1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, konsep Negara hukum tersebut memberikan kewajiban bagi negara untuk melindungi hak-hak warga negara. Indonesia sebagai Negara hukum mengakui dan melindungi hak individu. Pengakuan terhadap hak individu tercermin dalam asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law), sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”. Perlindungan dan bantuan hukum terhadap hak individu warga Negara juga diatur dalam konstitusi khususnya dalam Pasal 28 D ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan bantuan hukum , dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Persamaan
dihadapan hukum ini menjamin adanya akses untuk memperoleh keadilan. Persamaan dihadapan hukum bagi setiap warga Negara yang dirumuskan dalam konstitusi salah satunya dapat diwujudkan dengan jaminan dari Negara bagi warga negaranya untuk memperoleh keadilan. Dalam hal ini perlakuan baik, adil dan sama kedudukan di hadapan hukum juga mencakup
2
terhadap pengertian persamaan kedudukan dihadapan hukum baik terhadap tersangka maupun korban dalam lingkup sistem peradilan pidana di Indonesia. Sistem peradilan pidana yang merupakan dasar atas penyelesaian perkara pidana yang diselenggarakan berdasar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). KUHAP yang merupakan hukum pidana formil dan menjadi dasar atas penyelenggaraan sistem peradilan pidana Indonesia, masih dirasa kurang dalam memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana.
Hal ini
dikarenakan KUHAP yang mengatur segala ketentuan praktek beracara pidana di Indonesia masih berorientasi pada perlindungan terhadap pelaku tindak pidana (offender orientied). Hukum pidana di Indonesia yang berorientasi terhadap pelaku tindak pidana, karena Negara telah mengambil alih seluruh reaksi yang dapat dilakukan korban terhadap orang yang telah merugikan atau menderitakan dirinya. Kerugian dan penderitaan korban telah diabstraktir oleh Negara dan diwujudkan dalam bentuk ancaman sanksi, pidana atau tindakan, terhadap pelakunya.1 Dalam praktek peradilan pidana di Indonesia kepentingan korban yang meliputi kerugian dan penderitaan atas tindak pidana yang dialami, seringkali
1
G. Widiartana., Viktimologi: Prespektif Korban dalam Penaggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009, hlm. 51.
3
kurang diperhatikan. Korban kejahatan ditempatkan hanya sebagai alat bukti2 yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.3
Hal
ini dikarenakan secara teoritis dan praktik dalam sistem peradilan pidana Indonesia kepentingan korban kejahatan diwakilkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai bagian dari perlindungan masyarakat sesuai teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument). Adanya gagasan mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat yang berlandaskan pada komitmen kontrak sosial (social contract argument) dan solidaritas sosial (social solidary argument) tersebut menjadikan masyarakat dan Negara bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya, khususnya mereka yang mengalami musibah sebagai korban.4 Kepentingan korban yang telah diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, dalam upaya menuntut pelaku tindak pidana, sudah dianggap sebagai upaya perlindungan hukum bagi korban serta masyarakat luas. Padahal dalam realitasnya kerugian yang dialami korban terabaikan.
Kemungkinan
memberikan ganti rugi kepada korban sebenarnya dapat didasarkan pada KUHP dan KUHAP. Di dalam KUHP dasar hukum untuk memberikan ganti rugi diatur dalam Pasal 14 c, sedangkan KUHAP dasar hukum yang dapat
2
Andi Hamzah, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta,1986),hlm. 33. 3 Syarif Fadillah Chaerudin, Korban Kejahatan dalam Prespektif Viktimologi dan Hukum Islam, Jakarta : Ghalia Press, 2004, hlm. 7. 4 H.R. Abdussalam, Victimology, Jakarta: PTIK, 2010, hlm 275.
4
digunakan untuk menmberikan ganti rugi adalah Pasal 98 sampai dengan 101. Namun upaya perlindungan hukum bagi korban yang diatur dalam KUHP maupun KUHAP dirasa tidak implementatif karena kurang menjamin pemulihan atas penderitaan yang dialami korban tindak pidana dan sangat jarang korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi atas penderitaan yang telah dialami, atas dasar alasan ini kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 3 menyebutkan: perlindungan saksi dan korban berdasarkan pada a. harkat dan martabat manusia; b. rasa aman; c. keadilan; d. tidak diskriminatif; e. kepastian hukum dengan penjelasan cukup jelas5. Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi dan Korban memberi jaminan kepada korban tindak pidana untuk memperoleh ganti kerugian dalam bentuk restitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) b dan dilaksanakan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban merupakan peraturan pelaksanaan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 5
H.R. Abdussalam, Op.Cit; hlm. 102.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) restitusi
5
merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, restitusi dapat berupa, pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Pengaturan tentang restitusi serta prosedur tentang pemberian restitusi diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 33 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008. PP No. 44 tahun 2008 ini didalamnya mengatur 3 tahapan dalam mengajukan restitusi yakni: tahap pertama yang merupakan tahap pengajuan permohonan restitusi, tahap kedua merupakan tahap pemeriksaan kelayakan restitusi, dan tahap ketiga merupakan tahap pelaksanaan restitusi. Pelaksanaan restitusi tidak terlepas dari peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sebagai lembaga yang dibentuk dan diberikan amanat oleh Undang-undang untuk memfasilitasi pemberian perlindungan terhadap korban, dan salah satu tugas dan fungsi dari LPSK adalah membantu korban untuk memperoleh restitusi sebagai upaya perlindungan dan pemulihan hak-hak korban. Pengaturan mengenai pelaksanaan restitusi telah diatur dengan baik dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, namun dalam praktek peradilan pidana yang terjadi selama ini, pemberian restitusi masih sulit didapatkan oleh korban tindak pidana. Kesulitan yang terjadi dikarenakan prosedur untuk mendapatkan restitusi yang sangat panjang dan berbelit-belit, serta proses peradilan pidana di Indonesia yang masih berorientasi kepada pelaku tindak pidana, sehingga perlindungan hukum terhadap korban tindak
6
pidana, seperti salah satunya pemulihan hak-hak yang telah dirampas berupa restitusi seringkali terabaikan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah yang menjadi argumentasi filosofis perlunya restitusi bagi korban tindak pidana?” C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui dan mengkaji argumentasi filosofis Restitusi di Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum berupa pemberian ganti kerugian yang dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu terhadap korban tindak pidana yang dirugikan akibat tindak pidana yang dialami, khususnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Umum, antara lain : Memberikan pengetahuan bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, terdapat jaminan terhadap harkat dan martabat korban tindak pidana melalui restitusi.
7
2. Manfaat khusus, antara lain : a. Memberikan pengetahuan bagi korban tindak pidana di Indonesia, bahwa pihak-pihak yang dirugikan tersebut diberi ruang untuk menuntut kembali hak-hak mereka yang dirugikan melalui lembaga Restitusi. b. Agar aparat penegak hukum di Indonesia ikut mengoptimalkan pelaksanaan Restitusi di Indonesia, yang didasari dengan prinsip perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. c. Dengan segala kerendahan hati, penelitian ini bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum/Skripsi. E. Batasan Konsep 1. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, restitusi dapat berupa, pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, penggantian uang dan uang duka cita. 2. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau, ia alami sendiri. 3. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan, fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang daikibatkan oleh suatu tindak pidana.
8
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan penulis gunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, yaitu jenis penelitian yang berfokus pada data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer (norma hukum) dan bahan hukum sekunder (pendapat hukum). 2. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis berdasarkan pada sumber data sekunder yang meliputi: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer meliputi peraturan Perundang-undangan yang disusun secara sistematis.
Peraturan perundang-undangan
tersebut meliputi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3290). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635). b. Bahan Hukum Sekunder
9
Bahan hukum sekunder meliputi pendapat hukum yang didapat dari buku, makalah, hasil penelitian, jurnal, internet, dokumen, dan surat kabar. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah melalui studi kepustakaan dan untuk melengkapi data, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu Hakim, Pengadilan Negeri Yogyakarta (Tinuk Kushartati S.H.) dan Jaksa, Kejaksaan Negeri Yogyakarta (Rendy Indro N. S.H.). 4. Metode Analisis Metode analisis yang penulis gunakan untuk penelitian hukum normatif ini adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Proses penalaran yang digunakan dalam menarik kesimpulan adalah dengan metode berfikir deduktif. G. Sistematika Penulisan BAB I
:
PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian.
BAB II
: PENGATURAN
RESTITUSI
SEBAGAI
UPAYA
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA
10
Bab ini menguraikan tentang permasalahan hukum, yang dibahas berdasarkan pada argumentasi filososfis ketentuan restitusi dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan sebagai perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana.
BAB III
: PENUTUP Bab ini akan mengemukakan kesimpulan yang ditarik oleh penulis berdasarkan pada hasil penelitian yang penulis lakukan dan berisi saran dari penulis yang bertujuan untuk memberikan solusi bagi pemecahan masalah hukum yang terjadi.