BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum. Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lainlain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1. Perlindungan hak asasi manusia; 2. Pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan Tata Usaha Negara. 1 Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah rule of law, yaitu: 1. Supremacy of law; 2. Equality before the law; 1
Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, (Ketua Mahkamah Konstitusi: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
3. Due process of law. 2 Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip rule of law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern. Bahkan, oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. 3 Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. 4 Sebagai negara hukum, Indonesia dalam peraturan perundang-undangannya menjamin penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk hak untuk memperoleh keadilan (access to justice) dan persamaan di muka hukum (equality before the law). Hal ini diatur secara konstitusional dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan ditegaskan kembali dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 2
Ibid. Ibid, hlm. 2. 4 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hlm. 4. 3
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan tersebut mengindikasikan makna bahwa pemerintah tidak mengistimewakan
seseorang
atau
kelompok
orang
tertentu
dan
mendiskriminasikan seseorang atau kelompok orang tertentu lainnya. Dengan demikian, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak yang sama dalam memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum. Selaras dengan pemahaman tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia memberikan jaminan secara konstitusional terhadap golongan lemah dan miskin yang sekiranya paling rentan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan, yakni dalam Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya pengaturan ini dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, maka perlindungan terhadap fakir miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara. Salah satu perwujudan jaminan perlindungan terhadap keadilan dan persamaan di muka hukum, terutama bagi fakir miskin, adalah melalui bantuan hukum cuma-cuma, yang disebut pro bono publico atau prodeo. Pada dasarnya, hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Keadilan, menurut Aristoteles, harus dibagikan oleh negara kepada semua orang dan hukum mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai pada semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, mereka harus diperlakukan sama (audi et alteram partem). Jika orang mampu dapat dibela advokat, maka fakir miskin harus dapat dibela pembela umum secara pro bono
Universitas Sumatera Utara
publico. Pembelaan ini dilakukan tanpa memperhatikan latar belakang individu yang bersangkutan, seperti agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosio-ekonomi, warna kulit, dan gender. 5 Jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum sendiri telah diakui secara internasional dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 16 dan 26 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. 6 Penyediaan bantuan hukum pro bono publico (legal aid) bagi warga miskin oleh negara sebenarnya telah mempunyai akar sejarah yang panjang. Konsep ini sudah dikenal sejak zaman Romawi Kuno. Pada masa itu, bantuan hukum adalah suatu bentuk jasa menolong sesama umat manusia yang berada dalam kesusahan hukum. Bantuan hukum pada masa itu diberikan oleh Patronus, yaitu suatu figur tokoh masyarakat yang dihargai sekali oleh masyarakat dimana masyarakat yang kesusahan datang mengadu dan meminta perlindungan, baik dalam soal ekonomi, perkawinan, sosial, dan lain-lain. Akan tetapi, motivasi Patronus dalam memberikan bantuan pada waktu itu tidak bersifat profesional melainkan untuk merebut sebanyak mungkin pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat. Sejak Magna Charta (1215) di Inggris, motivasi pemberian bantuan hukum tidak lagi didasarkan pada kekuasaan. Di dalam peradilan accusatoir yang menganut sistem jury, seorang pihak berperkara harus diwakili oleh seorang
5
Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 2. 6 Daniel Panjaitan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
Barrister, yang biasanya adalah putra-putra laki-laki kedua dari kaum bangsawan yang tidak dapat menggantikan kedudukan dan kekayaan ayahnya karena merupakan hak anak laki-laki pertama. Anak kedua biasanya mencari karir dalam angkatan perang atau hukum sebagai the legal profession. Mereka sudah kaya, tidak butuh uang, hanya butuh kehormatan. Mereka tidak sudi menerima upah, melainkan harus dalam bentuk honorarium (eereloon). 7 Pada abad pertengahan, bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu (pro bono publico) mendapat pengaruh dari kebiasaan Agama Kristen, yaitu charity yang merupakan suatu dorongan bagi manusia untuk memberikan derma. Pada waktu itu, para lawyers yang bekerja dalam profesi bantuan hukum ini telah menggunakan honor sehingga hanya orang yang mampulah pada akhirnya yang betul-betul bisa membela kepentingannya. Tetapi orang yang tidak mampu sama sekali tidak bisa memanfaatkan hukum yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, pada zaman itu, atas dasar motivasi dan faktor charity, nobility (kemuliaan), chivalry (kstaria), dan juga pandangan-pandangan intelektual yang berkembang, banyak terjadi perubahan dalam usaha untuk memberikan kesempatan yang sama pada orang miskin untuk mendapatkan bantuan hukum. Caranya yang ada pada saat itu ada 2 (dua), yaitu: 1. Advocatus pauparum atau poorman advocates atau advokat bagi orang miskin. Yang mengangkat mereka adalah gereja, diberi honor atau gaji oleh gereja asal mereka menolong orang-orang yang miskin di wilayah gereja itu;
7
Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1983), hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
2. Privileges, yakni pemberian fasilitas-fasilitas tertentu kepada orang miskin, seperti misalnya boleh beracara di muka pengadilan tanpa membayar. Pemberian bantuan hukum berdasarkan nilai kemanusiaan tersebut kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan profesi hukum sehingga motivasi pemberian bantuan hukum berubah menjadi kedermawanan profesi, yang pada gilirannya menjadi tanggung jawab profesi (profesional responsibility). 8 Berdasarkan tanggung jawab profesi inilah, mulai banyak bermunculan organisasi-organisasi bantuan hukum di banyak negara sepanjang abad ke-19. Di Belanda, misalnya, pada tahun 1889, didirikan Bureau van Consultatie in Strafzaken di Den Haag yang berlangsung sampai tahun 1916. Di Arnhem juga didirikan biro yang sama pada tahun 1891. Di Amsterdam juga dibentuk suatu biro bantuan hukum dari organisasi Toynbee pada tahun 1892 yang dinamakan Ons Huins. Selama kurun waktu tersebut juga banyak dibentuk biro-biro hukum perburuhan (Bureaus voor Arbedsrecht) yang didirikan oleh organisasi-organisasi buruh. Biro-biro tersebut memberikan konsultasi hukum dengan biaya yang sangat rendah. Selama tahun 1904, biro-biro tersebut telah memberikan 2477 konsultasi hukum. Sebanyak 51 advokat secara sukarela melaksanakan bantuan hukum, sebatas pada masalah pengendalian konflik. Banyak masalah perburuhan maupun sewa-menyewa ditangani oleh perorangan menurut inisiatif masingmasing advokat.
8
T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986),
hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
Hal yang serupa juga terjadi di negara-negara lain, seperti di Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Chili. Organisasi-organisasi bantuan hukum yang didirikan di negara-negara tersebut diberikan secara cuma-cuma (pro bono publico) kepada individu ataupun kelompok-kelompok yang lemah dan tidak mampu secara ekonomi. 9 Sejak terjadinya Revolusi Perancis abad ke-19, pemberian bantuan hukum mengalami revolusi pula. Pada saat itu mulai banyak bermunculan teori-teori negara demokrasi. Di antaranya adalah teori kontrak sosial, yaitu bahwa negara merupakan suatu perwujudan dimana rakyat memberikan kekuasaannya kepada negara
berupa
hak-hak
tertentu
(hak
kewarganegaraannya).
Sebagai
konsekuensinya, negara berkewajiban untuk, bukan saja melindungi warga negaranya terhadap sesama warga negara, melainkan juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negaranya, salah satunya dengan cara memberikan bantuan hukum. 10 Pengakuan terhadap konsep bantuan hukum probono yang baru ini mencapai puncaknya dengan dimasukkannya ketentuan ini dalam Universal Declaration of Human Rights. Dengan adanya pengakuan terhadap hak untuk mendapatkan bantuan hukum, maka bantuan hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu perwujduan rasa belas kasihan semata melainkan sebagai suatu hak rakyat yang harus dilindungi dan dipertahankan oleh negara. Ketentuan ini kemudian diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional oleh banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. 9
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum – Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 57, et seq. 10 Abdurrahman, Op. cit., hlm. 32, et seq.
Universitas Sumatera Utara
Hak atas bantuan hukum merupakan non-derogable rights, artinya hak tersebut bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun. 11 Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, tidak hanya ketika menghadapi persoalan hukum di pengadilan. Bantuan hukum dapat dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, perburuhan, dan lain-lain. Untuk bantuan hukum dalam perkara pidana dapat diberikan sejak dilakukannya pemeriksaan di tingkat penyidikan. 12 Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, di Indonesia didominasi oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Bantuan Hukum, dan Organisasi-Organisasi Advokat dengan segala macam keterbatasannya. Sementara negara dan badan-badan peradilan tidak memberikan perhatian penuh terhadap kurangnya penyediaan bantuan hukum cuma-cuma ini kepada masyarakat tidak mampu. 13 Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum memberikan suatu penegasan terhadap hak warga negara, terutama masyarakat miskin, untuk memperoleh bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, sebagai upaya negara dalam memberikan keadilan dan persamaan di muka hukum. Namun demikian, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Misalnya saja, dalam perkara pidana, sering 11
Siti Aminah, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 34. Daniel Panjaitan, Op. cit., hlm. 51. 13 Mosgan Situmorang, dkk, “Penelitian Hukum tentang Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan hukum Kepada Masyarakat”, (Ahli Peneliti Utama: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011), hlm. 8. 12
Universitas Sumatera Utara
terjadi sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh penasihat hukum secara cuma-cuma, seperti dalam contoh kasus La Noki Bin La Kede dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 367/K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998, yang akhirnya bebas demi hukum karena tidak didampingi oleh penasihat hukum pada saat penyidikan. Hal tersebut menjadi suatu tantangan bagi Pemerintah Republik Indonesia dan penegak hukum untuk memberikan suatu jaminan pemenuhan akan kebutuhan terhadap suatu sarana yang dapat menyediakan perlindungan hukum terhadap orang miskin atau tidak mampu guna memperoleh kesetaraan di muka hukum. Salah satu wujud dari hal tersebut adalah dengan adanya pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico). Dengan adanya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, diharapkan proses hukum menjadi adil bagi rakyat miskin sehingga mereka dapat memperoleh kesempatan untuk membela kepentingannya di muka hukum. Dengan adanya bantuan hukum, diharapkan dapat mencegah perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi sehingga tercapai proses hukum yang adil dan terjaminnya pemenuhan hak konstitusional bagi golongan yang tidak mampu.
B. Perumusan Masalah 1.
Bagaimanakah Keberadaan Bantuan Hukum Cuma-Cuma di Indonesia?
2.
Bagaimanakah Pengaturan Mengenai Bantuan Hukum cuma-cuma dalam Beberapa Peraturan yang Pernah dan Masih Berlaku di Indonesia?
Universitas Sumatera Utara
3.
Bagaimanakah Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Berdasarkan Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dari penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui keberadaan bantuan hukum cuma-cuma di Indonesia. 2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di Indonesia. 3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pemberian bantuan hukum cumacuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis. Hasil penelitian ini berguna sebagai sumbangan referensi bagi kalangan akademisi yang ingin memperdalam pengetahuan mengenai implementasi
Universitas Sumatera Utara
pemberian bantuan hukum cuma-cuma dalam perkara pidana, khususnya di Kota Medan.
2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat luas, terutama bagi masyarakat miskin yang berperkara yang kurang mengetahui fungsi dan manfaat dari pemberian bantuan hukum cuma-cuma sehingga mereka dapat memanfaatkan pemberian bantuan hukum cuma-cuma guna mendapatkan jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi mereka apabila mereka berperkara. b. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran dan motivasi bagi pemberi bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma secara berkesinambungan sebagai bentuk pelayanan pada masyarakat. c. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Republik Indonesia guna melakukan revisi yang diperlukan terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan dengan bantuan hukum sehingga dapat lebih mengakomodir kepentingan hukum masyarakat miskin.
E. Keaslian Penulisan Penulisan yang berjudul Implementasi Pemberian Bantuan Hukum CumaCuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan) ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan
Universitas Sumatera Utara
pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Berdasarkan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara serta pada media online yang dilakukan oleh penulis, maka diketahui bahwa judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh orang lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun di lingkungan universitas/perguruan tinggi lain dalam wilayah Republik Indonesia, dan walaupun ada, substansi pembahasannya berbeda dengan yang dipaparkan dalam skripsi ini. Beberapa judul skripsi yang memiliki topik yang sama yang pernah ditulis, antara lain: 1. Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Bagi Terdakwa yang Tidak Mampu (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo) oleh Teguh Triyanto, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008. 2. Pelaksanaan Kewajiban Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum CumaCuma Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma oleh Eka Purnama Sari, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2009. 3. Tinjauan Kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam Melakukan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (Probono) Terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum oleh Jonathan Marpaung, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012. Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena dilakukan dengan memperhatikan
Universitas Sumatera Utara
ketentuan-ketentuan atau etika penulisan skripsi yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.
F. Tinjauan Pustaka 1. Bantuan Hukum Istilah Bantuan Hukum diterjemahkan dari 3 (tiga) istilah, antara lain Legal Aid, Legal Assistance, dan Legal Service. Ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Pertama, Legal Aid, adalah pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara yang dilakukan secara cuma-cuma. Bantuan hukum dalam Legal Aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam masyarakat miskin. Dengan demikian, motivasi utama dalam konsep Legal Aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang miskin dan buta hukum. Kedua, Legal Assistance, yang mengandung pengertian yang lebih luas dari Legal Aid. Legal Assistance merupakan pemberian bantuan hukum, baik kepada mereka yang tidak mampu secara cuma-cuma maupun kepada mereka yang mampu dengan menerima pembayaran honorarium. Ketiga, Legal Service, yang lebih tepat diartikan sebagai pelayanan hukum ketimbang bantuan hukum. Menurut M. Yahya Harahap, hal ini disebabkan karena pada konsep dan ide Legal Service terkandung makna: a. Memberikan bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan
menghapuskan
kenyataan-kenyataan
diskriminatif
dalam
Universitas Sumatera Utara
penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan; b. Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin; c. Di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, Legal Service dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan perdamaian. 14 Menurut Abdurrahman, pengertian pelayanan hukum mempunyai banyak aspek dan sifatnya jauh lebih luas daripada bantuan hukum. Pelayanan hukum dapat diberikan oleh banyak orang, baik para ahli hukum maupun para penggerak masyarakat, politisi, pimpinan-pimpinan informal maupun formal. Pelayanan hukum tidak hanya menyangkut penyelesaian suatu kasus, tetapi juga meliputi pemulihan hak yang dilanggar dan usaha-usaha untuk melaksanakan kebijakankebijakan yang diambil oleh pihak penguasa untuk kepentingan golongan miskin. 15
14
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 344. 15 Abdurrahman, Op. cit., hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
Bantuan hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah bantuan hukum yang diterjemahkan dari istilah Legal Aid, yaitu pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum secara cuma-cuma/gratis. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini kemudian disebut Pro Bono Publico dalam Bahasa Inggris dan Prodeo dalam Bahasa Belanda.
2. Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico/Prodeo) Bantuan hukum cuma-cuma (Legal Aid/Pro Bono Publico/Prodeo) mempunyai beragam definisi. Black’s Law Dictionary mendefinisikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai “country wide system administered locally by legal services is rendered to those in financial need and who cannot afford private counsel.” Di sisi lain, The International Legal Aid menyatakan sebagai berikut. “The legal aid work is an accepted plan under which the services of the legal profession are made available to ensure that no one is deprived of the right to receive legal advice or, where necessary legal representation before the courts or tribunals, especially by reason of his or her lack of financial resources.” 16 Menurut Clarence J. Dias, bantuan hukum adalah segala bentuk layanan oleh kaum profesi hukum guna menjamin agar tidak seorang pun dalam masyarakat yang terampas haknya untuk menerima nasihat hukum atau
16
Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Op. cit., hlm. 21.
Universitas Sumatera Utara
memperoleh wakil/kuasa yang akan membela kepentingannya di muka pengadilan hanya karena tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup (miskin). 17 Penjelasan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan (yang tidak mampu). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menentukan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.
3. Bantuan Hukum Struktural Yayasan Lembaga Bantuan hukum Indonesia (YLBHI) memberikan definisi mengenai bantuan hukum struktural sebagai usaha-usaha pengembangan dialog antara pekerja bantuan hukum di satu pihak dan masyarakat yang miskin dan tertindas yang harus diperlakukan sebagai mitra YLBHI di pihak lain agar tercapai pengertian bersama tentang kenyataan adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat miskin dan tertindas sebagai kelompok-kelompok yang terdapat dalam konteks sosial politik masyarakat Indonesia dan turut serta dalam perbaikan terhadap keadaan yang tidak adil tersebut sehingga tujuan dari dialog yang 17
Clarence J. Dias, “Research on Legal Services and Poverty: Its Relevance to the Design of Legal Service Programs in Developing Countries”, dalam Washington University Law Review (Issue 1: Symposium Legal Services to the Poor in Developing Countries, 1975), hlm. 147.
Universitas Sumatera Utara
dimaksud adalah memformulasikan ukuran-ukuran yang dapat memperbaiki kondisi-kondisi kemiskinan dan ketidakadilan tersebut. 18 Menurut T. Mulya Lubis, konsep bantuan hukum yang struktural mencoba mengaitkan kegiatan bantuan hukum itu dengan upaya merombak tatanan sosial yang tidak adil. Jadi sasarannya tidak lagi sekedar membantu individual dalam sengketa yang dihadapinya, tetapi lebih mengutamakan sengketa yang mempunyai dampak struktural. Di sini bantuan hukum dijadikan sebagai kekuatan pendorong ke arah tercapainya perombakan tatanan sosial sehingga kita akan memiliki pola hubungan yang lebih adil dalam masyarakat. 19 Bantuan hukum struktural erat kaitannya dengan pembangunan hukum. Pembangunan hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat untuk mempengaruhi pembentukan, konseptualisasi, penerapan dan pelembagaan hukum dalam suatu proses politik. 20
4. Penerima dan Pemberi Bantuan Hukum Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menegaskan bahwa penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Penerima bantuan hukum menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak
18
Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 33. 19 T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 68. 20 Mosgan Situmorang, dkk, Op. cit., hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
dasar tersebut meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menggunakan istilah “pencari keadilan yang tidak mampu” dimana dalam Penjelasan Pasal 56 disebutkan bahwa pencari keadilan yang tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum. Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum menggunakan istilah “pemohon bantuan hukum” yang diartikan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pedoman, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010, Pos Bantuan Hukum adalah ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan Negeri (Pengadilan TUN dan Pengadilan Agama) bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi
Universitas Sumatera Utara
hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa advokat. Sedangkan yang dimaksud dengan Advokat Piket berdasarkan Pasal 1 angka 4 adalah advokat yang bertugas di Pos Bantuan Hukum berdasarkan pengaturan yang diatur di dalam kerjasama kelembagaan Pengadilan dengan Lembaga Penyedia Bantuan Hukum. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan UndangUndang tersebut. Lembaga Bantuan Hukum merupakan sebuah lembaga yang bersifat nonprofit yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, terutama masyarakat yang tidak mampu, buta hukum, dan tertindas. Pasal 1 angka 13 KUHAP menentukan bahwa penasihat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undangundang untuk memberikan bantuan hukum. Kata “advokat” berasal dari Bahasa Latin advocare yang berarti, “to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.” Sedangkan dalam Bahasa Inggris, advokat disebut advocate yang berarti, “to speak in favour of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly.” Advokat merupakan orang yang berprofesi membela yang diartikan sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
“One who assists, defends, or pleads for another. One who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal, a counselor. A person learned in the law and duly admitted to practice who assists his client with advice and pleads for him in open court. An assistant, adviser, a pleader of causes.” 21 Deklarasi Montreal merumuskan advokat sebagai, “A person qualified and authorized to practice before the courts and to advise and represent his clients in legal matters.” Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 disebutkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa (dan/atau bantuan) hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Pokrol (pengacara praktek) adalah mereka yang sebagai mata pencaharian (beroep) menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan advokat. Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pokrol adalah mereka yang memberikan bantuan hukum sebagai mata pencaharian tanpa pengangkatan oleh Menteri Kehakiman dan yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan tersebut.
5. Perkara Pidana Apabila terjadi suatu perbuatan pidana, maka berarti muncul perkara pidana sehingga terhadap orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut harus 21
Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Op. cit., hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
dijatuhi sanksi pidana setelah diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penulisan ini, penulis menggunakan 2 jenis penelitian, antara lain: a. Penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka sebagai bahan penelitiannya. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas; 22 dan b. Penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataankenyataan yang ada dalam masyarakat.
2. Sumber Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 sumber data, antara lain: a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat, dalam penulisan ini adalah wawancara. b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dalam bentuk dokumen atau literatur dan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 22
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 118.
Universitas Sumatera Utara
1) Bahan hukum primer. Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai otoritas yang mengikat dan terdiri dari suatu norma atau kaidah dasar yang mana yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan bantuan hukum. 2) Bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum berupa publikasi hukum yang bukan bersifat dokumen resmi, meliputi buku teks, jurnal, pendapat para ahli hukum, dan sumber elektronik. 3) Bahan hukum tersier. Merupakan bahan hukum penunjang yang pada dasarnya meliputi bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka (library research), yaitu dengan meneliti sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, serta sumber-
Universitas Sumatera Utara
sumber elektronik lainnya; observasi; dan field research berupa wawancara dengan pihak-pihak yang berperan dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma.
4. Analisa Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian memasukkan pasalpasal ke dalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak LBH Medan dan Pengadilan Tinggi Medan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan: a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut; b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini yang berhubungan dengan bantuan hukum; c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan dengan hasil wawancara kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.
Universitas Sumatera Utara
H. Sistematika Penulisan Adapun skripsi ini terdiri dari bab-bab yang diuraikan secara terperinci dan disusun secara hierarki sehingga yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Adapun bab-bab tersebut ialah sebagai berikut: 1. BAB I Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. BAB II Bab ini membahas mengenai sejarah bantuan hukum di Indonesia, konsep dan perkembangan bantuan hukum, ruang lingkup dan jenis-jenis bantuan hukum, tujuan dan fungsi bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, serta pendanaan dan tata cara pemberian bantuan hukum. 3. BAB III Bab ini membahas mengenai pengaturan bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang pernah berlaku pada zaman Hindia-Belanda dan pengaturan bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang berlaku setelah kemerdekaan, termasuk di antaranya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. 4. BAB IV Bab ini membahas mengenai implementasi pemberian bantuan hukum cumacuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. 5. BAB V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran.
Universitas Sumatera Utara