BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, yang artinya bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan. Tujuan dari negara hukum menurut Immanuel Kant adalah menjamin kedudukan hukum dalam masyarakat, kemudian Kant berpendapat bahwa suatu negara agar dapat dikatakan sebagai negara hukum, sedapatnya memiliki dua unsur pokok yaitu1, 1. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia; 2. Adanya pemisahan kekuasaan Menurut Abdul Latif, negara hukum pada prinsipnya mengandung unsur-unsur2; 1. Pemerintahan dilakukan berdasarkan Undang-Undang (asas legalitas) di mana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang;
1
Pide, Andi Mustari, 1999, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta
h. 47 2
Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, h. 20
1
2
2. Dalam negara itu hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh penguasa yang bersangkutan; 3. Kekuasaan pemerintah dalam negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan, tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga kenegaraan tersebut; 4. Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan pemerintah dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak yang diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak. Pemerintah sebagai unsur penting dalam negara hukum, memiliki fungsi kekuasaan, dimana menurut Van Hollenhoven membagi fungsi kekuasaan ke dalam 4 fungsi atau yang biasa disebut sebagai catur praja3, yaitu: 1. Regeling (pengaturan) yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini tidaklah Undang-Undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan Undang-Undang dalam arti materiil yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari suatu negara;
3
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Jilid II, Sekretaris Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 14 (Selanjutnya disebut Asshiddiqie, Jimly I )
3
2. Bestuur (pemerintahan) yaitu Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksanan Undang-Undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik; 3. Rechstpraak (peradilan) yaitu fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkrit, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya; 4. Politie yaitu fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (sosial order) dan peri kehidupan bernegara. Didalam fungsi kekuasaan pemerintah yang bersifat Pemerintahan (Bestuur), diwujudkan dalam tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat publik yaitu membuat peraturan yang bersifat umum dan abstrak (Regeling) dan membuat peraturan yang bersifat individu dan konkrit (Beschikking) Tindakan hukum Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan tertulis yang bersifat umum dan abstrak yang biasanya disebut sebagai Regeling dapat berbentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, baik itu diwujudkan bersama dengan Legislatif, ataupun oleh pemerintah sendiri. Tindakan hukum Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan tertulis yang bersifat individu dan konkrit atau biasa disebut sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking). Pengertian Beschikking sebagaimana dirumuskan didalam Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
4
No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatakan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkrit, Individual, dan Final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Maka dari rumusan Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan tata Usaha Negara dapat ditarik menjadi beberapa unsur-unsur dalam Beschikking yaitu: 1.Penetapan Tertulis 2.Dikeluarkan Oleh Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara 3.Tindakan Hukum Tata Usaha Negara 4.Bersifat Konkrit, Individual Dan Final 5.Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku 6.Akibat Hukum Bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata. Terkait dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara, dalam tesis ini penulis mencoba menfokuskan kepada adanya suatu produk peraturan yang dikeluarkan oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, sebagai tindakan hukum Tata Usaha Negara seperti Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada
5
Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. (selanjutnya disebut Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah) Dasar hukum dikeluarkannya Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah
berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Yang memberikan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut dalam bentuk suatu Keputusan Bersama. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berisikan 7 point yaitu : 1.
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;
2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
6
3. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya. 4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). 5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 6. Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. 7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan Dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah untuk memberikan penjelasan terhadap 7 point diatas maka Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal
7
Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. Se/Sj/1322/2008, No. Se/B-1065/D/Dsp.4/08/2008,
No:
Se/119/921.D.III/2008
Tentang
Pedoman
Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008; No. Kep-033/A/JA/6/2008; No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Dalam Surat Edaran memberikan penjelasan terhadap point-point yang ada pada Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu: 1. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut memberikan penjelasan mengenai yang dimaksud dengan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya, kegiatan atau perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus seperti bangunan rumah ibadat dan bangunan lainnya. 2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut menjelaskan tentang: a. Peringatan dan perintah ditujukan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mengaku beragama Islam. Artinya bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengaku beragama Islam tidaklah termasuk objek yang diberi peringatan atau perintah.
8
b. Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah untuk menghentikan penyebaran penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan yang menyimpang. Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang adalah faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi
Muhammad
SAW.
Sedangkan
pengertian
kegiatan
yang
menyimpang adalah kegiatan melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian, pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media elektronik yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk dihentikan. 3. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran memberikan penjelasan Sanksi yang dimaksud dalam ketentuan diktum tersebut adalah sanksi pidana yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Jo Pasal 3 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan/atau Pasal 156a KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara. Disamping sanksi pidana tersebut di atas, terhadap organisasi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenakan sanksi berupa
9
pembubaran organisasi dan badan hukumnya melalui prosedur sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 4. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan bahwa warga masyarakat diberi peringatan dan perintah untuk tidak melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dengan tujuan untuk melindungi penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) termasuk harta bendanya dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hukum dengan tidak melakukan tindakan anarkis seperti penyegelan, perusakan, pembakaran, dan perbuatan melawan hukum lainnya terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta harta bendanya. 5. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan bahwa warga masyarakat yang melanggar hukum dengan melakukan main hakim sendiri, berbuat anarkis dan bertindak sewenang-wenang terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan Peraturan Perundangundangan, antara lain sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 tentang penyebaran kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan terhadap orang atau
10
barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang perusakan barang, dan peraturan lainnya. Jika dilihat baik dari tujuh point Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dan penjelasan point kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dari Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik
Departemen
Dalam
Negeri
No:
Se/Sj/1322/2008,
No:
Se/B-
1065/D/Dsp.4/08/2008, No: Se/119/921.D.III/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008; No. Kep-033/A/JA/6/2008; No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka penulis melihat terdapat 2 ruang lingkup pengaturan yaitu berisikan peringatan dan perintah kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) maka ini dapat disebut tindakan pemerintah yang bersifat individu, kemudian dalam keputusan ini juga memberikan peringatan dan perintah juga di tunjukkan kepada warga masyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai tindakan pemerintah bersifat mengatur secara umum. Jika
Keputusan
Bersama
tentang
Ahmadiyah
dikaitkan
berdasarkan
pengkategorian norma hukum dalam kaitannya tindakan hukum pemerintah
11
berdasarkan alamat yang dituju (addressat), dimana dalam pengertian norma hukum berdasarkan alamat dibagi menjadi 2 yaitu: 1.
Norma hukum umum yaitu norma hukum tersebut ditunjukkan kepada orang banyak atau kepada orang-orang yang tidak tertentu; dan
2.
Norma hukum individu yaitu norma hukum yang dialamatkan (addressat) kepada seseorang atau orang-orang yang telah ditentukan.
Maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah adanya ketidakjelasan dalam menentukan alamat yang dituju, sebab di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, satu sisinya berbentuk norma hukum individu karena ditujukan kepada organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sedangkan disisi yang lain berbentuk norma hukum umum karena ditujukan untuk warga masyarakat dan jemaah Ahmadiyah. Sehingga Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah akan membuat suatu kebingungan dalam menentukan bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara, apakah bentuk Keputusan Bersama diatas digolongkan sebagai Peraturan (Regeling) yang bersifat umum dan abstrak, atau digolongkan sebagai bentuk Keputusan atau Ketetapan (Beschikking) yang bersifat individu dan konkrit atau tindakan hukum Tata Usaha Negara yang lainnya. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang menimbulkan ketidakjelasan dalam bentuk tindakan Hukum Tata Usaha Negara dapat menimbulkan norma konflik antara Keputusan Bersama Tentang Ahmadiyah dengan Undang-Undang pemberi kewenangan yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang
12
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, sehingga dapat melihat keabsahan dari dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, sehingga dapat melakukan suatu upaya hukum terhadap Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dilakukan oleh seseorang dalam artian individu atau sebuah badan hukum. Dengan latar belakang yang disampaikan oleh penulis diatas, maka penulis menulis penelitian tesis ini dengan judul TINDAKAN HUKUM TATA USAHA NEGARA
TERKAIT
DIKELUARKANNYA
KEPUTUSAN
BERSAMA
MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK
INDONESIA
DALAM
MENYELESAIKAN
MASALAH
AHMADIYAH. 1.2 Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008?
2.
Bagaimanakah keabsahan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 dikaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama?
13
3.
Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008?
1.3 Ruang Lingkup masalah Ruang lingkup dalam pembahasan penulisan ini tentang bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara mulai dari tindakan Tata Usaha Negara, tindakan nyata Tata Usaha Negara, tindakan hukum Tata Usaha Negara, tindakan hukum publik Tata Usaha Negara, tindakan hukum publik bersegi satu dan bersegi dua dari Tata Usaha Negara dan bentuk keputusan tertulis Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008, dalam konteks Beschikking, Regeling, Besluit Van Algemene Strekking, Het Plan, Beleidsregel. Keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008, yang dilihat dari Aspek kewenangan, aspek prosedur, aspek substansialnya. Kemudian Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 dilihat dalam perspektif Pancasila baik dilihat berdasarkan kedudukannya serta dari nilai-nilai Pancasila. kemudian Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
14
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 dilihat kedudukannya dari Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Upaya hukum yang dilakukan yang berkaitan dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008, apakah dapat digugat ke Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN), Mahkamah Agung (MA), atau Mahkamah Konstitusi (MK). 1.4 Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum atau menambah khazanah pengetahuan di dalam konsentrasi hukum pemerintahan, mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah serta penyelesaian sengketa terhadap dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah 1.4.2 Tujuan Khusus 1.
Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara terutama bentuk dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam tindakan Tata Usaha Negara.
15
2.
Untuk mengetahui dimana kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam di dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan UndangUndang serta keabsahan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 di kaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
3.
Untuk mengetahui serta memahami tentang upaya hukum terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis yakni, memberikan sumbangan pemikiran untuk kepentingan akademis dan pengembangan ilmu hukum terutama pada konsentrasi pemerintahan, mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara serta keabsahan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
Sedangkan secara praktis hasil penelitian ini diharapkan
memperoleh manfaat sebagai berikut : 1. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari suatu Keputusan Bersama Menteri di Indonesia, kedudukan dari Keputusan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam di dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,
16
dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 di kaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta mekanisme upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan dan masukan serta pengetahuan yang lebih mendalam dalam kategori tindakan Tata Usaha Negara. 3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan serta kepastian tentang bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, letak kedududkan serta keabsahan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam di dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan serta menentukan upaya hukum terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. 1.6 Orisinalitas Penelitian Telaah mengenai Keputusan Bersama Menteri yang terkait dengan kebebasan beragama dan Hak asasi manusia, dalam kaitannya dengan orisinalitas penelitian. Penulis melakukan beberapa penelusuran memlalui situs internet, namun dalam penelusuran melalui situs Program S2 Ilmu Hukum Unud4, penulis tidak menemukan
4
Universitas Udayana, 2010, Program S2 Ilmu http://programs2ilmuhukumunud.blogspot.com/, Diakses pada, 14 Oktober 2010.
Hukum
Unud:
17
judul tesis yang berkaitan dengan judul penelitian tesis milik penulis, kemudian penulis melakukan pencarian di internet terkait dengan originalitas judul tesis, ternyata terdapat penelitian yang juga mengangkat mengenai mengenai Keputusan Bersama mengenai Ahmadiyah, yaitu : Desi ratna Ningrum5 (Fakultas Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia) dalam
1.
skripsi yang berjudul Kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2004. mengenai dua masalah pokok yakni Surat Keputusan Berasama (SKB) dapat menjadi sumber hukum dalam sistem hukum di Indonesia dan kedudukan Surat Keputusan Berasama (SKB) tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam sistem Peraturan Perundang-undangan menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2004 dengan menggunakan metode penelitian normatif. Bayu Dwi Anggono6, (Fakultas Hukum Program magister kekhususan Hukum
2.
Tata Negara Universitas Indonesia) dalam tesis yang berjudul Keputusan 5
Ningrum, Desi ratna , 2009, Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ,: http://repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000678/uii-skripsi-04410173-desi%20ratna%20ningrum04410173-DESI%20RATNA%20NINGRUM-5198215752-bab%201.pdf, Diakses 10 September2012. 6 Anggono, Bayu Dwi, 2009, Keputusan Bersama Menteri dalam perundang-Undangan Republik Indonesia, :http://www.google.co.id/search?q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB%29+Menteri+ Agama%2C+Jaksa+Agung%2C+Dan+Menteri+Dalam+Negeri+Republik+Indonesia+tentang+peringa tan+dan+perintah+kepada+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+UndangUndang+Nomor+10+Tahun+2004&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a#sclient=psy-ab&hl=id&client=firefox-a&hs=VEV&rls=org.mozilla:en-
18
Bersama Menteri dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia. dengan 3 permasalahan yang diteliti yaitu Keputusan Bersama Menteri merupakan Perundang-undangan, kemudian letak keputusan Bersama Menteri dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, dan bagaimana cara untuk menguji legalitas Keputusan Bersama Menteri, dengan metode penelitian yuridis normatif. 3.
Agung Ali Fahmi (Fakultas Hukum Program Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia) dalam tesis yang berjudul Implementasi Kebebasan Beragama Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dengan pokok permasalahan, Implementasi Regulasi Kebebasan Beragama di Indonesia dan Peran Pemerintah Dalam menjaga Kerukunan Beragama.
4.
Novie Soegiharti (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Kriminologi Program Pascasarjana) dalam tesis yang berjudul Kajian Hegemoni Gramsci Tentang Reaksi Sosial Formal terhadap kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia (studi kasus SKB Tiga Menteri tentang Pelarangan Ahmadiyah) dengan permasalahan pokok aspek historis kebebasan beragama dan Ahmadiyah di Indonesia dan analisis SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah, dan analisis Hegemoni Gramsci.
US%3Aofficial&source=hp&q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB%29+tentang+Jem aat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+UndangUndang+Nomor+10+Tahun+2004&pbx=1&oq=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB% 29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+UndangUndang+Nomor+10+Tahun+2004&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=s&gs_upl=19665l22250l0l24214l8l0l0l 0l0l0l0l0ll0l0&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=b7730b97b1285ed7&biw=1280&bih=863, Diakses pada 10 Oktober 2010.
19
Moh Zakki7 (Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang), dalam
5.
skripsi yang berjudul Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang Pembubaran Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagai Hak Konstitusional Rakyat, dengan pokok pembahasan yaitu, Keberadaan Kelompok Ahmadiyah Di Tinjau Dari Prinsip Hak Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Sebagai Hak Konstitusuonal Rakyat, Isi (Substansi) Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pembubaran ajaran Ahmadiyah Ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Sebagai Hak Konstitusional Rakyat, dan Kekuatan Hukum Surat keputusan Bersama (SKB) tentang Pembubaran Ajaran Ahmadiyah Ditinjau Dari Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. 6.
Errie Darmawan (Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan) dalam skripsi yang berjudul Implementasi Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 UndangUndang dasar 1945 tentang Kebebasan Beragama Dari penelitian tersebut diatas dapat dilihat bahwa walaupun objek yang yang
diteliti ada beberapa memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yakni Keputusan Bersama Menteri, namun fokus maupun lingkup masalah yang diteliti jauh berbeda, karena fokus penelitian yang akan penulis kaji adalah mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara.
7
Zakki, Moh, 2010, Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang Pembubaran Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagai Hak Konstitusional Rakyat http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/366/jiptummpp-gdl-s1-2010-mohzakki0518260-PENDAHUL-N.pdf, 26 Oktober 2011.
20
1.7 Landasan Teoritis 1.7.1 Konsep Tindakan Pemerintah Pemerintah dalam melaksanakan fungsinya, pemerintah melakukan tindakantindakan pemerintahan atau Tata Usaha Negara, tindakan Pemerintah yang dengan istilahnnya “Bestuurshandelingen”. Tindakan pemerintah atau Tata Usaha Negara dapat berupa tindakan nyata dari pemerintah (Feitelijk Handelingen) maupun tindakan hukum dari pemerintah (Rechtshandelingen), tindakan
nyata pemerintah
merupakan zijn handelingen
waarmee niet wordt beoogd juridische gevolgen in het leven te roepen8
atau
tindakannya yang tidak dimaksudkan untuk menciptakan konsekuensi hukum dalam kehidupan dan tidak terdapat hubungan langsung dengan kewenangannya, sedangkan perbuatan hukum pemerintah merupakan suatu perbuatan pemerintah yang dapat menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur dari tindakan hukum pemerintah adalah dilakukan oleh aparat pemerintah, dimana tindakan tersebut dilaksanakann dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang menimbulkan akibat-akibat hukum, dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri, yang didasari atas Peraturan Perundangundangan. Tindakan hukum pemerintah atau Tata Usaha Negara dibagi menjadi dua, yaitu dan Tindakan hukum Privat Tindakan Hukum Publik Tata Usaha Negara. Tindakan hukum privat merupakan tindakan yang mengatur hubungan pemerintah atau Taata
8
Ballegooij, G. A. C. M. Van, et.al, 2008, Bestuursrecht in het Awb-Tijperk, zesde, geheel herziene druk, Kluwer,Oegstgeet, Nederland, h.64
21
Usaha Negara dengan swasta atau disebut hubungan horizontal, sedangkan tindakan hukum publik pemerintah atau Tata Usaha Negara mengatur hubungan antara pemerintah dan pemerintahdan orang pribadi atau disebut hubungan vertikal. Tindakan hukum publik pemerintah atau tata Usaha Negara dibagi lagi menjadi tindakan hukum publik bersegi satu dan tindakan hukum publik bersegi dua. Tindakan hukum publik bersegi satu yaitu adanya satu kehendak pemerintah atau Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan hukum publik, sedangkan tindakan bersegi dua merupakan adanya dua kehendak yaitu kehendak pemerintah atau Tata Usaha Negara dengan pihak lain dalam melakukan tindakan hukum publik Maka dilihat dari penguraian di atas, akan menunjukkan suatu sketsa tindakan Tata Usaha Negara:
22
Tindakan Tata Usaha Negara/ Tindakan Pemerintah (Bestuurshandelingen)
Tindakan nyata Tata Usaha Negara/ Tindakan nyata Pemerintah (Feitelijke Handelingen)
Tindakan hukum Tata Usaha Negara/ Tindakan Hukum Pemerintah (Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Privat Tata Usaha Negara/ Tindakan Privat Pemerintah (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi satu (Eenzijdige Publiekrechtelijke Handeling)
Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi dua (Meerzijdige Publiekrechtelijke Handeling)
Konsep tindakan pemerintah pemerintah sangat berperan penting dalam tesis ini, karena tesis ini membahas tentang tindakan hukum Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sehingga keberadaan atau posisi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dapat diketahui.
23
1.7.2 Teori Negara Hukum Dalam prinsip Negara hukum, segala sesuatu perbuatan negara harus berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan. Dalam perkembangan mengenai negara hukum, adanya upaya untuk menghilangkan batasan pengertian negara hukum antara Rechtstaat dan The Rule of Law. berdasarkan konteks sejarah dan konteks Politik, Brian Tamanaha mencoba memformulasikan sebuah teori alternatif baru dalam The Rule of Law, dimana Brian Tamanaha menawarkan pemisahan kedalam dua kategori dasar, yang dikenal dengan teori sebagai Versi ”formal” dan versi “Substantif”, yang kedua-duanya masing-masing memiliki tiga bentuk yang berbeda-beda9. Alternative Rule of Law Formulations Thinner
to
Thicker
FORMAL VERSIONS: 1. Rule by Law -law as an instrument of government action
2. Formal Legality -general, prospective, clear, certain
3. Democracy + Legality -consent determines content of law,
SUBSTANTIVE VERSIONS: 4. Individual Rights -property, contract, Privacy, autonomy
9
5. Right of Dignity & /or Justice
6. Social Welfare -substantive equality welfare, preservation of Community
Tamanaha, Brian Z, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press, United.Kingdom, h. 91.
24
Menurut Brian Z. Tamanaha Alternative Rule of Law Formulations10 adalah merupakan formulasi teori alternatif yang akan ber-elaborasi kedalam perkembangan daripada dari Thinner( tipis) menuju Thicker (tebal), yang artinya bergerak dari formulasi dengan persyaratan yang lebih sedikit untuk persyaratan yang lebih besar (moving from formulations with fewer requirements to more requirements). Secara umum, setiap formulasi berikutnya menggabungkan aspek utama dari sebelumnya formulasi, membuat mereka semakin kumulatif. Sedangkan dalam bukunya I Dewa Atmaja, menyebutkan11 The Thin theory Rule of law, lebih mendekati pengertian negara hukum dalam artian sempit, yang menekankan pada aspek formal atau instrumental dari Rule of Law, dan ciri utamannya berfungsinya system hukum tertulis atau Undang-Undang secara efektif, dan netral dari aspek moralitas politik. Sedangkan The Thick theory Rule of Law, disebut juga konsep negara hukum Substantif, yang intinnya suatu negara disamping harus memenuhi elemen-elemen dasar suatu negara hukum formal juga menekankanpada elemen-elemen moralitas politik. Konsepsi Formal dari The Rule of law adalah untuk mengatasi cara di mana hukum harus diundangkan (oleh yang berwenang), dari kejelasan norma, karena hal tersebut sudah dianggap cukup jelas untuk menuntun perilaku seseorang, serta waktu kapan norma itu berlaku. Kemudian konsepsi formal dari The Rule of Law tidak berusaha untuk mendatangkan hukuman atas isi sebenarnya dari hukum itu sendiri. 10
Ibid Atmadja, I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia sesudah Perubahan UUD 1945,Setara Press, Malang, h.161 11
25
Mereka tidak peduli dengan apakah hukum itu dalam arti hukum baik atau hukum yang buruk, asalkan ajaran formal dari The Rule of Law itu mereka penuhi. Sedangkan Mereka yang mendukung konsepsi substantif dari Rule of Law berusaha untuk melampaui batas tersebut. Mereka menerima bahwa aturan hukum memiliki atribut formal yang disebutkan di atas, tetapi mereka ingin mengambil ajaran lebih lanjut. Maka Dasar perbedaan dapat disimpulkan sebagai berikut: teori formal fokus pada sumber yang tepat dan bentuk legalitas, sementara teori-teori substantif juga
mencakup
persyaratan
tentang
isi
hukum
(biasanya
yang
harus menjunjung tinggi moralitas dengan keadilan atau prinsip moral). Sedangkan perbedaannya informatif, tidak harus diambil sebagai ketat - versi resmi memiliki implikasi substantif dan versi substantif menggabungkan persyaratan formal resmi12. Dari formulasi diatas, Tamanaha berpendapat bahwa prinsip negara hukum The Rule of Law, sedikitnya memiliki enam bentuk, yaitu meliputi sebagai berikut13: No 1
Bentuk Rule By Law
Keterangan Hukum hanya difungsikan sebagai instrumen dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hukum hanya dimaknai dan difungsikan sebagai instrument kekuasaan belaka. Derajat kepastian dan prediktibilitasnya sangat tinggi,
12
Ibid. h. 92 Jafar, Wahyu, 2010, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum:Sebuah Catatan atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Jakarta, h. 163 13
26
sehingga sangat disukai oleh para pelaku kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun ekonomi The Rule of Law dalam tafsir kaum liberal 2
Formal Legality
Dalam bentuk ini Negara hukum dicirikan memiliki beberapa sifat yang meliputi: prinsip propektivitas dan tak boleh retroaktif, berlaku umum-mengikat semua orang, jelas publik, dan relative stabil. Dalam pengertian ini pediktibilas hukum sangat diutamakan
3
Democracy Legality
and Demokrasi yang dinamis yang diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian hukum. Namun demikian, sebagai a procedural mode of legitimation, demokrasi juga
mengandung
keterbatasan-keterbatasan
yang
serupa dengan formal legality, sehingga bias juga memunculkan
praktik-praktik
buruk
kekuasaan-
otoritarian. 4
Individual Rights
Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak milik, kontrak pribadi, dan otonomi seseorang
5
Rights of Dignity
Jaminan terhadap martabat seseorang, termasuk jaminan atas hak atas keadilan.
6
Social Welfare
Persamaan yang sifatnya mendasar dan hakiki, jaminan kesejahteraan, dan terjaganya-terpeliharanya seseoang
27
dalam komunitas
Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum. Sehingga rumusan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 tidak membedakan lagi antara istilah Rechtstaat dan The Rule of Law. Konsep negara hukum Indonesia menerima prinsip kepastian hukum yang menjadi hal utama dalam konsepsi Rechtsstaat, sekaligus juga menerima prinsip rasa keadilan dalam The Rule of Law14.” Dalam kaitannya dengan penelitian ini yang dapat dijadikan acuan untuk menjawab permasalahan bentuk Tindakan hukum tata Usaha Negara terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dengan menggunakan perkembangan konsep negara hukum yaitu konsep negara hukum modern, yang bukan lagi membedakan antara konsep Rechtsstaat maupun The Rule of Law, karena segala tindakan hukum Tata Usaha Negara yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan pada prinsip negara hukum modern, yang didalamnya berisikan kepastian hukum, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan menjamin untuk melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi karena kuantitas pemeluknya terutama terkait dengan isi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
14
MD Moh. Mahfud, 2011, Revitalisasi Pancasila Sebagai Cita Negara Hukum, Orasi ilmiah didepan Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2011.
28
1.7.3 Teori Hierarki (Stufenbau Theory) Teori Hierarki merupakan teori
yang mengenai sistem hukum yang
diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial15. Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat inferior. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan. Seperti yang diungkapkan oleh Kelsen “The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of the norm–the lower one-is determined by another-the higher-the creation of which of determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity16. Maka norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak), Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.
15
Asshiddiqie, Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum,Cet I, Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 110 16 Kelsen, Hans, 2009, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Harvard University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA, h. 124
29
Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu norma hukum memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya: 1. Norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya 2. Norma hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang dibawahnya Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang relatif karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang diatasnya, sehungga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula17. Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:18 1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); 2. Aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz); 17
Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta. h. 25 Atamimi, A, Hamid S, , 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h. 287 18
30
3. Undang-Undang formal (Formell Gesetz); dan 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome Satzung). Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.19 Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.20 Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:21 1.Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945).
19
Ibid Ibid. h. 359 21 Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 20
31
2.Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. 3.Formell gesetz: Undang-Undang. 4.Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, dalam Pasal 7 menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d.Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g.Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. Dalam kaitannya dengan penelitian ini untuk menjawab tentang letak atau posisi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam Peraturan Perundangundangan dan apakah Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai Verordnung En Autonome Satzung bertentangan atau tidak dengan dengan Peraturan Perundangundangan diatasnya yang sebagai Formell Gesetz.
32
1.7.4 Teori Kewenangan Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kajian hukum tata Negara dan hukum administrasi. Karena kewenangan atau wewenang merupakan dasar atau keabsahan tolak ukur bagi pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Maka wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum22. Istilah wewenang atau kewenangan digunakan dalam istilah bahasa Belanda yaitu “bevoegdheid”, yang oleh Philipus M. Hadjion wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht)23. Sedangkan pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia memiliki pengertian yang sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu24. Menurut
F.P.C.L.
Tonner
dalam
bukunya
Ridwan
HR
berpendapat
Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara25.
22
Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.154 23 Hadjon, Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 tahun XII, SeptemberDesember, h. 1 (Selanjutnya disebut Hadjon, Philipus I) 24 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1170 25 HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 100
33
Kemudian Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud dalam bukunya Irfan Fachruddin adalah Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik)26 Adapun macam-macam kewenangan atau wewenang, berdasarkan bagaimana cara memperolehnya, kewenangan atau wewenang diperoleh melalui 3 cara yaitu a. Atribusi; b. Delegasi; dan c. Mandat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu untuk menjawab segi kewenanngan yang diberikan oleh Undang-Undang dalam hal ini Undang-Undang No. 1 /PNPS/
tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri untuk membuat suatu keputusan yang berisikan peringatan dan perintah untuk setiap orang yang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sehingga dapat menentukan posisi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Peraturan Perundang-undangan berdasarkan segi kewenangan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
26
Fachruddin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 4
34
1.7.5 Teori Kehendak (Wilstheorie) Kehendak merupakan dorongan hati untuk melakukan sesuatu, tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai baik atau buruk. Dorongan ini bersifat murni dari dalam diri, tanpa melibatkan atau terpengaruh orang. Teori kehendak (wilstheorie) di kembangkan Sarjana Hukum Von Hippel dan Simon. Menurut teori ini Sengaja adalah kehendak yang di arahkan pada terbentuknya perbuatan seperti yang terumus dalam undang-undang (de op verwerkerijking der wettelijke omsschrijving gerichte wil27). Menurut teori ini kesengajaan ditekankan kepada apa yang dikehendaki pada waktu berbuat Dalam teori kehendak menunjukkan adanya suatu kuasa terhadap pemegang hak yang jelas dan memiliki kewenangan untuk menggunakannya atau melepaskannya.28 Dalam kaitannya dengan Tindakan Hukum Tata Usaha Negara, beberapa ahli seperti Paul Scolten, Sybengan, Van Praag, Meyers yang menggunakan Teori Kehendak (Wilstheorie) sebagai titik tolak untuk tidak menerima/membenarkan adanya perbuatan hukum publik yang bersegi dua karena menurut teori ini perbuatan mengeluarkan atau memberhentikan suatu peraturan, dalam hal ini hanya ada satu kehendak yang menonjol yakni kehendak pemerintah. Maka dalam kaitannya dengan tesis ini, Teori Kehendak memberikan landasan atau jawaban terhadap letak instrument hukum atau keputusan hukum dari Pejabat
27
Keputusan Mahkamah Agung, No. 70/PID.B/2012/PN.WKB tentang Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Waikabubak No.70 / Pid.B/2012/PN.Wkb tertanggal 21 Juni 2012 28 Edmundson, William A, 2004, An Introduction To Rights, Cambridge Ubiversity Press, New York, h.121-122 dalam Iskandar, Pranoto, 2012, Hukum Ham Internasional:Sebuah Pengantar Kontekstual, IMR Prees, Cianjur, 29
35
Tata Usaha didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara terkait diterbitkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Adapun dalam penelitian yang digunakan dalam proposal penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofis, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup, dan materi, konsisten, penjelasan umum, dan pasal demi pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu UndangUndang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau imlementasi, sehingga penelitian hukum normatif sering disebut “penelitian hukum dokmatik” atau” penelitian hukum teoritis” (dogmatic or theoretical law reseach)29. Penelitian ini bermaksud menganalisis permasalahan hukum yang berpedoman pada landasan hukum, serta pandangan-pandangan dari para ahli hukum yang terkait dengan permasalahan penelitian ini, yang mana penelitian ini meneliti tentang kepastian hukum dalam suatu keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
29
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 101-102
36
1.8.2 Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan sebagai langkah-langkah pemecahan masalah (problem solution30) dalam tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan Perundang-undangan (statue approach), pendekatan analitis sejarah hukum (approach of Historical analysis), dan pendekatan analitis konsep hukum (approach of legal concdeptual analysis). Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan mengkaji dengan
menelaah
Peraturan
Perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
permasalahan yang dibahas, khususnya Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang memberikan kewenangan terhadap Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Pendekatan analitis Sejarah (approach of Historical analysis) dalam pendekatan analitis Sejarah ini penulis ingin menganalisis sejarah terbentuknya Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965, serta sejarah terbentuknya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Kemudian pendekatan analisis konsep hukum (approach of legal conceptual analysis) yaitu beranjak dari Peraturan Perundang-undangan maupun pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, sehingga dapat menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang
30
Ibid. h. 112
37
dihadapi31. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini, digunakan untuk mengkaji lebih mendalam mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. 1.8.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dari penelitian proposal ini berasal dari penelitian kepustakaan (Library Research), yang mana bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder32 serta bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang terdiri dari asas dan kaidah hukum yang ditemukan dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan topik kajian, yaitu UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, UndangUndang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, Undang–Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik 31
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 93 Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum, Denpasar, h. 12 32
38
Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo Undang-Undang No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, UndangUndang No. 39 tahun 2008 tentang Kementrerian Negara, Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 62 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 63 tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara, Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/puu-vii/2009 tentang Pencegahan
39
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 3 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. se/sj/1322/2008, No. se/b1065/d/dsp.4/08/2008, No. se/119/921.d.iii/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No. 199 tahun 2008
40
Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum (text book) yang terkait dengan penelitian ini, isinya mempunyai nilai tetap yang pada umumnya merupakan bahan pustaka yang paling umum dibidang hukum Tata negara, Hukum Administrasi Negara terutama yang berkaitan dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara. Bahan hukum tersier terdiri dari, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus ensiklopedia hukum, internet dengan menyebut nama situsnya yang terkain dengan penelitian ini. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari, dengan mengoleksi dan mengumpulkan bahan-bahan hukum, kemudian dilakukan identifikasi terhadap bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan sistem kartu (Card System), yakni dengan melakukan pencatatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi penelitian yang dilakukan, kemudian dilakukan kualifikasi data dan hukum33. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan yaitu kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data beserta
33
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Badung, h. 50
41
sumber darimana data tersebut diperoleh (nama/pengarang, judul buku/artikel, halaman dan sebagainya34. 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam menganalisis bahan hukum ini, bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini kemudian diolah dan dianalisis secara deskripsi untuk menguraikan suatu bahan hukum yang telah dikumpulkan baik berupa Peraturan Perundang-undangan maupun pendapat para sarjana yang terkait dengan pokok permasalahan
dalam
penelitian
ini,
kemudian
diinterprestasikan
dengan
menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistimatis, teleologis, kontektual, dan lain-lain yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya di evaluasi untuk memberikan penilaian berupa tepat dan atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, kemudian dilanjutkan dengan argumentasi sebagai hasil akhir untuk mendapatkan sebuah kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.
34
Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 53
42
BAB II TINJAUAN UMUM KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO. KEP-03/A/JA/6/2008, MENTERI DALAM NEGERI NO. 199 TAHUN 2008 TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT
2.1 Tugas Dan Fungsi Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 tentang kementerian negara, di dalam ayat 1 menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, kemudian ayat 2 mengatakan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, ayat 3 mengatakan menteri membidangi urusan tertentu, dalam pemerintahan, dan dalam ayat 4 menyatakan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam Undang-Undang. Hal tersebut berarti menteri-menteri merupakan pembantu Presiden yang menjalankan tugasnya sesuai dengan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan, dan
43
bertanggung jawab kepada Presiden, namun menteri-menteri negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Negara. Kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, seperti yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 2008 tentang Kementrerian Negara. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yaitu terdiri atas: a. Urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, seperti urusan luar negeri, dalam negeri, pertahanan. Yang mana fungsi Kementrian negara dalam hal ini adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya, pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya, dan pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah. b. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, seperti urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan,
kebudayaan,
kesehatan,
sosial,
ketenagakerjaan,
industri,
perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan. Adapun fungsi Kementerian negara dalam hal ini meliputi, perumusan, penetapan, dan pelaksanaan, kebijakan di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang, menjadi tanggung jawabnya, pengawasan
44
atas pelaksanaan tugas dibidangnya, pelaksanaan bimbingan teknis dan supervise atas pelaksanaan urusan Kementerian didaerah dan pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional. c. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah, seperti: perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.adapun fungsi Kementerian negara dalam hal ini meliputi, perumusan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara dan penetapan kebijakan di bidangnya, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya; pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya. Berdasarkan, yang dimana dalam Pasal 1 menyebutkan “Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Kementerian Negara, yang selanjutnya disebut dengan Kementerian sebagai berikut: 1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Kementerian Koordinator
Bidang
Perekonomian;
3.
Kementerian
Koordinator
Bidang
Kesejahteraan Rakyat; 4. Kementerian Sekretariat Negara; 5. Kementerian Dalam Negeri; 6. Kementerian Luar Negeri; 7. Kementerian Pertahanan; 8. Kementerian
45
Hukum dan Hak Asasi Manusia; 9. Kementerian Keuangan; 10. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; 11. Kementerian Perindustrian; 12. Kementerian Perdagangan; 13. Kementerian Pertanian; 14. Kementerian Kehutanan; 15. Kementerian
Perhubungan;
16. Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan 17.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 18. Kementerian Pekerjaan Umum; 19. Kementerian Kesehatan; 20. Kementerian Pendidikan Nasional; 21. Kementerian Sosial; 22. Kementerian Agama; 23. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; 24. Kementerian Komunikasi dan Informatika; 25. Kementerian Riset dan Teknologi; 26. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 27. Kementerian Lingkungan Hidup; 28. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 29. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 30. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal; 31. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; 32. Kementerian Badan Usaha Milik Negara; 33. Kementerian Perumahan Rakyat; dan 34. Kementerian Pemuda dan Olah Raga. Dengan disebutkannya Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri pada Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara yaitu Kementerian Dalam Negeri pada point 5 dan Kementerian Agama pada point 22 . Kementerian
Agama
memiliki
tugas
membantu
Presiden
dalam
menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan. Adapun fungsi Departemen Agama menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang agama
46
berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia. No. 10 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama yaitu : 1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keagamaan; 2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama; 3. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama; 4. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah; 5. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan 6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah Kementerian Dalam Negeri memiliki tugas dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Adapun fungsi dari Kementerian Dalam Negeri menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri antara lain : 1. perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pemerintahan dalam negeri; 2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara; 3. pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidang pemerintahan dalam negeri; dan pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan berpegang pada Peraturan Perundang-undangan
47
dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, dan Jaksa Agung diamgkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Fungsi dan kewenangan Kejaksanaa berdasarkan Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia meliputi: 1. Tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana, antara lain: a.
melakukan penuntutan;
b.
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang;
e.
melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2. Tugas dan wewenang kejaksaan di bidang perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
48
c. pengawasan peredaran barang cetakan; d. pengawasan
aliran
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan
masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga menyatakan Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya 2.2 Dasar Hukum Diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan Warga Masyarakat Negara Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep negara hukum, maka segala perbuatan pemerintah haruslah berdasarkan hukum, begitu juga produk hukum yang diterbitkan oleh pemerintah haruslah memiliki dasar hukum dari pembentukan produk hukum yang diterbitkan oleh pemerintah tersebut. Oleh sebab itu produk hukum yang di bentuk oleh pemerintah yang paling rendah harus berpegangan pada produk hukum pemerintah/negara yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi. Seperti halnya Keputusan Bersama tentang
49
Ahmadiyah yang diterbitkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia haruslah memiliki dasar hukum yang jelas agar tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan atau Undang-Undang yang ada di atasnya. Bahwa didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah haruslah menjamin kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat serta menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninnya, serta memberikan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat kepada warga masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sesuai dengan Pasal 28 E UUD 1945 yang menyatakan : 1) Setiap orang bebas, memeluk agama dan beribadat menutur agamannya, memilih
pendidikan
kewarganegaraan,
dan
memilih
pengajaran, tempat
memilih
tinggal
di
pekerjaan, wilayah
memilih
negara
dan
meninggalkannya, serta berhak kembali; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; 3) Setiap orang bebas atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Keputusan Besama tentang Ahmadiyah harus menjamin adanya pemberian hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, merdeka pikiran hati nurani, beragama, untuk tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
50
keadaan apapun kepada warga masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Seperti yang diatur dalam Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan : 1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi du hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah harus menjamin adanya sikap menghormati hak asasi manusia, serta adannya pembatasan yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang bertujuan menciptakan ketertiban kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta adanya jaminan pengakuan serta penghormatan atas
51
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sesuai dengan Pasal 28 J UUD 1945 yang menyatakan: 1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; 2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk kepada pmbatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalamsuatu masyarakat demokratis. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah juga mengakui bahwa negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan adanya jaminan kemerdekaan untuk memeluk dan beribadat menurut agamannya masing-masing bagi warga masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sebagaimana Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk
agamannya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamannya dan kepercayaannya itu. Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merandahkan
52
terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara35. Serta dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, menyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agaman yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama manapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa36. Hal tersebut dijadikan sebagai dasar acuan oleh Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 apabila terjadi pelanggaran terhadap isi dari peringatan dan perintah dari keputusan ini baik itu dari Ahmadiyah maupun warga masyarakat akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
35 36
Hamzah, Andi, 2005, KUHP & KUHAP, Cet 12, PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 63 Ibid
53
Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang dijadikan dasar dalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang diterbitkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Undang–Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dijadikan sebagai dasar hukum oleh Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah mengenai ketentuan-ketentuan dalam organisasi kemasyarakatan yang berhubungan dengan organisasi keorganisasian kemasyarakatan khususnya mengenai organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa isi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak boleh bertentangan atau melanggar hak asasi manusia seseorang atau siapapun juga. Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang mengenai bidang ketertiban umum dan kesejahteraan umum, memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk turut menyelenggarakan kegiatan yang salah satunya berisikan pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, sehingga Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dijadikan sebagai dasar hukum dalam ikut sertanya Jaksa Agung dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang berkenaan dengan kewenangan dari Kejaksaan.
54
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo Undang-Undang No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang dijadikan sebagai landasan hukum oleh Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah mengenai batasan-batasan dari kewenangan pemerintah daerah dalam menangani masalah Ahmadiyah. Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, menunjukkan bahwa pemerintah sangat konsisten dengan perlindungan hak-hak sipil dan politik, maka dari itu Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional dijadikan landasan dasar hukum dalam penerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak boleh melanggar dari Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional HakHak Sipil dan Politik. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai acuan bagi Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai pelaksanaa dalam memberikan peringatan dan perintah kepada organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 62 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
55
No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagai menimbang didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai tertib administrasi agar jelas kedudukan, fungsi Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, di Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Peraturan Presiden No. 10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 63 tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 10. tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagai menimbang dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai tertib administrasi agar jelas kedudukan, fungsi Ekselon I Kementerian Agama, Jaksa Agung, dan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Keputusan Presiden No. 86 tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai menimbang dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dalam hal batasan tata kerja kejaksaan menyangkut penyelesaian masalah Amadiyah. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia sebagai menimbang dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai petunjuk-petunjuk tentang tata cara
56
pelaksanaan penyiaran agama, dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia khususnya mengenai Ahmadiyah. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), sebagai menimbang di dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun 2008, yang mengenai Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menyangkut penyelesaian masalah Ahmadiyah. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagai menimbang dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, mengenai tata kerja Kejaksaan didalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri, sebagai menimbang Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai acuan dalam menentukan tata kerja Departemen Dalam Negeri dalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama sebagai menimbang Keputusan
57
Bersama tentang Ahmadiyah sebagai acuan dalam menentukan tata kerja Departemen Agama dalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. 2.3 Kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Dalam menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan Warga Masyarakat Dalam setiap perbuatan pemerintah guna menyelenggarakan pemerintahan dan tugas negara perlu adanya suatu legitimasi untuk mengesahkan setiap perbuatan pemerintah. Dengan kata lain setiap keputusan pemerintah dalam hal ini menteri harus didasarkan pada kewenangan yang jelas yang telah diatur, dimana wewenang tersebut telah ditetapkan oleh aturan hukum yang terlebih dahulu ada37. Secara teori cara memperoleh kewenangan terdapat 3 cara yakni: 1. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini
37
Sutarman, 2007, Kerjasana Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan Dan Penegakan Hukum Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi Airlangga., h. 110
58
menunjuk pada kewenangan asli atas dasar Konstitusi (UUD) atau Peraturan Perundang-undangan. 2. Delegasi adalah wewenang yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintah yang lain dengan dasar Peraturan Perundang-undangan 3. Mandat adalah wewenang yang bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah. Dalam kaitan dengan Atribusi, Delegasi, dan Mandat, J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan38: a. with atribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously existing power. The legislative body creates independent and previously non existent powers and assigns them to an authority. (dengan atribution, kekuasaan diberikan kepada otoritas administratif oleh badan legislatif independen. Daya awal (asli), yang mengatakan bahwa tidak berasal dari kekuatan yang sudah ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kekuatan ada independen dan sebelumnya tidak dan memberikan mereka otoritas)
38
Brouwer, J.G. dan Schilder,1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri, Nijmegen, h. 16-1
59
b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that the acquired the power) can exercise power in its own name. (Delegasi adalah transfer dari atribution diperoleh kekuasaan dari satu kewenangan administratif yang lain, sehingga delegate (tubuh yang mengakuisisi kekuasaan) dapat menjalankan kekuasaan atas namanya sendiri) c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.( Dengan mandat, tidak ada pengalihan, tetapi pemberi mandat (Mandans) memberikan kekuatan untuk tubuh (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil tindakan dalam namanya) Kemudian H.D Van Wijk/ Willem Konijnenbelt mendefinisikan Atribusi, Delegasi dan Mandate sebagai sumber wewenang, sebagai berikut;39 a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een bestuursorgaan. (pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-
Undang kepada organ pemerintahan) b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander. (pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya);
39
Konijnenbelt, H. D. Konijnenbelt Van Wijk/Willem, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Culemborg, Uitgeverij LEMMA BV, h. 56 dalam H.R, Ridwan Op. Cit, h. 102
60
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander. (ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan
oleh organ lain atas namanya). Menurut Wim Voermans40, atribusi adalah penciptaan dan penugasan yang sebelumnya ada di otoritas publik kepada pemerintah. Kemudian kewenangan atribusi adalah tindakan utama penciptaan yang entah dari mana, suatu kekuatan itu baru itu diciptakan dan ditugaskan, maka dari itu kewenangan Atribusi diberikan oleh legislator.
Adapun tiga karakteristik yang lain dari Atribusi, yaitu41 a. de attribuerende instantie oefent niet zelf de bevoegdheid uit die ze attribueert. Zo oefent de grondwetgever of wetgever zelf niet de bevoegdheid tot burgerlijke of strafrechtspraak uit, maar geeft daarvoor slechts de bevoegdheid; b. dat de attribuerende instantie onder omstandigheden zijn de bevoegdheid tot attributie, bijvoorbeeld ter detaillering van de constitutie, over kunnen dragen aan een andere instantie; c. dat attributie een limitatief karakter draagt, dat wil zeggen dat overheidsbevoegdheden
slechts
rechtens
kunnen
bestaan
krachtens
toekenning of erkenning ervan door de constitutie.
40 41
Voermans, Wim, 2004, Toedeling Van Bevoegdheid, Meijers Instituut, Leiden, Nederland. h 19 Ibid
61
Delegasi merupakan bentuk lain dari atribusi, namun si pemberi kewenangan tetap bertanggung jawab sendiri. Dalam pendelegasian dapat terjadi pada tingkat pemerintahan yang sama, akan tetapi dapat juga dilimpahkan ke pemerintahan lain yang terkait42. Sedangkan Mandat menurut Wim Voermans, sering disebutkan dalam satu napas dengan atribusi dan delegasi, sehingga Wim Voermans menganggap mandate bukanlah bentuk pelimpahan asli. Yang artinya diman si pemberi
mandat tetap
bertanggung jawab43. Dalam menentukan jenis dari kewenangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, hal tersebut dapt dilihat melalui aturan hukum yang menetapkan kewenangan tersebut. Di dalam Pasal 17 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada menteri untuk membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri, dikarenakan setiap menteri negara merupakan pembantu-pembantu Presiden yang membidangi urusan tertentu pemerintahan. Hal tersebut sebagai mana dengan Menteri Agama dan Kementerian Dalam Negeri yang juga merupakan pembantu Presiden yang membidangi urusan agama dan urusan dalam negeri, sehingga Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri mendapatkan kewenangan mengeluarkan suatu Keputusan berdasarkan kewenangan Pasal 17 UUD 1945.
42 43
Ibid. h 39 Ibid, h 2
62
Kewenangan Jaksa Agung untuk ikut serta membentuk Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah bersumber pada Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. Di dalam undang-undang ini kejaksaan memiliki kewenangan untuk turut menyelenggarakan pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di bidang ketertiban dan ketentraman umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan” dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic Kriminal. Namun tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan bersifat prevensif dan/atau edukatif sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga tugas dan kewenangan dari Jaksa Agung hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta koordinasi dengan instansi terkait, dimana dalam hal Ahmadiyah Kejaksaan bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri
63
Dalam Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi ”Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Dengan adanya Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, kewenanngan Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan Atribusi yang merupakan toekenning van en bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan een bestuursorgaan, yang artinya bahwa Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan44. Kewenangan atribusi dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan (attributie van wetgevingsbevoegdheid), adalah bentuk kewenangan yang didasarkan atau diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang dalam arti materiel. Atribusi ini dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang
pemerintahan.
Kewenangan
tersebut
terus
menerus
dan
dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas
44
HR, Ridwan, Op Cit, h. 104-105
64
yang diberikan. Di dalam kewenangan atribusi terdapat tiga (3) karakteristik dari atribusi, yaitu : 1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundangundangan. 2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh Konstitusi, Undang-Undang atau Peraturan Daerah kepada suatu organ. 3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Maka kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan atribusi dapat dilihat dari ketiga point karakteristik diatas yaitu 1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundangundangan. yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri menerbitan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.. 2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh konstitusi, undang-undang atau Peraturan Daerah kepada suatu organ. Yaitu dilihat dari Pasal 17 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada para menteri negara selaku pembantu Presiden
untuk membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri,
65
kemudian Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan memberikan kewenangan kepada jaksa agung untuk ikut serta dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana kewenangan tersebut untuk pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di bidang ketertiban dan ketentraman umum serta bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta koordinasi dengan instansi terkait. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang berbunyi Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. 3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab atas diterbitkannya serta dalam pelaksanaan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
66
BAB III BENTUK TINDAKAN TATA USAHA NEGARA DARI KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO. KEP-03/A/JA/6/2008, MENTERI DALAM NEGERI NO. 199 TAHUN 2008 TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT 3.1 Jenis-Jenis Tindakan Tata Usaha Negara Dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui pejabat atau badan Tata Usaha Negara melakukan beberapa jenis perbuatan atau tindakan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah sebagai subyek hukum atau sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban. Pemerintah melakukan suatu Perbuatan atau tindakan Tata Usaha Negara atau tindakan-tindakan pemerintah (Bestuurshandelingen), dapat dibagi menjadi dua yaitu tindakan nyata Tata Usaha Negara atau tindakan Tata Usaha Negara berdasarkan fakta (Feitelijk Handelingen) dan tindakan hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen). tindakan nyata Tata Usaha Negara atau tindakan Tata Usaha Negara berdasarkan fakta (Feitelijk
67
Handelingen ) yaitu tindakannya yang tidak dimaksudkan untuk menciptakan konsekuensi hukum dalam kehidupan dan tidak terdapat hubungan langsung dengan kewenangannya, sedangkan perbuatan hukum pemerintah/ Tata Usaha Negara adalah suatu perbuatan pemerintah yang dapat menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur dari tindakan hukum pemerintah adalah dilakukan oleh aparat pemerintah, dimana tindakan tersebut dilaksanakann dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang menimbulkan akibat-akibat hukum, dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri, yang didasari atas Peraturan Perundang-undangan.. Didalam tindakan hukum yang dilakukan oleh Tata Usaha Negara dalam hal ini pemerintah terdapat beberapa unsur, menurut Muchsan unsur-unsur perbuatan atau tindakan hukum pemerintah atau tindakan hukum tata Usaha Negara adalah sebagai berikut : 1.
Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (bestuurorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
2.
Perbuatan tersebut di laksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah;
3.
Perbuatan tersebut di maksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
4.
Perbuatan yang bersangkutan di lakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan Negara dan rakyat45.
45
Muchsan, 1981, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h, 18-19
68
Didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara dikategorikan menjadi dua golongan, yakni tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum privat (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen), dan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen). tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum privat (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen) merupakan tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang akibatnya berada dalam lapangan hukum perdata, sebagai contoh dapat dilihat pada Pasal 1548 KUH Perdata mengenai hubungan sewa menyewa antara pemerintah dengan pihak swasta, kemudian Pasal 1547 KUH Perdata mengenai penjualan tanah eigendom. Sedangkan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen) merupakan tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang akibatnya berada dalam lapangan hukum publik. Berkenaan dengan tindakan hukum publik Tata Usaha Negara, terdapat dua bentuk dari tindakan hukum publik Tata Usaha Negara, yang menurut Utrecht yaitu sebagai tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handelingen) dan tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi dua (meerzijdige publiekrechtelijke handelingen). Tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi satu merupakan kehendak sepihak dari pemerintah saja, sedangkan tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi dua merupakan adanya dua kehendak atau kemauan yang terikat, misalnya perjanjian kontrak kerja dengan pemerintah atau kortverband contract (perjanjian kerja yang berlaku jangka
69
pendek yang dilakukan antara swasta sebagai pekerja dengan pemerintah sebagai pihak yang memberikan pekerjaan). 3.1.1 Skema Jenis-Jenis Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Tindakan Tata Usaha Negara/ Tindakan Pemerintah (Bestuurshandelingen)
Tindakan nyata Tata Usaha Negara/ Tindakan nyata Pemerintah (Feitelijke Handelingen)
Tindakan hukum Tata Usaha Negara/ Tindakan Hukum Pemerintah (Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Privat Tata Usaha Negara/ Tindakan Privat Pemerintah (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handelingen)
Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi dua (meerzijdige publiekrechtelijke handelingen)
70
3.2 Bentuk-Bentuk Keputusan Tertulis Tindakan Hukum Publik Tata Usaha Negara Sebuah produk pengambilan sebuah putusan tertulis yang dilakukan oleh organ atau pejabat Tata Usaha Negara pada dasarnya merupakan sebuah aturan hukum yang mengikat subyek-subyek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere)46. Subyek hukum yang terkena tersebut menurut pada sifat perumusan subyek hukum, jika subyek yang terkena akibat keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh organisasi negara yang bersifat konkrit dan individu, maka norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan tertulis tersebut merupakan norma hukum yang bersifat individu–konkrit (individual congkret norm), tetapi apabila subyek hukumnya bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkrit, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan tertulis tersebut disebut norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norm)47. Bentuk putusan tertulis Menurut Jimly Assiddiqie pada dasarnya terdapat tiga bentuk pengambilan keputusan yaitu48: 1. Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil pengaturan tersebut sudah seharusnya tidak disebut dengan istilah lain kecuali “Peraturan”
46
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 7 (Selanjutnya disebut Asshiddiqie, II) 47 Ibid 48 Ibid, h. 8
71
2. Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (Beschikkings). Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan Administrasi ini sebaiknnya hanya dimungkinkan untuk disebut “Keputusan atau Ketetapan”, bukan dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan dilingkungan pengadilan yang menggunakan istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi “Ketetapan” yang sepadan dengan istilah “Keputusan”. Sedangkan Penetapan dalam bentuk “gerund”atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk hasilnya, dan; 3. Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonis). Istilah ini sebenarnya tidak jelas bagaimana bentuknya. Jika kata putusan dianggap benar secara gramatikal, maka harusnya dapat disepadankan dengan “tetapan” yang berasal dari kata “tetap”, dan ”aturan” yang berasal dari kata “atur”. Namun karena istilah ini sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi konvensi bahwa keputusan judisial hakim atas perkara yang diadili disebut putusan. Dalam kaitannya dengan pengambilan sebuah putusan hukum tertulis yang dilakukan oleh organ atau pejabat Tata Usaha Negara di dalam tindakan hukum publik pemerintah atau Tata Usaha Negara, bagi penulis putusan hukum yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara didasari atas Teori Kewenangan dan Teori Kehendak, karena adanya suatu kewenangan yang diberikan kepada pejabat pemerintah atau pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu keputusan tertulis, sedangkan teori kehendak dilihat dari kehendak yang ada dalam keputusan
72
tertulis, apakah hanya terdapat kehendak tunggal dari pejabat pemerintah/ Tata Usaha Negara atau terdapat kehendak dari pihak lain diluar kehendak pejabat pemerintah /Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu keputusan tertulis. Sehingga bagi penulis menggunakan teori kewenangan dan teori kehendak untuk memperkuat dikeluarkannya keputusan hukum tertulis dalam tindakan publik Tata Usaha Negara. Adapun bentuk-bentuk dari putusan tertulis tersebut antara lain : 1. Regeling (Keputusan yang bersifat Umum, Abstrak dan Mengatur)49; 2. Beschikking (Keputusan atau Penetapan); 3. Besluiten Van Algemene Strekking (Keputusan yang Berentang Umum); 4. Het Plan ( Perencanaan); 5. Pseude-wetgeving/ Beleidsregel (Peraturan Perundang-undangan Semu/ Peraturan Kebijakan; Untuk lebih memahami bentuk-bentuk dari putusan tertulis diatas, akan sangat membantu bila dikaitkan dengan struktur norma hukum Administrasi/ Tata Usaha Negara sebagai norma pemerintahan. Berdasarkan konsep dari Van Wijk dan Konijnenbelt tentang kategori-kategori norma hukum Administrasi/ Tata Usaha Negara yaitu sebagai berikut50: 1. Algemeen-Abstract (Norma yang bersifat Umum-Abstrak) 2. Algemeen-Concreet (Norma yang bersifat Umum-Konkrit) 3. Individueel-Abstract (Norma yang bersifat Individu-Abstrak) 49
Ibid h.7 Hadjon, Philipus M., dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet 11,Gajah Mada University Press, Jogjakarta 125 50
73
4. Individueel-Concreet (Norma yang bersifat Individu-Konkrit) Philippus M Hadjon membuat suatu skema untuk dapat mengetahui kualifikasi dari norma hukum administrasi yang berdasarkan pada alamat yang ditujukan (Addressat) dan hal yang diatur atau perbuatannya: Skema Norma Hukum Administrasi/ Tata Hukum Negara51: untuk siapa
Apa dan bagaimana
Umum
a b
Individu
Abstrak c
d
Konkrit
3.2.1 Regeling (Keputusan yang Bersifat Umum, Abstrak dan Mengatur) Regeling yang merupakan bentuk putusan tertulis tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang memiliki norma-norma hukum yang sifatnya mengatur dengan isi norma yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) dituangkan dalam bentuk tertulis tertentu yang disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan52. Menurut Bagir Manan yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh
51 52
Ibid. Ibid. h.19
74
lembaga dan/atau pejabat negara yang mempunyai atau menjalankan fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku53. Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan (Regeling) merupakan kehendak dari pemerintah bersama dengan lembaga legislatif. Namun pemerintah sendiri dapat membuat suatu peraturan yang mengikat secara umum, apabila badan legislatif telah memberikan kewenangannya kepada pemerintah dalam suatu UndangUndang. Unsur-unsur yang termuat dalam Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut54: 1. Peraturan Perundang-undangan berbentuk “keputusan tertulis”. Karena merupakan keputusan tertulis, maka Peraturan Perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum (geschreven recht, written law) 2. Peraturan Perundang-undangan dibentuk oleh Pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang mempunyai wewenang yang membuat ”Peraturan” yang berlaku umum atau mengikat umum (algemeen) 3. Peraturan Perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa Peraturan Perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkrit atau individu tertentu. Karena dimaksud sebagai ketentuan yang tidak 53
Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, 1987, Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung, h. 13 dalam Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 38 54 Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 125
75
berlaku pada peristiwa konkrit tertentu atau individu tertentu, maka lebih tepat disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari mengikat umum. Menurut Jimly yang mengacu pada Halbury,s Law of England,edisi tiga, vol, 36 di dalam Peraturan Perundang-undangan terdapat 4 katgori peraturan tertulis yaitu55: 1. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjukkan kepada hal, atau peristiwa, atau kasus konkrit yang sudah ada sebelum peraturan ditetapkan; 2. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subyek yang diaturnya, yaitu hanya berlaku bagi subyek hukum tertentu; 3. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku di dalam wilayah lokal tertentu; 4. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan daya ikat materinya, yaitu hanya berlaku internal. 3.2.2 Beschikking (Keputusan atau Penetapan yang bersifat Konkrit, Individual Dan Final) Beschikking (keputusan atau penetapan) yang merupakan tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara dibagi lagi yaitu Interne Beschikking dan Eksterne Beschikking. Interne Beschikking atau disebut dengan keputusan intern merupakan keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan atau mengatur hubungan antar organ pemerintah, sedangkan Eksterne Beschikking atau keputusan ekstern merupakan keputusan yang 55
Asshiddiqie, Jimly III, Op Cit, h.13
76
dibuat untuk menyelenggarakan atau mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan pihak lain atau antara dua atau lebih alat negara56. Istilah Beschikking diperkenalkan di negeri Belanda oleh Vollenhoven dan C.W. Van Der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D, Van Wijk/Willemkonijnenbelt, dianggap sebagai “de vader van
het modern
beschikkingsbegrip, (bapak dari konsep Beschikking yang modern)57. Namun di Indonesia istilah Beshikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Ada yang menerjemahkan istilah Beshikking ini dengan “ketetapan”, seperti E.Utercht58, Bagir Manan,59 Sjachran Basah, dan lain lain, dan dengan “keputusan” seperti WF. Prins dan SF. Marbun,60 dan lain lain. Menurut Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Beschikking (keputusan atau penetapan) merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisikan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individu, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 56
Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung, h.70 57 F.C.M.A. Michiels, 1987, De Arob-Beschikking, Vuga Uitgeverij B.V., „s-Gravenhage, h. 23 dalam Dalam HR. Ridwan, Op.Cit, h 140 58 Utrecht, E, Op.Cit, h. 97 59 Manan, Bagir, 1985, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah , LPPM Unisba, Bandung, h. 30 60 Marbun, SF. Op.Cit. h. 126.
77
Unsur-unsur Beschikking (keputusan atau penetapan) berdasarkan Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu 1. Penetapan Tertulis Penetapan tertulis maksudnya adalah cukup ada hitam diatas putih karena menurut penjelasan atas pasal tersebut adalah form tidak penting dan bahkan nota atau memo saja sudah memenuhi sebagai ketetapan tertulis61. Ketika pemerintah dihadapkan pada peristiwa konkrit dan pemerintah memiliki motivasi dan keinginan untuk menyelesaikan peristiwa tersebut, pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan hukum sepihak dalam bentuk ketetapan yang merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam bentuk tertulis. 2. Dikeluarkan Oleh Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara Pengertian badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”.
61
Hadjon, Philipus M., dkk, Op.Cit. h.138
78
Penjelasan atas Pasal 1 angka 8 menyatakan Badan atau Pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan eksekutif. 3. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. 4. Bersifat Konkrit, Individual Dan Final Bersifat konkrit, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai sumah si A, Izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri. Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan
79
pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara. 5. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Bahwa keputusan itu harus didasarkan pada kewenangan dari pejabat tata usaha negara, sedangkan kewenangan pejabat tersebut tentunya bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau dengan kata lain bahwa keputusan itu berfungsi untuk melaksanakan peraturan yang bersifat umum. jadi harus ada peraturan yang menjadi dasarnya. 6. Akibat Hukum Bagi Seseorang Atau Badan Hukum Perdata. Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang atau badan hukum perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi penggugat terhadap badan atau pejabat lainnya. Namun didalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang perubahan Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha Negara menjelaskan secara tegas pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, yang karena sifat dan maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini : a)
Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Perbuatan Hukum Perdata
80
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata, umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata b)
Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Pengaturan Yang Bersifat Umum Yang dimaksud dengan "pengaturan yang bersifat umum" ialah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
c)
Keputusan Tata Usaha Negara Yang Masih Memerlukan Persetujuan Yang dimaksud dengan "Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan" ialah keputusan yang untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain. Dalam kerangka pengawasan
administratif
yang
bersifat
preventif
dan
keseragaman
kebijaksanaan sering kali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara diperlukan persetujuan instansi atasan lebih dahulu. Adakalanya peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan karena instansi lain tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan itu. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.
81
d)
Keputusan Tata Usaha Negara Yang Dikeluarkan Berdasarkan Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau Peraturan Perundang-undangan Lain yang Bersifat Hukum Pidana. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ialah umapanya dalam perkara lalu lintas di mana terdakwa dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang mewajibkannya memikul biaya perawatan si korban selama dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka jaksa yang menurut Pasal 14 huruf d Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan perintah kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti pembayaran biaya perawatan tersebut kepadanya. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ialah umpamanya kalau penuntut umum mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap tersangka. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana ialah umpamanya perintah jaksa ekonomi untuk melakukan penyitaan barang-barang terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi. Penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan hanya oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
82
e)
Keputusan Tata Usaha Negara Yang Dikeluarkan Atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku; Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini umpamanya: 1. Keputusan Direktur Jenderal Agraria yang mengeluarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan Pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan oleh para pihak. 2. keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar putusan Pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3. Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri Kehakiman, setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya menurut ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
f)
Keputusan Tata Usaha Negara Mengenai Keputusan Tata Usaha Negara Mengenai Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
g)
Keputusan Panitia Pemilihan, Baik di Pusat Maupun di Daerah, Mengenai Hasil Pemilihan Umum. Didalam mengeluarkan keputusan yang merupakan tindakan Tata Usaha Negara
bersegi satu dapat dikategorikan lagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
83
a. sepihak konkrit individual contoh: keputusan tentang pengangkatan/pemberhentian seseorang sebagai pegawai negeri sipil, keputusan tentang pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan publik, penetapan pajak seseorang. b. sepihak konkrit umum contoh: keputusan presiden tentang kenaikan gaji PNS, keputusan menteri tenaga kerja tentang upah minimum, dsb. c. lebih dari satu badan/pejabat Tata Usaha Negara, konkrit-umum contoh: Keputusan Bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan perdagangan No. 1905 K/34/MeM/2001, No. 426/KMK.01/2001, dan No. 233/MPP/Kep/7/2001 tentang Ketentuan Import Pelumas. 3.2.3 Besluiten Van Algemene Strekking (Keputusan Yang Berentang Umum) Besluiten Van Algemene Strekking termasuk keputusan yang bersifat umum yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang bersifat mandiri, dalam artian hanya dibentuk oleh pemerintah tanpa keterlibtan Dewan Perwakilan Rakyat62. Keputusan Yang Berentang Umum (Besluiten Van Algemene Strekking) mengandung pengertian yang lebih luas daripada pengertian Peraturan Perundangundangan (Algemeen Verbindende Voorschrift), juga mencakup keputusan-keputusan yang bukan Peraturan Perundang-undangan, karena tidak mengikat secara umum dan
62
HR. Ridwan, Op Cit, h 138
84
bukan pula penetapan (Beschikking) karena akibat-akibatnnya tidak bersifat konkretindividu63. Menurut Johanes Usfunan Besluiten Van Algemene Strekking atau Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berentang Umum ini merupakan produk badan/pejabat Tata Usaha Negara yang mengikat secara umum (algemene bindend), yang berarti bahwa keputusan yang demikian mengikat masyarakat secara keseluruhan atau kelompok orang tertentu dan yang bagi mereka yang terkena putusan tersebut tak dapat berbuat kecuali mematuhinnya64. Prof. Johanes Usfunan berpendapat bahwa Besluiten Van Algemene Srekking dapat digolongkan kedalam keputusan yang bersifat keputusan umum-konkrit65. Keputusan bersifat umum merupakan produk badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bertujuan mengatur kepentingan dan ketertiban masyarakat. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No.9 tahun 2004 tentang perubahan Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh badan perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan adan atau pejabat tata usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan pejabat Tata Usaha Negara
63 64
Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana. Op Cit, h. 164 Usfunan , Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta.
h.119 65
Ibid 121-122
85
dan atau badan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat secara umum. Selain itu Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan Peraturan Perundangundangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Maka dari hal tersebut keputusan dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum (Besluit Van Algemene Strekking) termasuk ke dalam Peraturan Perundang-undangan (Algemeen Verbindende Voorscriften). Bentuk Keputusan Tata Usaha Negara yang berentang umum atau Besluit Van Algemene Strekking demikian tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan dalam arti Beschickkingsdaad Van De Administratie tetapi diklasifikasikan dalam perbuatan tata usaha di bidang pembuatan peraturan (Regelend Daad Van De Administratie) hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Philipus M. Hadjhon yang mengatakan, bentuk keputusan Tata Usaha Negara demikian tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan (dalam arti Beschickkingsdaad Van De Administratie), tetapi termasuk perbuatan tata Usaha Negara di bidang pembuatan Peraturan (Regelend Daad Van De Administratie)66. Pengaturan yang bersifat umum (Besluit Van Algemene Strekking) seperti halnya dengan Peraturan Perundangundangan lainnya, dimana Keputusan hukum dari Tata Usaha Negara yang 66
Hadjon, Philipus M. Op.Cit, h. 151
86
merupakan keputusan hukum yang bersifat umum dapat pula dijadikan salah satu dasar hukum bagi dikeluarkannya suatu keputusan (dalam arti Beschikking)67. Menurut A.D Belinfante terdapat beberapa jenis penetapan yang merupakan Besluiten van algemene Srekking68 yaitu: a) Norma Konkrit; b) Rencana: c) Perundang-Undangan Semu Menurut Stroink, yang termasuk dalam Besluiten Van Algemene Srekking adalah69: a. Keputusan Pengesahan (Goedkeuing), pembatalan (Vernietiging) suatu Peraturan Perundang-Undangan b. Norma Konkrit c. Perencanaan Sedangkan menurut Indroharto yang termasuk Besluiten Van Algemene Srekking dari70: a. Norma konkrit: b.Rencana: c. Perundang-Undangan Semu
67
Ibid Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, 1983, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Binacipta, Jakarta h.34-87 69 Stroink, Steenbeek, F.A.M-J.G., 1985, Inleiding in het Staats en Administratief Recht, Samson, Alphen aan de Rijn, h105 dalam Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit 70 Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, h 196. 68
87
d.Keputusan Bersama Dari jenis-jenis yang disebutkan diatas akan diuraikan menjadi 5 jenis dari Besluiten Van Algemene Srekking yaitu: a.
Norma Konkrit, Norma Konkret merupakan produk dari tindakan Tata Usaha Negara yang
bertujuan memberi suatu isi yang konkrit dari ketentuan Peraturan Perundangundangan sehingga dapat dilaksanakan dengan praktis. menurut Belinfante71, Norma Konkrit adalah suatu tindakan Tata Usaha Negara, tetapi isinya bersifat konkrit dan pelaksanaannya praktis diterapkan untuk waktu dan tempat tertentu. Namun menurut Balifante keputusan ini bukanlah Beschikking yang ditunjukkan kepada orang-orang tertentu tetapi ditunjukkan pada semua orang. A.D Belinfante menambahkan pengkonkritan peraturan yang bersifat umum yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut dinamakan norma konkrit72. Norma konkret merupakan norma yang bersifat umum yang mengatur suatu peristiwa tertentu atau beberapa peristiwa tertentu73. Menurut Attamimi Norma konkrit diartikan sebagai Norma yang sifatnya pengaturannya lebih bersifat umum tentang beberapa peristiwa tertentu atau suatu peristiwa tertentu atau suatu peristiwa tertentu tetapi bukan norma yang berbentuk penetapan (Beschikking)74
71
Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, Op.Cit,h 50 Ibid ,h. 51 73 Attamimi, A. Hamid S., Loc Cit h. 316-317 74 Ibid 72
88
b.
Keputusan Pengesahan (goedkeuing), pembatalan (vernietiging) suatu Peraturan Perundang-undangan. Bahwa bentuk putusan Keputusan Pengesahan (goedkeuing), pembatalan
(vernietiging) suatu Peraturan Perundang-undangan ini tidak dapat dimasukkan sebagai ketetapan karena pengesahan atau pembatalan tersebut mengandung yang secara langsung mengakibatkan suatu Peraturan Perundang-undangan berlaku (pengesahan) atau menjadi tidak berlaku (pembatalan). Dalam sistem Perundangundangan di Indonesia keputusan pengesahan dan pembatalan berlaku untuk Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. c.
Keputusan Bersama Keputusan Bersama sejak Tahun 1966 menjadi cara yang popular dalam
mengatasi masalah, khususnya dalam penegakan hukum yang bersifat lintas sektoral. Sehingga dalam pelaksanaan urusan pemerintah, kerap kali menyangkut urusan yang lebih dari satu badan atau pejabat Tata Usaha Negara. yang berarti dalam pelaksanaannya pemerintah dapat atau harus melibatkan dua atau lebih badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang terkait dengan melakukan kerjasama atau koordinasi untuk mencegah terjadinya tumpang tindih, kekakuan, atau urusan yang tidak ditangani. 3.2.4 Het Plan (Rencana atau Perencanaan) Rencana atau perencanaan (Het Plan) tidak hanya merupakan jenis dari Besluiten Van Algemene Srekking, namun juga termasuk bentuk putusan tertulis dari tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara.
89
Menurut A.D Belinfante rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari Tata Usaha Negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib75. Indroharto yang mengkutip Den Haan dan Fernhout mengenai bentuk-bentuk rencana yaitu76 1. Rencana yang Informative yaitu kumpulan prognosa yang meramalkan apa yang terjadi pada masa mendatang. Rencana semacam ini tidak menimbulkan akibat hukum bagi warga masyarakat. 2. Rencana yang Indikatif yaitu kumpulan rencana-rencana kebijaksanaan , misalnya nota mengenai struktur perkembangan dan pembaharuan pendidikan dasar. Rencana ini tidak menimbulkan akibat hukum secara langsung, tetapi merupakan kerangka kebijaksanaan untuk tindakan-tindakan hukum maupun tindakan material oleh pemerintah. 3. Rencana yang bersifat Normatif yaitu mengandung norma yang mengikat baik bagi pemerintah maupun warga masyarakat. misalnya rencana tata ruang (Bestemmingsplan),
yang menurut
berbagai
keputakaan
mengandung
beberapa karakter77: a. Perencanaan merupakan Ketetapan (Beschikking)
75
Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan. Op Cit. h. 75 Indroharto. Op Cit, h 207 77 Stroink, Steenbeek F.A.M-J.G. Op.Cit, h 106 dalam Manan Bagir dan Magnar Kuntana , Op Cit,137 dan 165 76
90
b. Perencanaan, sebagian merupakan ketetapan (Beschikking) dan sebagian merupakan peraturan (Regeling). c. Perencanaan merupakan suatu bentuk hukum tersendiri (een rechtfigur sui generis). d. Perencanaan adalah suatu bentuk peraturan (Regeling) 3.2.5 Pseude-wetgeving/ Beleidsregel (Peraturan Perundang-undangan Semu/ Peraturan Kebijakan Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau dikenal dengan istilah Beleidsregel (Peraturan Kebijakan). yang mana Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) tidak hanya merupakan jenis dari Besluiten Van Algemene Srekking, Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) juga termasuk bentuk putusan tertulis dari tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara. Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) disebut sebagai peraturan kebijaksanaan karena Perundang-undangan Semu pada dasarnya memuat suatu garis kebijaksanaan yang ditetapkan sendiri oleh administrasi78. Peraturan Kebijaksanaan bukan Peraturan Perundang-undangan yang sebenarnya, karena badan atau pejabat yang mengeluarkan peraturan kebijaksanaan tersebut tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan (wetgevende bevoegdheid).
78
.Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan. Op Cit. h. 84
91
Namun peraturan kebijakan merupakan sarana hukum Tata Usaha Negara yang bertujuan mendinamisir keberlakuan Peraturan Perundang-undangan79. Dalam prakteknya peraturan kebijakan dapat dirumuskan dalam beberapa bentuk yaitu, Keputusan, instruksi, edaran, pengumuman80. Seperti pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa produk semacam peraturan kebijaksanaan tidak terlepas dari penggunaan Freies ermessen, yaitu badan atau pejabat tata Usaha Negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam berbagai bentuk” jurisdische regel”, seperti peraturan, pedoman, pengumuman, dan surat edaran dan pengumuman
kebijaksanaan81.
Suatu
Perundang-undangan
Semu
(pseude-
wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan Tata Usaha Negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis (naar buiten gebracht schriftelijk beleid) namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara yneg menciptakan pereaturan kebijakan tersebut82. Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) tidak mengikat secara langsung namun mempunyai relevansi hukum. Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) memberikan peluang bagaimana suatu badan atau organ Tata Usaha Negara menjalankan kewenangan pemerintahan (Beschikkingbevoegheid). 79
Marzuki, Laica, 1996, Peraturan Kebijaksanaa (Beleidsregel) serta FungsinyaSelaku sarana Hukum Pemerintahan, makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang 26-31 agustus 1996. h. 9 80 Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, Op Cit 171 81 Hadjon, Phillipus. M. , dkk, Op Cit, h. 84 82 Ibid
92
Pembentukan peraturan kebijakan diperlukan dalam rangka menjamin ketaatan asasan tindakan Tata Usaha Negara dan untuk setiap peristiwa yang mengandung persamaan, kepastian hukum dan tindakan-tindakan dapat dipercaya karena didasarkan pada peraturan yang sudah ditentukan83. Menurut Van Wijk, ada dua bentuk utama peraturan kebijakan: 1. Peraturan kebijakan yang dibuat dan berlaku bagi pembuat peraturan kebijakan itu sendiri 2. Peraturan kebijakan yang dibuat dan berlaku bagi badan atau pejabat administrasi yang menjadi bawahan pembuat peraturan kebijakan84. Van Kreveld mengatakan sebagaimana dikutip oleh Safri Nugraha dkk, walau didasarkan pada azas Freies ermessen, Beleidsregel ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk kemudian dapat berlaku. Syarat-syarat tersebut antara lain85: 1. Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkannya; 2. Tidak dapat bertentang dengan nalar sehat; 3. Harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu meminta advis teknis dari instansi yang berwenang, rembukan dengan para pihak yang terkait dan mempertimbangkan alternatif yang ada;
83
Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit, h.137 dan h.169 Wijk/Konijnenbelt, Van, 1984, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga,s‟Gravenhagen,h 243 dalam Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit. h 170 85 Nugraha, Safri, dkk. 2005, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, h. 93 84
93
4. Isi kebijakan harus jelas memuat hak dan kewajiban warga masyarakat yang terkena dan ada kepastian tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (kepastian hukum formal); 5. Pertimbangan tidak harus rinci, asalkan jelas tujuan dan dasar pertimbangannya; 6. Harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak yang telah diperoleh dari warga yang terkena harus dihormati, kemudian harapan yang telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
94
3.2.6 Skema Bentuk-Bentuk Keputusan Tertulis Tindakan Hukum Publik Tata Usaha Negara :
Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) Berdasarkan pada teori kehendak (wilstheorie) dan teori Kewenangan
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara dengan bentuk (Regeling)
Besluiten Van Algemene Strekking Jenis Norma kongkret
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara dengan bentuk Keputusan atau Penetapan (Beschikking)
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara dengan bentuk Keputusan yang Berentang Umum (Besluiten Van Algemene Strekking)
Besluiten Van Algemene Strekking Jenis Keputusan Pengesahan (goedkeuing), pembatalan (vernietiging) suatu Peraturan Perundangundangan
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara dan/atau Besluiten Van Besluiten Van Algemene Strekking Algemene Jenis Strekking Keputusan Bersama jenis Perencanaan (Het Plan)
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara dan/atau Besluiten Van Algemene Strekking jenis Peraturan Perundangundangan semu/ Peraturan Kebijakan (Pseudewetgeving/ Beleidsregel)
95
3.2.7 Skema letak keputusan tertulis tata Usaha Negara di dalam Norma Hukum Administrasi/ Tata Hukum Negara:
Norma
untuk siapa/ alamat yang ditujukan (Addressatnya)
Apa dan bagaimana/ hal yang diatur atau perbuatannya
Regeling, Het Plan,
Umum
Abstrak
Besluiten Van Algemene Strekking,,Pseude-wetgeving/ Beleidsregel,het Plan
Het Plan,Beschikking
Individu
Konkrit
Regeling (Umum –Abstrak)
Besluiten Van Algemene Strekking antara (Umum-Konkrit)
Pseude-wetgeving/Beleidsregel (Umum-Konkrit)
Beschikking (Individual –Kongkrit)
Het
Plan
(Umum–Abstrak,
Individual–Konkrit)
Umum-Konkrit,
Individual-Abstrak,
96
3.3 Bentuk Tindakan Tata Usaha Negara Dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui pejabat atau badan Tata Usaha Negara melakukan beberapa jenis perbuatan atau tindakan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah sebagai subyek hukum atau sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban. Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, pemerintah dalam hal ini Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri melakukan tindakan Tata Usaha Negara (Bestuurshandelingen), namun Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah bukan merupakan tindakan nyata Tata Usaha Negara ( Feitelijke Handelingen) sebab Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menimbulkan akibatakibat hukum berupa dikenai sanksi, seperti yang tetulis dalam Point ketiga dan kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana point ketiga Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berbunyi “Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya‟, dan point kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berbunyi “Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum
97
KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah masuk kedalam tindakan hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen). Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat melalui Unsur-unsur dari tindakan hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen) yaitu: 1.
Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (Bestuurorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri. Bahwa perbuatan dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilakukan ialah Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri selaku alat perlengkapan pemerintah (Bestuurorganen) dengan kewenangan atribusi yaitu tanggung jawab Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri);
2.
Perbuatan tersebut di laksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah (bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan);
3.
Perbuatan tersebut di maksudkan sebagai sarana untuk menumbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi. (bahwa penerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dapat manimbulkan akibat hukum berupa pembatasan aktivitas yang dilakukan oleh organisasi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI);
4.
Perbuatan yang bersangkutan di lakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat. (bahwa penerbitan Keputusan Bersama tentang
98
Ahmadiyah dalam rangka untuk untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat); Didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara dikategorikan menjadi dua golongan, yakni tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum privat (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen), dan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen). Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah bukan merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum privat (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen) karena Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak berada pada ranah privat, melainkan pada ranah Publik, maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum publik karena didalamnya mengatur tentang warga masyarakat (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen) Kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam Tindakan hukum publik Tata Usaha Negara (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen), berdasarkan asas legalitas (Due Proses Of law) seperti diungkapkan oleh Jimly Assiddiqie dalam 13 prinsip
pokok
negara
hukum
modern86,
dijadikan
sebagai
dasar
dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum, sehingga Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, sebagai subyek hukum yang mewakili institusi yaitu sebagai pejabat pemerintah atau badan hukum dalam
86
Assiddiqie, Jimly, 2004, Cita Negara Hukum Kontemporer, dalam orasi ilmiah pada Wisuda Sarjana Fakultas HukumUniversitas Sriwijaya, Palembang.
99
mengeluarkan
Keputusan
Bersama
tentang
Ahmadiyah,
harus
berdasarkan
kewenangan dan Peraturan Perundang-undangan. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, dapat dikatakan sebagai sebagai tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi satu dikarenakan keputusan ini dapat menimbulkan akibat-akibat hukum, hal tersebut dapat dilihat pada point ketiga dan kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana point ketiga Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menyatakan “Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya”. Serta pada point kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menyatakan” Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Kemudian Tindakan hukum publik Tata Usaha Negara (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen), dibagi menjadi dua yaitu Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) dan Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi dua (meerzijdige publiekrechtelijke handeling).
100
Kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berada pada yaitu Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling) sebab Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dibuat secara sepihak yaitu dibuat atas kehendak organ pemerintah yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang menyatakan “ Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dan ditunjukkan kepada publik atau berada pada ranah publik, dan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah untuk melaksanakan peraturan guna menyelenggarakan kepentingan umum. Kepentingan umum di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dimaksudkan untuk menjaga dan memupuk ketentraman beragama dan ketertiban bermasyarakat, baik itu ditujukan kepada penganut dan/ atau anggota serta pengurus Jemaah Ahmadiyah maupun warga masyarakat. Untuk melihat apakah bentuk keputusan tertulis dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana judul dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiayh
adalah
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiayh yang dikeluarkan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa, yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
101
dalam Negeri selaku alat perlengkapan pemerintah (Bestuurorganen) dengan kewenangan atribusi. Dimana Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini dibuat untuk menjalankan fungsi pemerintah yaitu dalam rangka untuk untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat. Di lihat dari judul Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang berisikan kata peringatan dan perintah yang merupakan salah satu sifat norma hukum dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu Perintah (Gebog) selain norma hukum lainnya yaitu
Larangan
(Verbod),
Pengizinan,
(Toesnemming),
dan
Pembebasan
(Vrijstelling)87. Selain itu Austin dalam bukunya Hans Kelsen yaitu General Theory of Law and State mengatakan “where a command, "obliges generally to acts or forbearances of a class, a command is a law or rule, yaitu jika suatu peintah mewajibkan secara umum untuk suatu tindakan dari suatu golongan tindakan, maka perintah itu merupakan suatu hukum atau peraturan88. Selain itu Austin juga mengatakan perintah juga memiliki sifat khusus, yaitu bahwa norma itu tidak hanya mewakili sifat umum saja namun norma-norma khusus89. Noerma khusus dapat dimasukkan kedalam norma Peraturan Perundang-undangan apabila norma khusus tersebut memberikan karakteristik hukum yang esensial, serta mengikat secara
87
Atamimi ,A Hamid, S, Loc Cit, h. 314 Kelsen, Hans, Op.cit, 38 89 Ibid 88
102
umum90. Maka norma yang terdapat dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai norma di dalam Peraturan Perundang-undangan (Regeling). Selain itu maksud dan tujuan dikeluarkannnya Keputusan Bersama tentang Ahmadiah bertujuan dan bermaksud untuk menjaga dan memupuk ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat serta pemerintah melakukan upaya persuasif upaya mengajak secara halus Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat agar menyelesaikan permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, maka dapat dilihat bahwa keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini berlaku keluar (Naar buiten werken.)91. yang merupakan salah satu unsur dari Peraturan Perundang-undangan. Adanya kata Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka dapat dilihat adanya subyek umum dan individu, yaitu yang bersunbyek umum dapat dilihat pada kata warga masyarakat dan penganut, sedang kan subyaek individu dapat dilihat pada kata Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mana Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mewakili organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berbadan hukum karena Organisasi Jemaat Ahmadiyah terdaftar di Departemen Kehakiman RI (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) sebagai sebuah
90 91
Ibid Atamimi ,A Hamid S, Loc Cit,
103
vereneging atau perkumpulan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia No. 26 tanggal 31 juni 195392. Menurut Jimly Assiddiqie terdapat jenis Peraturan Perundang-undangan yang
bersifat khusus karena kekhususan subyek yang diatur, yaitu hanya berlaku pada subyek tertentu93. Walaupun Jimly Assiddiqie menganggap tidak lazim di dunia moden sekarang ini, namun disetiap negara terdapat juga hukum yang bersifat konkret dan individual seperti itu yang tercantum di dalam satu-dua UndangUndang94. Jika dilihat lagi dalam Alternative Rule of Law Formulationsnya Brian Z. Tamanahan yeng menggunakan Thinner to Thicker, Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan salah satu aturan yang bergerak dari Thinner (tipis) to Thicker (tebal) sehingga semakin komulatif, maka disini bentuk Peraturan Perundangundangan (Regeling) bukan hannya bersifat umum-abstrak, namun juga terdapat bentuk Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat khusus yaitu subyeknya individu, yaitu adanya suatu penambahan norma dan subyek dalam Peraturan Perundang-undangan yang bertujuan sesuai dengan konsepsi formal dari The Rule of law adalah untuk mengatasi cara di mana hukum harus diundangkan (oleh yang berwenang), dari kejelasan norma, karena hal tersebut sudah dianggap cukup jelas untuk menuntun perilaku seseorang, serta waktu kapan norma itu berlaku
92
Zulkanain, Iskandar, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, LKis Pelangi Aksara, Yogyakarta.
h. 196 93 94
Assiddiqie, Jimly II Op Cit Ibid. h15-16
104
menuju ke konsepsi substantif dari Rule of Law yang berusaha untuk melampaui batas tersebut. Mereka menerima bahwa aturan hukum memiliki atribut formal yang disebutkan di atas, tetapi mereka ingin mengambil ajaran lebih lanjut. Jadi adanya kekhususan dari Peraturan Perundanga-undangan juga meupakan salah satu bentu pelampauan batas dari norma dan subyek dari Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang mana tetap pada sumber yang tepat dan bentuk legalitas, namun juga mencakup
persyaratan
tentang
isi
hukum
(biasanya
yang
harus menjunjung tinggi moralitas dengan keadilan atau prinsip moral). Jadi Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah walaupun mengatur tentang subyek individu namun dilihat dari maksud dan tujuannya serta normannya yang bersifat umum, maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai Peraturan Perundang-undangan ( Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan subyek yang sesuai dengan Alternative Rule of Law Formulationsnya Brian Z. Tamanaha.
105
BAB IV KEABSAHAN DARI KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO. KEP-03/A/JA/6/2008, MENTERI DALAM NEGERI NO. 199 TAHUN 2008 DI KAITKAN DENGAN PASAL 2 AYAT 1 UNDANG-UNDANG NO. 1 /PNPS/ TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA 4.1 Kedudukan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Dalam Perspektif Filsafat Hukum Pancasila Pancasila merupakan falsafat negara indonesia yang secara yuridis tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
106
suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.95 Pancasila bagi bangsa Indonesia disebut sebagi norma fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro96. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan
95
Bahar, Saafroedin, dkk),1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta , h. 63, 69, dan 81. Dalam Kusuma, RM. A.B.,2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 117, 121, 128 – 129. 96 Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, Pantjuran Tudjuh , Jakarta. (selanjutnya disebut Notonagoro I).
107
hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk
menguji
hukum
positif.
Dengan
ditetapkannya
Pancasila
sebagai
Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila97. Nilai-nilai dari Pancasila dijadikan suatu tolak ukur dari semua sistem dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Dimana Pancasila bersifat abstrak-umum – universal, sedangkan sistem pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bersifat umumkolektif. Pancasila yang bersifat abstrak dapat dilihat melaului sila-sila Pancasila, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, (yang memiliki inti Ketuhanan dengan bentuk dasar Tuhan. 2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab (yang memiliki inti Kemanusiaan dengan bentuk dasar Manusia) 3. Persatuan Indonesia (yang memiliki inti Persatuan dengan bentuk dasar Satu) 4. Kerakyatan
Yang
Dipimpin
Oleh
Hikmat
Kebijaksanaan
Dalam
Permusyawaratan / Perwakilan (yang memiliki inti Kerakyatan dengan bentuk dasar Rakyat 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (yang memiliki inti Keadilan dengan bentuk dasar Adil)
97
Atamimi, A, Hamid S, , Loc.Cit, h. 309.
108
Jadi dengan bentuk dasar Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, Adil dalam sila-sila Pancasila menunjukkan pengertianumum-universal, karena sifatnya yang abstrakumum dan universal menunjukkan dengan sendirinya memiliki sifat yang tetap dan tidak berubah98. Sedangkan sedangkan sistem pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bersifat umum-kolektif, sebab umum-kolektif terbatas pada suatu kelompok penjumlahan, dimana dalam pelaksanaannya mengandung unsur-unsur kesamaan, namun juga mengandung perbedaan-perbedaan yang berada dalam penjumlahan. Sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan suatu sumber nilai bagi pelaksanaan negara secara nyata, yang artinya pelaksanaan dari nilai-nilai pancasila tersebut dapat berbeda-beda dan berlainan namun tetap dalam batas isi, arti dan pengertian Pancasila99. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan daripada Pancasila memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem hukum di Indonesia yang mana digunakan sebagai acuan atau dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum dari aturan-aturan hukum yang diterapkan dalam masyarakat.. Hal tersebut dapat dilihat bahwa Pancasila secara yuridis sebagai filsafat hukum Indonesia tertuang didalam Pembukaaan UUD 1945 alenia ke IV mempunyai isi arti yang abstrak-umum-universal yang dijadikan sebagai pedoman praktis dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara Indonesia dalam bentuk UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
98
Kaelan,2002, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma, Yogyakarta, h. 104 ( selanjutnya disebut Kaelan I), 99 Ibid h, 108
109
pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, hingga sebuah kebijakan yang berbentuk suatu Keputusan. Dalam teori Hierarki yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen dan selanjutnya dikembangkan oleh muridnya yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:100 1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); 2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz); 3. Undang-Undang formal (formell gesetz); dan 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung). Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:101 1)
Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)
Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)
Formell gesetz: Undang-Undang.
4)
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota 100 101
, Atamimi, A, Hamid S, Loc. Cit h. 287 Ibid.
110
Maka dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, maka kedudukan filsafat hukum Pancasila sebagai pedoman yang bersifat abstrak-umumuniversal, yang memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem hukum di Indonesia yaitu sebagai Staatsfundamentalnorm,
sedangkan Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah merupakan wujud pelaksanaan dan penyelenggaraan dari Staatsfundamentalnorm yang melalui Formal gezet yaitu Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang memiliki sifat umum-kolektif sebagai Verordnung en Autonome Satzung. 4.2 Nilai-nilai Pancasila Di Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Nilai (value) diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dan bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari atau tidak102. Nilai itu sendiri menurut Notonagoro dibagi menjadi tiga, yakni103: 1. Nilai materiil yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani;
102
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.233 103 Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta. h. 140-141 (selanjutnya disebut kaelan II)
111
2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas; 3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rokhani manusia. Nilai kerokhanian ini dibedakan atas 4 macam yaitu: a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada unsur akal manusia (Cipta); b. Nilai kebaikan, yang bersumber pada unsur kehendak manusia (Karsa); c. Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa manusia (Perasaan); d. Nilai religious, yang merupakan nilai ketuhanan dan bersumber pada kepercayaan. Undang-Undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksana dari seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah104. Kemudian “legal Policy” yang dituangkan dalam Undang-Undang menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang memusatkan kebijaksanaan yang hendak di capai pemerintah, untuk mengarahkan nilai-nilai baru. Lev juga mengatakan, “where culture myths and values have emphasized means of social political regulation and intercourse other than an antonomous sphere of law, legal institution are consequently less likely to developed the kind of independent power they have in a few European countries and the United State105( yang mana budaya mitos dan nilai-nilai telah menegaskan cara peraturan sosial politik dan hubungan selain lingkup otonomi hukum, lembaga hukum secara
104
Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, edisi ke III, Airlangga University Press, Surabaya, hal 12 105 Lev, Daniel, S, 1972, Judicial and Legal Culture in Indonesia , dalam Cultuur and Politic in Indonesia, Cornell Univercity Press, Itaca, h.318
112
konsekuen cenderung mengembangkan jenis kekuatan mandiri yang mereka miliki dalam beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat.). Namun dalam masyarakat Indonesia lebih mengutamakan harmoni, keselarasan, kekeluargaan, di atas konflik. Nilai-nilai tersebut tercantum dalam Pancasila dan Penjelasan UUD 1945, yang mengatakan “UUD 1945 bersifat kekeluargaan, tetapi apabila penyelenggaraan negara bersemangat perorangan individu atau kelompok, maka UUD 1945 tersebut tidak ada gunannya106. Secara implisit, pembuat UUD 1945 sesungguhnya menyadari kultur hukum sebagai unsur sistem hukum., Melalui
nilai-nilai
yang
ada
di
masyarakat, yang kemudian diimlementasikan oleh pemerintah melalui sebuah peraturan, dapat menjaga keadilan dan/ atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Keadilan memang merupakan suatu yang bersifat luas dan abstrak, tetapi sebagai tujuan dari setiap individu masyarakat dan setiap bangsa di dunia. Selama ribuan tahun manusia mencari makna dan definisi dari keadilan, pada jaman dahulu, pada budaya dan sejarah di Indonesia dalam kaitannya dengan harapan untuk mencapai keadilan, setiap kali para Dalang mendalang dalam pergelaran wayang kulit, maka Ki Dalang selalu melantunkan “Suluk” yang merujuk pada sebuah image Universal Nusantara Indonesia, yaitu tentang Negara yang “tata tentrem kerta raharja, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku” (tertib atau tertata, tentram atau damai, makmur, tumbuh subur segala yang ditanam, murah segala yang dibeli). Kata-
106
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 48 (selanjutnya disebut Rahadjo, Satjipto I)
113
kata dalang tersebut mewakili “the cry for justice” seluruh masyarakat107. Dimana hal tersebut juga menjadi tujuan bangsa Indonesia dewasa ini yang berakar dari nilainilai nusantara Indonesia jaman dahulu yang dimuatkan kedalam Pancasila yaitu sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Di dalam Pancasila terkandung di dalamnya nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan. Ini merupakan nilai dasar bagi kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai-nilai Pancasila tergolong nilai kerokhanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran (kenyataan), nilai kebaikan (etis), nilai keindahan (estetis) maupun religius. Hal ini dapat dilihat pada susunan sila-sila Pancasila yang sistematis-hierarki, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang maha Esa, sampai Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila sebagi berikut: 1.
Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
107
Ibid. h. 2
114
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. (6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. (7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. 2.
Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab (1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat
dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. (2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. (3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. (4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. (5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. (6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. (7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
115
(8) Berani membela kebenaran dan keadilan. (9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. (10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain. 3.
Sila ketiga: Persatuan Indonesia (1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. (2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan. (3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. (4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia. (5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. (6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika. (7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan (1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. (2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
116
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. (4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. (5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. (6) Dengan i‟tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. (7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. (8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. (9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. (10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan. 5.
Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. (2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. (3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
117
(4) Menghormati hak orang lain. (5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri. (6) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain. (7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah. (8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. (9) Suka bekerja keras. (10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. (11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. 4.2.1 Nilai Pancasila, Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki inti kata Tuhan, sehingga secara morfologis mengandung makna abstrak atau suatu hal yaitu kesesuaian dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, dan realisasinya adalah berupa nilai-nilai agama. Sehingga konsekuensinya dalam pelaksanaan hukum positif di Indonesia harus diukur dan sesuai dengan aturan yang berasal dari tuhan yang memegang budi
118
pekerti kemanusiaan yang luhur, yang dalam hal ini memberikan penjabaran yang lebih lanjut dalam suatu Peraturan Perundang-undangan yang mengatur manusia harus sesuai dengan nilai-nilai agama. Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, bahwa dalam keputusan ini berisikan tentang adanya suatu kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hal tersebut dilihat bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri serta Jaksa Agung didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melarang penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), untuk melakukan ibadah keyakinanan mereka. Serta didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak ada pemaksaan bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), harus melaksanakan ajaran agama tertentu di Indonesia. Mengenai pengaturan tentang masalah agama dalam UUD 1945 dapat dilihat Pasal 28 E dan Pasal 29 sebagai pelaksana dan penyelenggaraan dari nilai Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk memilih agama dan melaksanakan ajaran agamannya, serta disisi lain juga secara tegas menyatakan kewajiban Negara menjamin setiap orang untuk memilih agamanya dan menyakini agama serta kepercayaan yang dianut olehnya tanpa ada yang mengganggu. Maka disini negara melalui Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menjamin warga masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk memeluk dan melakukan ibadahnya masing-masing tanpa ada yang mengganggu.
119
Didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah senantiasa juga menjaga kerukunan hidup antara sesama umat beragama, serta adanya sikap untuk mengajak hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dilihat pada point pertama Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Serta dalam point Kedua yakni: Memberi peringatan dan
memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia
(JAI),
sepanjang
mengaku
beragama
Islam,
untuk
menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Dan dalam pioint ke Empat yaitu: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Bagi penulis Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak mengatur tentang keyakinan seseorang, hanya mengatur tentang perbutan seeorang yang dianggap
120
melanggar aturan hukum dengan diberikan sebuah sanksi, dimana hal tersebut dilihat pada point Ketiga: Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya. Kemudian point Kelima yakni: Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal senada juga seperti yang terdapat di dalam ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights atau disebut dengan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik pun mengatur tentang agama, atau kebebasan beragama atau berkeyakinan didalam pasal 18 yaitu: 1.
Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching. (Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau
121
tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran) 2.
No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice. (Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.)
3. Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others. (Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.) 4. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.( Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri)108.
108
Ketentuan dalam International Convenant on Civil and Political Right article 18
122
Kemudian inti normatif dari hak asasi manusia atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disingkat menjadi 8 element yakni109: 1. Kebebasan
Internal:
setiap
orang
berhak
atas
kebebasan
berpikir,
berkesadaran dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan. 2. Kebebasan eksternal: setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di depan umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan penataan. 3. Tanpa dipaksa: tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya. 4. Tanpa diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yuridiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa perbedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau keyakinan, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
109
Anonym, 2010, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?,Kanisius, Yogyakarta, hal 20
123
5. Hak orang tua atau wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang. 6. Kebebasan korporat atau kedudukan hukum: komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak ingin menggunakan kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim diakui bahwa mereka mempunyai hakuntuk memperoleh kedudukan hukum sebagai bagian dari ha katas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain. 7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal: kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuen berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan public, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar orang lain. 8. Tidak dapat dikurangi: Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.
124
Maka dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai dari Pancasila, sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa terdapat didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. 4.2.2 Nilai Pancasila, Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab di dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Sila kedua Pancasila yaitu sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab mengakui bahwa manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang maha Esa. Dimana inti kata dari sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab adalah manusia. Unsur-unsur hakikat manusia adalah110: 1. Susunan kodrat manusia yaitu: a. Raga yang terdiri dari unsur benda mati, unsur binatang (animal), dan unsur tumbuhan (vegetative) b. Jiwa yang terdiri dari unsur akal, rasa dan kehendak 2.
Sifat-sifat kodrat manusia yaitu: a. Makhluk individu b. Makhluk sosial
3. Kedudukan kodrat manusia yaitu a. Makhluk berdiri sendiri b. Makhluk tuhan 110
Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta. h.87-88
125
Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, bahwa dalam keputusan ini berisikan tentang Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta adanya pengakuan terhadap persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Dimana hal tersebut dapat dilihat bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah hanya bersifat memperingati dan memerintahkan yang berarti bahwa keputusan ini tidak langsung memberikan suatu sanksi, namun berharap dengan memberikan peringatan dan perintah kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat tidak melakukan perbuatan yang melanggar Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melarang Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga masyarakat untuk hidup, bekerja, dan menjalankan kehidupan manusia bagai mana kodratnya. Dan di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, disini negara menjamin dan menjaga kehidupan Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), hal tersebut dapat dilihat pada point Keempat, dimana di dalam Point Keempat berbunyi “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau
126
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”. Dan apabila wraga masyarakat melanggar daripada point Keempat, maka negara wajib memberikan sanksi, sesuai dengan point Kelima, dimana di dalam Point Keempat berbunyi “Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Maka didalam Point Kelima ini mengandung keinginan untuk menciptakan keadaan sikap saling mencintai sesama manusia, dan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semenamena terhadap orang lain walau memiliki keyakinan yang berbeda. Serta memberikan sanksi kepada siapapun yang menentang sikap tersebut. 4.2.3 Nilai Pancasila, Sila Ketiga Persatuan Indonesia di dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Sila ketiga Pancasila yaitu sila Persatuan Indonesia menghendaki keadaan Indonesia harus sesuai dengan hakikat satu yaitu mutlak tidak dibagi. Dimana inti kata dari sila Persatuan Indonesia adalah satu. Walaupun Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, yang memiliki kebudayaan serta adat-istiadat yang beraneka ragam. Namun keseluruhannya merupakan satu kesatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia seperti tertuang dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
127
Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, bahwa dalam keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memiliki tujuan persatuan dan keselamatan bangsa sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan, hal tersebut dilihat, bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini, tidak mengikuti keinginan kelompok agama tertentu, untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau melarang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) melakukan ibadah di Indonesia, namum di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini di keluarkan tujuannya untuk menjaga dan memupuk ketenteraman
beragama
dan
ketertiban
kehidupan
bermasyarakat
serta
mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia serta. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak menyatakan suatu permusuhan terhadap agama atau aliran tertentu, serta tidak melarang atau menyinggung aliran Ahmadiyah di seluruh dunia, maka dapat dikatakan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah juga ikut menjaga dan memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 4.2.4 Nilai Pancasila, Sila Keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan
di dalam
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Sila keempat Pancasila yaitu sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menghendaki keadaan Indonesia
128
harus sesuai dengan hakikat rakyat yang artinya suatu negara hakekatnya adalah lembaga masyarakat, yang terdiri dari manusia-manusia yang bersatu. Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, bahwa Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga masyarakat yang lain, dimana hal tersebut dapat dilihat pada point kesatu, kedua dan keempat dimana Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat sama-sama diberikan peringatan dan perintah untuk tidak melakukan kegiatan penafsiran suatu agama tertentu di Indonesia, yang mengarah pada penistaan dan penodaan terhadap agama yang diakui di Indonesia, serta memberi peringatan dan perintah kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum. Kemudian dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak membedakan antara Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dengan warga masyarakat lainnya dalam memberikan sanksi apabila terjadi perbuatan yang melanggar hukum. Dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak terdapat suatu pemaksaan kehendak kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
129
Indonesia (JAI) atau warga masyarakat untuk menjalani salah satu agama yang dianut di Indonesia. Serta Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini juga memperhatikan hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 12 Mei 2005, hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 15 Januari 2008, hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 16 April 2008 sebagai simbul dari musyawarah bersama untuk mencapai mufakat dengan semangat kekeluargaan untuk kepentingan umum. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah juga merupakan keputusan yang diambil oleh menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi
harkat
dan
martabat
manusia,
nilai-nilai
kebenaran
dan
keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. 4.2.5 Nilai Pancasila, Sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia di dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Dalam sila kelima Pancasila yang berbunyi” Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang mengandung cita-cita kemanusiaan yang memenuhi hakekat adil. Berarti harus dipenuhinya segala sesuatu yang merupakan hak dalam hubungan hidup kemanusiaan sebagai suatu yang wajib, hal tersebut merupakan isi dari arti sila Keadilan Sosial yang terdalam yang bersifat abstrak, umum universal, tetap dan tidak berubah. Inti dari Keadilan Sosial kemudian diperinci lebih lanjut dalam pelaksanaanya yaitu dalam lingkungan Keadilan Sosial masyarakat dan Negara.
130
Dalam kehidupan bersama itu harus terdapat suatu keadilan sosial. Karena hanya demikian kepentingan dan kebutuhan hidup setiap warga Negara secara individu, bangsa dan Negara dapat saling terpenuhi. Karena pada hakekatnya Keadilan Sosial adalah merupakan bawaan kodrat manusia yang memiliki kepentingan dan kehidupan yang mutlak, yang tertanam didalam hati sanubari manusia dan sebenarnya hal ini yang menjadi pangkal dasar dari keadilan sosial. Sehingga keadilan sosial tersebut selain sebagai sifat bawaan Negara juga merupakan sifat bawaan kodrat manusia sebagai mahkluk sosial dan sebagai mahluk individu yang merupakan sifat kodrat manusia dan Negara yang monodualisme (dwitunggal)111. Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, adanya sikap adil, yaitu dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak memihak salah satu pihak yaitu Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga masyarakat atau kelompok tertentu yang memnginginkan Ahmadiyah untuk dibubarkan di Indonesia, serta dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan sanksi kepada siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum, yang mana hal tersebut dapat dilihat pada point ketiga dan kelima dari Keputusan bersama tentang Ahmadiyah. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan pengembangkan sikap adil terhadap sesame, Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati hak orang lain. Yang mana Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan hak kepada seluruh Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah 111
Kaelan,Op.Cit.., hal 233
131
Indonesia (JAI) dan warga masyarakat untuk melakukan ibadahnya masing-masing dan melakukan kewajiban untuk tidak melakuakan perbuatan melanggar hukum atau suatu perbuatan yang dapat menimbulkan suatu ketidaktertiban dan kenyamanan dalam masyarakat. Kemudian dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah mengharapkan di dalam masyarakat untuk adanya sikap Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama dan melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Maka dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa Didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah terdapat nilai-nilai dalam sila Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. 4.3 Kedudukan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Didalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
132
d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Bentuk Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Pasal 7 UndangUndang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang tidak disebutkan tentang Keputusan Bersama dalam hierarki Peraturan Perundangundangan di atas. Dilihat berdasarkan teori hierarki yang diutarakan oleh Nawiaky, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan pendapatnya Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:112 1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945). 2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD RI tahun 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. 3. Formell gesetz: Undang-Undang. 4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
112
, Atamimim, A, Hamid S, Loc Cit.
133
Jadi berdasarkan pandangan A, Hamid S, Atamimi, kedudukan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berada pada Verordnung en Autonome Satzung yang secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota, berarti terdapat keputusan menteri diatas keputusan Bupati atau Walikota . Jika dilihat lagi kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berdasarkan Pasal 97 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang menyatakan “Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. Kemudian dalam Pasal 100 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang yang berbunyi ”Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”.
134
Dimana dalam Pasal 97 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang menyatakan “Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. Berdasarkan pernyataan pasal 100 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang, maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum (Regeling) yang termasuk ke dalam Peraturan Perundang-Undangan (Algemeen Verbindende Voorscriften), sehingga Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah selanjutnya dimaknai sebagai peraturan. Dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang sangat jelas menyatakan “Jenis Peraturan Perundangundangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
135
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Serta penjelasan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang mengatakan “Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Undang-Undang
menyatakan
“Peraturan
Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan kewenangan seperti dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 2 mengatakan “Berdasarkan Kewenangan adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Keberadaan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangnya yaitu Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
136
dan/atau Penodaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang. 4.6 Keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Didalam Undang-Undang
No.
1/PNPS/
Tahun
1965
tentang
Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam melihat suatu keabsahan dari suatu tindakan hukum pemerintah/Tata Usaha Negara dapat dilihat dari aspek Kewenangannya, aspek Prosedurnya, dan aspek substansinya113. Dalam kaitannya dengan tulisan ini penulis akan menguji keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Didalam UndangUndang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berdasarkan tiga aspek diatas. 4.6.1 Aspek Kewenangan Aspek kewenangan dari suatu Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan tindakan pemerintahan harus bertumpu kepada kewenangan yang sah. Dalam hal ini Kewenangan Atribusi, Kewenangan Delegasi, dan Mandat114. Yang mana tiap
113
Hadjon, Philipus M, 1994, Fungsi Normatif Hukum dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Makalah Disampaikan Pada Pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Surabaya 10 Oktober 114 Ibid
137
kewenangan dibatasi oleh isi (materi), wilayah, dan waktu. Yang mana cacat didalam aspek isi (materi),
wilayah, dan waktu menimbulkan cacat
kewenangan
(onbevoegdheid)115. Berkaitan dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah jenis kewenangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, maka kewenangannya adalah kewenangan Atribusi yang merupakan toekenning van en bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan een bestuursorgaan, yang artinya bahwa atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan116. Yaitu dalam bentuk Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi ”Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Selain itu di dalam kewenangan Atribusi terdapat tiga (3) karakteristik dari atribusi, yaitu : 1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundangundangan. 2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh Konstitusi, Undang-Undang atau Peraturan Daerah kepada suatu organ.
115 116
Ibid h. 9 HR, Ridwan, Op Cit, h. 104-105
138
3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Maka kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan Atribusi dapat dilihat dari ketiga point karakteristik diatas yaitu 1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundangundangan. yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri menerbitan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.. 2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh konstitusi, undang-undang atau Peraturan Daerah kepada suatu organ. Yaitu dilihat dari Pasal 17 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada para menteri negara selaku pembantu Presiden
untuk membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri,
kemudian Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan memberikan kewenangan kepada jaksa agung untuk ikut serta dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana kewenangan tersebut untuk pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di bidang ketertiban dan ketentraman umum serta
139
bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta koordinasi dengan instansi terkait. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang berbunyi Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. 3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab atas diterbitkannya serta dalam pelaksanaan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Dilihat dari segi materi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dapat dilihat berdasarkan aspek sejarah sejarahnya yaitu mulai dari pembentukan Konsiderans
Penetapan
Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 No. 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2726) dinyatakan bahwa pembentukan Penpres a quo dilakukan dalam rangka pengamanan
140
negara dan masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama, serta untuk pengamanan revolusi. Penetapan Presiden adalah salah satu jenis (bentuk) Peraturan Perundang-undangan yang terbentuknya dilandasi oleh Surat Presiden Republik Indonesia No. 2262/HK/59 tentang Bentuk PeraturanPeraturan Negara, bertanggal 20 Agustus 1959, yang dikirimkan oleh Presiden Soekarno kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat Presiden tersebut selain dinyatakan tiga peraturan negara yang secara tegas tertulis dalam UndangUndang Dasar 1945, yaitu, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, juga menetapkan adanya beberapa peraturan negara lainnya, antara lain sebagai berikut: “Disamping itu Pemerintah memandang perlu mengadakan beberapa Peraturan Negara lainnya, yakni117: “Penetapan Presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang “Kembali kepada Undang- Undang Dasar 1945”. Dengan diterimanya surat Presiden tersebut dibentuklah sejumlah 129 (seratus dua puluh sembilan) Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang berlangsung dari tahun 1959 sampai tahun 1966. Oleh karena Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang dibentuk selama kurun waktu tersebut secara substansi banyak yang 117
Mahkamah Konstitusi, 2010, Risalah Sidang Perkara Nomor 140/Puu-Vii/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah konstitusi, Jakarta, h.313
141
tidak
tepat
maka
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Sementara
kemudian
memerintahkan untuk dilakukan peninjauan dengan landasan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali. Produk-produk Legislatif Negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Ketetapan MPRS No. XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966. Berdasarkan kedua Ketetapan MPRS tersebut dibentuklah Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1969 No. 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2900). Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang yang dalam Pasal 1 menyatakan “Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran I Undang-undang ini, sebagai UndangUndang. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang tersebut dirumuskan sebagai berikut: “Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-Undang ini, sebagai Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan
142
Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-Undang yang baru”. Penjelasan Pasal 2 a quo menyatakan sebagai berikut: “Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA dinyatakan sebagai Undang-Undang dengan ketentuan bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturanperaturan Presiden tersebut ditampung dan dituangkan dalam Undang-Undang baru sebagai penyempurnaan, perubahan atau penambahan dari materi yang diatur dalam Undang-Undang terdahulu”. Maka atas dasar dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UndangUndang, Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 /PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menjadi sebuah UndangUndang, yaitu Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Berarti pada Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditujukan
143
bagi siapa pun baik itu perseorangan maupun sebuah organisasi berbadan hukum, untuk tidak dengan sengaja melakukan kegiatan yang menyimpang baik itu menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum dari ajaran agama yang dianut di Indonesia, yaitu Agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Terdapat beberapa unsur dari ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yaitu: 1. Ditunjukkan kepada seseorang secara individu (disebutkan identitas yang jelas); 2. Adanya pelanggaran terhadap Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; 3. Tujuannya memberikan perintah dan peringatan keras uintuk menghentikan perbuatan; 4. Adanya pelimpahan kewenangan dari Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
144
Agama kepada Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri untuk membuat suatu keputusan bersama. Dari unsur diatas maka Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berbentuk Tindakan Hukum Publik Tata Usaha Negara berbentuk Beschikking, yaitu Individual dan kongkret. Hal ini dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi yang dibaca oleh Hakim Anggota Ahmad Fadlil Sumadi dalam Risalah Sidang Perkara No.140/PPU-VII/2009 Perihal
Pengujian
Undang-Undang
No
1
/PNPS/
tahun
1965
Tentang
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dalam point (3.59) menyatakan118”
118
Ibid, h.80-81, Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tentang Surat Keputusan Bersama (SKB), Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama yang memerintahkan dikeluarkannya SKB adalah benar karena dibuat atas perintah Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat bahwa keberadaan surat keputusan bersama yang dikeluarkan bersama-sama antara Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri merupakan bukti dari kehati-hatian dalam pelaksanaan kewenangan negara untuk melakukan tindakan hukum terhadap orang/kelompok yang dianggap menyimpang. Mahkamah berpendapat, menurut Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki perundang-undangan adalah, a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Akan tetapi, Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan, “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Menurut Mahkamah, surat keputusan bersama (SKB) sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan Penodaan Agama, bukanlah peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan sebuah penetapan konkrit (beschikking). Tetapi terlepas dari soal apakah SKB tersebut berupa regeling atau beschikking, substansi perintah UU Pencegahan Penodaan Agama tentang hal tersebut tidak melanggar konstitusi”.
145
Dengan adanya Pasal 2 ayat 1 dari Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama memberikan kewenangan Atribusi kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, namun kewenangan tersebut haruslah mengatur Ditunjukkan kepada seseorang secara individu (disebutkan identitas yang jelas); yang tujuannya memberikan perintah dan peringatan keras uintuk menghentikan perbuatan dalam bentuk keputusan bersama dalam bentuk Ketetapan (Beschikking), namun Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
berbentuk
Peraturan
Perundang-Undangan
(Regeling,
kemudian
seharusnya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak mengatur tentang suatu organisasi badan hukum yaitu Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena hal tersebut adalah kewenangan Peresiden seperti termuat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dari penjelasan diatas mengenai Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dapat dilihat kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, berdasarkan Teori Hierarki diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang merupakan merupakan sistem anak tangga
146
dengan kaidah berjenjang, yaitu norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, jadi Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang norma hukumnya lebih rendah harus berpegangan pada Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang norma hukumnya lebih tinggi. Karena Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai Verordnung en Autonome Satzung bersumber pada Pasal 2 ayat 1 UndangUndang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai Formell gesetz. Maka berdasarkan penjelasan diatas berdasarkan segi materi dari aspek kewenangan terjadi suatu cacat yang mengakibatkan pertentangan norma antara Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai Verordnung en Autonome Satzung bersumber pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai Formell gesetz dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Yaitu dilihat berdasarkan kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah itu harusnya berbentuk tindakan hukum publik Tata Usaha Negara yang berbentuk Beschikking yaitu individu dan konkrit dengan bentuk sebuah Keputusan Bersama. Namun pada norma hukum Administrasi Negara/ Tata Usaha Negara berdasarkan penjelasan pada Bab III diatas penulis mendapatkan bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak merupakan berbentuk Beschikking karena Keputusan Bersama tentang
147
Ahmadiyah namun berbentu Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat khusus, yaitu kekhususan karena subyeknya. Kemudian jika ditinjau berdasarkan dari segi wilayah dari aspek kewenangan, yaitu menunjukkan wilayah berlakunya diseluruh wilayah Indonesia, baik itu berdasarkan Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah maupun Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Maka jika dilihat berdasarkan wilayah dari segi kewenangannya tidak menimbulkan cacat segi wilayahnya. Kemudian jika ditinjau berdasarkan segi waktu dari aspek kewenangannya, dimana Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak menentukan batasan waktu kepada oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam membuat Keputusan Bersama, sedangkan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah setelah jauh diundangkannya Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, maka berdasarkan waktu dari segi kewenangannya tidak menimbulkan cacat. Maka dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berdasarkan aspek kewenangannya menimbulkan cacat secara isi (materi), sehingga dapat disebutkan sebagai cacat kewenangan (onbevoegdheid).
148
4.6.2 Aspek Prosedur Melihat dari aspek prosedur maka harus bertumpu pada asas negara hukum yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak asasi manusia atau hak-hak dasar manusia, asas Demokratis yang berkaitan dengan keterbukaan dan asas instrumental yang meliputi
asas
efisiensi
(doelmatigheid,
daya
guna)
dan
asas
efektivitas
(doeltreffenheid, hasil guna)119. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas negara hukum yang berkaitan dengan hak-hak dasar manusia, bahwa didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melarang penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), untuk melakukan ibadah keyakinanan mereka. Serta didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak ada pemaksaan bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), harus melaksanakan ajaran agama tertentu di Indonesia. Mengenai pengaturan tentang masalah agama dalam UUD 1945 dapat dilihat Pasal 28 E dan Pasal 29 sebagai pelaksana dan penyelenggaraan dari nilai Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk memilih agama dan melaksanakan ajaran agamannya, serta disisi lain juga secara tegas menyatakan kewajiban Negara menjamin setiap orang untuk memilih agamanya dan menyakini agama serta kepercayaan yang dianut olehnya tanpa ada yang mengganggu. Maka disini negara melalui Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menjamin warga masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah 119
Hadjon, Philipus M. Op.Cit
149
Indonesia (JAI) untuk memeluk dan melakukan ibadahnya masing-masing tanpa ada yang mengganggu. Keputusan Bersama tentang Ahmadiya berisikan tentang Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta adanya pengakuan terhadap persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Dimana hal tersebut dapat dilihat bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah hanya bersifat memperingati dan memerintahkan yang berarti bahwa keputusan ini tidak langsung memberikan suatu sanksi, namun berharap dengan memberikan peringatan dan perintah kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat tidak melakukan perbuatan yang melanggar Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melarang Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga masyarakat untuk hidup, bekerja, dan menjalankan kehidupan manusia bagai mana kodratnya. Dan di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, disini negara menjamin dan menjaga kehidupan Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), hal tersebut dapat dilihat pada point Keempat, dimana di dalam Point Keempat berbunyi “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan
150
perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”. Dan apabila wraga masyarakat melanggar daripada point Keempat, maka negara wajib memberikan sanksi, sesuai dengan point Kelima, dimana di dalam Point Keempat berbunyi “Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Maka didalam Point Kelima ini mengandung keinginan untuk menciptakan keadaan sikap saling mencintai sesama manusia, dan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semenamena terhadap orang lain walau memiliki keyakinan yang berbeda. Serta memberikan sanksi kepada siapapun yang menentang sikap tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Keputusan bersama tentang Ahmadiyah sesuai dengan asas negara hukum, Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas Demokratis yang berkaitan dengan keterbukaan bahwa sebelum dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Pemerintah telah melakukan upaya persuasif melalui ser angkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesai kan permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dimana dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada tanggal 14 Januari 2008, namun dikarenakan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menyimpulkan bahwa meskipun terdapat beberapa butir yang telah dilaksanakan namun masih terdapat beberapa butir yang belum dilaksanakan oleh penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sehingga
151
dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat maka dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang bertujuan untuk menjaga dan memupuk ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat. Kemudian dalam mewujudkan asas keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan, Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. : se/sj/1322/2008, Nomor : se/b-1065/d/dsp.4/08/2008, No. : se/119/921.d.iii/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 tahun 2008; nomor: kep033/a/ja/6/2008; No: 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Dalam Surat Edaran memberikan penjelasan terhadap point-point yang ada pada Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu: 1. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut memberikan penjelasan mengenai yang dimaksud dengan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya, kegiatan atau perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik
152
yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus seperti bangunan rumah ibadat dan bangunan lainnya. 2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut menjelaskan tentang: a. Peringatan dan perintah ditujukan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mengaku beragama Islam. Artinya bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengaku beragama Islam tidaklah termasuk objek yang diberi peringatan atau perintah. b. Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah untuk menghentikan penyebaran penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan yang menyimpang. Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang adalah faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
pengertian
kegiatan
yang
menyimpang
adalah
kegiatan
melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian, pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media elektronik yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk dihentikan.
153
3. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran memberikan penjelasan Sanksi yang dimaksud dalam ketentuan diktum tersebut adalah sanksi pidana yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 jo Pasal 3 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 dan/atau Pasal 156a KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara. Disamping sanksi pidana tersebut di atas, terhadap organisasi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenakan sanksi berupa pembubaran organisasi dan badan hukumnya melalui prosedur sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 4. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan bahwa warga masyarakat diberi peringatan dan perintah untuk tidak melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dengan tujuan untuk melindungi penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) termasuk harta bendanya dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hukum dengan tidak melakukan tindakan anarkis seperti penyegelan, perusakan, pembakaran, dan perbuatan melawan hukum lainnya terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta harta bendanya. 5. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan bahwa warga masyarakat yang melanggar hukum dengan melakukan main hakim
154
sendiri, berbuat anarkis dan bertindak sewenang-wenang terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan, antara lain sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 tentang penyebaran kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang perusakan barang, dan peraturan lainnya. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas instrumental yang berdasarkan asas instrumental berdasarkan pada asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) dan asas efektivitas (doeltreffenheid, hasil guna) Asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri merupakan langkah yang cepat dalam meredam tindak kekerasan yang disebabkan masyarakat kepada penganut Ahmadiyah, sehingga tidak perlu melalui proses Dewan perwakilan Rakyat yang bertele-tele dan memerlukan dana yang cukup besar. Asas efektivitas (doeltreffenheid, hasil guna) didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri yaitu dapat dilihat bahwa disatu sisi negara menjaga keberadaan Ahmadiyah dari ancaman-ancaman yang melawan hukum, dan disisi yang lain warga masyarakat yang merasa perbuatan Jemaah Ahmadiyah yang
155
menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW, diberikan peringatan dan pemerintah oleh pemerintah melalui Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya apabila menganggap dirinya bagian dari Islam. Sehingga harapan dari pemerintah tidak terjadi terciptannya keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, serta pemerintah mengharapkan warga masyarakat dan Jemaah Ahmadiyah bersama-sama wajib menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional; Maka menurut penulis dapat disimpulkan bahwa Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak bertentang dengan asan negara hukum dan asas demokrasi, dan asas instrumental maka dari itu dapat dikatakan bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melanggar dari aspek prosedur. 4.6.3 Aspek Substansial Di dalam aspek substansial yang menyangkut mengenai “apa dan untuk apa”, terjkait dengan “apa” berkaitan dengan legalitas ekstern atau sewenang-wenang, sedangkan “untuk apa” terkait dengan penyalahgunaan wewenang atau legalitas intern.
156
Terkait dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam aspek substansial mengenai “apa”, bahwa tindakan Menteri Agama, jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri telah melakukan tindakan sesuai dengan Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yaitu membuat seuatu Keputusan Bersama
yang bertujuan memberi
peringatan dan perintah bagi orang yang melakukan penistaan suatu agama yang ada di Indonesia. Dalam point KEDUA Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang menyatakan Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Maka adanya kata sepanjang mengaku beragama Islam, mengindikasikan bahwa apabila penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak mengaku dirinya sebagai agama Islam. Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dapat mengijinkan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk melakukan penyebaran keyakinannya dan melakukan kegiatan sesuai dengan faham Ahmadiyah. Sehingga menurut penulis, bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak terdapat tindakan sewenangwenang yang dilakukan Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri dalam Negeri.
157
Terkait dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam aspek substansial mengenai “untuk apa”, yaitu adanya penyalahguanaan kewenangan, yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang menyatakan Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan isi yang terdapat dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dalam berisikan Jemaah Ahmahdiyah Indonesia (JAI) yang merupakan suatu organisasi berbadan hukum (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) sebagai sebuah Vereneging atau perkumpulan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia No. 26 tanggal 31 juni 1953120. Sehingga Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah melakukan penyalahgunaan kewenangan, dimana sebenarnya hal tersebut merupakan kewenangan Presiden, namun dengan dikeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menjadi seolah-olah kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, padahal jika menyangkut mengenai organisasi yang berbadan hukum Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri hanya memberikan pertimbangan bukan mengeluarkan sebuah keputusan bersama terkait dengan 120
Zulkarnain, Iskandar, Op.Cit
158
penodaan atau penyimpangan agama yang duilakukan organisasi atau aliran kepercayaan. Sehingga menurut penulis, bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan terjadi kecacatan secara Substansial yang mengenai “untuk apa” yaitu melakukan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Keabsahan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat dari aspek Kewenangannya, aspek Prosedurnya, dan aspek substansinya121. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak memiliki keabsahan hukum karena dalam dengan aspek kewenangan, cacat kewenangan (onbevoegdheid) dari segi isi (materi). Karena menimbulkan norma konfik antara Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dan aspek substansialnya berdasarkan “untuk apa” karena adanya cacat substansial dalam hal “untuk apa“ merupakan penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir), karena tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang tersebut, yaitu Pasal 2 ayat 1 UndangUndang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
121
Hadjon, Philipus M, Loc. Cit
159
BAB V UPAYA HUKUM TERKAIT DIKELUARKANNYA KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO. KEP-03/A/JA/6/2008, MENTERI DALAM NEGERI NO. 199 TAHUN 2008 SEBAGAI TINDAKAN HUKUM TATA USAHA NEGARA 5.1 Lembaga Peradilan Negara Yang Berwenang Melakukan Pemyelesaian Sengketa Terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Seperti apa yang dijelaskan diatas pada Bab III bahwa bentuk Keputusan tertulis dari Keputusan Bersana tentang Ahmadiyah sebagai Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan subyek. Maka yang lembaga peradilan negara yang berwenang melakukan penyelesaian sengketa terhadap Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah adalah Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”,
160
Di dalam Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain;; b. menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan c. kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Jo Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam Pasal 31 ayat 1 menyatakan” Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”. Selain itu kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji Peraturan PerundangUndangan dibawah Undang-Undang diatur juga melalui Peraturan Mahkamah Agung / PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun l999, dan kemudian PERMA No. 1 tahun 2004 juga telah diubah dengan PERMA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, dimana di dalam Pasal 1 PERMA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil ini menyatakan bahwa Hak Uji Materiil adalah Hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan
161
dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi. Judicial Review (Hak Uji Materill) merupakan kewenangan lembaga peradilan unuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif legislatif, maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Menurut Prof Satjipto Rahardjo, Judicial Review adalah kekuasaan pengadilan untuk menentukan apakah suatu produk Peraturan Perundang-undangan itu sah atau tidak122. Sedangkan menurut Sri Soemantri hak uji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu Peraturan Perundangundangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenement) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu123. Di samping itu, Muhammad Ridwan Indra memberikan suatu pengertian tentang hak menguji (judicial review) adalah hak untuk menguji apakah suatu Peraturan Perundang-undangan itu bertentangan yang tingkatan lebih tinggi124 Pengujian judicial bersifat formil (formele toetsingsrecht) dan materiil (materiele toetsingsrecht)125. Hak menguji formil (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai , apakah suatu produl legislatif seperti Undang-Undang, yang biasanya terkait dengan soal-soal produceral dan berkenaan dengan legalitas kompentensi 122
Rahardjo, Satjipto,,2010, Penegakan Hukum Progresif, PT kompas Media Nusantara, Jakarta h.186 ( selanjutnya disebut Rahardjo, Satjipto II) 123 Soemantri, Sri , 1997, Hak Uji material di Indonesia, Alumni, Bandung, h 6-15 124 Indra, Muhammad Ridwan, 1987, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak Menguji Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, Jakarta, h. 135. 125 Sri Soemantri, Op Cit
162
institusi
yang
membuatnya.
Sedangkan
hak
menguji
materiil
(materiele
toetsingsrecht), suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu Peraturan Perundang-undangan
isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi drajatnya atau menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum, serta apakah kekuasaan tertentu (verodenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 5.2 Alasan Mengajukan Gugatan Terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, alasan untuk mengajukan gugatan uji materiil terdapat pada Pasal 31 A ayat 2 point b terdapat dua macam yaitu: 1.
Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Peraturan Perundang-undangan dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan diterbitkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi yaitu Undang-
163
Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Jo. Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Yang dapat menjadi sebuah alasan untuk melakukan uji materiil terhadap Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu: 1. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, memberikan kewenangan kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri untuk mengeluarkan sebuak keputusan terkait dengan penyalahgunaan dan penyimpangan penafsiran terhadap agama-agama yang dianut di Indonesia berupa sebuah tindakan hukum publik Tata Usaha Negara yang berbentuk Beschikking yaitu individual dan konkret dengan bentuk Keputusan Bersama. Namun keputusan yang dikeluarkan Oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan tindakan hukum tata Usaha Negara yang berbetuk Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan subyek, termasuk dalam Peraturan Perundang-undangan. berdasarkan pasal 100 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang, maka Keputusan Bersama. 2. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang UndangUndang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
164
dan/atau Penodaan Agama kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tersebut harusnya ditunjukkan (Adresstat) untuk pribadi atau seseorang tertentu, bukan ditujukan kepada suatu Organisasi berbadan hukum seperti Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mana Organisasi Jemaat Ahmadiyah terdaftar di Departemen Kehakiman RI (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) sebagai sebuah vereneging atau perkumpulan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia No. 26 tanggal 31 juni 1953126. Karena yang memiliki kewenangan dalam hal berkaitan
dengan organisasi atau aliran kepercayaan adalah kewenangan Presiden untuk langsung membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, dengan mendapatkan pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Maka disini tugas dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri hanya memberikan pertimbangan bukan mengeluarkan sebuah keputusan bersama terkait dengan penodaan atau penyimpangan agama yang dilakukan organisasi atau aliran kepercayaan.
126
Iskandar Zulkarnain, Op Cit
165
5.3 Pihak Yang Berhak Mengajukan Gugatan Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Ke Mahkamah Agung (MA) Di dalam 31 A ayat 2 Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 menyebutkan bahwa Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu: a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; atau c. Badan hukum publik atau badan hukum privat. Kemudian dalam Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil menyebutkan bahwa pemohon keberatan adalah sekelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu Peraturan Perundangundangan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang. Namun didalam Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2011
166
tentang Hak Uji Materiil tidak menyebutkan dengan jelas kriteria atau syarat-syarat mengenai pemohon dari kelompok masyarakat tidak ditentukan lebih lanjut, apakah harus berbadan hukum (seperti Legal Standing) atau tidak perlu berbadan hukum. Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah pihak yang dapat mengajukan gugatan Uji materiil (Judicial Review) adalah warga masyarakat atau warga negara Indonesia, penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), baik secara perseorangan ataupun melalui badan hukum atau organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau Badan hukum publik atau badan hukum privat lainnya. Termohon dalam gugatan Uji Materiil ini diatur dalam Pasal 1 ayat 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2004 tantang Hak Uji Materiil yang menyebutkan Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah, pihak termohon adalah Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri sebagai badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah. 5.4 Prosedur Pengajuan Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) Ke Mahkamah Agung (MA) Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah dapat diajukan dengan membuat permohonan tertulis yang menyebutkan alasan-alasan bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah bertentangan Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan
167
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan sebagai dasar keberatan dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya, serta membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan besarnnya diatur tersendiri. Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) dapat diajukan dengan dua cara yaitu: a.
Diajukan langsung ke Mahkamah Agung (MA)
Dalam hal pernnohonan keberatan diajukan langsung ke MA, didaftarkan ke kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan datam buku register tersendiri dengan menggunakan kode/nomor "...... P/HUM/Th -----";
Panitera Mahkamah Agung setelah memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon keberatan atau kuasanya yang sah;
Panitera Mahkamah Agung wajib menirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak Termohon setelah terpenuhi kelengkapannya:
Termohon wajib mengirimkan/menyerahkan jawabannya kepada Panitera MA dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan tersebut;
Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut;
168
Penetapan majelis sebagai mana dimaksud di atas, dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha negara atas nama Ketua Mahkamah Agung .
b. Diajukan Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon
Bahwa dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dibukukan dalam buku register
permohonan
tersendiri
dengan
menggunakan
kode
:
.....,P/HUM/Th....../PN ......, setelah pemohon atau kuasannya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh pemohon atau kuasannya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepadapemohon atau kuasannya yang sah.
Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung pada hari berikut setelah pendaftaran;
Penetapkan majelis senagaimana dimaksud diatas dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.
5.2 Putusan Gugatan Terhadap Permohonan Keberatan Pengajuan Uji Materiil Dalam Putusan Gugatan Hak Uji Materiil (Judicial Review) di Mahkamah Agung pada dasarnya terdapat dua kemungkinan yaitu: 1. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonanan keberatan itu beralasan, karena Peraturan Perundang-undangan tersebut bertentangan
169
dengan Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan keberatan tersebut. Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan Perundangundangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya 2. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonana keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut. Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan Putusan Mahkamah Agung dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim
170
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan 1. Bentuk Tindakan Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat merupakan tindakan hukun Publik Tata Usaha Negara bersegi satu, dengan bentuk keputusan tertulis Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan subyek. 2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak memiliki keabsahan hukum karena dalam dengan aspek kewenangan, memiliki cacat kewenangan (onbevoegdheid) dari segi isi (materi). Karena menimbulkan norma konfik antara Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dan aspek substansialnya berdasarkan “untuk apa” karena adanya cacat substansial dalam hal “untuk apa“ merupakan penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir), karena tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang tersebut, yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1
171
/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 3. Upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 sebagai tindakan hukum Tata Usaha Negara dengan bentuk keputusan tertulis Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan subyek, yaitu melakukan Uji materiil (Judicial Review) ke Mahkamah Agung. 6.2 Saran 1. Karena Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No. KEP03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat merupakan sebuah bentuk Regeling atau Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subyeknya, maka nama Keputusan harusnya diganti dengan nama Peraturan, sehingga menjadi
Peraturan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada
172
penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. 2. Dalam menentukan kebijakan agar lebih memperhatikan sisi hukum dan keadilan dari seluruh rakyat dan seluruh komponen di Indonesia, serta berdasarkan atas Undang-Undang Dasar tahun 1945 serta Pancasila
dan
mengkaji lebih dalam mengenai keabsahan dari sebuah peraturan sebelum diundangkan, serta tidak tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan yang dikarenakan tuntutan politik serta tuntutan dari pihak mana pun baik itu dari mayoritas
maupun minoritas,
baik
dari penguasa, organisasi
yang
megatasnamakan golongan, agama, maupun suku tertentu di Indonesia. 3. Dalam sebuah perjalanan proses persidangan diharapkan hakim atau Mahkamah Agung bersikap netral dan memutuskan suatu perkara berdasarkan pembuktian di persidangan, sehingga tercipta suatu keadilan yang dirasakan semua pihak dalam memutuskan perkara gugatan atau Judicial Reviev terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
173
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU Anonym, 2010, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?,Kanisius, Yogyakarta. Asshiddiqie, Jimly,2006, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Jilid II, Sekretaris Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. ________________, 2010, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta. ________________, dan Safa‟at, M. Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum,Cet I, Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta. Atmadja, I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia sesudah Perubahan UUD 1945,Setara Press, Malang. Ballegooij, G. A. C. M. Van, et.al, 2008, Bestuursrecht in het Awb-Tijperk, zesde, geheel herziene druk, Kluwer,Oegstgeet, Nederland. Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, 1983, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Binacipta, Jakarta. Brouwer, J.G. dan Schilder,1998, A Survey of Dutch Administrative Law,
Ars
Aeguilibri, Nijmegen. Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
174
Fachruddin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung. Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta. Hadjon, Philipus M., dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet 11, Gajah Mada University Press, Jogjakarta. Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Badung. Hamzah, Andi, 2005, KUHP & KUHAP, Cet 12, PT Rineka Cipta, Jakarta. HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta. Indra, Muhammad Ridwan, 1987, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak Menguji Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, Jakarta. Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan. Iskandar, Pranoto, 2012, Hukum Ham Internasional:Sebuah Pengantar Kontekstual, IMR Prees, Cianjur. Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta. _______, 2002, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma, Yogyakarta. Kelsen, Hans, 2009, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Harvard University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA. Kusuma, RM. A.B., 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
175
Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta. Lev, Daniel, S, 1972, Judicial and Legal Culture in Indonesia , dalam Cultuur and Politic in Indonesia, Cornell Univercity Press, Itaca. Manan, Bagir, 1985, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah , LPPM Unisba, Bandung. ___________dan Magnar, Kuntana, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung. Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Muchsan, 1981, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, Pantjuran Tudjuh, Jakarta. __________, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta. Nugraha, Safri, dkk. 2005, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
176
Pide, Andi Mustari , 1999, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta. Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, edisi ke III, Airlangga University Press, Surabaya. Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. _______________,2010, Penegakan Hukum Progresif, PT kompas Media Nusantara, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemantri, Sri , 1997, Hak Uji material di Indonesia, Alumni, Bandung Tamanaha, Brian Z, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press, United.Kingdom. Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum, Denpasar. Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung. Usfunan , Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta
177
Voermans, Wim, 2004, Toedeling Van Bevoegdheid, Meijers Instituut, Leiden, Nederland. Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Zulkanain, Iskandar, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, LKis Pelangi Aksara, Yogyakarta. JURNAL / MAJALAH ILMIAH Jafar, Wahyu, 2010, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum:Sebuah Catatan atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No 5, Jakarta. Hadjon, Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 tahun XII, September-Desember. DISERTASI Atamimi, A, Hamid S, , 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I– Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Sutarman, 2007, Kerjasana Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan Dan Penegakan Hukum Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi Airlangga.
178
PERTEMUAN ILMIAH Asshiddiqie, Jimly, 2004, Cita Negara Hukum Kontemporer, dalam orasi ilmiah pada Wisuda Sarjana Fakultas HukumUniversitas Sriwijaya, Palembang Hadjon, Philipus M, 1994, Fungsi Normatif Hukum dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Makalah Disampaikan Pada Pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Surabaya 10 Oktober . Marzuki, Laica, 1996, Peraturan Kebijaksanaa (Beleidsregel) serta FungsinyaSelaku sarana Hukum Pemerintahan, makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang 26-31 agustus 1996. MD Moh. Mahfud, 2011, Revitalisasi Pancasila Sebagai Cita Negara Hukum, Orasi ilmiah didepan Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2011. ARTIKEL ELEKTRONIK (INTERNET) Anggono, Bayu Dwi, 2009, Keputusan Bersama Menteri dalam perundangUndangan
Republik
Indonesia,
:http://www.google.co.id/search?q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%2 8SKB%29+Menteri+Agama%2C+Jaksa+Agung%2C+Dan+Menteri+Dalam+Ne geri+Republik+Indonesia+tentang+peringatan+dan+perintah+kepada+Jemaat+A hmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+UndangUndang+Nomor+10+Tahun+2004&ie=utf-8&oe=utf-
179
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a#sclient=psyab&hl=id&client=firefox-a&hs=VEV&rls=org.mozilla:enUS%3Aofficial&source=hp&q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28S KB%29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undan gUndang+Nomor+10+Tahun+2004&pbx=1&oq=Kedudukan+Surat+Keputusan+ Bersama+%28SKB%29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+ menurut+UndangUndang+Nomor+10+Tahun+2004&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=s&gs_upl=19665 l22250l0l24214l8l0l0l0l0l0l0l0ll0l0&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=b7730b 97b1285ed7&biw=1280&bih=863, Diakses pada 10 Oktober 2010. Ningrum, Desi ratna , 2009, Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung,
Dan
Menteri
Dalam
Negeri
Republik
Indonesia
,:
http://repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000678/uii-skripsi-04410173desi%20ratna%20ningrum-04410173-DESI%20RATNA%20NINGRUM5198215752-bab%201.pdf, Diakses 10 September2012. Universitas
Udayana,
2010,
Program
S2
Ilmu
Hukum
Unud
http://programs2ilmuhukumunud.blogspot.com/, Diakses pada, 14 Oktober 2010. Zakki, Moh, 2010, Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang Pembubaran Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagai
Hak
Konstitusional
Rakyat
180
http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/366/jiptummpp-gdl-s1-2010-mohzakki0518260-PENDAHUL-N.pdf, 26 Oktober 2011. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN International Convenant on Civil and Political Right article 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang No 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo. Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Jo Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985. Undang–Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo UndangUndang No.9 tahun 2004 tentang perubahan Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Republik Indonesia No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo Undang-Undang No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
181
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional HakHak Sipil dan Politik. Undang-Undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementrerian Negara. Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundanganundangan. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik Indonesia.
182
Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara, Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/puu-vii/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2004 tantang Hak Uji Materiil. Keputusan Makamah Konstitusi mengenai
Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010
tentang Putusan dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan,vide bukti P-17. Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Risalah Sidang Perkara Nomor 140/PuuVii/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
183
Keputusan Mahkamah Agung, No. 70/PID.B/2012/PN.WKB tentang Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Waikabubak No.70 / Pid.B/2012/PN.Wkb tertanggal 21 Juni 2012. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No: 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No: se/sj/1322/2008, No: se/b-1065/d/dsp.4/08/2008, No:
184
se/119/921.d.iii/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No: 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.