BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Matahari bersinar sangat terik ketika saya mengangkat satu karung getah karet kering dan mengikatnya ke atas motor bersama Menosur. Getah karet tersebut adalah milik bepak (bapak) Milang. Hari itu, tanggal 14 Juni 2014, saya dan Menosur pergi ke desa transmigran Satuan Permukiman unit-G (Trans SPG) yang berada dekat sisi barat Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) untuk menjual getah karet tersebut. Sampai sore hari, kami berdua baru kembali ke ruma pelajoron di wilayah Sakonapu, kelompok Orang Rimba rombong Pengelaworon1. Saya langsung berpisah dengan Menosur. Dia pergi untuk menemui bapak Milang sementara saya mengajak Nyungsan Bungo untuk memotong kayu bakar. Saat Menosur kembali hari sudah mulai beranjak gelap dan kami mulai menyalakan api di perapian ruma pelajoron. “Lah berapo lamo kawan berinduk semang samo bepak Milang guding? (Sudah berapa lama kamu berinduk semang kepada bapak Milang, teman?)”, saya bertanya kepada Menosur di sela-sela percakapan. “Lah 5 tahun guding! (Sudah 5 tahun guding!)”, celetuk Nyungsan Bungo sambil tertawa terkekeh, sementara Menosur menyeringai sambil mengelak dari ejekan tersebut dan membalas perkataan Bungo. Sepenggal paragraf di atas menceritakan mengenai satu praktik adat Orang
Rimba yang disebut berinduk semang. Apa yang dilakukan Menosur (bersama saya siang hari itu), yaitu menjual karet milik bapak Milang2, merujuk pada salah
1
Saya akan menjelaskan apa itu ruma pelajoron dan istilah ‘rombong’ di bab II tulisan ini. Milang adalah nama samaran. Ada beberapa orang dari informan saya yang tidak ingin disebut namanya dalam tulisan ini. Alasan utamanya adalah karena malu, dan yang lebih penting lagi beberapa menganggapnya sebagai ‘aib’ (baca: cerita pengalaman yang tidak bagus) ataupun alasan lainnya. Misalnya mereka bilang, “mumpakmano todo kalau dibaco samo Pengendum atau guru Sokola guding?” (bagaimana nanti kalau dibaca sama Pengendum atau guru [volunteer] Sokola kawan?). Orang Rimba seperti Pengendum tidak berkeberatan kalau namanya disebut dalam tulisan saya, tetapi itu pun tetap dengan pengecualian bahwa dia berkeberatan jika saya menyebut nama perempuan Rimba yang pernah dikejarnya; seakan‐akan itu adalah tidak sopan atau ‘perasaan tidak enak’ kepada yang bersangkutan. Jadi permintaan untuk tidak menyebut nama asli tentang dirinya atau mengacu ke subyek tertentu di tulisan ini berbeda‐beda setiap orang dan informan. Oleh karena itu, demi kebaikan personal, saya menggunakan beberapa nama samara yang dari ciri khas vokalnya mirip dengan ciri umum nama Orang Rimba, namun sebagai petunjuk saya akan menggunakan huruf depan ‘L’ pada setiap nama samaran 2
1
satu bentuk proses yang dilakukan ketika seorang bujang (anak muda) Rimba berinduk semang, yang disebut ‘pengabdian’; yaitu ketika Menosur memberikan tenaganya dalam rangka membantu pekerjaan dari bapak Milang. Berinduk semang mengacu pada sebuah praktik adat yang dilakukan oleh laki-laki di Orang Rimba untuk mencari istri atau menikah. “…berinduk semang itu (adalah) cara kita untuk mendapatkan istri. Misalnya kita mau menikah dengan cewek Trans (desa transmigran) ya berarti berinduk semang sama keluarga cewek Trans itu”, begitulah kata Mijak kepada saya di kunjungan saya yang pertama ke Rimba Makekal, wilayah hutan tempat mereka tinggal, di tanggal 28 Februari 2012. Jadi, berinduk semang ini tidak sama dengan ‘momen pernikahan’ itu sendiri. Ia adalah rangkaian praktik yang harus dilakukan oleh laki-laki Rimba sampai ia mencapai tahap pernikahan. Inilah proses yang dimaksud; i.e. proses yang dilakukan tahap demi tahap dengan diimbuhi berbagai aturan tertentu melalui seleko adat (seloka/ayat/syair adat) Orang Rimba dan proses ‘menuju kearah terbentuknya kesepakatan pernikahan’. Sebagian orang mungkin bisa menyebutnya sebagai tradisi ataupun ritual bagi bujang Rimba, dengan tujuan agar mereka bisa ditahbiskan sebagai laki-laki yang sudah ‘pantas’ untuk menikah, sampai para laki-laki tersebut bisa membuktikan bahwa dirinya siap menjadi penopang hidup ketika dia berkeluarga nanti, atau sampai dia bisa disetujui untuk menikah oleh calon mertua yang diinduk-semangkan olehnya. Dalam pandangan saya, konsep ‘yang pantas’ untuk menikah bagi laki-laki Rimba menyiratkan adanya suatu penilaian tertentu yang diterapkan dalam proses untuk laki‐laki, huruf depan ‘M’ untuk orangtua (laki‐laki maupun perempuan), dan huruf depan ‘P’ untuk perempuan (seorang istri, atau gadis Rimba yang belum menikah).
2
berjalannya adat berinduk semang. Kemudian, dengan adanya ‘proses pengabdian’, ‘kesepakatan’, dan ‘penilaian’, hal itu memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana strategi, motivasi dan imajinasi yang muncul pada tiap subyek dalam berinduk semang pada momen dilaksanakannya praktik adat tersebut. Namun sebelum itu, siapakah Orang Rimba? Orang Rimba adalah satu kelompok masyarakat etnis yang berdiam di dataran tengah provinsi Jambi, pulau Sumatra, tepatnya di wilayah hutan TNBD. Sebagian orang lain dari berbagai kalangan, dan dari diri Orang Rimba sendiri, menyebut ‘identitas kemasyarakatan’ mereka dengan berbeda-beda; i.e. masyarakat adat, komunitas adat/etnik, suku, atau indigenous people. Saya lebih memilih menggunakan penyebutan ‘kelompok etnis’, karena mengandung bobot yang bisa disepadankan dengan ‘kelompok etnis’ lainnya (misalnya: kelompok etnis Sunda, kelompok etnis Maluku, dsb). Wilayah hutan tempat mereka bernaung dan membangun kehidupan membentuk identitas tersendiri yang merujuk kepada terbentuknya cara hidup a la mereka –saya memilih tidak menggunakan kata ‘tradisional’- yang disertai dengan ‘adat’ serta norma yang berbeda dengan orang Melayu atau orang Jambi. Banyak orang, terutama akademisi, melekatkan istilah hunters and gatherers (pemburu-peramu) ketika membentuk asosiasi tentang cara hidup Orang Rimba; dan kita memang bisa menyebut mereka sebagai bangsa pemburu-peramu. Saya hanyalah salah satu dari sekian banyak orang-orang yang pernah meneliti tentang Orang Rimba dengan berbagai tema, fokus kelompok, dan wilayah penelitian masing-masing. Dimulai dari J.W. Boers (1838), van Dongen
3
(1906), M. Mozkowski (1909), Hagen (1908), Volz (1911), Schebesta dan Blagden (1926), Schebesta (1928), Loeb (1935) dan Keereweer (1940), dimana garis besar penelitian mereka memunculkan perdebatan mengarah kepada dua hal; ‘apakah Orang Rimba tidak memiliki sistem kepercayaan (pagan)’, dan apakah tradisionalitas budaya mereka bisa bertahan dengan proses ‘pemberadaban’ yang segera datang. Kemudian ada tulisan dari Kamocki (1979) yang basisnya adalah studi komparatif ciri budaya antara Orang Rimba Ridan dengan Orang Rimba Medak sekaligus menjawab pertanyaan tentang sistem kepercayaan pada Orang Rimba; riset Sandbukt (1984, 1988) yang membahas mengenai peran aktor luar, mekanisme perdagangan, serta dominasi patron Melayu atas Orang Rimba; kajian Persoon (1989, 1998, 2000, 2004) yang menelaah dinamika marginalisasi dan adaptasi Orang Rimba, melalui analisis symbiotic relations (relasi simbiosis) yang diejawantahkan oleh Persoon melalui konsep commercial hunters-gatherers (pemburu-peramu komersial) serta teori secondary adaptation (adaptasi sekunder) sebagai bentuk modifikasi dari cara hidup Orang Rimba; tulisan Amilda (2003) yang membahas sifat eksploitatif atas hubungan patron-klien Orang Rimba dengan jenang (penghubung) mereka; penelitian Handini (2005) yang mengurai tentang proses memudarnya sifat foraging pada Orang Rimba (yang mengambil studi kasus di Orang Rimba wilayah Aek Hitam) dengan menggunakan analisis optimal foraging; kajian Prasetijo (2007) tentang dominasi etnik Melayu atas Orang Rimba yang direspon dengan mengasingkan diri atau melebur dalam skema bermukim dan memeluk agama Islam; penelitian Wardani (2007; 2011) yang membahas mengenai ketahanan pangan dalam hubungannya dengan batasan
4
budaya dan ekologi hutan; serta tulisan Rokhdian (2012) yang membahas respon sekaligus corak perlawanan dan resistensi Orang Rimba Makekal terhadap kebijakan pembentukan Taman Nasional Bukit Duabelas. Hampir tidak ada dari para peneliti tersebut yang mengkaji tentang adat berinduk semang dan, terutama, aspek-aspek politik serta dinamika dari praktik adat tersebut. Hanya ada dua peneliti yang pernah menyebutkan tentang berinduk semang, yaitu Butet Manurung (2007) dan Steven Sager (2008). Pada tulisan Manurung, ungkapan tentang berinduk semang ini muncul ketika ia, saat berada di rombong Orang Rimba Air Terap, ditanya mengenai ‘pasangan’ (pacar; relationship) (2007: 35); dan satu lagi ketika ia menceritakan tentang Pengusay di Air Hitam yang baru saja ditolak keluarga bapak Ternong setelah semendo (yang harusnya disebut ‘setelah berinduk semang’) (2007: 165). Perlu saya tegaskan secara konseptual, bahwa adat berinduk semang itu berbeda dengan “semendo”3. Berinduk semang adalah konsep mengenai proses yang dilakukan oleh laki-laki Rimba saat dia mengabdi (bekerja dan memberikan ‘penghasilan’) kepada keluarga perempuan yang dituju untuk bisa menikah. Sementara semendo atau besemendo adalah konsep keterikatan, aturan dan perjanjian ‘dengan penyebutan hak-hak serta kewajiban si suami’ setelah si laki-laki telah menikah; dimana obligasi besemendo ini dibacakan melalui seleko adat pada proses berlangsungnya ‘momen pernikahan’. Kemudian, Sager dalam tulisannya juga menyebut tentang 3
Sesungguhnya perbedaan ini baru saya ketahui setelah saya melakukan penelitian atau kunjungan yang kedua ke Rimba Makekal terkait dengan mencari pengertian dan sudut pandang yang lebih mendalam tentang adat berinduk semang. Pembedaan konseptual ini saya dapatkan berdasarkan hasil wawancara dan observasi dari semua teman‐teman Orang Rimba yang saya jadikan informan dalam tulisan ini; terutama Pengendum, Tumenggung Celitai (“pemimpin” Orang Rimba wilayah Makekal Hulu) dan Kepalo Adat bepak Pengusai (sesepuh Orang Rimba Makekal yang dituakan, dihormati dan diakui ‘kepintarannya’ terkait dengan masalah ‘adat’).
5
berinduk semang dan mencoba membahas pengertiannya melalui ‘makna bahasa’ (pembentukan kata “berinduk semang” itu sendiri), serta mengaitkannya dengan konteks ‘pola menetap Orang Rimba (lihat Sager, 2008: 58, 88, 93). Hanya saja dalam uraiannya Sager masih terbentur dengan tanpa adanya pembedaan konseptual antara berinduk semang dengan besemendo. Sama seperti Manurung, Sager menyamakan berinduk semang dengan semendo. Selain itu Sager juga tidak membahas mengenai bagaimana posisi berinduk semang dengan konteks-konteks sosial budaya yang ada. Ada beberapa alasan mengapa saya merasa penelitian tentang berinduk semang ini penting. Pertama, setiap laki-laki Rimba yang ingin menikah pasti akan melakukan praktik berinduk semang. Kedua, saya merasa bahwa adat berinduk semang, sebagai proses untuk mencapai pernikahan, erat kaitannya dengan kerangka politik Orang Rimba secara lebih luas; dengan menelaah bagaimana kerja pengabdian itu dilakukan, sejauh apa barang-barang tertentu bisa dilibatkan, serta bagaimana subyektifitas yang terbentuk pada tiap subyeknya. Ketiga, wacana mengenai perubahan dan politik memang telah menjadi kajian yang umum ditelaah oleh berbagai peneliti kelompok etnis Orang Rimba, namun tidak ada dari penelitian tersebut yang menempatkan isu mengenai perubahan dan politik serta “pembacaan” terhadapnya melalui praktik adat yang ada pada Orang Rimba. Situasi inilah yang mendorong saya untuk melihat lebih jauh kedua isu tersebut melalui satu praktik adat Orang Rimba yang bernama berinduk semang. Ini akan mengantarkan kita untuk menelaah bagaimana hubungan antara berinduk semang dengan situasi sosial, ekonomi dan lingkungan yang ada, yang mana pada
6
abad 21 ini terus mengalami ketidak-stabilan seiring dengan cepatnya interaksi global dan perubahan yang ada di wilayah hidup Orang Rimba.
2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, saya telah merumuskan dan mengajukan tiga
pertanyaan penelitian terkait fokus dari tulisan etnografi ini. Pertanyaan pertama; seperti apa tahapan-tahapan yang harus dilakukan seorang bujang Rimba ketika dia berinduk semang? Standar penilaian dan kriteria yang seperti apa yang dapat menentukan bahwa seorang bujang Rimba itu dianggap ‘pantas’ menjadi seorang menantu pada saat berinduk semang? Pertanyaan yang kedua terkait dengan momen ketika saya berdiskusi dengan seorang bujang Rimba bernama Pengendum terkait dengan tindakan bepekaro atau ‘membuat pelanggaran’. Dari apa yang saya lihat pada momen berinduk semang (selama saya penelitian), dan dari berbagai wawancara yang saya dapatkan dari rerayo Orang Rimba Pengelaworon juga Pengendum, saat seorang bujang yang berinduk semang sampai ke tahap pernikahan ia pasti melakukan bepekaro. Maksudnya, bepekaro dilakukan sebagai penutup dari rangkaian praktik adat berinduk semang. [Saya akan menjelaskan dengan rinci apa itu bepekaro dan pelanggaran apa yang dimaksud pada bab III]. Pengendum mengatakan: ...ya sebenarnyo bepekaro yoya lah ado dari dohulu guding. Kalau Orang Rimba menikah iyoi nye ya bepekaro (Ya sebenarnya bepekaro itu sudah ada dari dulu, kawan. Kalau Orang Rimba menikah itu dia ya bepekaro)4. Hal ini 4
Pernyataan ini saya dapatkan pada tanggal 14 Juni 2014.
7
cukup mengherankan bagi saya; bahwa, dalam pikiran saya, ketika seorang bujang telah dinilai ‘pantas’ dan disetujui untuk menjadi menantu maka mereka seharusnya bisa langsung membuat kesepakatan untuk menikah, tanpa diimbuhi dengan tindakan pelanggaran. Tetapi mengapa bepekaro itu tetap dilakukan? Atau, dengan kata lain, mengapa bepekaro tetap dibutuhkan sebagai penyelesaian dalam proses berinduk semang? Ini adalah pertanyaan penelitian yang kedua. Pertanyaan ketiga muncul ketika saya membicarakan adat berinduk semang dengan seorang bujang Rimba bernama Mijak. Pada tanggal 2 Maret 2012 di tepi sungai Sakonapu, Mijak mengatakan kepada saya bahwa cara orang (Orang Rimba) dalam berinduk semang itu sudah berubah; ...adat berinduk semang iyoi lah berubah guding, caronye orang rimba berinduk semang yoya hopi mumpak dohulu agi. Anak-anak sekarang lah piado agi paham atau takut samo adat.5 Saya sangat tertarik dengan perkataan Mijak tersebut. Kemudian selama sisa kunjungan saya di bulan Maret 2012, serta pada awal penelitian kedua di bulan Juni 2014, saya mencoba mencari tahu lebih jauh dengan bertanya-tanya pada Orang Rimba lainnya tentang perubahan tata cara yang seperti apa yang terjadi pada adat berinduk semang. Hasil yang saya dapatkan sebenarnya bisa disebut ‘bertolak belakang’ dengan pernyataan dari Mijak. Sebagai contoh, tiga orang informan utama yang saya wawancarai, yaitu Tumenggung Celitai, Kepalo Adat bapak Pengusai dan Pengendum, mengatakan bahwa tata cara dan tahap-tahap yang ada dalam berinduk semang itu tetap sama. Setiap bujang yang berinduk semang juga diatur 5
“Adat berinduk semang itu sudah berubah, kawan. Caranya Orang Rimba (dalam) berinduk semang itu sudah tidak seperti dulu lagi. Anak‐anak muda sekarang sudah tidak lagi memahami ataupun takut sama ‘adat’”.
8
keseluruhan tahapannya oleh ‘adat’6, melalui penghulu ataupun si calon mertua, sebagaimana adanya para rerayo dulu berinduk semang. Jika ‘perubahan’ tersebut terkait dengan ‘ada atau tidaknya’ bepekaro, maka pernyataan Pengendum sebelumnya sudah dapat menjawab persoalan ini. Maka saya kembali bertanya kepada Mijak, dan kepada Orang Rimba lainnya yang mengatakan bahwa ‘cara’ orang dalam berinduk semang itu berubah (seperti Pemilang Laman). Dari diskusi selanjutnya bersama Mijak dan Laman, dimana saya membenturkan antara pernyataan yang saya dapatkan dari Pengendum dan Orang Rimba lainnya dengan pernyataan Mijak, mereka juga mengakui bahwa cara dan tahapan dalam adat berinduk semang ‘sebenarnya tidak berubah’7. Kemudian saya bertanya lebih lanjut, “kalau kamu merasa ada perubahan, maka ia (berinduk semang) berubah dalam aspek apa?”; Mijak dan Laman kesulitan menjawabnya, atau, dengan kata lain, mereka sulit merumuskan ‘perubahan’ apa yang mereka maksud atau yang mereka rasakan. Sampai tahap ini saya bisa menyimpulkan bahwa perubahan yang dirasakan oleh Orang Rimba terhadap adat berinduk semang itu bisa jadi eksis atau ada, namun ia tidak mudah untuk dirumuskan; dan bukan terletak pada tahap, aturan adat atau tata cara yang ada pada praktik adat berinduk semang. Jika memang ada suatu perubahan tertentu –perubahan yang ‘tidak terlihat’- dari adat berinduk semang, maka perubahan pada aspek apakah itu? Hal apa yang
6
Saya akan menjelaskan apa maksud terminologi ‘adat’ bagi Orang Rimba pada bab III. Diskusi ini terjadi pada tanggal 16 Juni 2014. Pada bagian diskusi dengan Pemilang Laman, karena Laman tidak sedang berada di dalam Rimba Makekal, saya melakukannya via telepon genggam. 7
9
mendorong atau mempengaruhi perubahan tersebut? Inilah pertanyaan penelitian yang ketiga.
3.
Kerangka Pemikiran Secara garis besar, pada awalnya, dalam menguraikan dinamika dan
eksistensi
dari
adat
berinduk
semang,
saya
menggunakan
pendekatan
Fungsionalisme sebagai metode analisis. Dalam sudut pandang antropolog Malinowski (1922), untuk melihat bagaimana fungsi dan makna atas perilaku institusional dari suatu masyarakat kita harus melakukan tiga level abstraksi (lihat juga Firth, 1957: 55; Barnard, 2000: 66-68). Pertama, memahami bahwa ‘fungsi’ menandakan (denotes) efek dari sebuah “institusi”8 atau institusi-institusi lainnya. Malinowski percaya bahwa the central feature of the charter of an institution is the system of values for the pursuit of which human beings organize, or enter organizations already existing (1944: 52). Kedua, seperti yang disebutkan oleh Kaberry (1957: 81-82), kita harus menganalisa, memahami dan mendefinisikan bagaimana adat berinduk semang itu mengakomodir (accomodate) dan mendorong (promotes) atau menaungi kohesi sosial (yang dalam pengertian saya adalah kerekatan sosial); ...defines the way in which the institution promotes social cohesion in general. Ketiga; melihat dan memahami pengertian dari praktik-praktik pada adat berinduk semang itu berdasarkan dari definisi dan pemahaman dari subyek-subyek 8
Dalam pandangan Bourdieu (1994), ‘institusi’ bukan berarti sebuah lembaga atau organisasi tertentu, tetapi berlaku bagi keseluruhan relasi sosial yang relatif terus bertahan, yang memberikan berbagai bentuk kekuasaan, status, dan sumber daya hidup kepada individu‐ individu (lih. juga Firman, 2013, hal. 10‐11).
10
yang telibat di dalamnya; yang dilakukan dalam rangka, meminjam konsep Raymond Firth (1957: 55), understanding behavior in terms of the motivation of individuals, including both rational, ‘scientifically’ validated behavior and ‘irrational’. Ini mengarahkan saya untuk menganalisa lebih jauh persoalan strategi dan sudut pandang dari para aktor yang ada dalam berinduk semang. Oleh karena itulah saya juga menggunakan pendekatan antropologi politik. Menurut Balandier (1972), politik tidak dapat dianalisa secara terpisah dari kekerabatan, agama, adat, marga dan sebagainya. Karena, menurut Bailey (1968), Cohen (1969) dan Southall (1974) (dalam Balandier, 1972: 4-7), politik diungkapkan melalui medium pranata-pranata yang nampaknya bukan pranata politik; sehingga sering didapati, sesungguhnya, ungkapan-ungkapan politik dalam organisasi-organisasi yang tampaknya informal dapat terlihat lebih menonjol dan mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan politik yang resmi. Disini saya mengartikan politik sebagai kecenderungan alami dari subyeksubyek dalam masyarakat untuk, misalnya, menentukan posisinya dalam masyarakat; ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, ketika ia berusaha membentuk konsensus bersama, atau ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Praktik adat berinduk semang, yang sejatinya disebut sebagai aktivitas dan proses menuju pernikahan, sesungguhnya penuh dengan strategi penentuan posisi dan proses untuk saling mempengaruhi antara satu subyek dengan subyek lainnya. Bruce M. Knauft (1996: 117) mengatakan bahwa, “activities such as marriage and exchange, which appeared as reciprocal alliance and social integration from a structuralist point of view, in fact reveal a
11
highly pragmatic and irreversible history of status rivalries, honor gain and lost, and strategic deployment of economic and political capital”. Dengan menelisik secara cermat pada aspek persaingan, penilaian antar subyek, dan pembentukan citra dari para bujang pelamar, kita akan mendapatkan gambaran mengenai aspek politik seperti apa yang ada dalam substansi adat berinduk semang. Hanya saja saya merasa bahwa pendekatan tersebut tidak cukup untuk menggambarkan ataupun menjawab pertanyaan mengapa Orang Rimba membutuhkan bepekaro dalam berinduk semang, serta aspek perubahan apa yang sesungguhnya ada atau terjadi dalam praktik adat tersebut. Bertolak dari sini, saya beralih menggunakan pendekatan Post-strukturalisme, yang menitik-beratkan pada aspek wacana (discourse), ‘subyektifitas’ dalam struktur, dan ‘praktik’. Ketika kita melihat bentuk-bentuk praktik dari subyek, maka, meminjam kerangka berfikir Bourdieu (1977), proses tersebut pastinya berhubungan dengan wacana (diskursus) yang ada dalam pergulatan-pergulatan strategi pada praktik adat berinduk semang. Wacana mengenai ‘perubahan’ direpresentasikan tidak hanya oleh kata-kata atau ide, tetapi juga melalui praktik yang berlangsung dalam arena sosial yang dibicarakan yang berhubungan saling mempengaruhi dengan situasi sosial, ekonomi dan budaya yang ada (Laclau and Mouffe, 2001 [1985]). Dengan meletakkan analisis pada poin mengenai ‘wacana apa yang terbentuk dalam berinduk semang’, bagaimana wacana itu membentuk subyek-subyeknya dan bagaimana subyek itu mengonstruksi wacana (Foucault, 1972, 1980, 1981), ketika persepsi mereka terhadap situasi sosial-ekonomi dan lingkungan berubah, menjadi strategi yang cukup mapan untuk menguraikan sekaligus menganalisis
12
apa yang sesungguhnya disebut oleh Evans-Pritchard (1940: 4) sebagai ‘tindakan politik’ (dari subyek-subyek dalam adat berinduk semang). Oleh karena itu disini saya mengikuti, atau meminjam, kerangka pemikiran dari antropolog P.M. Laksono (2002) yang menekankan betapa pentingnya menempatkan pertanyaan mengenai ‘maksud atau tujuan dari subyek’, dalam menghubungkan individuindividu yang terlibat dengan mengacu kepada konteks yang menopangnya di dalam relasi sosial; ...pay more attention to the existence of context in social interaction (in the discourse), dan ...give proportional weight to the contextual or the coherence analysis (Laksono, 2002: 9-10). Saya sadar bahwa kita tidak akan dapat melihat proses dan konstelasi ‘tindakan politik’ dari subyek-subyek yang terlibat dalam praktik adat berinduk semang tanpa melihat konteks; e.g. perubahan, materialitas, pengetahuan dan sebagainya. Maka dari itu saya juga menggunakan konsep genealogi dari pemikir post-struktural Michel Foucault (1972, 1980, 1981), untuk menguraikan bagaimana ‘wacana’ (diskursus; discourse) yang menaungi adat berinduk semang itu terbentuk. Dengan kata lain, untuk menemukan pembentukan awal dari wacana yang terbentuk saat ini, menganalisis pluralitas sejarah kemunculan mereka secara faktual dan mengurai tentang fantasi-fantasi yang ada tentang identitas dalam adat berinduk semang. Konsep-konsep tersebut mengantarkan analisis atas praktik prosesual yang ada dalam adat berinduk semang kepada terbentuknya ‘politik representasi’. Menurut Branston dan Stafford (1996), representasi adalah cara memproyeksikan kedirian (self) dari suatu kelompok, sehingga kita, seakan-akan,
13
mendapatkan pengertian tentang bagaimana kelompok tersebut mengalami dunianya, dan bagaimana kelompok tersebut bisa dipahami dan bahkan bagaimana mereka bisa diterima oleh kelompok lainnya. Representasi menjadi politik, atau menjadi konsep ‘politik representasi’, adalah ketika praktik representasi dari suatu kelompok –dengan medium tertentu- memiliki kekuasaan untuk menghadirkan kembali (secara berulang-ulang) beberapa citraan tertentu, beberapa asumsi, dan kuasa untuk “meniadakan” wacana yang terbentuk dari kelompok lain (Branston dan Stafford, 1996: 78). Teori ini mengacu tentang bagaimana seseorang, kelompok, atau suatu gagasan tertentu ditampilkan, dan imaji macam apa yang dibentuk sebagai identitas dari konteks dan wacana yang ada (Hall, 1997; Fairclough, 1995). Dengan menggunakan strategi analisis ini, saya berusaha menggambarkan bahwa berbagai praktik dan strategi yang dilakukan bujang pelamar ketika berinduk semang tidak hanya dalam koridor pernikahan dan pembentukan pola kekerabatan secara linear, tetapi ia juga menjalankan proses pembentukan identitas dan positioning tertentu oleh subyek serta pembentukan wacana terhadap subyek dengan konteks sosial, ekonomi dan kultural menopangnya.
4.
Waktu, Proses, dan Metode Penelitian Penelitian ini dikerjakan dalam dua kali kunjungan. Pertama dimulai sejak
tanggal 19 Februari sampai akhir bulan Maret tahun 2012, hanya saja penelitian pertama itu saya lakukan bersamaan dengan mengerjakan program Sekolah Remaja 2011-2012; sebuah program kerjasama antara yayasan Kampung
14
Halaman di Yogyakarta dengan NGO Sokola Rimba yang memfasilitasi remaja/pemuda Orang Rimba wilayah Makekal. Kesibukan dan hambatan yang muncul
kala
melaksanakan
program
tersebut
berimplikasi
pada
tidak
maksimalnya pencarian data tentang adat berinduk semang. Oleh karena itu, selang dua tahun kemudian, saya kembali lagi ke Rimba selama 28 hari (pada tanggal 11 Juni sampai tanggal 8 Juli tahun 2014) untuk melengkapi data, dan untuk “memahami” lebih jauh tentang adat berinduk semang di rombong Orang Rimba Pengelaworon. Pada penelitian yang kedua inilah saya, secara lebih seksama dan berhati-hati, mulai menerapkan strategi dan metode pengumpulan data dengan (sedikit) lebih sistematis dan rinci. Metode penelitian yang saya gunakan disini adalah ‘etnografi’9. Pada awalnya saya agak kesulitan untuk bisa diterima secara dekat dengan Orang Rimba, dan belum mengetahui apa sebenarnya yang ingin saya tulis secara spesifik mengenai Orang Rimba. Saya juga menyadari bahwa saya butuh untuk mempelajari bahasa Rimba, paling tidak untuk memudahkan komunikasi awal dan agar mampu menangkap lalu-lalang informasi ketika mereka saling berbicara satu 9
Antropolog Maurice Bloch (1992) dan David Graeber (2001) pernah mengatakan bahwa tujuan dari ilmu sosial adalah untuk memahami tindakan atau perilaku manusia dan pengalaman mereka terhadap dunia; apa dan darimana motivasi atas tindakan itu berasal serta bagaimana refleksinya terhadap pikiran dan pengalaman manusianya. Karena (dan jika) hal itu yang menjadi tujuan sentral, menurut Brewer (2005: 11) dan Davies (1999: 3‐4), maka pengetahuan atas dunia sosial seharusnya diperoleh dari relasi dan keterlibatan atau keakraban intim (intimate familiarity) terhadap subyek (manusia; masyarakat), obyek (material), dan setting (lingkungan) dimana tindakan atau perilaku sosial itu berasal. Oleh karena itu dalam penelitian ini saya menggunakan etnografi sebagai sebuah metode penelitian. Karena metode ‘etnografi’ dapat mengakomodir ‘cara pelibatan diri’ yang lebih intim terhadap praktik sehari‐hari dari kelompok manusia dengan lingkungannya, serta untuk memahami makna dari sebuah tindakan sosial tertentu; dengan melakukan observasi langsung dan mendetail untuk memperoleh, mendeskripsikan, dan mempresentasikan data atau informasi mengenai fenomena, aktivitas, ataupun tindakan tersebut (Ingold, 2011; Davies, 1999; Brewer, 2005; Vanderstoep dan Johnston, 2009).
15
sama lain. Untuk itulah kurang lebih satu bulan pertama saya habiskan untuk mempelajari bahasa, bersosialisasi, serta mengobservasi secara keseluruhan tentang kehidupan Orang Rimba. Melalui observasi tersebut, yang diiringi dengan tak henti-hentinya mempelajari bahasa Rimba, saya mendapatkan gambaran besar (atau social mapping) mengenai lokasi-lokasi penting, cara hidup dan tokoh-tokoh kunci di Orang Rimba Pengelaworon. Ketertarikan mengenai praktik adat berinduk semang itu pun sesungguhnya muncul dari lalu-lalang pembicaraan atau informasi yang saya tangkap di pembicaraan antar-Orang Rimba tersebut. Pada prosesnya saya membagi dua macam hasil catatan dan informasi yang saya dapatkan di Orang Rimba Pengelaworon; yang pertama adalah catatan luas mengenai situasi sosial Orang Rimba Pengelaworon dan lingkungannya (biasa disebut dengan broad descriptive situation)10, kemudian yang kedua adalah ‘data’ spesifik mengenai adat berinduk semang itu sendiri11. Pada tahap ini, dan selanjutnya, saya melakukan apa yang disebut sebagai pengalaman terlibat (participant observation) dalam metode etnografi. Pengalaman terlibat ini ada dalam dua koridor; yang pertama pada aktivitas kehidupan sehari-hari Orang Rimba, seperti misalnya berburu, menjual getah karet, ikut membantu membangun rumah, bersosialisasi dalam pembagian louk beradot (lauk/daging adat) dan mengikuti ritual melangun. Koridor yang kedua ada pada aktivitas berinduk semang, yaitu ikut si bujang yang berinduk semang berburu dan
10
Lebih lanjut mengenai istilah ini, lihat Pujiriyani dan Anantasari, 2010, hal. 37‐38 Menurut Ahimsa‐Putra (dikutip oleh Pujiriyani dan Anantasari, 2010: 14), data adalah fakta yang relevan dengan masalah yang kita teliti. 11
16
memancah karet bersama calon mertuanya, ikut mengantar pembujuk12 dari si bujang kepada calon mertua (keluarga perempuan) yang dituju (walaupun saya hanya memperhatikan dari jauh dan tidak boleh berada di situ13), mengantar si bujang menjual getah karet, membeli sesuatu yang dibutuhkan dari keluarga calon istri ke desa transmigran, dan sebagainya. Pada setiap pengamatan terlibat yang saya lakukan, saya juga sekaligus berbincang-bincang atau mengobrol dengan Orang Rimba yang ada bersama saya. Tujuannya adalah untuk berbagi cerita pengalaman masing-masing dan, lebih jauh lagi, untuk mengetahui segala situasi dan detil aktivitas yang sehari-hari kita lakukan di Rimba dengan cara bertanya-tanya. Saya banyak bertanya kepada Orang Rimba mengenai lingkungan, benda-benda, ritual-ritual, dan secara spesifik tentang adat berinduk semang mereka. Cara memperoleh data seperti ini disebut dengan ‘wawancara informal’ (informal interview; wawancara tak-terstruktur atau wawancara sambil lalu) dalam metode penelitian etnografi. Saya menyadari bahwa informasi yang saya dapatkan dalam model wawancara seperti itu tidak cukup memadai. Utamanya dikarenakan ada beberapa cerita atau informasi, seperti misalnya riwayat kegagalan dan konflik dalam berinduk semang, yang tidak bisa ditanyakan atau diceritakan oleh satu individu dalam keadaan berburu ataupun dalam situasi berkumpul bersama Orang Rimba lainnya. Oleh karena itulah saya juga menggunakan teknik memperoleh data yang biasa disebut oleh 12
Mengenai apa maksud dari ‘pembujuk’ atau pemberian kepada calon mertua yang dituju akan saya jelaskan secara spesifik di bab III. 13 Clifford Geertz (1973) mengatakan bahwa peneliti tidak selalu memiliki akses langsung ke dalam wacana sosial yang diteliti karena ia, bagaimanapun juga, bukanlah pelaku. Dari sebagian kecil akses yang ada tersebut para informan akan membimbing ke dalam suatu pemahaman tertentu.
17
banyak peneliti sebagai in-depth interview (wawancara mendalam); namun disini saya lebih memilih menggunakan istilah guided interview ataupun structured interview (wawancara terstruktur)14. Wawancara terstruktur yang saya lakukan ini inheren dan pararel dengan pemilihan informan (informan kunci dan informan pendukung), karena tidak setiap Orang Rimba yang mengetahui dan pernah berinduk semang itu saya observasi secara intensif dan tidak saya lakukan wawancara terstruktur. Pemilihan informan kunci didasarkan atas beberapa kriteria, yaitu faktor kedekatan antara saya dengan Orang Rimba yang dituju, pemahaman dan sikap aktif mereka dalam adat berinduk semang, serta relasi intensif dengan subyek sehari-hari dalam pengamatan terlibat. Informan kunci yang saya pilih dan saya lakukan wawancara terstruktur adalah; (a) Kepalo Adat bapak Pengusai dan Tumenggung Celitai (dari golongan orang tua, dan pernah diinduk-semangkan sekaligus pernah berinduk semang), (b) Nyungsan Bungo dan Menosur (dari golongan anak muda yang sedang berinduk semang), (c) Pengendum dan Beconteng (dari golongan anak muda, yang pernah mengalami kegagalan dalam berinduk semang) dan (d) Penguwar dan Melancar (dari golongan anak muda yang sekarang sudah menikah; telah berhasil dalam berinduk semang) dan (e) induk (ibu) Pengusai (dari golongan orang tua, yang adalah perempuan, dan yang pernah diinduk-semangkan). Kemudian untuk informan pendukung, pemilihan 14
Wawancara terstruktur adalah proses wawancara dengan dilengkapi oleh susunan pertanyaan tertentu dan teratur dari si pewawancara, untuk mengatur koridor dari informasi spesifik yang dibutuhkan dan apa yang perlu dimunculkan dalam pembicaraan. Wawancara model seperti ini mengharuskan pewawancara dengan yang diwawancarai untuk berada dalam situasi tenang, dan face‐to‐face encounter, yang menghindari mereka terdistraksi ketika mereka creating atau producing data. Hal ini juga untuk menghindari tersebarnya informasi yang tidak ingin diketahui orang lain atau yang dianggap rahasia oleh informan (lihat Brewer, 2000: 67).
18
didasarkan atas pengetahuannya tentang adat berinduk semang dan/atau pernah bersinggungan dengan aktor-aktor dalam adat berinduk semang. (Secara umum saya tidak melakukan pengamatan terlibat yang intensif dengan informan tersebut). Informan pendukung yang saya pilih dan saya wawancarai adalah; (a) bapak Nguncang dan bapak Milang (dari golongan orang tua), (b) Mijak (dari golongan anak muda Rimba yang tahu tentang berinduk semang) dan (c) Dwi, guru volunteer di Sokola Rimba (dari golongan orang luar yang pernah terlibat dengan aktor-aktor yang sedang berinduk semang di Pengelaworon). Pada awalnya proses wawancara terstruktur dengan informan tersebut, khususnya para informan kunci, sulit dilakukan karena kendala kedekatan personal. Pengendum dan Beconteng adalah dua orang pertama yang bisa saya wawancarai. Hal ini dikarenakan dua Orang Rimba tersebut adalah yang paling dekat dengan saya, dan mereka juga bisa berbahasa Indonesia dengan baik sehingga saya tidak ragu untuk menjadikan mereka informan pertama yang saya wawancarai. Kemudian untuk informan selain Pengendum, Tumenggung Celitai dan Beconteng, saya melakukan proses pendekatan personal yang lebih dalam lagi, dengan mengikuti kegiatan mereka secara intensif dan membantu pekerjaan apapun yang bisa saya lakukan. Setelah cukup yakin saya pun meminta izin melakukan wawancara terstruktur. Pada momen wawancara ini saya lebih banyak menggunakan bahasa Rimba, karena hal tersebut, pada kenyataannya, dapat lebih efektif; yaitu membuat situasi wawancara menjadi lebih cair dan santai serta memudahkan informan untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka. Di samping itu saya juga secara terbuka mengutarakan bahwa data dan informasi
19
yang mereka berikan, paling tidak bagi saya, bukanlah untuk tujuan yang buruk. Dari proses-proses itulah pengumpulan data utama mengenai riwayat berinduk semang dan situasi sosial ekonomi umum di Orang Rimba Pengelaworon saya dapatkan sebagai bahan tulisan etnografi. Saya juga melakukan survei mengenai tingkat alokasi waktu dan tenaga kerja (lihat lampiran 3). Survei ini bertujuan untuk membantu membangun konsep dan logika dalam analisis nantinya. Kemudian kajian pustaka juga dilakukan untuk membantu melengkapi data umum, serta untuk menyusun alur pemikiran dalam etnografi ini. Pustaka tersebut berupa jurnal ilmiah, buku-buku, data yang bersifat kepemerintahan (misalnya: departemen kehutanan), serta laporan-laporan penelitian. Kajian pustaka ini juga membantu saya untuk mengenal dan memahami tentang penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, sehingga riset etnografi yang saya lakukan semakin dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun dari cara melihat permasalahan yang dihadapi. Etnografi ini juga dilengkapi oleh data sekunder berupa data statistik dari laman pemerintah yang terkait serta dokumentasi dalam bentuk foto. Dokumentasi ini berasal dari foto saya sendiri sebagai salah satu hasil observasi partisipasi di Pengelaworon, serta foto dari berbagai pihak dengan menyebutkan sumber dan kepemilikannya. Dokumentasi ini diharapkan dapat membantu memberi gambaran mengenai praktik keseharian Orang Rimba secara lebih jelas. Dengan demikian, bab II tulisan ini saya akan menjelaskan mengenai proses kehidupan sehari-hari Orang Rimba Pengelaworon, mode produksi dan mata pencaharian mereka, serta bagaimana relasi kekerabatan yang terbentuk
20
melalui pernikahan. Bab III akan menjelaskan tentang apa yang dimaksud praktik adat berinduk semang (secara lebih jelas), apa tujuannya, seperti apa riwayat berbagai bujang yang pernah dan sedang melakukan berinduk semang, imajinasiimajinasi yang terbentuk oleh para subyek dalam berinduk semang, serta tiap proses atau tahapan yang dilakukan bujang Rimba ketika ia berinduk semang. Bab IV akan menguraikan dan menganalisis secara cermat makna dan fungsi dari bepekaro serta hubungannya dengan wacana kultural yang ada. Bab tersebut juga menguraikan mengenai hubungan transaksional pada adat berinduk semang, bagaimana hubungannya dengan konsep ‘kerja’ dan ekonomi-produksi Orang Rimba, kemudian akan beranjak pada paparan mengenai “fantasi” yang eksis di dalam adat berinduk semang serta hubungannya dengan pembentukan wacana, dan menguraikan sifat politik yang ada dalam berinduk semang. Hasil dari semua uraian tersebut akan saya ikat dalam rangkaian kesimpulan di bab V. Saya harap apa yang akan saya jelaskan dapat membuka pemahaman mengenai ‘timbal-balik pengaruh’ atau interdependensi antara kondisi sosial, budaya, lingkungan dan ekonomi yang ada pada Orang Rimba Pengelarowon dengan eksistensi (keberadaan) praktik adat berinduk semang. Hal ini, juga, ditujukan untuk membuka cakrawala diskusi yang lebih luas tentang peran dan posisi sebuah praktik adat bagi/dari/pada kelompok etnis Orang Rimba.
21