BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Kasus hamil sebelum menikah saat ini bukan lagi menjadi hal yang aneh dan tabu dalam masyarakat. Dalam pemikiran banyak orang hasil akhirnya yang sangat menentukan yaitu ketika sang bayi lahir itu adalah hasil dari sebuah pernikahan. Seakan semuanya menjadi selesai dengan sebuah pernikahan. Padahal meresmikan hubungan dengan pernikahan tidak begitu saja dapat menyelesaikan masalah.1 Mungkin
W
kelihatannya selesai tetapi di balik itu semua ada banyak hal yang harus dihadapi. Mulai dari masalah yang ada dalam diri setiap pasangan baik yang dihamili maupun yang
KD
menghamili sampai pada keterkaitannya kepada keluarga, masyarakat, adat, agama dll. Kebanyakan kasus hamil sebelum menikah ini disebabkan oleh sebuah “kecelakaan”2 artinya memang keadaan itu tidak seharusnya terjadi. Kecelakaan yang dimaksud di sini
U
adalah kecelakaan yang tidak terkait dengan tindakan kriminal seperti pemerkosaan. Sedikitnya ada tiga macam kecelakaan yang disebutkan oleh Alan Ros3 yaitu: Pertama,
IK
kecelakaan impulsif. Ini terjadi karena ketidakmampuan untuk mengendalikan diri atas daya tarik seks walau mereka mengetahui hal tersebut tidak benar. Kedua, kecelakaan
M IL
karena kurangnya sosialisasi. Ini terjadi karena mereka belum mengembangkan pengendalian batin untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak direstui oleh masyarakat. Yang terakhir adalah kecelakaan sosial. Kecelakaan ini terjadi karena mengikuti norma dan standar teman sebaya atau anggota kelompok. Ada akibat psikologis dari hamil sebelum menikah pada orang-orang yang bersangkutan baik itu mereka sebagai pasangan ataupun keluarga.4 Bagi mereka yang hamil sebelum menikah tentu akan memiliki pergumulan yang lebih berat dari wanita yang hamil dengan keadaan biasanya. Hamil yang tanpa kasus saja sudah mengakibatkan banyak perubahan seperti perasaan tidak pasti, cemas, tercekam dll, sebagai reaksi emosional. Apalagi dengan keadaan yang belum menikah. Bagi mereka yang menghamili juga 1
Andreas B. Subagyo, Tampil Laksana Kencana, Yayasan Kalam Kudus, Bandung: 2003, hal 174 Ibid, hal 174 3 Ibid, hal 176-177 4 Ibid, hal 179 2
1
akan dikejar oleh perasaan yang menuntut mereka harus mempertanggungjawabkan kehamilan, siap ataupun tidak siap mereka dituntut untuk menentukan suatu sikap dengan segera. Begitu juga dengan keluarga, dengan seketika harus menyiapkan banyak ritual di tengah luka karena dianggap tidak mampu mendidik anak-anak mereka dengan baik. Belum lagi jika diperhadapkan bahwa hamil sebelum menikah adalah hal yang tidak baik menurut agama. Sebagai orang yang beragama keadaan ini akan sangat menambah luka keluarga karena bukan saja merasa bertanggung jawab kepada masyarakat tetapi juga pada Tuhan. Di sisi lain pernikahan yang merupakan bagian dari kehidupan sudah dapat
W
mendatangkan krisis. Apalagi bagi mereka yang belum siap, ditambah dengan krisis darurat yang dialami sesudah kejadian. Jika lingkungan mengetahui maka dapat saja
KD
mereka dikucilkan, atau mendapat sikap yang tidak seperti biasanya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya kasus hamil sebelum menikah ini bukanlah hal yang gampang diselesaikan hanya melalui pernikahan. Tetapi lebih kepada bagaimana pemulihan
U
setiap orang yang terkait di dalamnya.
Sebagai negara yang terdiri dari keberagaman baik itu adat, nilai budaya, bahasa,
IK
agama, kebiasaan hidup, memungkinkan kita untuk menjalin hubungan dengan yang lain dalam sebuah perbedaan. Seperti halnya di Bali yang memiliki adat dan
M IL
kebudayaan yang tidak bisa lepas dan sangat terkait dengan keberadaan agama Hindu sebagai agama mayoritas juga tidak bisa lepas dari hubungan dengan yang lainnya sebagai minoritas. Dengan adanya pertemuan budaya serta agama inilah maka pernikahan beda agama sangat mungkin terjadi khusunya dengan konteks Bali. Jika dilihat dalam konteks Bali, mungkin hal ini terkait dengan pandangan orang Bali bahwa perkawinan dianggap memiliki tujuan mempersatukan unsur keperempuanan dan laki-laki secara lahir dan batin dengan tujuan mendapatkan anak, terutama anak lakilaki.5 Hal ini juga yang mungkin menyebabkan semakin lumrahnya kasus hamil sebelum menikah. Kehamilan sebelum menikah adalah salah satu cara untuk mengurangi resiko tidak mendapatkan keturunan. Di sisi lain hal yang semakin melumrahkan dalam masyarakat Bali adalah kehamilan yang terjadi sebelum menikah, 5
Jiwa Atmaja, Bias Gender: Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali, Udayana University Pers, Denpasar, 2008, hal 16
2
ini belum disebut dengan lokika sanggraha6 karena pihak laki-laki sudah mau bertanggung jawab dengan melaksanakan perkawinan. Intinya adalah pada kesediaan laki-laki mau menikahinya atau tidak.7 Gereja seringkali dipandang sebagai orang yang diutus ke dunia untuk bersaksi dan melayani.8 Tugasnya untuk bersaksi dan melayani tidak bisa jauh dari keaadan yang bersinggungan dengan agama lain khususnya Hindu sebagai agama mayoritas yang sangat erat kaitannya dengan adat dan budaya Bali. Tidak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus seperti ini dapat terjadi di dalam gereja dan tidak bisa lepas dari pergumulan gereja saat ini.
W
2. Rumusan Masalah
ke belakang sebagai berikut9 : Tahun Perkawinan
2007
2008
2009
2
Jumlah Perkawinan yang Terjadi
5
5
6
3
Perkawinan Tanpa Kasus
2
3
-
4
Perkawinan dengan Kasus Hamil Sebelum Menikah Beda Agama
1
1
5
2
1
1
IK
Perkawinan dengan Kasus Hamil Sebelum Menikah Seagama
M IL
5
U
1
KD
Dapat dilihat dari data perkawinan yang terjadi di GKPB “Pniel” Blimbingsari 3 tahun
GKPB Pniel Blimbingsari juga adalah gereja yang berada di tengah-tengah masyarakat Bali, hidup dan berkembang bersama-sama dan memiliki andil serta tanggung jawab moral untuk membentuk manusia yang utuh dan lebih baik. Gereja tidak bisa tidak 6
Lokika Sanggraha berkaitan dengan adat dengan nuansa agama Hindu, hubungan seks hanya boleh dilakukan dalam suatu perkawinan yang dikenal dengan istilah manusa yadnya yakni pawiwahan, suatu perkawinan yang dilaksanakan dengan upacara agama dan dipersaksikan baik kepada Tuhan maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut telah mengikat diri sebagai suami istri. 7 Jiwa Atmaja, Bias Gender: perkawinan terlarang Pada Masyarakat Bali, Udayana University Pers, Denpasar, 2008, hal 104 8 John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta,1994, hal21 9 Data diperoleh dari, Laporan Pelaksana Program Tahunan dan Program Pelayanan Tahunan GKPB “ Pniel” Blimbingsari
3
dihadapkan pada realitas yang seperti ini juga. Belum lagi desa Blimbingsari tempat GKPB Pniel ini berada, memiliki warga yang keseluruhannya beragama Kristen sehingga bisa dikatakan bahwa hampir seluruh warga desa merupakan warga jemaat. Mereka semua hidup dalam hubungan yang dekat dan berhimpitan dengan desa-desa lain yang mayoritas beragama Hindu. Kehidupan sehari-hari mereka pun sudah dihayati dengan kebudayaan Bali. Perbedaanya hanya saja pada penghayatan akan agama. Dalam budaya Bali ada 3 unsur yang mempengaruhi keharmonisan yaitu unsur Parhayangan, pawongan, palemahan,10 bedanya hanya terdapat pada unsur parahyangan yang sudah dihidupi dengan nilai-nilai Kristiani. Selain itu banyak dari anak-anak mereka yang bersekolah dan bekerja di luar Blimbingsari sehingga
W
kemungkinan untuk bersinggungan dengan mereka yang beragama lain semakin
KD
banyak.
Menanggapi kasus hamil sebelum menikah beda agama yang terjadi selama ini kecenderungan yang terjadi adalah gereja hanya bersembunyi di balik aturan dan tata
U
gereja tanpa mau berjuang lebih giat. Pernikahan antara mereka yang memiliki kasus hamil sebelum menikah dengan beda agama seringkali hanya merupakan sebuah penyelesaian masalah. Artinya agar kedua pasangan bisa segera dapat hidup dalam
IK
sebuah hubungan yang sah serta anak yang dikandung memiliki identitas yang jelas. Gereja dapat memberkati perkawinan11 yang salah seorang diantaranya tidak beragama
M IL
Kristen atas permintaan yang tertulis dari yang bersangkutan.12 Pasangan yang bukan Kristen diharuskan untuk menulis sebuah perjanjian/pernyataan: “bahwa yang bersangkutan meminta untuk dinikahkan secara Kristiani13 sesuai ketentuan GKPB tanpa paksaan dari siapapun.”14 Tetapi Gereja sendiri kurang mengusahakan persiapan yang lebih mendalam untuk pasangan yang terlibat dalam kasus ini. Tentu saja keadaan ini tidak sama dengan persiapan Pra-pernikahan untuk kondisi yang biasa. Artinya dalam kondisi tanpa kasus dan satu agama. Keduanya berasal dari latar 10
Parhyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan ( hubungan dengan sesama), Palemahan (hubungan dengan Alam) 11 Menurut penjelasan Tata Gereja GKPB, istilah perkawinan dipakai untuk mengacu pada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan den peraturan pelaksanaanya No.9 Tahun 1974 12 Sinode GKPB, Tata gereja GKPB, Denpasar, 2006 Bab VIII, pasal 41 ayat 1 13 Dinikahkan secara Kristiani tidak selalu berarti pasangan setelah pernikahan akan memeluka agama Kristen 14 Hasil wawancara dengan ketua sinode GKPB, Bpk Bishop I Wayan Sudira Husada, 28 september 2009
4
belakang pemahaman yang beda dan pemahaman tersebut bukanlah pemahaman yang biasa tetapi lebih kepada sebuah prinsip yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Pentingnya sebuah pendampingan pra-pernikahan semakin disadari oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak mudahnya untuk membangun sebuah keluarga baru. Itulah sebabnya pendampingan pastoral pra-pernikahan mulai dilaksanakan jauh hari sebelumnya yaitu 6 (enam) bulan sebelum dan selama 6 (enam) bulan setelah pernikahan15 masih disebut sebagai Pra-pernikahan. Waktu 6 (enam) bulan sebelum dilaksanakan pernikahan terkadang belum cukup membekali pasangan untuk dapat membangun pernikahan sehingga dapat dilanjutkan setelah pernikahan. Karena sebuah kelanjutan maka 6 (enam) bulan setelah pernikahan masih disebut dengan pra-
W
pernikahan. Ini juga dapat merupakan evaluasi dari apa yang telah dipahami pada
KD
sebelum pernikahan dengan realita apa yang terjadi setelah menikah. Pernikahan karena hamil sebelum menikah yang dianggap jalan terbaik tidak dapat membebaskan pasangan dari masalah. Ada beragam masalah yang bertumpuk jadi satu
U
yang menyebabkan krisis. Mulai dari masalah dalam diri masing-masing pasangan hingga keterkaitannya terhadap keluarga keduanya begitu juga persiapan untuk kehidupan mereka sebagai sebuah keluarga baru. Untuk itulah keadaan ini
IK
membutuhkan pendampingan sehingga dapat membantu menguraikan masalah yang ada untuk bertumbuh bersama. Keadaan mereka yang tengah hamil sebelum menikah tentu
M IL
saja memberikan beban baru. Suatu peristiwa yang terjadi terlalu cepat dapat membatasi diri untuk mengadakan persiapan yang memadai.16 Ditambah lagi kehamilan tersebut bersama orang yang di luar kepercayaan menambah banyak krisis yang terjadi dalam diri mereka yang hendak menikah. Demikian juga pada kedua keluarga pasangan. Kondisi seperti ini tentu saja akan banyak mempengaruhi keluarga kedua pasangan. Hal ini terkait dengan keberadaan keluarga sebagai sebuah sistem sosial.17 Sebagai sebuah sistem, keberadaan setiap anggota sangat mempengaruhi yang lainnya. Apapun yang mempengaruhi salah satu 15
Margaret Zipse, Cultivating Wholeness: A Guide to Care and Counseling in Faith Communities, Continum, New York, hal 160 16 H. norman Wright, Konseling Krisis: Membantu Orang dalam Krisis dan Stres, Gandum Mas, Malang, 2006, hal 247 17 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar pendampingan dan Konseling Pastoral, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 372
5
bagian anggota keluarga, secara otomatis akan mempengaruhi semua bagian yang lainnya. Permasalahan yang timbul sekarang adalah ketika kasus hamil sebelum menikah ini terjadi, GKPB Pniel saat ini diperhadapkan pada tugas dan panggilannya untuk melayani pada sebuah kasus yang membutuhkan lebih banyak lagi tenaga dan pikiran untuk dapat menolong. Di sini peran pendeta menjadi sangat penting karena salah satu tujuan gereja adalah memampukan orang untuk menanggapi krisis-krisis mereka sebagai kesempatan untuk bertumbuh.18 Ketika diperhadapkan pada kasus hamil sebelum menikah, belum lagi keperbedaan dalam agama menyebabkan pendampingan
W
pastoral pra-pernikahan ini tidak dapat berjalan secara ideal. Gereja dituntut untuk melakukan banyak penyesuaian dan strategi untuk dapat membantu mempersiapkan
KD
mereka dalam kurun waktu yang singkat. Gereja seringkali kebingungan ketika mendapat kasus seperti ini. Sibuk dengan kebingungannya, gereja malah tidak peka dalam menyingkapi kapan seharusnya pendampingan ini dimulai dan dari mana
U
memulainya. Oleh sebab itu beberapa poin permasalahan yang akan penulis angkat adalah:
IK
1. Bagaimana gereja selama ini melakukan pendampingan pastoral prapernikahan terhadap pasangan dengan kasus hamil sebelum menikah beda
M IL
agama?
2. Siapa saja yang berperan dalam pendampingan dan siapa saja yang didampingi?
3. Sejauh mana peran gereja dalam proses penjalinan hubungan antara orang tua ke dua pasangan dari sebelum peminangan hingga sebelum pernikahan?
4. Unsur-unsur
apa
saja
yang
menjadi
pertimbangan
dalam
rangka
pendampingan pastoral pra-pernikahan dengan kasus hamil sebelum menikah beda agama?
18
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 44
6
3. Batasan Masalah Bertolak dari apa yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka penulis akan membatasi masalah yang akan diangkat ini sebagai berikut: 1. Kasus hamil sebelum menikah beda agama yang terjadi di GKPB “Pniel” Blimbingsari dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun ke belakang. Ini dimaksudkan untuk mengetahui pola-pola pendampingan yang dilakukan oleh pendeta setempat. Pemilihan ini didasarkan pada peraturan sinode GKPB yang melakukan mutasi setiap empat tahun sekali sehingga penulis berniat untuk melihat dinamika pendampingan dari pergantian pendeta jemaat tersebut.
W
2. Subyeknya terbatas pada laki-laki Kristen yang menghamili perempuan Hindu. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat Bali yang masih menekankan sistem
KD
Patriakal. Pada umumnya yang terjadi di Bali adalah perempuan Hindu yang telah dihamili oleh laki-laki Kristen pada akhirnya mengikuti agama sang suami dalam kasus ini, mengikuti agama Kristen.
U
3. Fokusnya hanya pada bagaimana pendampingan pastoral untuk kasus ini pada tahap pra-pernikahan. Artinya lebih kepada pendampingan pastoral seperti apa
IK
yang dapat diberikan untuk mempersiapkan pasangan dan orang tua pasangan
M IL
dalam memasuki pernikahan.
4. Tujuan Penulisan
Mempersiapkan diri untuk memasuki sebuah pernikahan bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan suatu kesadaran dan persiapan yang matang agar pernikahan bukan menjadi hal yang malah mendatangkan masalah baru dalam kehidupan rumah tangga. Oleh sebab itulah mereka yang akan menikah perlu dibantu untuk mematangkan niatnya itu. Ini seringkali merupakan tahap dalam perjalanan hidup yang berpotensi krisis. Dari uraian ini maka tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Menggali pendampingan pastoral pra-pernikahan yang dilakukan oleh gereja terhadap pasangan dengan kasus hamil sebelum menikah beda agama. 2. Menggali siapa saja yang berperan dalam pendampingan dan siapa saja yang didampingi.
7
3. Menggali peran gereja dalam proses penjalinan hubungan antara keluarga ke dua pasangan dari sebelum peminangan hingga sebelum pernikahan. 4. Memberi usulan unsur-unsur apa saja yang menjadi pertimbangan dalam rangka pendampingan pastoral pra pernikahan dengan kasus hamil sebelum menikah beda agama.
5. Judul Pendampingan Pastoral Pra-Pernikahan Kasus Hamil Sebelum Menikah Beda
W
Agama di GKPB Pniel Blimbingsari
KD
Keterangan Judul :
Di bawah judul ini, penulis pada akhirnya ingin agar bisa memetakan permasalahan pendampingan pastoral pra pernikahan untuk kasus hamil sebelum
U
menikah. Tentunya hal ini juga berdasarkan pada pengalaman atau contoh kasus nyata yang telah terjadi di GKPB khususnya di jemaat Pniel Blimbingsari. Selain itu, bukan
IK
hanya pada kasus hamil sebelum menikah saja akan tetapi terdapat juga kasus beda agama yakni antara calon pasangan perempuan dan laki-laki. Penulis mengangkat tema
M IL
perbedaan agama dalam skripsi ini karena penulis sendiri mempertimbangkan konteks jemaat Pniel Blimbingsari sebagai bagian dari desa adat Kristen yang memiliki aturan dan juga sangta terkait denngan budaya Bali yang tetap dipelihara. 6. Metodologi
• Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah metode analisis deskriptif yakni suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun status peristiwa pada masa sekarang19. 1. Deskriptif Pada bagian ini penulis memaparkan dan menjelaskan secara menyeluruh datadata yang diperoleh, baik melalui studi literatur ataupun penelitian di lapangan. 19
Moh. Nazir, Ph.D, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 63
8
2. Analisis Pada bagian ini, penulis membuat analisa dari data yang telah dideskripsikan di atas sehingga didapatkan pengetahuan dan pemahaman berdasarkan data. • Metode Penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif yakni penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati.20 Untuk itu, penulis melakukan dua cara penelitian yang meliputi : Penelitian Literatur
W
1
Untuk menyusun tulisan ini, penulis melakukan studi literatur melalui sumber-
KD
sumber seperti tulisan-tulisan, baik buku, jurnal, majalah ataupun diktat-diktat
2
Penelitian Lapangan
U
yang dapat dijadikan referensi pendukung
Penulis mengumpulkan data-data di lapangan dengan cara melakukan
IK
wawancara informal terhadap Pendeta, beberapa pasangan beda agama dan orang tua dari pasangan tersebut. Penelitian lapangan ini penulis tempuh selama
M IL
3 minggu yakni sejak tanggal 16 Februari sampai 9 Maret 2010. Dalam penelitian ini, melibatkan sebanyak 18 orang dengan komposisi sebagai berikut : pendeta (2 orang), pasangan dengan kasus tersebut (8 orang) serta orang tua dari pasanga masing-masing (8 orang).
7. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini, penulis memaparkan, Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penulisan, Judul, Metodologi penulisan serta Sistimatika penulisan.
20
Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal 3
9
BAB II KONSEP DAN TATA CARA PERKAWINAN Bab ini berisi bagaimana pemahaman akan perkawinan dalam Adat dan budaya Bali (Hindu), terkait dengan pengertian, jenis-jenis perkawinan, tata cara perkawinan dan upacara perkawinan. Selain daripada itu, penulis juga akan memaparkan bagaimana kasus hamil sebelum menikah menurut agama Hindu di Bali beserta dengan tinjauan Tata gereja GKPB terkait dengan perkawinan (Presbiterial Sinodal) dan pasal-pasal yang mempengaruhinya. BAB III DESKRIPSI DAN ANALISIS PENDAMPINGAN PASTORAL YANG
W
SELAMA INI DILAKUKAN DI GKPB PNIEL BLIMBINGSARI Dalam bagian ini, penulis memaparkan deskripsi dan analisis berkenaan dengan
KD
bagaimana pendampingan pastoral pra-pernikahan kasus hamil sebelum menikah beda agama terhadap pasangan dan orang tua kedua pasangan dilakukan di GKPB Pniel Blimbingsari.
U
BAB IV STRATEGI PENDAMPINGAN PASTORAL
Bagian ini berisi bagaimana teori pendampingan pastoral terkait dengan kasus hamil
IK
sebelum menikah beda agama, dan strategi pendampingan pastoral yang dapat diusahakan untuk mempersiapkan pernikahan dan memasuki kehidupan berumah
M IL
tangga. Siapa saja yang hendaknya terlibat, sejak kapan pendampingan untuk kasus seperti ini dimulai, dasar-dasar pemahaman seperti apa yang tepat diberikan sehingga mereka dapat melaksanakan pernikahan dengan sebuah kesadaran dan membantu mereka dapat mengambil keputusan yang tidak menimbulkan rasa tertekan. BAB V KESIMPULAN Kesimpulan
10