BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Misi pembebasan ialah upaya gereja sebagai mitra Allah dalam perjuangan kemanusiaan melawan kemiskinan, ketidakadilan sosial, perbudakan, kebodohan, politik, dan penderitaan fisik manusia. Sebagai mitra Allah, gereja diutus ke dunia untuk persoalan
W
manusia. Oleh karena itu kehadiran gereja sebagai utusan, gereja tidak bersifat independent. Artinya, bahwa gereja bukan subjek dari misi pembebasan melainkan Allahlah yang merupakan subjeknya. Sebagai subjek dari gerakan pembebasan, Allah
KD
yang berkarya dan keterlibatan gereja adalah bagian dari karya Allah secara langsung untuk maksud dan tujuan pembebasan.
U
Gereja sebagai utusan sekaligus mitra dalam implementasi karya penyelamatan Allah atas manusia dari permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain,
IK
gereja diperhadapkan dengan hal yang konkrit dan tidak hanya abstrak. Gereja bergumul dengan sasarannya yakni manusia dan permasalahan secara nyata dan demikian maka, gereja dituntut untuk berkarya secara nyata dalam semangat yang humanitas. Gereja
M IL
tidak dapat berkarya secara abstrak saja seperti berteologi atau berurusan melulu dengan pengetahuan tentang Allah. Orientasi misi yang demikian tidak sehakekat dengan semangat misi pembebasan yang Allah jalankan dan niscaya tidak menyentuh permasalahan manusia.
Dengan demikian maka, misi pembebasan merupakan perwujudan rencana dan aksi penyelamatan Allah yang berwajah kemanusiaan (humanis), Allah hadir dalam keberwujudan yang khas manusia yakni “gereja” dalam artian orang-orang yang diselamatkan di dalam anugerah Kristus. Oleh karena itu, pelayanan diakonia sebagai salah satu misi pembebasan, merupakan sesuatu yang penting untuk diteliti lebih jauh agar pelayanan diakonia dapat menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di sekitar.
Kemiskinan Berbagai macam permasalahan sosial telah terjadi di negara Indonesia. Permasalahanpermasalahan sosial tersebut bahkan telah terjadi sejak Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Salah satu permasalahan sosial yang sangat dirasakan hingga saat ini adalah permasalahan mengenai kemiskinan. Kemiskinan bahkan terjadi di berbagai tempat di negara Indonesia. Kemiskinan yang terus terjadi sepanjang perjalanan hidup negara Indonesia merupakan sebuah kenyataan yang kiranya mulai mendapatkan perhatian dari berbagai pihak untuk segera diselesaikan. Kemiskinan secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang
W
rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang
KD
bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin1.
U
Namun, masalah kemiskinan mempunyai banyak segi dan dimensi, mulai dari yang bersifat material sampai pada segi yang bersifat mental, sehingga tak mudah untuk
IK
menemukan dan menentukan tolak ukur yang tepat mengenai kemiskinan2. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah,
M IL
melainkan juga dalam banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan yang rendah, perlakuan yang tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan yang menekan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana kemiskinan tersebut dapat terjadi. Pada dasarnya ketika manusia ini dilahirkan ia tidak dapat memilih untuk menjadi miskin atau menjadi kaya dan kemiskinan bukan suatu hukuman atau kutukan dari Sang Pencipta atau takdir. Karena ketika manusia itu ada dan berada ia dituntut untuk berusaha dan mampu mempertahankan kehidupannya secara lahir dan batin. Kemalasan yang ada, kemudian ditambah dengan tingkat pengetahuan yang masih minim membuat
1
Suparlan, Dr. Supardi. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. 1984. Hlm 12. Banawiratma, S.J., J. B. dan Muller, S.J., J. Berteologi Sosial Lintas Ilmu; Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta : Kanisius. 1993. Hlm 124.
2
masyarakat Indonesia terperosok dalam dunia kemiskinan yang sulit untuk diperjuangkan. Kemiskinan muncul sebagai akibat nilai budaya yang dianut kaum miskin itu sendiri, yang berakar dari kondisi lingkungan yang serba miskin dan diturunkan dari generasi ke generasi3. Kaum miskin telah memasyarakatkan nilai dan perilaku kemiskinan secara turun-temurun. Akibatnya, perilaku tersebut melanggengkan kemiskinan mereka, sehingga masyarakat yang hidup dalam kebudayaan kemiskinannya sulit untuk membebaskan diri dari kemiskinan. Kemiskinan itu makin dirasakan bangsa Indonesia ketika Indonesia dilanda krisis
W
moneter pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan penderitaan semakin banyak dirasakan oleh sebagian rakyat Indonesia, bersamaan pula dengan itu, banyak perusahaan
KD
kemudian pailit yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Hal tersebut menyebabkan banyaknya pengangguran dimana-mana.
Dampak krisis ekonomi yang kita hadapi sejak dekade 1997, telah menimbulkan tingkat
U
kedalaman dan keparahan kemiskinan terhadap masyarakat baik di wilayah perkotaan maupun di pedesaan. Dengan kata lain, bahwa krisis multi dimensi yang terjadi sebagai kemiskinan,
sehingga
negara
IK
penyebab
mengalami
kemunduran.
Pengentasan
kemiskinan masyarakat merupakan inti dari pemberdayaan masyarakat melalui
M IL
perubahan sosial untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang di inginkan dengan bersandarkan pada norma dan etika yang berlaku, serta menjunjung tinggi kesejahteraan bersama sebagai warga negara.
Dewasa ini, ada suatu istilah yang sering kita dengar. Istilah tersebut adalah kemiskinan struktural. Apakah yang dimaksud dengan kemiskinan struktural? Ada dua pengertian mengenai kemiskinan struktural yaitu : - Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul sebagai gejala masyarakat akibat dari struktur masyarakat yang dapat dikatakan “tidak sosial”4. Dalam arti ini struktur masyarakatlah yang miskin, karena tidak mampu member jalan keluar dari ketergantungan sejumlah besar anggota masyarakatnya. Ketergantungan di sini adalah 3 Lewis, Oscar. Kebudayaan Kemiskinan dalam Parsudi Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1996. Hlm 7-11. 4 Dopo, Eduard R. Keprihatinan Sosial Gereja. Yogyakarta : Kanisius, 1992. Hlm 88.
adanya ketergantungan dari masyarakat kecil atas para pemilik modal untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat kecil tersebut. - Pengertian kedua mengenai kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu, tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
B. Fokus Permasalahan Hakikat kemanusiaan kita di dalam Kristus adalah tugas untuk memelihara kehidupan.
W
Tidak bisa tidak, tanggungjawab itu mesti dikembangkan oleh gereja. Semua itu adalah wujud tanggungjawab dan peran sosial gereja dalam memelihara dan meningkatkan
KD
harkat kehidupan yang sudah diperintahkan oleh Allah sendiri. Perjumpaan atau persinggungan nilai yang konstruktif bagi kehidupan akan menghasilkan transformasi bagi gereja.
U
Asal nilai-nilai itu dilihat sebagai sumber-sumber otentik dan tidak hanya dilihat sebagai komplemen dari proses transformasi itu. Sebagaimana kata Gutiérrez yang dikutip
IK
Harvie M. Conn5, konteks teologi adalah sebuah teologi yang tidak pernah henti berefleksi di dunia ini, namun mencoba untuk menjadi bagian dari proses di dalam mana
M IL
dunia ditransformasi. Ia menjadi teologi yang terbuka menolak kemapanan martabat kemanusiaan, pergumulan terhadap penindasan, ketidakadilan melalui kasih yang membebaskan, dan membangun sebuah masyarakat yang baru, adil dan penuh persaudaraan, menjadikannya sebagai Kerajaan Allah. Pengentasan kemiskinan secara keseluruhan sebetulnya berhubungan dengan perubahan sosial yang berlaku dalam masyarakat kita, dan setiap kali kita melakukan perubahan maka setiap kali itu kita akan menemukan fenomena yang baru, dimana adanya situasi dan kondisi baru yang harus dihadapi oleh bangsa ini. Dengan kata lain pilihan perubahan yang di kehendaki oleh bangsa kita saat ini dituntut untuk memberikan perubahan yang mendasar sehingga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat bukan memberikan kemiskinan. Maka dari itulah menuntut perhatian dan keterlibatan semua 5
Conn, Harvie M., “Theologies of Liberation : An Overview” dalam Tensions In Contemporary Theology, (Eds.Stanley N Gundry & Alan F Johnson), Chicago : Moody Press, hlm. 329.
pihak termasuk gereja dalam melihat dan menanggulangi permasalahan kemiskinan. Inilah tantangan bagi gereja, bagaimana gereja berperan dan hadir dengan mengusung tugas mulia mengangkat masyarakat miskin dari penderitaan yang dialami. Masyarakat miskin seharusnya menjadi fokus utama dalam pelayanan yang dilakukan gereja. Akan tetapi, seperti yang diungkapkan oleh Widi Artanto dalam bukunya, bukan berarti bahwa gereja harus terjebak pada suatu anggapan bahwa orang miskin yang membutuhkan gereja melainkan gereja yang membutuhkan orang miskin6. Orang-orang miskin ini bukan berarti menjadi obyek gereja, tetapi orang-orang miskin ini menjadi partner bagi gereja dalam memberitakan Firman Tuhan melalui pelayanan. Sehingga,
W
orang-orang miskin ini menjadi agen pembawa misi memberitakan Firman Tuhan. Pengertian Diakonia Gereja
KD
Bagian dari salah satu tugas gereja adalah diakonia. Karena diakonia adalah suatu sikap tindakan yang menunjukkan Kasih Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat atau berumat secara kehidupan sosial, dalam bentuk kesaksian atau bersaksi akan hidup yang saling
U
memperhatikan antara umat yang satu dengan yang lainnya. Tugas ini merupakan wujud nyata dari sudah dibaca, didengar dan yang dilihat pada Firman Tuhan. Sehingga
IK
keadaan tersebut akan memberikan peranan yang kuat dalam kehidupan sehari-hari, yang membuktikan bahwa sikap dan tindakan yang bersifat sosial pada masyarakat sangatlah
M IL
penting untuk saling peduli antara yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut bertujuan supaya aspek diakonia menjadi milik bersama untuk dikembangkan tanpa ada unsur politis dan keuntungan hidup.
Dengan sikap dan tindakan tersebut akan menjadikan kita untuk saling hidup secara bersama-sama dalam pelayanan kita di tengah-tengah dunia ini, sehingga dapat saling mencintai dan mengasihi sesama manusia sebagai makhluk sosial yang saling peduli. Maka konsep iman di dalam pelayanan akan membentuk satu di dalam kebersamaan yang diikat dengan Kasih Allah untuk mewujudkan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Dengan semangat diakonia, berarti telah memupuk kesadaran iman dalam meningkatkan pelayanan gereja. Keterlibatan sosial gereja sangatlah dibutuhkan pada saat ini. Akan 6
Artanto, Widi. “Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia”. Yogyakarta : Taman Pustaka Kristen, hlm 75.
tetapi, perlu diperhatikan lagi, yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana diakonia telah memberikan dampak perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat miskin dan sejauh mana gereja memandang masyarakat miskin itu sebagai subyek yang melakukan perubahan hidup dalam diakonia yang dilakukan oleh gereja? Atau masyarakat miskin tersebut masih menjadi obyek demi gengsi gereja? Masyarakat miskin menjadi subyek dalam diakonia merupakan sebuah tujuan dimana gereja kemudian tidak lagi hanya menempatkan posisinya sebagai “Santa Claus” bagi masyarakat miskin. Dalam kata lain, kiranya gereja lebih melihat pada suatu perbuatan bukan lagi hanya sekedar sebuah sikap memberi. Kreativitas yang ada seharusnya digunakan untuk membuat program-program diakonia di mana gereja dan masyarakat
W
miskin bekerja bersama.
KD
Masyarakat miskin yang telah tertindas baik secara material dan struktural membutuhkan sebuah perubahan di dalam hidupnya. Hal ini bukan berarti bahwa gereja kemudian hanya sekedar memberikan bantuan (alat pancing) kepada mereka (masyarakat miskin)
U
dan kemudian meninggalkan mereka. Hal tersebut hanya akan memunculkan sebuah ketergantungan yang dapat menyebabkan masyarakat miskin tidak dapat mandiri. Akan tetapi, gereja dipanggil untuk menjadikan mereka (masyarakat miskin) sebagai rekan
IK
sekerja dalam diakonia yang dilaksanakan.
M IL
Diakonia yang dilaksanakan di gereja jangan sampai terjebak pada suatu konsep bekerja untuk orang miskin melainkan haruslah mengarah pada konsep bekerja bersama orang miskin. Konsep bekerja bersama orang miskin ini tentu saja berangkat dari dasar solidaritas yang mempunyai pengertian tidak terbatas pada pemberian melainkan solidaritas di sini berarti tindakan yang didorong oleh keharusan untuk berbuat semaksimal mungkin demi menolong orang lain tanpa harus mempunyai terlebih dahulu untuk kemudian diberikan. Walaupun demikian, gereja-gereja di Indonesia sebagian besar telah memiliki kesadaran bahwa pelayanan diakonia harus bersifat transformatif dan tidak boleh dipandang sebelah mata, karena pelayanan ini merupakan bagian holistik dari kesaksian Gereja tentang karya pemulihan Allah bagi dunia. Dalam penerapannya, diakonia transformatif masih banyak menghadapi kendala baik dalam konsep maupun praktiknya. Diakonia
transformatif memerlukan komitmen, motivasi, serta teknik yang memadai bagi pelaksanaannya. GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta Dengan bersumber pada Alkitab dan dalam ketaatan kepada Roh Kudus yang menghendaki agar pelayanan Gereja berlangsung dengan tertib dan teratur (1 Kor 14 : 40, 44), tersusun rapi (Efesus 4 : 16) serta dilatarbelakangi oleh sejarahnya, maka GPIB menata kelembagaannya serta penyelenggaraan pelayanannya dengan sistem Presbiterial Sinodal.
W
Cara penatalayanan dengan sistem Presbiterial Sinodal selalu menekankan : 1. Penetapan kebijakan oleh para Presbiter atas dasar permusyawaratan melalui
KD
Persidangan Sinode GPIB, yang pelaksanaannya dijabarkan dalam Sidang Majelis Sinode (tingkat sinodal) dan Sidang Majelis Jemaat (tingkat jemaat). 2. Hubungan yang dinamis antara Majelis Sinode dan Majelis Jemaat maupun di
U
antaranya.
IK
3. Pelaksanaan pelayanan dan pengelolaan sumber daya gereja bersama dan bertanggungjawab di seluruh jajaran GPIB.
M IL
Bertolak dari pemahaman ini, maka penyelenggaraan pelayanan secara Presbiterial Sinodal hendaknya menjadi tanggung jawab bersama para Presbiter atas kehidupan lembaga GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta berdasarkan karunia dan talenta yang dipercayakan kepadanya. Keteraturan merupakan sebuah ciri khas dari setiap kegiatan yang dilaksanakan di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta. Di dalam keteraturan yang demikian dijelaskan di atas, mungkinkah diakonia transformatif dilaksanakan dalam kegiatan diakonia di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta yang menggunakan sistem Presbiterial Sinodal?
Dari penjelasan di atas, penyusun di dalam penulisan skripsi ini memiliki fokus permasalahan sebagai berikut : -
Apakah konsep diakonia yang digunakan di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta?
-
Bagaimana GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta menyusun dan melaksanakan program diakonia?
-
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kegiatan diakonia di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta? Model diakonia manakah yang dilaksanakan di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta?
W
-
KD
C. Batasan Permasalahan
Batasan permasalahan yang menjadi suatu acuan dalam penulisan skripsi ini adalah
-
U
sebagai berikut :
Kemiskinan yang menjadi fokus perhatian penulis adalah kemiskinan yang terjadi di
-
IK
daerah pelayanan GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta. Gereja yang menjadi sumber informasi penyusun dalam pengumpulan data adalah
-
M IL
GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta.
Diakonia yang akan diamati dalam penelitian oleh penyusun dalam rangka
pengumpulan data mengambil kegiatan diakonia yang dilaksanakan GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta dengan menggunakan penelitian lapangan dengan metode qualitatif.
D. Tujuan Penulisan Adapun tujuan daripada penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : - Menggambarkan diakonia yang dilaksanakan oleh GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta.
- Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegiatan diakonia di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta. - Melihat model diakonia yang dilaksanakan di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta. - Memberikan suatu usulan bagi GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta dalam pelaksanaan diakonia ke depannya. - Untuk memenuhi seluruh persyaratan dari program studi dalam memperoleh gelar
W
Sarjana Teologia di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
E. Judul
KD
Dalam penulisan skripsi ini, penyusun memilih judul :
U
“Diakonia GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta”
IK
(Studi Teologis tentang Diakonia dalam Wilayah Pelayanan
M IL
GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta)
Penyusun memilih judul ini dikarenakan penyusun melihat bahwa kemiskinan merupakan suatu pembahasan yang menarik dan aktual. Tulisan ini merupakan sesuatu yang menarik karena merupakan bentuk perhatian penyusun terhadap perkembangan kemiskinan yang demikian pesat dan belum secara maksimal mendapat perhatian oleh gereja. Selain itu, kemiskinan merupakan suatu tantangan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan sehingga membutuhkan peran aktif gereja sebagai “tangan” Tuhan di dunia. Diakonia sebagai bentuk pelayanan gereja kepada masyarakat yang mengalami kemiskinan memiliki bermacam paradigma yang perlu dicermati. Oleh karena itu, penyusun menilai bahwa diakonia dan kemiskinan merupakan dua hal yang saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak dalam agenda gereja.
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan oleh penyusun dalam rangka mengumpulkan data ditempuh dengan dua cara yaitu : a. Penelitian Pustaka Metode pengumpulan data ini ditempuh dengan meneliti sumber-sumber literatur yang berhubungan dengan objek penelitian, misalnya literatur-literatur mengenai pelayanan (diakonia) dan kemiskinan.
W
b. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan yang dilaksanakan oleh penyusun menggunakan dua cara yaitu
KD
observasi dan wawancara. c. Sampel Penelitian
U
Penelitian ini dilaksanakan oleh penyusun menggunakan lingkup penelitian di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta. Penelitian ini akan menggunakan subyek penelitian salah satu bidang pelayanan yang ada dalam GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta yaitu
IK
bidang pelayanan diakonia (Bidang PELKES).
M IL
Observasi dan wawancara yang akan dilaksanakan oleh penyusun menggunakan sampel penelitian sebagai berikut : -
1 Pendeta
-
5 Majelis Jemaat
-
5 Komisi Diakonia
-
10 Anggota Jemaat
d. Fokus Penelitian Fokus dalam penelitian ini adalah proses kegiatan diakonia yang dilaksanakan di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta. Dari fokus penelitian tersebut, penyusun akan meneliti permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan fokus penelitian antara lain :
-
Faktor-faktor input yang meliputi konteks lokal jemaat (kondisi geografis gereja, sejarah gereja, tradisi gerejawi, dan faktor-faktor pendukung serta penghambat dari kegiatan diakonia yang dilaksanakan) dan konteks masyarakat (kemiskinan).
-
Proses pembuatan dan pelaksanaan program diakonia di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta.
-
Model Diakonia yang digunakan di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta.
W
G. Sistematika Penulisan
berikut : PENDAHULUAN
U
BAB I
KD
Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan suatu sistematika penulisan sebagai
Pada bagian ini berisi mengenai hal-hal yang mendasari penulisan skripsi ini. Hal-hal tersebut meliputi latar belakang permasalahan, fokus
IK
permasalahan, batasan permasalahan, rumusan judul, tujuan penulisan,
M IL
metode yang digunakan dalam penulisan skripsi dan sistematika penulisan. BAB II
DIAKONIA GEREJA Pada bagian ini, penyusun pertama-tama akan memaparkan gambaran pengertian gereja secara umum kemudian penyusun juga akan memaparkan diakonia secara umum dan yang terdapat dalam Alkitab.
BAB III
DIAKONIA GPIB “MARGA MULYA” YOGYAKARTA Pada bagian ini, penyusun akan memaparkan gambaran diakonia yang dilaksanakan di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta beserta hasil observasi dan wawancara yang dilaksanakan kemudian penyusun akan memberikan suatu analisa secara kritis berdasarkan data-data dari hasil penelitian data gereja maupun penelitian lapangan yang sudah digambarkan pada bagian sebelumnya.
BAB IV
PENUTUP Pada bagian akhir ini, penyusun akan merumuskan suatu kesimpulan dari hasil analisa yang telah dilakukan dan kemudian penyusun akan memberikan suatu saran bagi pengembangan diakonia di GPIB “Marga Mulya” Yogyakarta.
M IL
IK
U
KD
W