1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang didasarkan atas hukum bukan didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum, hal ini dapat diartikan dimana setiap orang yang melakukan suatu perbuatan pidana dapat dikenakan suatu sanksi yang berupa pemidanaan, tentu saja orang yang melakukan perbuatan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya. Pidana adalah suatu nestapa atau keadaan yang tidak menyenangkan yang dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu kesalahan yang mana orang tersebut harus dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya. Hukuman sendiri sangat beragam, baik hukuman badan yang telah ada sejak zaman dahulu hingga bentuk-bentuk hukuman lainnya. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya pemberian hukuman tersebut, tidak hanya dirasakan pada saat seseorang menjalani ataupun menerima hukuman tersebut, tetapi dampaknya juga dirasakan setelah hukuman tersebut selesai dijalankan, sebagai contoh salah satu bentuk hukuman adalah pidana penjara, dimana terpidana penjara akan tetap mendapatkan cap mantan narapidana hingga kapanpun.
2
Stigma yang diterima para terpidana sangat sulit dilepaskan sekalipun mereka telah selesai menjalani pidananya. Stigma bisa diartikan dengan tidak diterimanya seseorang pada suatu kelompok masyarakat, sebagai akibat orang tersebut melawan norma yang ada. Hal seperti ini masih terjadi di masyarakat, karena pola pikir masyarakat yang menganggap narapidana ataupun mantan narapidana adalah orang jahat yang harus dijauhi. Melihat pada pemidanaan di Indonesia, sejak dulu hingga sekarang sudah mengalami perubahan dalam hal tujuan pemidanaan atau penjatuhan pidana. Pemidanaan yang awalnya hanya bertujuan untuk membalas apa yang telah dilakukan oleh si pelaku kejahatan, kini pemidanaan tidak hanya ditujukan untuk itu, tetapi pemidanaan juga ditujukan untuk menimbulkan rasa takut kepada masyarakat dan juga melindungi masyarakat dari perbuatan jahat. Berbicara mengenai pemidanaan yang ada di Indonesia, terlebih dahulu perhatian akan tertuju pada jenis-jenis pidana yang ada di Indonesia yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini, Pasal 10 KUHP menyebutkan jenis-jenis sanksi pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok sendiri memuat jenis-jenis pidana yang antara lain Pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda, sedangkan untuk jenis-jenis pidana tambahan antara lain pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Melihat pada RUU KUHP tahun 2012, terdapat beberapa hal yang membedakan terkait dengan jenis pidana, baik dalam hal heirarki maupun
3
bentuk-bentuk jenis pidana itu sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 65, 66 dan 67 RUU KUHP, jenis pidana terdiri dari pidana pokok dan tambahan, adapun pidana pokok terdiri dari pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda dan pidana kerja sosial, selain jenis pidana pokok tersebut, pidana mati juga dikategorikan sebagai pidana pokok, akan tetapi pidana pokok yang dikhususukan, pidana tambahan dalam RUU KUHP terdiri dari, pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada umumnya masyarakat sudah mengetahui jenis-jenis pidana yang ada di dalam KUHP, terutama dengan pidana penjara yang lebih sering dijatuhkan oleh hakim. Jenis pidana pokok sebenarnya tidak hanya yang terdapat dalam KUHP saja, namun masih terdapat 1 (satu) lagi jenis pidana yang masih diberlakukan di Indonesia yang pengaturannya ada diluar KUHP yang berlaku saat ini, yakni Pidana tutupan. Banyak terjemahan KUHP yang tidak memasukkan pidana tutupan ke dalam salah satu jenis pidana pokok dalam KUHP, tetapi dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pidana tutupan dimasukkan ke dalam salah satu jenis pidana pokok yang letaknya dibawah pidana denda. Pidana tutupan sendiri merupakan pidana yang bersifat khusus, diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1946 tentang
Hukuman Tutupan yang kemudian dilengkapi dengan adanya
4
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan. Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan dijelaskan, bahwa Pidana tutupan ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan yang terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Bila membaca isi dari Undang-Undang tentang Pidana tutupan tersebut, tidak ada satu pun Pasal yang menjelaskan tentang jenis perbuatan apa yang dikenakan untuk pidana tutupan. Hal yang pasti dalam pidana tutupan adalah, pidana tutupan tidak mungkin dikenakan terhadap suatu perbuatan yang merupakan pelanggaran, karena pidana tutupan ditujukan terhadap orang yang melakukan kejahatan atas dasar maksud yang patut dihormati. Pembahasan terkait dengan pidana tutupan tidak dengan mudah dapat ditemukan seperti pembahasan mengenai jenis pidana lainnya. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena melihat banyak referensi buku tentang pemidanaan yang ada di Indonesia, masih sangat minim sekali penjelasan mengenai pidana tutupan. Minimnya penjelasan mengenai pidana tutupan, membuat tidak semua masyarakat memahami atau bahkan mengetahui pidana tutupan, selain itu ketika membahas mengenai pidana tutupan, beberapa kolega sesama mahasiswa yang juga merupakan seorang sarjana hukum, akan selalu mengarahkan pidana tutupan kearah pidana politik. Melihat beberapa sumber baik melalui buku referensi pemidanaan, maupun sumber lain seperti media elektronik, pidana tutupan selalu dikaitkan
5
dengan peristiwa 3 (tiga) juli 1946. Peristiwa ini terjadi pada saat Indonesia sedang mengalami krisis politik pada masa itu. Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaannya, dihadapkan dengan Belanda yang berusaha kembali masuk ke Indonesia. Pada saat itu Indonesia mempunyai 2 (dua) opsi untuk melawan Belanda yang berusaha kembali masuk ke Indonesia, opsi yang pertama adalah berunding sedangkan opsi yang kedua adalah dengan perlawanan bersenjata1. Pemerintah pada saat itu memilih opsi yang pertama yaitu dengan cara berunding. Opsi tersebut banyak ditentang oleh beberapa kelompok pada saat itu yang lebih memilih opsi kedua dengan melakukan perlawanan bersenjata2. Kacaunya keadaan Indonesia pada saat itu membuat Sutan Sjahrir selaku Kepala Pemerintahan pada saat itu mengundurkan diri. Hal tersebut membuat Soekarno selaku Kepala Negara mengambil alih kekuasan di pemerintahan dan menyatakan Indonesia dalam keadaan bahaya, hingga akhirnya karena dianggap membahayakan para anggota kelompok tersebut diadili di Pengadilan Militer dan dihukum dengan pidana tutupan. Munculnya pola pikir bahwa pidana tutupan merupakan pidana yang ditujukan untuk terpidana politik memang dengan suatu alasan. Pidana tutupan dikaitkan dengan peristiwa 3 (tiga) juli 1946, kerena hingga penulisan tesis ini disusun, itulah kali pertama pidana tutupan
1
Yuanda Zara, 2009, Peristiwa 3 Juli 1946 (Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia), Media Pressindo, Yogyakarta, hlm. viii. 2
Ibid, hlm. viii.
6
diterapkan atau diimplementasikan ke dalam suatu peristiwa, untuk mengadili orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu.
Melihat realita yang ada
sekarang, para hakim di Indonesia tidak pernah sekalipun menjatuhkan pidana tutupan, sehingga saat ini seolah-olah jenis-jenis pidana pokok di Indonesia hanya ada empat sebagaimana dalam Pasal 10 KUHP, tentunya dengan mengingat banyak dari terjemahan KUHP yang ada tidak memasukkan pidana tutupan ke dalam Pasal 10 KUHP. Meskipun dalam realita yang terjadi saat ini hakim tidak pernah sekalipun menjatuhkan pidana tutupan, pada kenyataanya pidana tutupan tetap dipertahankan, sehingga pidana tutupan tetap menjadi salah satu jenis pidana yang ada dan masih diakui keberadaannya di Indonesia. Bahkan bila mengamati RUU KUHP terakhir yakni Tahun 2012, pidana tutupan justru dimasukkan sebagai salah satu jenis pidana pokok dalam RUU KUHP. Dimasukkannya pidana tutupan dalam RUU KUHP, kemudian akan menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme pelaksanaan pidana tutupan dan keberadaan pidana tutupan itu sendiri, karena sebagaimana diketahui, dewasa ini pidana tutupan tidak pernah sekalipun digunakan oleh hakim, Oleh sebab itu penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai “Kebijakan Pidana Tutupan Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia”.
7
B. Rumusan Masalah Setelah melihat dari latar belakang tersebut, maka timbul beberapa permasalahan berdasarkan tema di atas, yakni: 1.
Bagaimana penerapan (ius operatum) terkait pidana tutupan di Indonesia?
2.
Bagaimana konsep Pidana tutupan dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia dikaitkan dengan kebijakan pemerintah (ius constituendum) mengenai Pidana Tutupan berdasarkan RUU KUHP?
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Objektif Penelitian ini secara objektif bertujuan untuk memahami dan menjelaskan ius operatum terkait dengan pidana tutupan di Indonesia, serta menjelaskan dan memahami konsep pidana tutupan dalam sistem pemidanaan di Indonesia terkait kebijakan pidana tutupan dalam RUU KUHP.
2.
Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subjektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) pada program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
8
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Akademis Penelitian
ini
pengembangan
diharapkan ilmu
dapat
pengetahuan,
memberikan terutama
kontribusi
dalam
berkontribusi
dalam
pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana terkait dengan kebijakan pemerintah tentang pidana tutupan dalam RUU KUHP. 2.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para akademisi, praktisi maupun penyusun regulasi dalam mengembangkan, menerapkan dan menyusun hukum, serta menjadi kajian dalam rangka pengembangan penelitian dan sebagai bahan informasi bagi mereka yang akan melakukan penelitian yang sejenis dengan tema dalam penelitian ini.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang dilakukan penulis untuk mengetahui keaslian dari penelitian ini, penulis belum pernah menemukan penelitian dengan jenis objek penelitian yang sama mengenai Pidana Tutupan di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun ditempat lainnya. Beberapa penelitian terkait Kebijakan Hukum Pidana secara umum diantaranya:
pernah dilakukan,
9
1.
Nama Peneliti
: Thalis Noor Cahyadi
Tahun Penelitian
: 2013
Judul
: Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan Penghimpunan Dana Ilegal Berpola Syariah
Permasalahan a.
Bagaimana
: Kebijakan
Legislatif
Hukum
Pidana
dalam
menanggulangi kejahatan penghimpunan dana Ilegal berpola syariah? b.
Bagaimanakan
Kebijakan
aplikatif
Hukum
menanggulangi Kejahatan Penghimpunan
Pidana
dalam
dana Ilegal berpola
syariah? Kesimpulan a.
:
Kebijakan legislatif dalam menanggulangi kejahatan penghimpunan dana ilegal berpola syariah diwujudkan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 94. Undang-Undang ini memberikan jerat hukum yang lebih efektif karena memiliki kententuan pemidanaan yang bersifat minimum khusus baik fisik maupun denda, dengan tidak terbatas pada orang saja (inpersoon) tetapi juga badan hukum (rechtpersoon) bagi mereka yang melakukan kegiatan usaha bank syariah.
b.
Kebijakan aplikatif hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan penghimpunan dana ilegal berpola syariah menunjukkan adanya
10
ketidakkonsistenan penegak hukum. Meskipun seharusnya aparat penegak hukum sama-sama memiliki acuan yang sama, tidak hanya KUHP tetapi juga ada Undang-Undang lain yang bisa menjerat pelaku kejahatan secara lebih keras dan berdampak positif bagi masayarakat seperti penerapan Pasal 59 Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain sebagainya. 2.
Nama Peneliti
:Iska Daniati
Tahun Penelitian
:2013
Judul
:Kebijakan
Hukum
Pidana
(penal
policy)
perampasan aset (asset recovery) hasil tindak pidana dalam hukum positif Indonesia Permasalahan a.
:
Apakah perampasan aset hasil tindak pidana sesuai dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana?
b.
Bagaimana perwujudan perampasan aset hasil tindak pidana (asset recovery) dalam kebijakan formulasi hukum pidana dalam hukum positif Indonesia saat ini?
Kesimpulan a.
:
Perampasan aset hasil tindak pidana ditinjau dari tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana sudah memenuhi tujuan pemidanaan dan sesuai dengan pedoman
11
pemidanaaan. Adapun tujuan dikenakannya pidana perampasan aset kepada pelaku tindak pidana itu sendiri adalah untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan akibat tindak pidana dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat setelah terjadinya tindak pidana. b.
Kebijakan formulasi mengenai perampasan aset hasil tindak pidana yang ada saat ini yang tersebar dalam berbagai peraturan belum mampu secara maksimal mengatur mengenai perampasan aset hasil dan instrumen tindak pidana dan mekanisme dalam rangka pengembalian aset hasil kejahatan baik dalam ranah tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus.
Meskipun telah ada penelitian terkait dengan Kebijakan Hukum Pidana, tetapi objek yang diteliti tidaklah sama, penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terkait dengan kebijakan dalam hal jenis pidana, sedangkan kedua peneliti sebelumnya Thalis Noor Cahyadi dan Iska Daniati, lebih menitikberatkan penelitian pada kebijakan penanggulangan kejahatan dalam hal ini berkaitan dengan kejahatan penghimpunan dana ilegal dan perampasan aset hasil tindak pidana. Oleh karena itu penulis menyatakan bahwa, penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian yang pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya.