1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan pasal ini mengandung makna bahwa setiap penyelenggaraan negara harus senantiasa berlandaskan pada hukum yang berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). Hukum merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa negara atau penguasa masyarakat yang berwenang dan hukum dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi seluruh anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mewujudkan suatu tatanan yang dikehendaki oleh penguasa atau pemerintah. Hukum menjadi landasan hidup dalam mengatur kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Singkatnya, hukum diartikan sebagai kaidah atau norma, yang merupakan patokan atau pedoman mengenai perilaku manusia yang dianggap pantas.1 Untuk menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap
1
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 43.
1
2
hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok orang yang tergabung dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat merupakan hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat negara yang mengadakan berbagai perundingan atas nama negara, dan meresmikan persetujuan yang dicapai dalam perjanjian antarnegara.2 Perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional sangat berperan penting dalam mengatur hubungan negara sebagai subjek hukum dalam masyarakat internasional. Dalam dunia yang cenderung saling ketergantungan antara negara satu dengan lainnya pada era global ini, tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai kesepakatan perjanjian dengan negara lain yang tidak dituangkan dalam suatu perjanjian internasional.3 Dewasa ini negara melakukan penguasaan yang luas terhadap urusan ekonomi, yang memiliki konsekuensi mengharuskan negara untuk terlibat langsung dalam menjalin hubungan kerja sama dengan negara lain, khususnya di bidang ekonomi. Oleh karena itu instrumen hubungan antar negara pada umumnya adalah perjanjian internasional, yang mengharuskan negara untuk membuat suatu perjanjian internasional bilateral maupun multilateral di bidang ekonomi, dengan tujuan agar tidak ada salah satu pun yang merasa dirugikan karena telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Karena hubungan antar bangsa-bangsa bersifat timbal balik, 2
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 13. 3 Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 83.
3
kepentingan memelihara dan mengatur hubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama.4 Untuk meningkatkan kerja sama bilateral maupun regional antar negaranegara Asia Tenggara, juga agar dapat secara kolektif menanggulangi munculnya permasalahan-permasalahan ataupun ancaman-ancaman baik internal maupun eksternal yang berpotensi timbul, maka negara-negara Asia Tenggara membentuk suatu organisasi melalui lima negara penggagas yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura pada tahun 1967 didirikanlah suatu wadah yang dinamakan dengan Association of South-East Asia Nations atau lebih dikenal dengan ASEAN. ASEAN merupakan sebuah organisasi geopolitik dan ekonomi dari negaranegara kawasan Asia Tenggara yang didirikan di Bangkok, 8 Agustus 1967 melalui deklarasi Bangkok atau yang lebih dikenal dengan Declaration of ASEAN. Hingga kini ASEAN telah memiliki 5 anggota baru diantaranya Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja.5
Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negaranegara anggotanya serta memajukan perdamaian di tingkat regionalnya. Pada tahun 1995, ASEAN mulai memasukkan bidang jasa dalam kesepakatan kerjasamanya dengan ditandatanganinya ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS),
4 5
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, loc.cit. http://www.asean.org/asean/asean-member-states. diakses tanggal 31 Maret 2015
4
selanjutnya disepakati ASEAN Investment Area (AIA) yang merupakan kesepakatan kerjasama ASEAN di bidang investasi. Dengan berjalannya waktu dan dalam rangka menghadapi berbagai tantangan kerja sama regional, para pemimpin dari negara-negara ASEAN kembali memformulasikan ASEAN Vision 2020 pada 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur yang menjadi tujuan jangka panjang ASEAN yaitu: “…as a concert of South-East Asia Nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded together in partnership in dynamic development and in a community of caring societies.”.6 Sekarang ini Indonesia telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Hal ini dapat diketahui berdasarkan pada adanya kesepakatan antar anggota ASEAN di bidang ekonomi, khususnya perdagangan barang dan jasa. Dengan diratifikasinya ASEAN Free Trade Area atau AFTA yang telah disetujui oleh seluruh anggota ASEAN pada tahun 1995, kemudian dengan adanya pengesahan mengenai ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), berdasarkan Keppres No. 88 Tahun 1995 tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement on Services yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1996. Hal ini kemudian dituangkan kembali dalam Charter of the Associations of South East Asia Nations dan diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang 6
Arifin, Sjamsul (Ed.), 2008, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. PT. Elexmedia Komputindo, hlm. 1
5
Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of South East Asia Nations yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 165. Hal ini juga didukung dengan diselenggarakannya Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Nusa Dua Bali, pada tanggal 8 Oktober 2013 lalu, yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat hukum internasional dan sudah menjadi salah satu subjek hukum internasional yang harus mematuhi hukum internasional yang telah disepakati. ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi negara pesertanya adalah sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini dikarenakan sejak tanggal 1 Januari 2002, kesepakatan AFTA ini telah secara resmi diberlakukan khususnya di negara ASEAN-6, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Vietnam baru mulai memberlakukannya tahun 2006, Laos dan Myanmar pada 2008, dan Kamboja pada 2010. Pada 2015, dengan ASEAN Economic Community (AEC) tersebut maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan termasuk tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara-negara ASEAN. Dengan terbentuknya pasar tunggal yang bebas tersebut maka akan terbuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya di kawasan ASEAN. Tujuan dari upaya pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN diantaranya untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea
6
dan halangan non-bea dalam ASEAN dan menarik investasi asing langsung ke ASEAN. AEC terintegrasi lewat kerja sama ekonomi regional yang diharapkan mampu memberikan akses yang lebih mudah, tidak terkecuali terhadap perdagangan luar negeri. Indonesia adalah pasar yang cukup menjanjikan bagi produsen untuk menawarkan barang produksinya, bahkan tidak sedikit yang menganggap Indonesia adalah sasaran pemasaran yang paling menguntungkan dibandingkan negara-negara berkembang lain tidak cuma di ASEAN. Sekian lama sektor perdagangan internasional di bidang jasa kurang mendapat perhatian karena dianggap sebagai barang “non-traded” dan memiliki potensi pertumbuhan yang minimal. Ekspansi sektor jasa hanya dianggap sebagai produk sampingan, khususnya dari pertumbuhan sektor industri manufaktur. Non-tradability dari jasa timbul karena transaksi jasa mensyaratkan adanya interaksi langsung antara produsen dan konsumen. Biaya transaksi – entah diukur dari waktu, jarak, bea cukai, dan lain sebagainya, dianggap terlalu besar untuk memungkinkan terjadinya sebuah transaksi jasa. Selain itu, kompleksnya hubungan atau transaksi ini disebabkan oleh adanya kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi yang pesat sangat signifikan meningkatkan tradability dan internasionalisasi dari komoditi jasa, sehingga dengan perkembangan dewasa ini, para pelaku dagang tidak perlu bertemu langsung dengan
7
rekan bisnisnya. Kontribusi dan peran perdagangan jasa bahkan diyakini semakin besar dan strategis di masa datang. Gagasan liberalisasi perdagangan jasa di kawasan ASEAN sendiri bermula dari hasil pertemuan negara-negara ASEAN di Bangkok, yang kemudian melahirkan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) sebagai landasan dasar dari proses menuju liberalisasi perdagangan jasa di wilayah ASEAN. Dalam rangka meningkatkan daya saing para penyedia sektor jasa di ASEAN melalui liberalisasi perdagangan bidang jasa, telah mengesahkan AFAS pada KTT ASEAN ke-5 tanggal 15 Desember 1995. Bagi negara-negara ASEAN, masa depan yang lebih menguntungkan adalah sistem internasional yang tetap terbuka. Upaya untuk menjamin keberlangsungan dari keterbukaan sistem perdagangan merupakan pilihan yang bisa dikatakan tidak bisa dihindari untuk dapat menjamin masa depan negara Asia Pasifik, karena dengan demikian strategi untuk mencapai laju pertumbuhan yang tinggi dan strategi untuk mencapai tujuan program pembangunan yang mantap melalui kegiatan yang berorientasi ekspor akan lebih terjamin. Dengan adanya pengesahan AFAS dan penandatanganan Piagam PBB, maka dengan ini Indonesia menyatakan diri untuk turut terikat dalam perjanjian Internasional yang dibuat dan melibatkan seluruh negara anggota ASEAN. Berdasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
8
Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000) yang menyatakan bahwa: Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut: a. penandatanganan; b. pengesahan; c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik; d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. Keikutsertaan proaktif
Indonesia dalam General Agreement on Trade in
Services (GATS) dan AFAS berimplikasi pada liberalisasi di sektor pariwisata. Proses ini menjadi isu sentral yang menjadi sorotan publik di tengah upaya strategis yang disiapkan untuk memajukan sektor jasa. Berbagai upaya promosi dan serangkaian aksi keterpihakan dilakukan untuk mendongkrak sektor ini. Proses liberalisasi pada sektor jasa mencakup pemasokan atau penyediaan jasa-jasa melalui 4 modus penyelenggaraan jasa (modes of supply) yaitu: 1.
Cross Border Supply, yakni penyelenggaraan lintas negara dari wilayah satu negara anggota ke wilayah negara anggota lainnya.
2.
Consumption Abroad atau konsumsi di luar negara, yaitu konsumsi dalam wilayah suatu negara anggota kepada konsumen dari negara anggota.
3.
Commercial Presence yakni keberadaan komersial oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota melalui kehadirannya di negara anggota lainnya, seperti kantor perwakilan/cabang, dan
9
4.
Presence/Movement of Natural Persons, hal ini sangat berkaitan dengan keberadaan SDM (Sumber Daya Manusia). Penyediaan jasa dari satu negara anggota melalui kehadiran personil (penyedia jasa) di negara anggota lainnya.7 Dalam
menyongsong
liberalisasi
pariwisata
yang
rencananya
akan
diberlakukan di tahun 2020, Indonesia dapat melakukan manual prosedur offer and request pada sektor-sektor yang telah menjadi brand image dan menjadi keunggulan komparatif pariwisata. Sebagai suatu mekanisme perundingan yang lazim berlaku di dalam World Trade Organization (WTO), setiap negara dapat menyampaikan komitmen (offer) mengenai deregulasi dan debirokrasi bagi orang atau perusahaan asing untuk ikut ambil bagian dalam jasa pariwisata misalnya memungkinkan warga negara lain atau perusahaan asing memiliki persentase saham dalam sektor perhotelan di suatu wilayah negara pemberi komitmen, dan sebaliknya dapat pula meminta hal yang sama kepada negara lain (request). Proses negosiasi intensif ini dapat dilangsungkan secara bilateral, plurateral dan multirateral.8 Sebagai industri perdagangan jasa, kegiatan pariwisata tidak terlepas dari peran serta pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah bertanggung jawab atas empat hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah atau kawasan pariwisata, pembangunan (development) fasilitas utama dan pendukung
7
IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Denpasar. hlm. 47. 8 Ibid.
10
pariwisata, pengeluaran kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan dan penegakan peraturan (regulation).9 Terkait dengan penjabaran AFAS di bidang akomodasi, terdapat kekosongan norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hal ini disebabkan karena dalam Undang-Undang Kepariwisataan maupun dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia Nomor PM. 86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi, dan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013 tentang Standar Usaha Hotel belum dijabarkan mengenai komitmen AFAS di bidang akomodasi jasa yang telah disepakati oleh Indonesia. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, pemerintah menjadi aktor utama dalam menentukan masa depan pariwisata yang berorientasi pada penyediaan jasa pariwisata yang berstandar internasional, sehingga dalam skripsi ini menarik untuk dibahas lebih lanjut dengan mengangkat judul “Penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dalam Pengaturan Liberalisasi Jasa Akomodasi Wisata di Indonesia”.
Bali Tourism Watch, “Peran Pemerintah Dalam Pembangunan https://subadra.wordpress.com/2007/08/26/89/, diakses pada 01 Juni 2015 9
Pariwisata”,
11
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam tulisan ini adalah: 1.
Bagaimanakah pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam skema ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS)?
2.
Bagaimanakah penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dalam pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di Indonesia?
1.3.
Ruang Lingkup Masalah Mengingat luasnya masalah yang terkait dengan pengaturan jasa pariwisata di
ASEAN, sehingga dalam penulisan skripsi ini penulis hanya akan memfokuskan pembahasan pada permasalahan yang telah disebutkan diatas, yaitu mengenai pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam skema ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dan pada permasalahan kedua akan membahas mengenai penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dalam pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di Indonesia. 1.4.
Orisinalitas Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul “Penjabaran
ASEAN Framework Agreement on Services dalam Pengaturan Liberalisasi Jasa Akomodasi Wisata di Indonesia” adalah sepenuhnya hasil pemikiran dan tulisan yang ditulis oleh penulis sendiri dengan menggunakan 1 (satu) skripsi dan 2 (dua) tesis
12
sebagai referensi. Beberapa penelitian yang ditelusuri berkaitan dengan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: No
NAMA & NIM
1
Nurchalis B 111 06 269 [skripsi]
JUDUL
RUMUSAN MASALAH
Analisis Hukum Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Dibidang Jasa Oleh Negara-Negara Asean Melalui AFAS (Asean Framework Agreement on services)
1. Bagaimanakah status AFAS terhadap aturan GATS (General Agreement on Trade Service)/ WTO? 2. Bagaimana penerapan PrinsipPrinsip dan Mekanisme AFAS terhadap Negara-Negara ASEAN? 3. Sejauh mana Liberalisasi perdagangan di bidang jasa melalui AFAS dapat meningkatkan Industri jasa dalam negeri?
2.
Sri Sunardi 0906578390 [tesis]
3
Strategi Indonesia Dalam 1. Bagaimana strategi yang akan diterapkan oleh Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi menghadapi liberalisasi jasa Jasa Telekomunikasi telekomunikasi di ASEAN? Dalam Kerangka Asean Framework Agreement 2. Langkah-langkah apa yang dilakukan on Services (AFAS) dalam memperkuat strategi tersebut?
Cindy Cephanie Implikasi Pemberlakuan 1. Bagaimana implikasi pemberlakuan ASEAN Framework Agreement On Manek Ketentuan Asean Services (AFAS) terhadap wilayah Framework Agreement jabatan Notaris? 1292461010 On Services (AFAS) 2. Apakah notaris berwenang Terhadap Wilayah [tesis] melaksanakan tugas jabatannya di Jabatan Notaris wilayah yurisdiksi eksekutorial Indonesia? Berdasarkan penelusuran dari skripsi dan tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan
13
judul Penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) Dalam Pengaturan Liberalisasi Jasa Akomodasi Wisata Di Indonesia belum ada yang membahasnya, sehingga skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah orisinalitas atau keasliannya. 1.5.
Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus yang diuraikan sebagai berikut: a) Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu proses). Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam penggaliannya atas kebenaran dalam bidang hukum Intenasional, khususnya yang berkaitan dengan Penjabaran ASEAN Framework Agreement on Services Dalam Pengaturan Liberalisasi Jasa Akomodasi Wisata di Indonesia. b) Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini yaitu sebagai berikut:
Untuk
lebih memahami
mengenai
pengaturan liberalisasi
jasa
akomodasi wisata di dalam skema ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS)
14
Untuk
mengetahui
lebih
lanjut
mengenai
penjabaran
ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS) dalam pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di Indonesia.
1.6.
Manfaat Penulisan Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini
yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis yang diuraikan sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang pariwisata terutama yang berkaitan dengan penyediaan jasa pariwisata berstandar internasional melalui AFAS. b. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini yaitu sebagai berikut:
Bagi kalangan pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan dan mengantisipasi pengaruh pemberlakuan AFAS terhadap industri jasa pariwisata dalam negeri.
Bagi kalangan mahasiswa penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penjabaran AFAS dalam pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata.
15
1.7.
Landasan Teoritis Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis
tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak hanya menggunakan metode sinskripsi saja. Dikatakan secara kritis karena pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran.10 Untuk membahas permalasahan yang diangkat dalam skripsi ini maka digunakan beberapa teori hukum, diantaranya yaitu: 1.7.1. Teori Negara Hukum Plato mencetuskan gagasan mengenai negara hukum, dengan menyatakan bahwa negara yang baik adalah negara yang berdasarkan pada adanya pengaturan (hukum) yang baik, yang disebut dengan istilah “nomoi”.11 Konsep negara hukum yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya sistem hukum Eropa Kontinental (rechtsstaat) namun juga menganut rule of law. Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl menyatakan konsep negara hukum memiliki 4 unsur pokok12, yaitu: 1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap HAM; 10
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I) hlm. 87. 11 Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 61. 12 Ibid.
16
2. Negara didasarkan pada teori trias politika (adanya pembagian kekuasaan); 3. Legalitas (terkait dengan pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undangundang atau dengan kata lain setiap tindakan harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu); 4. Adanya peradilan yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. Secara formal Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara hukum dengan mengacu pada Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang menyebutkan ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dari ciri negara hukum yang telah disebutkan di atas khususnya mengenai legalitas yang mana merupakan pemahaman dari adanya asas legalitas. Konsep negara hukum ini dipergunakan sebagai pisau analisa untuk membahas permasalahan kedua dalam skripsi ini dalam kaitannya dengan penjabaran AFAS terkait dengan liberalisasi jasa pariwisata yang diadopsi kedalam peraturan perundang-undangan bidang jasa akomodasi pariwisata di Indonesia. 1.7.2. Teori Common Consent Merupakan teori yang menekankan pada dasar mengikat hukum internasional adalah persetujuan bersama dari negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum internasional. Hal ini berdasarkan pada pendapat Zorn, Anzilotti, dan Triepel, yang pandangannya dapat digolongkan sebagai teori
17
kehendak atau persetujuan bersama (common will atau common consent theory)13. Dalam teori ini juga terkandung asas pacta sunt servanda (agreement must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan haruslah ditaati. Asas ini memiliki kaitan erat dengan asas itikad baik dan menjadi dasar hukum internasional sebagaimana tersurat dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian yang menyatakan bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik) Teori ini digunakan untuk menjawab permasalahan pertama dalam skripsi ini terkait dengan pengaturan liberalisasi jasa akomodasi wisata di dalam skema AFAS, dimana pemberlakuan AFAS yang merupakan kesepakatan antar negara-negara anggota ASEAN, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian dan disahkan dengan cara ratifikasi dengan UU Piagam ASEAN, sehingga menjadi hukum nasional pada negara-negara ASEAN. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, Indonesia telah meratifikasi WTO Agreement. GATS merupakan bagian dari WTO Agreement dan terletak pada annex IB persetujuan tersebut.14 GATS-WTO yang sifatnya multilateral mengikat Indonesia. Dengan adanya persetujuan GATS-WTO, mempunyai implikasi hukum dimana Indonesia harus menyesuaikan peraturan di 13
SM Noor, 2012, Daya Mengikat Hukum Internasional, http://www.negarahukum.com/hukum/daya-mengikat-hukum-internasional-2.html, diakses tanggal 31 Maret 2015. 14 Ida Bagus Wyasa Putra, 2009, Hukum Pedagangan Jasa Pariwisata Internasional, Program Studi Kajian Pariwisata Program Pasaca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 70.
18
bidang kepariwisataan terhadap ketentuan dan prinsip-prinsip GATS-WTO, sebagaimana mengenai jasa pariwisatanya diatur lebih lanjut dalam skema AFAS. 1.7.3 Teori Liberalisasi Perdagangan Jasa Pariwisata Dalam perspektif hukum, sistem hukum yang dianut dalam sistem liberalisme bertendensi memberikan ruang perlindungan yang luas bagi kemerdekaan individu dengan menegakkan prinsip-prinsip, diantaranya adalah prinsip kebebasan (principle of freedom), prinsip persamaan hak (principle of legal equality), serta prinsip timbal balik (principle of reciprocity)15. Menurut pendapat Robertson, beliau menyatakan “Globalization as a concept refers both to the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole”16. Dengan kata lain, globalisasi telah mengembangkan kesadaran bahwa dunia adalah kesatuan yang utuh dan tidak lagi dilihat sebagai blok-blok yang terpisah satu dengan yang lain. Ditinjau dari pendekatan historis, liberalisasi berakar dari gagasan sebuah paham pada abad XIX yang belakangan dikenal sebagai liberalisme. Paham yang dipelopori oleh Adam Smith ini menegaskan filsafat individualistik dalam pemikiran ekonomi. Menurutnya, teori pembagian kerja atau spesialisasi dianggap sebagai kunci pertumbuhan ekonomi yang terus menerus. Pemikiran yang demikian menghendaki adanya dukungan solid dari pasaran barang produksi dengan manifestasinya perluasan wilayah sebagai dalih untuk memperluas pasar, bahkan dengan bantuan
15
Soetikno, 1981, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 79-82. Roland Robertson, 1992, Globalization, Social, Theory and a Global Culture, SAGE Publication, London, hlm. 8. 16
19
pemerintah sekalipun.17 Thomas Friedman mempersepsikan fenomena ini sebagai dunia yang rata (the world of flat). Menyangkut pranata hukum, Erman Rajagukguk menjelaskan relasi antara globalisasi, liberalisasi ekonomi dan harmonisasi hukum. Pada era globalisasi, kompetisi dan perdagangan bebas akan kerapkali terjadi. Proses yang lazim disebut sebagai liberalisasi ini lalu diiringi oleh globalisasi hukum. Artinya, apabila ekonomi menjadi terintegrasi, maka harmonisasi hukum akan mengikutinya.18 Dalam bentuk yang ideal, liberalisasi perdagangan jasa adalah suatu keadaan dimana perusahaan dan individu bebas untuk menjual jasa melampaui batas wilayah negaranya. Ini berarti termasuk didalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain. Terlepas dari timbulnya kekhawatiran akan munculnya “neo–liberalisme” dan neo-neo yang lainnya, liberalisasi perdagangan jasa muncul karena beberapa fakta.19 Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara atau disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham dan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nation”, yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika
17 Adam Smith dalam Mahmul Siregar, 2005, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 43. 18 Erman RajaGukguk, 1999, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum FH UII, No. 11, h. 112-115. 19 Basuki Antariksa, 2010, Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Jasa Terhadap Daya Saing Kepariwisataan Indonesia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Makalah, hlm. 1.
20
perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin. Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan komitmen liberalisasi pariwisata, telah mengijinkan pengoperasian perusahaan asing di Indonesia secara progresif melalui sejumlah persyaratan. Untuk jasa hotel, pemerintah tidak lagi menerapkan pembatasan-pembatasan akses pasar bagi perusahaan asing untuk beroperasi di wilayah Indonesia Timur, Kalimantan, Bengkulu, Jambi dan Sulawesi. Pemerintah mengijinkan investor untuk menguasai 100% saham atas modal yang digunakan. Pihak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata lalu menegaskan bahwa pemerintah
telah
menetapkan
sejumlah
subsektor
pariwisata
yang
akan
diliberalisasi. Pembatasan liberalisasi pariwisata masih akan diberlakukan hingga nantinya berakhir pada tahun 2020.20 Pelaksanaan Liberaliasi sektor pariwisata sampai saat ini masih berpegang kepada apa yang telah disepakati dalam komitmen GATS Indonesia di sektor pariwisata Terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka teori liberalisasi
Perdagangan
Jasa
Pariwisata
dipergunakan
dalam
membahas
permasalahan kedua dalam skripsi ini. Dengan adanya liberalisasi di bidang pariwisata, pemerintah Indonesia tentunya harus membuat kebijakan terutama di Rinda Amalia, “Peranan Hukum Perdagangan Jasa Untuk Enterpreneur Dalam Menghadapi Liberalisasi Industri Jasa Pariwisata di Indonesia”, https://rindaamalia.wordpress.com/2012/08/28/peranan-hukum-perdagangan-jasa-untuk-untukenterprenur-dalam-menghadapi-liberalisasi-industri-jasa-pariwisata-di-indonesia/ diakses pada tanggal 6 Agustus 2015. 20
21
bidang pariwisata agar dapat membendung arus masuknya pengusaha-pengusaha penanam modal asing yang datang ke Indonesia terkait dengan liberalisasi jasa akomodasi pariwisata namun tanpa menghilangkan karakteristik dan ciri khas dari daerah pariwisata asli Indonesia, sehingga walaupun Indonesia sudah meratifikasi ketentuan yang disepakati dalam skema GATS di bidang pariwisata, namun pemerintah tetap harus memperhatikan kepentingan nasional. 1.8.
Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan oleh penulis adalah
sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif. Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.21 b. Jenis Pendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti didalam melakukan analisis. Secara teoritis, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, namun yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
21
Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 51.
22
i.
Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis;
ii.
Pendekatan analitis (Analytical Approach), pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat didalam perundangundangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum;
iii.
Pendekatan konsep (Conceptual Approach), konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum.
iv.
Pendekatan Sejarah (Historical Approach), pendekatan sejarah ini dilakukan dengan menelah latar belakang dan perkembangan dari materi yang diteliti.22
c. Sumber Bahan Hukum Suatu penelitian hukum normatif sumber datanya adalah berupa data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan di
22
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 185-190.
23
perpustakaan, atau milik pribadi.23
Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier:24 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat. Dalam tulisan ini yang menjadi bahan hukum primer adalah: (1) Charter of the Association of Southeast Asian Nations yang disahkan pada 20 November 2007; (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156); (3) Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2000
tentang
Perjanjian
Internasional; (4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 1995 tentang Pengesahan ASEAN Framework Agreement on Services (Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN tentang Jasa). 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti pendapat para sarjana hukum. 3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, majalah, website, atau ensiklopedia.
23
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hlm. 65. 24 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 118.
24
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah dengan studi kepustakaan (library research), dimana studi kepustakaan ini merupakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara mempelajari buku-buku hukum, majalah hukum, ketentuan-ketentuan hukum, atau pendapat-pendapat para pakar hukum,
dan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas. e. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai ke komponen-komponennya, dan kemudian menelaah hubungan masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Penelaah dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah diharapkan.25 Analisis terhadap bahan-bahan hukum yang telah diperoleh dilakukan dengan cara deskriptif, analisis, dan augmentatif. Deskripsi disini dapat berupa penjelasan atau penggambaran secara jelas tentang bahan-bahan hukum yang telah diperoleh, yang dilanjutkan dengan pengevaluasian yaitu penilaian terhadap bahan hukum yang telah diperoleh, setelah melakukan analisis terhadap data bahan hukum tersebut lalu diambil kesimpulan.
25
Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 67.