BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat penting dalam hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri. Untuk menemukan suatu kebenaran dalam suatu perkara, pembuktian adalah cara paling utama yang digunakan hakim untuk menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan atau memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. Berbeda dengan pembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana
sudah
dimulai
dari
tahap
pendahuluan,
yakni
penyelidikan
dan
penyidikan.Ketika pejabat penyidik pada saat mulai mengayuhkan langkah pertamanya dalam melakukan penyidikan maka secara otomatis dan secara langsung sudah terikat dengan ketentuan-ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah adalah mengumpulakan bukti-bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang
1 Universitas Sumatera Utara
2
terjadi. Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus sebagai tersangka, setidak-tidaknya penyidik harus menguasai alat pembuktian yang disebut sebagai bukti permulaan.Jadi, meskipun kegiatan upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidikan. Penyidik yang melakukan penyidikan kurang memahami atau tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dilakukan akan mengalami kegagalan dalam upaya untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya kegagalan dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, maka sebelum penyidik menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan seharusnya sejak awal sudah harus memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan pengertian dan fungsi dari setiap sarana pembuktian, seperti yang diatur dalam pasal 116 sampai dengan pasal 121 KUHAP tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeriksaan saksi dan tersangka dalam penyidikan. KUHAP mengatur tata cara pemeriksaan saksi dan tersangka dipenyidikan guna pemeriksaan saksi di kepolisan berjalan dengan baik sehingga tidak merugikan hak-hak terdakwa dan saksi. Sehingga berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian memuat keterangan saksi dan terdakwa sesuai dengan yang saksi dan tedakwa nyatakan berdasarkan kemauan mereka, tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Universitas Sumatera Utara
3
Saksi sebagai orang yang memberikan keterangan berdasarkan peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sangat diperlukan keterangannya dalam proses pembuktian. Keterangan saksi yang diberikan kepada penyidik harus bebas dari tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 KUHAP). Keterangan saksi dicatat oleh penyidik dalam berita acara pemeriksaan yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan (bukan dengan mengingat sumpah jabatan) kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik dan saksi yang memberikan keterangan setelah ia menyetujui isinya (Pasal 75 jo 118 ayat (1) KUHAP). Dalam hal saksi tersebut tidak mau membubuhkan tanda tangannya maka penyidik tidak perlgu memaksa, akan tetapi cukup memberikan catatan dalam BAP disertai dengan alasannya 1. Keterangan saksi di penyidikan sangat penting untuk proses pembuktian dalam persidangan, karena dari BAP kepolisian (berkas perkara) dan kemudian oleh penuntut umum dimuat dalam dakwaannya, menjadi pedoman dalam pemeriksaan sidang. Hakim mempertimbangkan berita acara pemeriksaan di penyidikan yang dilanjutkan kepada dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan keterangan yang diberikaan oleh saksi secara langsung di persidangan.Apakah keterangan di penyidikan sesuai dengan keterangan saksi di persidangan dan sebagai penambah keyakinan hakim dalam membuat putusan terhadap perkara tersebut.Jika keterangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam bekas perkara, hakim
1
HMA Kuffal,SH, penerapanKUHAP dalam praktik, Umm Press, Malang, 2008, hal 176
Universitas Sumatera Utara
4
ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan (Pasal 163 KUHAP). Dalam pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim tersebut memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya maka hakim tidak akan memutuskan penjatuhan pidana terhadap terdakwa. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dapat disimpulkan bahwa “keyakinan hakim” mempunyai fungsi yang lebih dominan dibanding keberadaan alat-alat bukti yang sah. Meskipun tampak dominaan, namun hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa hanya berdasarkan pada keyakinan saja.Karena keyakinan hakim itu harus didasarkan dan lahir dari keberadaan alat-alat bukti yang sah dalam jumlah yang cukup (minimal dua) 2. Menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah adalah : 1. keterangan saksi, 2. keterangan ahli, 3. surat, 4. petunjuk, 5. keterangan terdakwa. Keterangan saksi adalah alat bukti yang utama dalam perkara pidana, hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan 2
Ibid, hal 35
Universitas Sumatera Utara
5
saksi.Meskipun yang dimintai keterangannya oleh hakim dalam persidangan adalah keterangan terdakwa, namun dalam hirarki alat-alat bukti yang sah keterangan saksi (terutama saksi korban) dianggap yang pertama, karena keterangan saksi adalah keterangan yang disampaikan oleh orang yang mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan dimuka sidang pengadilan. Dengan kata lain hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Lalu bagaimana jika saksi tidak dapat hadir kepersidangan untuk memberikan keterangan terhadap apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami? Karena saksi tidak dapat hadir ke persidangan untuk memberikan keterangan, maka keterangan saksi di penyidikan atau keterangan saksi dalam berita acara penyidikan kepolisian dibacakan di depan sidang. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kedudukan keterangan saksi di penyidikan yang dibacakan di depan sidang pengadilan itu sebagai alat bukti mengingat Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan. Kedudukan sebagai saksi merupakan kewajiban bagi setiap orang.Karena begitu besarnya peranan saksi dalam pembuktian perkara pidana maka undang undang mewajibkan kepada setiap orang untuk menjadi saksi untuk mengungkap suatu tindak pidana. Karena itu saksi yang dipanggil kepersidangan wajib memenuhi panggilan itu dan jika ia menolak untuk memenuhi panggilan atau memberikan
Universitas Sumatera Utara
6
keterangan di muka sidang pengadilan ia dapat dituntut dan diancam pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan untuk perkara pidana, dan dalam perkara lain diancam pidana selama 6 (enam) bulan, (Pasal 224 KUHP). Dalam praktik, sering dijumpai tidak hadir atau tidak dipangginya saksi untuk memberikan keterangan di muka sidang.Saksi tidak hadir dipersidangan dan tidak dilakukan pemanggilan karena alasan tertentu seperti meninggal dunia, karena berhalangan yang sah, tidak dipanggil karena jauh kediamannya, karena tugas negara maka keterangan yang telah diberikan (kepada penyidik) dibacakan di persidangan (Pasal 162 ayat (1) KUHAP). Lalu bagaimana kekuatan pembuktian yang disebutkan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di muka sidang? Mengenai hal ini M. Yahya Harahap menyatakan bahwa keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan, dalam hal ini undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai pembuktian yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang dibacakan pada sidang pengadilan. Namun demikian, kalau bertitik tolak dari ketetntuan Pasal 162 ayat (2) dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7), nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi
yang
dibacakan
di
sidang
pengadilan,
sekurang-kurangnya
dapat
“dipersamakan” dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan tanpa disumpah. Jadi sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti.Tetapi nilai pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim.
Universitas Sumatera Utara
7
KUHAP memberikan alternatif terhadap permasalahan keterangan saksi di penyidikan agar menjadi alat bukti yang sah.Karena dalam praktik yang terjadi dalam peradilan, dimungkinkan saksi tidak dapat hadir dan memberikan keterangan langsung di hadapan majelis hakim.Maka terhadap hal seperti ini hakim dapat menjadikan keterangan saksi di penyidikan (keterangan dalam berita acara pemeriksaan) yang dibacakan di persidangan sebagai alat bukti yang sah.Untuk menjadikannya sebagai alat bukti, tentunya ada syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi tersebut menjadi alat bukti, yaitu keterangan saksi di penyidikan harus dilakukan di bawah sumpah. Permasalahan seperti ini, telah dilaksanakan oleh hakim Pengadilan Negeri Stabat yang memutus perkara dengan terdakwa Mbantu Sembiring dengan Nomor Register 752/Pid.B/2012/PN.Stb yang menjadi kasus dalam tulisan ini. Penulis mencoba menyajikan pembahasan tentang bagaimana Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, khususnya terhadap alat bukti keterangan saksi.Oleh karena itu, penulisan skripsi ini diberi judul “Kedudukan Keterangan Saksi di Penyidikan Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Persidangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/Pid.B/2012/PN.Stb)”.
Universitas Sumatera Utara
8
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah penerapan hukum pembuktian dalam hukum acara pidana? 2. Bagaimanakah kedudukan keterangan saksi sebagai alat bukti dalam KUHAP? 3. Bagaimanakah kedudukan keterangan saksi dalam BAP kepolisian sebagai alat bukti yang sah di persidangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. untuk mengetahui sistem pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia; 2. untuk mengetahui bagaimana kedudukan saksi sebagai alat bukti dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Piadana; 3. untuk mengetahui kedudukan keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1. secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian maupun masukan terhadap pemahaman mengenai ketentuan hukum
Universitas Sumatera Utara
9
pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia terutama tentang kedudukan keterangan saksi di penyidikan sebagai alat bukti yang sah dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. 2. secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan referensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi mengenai hukum pembuktian khususnya tentang kedudukan keterangan saksi di penyidikan sebagai alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka skripsi yang berjudul “Kedudukan Keterangan Saksi di Penyidikan Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Persidangan (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Stabat
No.752/ Pid.B/ 2012/ PN.Stb)” belum pernah diajukan. Oleh karena itu, maka penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.
E. Tinjauan kepustakaan 1. Pengertian saksi Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat,
Universitas Sumatera Utara
10
dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi memiliki enam pengertian, yaitu : a. saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian. b. saksi adalah orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. c. saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa. d. saksi adalah keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui. e. saksi diartikan sebagai bukti kebenaran. f. saksi adalah orang yang dapat diberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tertentu suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri. 3 Dalam Kamus Hukum, saksi diartikan sebagai seseorang yang mengalami, melihat sendiri, mendengar, merasakan sesuatu kejadian dalam perkara pidana. 4 Jadi bila dilihat perbandingan antara penegertian saksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan pengertian saksi dalam kamus hukum, dapat dikatakan pengertian saksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lebih luas daripada Kamus Hukum. 3 4
Eddy O.S. Hiriej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, hal 55 Ibid, hal 56
Universitas Sumatera Utara
11
2. Pengertian Penyidikan Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP memberi defenisi penyidikan yaitu “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencarai serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” 5 Penyidik yang dimaksud dalam defenisi penyidikan adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) atau pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir 1 KUHAP). Sesuai dengan perumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, maka sasaran atau target tindakan penyidikan adalah mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang/ jelas sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya. 6 Disamping penyidik polri, penyidik pegawai negeri sipil, ada juga penyidik jaksa yang bertugas untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia.Selain itu juga demi terlaksannaya hukum acara pidana yang efektif. Bagianbagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut: 5 6
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 120 HMA Kuffal, Op. Cit. hlm.53,
Universitas Sumatera Utara
12
a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. b. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik. c. Pemeriksaan ditempat kejadian. d. Pemanggilan tersangka dan terdakwa. e. Penahanan sementara. f. Penggeledahan. g. Pemeriksaan atau interogasi. h. Berita acara ( penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). i. Penyitaan. j. Penyampingan perkara. Sebelum dilakukan penyidikan, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebgai tindak pidana guna menemukan suatu peristiwa yang diduga sebgaai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 5 KUHAP). Penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, melainkan merupakan
sub
fungsi
dan
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
fungsi
penyidikan.Dengan adanya tahapan tindakan penyelidikan sebelum dilakukan tindakan penyidikan sebagaimana diatur dalam KUHAP yang berlaku sekarang ini dikandung maksud agar aparat penyidik dalam menggunakan kewenangan upaya
Universitas Sumatera Utara
13
paksa lebih berhati-hati dan menghindarkan diri dari cara-cara yang menjurus kepada tindakan pemerasan pengakuan tersangka daripada upaya menemukan alat-alat bukti yang sah. Dengan demikian apakah akan dilakukannya penyidikan atau tidak terhadap suatu tindak pidana ditentukan oleh hasil penyelidikan. Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan
dan
memberi
pembuktian-pembuktian
mengenai
kesalahan
yang
dilakukannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penyidik akan menghimpun keterangan sehubungan dengan fakta-fakta tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. 7 Keterangan-keterangan yang dihimpun tersebut adalah mengenai: a. fakta tentang terjadinya suatu kejahatan b. identitas dari korban c. tempat diamana telah terjadi kejahatan d. bagaiamana kejahatan itu dilakukan e. waktu terjadinya kejahatan f. apa yang menjadi motif, tujuan, serta niat, dan g. identitas pelaku kejahatan. Dimulainya penyidikan adalah ketika digunakannya upaya paksa dalam rangka penyidikan suatu tindak pidana.Sejak saat telah dimulainya penyidikan itulah timbul kewajiban penyidik untuk memberitahukan tentang telah dimulainya suatu
7
Gerson W. Bawengan, Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, hal 19
Universitas Sumatera Utara
14
penyidikan atas suatu tindak pidana kepada penuntut umum. 8Setelah disampaikannya pemberitahuannya kepada penuntut umum, maka dengan otomatis telah terjalin hubungan koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum.Tidak dapat dipungkiri, jaksa penuntut umum sangat butuh informasi-informasi dari hasil penyidikan untuk keperluan dakwaan bahkan sampai tahap tuntuan dalam persidangan.
3. Pengertian Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa. 9 Selain itu, alat bukti dapat didefenisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan. 10 Mengenai apa saja yang termasuk alat bukti, masing-masing hukum acara suatu peradilan akan mengaturnya secara rinci dan berbeda antara satu dengan lainnya. Misalnya, alat-alat bukti dalam hukum acara pidana berbeda dengan alat bukti dalam hukum acara perdata.
8
104
Harun M.Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, 1991, hal
9
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 11 10 Eddy O.S. Hiariej, Op Cit, Hal 52
Universitas Sumatera Utara
15
Andi Hamzah menyatakan alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atu dalam pidana perkara dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara pidana termasuk persangkaan dan sumpah. 11 Menurut pendapat Colin Evansdalam konteks teori, wujud bukti dapat beraneka ragam seperti saksi mata, ahli, dokumen, sidik jari, DNA, dan lain sebagainya.Apa pun bentuknya, Colin Evans membagi bukti dalam dua kategori, yaitu bukti langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (circumtantial evidence). Kendatipun demikian, dalam konteks persidangan pengadilan tidak ada pembedaan antara bukti langsung dan bukti tidak langsung, namun kekuatan pembuktian pembedaan tersebut cukup signifikan.Terkait dengan bukti langsung dan tidak langsung, Phyllis B. Gerstenfeld membedakan, bukti langsung adalah bukti yang cenderung menunjukkan keberadaan fakta tanpa bukti tambahan.Sementara itu, bukti tidak langsung adalah bukti yang membutuhkan pembuktian lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan atas bukti tersebut. 12 Alat bukti mempunyai peranan yang sangat penting dalam persidangan.Salah satu ketentuan dalam sistem hukum acara pidana di negara-negara modern sekarang ini, termasuk juga hukum acara pidana di Indonesia, bahwa untuk menghukum
11
1996, hal 2 12
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Eddy O.S. Hiariej, Op Cit, hal 52
Universitas Sumatera Utara
16
seseorang haruslah didasarkan pada adanya alat-alat bukti.Berdasarkan alat-alat bukti tersebut, hakim sebagai pemutus perkara pidana dapat menyimpulkan tentang kesalahan terdakwa dan menjatttuhkan hukuman (pidana) terhadapnya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.
F. Metode Penelitian Metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan. 13Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. 14 Sehubung
13
http://asep-solihin.blogspot.com/2012/11/metode-penelitian-2html, diakses tanggal 25 Februari 2014, pukul 13.30 WIB. 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta 1984, hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
17
dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif), dengan cara melakukan penelitian terhadap pustaka (library research). Selain itu untuk mendukung data penulis juga menggunakan metode penelitian empiris. Metode ini dilakukan dengan melakukan wawancara kepada hakim yang memberikan putusan dalam kasus ini. 2. Jenis Data dan Sumber Data a. Jenis Data Penelitian skripsi ini menggunakan jenis data sekunder.Data sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer. b. Sumber Data Sumber data sekunder ini mencakup tiga bahan hukum, yaitu : 1) Bahan hukum primer adalah bahan tulisan yang berupa undang-undang, di mana dalam penulisan ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang Hukum Pidana. 2) Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang diperoleh berasal dari buku, jurnal, artikel, skripsi, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasilhasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum.
Universitas Sumatera Utara
18
3) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus kamus bahasa dan kamus hukum yang relevan dengan skripsi ini. 3. Alat Pengumpulan Data Penelitian skripsi ini menggunakan analisis kasus berdasarkan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti untuk kemudian dikaji sebgai suatu kesatuan yang utuh juga melakukan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan buku-buku atau literatur-literatur yang berkenaan dengan materi skripsi. 4. Analisis Data Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif.Metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasakan sumber-sumber hukum dan doktrin yang ada, bukan dari segi kuantitas kesamaan data yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan penjelasan mengenai proses pemeriksaan saksi di pengadilan, serta pemaparan mengenai pertimbangan hakim dalam meringankan dan memberatkan terdakwa dalam putusannya.
Universitas Sumatera Utara
19
G. Sistematika Penulisan Seluruh uraian yang ada dalam skripsi ini disusun secara sistematis yang terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang akan memudahkan pembaca dalam membaca dan memahami isi skripsi ini.
BAB I :
PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakng masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II:
SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian, asas, dan tujuan dalam hukum acara pidana, pengertian hukum pembuktian, teori-teori pembuktian, macam-macam alat bukti menurut KUHAP, serta tujuan pembuktian.
BAB III:
KEDUDUKAN
KETERANGAN
SAKSI
SEBAGAI
ALAT
BUKTI Dalam bab ini diuraikan mengenai syarat-syarat menjadi saksi, jenisjenis saksi, serta tata cara pemeriksaan saksi dipersidangan.
Universitas Sumatera Utara
20
BAB IV:
KEDUDUKAN
KETERANGAN
SAKSI
DI
PENYIDIKAN
SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PERSIDANGAN DALAM PUTUSAN NO.752/PID.B/2012/PN.STB Bab ini diuraikan tentang kedudukan keterangan saksi dalam penyidikan yang dijadikan bukti yang sah dalam persidangan, serta pertimbangan hakim dalam menentukan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa pelaku tindak pidana pemerkosaan di Pengadilan Negeri Negeri Nomor 752/PID.B/2012/PN.STB
BAB V:
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini adalah bagian penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta saran yang penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami topik yang telah dibahas yaitu mengenai kedudukan keterangan saksi di penyidikan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan (Studi putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/PID.B/2012/PN.STB)
Universitas Sumatera Utara