BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi sekaligus menempatkan hukum sebagai dasar dalam melakukan penyelenggaraan negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam konstitusi negara, tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Meskipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengalami amandemen sebanyak empat kali, namun hal tersebut sama sekali tidak merubah Indonesia sebagai negara hukum. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terjadi sebanyak empat kali sebagai salah satu agenda reformasi di bidang hukum, justru lebih mempertegas cita-cita negara hukum Indonesia. Salah satunya terlihat pada aspek perlindungan terhadap hak asasi manusia dimana hak asasi manusia mendapatkan tempat yang khusus di dalam pengaturan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Diskursus mengenai perlindungan hak asasi manusia dan negara hukum memang sudah sejak lama diperbincangkan karena keduanya sangat berkaitan
erat. Perlindungan hak asasi manusia merupakan salah satu elemen penting di dalam sebuah negara hukum, termasuk Indonesia. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.1 Namun demikian bukan berarti dalam menjalankan hak asasi manusia yang dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum tersebut sama sekali tidak diperbolehkan adanya suatu pembatasan. Pembatasan terhadap hak asasi manusia dalam suatu negara hukum diperbolehkan dengan dasar ditetapkan dalam undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.2 Diskursus mengenai perlindungan hak asasi manusia juga pada akhirnya mempengaruhi sistem peradilan pidana Indonesia. Diskursus perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, hukum acara pidana, dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga aspek hukum tersebut mempunyai porsi masing-masing dalam hal perlindungan hak asasi manusia dalam kerangka sistem peradilan pidana. Porsi terbesar perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana Indonesia dimiliki oleh hukum acara pidana sebagaimana diatur di dalam 1 2
Pasal 1 butir 1, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28J ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang tersebut mengatur tentang hukum acara pidana nasional yang didasarkan pada falsafah atau pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnya di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia.3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai pedoman proses beracara pidana di Indonesia sangatlah menjunjung tinggi hak asasi manusia sekalipun terhadap seseorang yang disangka maupun yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana. Namun perlu digaris bawahi disini bahwa bukan berarti terhadap mereka yang disangka maupun yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana diberikan haknya sedemikian seperti halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak pidana.4 Ada tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan terhadap mereka dimana tindakan tersebut merupakan bentuk perampasan terhadap hak asasi manusia. Terhadap mereka yang disangka maupun didakwa melakukan tindak pidana akan dilakukan tindakan-tindakan tertentu yang dalam hal ini disebut upaya paksa. Upaya paksa ini merupakan sebuah bentuk upaya yang dilakukan
aparat
penggeledahan,
penegak penyitaan,
hukum dan
berupa
penangkapan,
pemeriksaan
surat
penahanan,
dalam
rangka
melaksanakan proses peradilan. Meskipun upaya paksa ini merupakan salah satu kewenangan dari aparat penegak hukum dalam rangka melaksanakan 3
4
Penjelasan Umum angka 3, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Loebby Loqman, 1984, Pra-Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 82.
proses peradilan, pelaksanaan dari upaya paksa ini haruslah sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan. Karena bagaimanapun juga upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut akan merampas hak asasi manusia dari seorang tersangka atau terdakwa. Upaya paksa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengindikasikan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia selain mengakomodasi perlindungan terhadap hak asasi manusia, namun juga mengakomodasi pembatasan terhadap hak asasi manusia. Namun pembatasan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada agar aparat penegak hukum yang melaksanakannya tidak bertindak sewenang-wenang. Lebih lanjut untuk melindungi hak asasi manusia khususnya hak dari seorang tersangka maupun terdakwa, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diatur mengenai sebuah lembaga praperadilan. Lembaga praperadilan ini dimaksudkan sebagai suatu lembaga penguji apakah batasan yang diberikan undang-undang terhadap aparat penegak hukum dalam hal melakukan upaya paksa tersebut telah sesuai prosedur atau tidak. Ketentuan mengenai praperadilan terdapat di dalam Pasal 1 angka 10 dan BAB X Bagian Kesatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan pengaturan di dalam UndangUndang tersebut dapat diketahui bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini tentang : a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan; b) Sah atau tidaknya suatu penahanan; c) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan; d) Sah atau tidaknya penghentian penuntutan; dan d) Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Berdasarkan pengaturan mengenai praperadilan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pengaturan mengenai praperadilan bersifat limitatif dan tidak semua upaya paksa dapat diajukan permohonan praperadilan. Namun karena pengaturan yang sifatnya limitatif tersebut yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang pada akhirnya menjadi polemik. Tidak sedikit permohonan yang diajukan ke praperadilan secara obyek tidak sesuai dengan apa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Permohonan tersebut berkaitan dengan penyitaan, penggeledahan, pemeriksaan surat, dan juga yang akhirakhir ini menjadi polemik adalah mengenai penetapan tersangka. Meskipun obyek permohonan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan mengenai kewenangan praperadilan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, namun tidak sedikit dari permohonan tersebut yang dikabulkan oleh hakim. Hakim mengakomodasi obyek permohonan yang berupa penyitaan, penggeledahan, pemeriksaan surat, dan penetapan tersangka tersebut sebagai kewenangan praperadilan. Berbagai macam argumentasi hukum dikemukakan
oleh masing-masing hakim guna mengakomodasi obyek permohonan tersebut menjadi kewenangan praperadilan dan dapat diperiksa serta diputus di dalam praperadilan. Ini yang menjadi polemik khususnya di kalangan akademisi dan ahli hukum. Ada ketidaksesuaian antara apa yang terjadi di lapangan dengan apa yang sudah menjadi aturan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa hukum acara pidana merupakan hukum yang bersifat prosedural. Asas legalitas sangat ditekankan dalam pelaksanaan hukum acara pidana sebagaimana yang termaktub di dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Untuk konteks penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat, banyak hakim yang mengakomodasinya sebagai kewenangan praperadilan dengan pertimbangan bahwa penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat merupakan bagian dari upaya paksa. Ada perampasan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam konteks itu. Sangat dimungkinkan ada kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya tersebut. Satu-satunya mekanisme untuk memperjuangkan hak asasi manusia tersebut hanyalah praperadilan. Sedangkan penetapan tersangka bukanlah merupakan bagian dari upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun demikian penetapan tersangka oleh beberapa hakim tetap diakomodasi dalam kewenangan praperadilan. Polemik penetapan tersangka sebagai kewenangan praperadilan berawal dari putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel tertanggal 27 November 2012 yang menyatakan tidak sah penetapan tersangka atas nama Bachtiar Abdul Fatah. Sebelumnya Bachtiar Abdul Fatah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Remediasi PT. Chevron Pasific Indonesia. Kemudian pada tahun 2014 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali mengabulkan permohonan tidak sahnya penetapan tersangka atas nama Toto Chandra yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditjen Pajak. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada kemudian melakukan hattrick dengan mengabulkan permohonan tidak sahnya penetapan tersangka atas nama Budi Gunawan melalui putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 16 Februari 2015. Putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang menyatakan penetapan tersangka atas Budi Gunawan tidak sah tersebutlah yang pada akhirnya memicu gelombang permohonan praperadilan dari para tersangka khususnya tersangka kasus korupsi. Banyaknya permohonan tersebut tidak kemudian secara serta merta dikabulkan oleh hakim pemeriksa praperadilan. Permohonan tersebut ditolak dengan pertimbangan hukum bahwa penetapan tersangka bukan kewenangan praperadilan. Hal semacam ini menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan masyarakat. Sebelum adanya gelombang permohonan praperadilan atas penetapan tersangka yang dipicu oleh putusan praperadilan Budi Gunawan, Bachtiar Abdul Fatah yang sebelumnya dinyatakan bahwa penetapan tersangka atas dirinya tidak sah mengajukan uji materiil beberapa pasal di dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 November 2014. Pasal yang diujikan adalah Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14 jo. Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari enam pasal di dalam dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diujikan tersebut terdapat satu pasal yang diujikan dan itu berkaitan dengan penetapan tersangka sebagai kewenangan praperadilan, yaitu Pasal 77 huruf a. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sendiri merupakan pasal yang mengatur mengenai kewenangan praperadilan. Pasal 77 huruf a tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam dalilnya, Bachtiar Abdul Fatah menyatakan : Bahwa ketidakmampuan pranata praperadilan dalam mengikuti perkembangan hukum terbukti dari rumusan Pasal 77 huruf a KUHAP yang sangat sempit dan limitatif sehingga tidak mencakup seluruh upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik. Rumusan yang bersifat terbatas dan limitatif tersebut jelas bertentangan dengan prinsip due process of law karena sejumlah upaya paksa yang tidak disebutkan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP menjadi tidak dapat diuji keabsahannya melalui praperadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD.5
5
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, hlm. 21
Kemudian atas permohonan uji materiil tersebut, pada tanggal 28 April 2015 Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa : Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;6 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.7 Berdasarkan amar putusan a quo dapat disimpulkan bahwa mulai dari saat dibacakannya putusan a quo, maka pengujian mengenai sah tidahnya penetapan tersangka menjadi kewenangan praperadilan, termasuk juga penggeledahan dan penyitaan. Putusan tersebut berlaku dan sekaligus menjadi pelengkap dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Putusan a quo bersifat final dan mengikat, sehingga dalam pelaksanaan praperadilan salah satunya harus berdasarkan putusan tersebut. Namun demikian, perluasan kewenangan praperadilan yang diatur melalui putusan a quo ternyata menimbulkan permasalahan dalam tataran implementasi atau pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan lemahnya regulasi yang mengatur perihal praperadilan, khususnya pengaturan yang ada di dalam Undang-
6 7
Ibid., hlm. 110. Ibid.
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Bab X Bagian Kesatu yang hanya terdiri dari 7 pasal tidak mampu memberikan konstruksi pengaturan yang jelas dan komprehensif terhadap pelaksanaan praperadilan. Karena tidak ada guidance yang jelas mengenai hal tersebut, maka dalam pelaksanaannya sangat tergantung pada penafsiran dan keyakinan masingmasing hakim. Hal inilah yang kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum di dalam pelaksanaan praperadilan khususnya mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan tersebut di atas, maka Penulis tertarik untuk mengangkat serta menganalisis lebih lanjut permasalahan penetapan tersangka sebagai kewenangan praperadilan melalui sebuah penulisan hukum yang berjudul “Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan Dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana pendapat Penulis terkait perluasan kewenangan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka?
2.
Bagaimana implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1.
Tujuan Subyektif Tujuan subyektif dari penulisan hukum ini dimaksudkan sebagai syarat kelulusan dan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
2.
Tujuan Obyektif a.
Untuk
mengetahui,
kewenangan
menelaah,
praperadilan
dan
mengenai
menganalisis pengujian
sah
perluasan tidaknya
penetapan tersangka. b.
Mengetahui, menelaah, dan menganalisis implikasi lemahnya pengaturan
perihal
praperadilan
dalam
KUHAP
terhadap
pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian dan tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan serta memberikan masukan bagi perkembangan kajian dalam
ilmu hukum utamanya hukum acara pidana serta lebih khusus lagi terhadap praperadilan. 2.
Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
yang
mungkin
bisa
dijadikan
salah
satu
masukan
pertimbangan kepada aparat penegak hukum yang dalam hal ini khususnya
hakim
dalam
memeriksa,
mengadili,
dan
memutus
permohonan praperadilan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh Penulis dengan judul “Implikasi Lemahnya Pengaturan Perihal Praperadilan Dalam KUHAP Terhadap Pelaksanaan Pengujian Sah Tidaknya Penetapan Tersangka” baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun penelusuran lewat internet, maka diketahui bahwa penulisan hukum yang dilakukan Penulis belum pernah dilakukan oleh penulis lain sebelumnya. Namun demikian, Penulis menemukan hasil penulisan hukum yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini, yaitu “Kontrol Terhadap Penyitaan, Penggeledahan, dan Pemeriksaan Surat Dalam Sistem Peradilan Pidana”, penulisan hukum
tersebut disusun oleh Abraham Andy F. Sianturi yang juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2012.8 Penulisan hukum tersebut memiliki dua rumusan masalah, yaitu bagaimana kontrol terhadap penggunaan wewenang penyidik dalam melakukan upaya paksa penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat pada sistem peradilan pidana? dan bagaimana solusi permasalahan ketidaksinkronan antara yurisdiksi praperadilan dengan putusan praperadilan mengenai upaya paksa penyitaan?. Berdasarkan penulisan hukum yang Penulis temukan tersebut dapat ditemukan perbedaan dengan penulisan hukum ini, yaitu berkaitan dengan obyek kajian dan juga rumusan masalah yang diangkat. Obyek kajian yang menjadi fokus penulisan hukum ini adalah diakomodasinya penetapan tersangka sebagai kewenangan praperadilan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 beserta implementasinya. Obyek kajian tersebut tidak dibahas di dalam penulisan hukum yang ditemukan oleh Penulis. Karena terdapat perbedaan obyek kajian antara penulisan hukum yang ditemukan oleh Penulis dengan penulisan hukum ini, maka rumusan yang diangkat pun terdapat perbedaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditemukan letak perbedaan antara penulisan hukum ini dengan penulisan hukum yang telah ada sebelumnya. Sehingga Penulis menyatakan bahwa penulisan hukum
8
Abraham Andy F. Sianturi, 2012, “Kontrol Terhadap Penyitaan, Penggeledahan, dan Pemeriksaan Surat Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Penulisan Hukum, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
ini berbeda dengan penulisan hukum yang pernah ditulis oleh penulis lainnya atau dapat dikatakan bahwa penulisan hukum ini belum pernah dilakukan.
F. Sistematika Penulisan Untuk memeroleh gambaran secara jelas mengenai keseluruhan penulisan hukum ini, maka Penulis akan membagi penulisan ini menjadi 5 bab sebagaimana tercantum di dalam sistematika di bawah ini : 1.
BAB I tentang Pendahuluan Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan keaslian penelitian.
2.
BAB II tentang Tinjauan Pustaka Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab, yaitu tinjauan umum mengenai perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dan tinjauan umum mengenai praperadilan dalam hukum acara pidana Indonesia.
3.
BAB III tentang Metode Penelitian Bab ini menguraikan mengenai metode penelitian yang dipakai oleh penulisan ini berkaitan tentang jenis penelitian, pendekatan penelitian, pengumpulan data, dan analisa data.
4.
BAB IV tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini merupakan penjabaran dari data-data yang diperoleh kemudian dianalisa berdasarkan permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan hukum ini. Dalam menjawab rumusan masalah, Penulis membagi Bab ini
menjadi dua sub bab. Sub bab pertama membahas jawaban atas rumusan masalah pertama yaitu pendapat Penulis terkait perluasan kewenangan praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka, sementara sub bab kedua akan membahas jawaban atas rumusan masalah kedua yaitu implikasi lemahnya pengaturan perihal praperadilan dalam KUHAP terhadap pelaksanaan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. 5.
BAB V tentang Penutup Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan pernyataan singkat dari Penulis berupa jawaban atas rumusan masalah yang sesuai dengan analisis pembahasan. Sementara saran berisi rekomendasi Penulis kepada lembaga-lembaga yang bersangkutan dengan kewenangan praperadilan.