BAB I PENDAHULUAN
A. PERMASALAHAN A.1 Latar Belakang Masalah Merdeka adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada atau pihak tertentu.1 Jika suatu bangsa mengatakan bahwa “kita telah merdeka dari penjajahan”, berarti bangsa tersebut telah bebas dari tekanan atau kungkungan para penjajah. Tidak ada lagi yang dapat memberi ancaman, penderitaan, atau
W
kesengsaraan. Demikian juga Bangsa Indonesia telah mengumandangkan kemerdekaannya sejak tahun 1945. Namun merdeka tidak hanya dipahami demikian saja. Masih banyak kemerdekaan
KD
yang harus diperjuangkan. Kemerdekaan yang masih terus diperjuangkan bukan merdeka dari penjajahan atau kekangan namun merdeka untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Oleh sebab itu pengertian kemerdekaan memiliki arti yang luas dan mendalam karena merupakan hal yang
U
hakiki bagi eksistensi diri. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kemerdekaan selalu relevan
IK
untuk dibicarakan sekarang atau kapanpun dan oleh siapapun.
Banyak pihak merasa ada hambatan-hambatan untuk melakukan sebuah kebenaran atau keadilan
M IL
sehingga mereka kehilangan kemerdekaannya. Demikian pula dengan apa yang terjadi dengan gereja. Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya seringkali kehilangan kemerdekaannya. Tidak lagi bebas untuk bertindak benar sebagai implementasi orang percaya. Bukan hanya Pendeta Jemaat, namun jemaat juga kehilangan kebebasan untuk menyelesaikan masalahmasalahnya.
Salah satu yang menjadi persoalan ketidak-merdekaan orang Kristen adalah legalisme yang terjadi di gereja. Gereja rentan untuk jatuh dalam persoalan legalisme. Yang baru-baru ini terjadi adalah persoalan bacaan leksionari pada khotbah pembukaan dan penutupan “Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga.”2 Tema MPHB adalah “Keluarga Peduli Lingkungan” sedangkan bacaan leksionari tidak sesuai atau menyentuh tentang persoalan keluarga dan lingkungan. Di kalangan 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), (Jakarta, 2005)hal.736. Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga (MPHB) adalah bulan di mana Gereja (khususnya sinode GKJ – GKI sinode wilayah Jawa Tengah) mengkhususkan acara dan program untuk memberi perhatian pada keluarga.
2
1
GKI (Gereja Kristen Indonesia) saat ini menggunakan bacaan leksionari dengan tiga bahan bacaan
kitab ditambah satu Mazmur tanggapan. Penggunaan leksionari saja dalam liturgi
membawa persoalannya sendiri. Di dalam evaluasi penggunaan leksionari, para pelayan gereja, menyampaikan bahwa bahan leksionari tidak sepenuhnya dapat diterapkan mengingat kebutuhan gereja lokal, konteks jemaat, dan penafsiran secara utuh dari bahan tersebut. Antara tema dan bahan bacaan pun terkadang tidak sesuai. Bahkan penggunaan leksionari ini masih akan dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, bahan MPHB sepertinya terlalu memaksakan menggunakan bacaan leksionari. Sehingga GKI yang kini identik dengan bacaan leksionarinya seolah-olah harus menggunakan dan memaksakan walaupun tidak ada ketepatannya. Jika demikian bukankah yang
W
terlihat adalah tidak ada kebebasan atau kemerdekaan untuk menyelesaikan sebuah persoalan.
KD
Di dalam rapat-rapat gereja sering berlama-lama tentang „boleh dan tidak‟ menurut Tata Gereja atau aturan yang berlaku, ketimbang membicarakan pokok pemecahan masalahnya. Bukan berarti membahas Tata Gereja tidak penting namun jangan sampai mengesampingkan tugas dan
U
tujuan utama bergereja, jangan sampai mengesampingkan perhatian dan kepedulian sosial. Oleh sebab itu seharusnya gereja merasa tertantang untuk dapat mengevaluasi dan membenahi ketika
IK
terjadi ketidakmerdekaan di dalam dirinya.
M IL
Sehubungan dengan hal di atas, persoalan kemerdekaan juga terjadi dalam kehidupan Paulus. Salah satunya ketika menghadapi jemaat Galatia. Jemaat Galatia merupakan sebuah komunitas orang-orang non-Yahudi. Mereka pertama-tama telah menerima Injil dari Paulus, namun ada pihak-pihak lain (selanjutnya „pihak lawan‟ - dari Paulus) yang memberitakan „suatu Injil lain‟ (e[teron euvagge,lion). Ketika Paulus melakukan kunjungannya ke jemaat Galatia, kondisi mereka baik-baik saja, namun tidak lama semenjak kepergian Paulus - jemaat Galatia begitu „lekas berbalik‟ dari Kristus yang memanggil mereka (1:6). Pihak lawan ini menggoyahkan keyakinan jemaat Galatia dengan memberi pemahaman keselamatan karena tindakan/Hukum Taurat dan meniadakan Injil Paulus. Pertama-tama mereka meragukan kerasulan Paulus dan Injil yang diberitakannya. Kemudian terdengar juga mereka terseret mengikuti penyesuaian hukum Taurat. Sehingga dengan sadar jemaat Galatia tidak memiliki kemerdekaan lagi. Persoalan utama terletak pada bagaimana kemerdekaan dihayati dalam kehidupan jemaat Galatia. Apakah hidup
2
dalam bayang-bayang hukum Taurat atau menggunakan kemerdekaan itu untuk bertindak sewenang-wenang?
Oleh karena itu, Paulus sebagai tokoh yang mendirikan Jemaat Galatia melihat bahwa masalah ini harus ditanggapi dan diselesaikan. Paulus menyadari bahwa jemaat Galatia akan jatuh dalam persoalan kemerdekaan dan menjadi orang yang tidak merdeka. Untuk itu, Paulus pada akhirnya memaparkan pemahamannya tentang kemerdekaan bagi jemaat-jemaat Galatia.
A.2 Rumusan Masalah
W
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penyusun berusaha untuk merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
KD
Apa yang melatarbelakangi persoalan kemerdekaan di jemaat Galatia? Apa pandangan Paulus tentang persoalan kemerdekaan yang terjadi di jemaat Galatia? Relevansi apakah yang bisa diperoleh gereja-gereja Indonesia sehubungan dengan tanggapan
IK
A.3 Batasan Masalah
U
Paulus terhadap persoalan kemerdekaan di jemaat Galatia tersebut?
Penyusun menyadari tentang luasnya persoalan kemerdekaan. Oleh karena itu, supaya lebih
M IL
fokus, penyusun akan membuat batasan-batasan sebagai berikut: Persoalan kemerdekaan yang diangkat oleh Paulus, tidak hanya terdapat dalam suratnya kepada jemaat Galatia, namun juga disampaikan kepada jemaat Roma dan jemaat Korintus. Penyusun akan membatasi pemahaman Paulus tentang kemerdekaan hanya dari surat Galatia. Karena di dalam surat Galatia tersebut, Paulus secara khusus mengangkat persoalan kemerdekaan. Dalam memaparkan latar belakang persoalan kemerdekaan dalam Jemaat Galatia, maka penyusun akan memperhatikan faktor-faktor yang terkait dengan latar belakang munculnya persoalan kemerdekaan dalam jemaat tersebut. Penyusun akan menggunakan metode tafsir retorik. Pada struktur retorika, pandangan atau argumentasi masuk dalam bagian probatio. Dalam probatio tersebut terdapat argumenargumen Paulus yang berkaitan tentang persoalan di jemaat Galatia. Di antaranya: argumen tentang pembenaran karena iman kepada Kristus (2:15-21); Abraham dibenarkan karena 3
percaya dan janji Allah (3:6-29); dari hamba menjadi anak (4:1-7); alegori kitab suci yaitu menjadi anak-anak perempuan merdeka (4:21-31). Namun penyusun akan membatasi pandangan atau argumen Paulus hanya yang berkaitan tentang kemerdekaan, yaitu pasal 2:15-21; 4: 1-7; dan 5:13-26 Penyusun juga akan menggunakan pasal-pasal lain dalam Surat Galatia yang menjadi pendukung terhadap penulisan.
B. JUDUL
Kemerdekaan Dalam Pemahaman Paulus di Surat Galatia
W
(Tafsir Retorik atas Surat Galatia 2:15-21; 4: 1-7; dan 5:13-26)
KD
C. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah
1. Mengatahui permasalahan yang terjadi pada jemaat-jemaat Galatia
U
2. Menganalisa pandangan Paulus tentang persoalan kemerdekaan pada jemaat-jemaat Galatia. 3. Memperoleh relevansi bagi gereja-gereja di Indonesia sehubungan dengan masalah
IK
kemerdekaan dan pandangan Paulus terhadapnya.
M IL
D. KAJIAN TEORI: Tafsir Retorik Hermenuetika: Menafsir
Menurut Pdt. Yusak Tridarmanto, M.Th,3 Alkitab yang dipahami sebagai Firman Tuhan tidak serta merta merupakan Wahyu secara langsung dari Allah. Firman ini juga disampaikan melalui manusia, yaitu para penulis Alkitab. Di dalam penulisan tersebut memiliki latar belakang tempat; situasi kehidupan sendiri; menulis pada waktu tertentu dengan gaya dan bahasa serta bentuk sastranya sendiri; dengan segala watak kemanusiaan dan dengan maksud serta tujuan praktisnya sendiri. Apa yang jelas pada saat itu, tidak seluruhnya jelas pada saat ini, supaya Firman Allah itu menjadi jelas. Allah juga berkata-kata kepada manusia kini, oleh karena itu Firman tersebut perlu ditafsirkan. Dalam rangka menafsir inilah maka segala prinsip dan aturan-
3
Pernyataan tersebut diambil dari Bahan Kuliah Hermeneutika Perjanjian Baru I yang disusun oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, M.Th. hal. 1
4
aturan menafsir sangat diperlukan, agar dengan demikian penafsiran menjadi penafsiran yang bertanggung jawab.
Prinsip dan aturan-aturan dalam menafsir ada dengan berbagai macam cara. Yang terpenting tafsiran tersebut menjembatani jarak, waktu dan perbedaan situasi antara penulis masa lampau dengan pembaca sekarang ini. Dan salah satu metode dalam hermeneutika yang dipakai adalah Kritik Retorik.
Kritik Retorik : Kerangka umum
W
Menurut John H. Hayes dan Carl R. Holladay, 4 kritik retorik merupakan ilmu yang menaruh perhatian pada soal bagaimana seorang pembicara mengajukan pandangan dan berupaya untuk
KD
meyakinkan pendengar atau pembaca akan keabsahan pandangannya itu. Tujuannya supaya apa yang disampaikan oleh pembicara dapat membangkitkan emosi dan pendengar atau pembaca seperti perasaan marah, takut, iba, dan perasaan-perasaan senang. Perhatian yang disampaikan
U
oleh pembicara dalam upaya memberi keyakinan menggunakan cara-cara yang berpusat pada ethos, pathos dan logos. Ethos menunjukkan karakter dan hubungan kredibilitas dan kelayakan
IK
pribadi pembicara atau penulis supaya dimaksudkan argumennya dapat dipercaya. Pathos berkaitan dengan perasaan-perasaan dan reaksi-reaksi pendengar. Dan Logos menyangkut
M IL
perkembangan logis dari pidato atau inti dari argumentasi. 5
Retorika terdiri atas bermacam-macam tipe, sesuai dengan suasana penyampaiannya. Biasanya dikategorikan dalam 3 suasana lingkungan: suasana pengadilan (retorika yudisial), terdiri atas „tuduhan‟ dan pembelaan‟; suasana rapat (retorika deliberatif), terdiri atas „bujukan dan „larangan‟; dan suasana perayaan (retorika epideiktis).6 Namun dalam prakteknya bisa saja ketiga jenis retorika ini dapat dipakai sekaligus. Teori retorik, terdiri atas enam bagian yang saling berhubungan 7, yaitu Pendahuluan (prooemium atau exordium)
4
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab (terj: Pdt. Ioanes Rakhmat, S.Th, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) hal. 87. 5 John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Ibid, hal.88 6 W. Kalangit, “Surat Galatia: Sebuah Retorika”, Forum Biblika No. 9 (1999), hal. 29. 7 W. Kalangit, Ibid, hal. 29-30
5
Merupakan bagian awal dari retorika dan di dalamnya menyatakan situasi atau kasus (causa), yaitu penyebab terjadinya ketegangan. Narasi (narratio) Dalam Narasi ini dimaksudkan untuk memaparkan fakta. Mengungkapkan situasi historis dan persuasif di mana kasus terjadi. Divisio (Partitio atau proposition) Merupakan bagian yang menjelaskan apa yang menjadi kesepakatan bersama di antara dua pihak yang terlibat pada satu sisi dan dalam hal apa keduanya berbeda pendapat pada sisi lain. Bagian ini dapat juga merupakan ringkasan dari narratio dan persiapan untuk masuk ke
W
bagian berikutnya. Bukti (probatio atau konfimatio)
KD
Ini menjadi bagian terpenting dari sebuah pidato retorik. Di sini pembicara memaparkan argumentasinya. Untuk maksud itu ia menyediakan bukti-bukti dan menguraikan contohcontoh menurut srategi-strategi yang biasa dan umum berlaku
U
Confutation dan Refutatio
Dalam bagian ini menunjukkan dengan bukti apa yang sama (confutatio) dan bukti apa yang
IK
salah (refutation) dalam argumentasi yang dikemukakan oleh pihak lawan. Oleh sebab itu bagian ini biasa bersifat negatif.
M IL
Conclusio dan Perotatio
Bagian ini menjadi kesempatan pembicara untuk mengingatkan pendengar atau pembaca tentang kasus yang diperkarakan. Di dalamnya menggunakan kata-kata yang diusahakan sedemikian rupa menimbulkan sentuhan emosional bagi pendengar. Conclusio berisi peringatan, pernyataan mengenai akibat dari sebuah keputusan, sedangkan perotatio berisi nasihat.
Retorika dalam Alkitab Apa yang disampaikan para penulis kitab dalam bentuk tulisan memiliki ciri khas sastra dan gaya bahasanya masing-masing. Retorika mendapatkan tempat khusus dalam pendidikan formal dengan dimasukkan dalam kurikulum bidang ilmu pendidikan di Roma pada abad pertama sesudah Masehi. Sehingga banyak kalangan (guru, pengacara, pejabat, pemerintah dan sipil, para sastrawan) yang
6
selain belajar filsafat juga membekali diri dengan ilmu retorika. 8 Ilmu retorika ini tidak hanya dipelajari di kalangan non-Yahudi saja, namun kalangan Yahudi juga mengenalnya. Kota Tarsus, tempat kelahiran Paulus, terdapat sekolah retorika. Dengan demikian sangatlah mungkin Paulus mengenal baik seluk beluk retorika.
Paulus sebagai pendiri beberapa jemaat mula-mula, senantiasa berhubungan dengan jemaatnya. Terlebih ketika melihat ada sebuah masalah yang terjadi dalam jemaat. Namun Paulus sendiri tidak selalu memungkinkan untuk mengunjungi jemaatnya. Komunikasi dan perhatian Paulus harus terus berlangsung, dan sarana yang memungkinkan untuk berkomunikasi adalah menggunakan surat.9
W
Sebagian isi dari Perjanjian Baru adalah surat-surat Paulus dan surat-surat lain seperti dari Yakobus,
KD
Petrus, Yohanes, Yudas.
Oleh karena Paulus mengerti tentang seluk beluk gaya bahasa retorik dan menggunakan surat untuk berkomunikasi dengan jemaatnya, maka adalah hal yang mungkin di dalam penulisan surat Galatia
IK
E. METODE
U
tersebut, terdapat unsur-unsur retorika.
Metode yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan metode studi biblika/ atau
M IL
studi eksegetis yang dipusatkan pada surat Galatia. Penyusun akan mengumpulkan data dari studi literatur. Penyusun menggunakan tafsir Retorik untuk memaparkan pandangan Paulus tentang persoalan kemerdekaan Kristen dalam jemaat Galatia karena: Di lihat dari gaya bahasa yang dipakai adalah bentuk surat yang berisikan: pendahuluan, isi dan penutup, Surat pada saat itu menjadi alat komunikasi yang sangat dikenal. Surat yang dikirimkan kepada seseorang atau kelompok menyiratkan sebuah kebutuhan komunikasi dalam perjumpaan antara manusia yang mengandung maksud dan tujuan. Oleh sebab itu surat Galatia memiliki maksud dan tujuan dari Paulus kepada jemaat Galatia. Seperti yang dijabarkan dalam kajian teori tentang kritik retorik, pada surat Galatia tersebut memiliki unsur-unsur karya retorik, yaitu ada persoalan atau penyebab terjadinya ketegangan; memaparkan fakta; memaparkan kesepakatan bersama; mengungkapkan bukti-
8 9
W. Kalangit, Ibid, hal. 28 surat menjadi alat komunikasi yang sangat dikenal pada zaman Perjajian Baru. W. Kalangit, Ibid, hal. 27
7
bukti yang salah yang diungkapkan pihak lawan; dan menyampaikan nasihat (pidato) untuk mengingatkan para pendengar atau pembaca tentang kasus yang menjadi persoalan dengan menggunakan kata-kata yang menimbulkan sentuhan emosional. Seperti dalam bagianbagian yang terdapat dalam teori retorika.
F. SISTEMATIKA Sistematika penulisan skripsi adalah sebagai berikut:
BAB I.
PENDAHULUAN
W
Bab ini berisi tentang latar belakang pembahasan skripsi, fokus permasalahannya, keterangan judul, kajian teori, metode pembahasan, dan sistematika penulisan skripsi yang disusun. Bab ini
BAB II
KD
menyajikan gambaran umum tentang isi skripsi yang akan ditulis.
LATARBELAKANG PERSOALAN KEMERDEKAAN DI JEMAAT GALATIA
U
Dalam Bab ini, penyusun akan memaparkan latarbelakang kota Galatia, kekristenan di Galatia
BAB III
IK
dan persoalan kemerdekaan di jemaat Galatia dari sudut pandang retorika.
PEMAHAMAN PAULUS TENTANG KEMERDEKAAN
M IL
Dalam Bab ini penyusun akan menganalisa pandangan dan penyelesaian yang Paulus lakukan di jemaat Galatia.
BAB IV
KESIMPULAN DAN RELEVANSI
Dalam bab terakhir ini penyusun akan memaparkan tentang kesimpulan dari keseluruhan Bab dan juga berisi tentang relevansi yang dapat diperoleh bagi kehidupan gereja di Indonesia saat ini.
8