BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam alinea keempat merupakan penegasan tujuan Negara Republik Indonesia yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pencapaian tujuan negara tersebut tentunya tidak terlepas dari konsep negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pandangan terhadap negara hukum tersebut haruslah dimaknai dalam konsep tidak saja sebagai perintahan berdasarkan undang-undang dalam menjaga tertib hukum, tetapi haruslah pula dimaknai peran negara begitu meluas yang meliputi berbagai aspek hidup kemasyarakatan yang tujuannya adalah untuk menyejahterakan masyarakat. Seiring dengan dinamika dan kompleksitas hubungan antar manusia dalam kehidupan sosial, maka semakin besar pula peran dan tanggung jawab Negara terhadap kehidupan warga negaranya. Dalam Negara kesehjahteraan (welfare state), tugas Negara tidak hanya terbatas untuk menjaga tata tertib dan
2 keamanan
melainkan
juga
tanggung
jawab
terhadap
kesehjahteraan
masyarakatnya.1 Pada era globalisasi seperti yang terjadi sekarang ini, konsep welfare state dimaknai sebagai kemampuan Negara mereduksi jurang pemisah antar berbagai kelompok sekaligus mampu memberdayakan potensi warganya dalam menghadapi persaingan global. Berbagai fenomena tersebut menjadikan peran dan fungsi Negara tidak saja terbatas sebagai pengatur, pengawas dan pengendali terhadap pasar, tetapi juga dapat berperan sebagai pelaku ekonomi dan pelaku pasar yang secara aktif bertindak melalui berbagai badan-badan usaha milik Negara (BUMN). Oleh karenanya, eksistensi BUMN dalam sebuah welfare state memegang peranan strategis, yang harus menjalani fungsi ganda sebagai agen pembangunan (agent of development) sekaligus dapat menjalankan fungsi sosial (social function) untuk kesehjateraan masyarakatnya.2 Penerapan konsep Negara hukum kesehjahteraan (welfare-rechtstaat) memegang
peranan
penting
dalam
pemenuhan
kesehjahteraan
warga
masyarakat. Kehadiran Negara dalam kegiatan ekonomi sangatlah penting dan relevan dalam pencapaian tujuan Negara yakni tercapainya kesehjahteraan masyarakat. Kehadiran Negara melalui BUMN tidak sepenuhnya diarahkan pada pencarian keuntungan, namun yang lebih utama adalah tercapainya kesehjahteraan masyarakat.3
1
D. Andhi Nirwanto, 2013, Dikotomi Terminologi Keuangan Negara Dalam Perpektif Tindak Pidana Korupsi, Aneka Ilmu, Semarang, hlm 58. 2 Ibid., 3 Widyo Pramono, Menyikapi Prinsip “Business Judgment Rule” Dalam Penegakan Hukum Perkara Tindak Pidana Korupsi, Warta Badiklat Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Tahun 3 edisi 11- 2015.
3 Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Umumnya BUMN yang didirikan itu diatur secara tersendiri seperti Bank Negara (BNI, BTN, BRI, Bank Mandiri), usaha jasa penerbangan Garuda dan sebagainya. Dalam perekonomian Indonesia lembaga perbankan menduduki posisi yang sangat strategis. Dengan posisi strategis itulah maka peranan perbankan sangat dominan dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesehjahteraan rakyat.4 Perekonomian nasional dan internasional berkembang dan bergerak dengan cepat, kompetitif dan terintegrasi, sehingga memunculkan tantangan yang semakin kompleks dan menuntut sistem keuangan yang semakin maju. Perputaran uang akan selalu mewarnai geraknya roda perekonomian dan sebagian besar tetap terjadi melalui pasar uang, kendati aktivitas pasar modal terus meningkat. Oleh karena itu, saat ini fungsi bank tidak sekedar sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam berbagai bentuk fasilitas perbankan (financial intermediary), namun telah jauh berkembang menjadi pilar bagi pertumbuhan ekonomi, sosial bahkan politik.5 Mencermati pesatnya perkembangan bisnis pada industri perbankan, secara faktual masih banyak mengalami permasalahan diantaranya yaitu risiko hukum. Apabila diamati lebih mendalam, penyebab utama permasalahan perbankan pada umumnya adalah terkait dengan lemahnya dan tidak 4
Ibid., Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana Perkembangan dan isu-isu aktual dalam kejahatan finansial dan korupsi, Referensi, Jakarta, hlm 37. 5
4 diterapkannya tata kelola perusahaan yang baik disamping permasalahan lainnya yakni kondisi bisnis itu sendiri maupun ketatnya persaingan antar Bank baik Nasional maupun Internasional, BUMN dan Badan Usaha Swasta. Menjadi suatu perdebatan apakah terhadap penyimpangan atau pelanggaran tindak pidana di industri perbankan pada Bank BUMN dapat diterapkan UndangUndang Tindak Pidana Korupsi. Penegakan hukum dalam perkembangannya dewasa ini memang mengambarkan dengan jelas bahwa BUMN menjadi tempat terjadinya tindak pidana korupsi. Kejaksaan RI, Polri dan KPK telah menetapkan pemetaan 10 (sepuluh) area rawan korupsi tahun 2012 yang meliputi sektor Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Keuangan dan Perbankan, Perpajakan, Minyak dan Gas, BUMN/BUMND, Kepabeanan dan Cukai, Penggunaan APBN/APBD dan APBN-P/APBD-P, Aset Negara/Daerah, Pertambangan dan Pelayanan Umum.6 Sekitar 80 persen dari 337 perkara korupsi yang ditangani KPK dari tahun 2004 hingga 2012 yang merugikan keuangan negara terjadi di BUMN dan yayasan, Perkara tindak pidana korupsi berkaitan dengan penerapan unsur yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara dan tindak pidana itu umumnya terkait dengan pengadaan barang dan jasa oleh BUMN, penjualan asset BUMN dan pengelolaan yayasan,7 termasuk sektor perbankan.8
6
Kesepakatan Bersama antara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Sekretaris Jenderal KPK tentang Pemetaan 10 (sepuluh) Area Rawan Korupsi Tahun 2012, tanggal 29 Maret 2012. 7 Akuntan Online, 8 Oktober 2013, “80 persen korupsi terjadi di BUMN dan Yayasan”, http://www.akuntanonline.com/showdetail.php?mod=art&id=792&t=80%20Persen%20Korupsi%20 Terjadi%20di%20BUMN%20&Yayasan&kat=Hukum, diakses 15 Nopember 2015. 8 Tempo.co, Selasa 28 Januari 2014, “empat sektor rawan korupsi jelang pemilu 2014”, http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/28/063548920/empat-sektor-rawan-korupsi-jelangpemilu-2014, diakses 15 Nopember 2014.
5 Korupsi terkait dengan masalah dan ruang gerak yang cukup luas. Oleh karena itu, apabila upaya penanggulangan korupsi ingin ditempuh lewat penegakan hukum, maka harus pula dilakukan analisis dan pembenahan integral terhadap semua peraturan perundang-undangan yang terkait, artinya tidak hanya melakukan evaluasi dan pembaruan (reformasi) terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga undang-undang lain yang ada kaitannya dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, misalnya Undang-Undang di Bidang Tindak Pidana Ekonomi, Perbankan, Perdagangan, Kepabeanan, Kesejahteraan Sosial, Politik dan sebagainya. Bahkan tidak hanya membenahi peraturan untuk mencegah atau memberantas terjadinya tindak pidana korupsi, tetapi juga membenahi peraturan yang diharapkan mampu mengantisipasi segala aktivitas setelah terjadinya tindak pidana korupsi.9 Di dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara eksplisit menyatakan ketentuan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas meyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Artinya berdasarkan pasal tersebut dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat juga digunakan untuk mengadili tindak pidana lain seperti tindak pidana perbankan, tindak pidana perpajakan, tindak pidana pasar modal dan tindak pidana lainnya, selama tindak
9
Ifrani, “Grey Area Antara Tindak Pidana Korupsi Dengan Tindak Pidana Perbankan”, Jurnal Konstitusi, Vol. 8, No. 6, Desember 2011.
6 pidana dalam undang-undang yang terkait mengkualifikasikannya sebagai tindak pidana korupsi. Mengingat Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak mengatur secara eksplisit dalam ketentuan pidananya mengenai penerapan norma dari pencerminan asas kekhususan yang sistematis sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, konsekuensinya adalah menimbulkan permasalahan dalam penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap perbuatan yang melanggar ketentuan pidana dalam undang-undang perbankan yang mempunyai karakteristik sebagai tindak pidana korupsi. Kurang sempurnanya pengaturan dalam Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut berdampak pada usaha pemberantasan tindak pidana korupsi di lingkup kegiatan usaha perbankan yang seakan-akan terlingkupi oleh ketentuan pidana dalam undang-undang perbankan, namun apabila dikaji lebih jauh terdapat esensi yang sebenarnya terjadi adalah tindak pidana korupsi yang bertujuan mendapatkan keuntungan materi secara tidak sah dengan menggunakan fasilitas perbankan sebagai sarananya yang berdampak pada kerugian keuangan negara. Dengan adanya perluasan didalam Pasal 14 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, maka dalam hal penegakan hukumnya muncul dualisme pemberlakuan Undang Undang mana yang harus diterapkan, mana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dan mana yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana lain, hal ini akan berada pada
7 grey area karena ketidakjelasan atau ketidaksempurnaan didalam undang undang tersebut.10 Berkaitan dengan kegiatan perbankan, contoh tindak pidana dibidang perbankan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi pada Bank Umum Milik Negara, misalnya rekayasa pemberian fasilitas L/C dalam rangka pembiayaan ekspor yang sebenarnya tidak ada barang atau produk yang diekspor dan rekayasa pemberian fasilitas kredit kepada debitur topengan (menggunakan identitas pihak lain) dan debitur fiktif dan kasus-kasus tindak pidana perbankan yang terjadi di Bank Umum swasta, misalnya tagihan antar bank yang tidak memenuhi syarat penjaminan diubah atau direkayasa menjadi deposito atas nama pihak ketiga, sehingga pada saat pemerintah membayar kewajiban Bank kepada deposan, deposito hasil rekayasa tersebut juga ikut terbayar dan penyalahgunaan dana BLBI yang digunakan untuk kepentingan pihak terkait.11 Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada kegiatan perkreditan perbankan antara lain pemberian kredit kepada nasabah yang tidak disertai dengan pengikatan jaminan yang memadai, pemberian fasilitas kredit kepada nasabah dengan jaminan fiktif, pemberian fasilitas kredit kepada keluarga pejabat bank dengan jaminan pejabat bank yang bersangkutan (personal guarantee), pemberian fasilitas overdraft kepada nasabah bermasalah tanpa 10
Ibid., S. Sundari, Tindak Pidana di Bidang Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Perundang-undangan Terkait Serta Permasalahan Dalam Prakteknya, dalam Wahyuni Bahar, et al, 2007, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Penggunaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Prosiding Seminar Tindak Pidana Perbankan : Penggunaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Centre For Finance, Investment And Securities Law (CSISEL), Jakarta, hlm 17.
11
8 melalui analisa dan pertimbangan yang matang, pemberian kredit untuk menutupi kekurangan pembayaran untuk spekulasi jual beli valas yang nilainya melebihi margin deposit nasabah, penghindaran pelanggaran BMPK dengan merekayasa pencairan kredit fiktif untuk kepentingan group terkait bank, serta penerimaan cicilan pinjaman yang telah dihapus buku tidak disetorkan pada bank
namun
digunakan
untuk
kepentingan
pribadi
petugas
bank.
Penyimpangan-penyimpangan inilah yang merupakan perbuatan melanggar hukum, adapun kredit macet merupakan efek dari terjadinya perbuatan melanggar hukum tersebut.12 Dalam terminologi yuridis, istilah kejahatan bisnis kerapkali bersentuhan dengan 3 (tiga) aspek hukum yang berbeda secara diametral, yaitu aspek hukum perdata, pidana dan aspek hukum administrasi. Tentu saja persoalan pokoknya menyangkut bagaimanakah BUMN dapat mengakomodasikan kedua tujuan yang berbeda secara diametral bahkan cenderung mempunyai karakteristik dan sifat yang bertentangan antara satu dengan lainnya.13 Memang pemahaman yang berkembang dalam praktek peradilan tidaklah semudah kajian akademik memberikan solusinya. Dalam kerangka hukum administrasi Negara parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur Negara (“discretionary power”) adalah de tournament de pouvoir (penyalahgunaan wewenang) dan abuse de droit (sewenang-wenang), sedangkan dalam area hukum pidana pun memiliki pula kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur Negara 12
berupa
unsur
“wederechtelijkheid”
dan
“menyalahgunakan
Zulkarnaen Sitompul, “Seluk Beluk Tindak Pidana Korupsi Di Sektor Perbankan”, https://zulsitompul.wordpress.com/2011/02/23/tipikor/, diakses 15 Nopember 2015. 13 D. Andhi Nirwanto, Op.Cit., hlm 59.
9 kewenangan”. Dalam area hukum perdata pun dikenal perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dan wanprestasi.14 Tindak pidana perbankan dan tindak pidana korupsi merupakan lex specialis dari KUHP. Permasalahan
yang timbul,
jika suatu kegiatan
perbankan katakanlah pemberian kredit, kemudian dalam perkembangannya kredit tersebut bermasalah sehingga menimbulkan kerugian negara karena pada bank tersebut ada penyertaan modal dari negara, maka untuk menyelesaikannya Undang-undang manakah yang akan digunakan. Apakah Undang-undang perbankan yang di dalamnya meliputi tindak pidana perbankan ataukah Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan mengingat kedua undang-undang tersebut merupakan bijzonder delic.15 Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengungkap suatu ide, yaitu jika
sudah
ada
Undang-undang
Perbankan
yang
didalamnya
sudah
mencantumkan ketentuan pidana lalu di coba diterapkan pada kasus-kasus ataukah hipotetikal, itu sebenarnya rumusan tersebut sudah cukup untuk memenuhi tujuan artinya untuk rumusan delik dan beserta ancaman pidananya bisa dilaksanakan, tidak ada suatu masalah baik dalam proses pelaksanaannya maupun pembuktiannya. Tetapi mengapa dari segi penegak hukum tetap cenderung kepada Undang-undang korupsi.16
14
Indriyanto Seno Adji, 2006, Korupsi, Kebijakan, Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, hlm 399. 15 Eddy OS Hiariej, “Anotasi Putusan Neloe Dkk 1144 K/Pid/2006”, http://indekshukum.org/catalog/detail/c2acb89e-e77c-177c-e6ff-323331363230.html, diakses 21 Nopember 2015. 16 Ahmad Fikri Assegaf, Tindak Pidana Perbankan & Penerapan Undang-undang Korupsi, dalam Wahyuni Bahar, et al, Op.Cit., hlm 128.
10 Memang ada suatu masalah, mengapa kita harus menggunakan UndangUndang
Tindak
Pidana
Korupsi,
karena
mungkin
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai ancaman hukuman yang lebih tinggi, dan juga Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi kewenangan kepada penegak hukum untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang diderita Negara. Dalam undang-undang perbankan hanya dibatasi dengan denda saja, dan mungkin dalam kasus yang besar jumlah uang turut dalam kejahatan tersebut jauh diatas denda maksimal yang ada di undangundang perbankan. Bagaimana cara merecover hasil kejahatan itu secara maksimal bukan sebatas denda maksimal saja. Karena kalau begitu dikhawatirkan akan menjadi moral hazard, dimana orang sudah menjadi kecendrungan untuk memasang badan saja karena mereka berfikir hanya dikenakan denda saja dan jika jumlahnya lebih besar dari denda, uang tersebut akan dibayarkan untuk denda dan sisanya akan disimpan dan untuk membiayai selama proses.17 Meskipun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi dan Undang-Undang administrasi bersifat lex specialist, tetapi yang lebih sistematis yang digunakan mengacu kepada asas Logische Spesialitet mengingat Undangundang administrasi sudah mengatur sendiri tentang sanksi pidana dan pengembalian kerugian Negara. Berbeda dengan Undang-undang Perbankan walaupun sudah mengatur tentang sanksi pidana tetapi hanya difokuskan terhadap internal bank kecuali terhadap pendirian bank tanpa izin (bank gelap) namun belum mengatur sendiri tentang pengembalian kerugian Negara, maka 17
Ibid., hlm 130.
11 Undang-undang korupsi masih dapat mengintervensi terhadap pelanggaran deliknya.18 Apabila konsistensi penerapan asas kekhususan yang sistematis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, konsekuensi rasionalnya adalah tidak akan ada tindak pidana korupsi di sektor perbankan dan sektor lainnya misalnya perpajakan, kehutanan, pendidikan, pertambangan dan sektor-sektor lainnya, dengan pertimbangan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak secara tegas menyatakan bahwa dirinya sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini jauh berbeda dengan realitas yang ada bahwa banyak terjadi tindak pidana korupsi di berbagai bidang yang mengunakan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar Pasal yang disangkakan atau yang didakwakan yang kemudian di putus oleh hakim sesuai dengan yang didakwakan tersebut. Disamping itu, sebagaimana pendapat Andi Hamzah bahwa ketentuan Pasal 14 UU PTPK merupakan peraturan blangko yang setiap saat dapat “diisi” oleh legislatif dan dikategorikan sebagai perbuatan korupsi.19 Ketentuan Pasal 14 UU PTPK ini sama dengan Pasal 1 ayat (1) sub e UU No. 7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang merupakan “aturan pidana kosong”
18
Marwan Effendy, 2014, Teori Hukum dari Perspektif Kebijakan, Perbandingan dan Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi, Tanggerang, hlm 164-165. 19 Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 115.
12 (blanco starfbepalingen).20 Sampai sekarang “Undang-Undang” yang dimaksud oleh Pasal 14 tersebut belum ada.21 Namun apabila dicermati terdapat ketentuan dalam Pasal 43A Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang pada intinya secara eksplisit menyatakan bahwa dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan dan apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan tersebut dapat dikatakan merupakan pencerminan penjabaran lebih lanjut dari asas kekhususan yang sistematis sebagaimana dirumuskan dalam norma hukum yang terdapat dalam Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan perundang-undangan Tipikor memiliki kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus yang lain.22 Kekhususan yang terdapat dalam prosedur penanganan tindak pidana korupsi diantaranya terdapat pengadilan khusus dalam menyidangkan perkara tersebut, hukum acara yang lebih khusus dari
20
Mohammad Amari & Asep N. Mulyana, 2010, Kontrak Kerja Konstruksi Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, Aneka Ilmu, Semarang, hlm 166. 21 R. Wiyono, 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 133. 22 Aziz Syamsudin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 146.
13 Hukum Acara Pidana pada umumnya yakni kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia, perluasan sumber perolehan alat bukti, terdapat ketentuan pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian, ketentuan mengenai perampasan aset dan terdapat pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Tujuan pengenaan sanksi pidana kepada pelaku tipikor adalah mengembalikan uang Negara yang timbul dari kerugian Negara akibat dari tipikor tersebut (prinsip dalam UNCAC 2003), memberikan efek jera (deterrence effect) kepada pelaku Tipikor dan menjadikan langkah pemberantasan Tipikor, sehingga mampu menangkal (prevency effect) terjadinya Tipikor.23 Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan meteri yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian Negara.24 Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pada Tindak Pidana Perbankan di Bank BUMN dalam kaitannya dengan kebijakan bank yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, kekhususan hukum pidana formil dan materil sebagai faktor-faktor penentu dalam efektivitas pemulihan kerugian keuangan Negara dengan merumuskan secara lebih rinci dalam judul tesis berikut ini : 23
Penerapan Undang-undang Pemberantasan Tindak
Ibid., hlm 155. Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, hlm 3.
24
14 Pidana Korupsi dalam Menangani Tindak Pidana Perbankan pada Bank BUMN dalam rangka Pemulihan Kerugian Keuangan Negara.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, akan disampaikan beberapa rumusan masalah, yaitu : 1. Bagaimanakah parameter dalam menentukan suatu kebijakan Bank BUMN yang menimbulkan kerugian keuangan negara dapat diterapkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perbankan ? 2. Bagaimanakah kekhususan ketentuan pemulihan kerugian keuangan negara menurut ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti melalui penelitian ini ada tiga hal, yaitu : 1. Untuk mengkaji parameter dalam menentukan kebijakan Bank BUMN yang menimbulkan kerugian keuangan negara yang yang diterapkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UndangUndang Perbankan. 2. Untuk mengkaji dan menjelaskan kekhususan ketentuan Pemulihan Kerugian Keuangan Negara menurut ketentuan Undang-Undang
15 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan. D. Manfaat Penelitian Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan ada beberapa manfaat yang dapat dihasilkan, baik bagi ilmu pengetahuan maupun bagi pihak yang terkait, khususnya aparat penegak hukum, dalam penerapan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi di bank BUMN dengan kekhususan hukum pidana formil dan materiilnya khususnya dalam rangka pemngembalian kerugian keuangan negara. Adapun penjelasan lebih lanjutnya sebagai berikut : 1.
Kegunaan Akademis. Dari hasil penelitian guna penyusunan tesis ini peneliti berharap dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana pada umumnya, khususnya pengetahuan tentang penerapan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam delik perbankan di bank BUMN dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi tersebut.
2. Kegunaan Praktis. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pihak
yang
berkepentingan
pada
penerapan
Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Undang-undang yang bersifat hukum pidana administrastif khususnya Undang-undang Perbankan. Diharapkan juga dapat bermanfaat untuk memberikan saran
16 perbaikan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Perundang-Undangan lain yang bersinggungan dengan hal tersebut yang bersifat Hukum Pidana Administratif.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran Perpustakaan Universitas Gadjah Mada dan pada lingkup Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak terdapat penulisan hukum atau tesis dengan judul: “Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Menangani Tindak Pidana Perbankan Pada Bank Badan Usaha Milik Negara Dalam Rangka Pemulihan Kerugian Keuangan Negara”. Namun ada penulisan hukum atau tesis yang memiliki kemiripan dalam menganalisis mengenai penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani tindak pidana di bidang perbankan di bank BUMN yang ditulis oleh Anggraini Dian Yustisia25 dari Universitas Gadjah Mada dengan judul: “Tinjauan yuridis penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani tindak pidana di bidang perbankan pada bank BUMN.” Dengan rincian, rumusan masalah: 1.
Bagaimanakah penerapan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani tindak pidana di bidang perbankan pada bank BUMN ?
25
Anggraini Dian Yustisia, 2008, Tinjauan Yuridis Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Menangani Tindak Pidana di bidang Perbankan pada Bank BUMN, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
17 2.
Apa konsekuensi yuridis penyertaan modal oleh negara dalam bentuk kekayaan negara yang dipisahkan pada bank BUMN?
Kesimpulannya adalah: 1. Seringkali dalam proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perbankan pada bank BUMN aparat penegak hukum merujuk pada Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini disebabkan tindakan aparat penegak hukum tersebut tidak diimbangi dengan pemahaman konsep badan hukum,
juga tidak dipahami benar apa konsekuensi yuridis
penyertaan modal oleh negara dalam bentuk kekayaan negara yang dipisahkan. Padahal sebenarnya ketika negara menyertakan modalnya dalam bentuk saham ke dalam bank umum persero, maka kekayaan itu menjadi kekayaan bank umum persero tersebut, tidak lagi menjadi kekayaan negara. Penegak hukum harus sangat selektif dalam menerapkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani tindak pidana di bidang perbankan dengan melihat kekhususan bentuk usaha perbankan. 2. Pemidanaan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan tindak pidana perbankan yang berdampak terhadap kerugian negara semestinya tetap mengedepankan penerapan peraturan perundang-undangan di bidang Perbankan terkecuali bilamana pelanggaran tersebut secara signifikan memang terbukti mencakup seluruh unsur materiil dan formil yang ada di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa rumusan masalah penelitian tersebut diatas berbeda dengan penelitian ini, yang secara langsung diarahkan kepada suatu persoalan yakni dalam hal kebijakan Bank BUMN menimbulkan kerugian keuangan negara
18 kebijakan hukum pidana yang bagaimanakah yang diterapkan apakah UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Undang-Undang Perbankan. dan Bagimanakah Pemulihan Kerugian Keuangan Negara menurut ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa rumusan masalah pertama dan kedua dari penelitian Anggraini Dian Yustisia berbeda dengan penelitian ini, meskipun sama-sama menggunakan kata-kata “Penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani Tindak Pidana Perbankan Pada Bank BUMN” sebagai dasar untuk menganalisa namun arah penelitiannya berbeda karena dalam penelitian ini dominan membahas tentang ketepatan atau jangkauan serta parameter Undangundang Tindak Pidana Korupsi di terapkan pada tindak pidana perbankan pada bank BUMN dalam rangka pemulihan kerugian Negara sebagai tujuan utamanya dan selain itu rumusan masalahnya dalam penelitian ini jauh berbeda dengan penelitian tersebut. Dengan demikian penelitian ini dapat di pertanggungjawabkan dan dijamin keasliannya. Selain itu juga terdapat beberapa makalah tentang penerapan Undangundang Tipikor dalam menangani tindak pidana perbankan yang didiskusikan dalam berbagai seminar, salah satunya adalah seminar dan diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Finance, Investment, and Securities Law (CFISEL) tentang “Penggunaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan” (2006). Hasil seminar ini kemudian diterbitkan dalam prosiding yang juga penulis jadikan sebagai salah satu rujukan dalam penyusunan tesis ini