. Hadjon salah seorang guru besar Fakultas Hukum Unair mengatakan, bahwa “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum”.8 Komponen
pengaruh,
bahwa
penggunaan
wewenang
dimaksudkan
untuk
mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum; sedangkan komponen konformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar. Kewenangan secara teoritik dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.9 Atributie (atribusi) adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan; Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain; sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Atmadja menjelaskan, bahwa “wewenang inilah sesungguhnya yang merupakan “legal power” yang didalamnya melekat 3 (tiga) unsur, yaitu pengaruh yang memiliki katagori yang 6
Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, h.19. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana, Unpad, Tahun 1994-1995, di Bandung. 8 Emil J. Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Journal of Local Administration Overseas, hal.135. 9
Hadjon, Philipus M., 1991, Peradilan Tata Usaha Negara, Tantangan Awal di Awal Penerapan UU No.5 Tahun 1986, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
eksklusif (keluar) wajib dipatuhi oleh orang lain dan atau pejabat serta jabatan atau lembaga lainnya, unsur dasar hukum dan unsur komformitas.10 Ruang lingkup wewenang pemerintahan tidak hanya meliputi wewenang untuk membuat keputusan pemerintahan (besluit) tetapi juga semua wewenang dalam rangka melaksanakan tugasnya pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam konstitusi; pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-Undangan. Sementara Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan mengelola sendiri (zelfhestuten),11 sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari Undang-Undang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh UndangUndang; pembuat Undang-Undang dapat memberi wewenang pemerintahan, tetapi dapat juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 (setelah amandemen yang keempat kalinya), ditemukan beberapa Pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, yudisial maupun legislatif dalam Pasal-Pasal tersebut. Kewenangan ditafsirkan dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat, tidak dapat, menyatakan, mengangkat, memberi, mengatur, menyatakan, menetapkan, fungsi,
10
Ridwan, HR., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta, hal.74.
11
Ibid.
dapat melakukan, kekuasaan, berwenang dan lain-lain dengan berbagai istilah, akan tetap substansi dan maksudnya sama, yaitu kewenangan atau mempunyai autority.
3. Teori Efektivitas Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia efektivitas berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan efektif. Efektif artinya mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi efektivitas adalah sifat atau keadaan mulai berlakunya undangundang.1 Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan), jadi efektivitas adalah hal mulai berlakunya undang-undang atau peraturan.2 Berbicara efektivitas hukum Soerjono Soekanto berpendapat, bahwa “salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah penegakan hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif atau negatif.3 Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu : a) b) c) d)
Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
1
Badudu, J,S dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 371 2 Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 284. 3 Siswantoro Sunarso, 2014, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.4 Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan faktor pertama yang menjadi tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, dapat disebabkan5 : a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, seperti undang-undang tidak berlaku surut (artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku; b) belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang (adanya berbagai undang-undang yang belum juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undnag tersebut diperintahkan demikian); c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat. Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang bertugas di bidangbidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (status) merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dimana kedua unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin
4
Soejono Sokanto, 1983, Penegakkan Hukum, Bina Cipta, Jakarta,, hal. 8.
5
Ibid, hal.,17-18.
dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum yang berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan, yaitu6 : a) keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; b) tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi; c) kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; d) belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material; e) kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting peranannya dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tidak mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Jalan pikkiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, yaitu : a) b) c) d) e)
yang tidak ada –diadakan yang baru betul; yang rusak atau salah –diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang –ditambah; yang macet – dilancarkan; yang mundur atau merosot –dimajukan atau ditingkatkan.7 Masyarakat merupakan faktor keempat yang mempengaruhi penegakan hukum.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Salah satu arti hukum yang diberikan oleh masyarakat Indonesia yakni : hukum diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa, hakim). Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak hukum menjadi terlampau banyak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kebingungan pada diri penegak hukum, oleh karena terjadinya berbagai konflik dalam dirinya.
6 7
Ibid, hal. 34-35. Ibid, hal. 44.
Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik, yakni penegak hukum merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat. Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah mengenai penerapan perundang-undangan. Jika penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Disamping itu, mungkin juga timbul kebiasaan untuk kurang menelaah perundang-undangan yang kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat. Disamping itu, ada golongan masyarakat yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan bahwa hukum adalah hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan kuat satu-satunya tugas hukum adalah kepastian hukum. Dengan demikian, akan muncul anggapan yang kuat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban. Lebih menekankan pada kepentingan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga timbul gagasan kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan ini pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang belum tentu berlaku secara sosiologis.8 Faktor kelima kebudayaan. Setiap kelompok sosial yang ingin menyebut dirinya sebagai masyarakat, haruslah menghasilkan kebudayaan yang merupakan hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari masyarakat manusia, sangat berguna bagi warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan sebagai wadah dari segenap persaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan kebudayaan bagi manusia khususnya, akan diperhatikan aspek yang mengatur hubungan antarmanusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk menghasilkan tata
8
Ibid, hal .hal. 54-55.
tertib di dalam pergaulan hidup manusia dengan aneka warna kepentingan yang tidak jarang berlawanan satu dengan lainnya. Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan hidupnya, merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Hasil rasa tersebut merupakan daya upaya manusia untuk melindungi dirinya terhadap kekuatan lain di dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat tidak selamanya baik dan untuk menghadapi kekuatan yang buruk.9
4. Asas Otonomi Daerah Dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Yang dimaksud dengan Negara Kesatuan adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat dan berkuasa hanya satu Pemerintah Pusat yang mengatur seluruh daerah secara totalitas. Atau dengan kata lain, Negara Kesatuan adalah bentuk negara yang mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah yang dipegang sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat.21Kedaulatan sepenuhnya dari Pemerintah Pusat ini disebabkan karena di dalamnya negara kesatuan tidak terdapat negara-negara yang berdaulat. Meskipun di dalam negara kesatuan wilayah-wilayah negara dibagi dalam bagian-bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli seperti halnya dengan negara-negara bagian di dalam bentuk negara federasi.22 Negara kesatuan yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang menganut sistem Desentralisasi. Ketentuan mengenai hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya.
9
Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit : PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hal. 203. 21 Ibid.h. 68 22 Abdurahman, 1987, Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, Jakarta, hal. 54.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa ; 1. Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang 2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan pembantuan 3. pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokrasi. 5. pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sesuai urusan pemerintah pusat. 6. pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan – peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7. susunan dan tata cara penyelanggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undangundang 23 Jadi jelaslah bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan dengan sistem Desentralisasi yaitu kepada daerah-daerah diberikan kesempatan kekuasaan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonomi.24 Walaupun kepala daerah-daerah tersebut diberikan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, namun dalam bentuk negara kesatuan yang desentralisasi pemerintah pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi pelaksanaan pemerintah daerahdaerah otonom tersebut. Sesuai dengan bentuknya Negara Kesatuan yang didesentralisasikan, maka dalam menjalankan sistem pemerintahan di Indonesia Pemerintah berpegang pada dua (2) asas yaitu: 1. Asas Keahlian; 23
R. Joeniarto, 1982, Perkembangan Pemerintah Lokal, Alumni, Bandung, , hal. 47. Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hal. 3. 24
2. Asas Kedaerahan.25 Asas keahlian menunjukkan suatu asas yang menghendaki tiap urusan kepentingan umum di daerah kepada para ahli untuk diselenggarakan secara fungsional. Asas keahlian ini dapat dilihat pada susunan pemerintah di pusat, dimana soal kepentingan didaerah diolah oleh ahli-ahli seperti dalam kementrian-kementrian. Tetapi dengan bertambah banyaknya kepentingan-kepentingan yang harus diurus dan diselenggarakan oleh Pemerintah pusat bertambah majunya masyarakat, maka pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingan itu tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam melakukan pemerintahan.26 Dalam system pemerintahan mengandung dua asas dalam melaksanakan pemerintahan yaitu:27 1. Asas Desentralisasi Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pada badan atau golongan dalam masyarakat daerah tertentu yang mengurus rumah tangganya sendiri.28 Asas Desentralisasi ini pada hakekatnya merupakan konsekuensi dari banyaknya kepentingan-kepentingan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Bertambah majunya masyarakat, akibatnya pemerintah tidak dapat menguasai semua kepentingan itu dengan baik sehingga tugas itu diserahkan penguasaannya kepada Pemerintah Daerah.
2. Asas Dekonsentrasi
25
M. Manullang, Beberapa Aspek Administrasi Pemerintahan Daerah, PT. Pembangunan, Jakarta, 1973,
hal. 37. 26 27 28
Ibid, hal. 15 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1978, hal. 17. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonomi,Raja Grafindo Jakarta, 2001., hal. 15.
Kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah Provinsi dalam angka pelaksanaan
Dekosentrasi dilimpahkan
kepada
Gubernur
sebagai
wakil
pemerintah pusat, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh dinas Provinsi sebagai Perangkat Propinsi. Penyelenggaraan Dekonsentrasi itu dibiayai atas beban pengeluaran
pembangunan
APBN.
Pencatatan
dan
Pengelolaan
dalam
penyelenggaraan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari APBD. Gubernur memberitahukan kepada DPRD tentang kegiatan Dekosentrasi.29 Tugas pembantuan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Desa dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada pemerintah pusat. Penyelenggaraan Tugas Pembantuan itu dibiayai atas beban pengeluaran pembangunan APBN. Pencatatan dan pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan Tugas pembantuan dilakukan secara terpisah dari APBN. Pemerintah Daerah memberitahukan rencana Tugas Pembantuan kepada DPRD dan Pemerintah Desa, memberitahukannya kepada Badan Perwakilan Desa.
1.5
Metode Penelitian
1.5.1 Jenis Pendekatan Pendekatan masalah yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penulisan ini adalah pendekatan masalah secara emperis yaitu melakukan penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara kepada orang yang memahami terhadap permasalahan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan UUD 1945, UU No. 23 Tahun 2014 tentang 29
Widjaja, HAW,2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonomi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.168-169
Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 26 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor dan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Dinas Perhubungan Kota Denpasar dengan penerapannya di masyarakat. 1.5.2 Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan Skripsi ini adalah : 1. Data Primer Penelitian ini digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa pendapatpendapat atau tulisan-tulisan para ahli, Undang-Undang yang berlaku, serta untuk memperoleh informasi dari literatur – literatur yang berkitan dengan permasalahan yang dibahas dakam skripsi ini. 2. Data Sekunder Penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan penelitian langsung kelapangan yaitu di Kantor Dinas Perhubungan, melakukan wawancara kepada orang yang membidangi sesuai dengan rumusan permasalahan. 1.5.3 Teknik Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan wawancara dengan membuat pedoman wawancara terhadap responden atau informan di Kantor Dinas Perhubungan Kota Denpasar. Tujuan melakukan wawancara adalah guna mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan diperlukan penelitian.30
1.5.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Setelah mendapatkan data yang berhubungan dengan masalah yang disajikan, maka akan dibahas dengan analisa kualitatif, yaitu dengan memilih data yang memiliki kualitas
30
Setyo Yuwono Sudikni, 1995, Pengantar Penyusunan Karya Ilmiah, Cet. III, Aneka Ilmu, Jakarta, h. 37.
tinggi, berhubungan serta akurat guna menjawab permasalahan yang disajikan dan pada akhirnya akan disajikan secara deskriptif analisis.31
31
Hadi Sutrisno dan Sri Diamuli, Metodelogi Research, Jilid III, Gama University Press, Yogyakarta, 1977, h.159.