BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, hal ini dinyatakan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum yang secara konstitusional merupakan hasil amandemen ketiga UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia negara hukum, dengan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya peradilan administrasi dan unsur-unsur lainnya.1 Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal adanya berbagai macam hukum, baik hukum yang tertulis yang merupakan peraturan peninggalan zaman Hindia Belanda, maupun hukum yang tidak tertulis yang merupakan hukum adat yang berakena ragam.2 Berdasarkan kenyataan tersebut maka pengembangan ilmu di bidang Perundang-undangan terasa semakin diperlukan, sebagai wacana untuk membentuk hukum nasional, oleh karena hukum
1 Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, PT. Alumni, Bandung, h. 52. 2 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan I (jenis, fungsi, dan materi muatan), Kanisius, Yogyakarta, h. 13.
1
2
nasional yang dicita-citakan akan terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Selain itu pembentukan hukum tertulis itu dirasakan sangat perlu bagi perkembangan masyarakat dan negara saat ini.3 Pasal 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber hukum negara. Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia karena seluruh peraturan perundangundangan apapun di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mengacu kepada Pancasila, dalam arti seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.4 Perkembangan mengenai peraturan perundangan-undangan di Indonesia mengalami beberapa perubahan, dari dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disingkat dengan Ketetapan MPR) Nomor XX/MPR/1966, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, lalu Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan UndangUndang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ketetapan MPR tidak dimasukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12
3 4
Ibid. h. 15. Inu kencana Syafiie, 2002, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 172.
3
tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ketapan MPR dimasukan kembali dalam hierarki peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Ketetapan MPR merupakan suatu wujud peraturan perundang-undangan yang sah berlaku di Indonesia, bahkan dalam hierarki peraturan perundangundangan memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah yang tegas dinyatakan dalam Pasal 7 UndangUndang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dilihat dari sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, maka Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan MPR, dan Undang-Undang merupakan suatu bagian dari sistem norma Hukum Negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sumber dan dasar bagi pembentukan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan aturan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan dalam Ketetapan MPR dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan UndangUndang.5 Maka dari pada itu tidaklah dibenarkan jika ada suatu peraturan perundang-undangan
5
bertentangan
dengan
Maria Farida Indrati S. Op. Cit., h. 65.
peraturan
perundang-undangan
4
diatasnya. Apabila hal tersebut terjadi maka tindakan hukum yang patut diambil adalah melakukan Pengujian konstusionalitas peraturan perundang-undangan Pengujian konstusionalitas peraturan perundang-undangan atau judicial review on the constitutionality of law, yang kemudian popular disebut Judicial review saja, bertolak dari dasar pemikiran bahwa konstitusi adalah hukum dasar atau fundamental.6 Pengujian peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan agar tidak merugikan hak-hak warga negara, bahkan substansi undang-undang tidak boleh bertentangan dengan ataupun konstitusi.7 Kewenangan pengujian materi terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah kewenangan dari Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan kewenangan untuk melakukan pengujian materi undang-undang terhadap undangundang dasar adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat produk hukum berupa ketetapan yang bersifat mengatur (regeling). Padahal sebelumnya, produk hukum yang disebut Ketetapan MPR itu merupakan bagian dari tata urutan peraturan perundangundangan, sehingga memiliki sifat mengatur (regeling), yang tempatnya atau
6 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitusional Complaint), Sinar Grafika, Jakarta, h. 253. 7 Iriyanto A. Baso Ence., Op. Cit., h. 110.
5
hierarkinya berada di atas undang-undang namun berada dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sampai saat ini ada beberapa Ketatapan MPR masih berlaku berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 yang berjumlah 139 dikelompokan kedalam 6 pasal (kategori) yaitu: 1. Kategori I: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan) 2. Kategori II: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan) 3. Kategori III: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan) 4. Kategori IV: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan) 5. Kategori V: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan) 6. Kategori VI: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan)
6
Permasalahan terjadi apabila suatu Ketapan MPR yang dinyatakan masih berlaku terdapat ketentuan atau norma yang di anggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan erundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini Ketetapan MPR tersebut merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia ataupun obyek hukum yang dilindungi hak dan kewenangan konstitusionalnya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah mengeluarkan keputusan terkait pengujian terhadap Ketetapan MPR melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 86/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan
yang
menyatakan
bahwa
Mahakamah Konstitusi tidak berhak untuk melakukan pengujian terhadap Ketetapan MPR karena bukan termasuk ruang lingkup kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk menguji Ketetapan MPR yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tetapi Ketetapan MPR yang di permasalahkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUUXI/2013 Tentang Pengujian Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 adalah Ketetapan
7
MPR Kategori VI yaitu Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak perlu
dilakukan
tindakan
hukum
lebih
lanjut,
baik
karena
bersifat
final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan yang berjumlah 104 ketetapan, bukan 8 Ketetapan MPR yang masih berlaku sampai saat ini berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 yang menjadi obyek permasalahan pada penelitian ini. Berlandaskan latar belakang tersebut cukuplah bagi saya untuk membuat skripsi yang berjudul “KEWENANGAN PENGUJIAN MATERI KETETAPAN MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
DALAM
HAL
BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan urutan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut: 1. Lembaga Negara manakah yang berwenang dalam pengujian materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945? 2. Bagaimanakah mekanisme pengajuan permohonan yang dapat ditempuh untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
8
1.3
Ruang Lingkup Masalah Untuk mencegah adanya pembahasan yang tertalu luas dan menyimpang
dari pokok permasalahan maka sangatlah diperlukan adanya pembatasanpembatasan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini yang menjadi ruang lingkup permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Pertama adalah tentang lembaga negara manakah yang berwenang dalam pengujian materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kedua akan dibahas mengenai mekanisme pengajuan permohonan yang dapat ditempuh untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1.4
Orisinalitas Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil
buah karya asli dari penulis, merupakan suatu buah pemikiran penulis yang dikembangkan sendiri oleh penulis. Sepanjang sepengetahuan penulis dan setelah melakukan pengecekan atau pemeriksaan (baik dalam ruangan gudang skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana dan didalam internet) tidak ditemukan adanya suatu karya ilmiah atau skripsi yang membahas atau menyangkut permasalahan tentang Kewenangan Pengujian Materi Ketetapan Majelis
9
Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1.5
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut: 1.5.1
Tujuan Umum
1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa 2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis 3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum 4. Pembulat studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dan jumlah beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum 1.5.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami lembaga negara yang berwenang dalam pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Untuk mengetahui mekanisme pengajuan permohonanyang dapat ditempuh untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
10
1.6
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut 1.6.1
Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini ditulis untuk mendapatkan hal-hal yang
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum dan juga sebagai upaya pendalam ilmu hukum khususnya tentang kewenangan pengujian materi Keteapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 1.6.2
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini ditulis untuk dapat memberikan masukan-
masukan, ide-ide atau tindakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan guna membangun lingkungan yang tertib sesuai peraturan yang ada.
1.7
Landasan Teoritis Landasan teoritis yang nantinya digunakan dalam penelitian hukum
merupakan sebuah pijakan dasar yang kuat dalam membedah permasalahanpermasalahan hukum terkait. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini berupa Teori Negara Hukum, Teori Perundang-undangan dan Teori Pemisahan Kekuasaan Negara, dan Teori Pengujian Peraturan PerundangUndangan.
11
1.7.1
Teori Negara Hukum. Secara Konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang di
ketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Untuk dapat disebut sebagai negara hukum maka harus memiliki dua unsur pokok yakni adanya perlindungan Hak Asasi Manusia serta adanya pemisahan kekuasaan dalam negara.8 Dalam perkembangannya timbul dua teori negara hukum. Unsur-unsur rechtsstaat dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa barat Kontinental sebagai berikut: 1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia. 2. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan teori Trias Politica. 3. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, pemerintah berdasarkan UndangUndang (wetmatigbestuur). 4. Aapabila dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasarkan UndangUndang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang) maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.9 Lain halnya dengan AV Dicey dari kalangan hukum Anglo Saxon memberikan pengertian the rule of law sebagai berikut: 1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik rakyat ataupun pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang dan keputusankeputusan pengadilan.10
8 Moh Kusnardi dan Bintang R. Saranggih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet 4, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 132. 9 Ibid. 10 Anwar C.S.H., 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, h. 48.
12
Selanjutnya “Internasional Commision of Jurists” pada konfrensinya di Bangkok pada tahun 1965 menekankan bahwa disamping hak-hak politik rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi sehingga perlu dibentuk standar-standar dasar ekonomi. Komisi ini dalam konfrensi tersebut juga merumuskan syarat-syarat pemerintahan demokratis di bawah rule of law sebagai berikut: 1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi haruslah pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh hak-hak yang di jamin. 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. 3. Pemilihan umum yang bebas. 4. Kebebasan menyatakan pendapat. 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi. 6. Pendidikan kewarganegaraan.11 Dari ciri-ciri negara hukum material tersebut, menurut Anwar C.S.H memperlihatkan adanya perluasan makna negara hukum formil dan pengakuan peran pemerintah yang lebih luas sehingga dapat menjadi rujukan bagi berbagai konsepsi Negara Hukum.12 Tujuan utama Rechtsstaat adalah untuk melindungi kebebasan individu warga negara dari kekuasaan negara. Ini merupakan konsepsi Rechtsstaat yang liberal, yang menurut Carl Schmitt, diberi batasan dan penertian khusus yang sekaligus merupakan cirri-cirinya yaitu: 1. Suatu negara dianggap sebagai rechtsstaat jika campur tangan terhadap kemerdekaan individu dilakukan semata-mata atas dasar undang-undang. Jadi disini negaralah yang diberi persyaratan dan prioritas untuk terikat oleh undang-undang 2. Suatu negara dianggap sebagai rechtsstaat jika seluruh aktifitasnya sepenuhnya tercakup dalam sekumpulan kewenangan yang batas-batasnya 11 12
Ibid. Ibid.
13
ditentukan secara pasti. Disini yang menjadi prinsip fundamentalnya adalah pembagian dan pemisahan kekuasaan 3. Independensi atau kemerdekaan hakim13 Berdasarkan atas uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa ciri-ciri dari suatu negara hukum adalah, adanya pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak, dan legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. 1.7.2
Teori Perundang-Undangan Teori Perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) yang berorientasi pada
mencari
kejelasan
begripsvorming
dan dan
kejernihan
makna
begripsverheldering,
atau
pengertian-pengertian
dan
bersifat
kognitif
erklärungsorientier.14 Menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, yang dimaksud peraturan perundang-undangan atau wet in materiële zin mengandung tiga unsur, yaitu: 1. Norma Hukum (rechtsnorm) 2. Berlaku ke luar (naar buiten werken); dan 3. bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)15 Dalam
Kaitanya
dengan
hierarki
norma
hukum,
Hans
Kelsen
mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki, dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber
13
I Dewa Gede Palguna, Op.cit h.80 Maria Farida Indrati S. Op. Cit., h. 8. 15 Ibid., h. 35. 14
14
dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Gurndnorm).16 Menurut Adolf Merkl suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah juga ia menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum dibawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung dari pada norma hukum yang berada diatasnya. Apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka secara otomatis norma-norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut atau terhapus pula.17 Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompokkelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu: 1. Kelompok I :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) 2. Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara / Aturan Pokok Negara) 3. Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang “formal”) 4. Kelompok IV :Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan turan otonom)18
16
Ibid., h. 41. Ibid. 18 Ibid., h. 44. 17
15
Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1.7.3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Teori Pemisahan Kekuasaan Negara Salah satu ciri dari negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara,
yang dibagi menjadi tiga kekuasaan, pemisahan dari ketiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan diberbagai negara, dan orang-orang yang mengemukakan teori ini adalah John Locke dan Montesquieu. John Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara kedalam: 1. Kekuasaan legislatif, adalah kekuasaan untuk membuat undang-undangan 2. Kekuasaan eksekutif, adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang 3. Kekuasaan federatif, adalah kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar negeri.19 Menurut John Locke ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu sama lainnya. dan setelah itu, Montesquieu dengan diilhami oleh pemisahan kekuasaan dari John Locke, mengatakan, bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat jenis kekuasaan yang diperincinya kedalam: 1. Kekuasaan legislatif, dilaksanakan oleh suatu perwakilan rakyat (Parlemen) 2. Kekuasaan eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau raja, dengan bantuan mentri-mentri atau kabinet) 19
Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I), h. 283.
16
3. Kekuasaan yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahakamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.20 Ajaran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan negara lebih dikenal dengan istilah Trias Politica. Tujuan dari ajaran ini adalah untuk menghindari tindakan sewenag-wenang dari raja.21 Pada Pokoknya, ajaran Trias Politica isinya adalah sebagai berikut: 1. Kekuasaan Legislatif Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu badan yang terletak dalam suatu badan khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakan pada suatu badan tertentu, maka mungkinkanlah tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri. Didalam negara demokrasi, peraturan perundangundangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang ialah yang dinamakan legislatif. sebagai bahan pembentuk undang-undang maka legislatif itu hanyalah berhak untuk mengadakan undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undangundang itu haruslah diserahkan kepada suatu badan lain.22
2. Kekuasaan Eksekutif
20
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2008, Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga kini, Rineka Cipta, Jakarta, h.74. 21 Ibid. 22 Ibid., h. 75.
17
Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala negara. kepala negara ini tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu kekuasaan dari kepala negara dilimpahkan kepada pejabat-pejabat pemerintah atau negara yang bersamasama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang yang disebut eksekutif.23 3. Kekuasaan Yudikatif Kekuasaan yudikatif ialah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan.24 Hal demikan telah ditentukan dalam pembagian bab-bab didalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: 1) BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara (Eksekutif) 2) BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif) 3) BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiaman (Yudikatif) dengan demikian, penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal dan konteks kekuasaan yang bersifat vertikal. Perspektif vertikal dengan horizontal ini juga dapat dipakai untuk membedakan antara konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dianut Indonesia sebelum amandemen UndangUndang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bahwa
23 24
Ibid. Ibid.
18
kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen itu dapat dianggap sebagai pembagian kekuasaan dalam konteks yang bersifat vertikal, sedangkan sekarang, sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen adalah sistem pemisahan kekuasaan (seperation of power) berdasarkan prinsip checks and balances system.25 1.7.4 Teori Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam praktek pengujian peraturan perundang-undangan, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji. Ketiganya merupakan bentuk norma hukum dari sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu: 1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling) 2. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat administratif (beschikking) 3. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement)26 Ketiga bentuk norma tersebut dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (judicial review) ataupun mekanisme diluar peradilan. Dalam Konsep pengujian peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial preview. Review berarti memandang, menilai atau mengkaji kembali, sedangkan preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan obyek yang dipandang itu.27
25
Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit., h. 289. Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II), h.1 27 Ibid. h.3 26
19
Bentuk dari pengujian peraturan perundang-undangan ada dua, yaitu pengujian secara materil yaitu pengujian atas materi muatan peraturan perundangundang, sedangkan pengujian formil adalah pengujian atas pembentukan dari peraturan perundang-undangan.28 Di Indonesia ada dua lembaga tinggi Negara yang berwenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan yaitu Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, mempunyai wewenang lainnya diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
1.8
Metode Penelitian Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
28
Ibid. h. 38
20
ilmiah.Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis.29 1.8.1
Jenis Penelitian Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, mengingat
penelitian ini berhubungan dengan implementasi dari peraturan perundangundangan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dan putusan pengadilan, terutama bahan hukum primer. 1.8.2
Jenis Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan-pendekatan.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbegai aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. penelitian hukum normatif umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan, yakni: 1. 2. 3. 4.
Pendekatan Kasus (The Case Approach) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) Pendekatan Fakta (The Fact Approach) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Apporoach) 5. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach) 6. Pendekatan sejarah (Historical Approach) 7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)30 Dalam rangka penyelesaian suatu masalah, dan berdasarkan dari latar belakang, serta rumusan masalah yang penulis sajikan, maka jenis pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Perundangundangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach), 29
Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta,
30
Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Denpasar, h. 75
h. 44.
21
Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Apporoach) dan Pendekatan sejarah (Historical Approach) yaitu menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hukum positif dan fakta-fakta yang berlaku dilapangan serta dikaitkan dengan sejarah-sejarah yang terkait dalam penulisan ini. 1.8.3
Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat dan terdiri dari: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. 3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 5) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 6) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 TentangPerubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
22
7) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 8) Peraturan Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. 9) Peraturan Mahkamah Konsitusi Negara Republik Indonesia Nomor 18 TAHUN 2009 Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference). 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan hukum.31 Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan perundangundangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.
1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bertitik tolak pada bahan hukum primer dan skunder. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri menggunakan metode bola salju (snow ball method) dan teknik sistem kartu (card system). Bahan pustaka dan dokumen yang diteliti berkaitan dengan permasalahan yang berkaitan dengan
31
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 144.
23
keweangan pengujian terhadap Ketetapan MPR dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 1.8.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum yang dibutuhkan sudah terkumpul, maka
dilanjutkan dengan menganalisa data dengan teknik deskripsi dan argumentasi, serta teknik konstruksi terhadap permasalahan yang ada. Dalam penulisan skripsi ini, data primer dan data skunder yang telah terkumpul, kemudian dianalisa menurut disiplin ilmu Hukum Tata Negara sehingga menjadi pembahasan yang sinergi dan terpadu.
Dengan
teknik
deskripsi
penulis
menguraikan dimana
duduk
permasalahannya dan teknik argumentasi penulis memberikan argumentasi penyelesaian masalah yang terjadi berdasarkan bahan-bahan yang ada, dan dengan menggunakan teknik konstruksi, penulis membentuk konstruksi yuridis agar permasalah dalam penelitian ini dapat terselesaikan.
24