BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus pidana pembicaraan mengenai hukum pidana pun semakin menjadi sorotan. Salah satu kasus pidana yang jumlahnya mengalami peningkatan adalah tindak pidana narkotika. Pelaku tindak pidana narkotika tidak terbatas pada umur, jenis kelamin maupun tingkat strata sosial. Peningkatan tindak pidana narkotika ini ternyata disertai dengan penggunaan modus operandi yang semakin canggih sehingga, membuat para pembentuk undang-undang merasa perlu membentuk undang-undang baru yang mengatur tentang narkotika. Pada tahun 2009 telah dibentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika karena, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana narkotika yang semakin marak. Sejak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berlaku maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
1
tentang Narkotika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 153 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan: a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut undang-undang ini, Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.1 Pasal 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di atas tidak hanya menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku tetapi, Pasal 153 huruf b tersebut telah menyatakan pula jenis psikotropika golongan I dan golongan II dipindahkan menjadi narkotika golongan I sehingga lampiran psikotropika golongan I dan golongan II dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Tindak pidana narkotika termasuk dalam tindak pidana khusus oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga merupakan undang-undang pidana khusus yang dalam penerapannya berlaku berdasarkan asas lex specialis derogate legi generalis yang artinya, undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum. dasar hukum asas ini adalah Pasal 1
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XVII, Pasal 153.
2
103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya kita sebut dengan KUHP, Pasal 103 KUHP tersebut menyatakan, “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.2 Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur pada Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Jenis-jenis pidana yang diancamkan pada pasal-pasal tersebut meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Jenis-jenis pidana tersebut dirumuskan dalam beberapa bentuk akan tetapi yang paling banyak adalah bentuk kumulatif antara pidana penjara dan pidana denda. Di Pengadilan Negeri Purwokerto terdapat suatu putusan tentang kasus tindak pidana narkotika dengan Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. pada amar putusan tersebut hakim menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda sebesar Rp 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan, apabila terpidana tidak mampu membayar maka pidana denda diganti dengan pidana penjara selama empat bulan. Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur pada Pasal 148 yang menyatakan, “Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana 2
Moeljatno, KUHP, Bab IX, Pasal 103.
3
Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar”.3 Hakim dalam memutus harus memperhatikan nilai kepastian, keadilan, dan kemafaatan karena peranan hakim adalah sebagai penegak hukum dan keadilan. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Penjatuhan pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tersebut telah membuat
penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian
yang
berjudul,
TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN PIDANA PENJARA SEBAGAI PENGGANTI
PIDANA
DENDA
(Studi
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.). B. RUMUSAN MASALAH Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
3
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XV, Pasal 148.
4
1.
Apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda dalam Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.?
2.
Bagaimana efektivitas ancaman pidana denda yang dialternatifkan dengan pidana penjara pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.?
C. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan rumusan masalah maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara pengganti pidana denda pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
2.
Untuk mengetahui bagaimana efektivitas ancaman pidana denda yang dialternatifkan dengan pidana penjara pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
D. KEGUNAAN PENELITIAN 1.
Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan hukum pada bidang pidana berkenaan dengan tindak pidana narkotika,
khususnya
mengenai
pertimbangan
hukum
hakim
dalam
5
menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda; dan mengenai efektivitas ancaman pidana denda yang dialternatifkan dengan pidana penjara pada suatu putusan hakim. 2.
Kegunaan Praktis Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan bagi penegak hukum mengenai ilmu hukum pidana yang telah diperoleh dalam teori dengan kenyataan yang ada dalam praktik; dan memberikan masukan bagi para penegak hukum dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TINDAK PIDANA 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yakni strafbaar feit. Ada pun sebagian ahli hukum yang menerjemahkan strafbaar feit ini dengan istilah lain selain tindak pidana seperti Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, E. Utrecht dalam bukunya “Sari Kuliah Hukum Pidana I” menggunakan istilah “peristiwa pidana”, dan Sudarto menggunakan istilah “delik”. Pengertian tindak pidana atau strafbaar feit banyak dikemukakan oleh para ahli hukum, yang mana pengertian tersebut dibagi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis cenderung tidak memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility sedangkan, pandangan dualistis cenderung memisahkan secara tegas antara criminal act dan criminal responsibility. Criminal act adalah perbuatan yang dilarang dengan sanksi ancaman pidana, unsurnya terdiri dari: perbuatan manusia, memenuhi rumusan undang-undang, dan bersifat melawan hukum.
7
Criminal responsibility adalah dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat atas perbuatannya, unsurnya terdiri dari: kemampuan bertanggung jawab dan kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Para ahli hukum yang memiliki pandangan monistis diantaranya adalah J.E. Jonkers, menurut Beliau, “Peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.4 Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia” mengemukakan, “Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya
dapat
dikenakan
hukuman
pidana”.5
Menurut
H.J.
Schravendijk, “Perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehinggga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan”.6 Simons secara lebih lanjut mengemukakan, “Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.7
4
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 75. 5 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, 1981, hlm. 50. 6 Adami Chazawi, Loc.Cit., hlm. 75. 7 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 1982, hlm. 38.
8
Para ahli hukum yang memiliki pandangan dualistis diantaranya adalah Moeljatno, Beliau mengemukakan, “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. 8 Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali mengemukakan, “Perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang”. 9 Menurut Pompe, “Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 10 Hampir senada dengan pendapat Pompe, menurut H.B. Vos, “Starfbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. 11 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana dalam tataran teoritis dibagi menjadi dua pandangan yaitu, pandangan monistis dan pandangan dualistis. Dua pandangan tersebut sesuai dengan dua pandangan mengenai pengertian tindak pidana oleh karena itu, penjabaran unsur-unsur tindak pidana dalam hal ini tidak terlepas dengan pengertian tindak pidana yang telah dikemukakan. Misalnya, tokoh aliran pandangan monistis diantaranya adalah Jonkers, Schravendijk, dan Simons, sesuai
8 9
10 11
Ibid., hlm. 37. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, dalam Mahrus Ali, DasarDasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 98. Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 72. Ibid.
9
dengan pengertian tindak pidana yang telah dikemukakan oleh mereka maka unsur-unsur tindak pidana terdiri dari: Jonkers a. Perbuatan (yang); b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan); c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang); d. Dipertanggungjawabkan. 12 Schravendijk a. b. c. d. e.
Kelakuan (orang yang); Bertentangan dengan keinsyafan hukum; Diancam dengan hukuman; Dilakukan oleh orang (yang dapat); Dipersalahkan/ kesalahan. 13
Simons 1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan), 2. Diancam dengan pidana (straafbaar gesteld), 3. Melawan hukum (onrechtmatig), 4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand), 5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar person).14
12 13 14
Ibid., hlm. 81. Ibid. Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Universitas Diponegaoro, Semarang. 1990, hlm. 41.
10
Tokoh aliran dualistis diantaranya adalah Moeljatno dan H.B. Vos, sesuai juga dengan pengertian tindak pidana yang telah dikemukan oleh mereka maka unsurunsur tindak pidana terdiri dari: Moeljatno a. Perbuatan (manusia); b. Yang memenuhi rumusan undang-undang (ini merupakan syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). 15 H.B. Vos a. Kelakuan manusia; b. Diancam dengan pidana; c. Dalam peraturan perundang-undangan.16 Unsur-unsur tindak pidana dalam tataran undang-undang yakni dalam KUHP pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam yaitu, unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
15 16
Ibid., hlm. 43. Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 80.
11
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); b. Maksud atau voornomen pada suatu percobaan atau poeging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP; c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtetlijkheid; b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.17 B. TINDAK PIDANA NARKOTIKA 1. Istilah dan Pengertian Narkotika Istilah narkotika biasanya disamakan dengan drug, hal ini sejalan dengan pendapatnya Soedjono Dirdjosisworo yang mengemukakan bahwa: Istilah narkotika disini bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan drug, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu: a. Mempengaruhi kesadaran; b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia; 17
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 193-194.
12
c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa; 1) Penenang; 2) Perangsang (bukan rangsangan seks); 3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).18 Sudarto mengemukakan, “Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani ‘narke’, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa”.19 Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya yang berjudul “Segi Hukum tentang Narkotika Di Indonesia” mengemukakan: Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit, dan lain-lain. 20 Smith Kline dan Frech Clinical Staff sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso mengemukakan: Narcotics are drugs which product insensibility or stuporduce to their depresant offer on the central nervous system, included in this definition are ophium-ophium derivativis (morphine, codein, methadone). Artinya lebih kurang ialah: Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja 18
19 20
Soedjono Dirdjosisworo, Segi Hukum tentang Narkotika Di Indonesia, PT. Karya Nusantara, Bandung, 1976, hlm. 14, dalam Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, 2005, hlm. 17. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 36. Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 3.
13
mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone).21 Merriam Webster sendiri sebagaimana dikutip oleh A.R. Sujono dan Bony Daniel menyatakan: 1) A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dull the senses, relieves pain, and induces profound sleep but in excessive doses causes stupor, coma, or convulsions; Sebuah obat (seperti opium atau morfin) yang dalam dosis tertentu dapat menumpulkan indera, mengurangi rasa sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis berlebihan menyebabkan pingsan, koma, atau kejang; 2) A drug (as marijuana or LSD) subject to restriction similar to that of addictive narcotics whether physiological addictive and narcotic or not; 3) Something that shootes, relieves, or lulls (untuk menenangkan).22 Pembentuk undang-undang secara lebih lanjut merumuskan pengertian narkotika dalam undang-undang yang mengatur tentang narkotika, sebagaimana pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 23
21
22
23
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Mukshin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, dalam Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Op.Cit., hlm. 18. AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab 1, Pasal 1 Ayat (1).
14
Rumusan pengertian narkotika dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di atas, membagi narkotika berdasarkan proses pembuatannya menjadi narkotika sintetis dan narkotika semisintetis. Narkotika sintetis atau buatan adalah narkotika yang dihasilkan melalui proses kimia secara farmakologi yang sering disebut dengan istilah NAPZA, yaitu kependekan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya.24 Narkotika sintetik diantaranya pethidine (demerol), methadone, LAM (methadyl acetace), dan lainlain. 25 Narkotika semisintetis adalah narkotika yang diproses sedemikian rupa melalui proses fermentasi, diantaranya heroin, dicodid, metopon, dan lain-lain. 26 2. Penyalahgunaan Narkotika Di Indonesia narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut maka dikategorikan sebagai penyalahgunaan narkotika. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Soedjono Dirdjosisworo yang mengemukakan bahwa, “Pemakaian di luar pengawasan dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara”. 27
24 25
26 27
Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Op.Cit., hlm. 25. M. Wresniwiro dkk, Masalah Narkotika & Obat Berbahaya, Yayasan Mitra Bintibmas, Jakarta, 2000, hlm. 44. Ibid. Soedjono Dirdjosisworo, Loc.Cit., hlm. 3.
15
Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam pendapat Soedjono Dirdjosisworo di atas tidak lain adalah hukum narkotika yang sarat dengan perkembangan zaman, yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penyalahgunaan narkotika dilakukan oleh orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Pasal 1 angka 15 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebut orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum ini sebagai penyalah guna. Dadang Hawari mengemukakan bahwa penyalah guna narkotika dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu : a. Mereka yang sudah mengidap ketergantungan primer, yaitu ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian yang tidak stabil; b. Mereka yang sudah ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang yang dengan kepribadian psikopatik (anti sosial), kriminal dan pemakaian narkotika untuk kesenangan semata; c. Mereka yang sudah ketergantungan reaktif, yaitu terutama terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan serta tekanan teman kelompok sebaya (peer group pressure).28 Penyalahgunaan
narkotika
oleh
penyalah
guna
menurut
Sudarsono
dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, antara lain: a. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut di jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita dan lain-lain; b. Menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum maupun instansi tertentu; 28
Dadang Hawari, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Dana Bakti Primayasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 102.
16
c. Mempermudah penyaluran perbuatan seks; d. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional; e. Berusaha agar menemukan arti daripada hidup; f. Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan; g. Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah; h. Mengikuti kemauan teman dan pergaulan tata lingkungan; i. Hanya sekedar ingin tahu atau iseng. 29 Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana yang disebut dengan tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika merupakan istilah teknis yuridis yang digunakan oleh pembentuk undang-undang sebagai bentuk penegasan sikapnya dalam menggunakan istilah. Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky mengemukakan bahwa bentuk umum tindak pidana narkotika ada tiga, yaitu: a. Penyalahgunaan/ melebihi dosis; Hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan di atas. b. Pengedaran narkotika; Karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional. c. Jual beli narkotika. Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materiil, namun ada juga untuk motivasi mencari kepuasan. 30 Tiga bentuk umum tindak pidana narkotika sebagaimana dikemukakan oleh Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky di atas bisa menjadi salah satu sebab terjadinya tindak pidana lain seperti pembunuhan, pencurian, penodongan, pejambretan, pemerasan, pemerkosaan, penipuan, pelanggaran rambu lalu lintas,
29 30
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 67. Taufik Makarso, Suhasril dan Moh. Zakky, Op.Cit., hlm. 45.
17
pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain.31 Hal ini sebagaimana kesimpulan hasil Seminar Kriminologi Ke-II yang diadakan pada tanggal 27-30 September tahun 1972 yang menyatakan: Penyalagunaan narkotika dapat berakibat kepada: a. Individu b. Masyarakat a. Akibat terhadap individu antara lain: a) Toleransi b) Dependesi (psikis dan phisik) c) Abstinensi d) Eksalasi e) Flash back phenomena f) Demenfia g) Psikosis h) Kematian b. Akibat terhadap masyarakat antara lain: 1) Kemerosotan moral 2) Meningkatnya kecelakaan 3) Meningkatnya kriminalitas. 32 Masalah mendasar dalam tindak pidana narkotika adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak menetapkan tindak pidana narkotika sebagai pelanggaran atau kejahatan. Barda Nawawi Arief dalam hal ini mengemukakan,
“Tidak
adanya
kualifikasi
yuridis
dikhawatirkan
akan
menimbulkan masalah/kosekuensi yuridis dalam praktik, baik konsekuensi yuridis materiil maupun kosekuensi yuridis formal. 33
31 32 33
Ibid. Soedjono Dirdjosisworo, Loc.Cit., hlm. 25-26. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 196.
18
C. PIDANA 1. Istilah dan Pengertian Pidana Istilah pidana berasal dari bahasa Belanda yakni straf. Sering kali istilah ini diidentikan dengan istilah “hukuman”
yang
merupakan istilah
yang
konvensional, mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas seperti bidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Istilah pidana sendiri merupakan istilah yang inkonvensional, mempunyai arti yang lebih khusus sehingga harus ada pembatasan pengertian. Pembatasan pengertian tersebut telah dikemukakan oleh beberapa ahli hukum baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Beberapa ahli hukum yang berasal dari dalam negeri yang mengemukakan pembatasan
pengertian
pidana
diantaranya
adalah
Sudarto,
Beliau
mengemukakan, “Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (Hukum Pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa”.34 Senada dengan pendapat Sudarto yang menganggap pidana sebagai nestapa Roeslan Saleh mengemukakan, “Pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik”.35 Wirjono Projodikoro dilain kesempatan mengemukakan, “Kata ‘pidana’ berarti hal yang 34
35
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.7. Ibid., hlm. 12.
19
dipidanakan oleh instansi yang berkuasa yang dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan”. 36 Adami Chazawi secara lebih lanjut mengemukakan, “Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/ diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana”. 37 Beberapa ahli hukum yang berasal dari luar negeri yang mengemukakan pembatasan pengertian pidana diantaranya adalah Van Hamel, menurut Beliau arti pidana atau straf adalah: Een bijonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtrading, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken. Yang artinya kira-kira adalah: Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.38 Menurut Simons pengertian pidana atau straf adalah: Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verboden, data an den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd. 36 37 38
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 1. Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 24. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico Bandung, Bandung, 1984, hlm. 48.
20
Yang artinya adalah: Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi sesorang yang bersalah.39 Algra Janssen telah mengemukakan pengertian pidana atau straf sebagai: Het middle waarme de overheid, (rechter) die een ontoelaabare handeling pleegt terechtwijst of tot de orde roept. Deze reactive van de overheid of zijn handeling ontneemt de gestrafte een deel van de bescherming die hij, als hij geen delict gepleegd zou hebben, geniet t.a.v. zijn leave, zijn vrijheid, zijn vermogen. yang artinya adalah: Alat yang digunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya Ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana. 40 Pada pembatasan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas, meskipun terlihat berbeda akan tetapi pada intinya semuanya itu memiliki kesimpulan yang sama bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciriciri sebagai berikut: Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.41
39 40 41
Ibid. Ibid. Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 4.
21
2. Jenis-Jenis Pidana Jenis-jenis pidana di Indonesia telah diatur dan ditetapkan pada Pasal 10 KUHP yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Roeslan Saleh menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuat menurut beratnya pidana dan yang terberat disebut lebih depan.42 Pasal 10 KUHP menyatakan: Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda; 5) Pidana tutupan. b. Pidana tambahan: 1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim.43 Jenis-jenis pidana sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 10 KUHP tersebut di atas dapat di uraikan sebagai berikut: a. Pidana pokok 1) Pidana mati Andi Hamzah mengemukakan, “Pidana mati adalah pidana yang dijatuhkan terhadap orang yang berupa pencabutan nyawa berdasarkan 42 43
Ibid., hlm. 48. Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 10.
22
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.44 Pidana ini merupakan jenis pidana yang terberat oleh karena itu, menimbulkan pendapat pro dan kontra tergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. Kelemahan dan keberatan pidana mati ialah apabila telah dijalankan maka tidak dapat memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atau jenis pidananya, maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya/ petindaknya, maupun kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana. 45 Terkait pidana mati ini Adami Chazawi mengemukakan: Disamping itu, sesungguhnya pembentuk KUHP sendiri telah memberikan suatu isyarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah dijatuhkan. Menggunakan upaya pidana mati harus dengan sangat hatihati, tidak boleh gegabah. Isyarat itu adalah bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam dengan pidana mati selalu juga diancamkan pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu setinggi-tingginya 20 tahun.46 Nampaknya alasan pembentuk undang-undang menetapkan adanya pidana alternatif tersebut karena kejahatan yang diancam dengan pidana mati bisa saja terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu, atau faktor-faktor tertentu yang bersifat meringankan. Hakim dalam hal ini dituntut rasa keadilannya, 44 45 46
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 120. Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 29. Ibid., hlm. 31.
23
jika menurut rasa keadilannya pidana mati tidak pas untuk dijatuhkan maka dapat dijatuhkan pidana lain yang merupakan alternatifnya. Pelaksanaan pidana mati diatur pada Pasal 11 KUHP yang menyatakan, “Pidana mati dijalankan algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.47 Pada Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU Nomor 5 Tahun 1969 menetapkan pelaksanaan pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana. Pada pelaksanaan pidana mati tersebut harus diperhatikan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menyatakan, “Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati”.48 Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati ada yang terdapat di dalam KUHP dan ada pula yang terdapat di luar KUHP. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati yang terdapat di dalam KUHP diantaranya dirumuskan pada Pasal 140 ayat (3), Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, Pasal 368 jo Pasal 365 ayat (4), dan sebagainya. Adapun kejahatan-kejahatan lain yang diancam dengan pidana
47 48
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Bab II, Pasal 2.
24
mati yang terdapat di luar KUHP misalnya, dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan pada Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2) dan Pasal 133 ayat (1). 2) Pidana penjara Pidana penjara merupakan pidana yang bersifat menghilangkan dan/ atau membatasi kemerdekaan bergerak. Lamintang dalam bukunya yang berjudul “Hukum Penintensier Indonesia” mengemukakan: Yang dimaksud dengan pidana penjara itu adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.49 Saat ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya jumlah tindak pidana mengakibatkan jumlah pelaku tindak pidana meningkat pula oleh karena itu, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, terpidana yang dikenai pidana penjara tidak hanya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan saja tapi juga di Rumah Tahanan Negara.
49
Lamintang, Op.Cit., hlm. 69.
25
Pidana penjara dapat dijatuhkan seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara selama waktu tertentu batas minimumnya adalah satu hari sedangkan batas maksimumnya adalah lima belas tahun berturut-turut. Pasal 12 ayat (2) KUHP menyatakan, “Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut”.50 Batas maksimum pidana penjara selama waktu tertentu dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP tersebut ternyata bisa bertambah menjadi 20 (dua puluh) tahun berturutturut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (3) KUHP yang menyatakan: Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun beturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concurus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (L.N. 1958 No. 127).51 Pasal 12 ayat (4) KUHP secara lebih lanjut menyatakan, “Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun”.52 Ini artinya, dua puluh tahun merupakan batas paling maksimum dari pidana penjara selama waktu tertentu yang ditentukan dalam KUHP. Pidana penjara dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak kritik, secara garis besar kritik tersebut dapat dibedakan menjadi kritik moderat dan kritik 50 51 52
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 12 ayat (2). Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 12 ayat (3). Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 12 ayat (4).
26
ekstrem. Kritik moderat pada intinya masih mempertahankan pidana penjara tetapi penggunaannya dibatasi, sedangkan kritik ekstrem menghendaki penghapusan sama sekali pidana penjara.53 Kritik moderat terhadap pidana penjara dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) kritik dengan sudut yang berbeda, yaitu: a) Kritik dari sudut “strafmodus”, melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara. Jadi melihat dari sudut pembinaan/ “treatment” dan kelembagaan atau institusinya. b) Kritik dari sudut “strafmaat”, melihat dari sudut lamanya pidana penjara, khususnya ingin membatasi penggunaan pidana penjara pendek. c) Kritik dari sudut “strafsroot”, ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana penjara dilihat sebagai jenis pidana yaitu adanya kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitatif dan selektif. 54 Gerakan penghapusan pidana penjara (prison abolition) sebagai wujud kritik ekstrem terlihat dengan adanya InternationalConference of Prison Abolition (ICOPA) yang pertama pada bulan Mei tahun 1983 di Toronto (Kanada), kemudian yang kedua diadakan pada tanggal 24-27 Juni tahun 1985 di Amsterdam (Belanda), dan yang ketiga pada tahun 1987 di Montreal (Kanada) dimana istilah prison abolition diganti menjadi penal abolition. Salah satu tokoh gerakan penghapusan pidana penjara ini adalah Herman Bianchi yang mengemukakan:
53
54
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 37. Ibid.,hlm. 38.
27
The institution of prison and imprisonment are to be abolished, entirely and totally. No frace shoul be lift this darkside in human history. (Lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selamalamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikit pun (bekas) yang patut diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini). 55 Di Indonesia sebelum tahun 1983 gagasan penghapusan pidana penjara juga telah terlihat dengan adanya buku “Tujuh Serangkai tentang Hukum” yang ditulis oleh Hazairin yang berjudul “Negara Tanpa Penjara”. 3) Pidana kurungan Pidana kurungan merupakan pidana yang bersifat menghilangkan dan/ atau membatasi kemerdekaan bergerak disamping pidana penjara namun demikian, pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Niniek Suparni mengemukakan: Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu perampasan kemerdekaan seseorang. 56 Pidana kurungan diancamkan terhadap tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan yang dilakukan dengan tanpa kesengajaan (culpa). Jan Remelink dalam hal ini mengatakan: Pada awal mulanya pidana kurungan dimaksudkan sebagai custodia honesta, yaitu yang diancamkan terhadap delik-delik yang di dalamnya tidak terkait 55 56
Ibid. Niniek Suparni, Op.Cit., hlm. 23.
28
ihwal kesalahan moril, yakni berkenaan dengan banyak bentuk pelanggaran, kejahatan-kejahatan yang tidak menghilangkan martabat pelaku sebagai orang bermoral. 57 Pidana kurungan yang diancamkan terhadap tindak pidana kejahatan yang dimaksud dalam hal ini biasanya dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara atau pidana denda misalnya, dalam KUHP dirumuskan pada Pasal 188, Pasal 193, Pasal 197, Pasal 199, Pasal 201 dan lain-lain. Terpidana yang dijatuhi pidana kurungan akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan atau di Rumah Tahanan Negara sebagaimana berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara yang mana, dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara terpisah dari pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara. Ada pun ketentuan batas minimum dan maksimum dari pidana kurungan ini KUHP telah menetapkannya pada Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan, “Kurungan paling sedikit adalah satu hari dan paling lama satu tahun”.58 Ketentuan batas maksimum pidana kurungan tersebut dapat ditambah menjadi satu tahunempat bulan dalam hal ada pemberatan karena perbarengan (concurus) atau pengulangan (residive) atau karena ketentuan Pasal 52 dan 52a. Hal ini karena secara lebih lanjut Pasal 18 ayat (2) KUHP menyatakan, “Jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena perbarengan, 57
58
Jan Remelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 477. Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 18 ayat (1).
29
atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 dan Pasal 52a, kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan”.59 Pada pidana kurungan yang ditujukan sebagai pengganti pidana denda ketentuan batas maksimum berbeda lagi karena berdasarkan Pasal 30 ayat (3) KUHP ditentukan bahwa, batas maksimum pidana kurungan pengganti pidana denda adalah enam bulan dan apabila ada pemberatan denda baik itu karena perbarengan (concurus) atau pengulangan (residive) atau karena ketentuan Pasal 52 dan 52a maka, berdasarkan Pasal 30 ayat (5) KUHP batas maksimum pidana kurungan dapat menjadi delapanbulan. Menurut Adami Chazawidalam beberapa hal pidana kurungan memiliki persamaan dengan pidana penjara sebagai berikut: a) Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak. b) Mengenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum, dan tidak mengenal minimum khusus. Maksimum umum pidana penjara 15 tahun yang karena alasan-alasan tertentu diperpanjang menjadi maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun yang dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan. Minimum pidana penjara maupun pidana kurungan sama 1 hari. Sementara itu, maksimum khusus disebutkan pada setiap rumusan tindak pidana tertentu sendiri-sendiri, yang tidak sama bagi setiap tindak pidana, bergantung dari berat ringannya tindak pidana yang bersangkutan. c) Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk menjalankan (bekerja) pekerjaan tertentu walaupun narapidana kurungan lebih ringan daripada narapidana penjara. d) Tempat menjalani penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada sedikit perbedaan, yaitu harus dipisah (Pasal 28). e) Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan 59
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 18 ayat (2).
30
hukum tetap) dijalankan/ dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. 60 4) Pidana denda Andy Hamzah mengemukakan, “Pidana denda adalah pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.61 Pasal 80 ayat (1)Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidanayang selanjutnya disebut dengan RUU KUHP menyatakan, “Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan”.62 Pidana denda adalah jenis pidana yang paling banyak diancamkan terhadap tindak pidana berupa pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Pidana denda yang diancamkan terhadap tindak pidana berupa kejahatan lebih sering diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan ringan baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri, dan ada pun terhadap kejahatan selebihnya jarang sekali diancamkan dengan pidana denda baik sebagai alternatif dari pidana penjara maupun berdiri sendiri. Hal yang membedakan antara pidana denda dengan pidana penjara dan pidana kurungan salah satunya adalah ketiadaan ketentuan batas maksimum karena
60 61 62
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 38-39. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Loc.Cit., hlm. 120. RUU KUHP Tahun 2010, Bab II, Bagian II, Pasal 80 ayat (1).
31
KUHP hanya menentukan batas minimumnya saja. Ketentuan batas minimum pidana denda dalam KUHP dirumuskan pada Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan, “Denda paling sedikit adalah dua puluh lima sen”.63 Ketentuan batas minimum pada Pasal 30 ayat (1) tersebut menurut Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 18 tahun 1960 diubah menjadi tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Ketiadaan mengenai batas maksimum pidana denda dalam KUHP telah mendapat perhatian dari pembentuk undang-undang karena, dalam RUU KUHP pembentuk undang-undang telah menentukan batas maksimum pidana denda pada Pasal 80 ayat (3) yang menyatakan: Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. Kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah); b. Kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); c. Kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); d. Kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); e. Kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan f. Kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).64 Pidana denda merupakan jenis pidana yang memiliki karateristik ekonomis oleh karena itu, hakim ketika mempertimbangkan pidana denda yang akan dijatuhkan wajib memperhitungkan kemampuan finansial dari terdakwa yakni, sepanjang dianggapnya perlu dengan memperhatikan hukuman yang layak dijatuhkan pada terdakwa tanpa harus secara tidak adil mengurangi tingkat
63 64
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 30 ayat (1). RUU KUHP Tahun 2010, Bab II, Bagian II, Pasal 80 ayat (3).
32
penghasilan atau memberatkan harta kekayaannya. 65 Konsekuensi logis dari karakteristik ekonomis tersebut menjadi penyebab berbedanya strategi kebijakan operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan pidana denda dengan jenis pidana yang lainnya. Barda Nawawi Ariefmengemukakan: Dalam menetapkan kebijakan legislatif yang berhubungan dengan pelaksanaan (operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan) pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengenai: a. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda; b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda; c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan; d. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap seorang anak yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua); e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda. 66 Barda Nawawi Arief dalam hal ini tampaknya ingin menegaskan bahwa, kebijakan legislatif yang harus diperhatikan oleh para legislator terkait pelaksanaan (operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan) pidana denda harus mencangkup keseluruhan sistem pelaksanaan pidana denda itu sendiri. Pidana denda jika dibandingkan dengan jenis-jenis pidana lain yang termasuk pula ke dalam pidana pokok, ternyata disamping memiliki karateristik tersendiri juga memiliki beberapa keistimewaan sebagai berikut:
65 66
Jan Remelink, Op.Cit., hlm. 488-489. Barda Nawawi Arief, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 181.
33
a) Dalam hal pelaksanaan pidana, denda tidak menutup kemungkinan dilakukan atau dibayar oleh orang lain, yang dalam hal pelaksanaan lainnya kemungkinan seperti ini tidak mungkin terjadi. Jadi dalam hal ini pelaksanaan pidana denda dapat melanggar prinsip dasar pemidanaan sebagai akibat yang harus dipikul/ diderita oleh pelaku sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukannya. b) Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat 2), dalam putusan hakim yang menjatuhkan pidana denda, dijatuhkan juga pidana kurungan pengganti denda sebagai alternatif pelaksanaannya, dalam arti jika denda tidak dibayar terpidana wajib menjalani pidana kurungan pengganti denda itu. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya. Lamanya pidana kurungan pengganti denda ini minimal umum satu hari dan maksimal umum enam bulan. c) Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang menurut Pasal 30 ayat 1 adalah tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Sementara itu, maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan, yang dalam hal ini sama dengan jenis lain dari kelompok pidana pokok.67 Terpidana yang dijatuhi pidana denda apabila tidak mampu atau tidak mau membayar denda maka dapat langsung menjalani pidana kurungan pengganti denda dengan tanpa harus menunggu sampai waktu untuk membayar denda habis, dan apabila kemudian denda itu dibayar maka saat itu terpidana tersebut harus dikeluarkan dari pidana kurungannya. Jangka waktu pembayaran pidana denda diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya kita sebut dengan KUHAP, yakni pada Pasal 273 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan:
67
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 41.
34
1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi. 2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.68 Uang denda yang dibayarkan oleh terpidana disetorkan ke kas negara untuk kemudian menjadi milik negara. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 42 KUHP yang menyatakan, “Segala biaya untuk menjalankan pidana penjara dan kurungan, dipikul oleh negara dan segala pendapatan dari denda dan perampasan menjadi milik negara”.69 b. Pidana tambahan 1) Pidana pencabutan hak-hak tertentu Pidana pencabutan hak-hak tertentu diatur pada Pasal 35 ayat (1) KUHP yang menyatakan: Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam halhal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; b) Hak menjalankan jabatan memasuki angkatan bersenjata; c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; d) Hak menjadi Penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 68 69
KUHAP, Bab XIX, Pasal 273 ayat (1) (2). Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 42.
35
e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; f) Hak menjalankan mata pencaharian (beroep) yang tertentu.70 Sifat pidana pencabutan hak-hak tertentu adalah fakultatif. Pelaksanaan pencabutan hak-hak tertentu dapat dimulai pada hari putusan hakim dapat dijalankan dan hanya bersifat sementara bukan untuk selamanya, kecuali jika terpidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Jangka waktu pencabutan hak-hak tertentu ini diatur pada Pasal 38 (1) KUHP yang menyatakan: 1) Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut: Ke-1 dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup; Ke-2 dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan.Lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun dari pidana pokoknya; Ke-3 dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.71 Hal yang perlu diperhatikan dalam pidana pencabutan hak-hak tertentu ini adalah, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana tersebut apabila secara tegas diberi wewenang oleh undang-undang yang diancamkan pada rumusan tidak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pidana ini dirumuskan dalam KUHP pada Pasal 317, Pasal 318, Pasal 334, Pasal 347,
70 71
Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 35 ayat (1). Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 38 ayat (1).
36
Pasal 348, Pasal 350, Pasal 362, Pasal 363, Pasal 365, Pasal 372, Pasal 374, Pasal 375. 72 2) Pidana perampasan barang-barang tertentu Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan pidana yang menyangkut harta kekayaan (vermogenstraf). Jan Remelink mengemukakan: Sanksi penyitaan atau perampasan sebagai pidana harta benda disamping denda, mendasarkan kenyataan bahwa penjatuhan pidana denda saja dianggap tidak memadai, padahal perasaan keadilan akan lebih terpuaskan jika pelaku tindak pidana juga dihukum berkenaan dengan barang-barang yang Ia peroleh dari tidak pidana atau yang membantunya dalam melakukan delik tersebut.73 Ketentuan mengenai barang-barang tertentu yang dapat dilakukan perampasan diatur pada Pasal 39 KUHP. Ada dua jenis barang yang dapat dilakukan perampasan berdasarkan Pasal 39 KUHP tersebut, yaitu: a) Barang-barang yang berasal/ diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran), yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, surat, cek palsu dari kejahatan pemalsuan surat; dan b) Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam pencurian, dan lain sebagainya.74 Bambang Waluyo dalam bukunya “Pidana dan Pemidanaan” menyebutkan barang-barang yang dapat dirampas yang terdiri dari: 72 73 74
Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 45. Jan Remelink, Op.Cit., hlm. 499. Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 50.
37
a) Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian besar diperoleh dari tindak pidana; b) Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana; c) Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana; d) Barang yang digunakan untuk mengahalang-halangi penyidikan tindak pidana; atau e) Barang yang dibuat atau diperuntukan bagi terwujudnya tidak pidana. 75 Pidana perampasan barang-barang tertentu bersifat fakultatif bukan imperatif sehingga tidak ada keharusan untuk dijatuhkan akan tetapi, ada beberapa jenis kejahatan yang penjatuhan pidana tambahan perampasan barang terhadap pelakunya menjadi bersifat imperatif misalnya, pada Pasal 250 bis, 261, 275 KUHP.76 Pidana perampasan barang-barang tertentu terhadap barangbarang yang sebelumnya tidak diletakkan sita dengan barang-barang yang sebelumnya telah diletakan sita berbeda dalam pelaksaanaannya. Pidana perampasan terhadap barang-barang yang sebelumnya tidak diletakkan sita dalam pelaksanaannya menurut Pasal 41 ayat (1) KUHP dapat dilakukan dengan menetapkan nilai/ harga atas barang tersebut menurut penafsiran hakim, sedangkan pidana perampasan terhadap barang-barang yang sebelumnya telah diletakkan sita dalam pelaksanaannya menurut Pasal 42 KUHP dapat dilakukan dengan pelelangan dimuka umum menurut peraturan yang berlaku yang kemudian hasilnya disetorkan ke kas negara. KUHAP secara lebih lanjut
75 76
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 22. Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 52.
38
mengatur tentang pelaksanaan pidana ini pada Pasal 273 ayat (3) dan ayat (4) yang menyatakan: 3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimaksukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa. 4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.77 Pasal 273 KUHAP apabila kita cermati memang lebih terfokus pada pidana perampasan barang-barang tertentu terhadap barang-barang yang sebelumnya telah diletakkan sita, begitu pula dengan Pasal 46 yang disebutkan pada pasal tersebut. Pasal 46 yang dimaksud dalam KUHAP ini mengatur mengenai pengembalian benda yang dikenakan penyitaan, yang perlu dipehatikan pada pasal ini adalah apabila menurut putusan hakim benda yang dikenakan penyitaan harus dirampas baik untuk negara, untuk dimusnahkan, atau untuk dirusak sampai tidak dapat digunakan lagi maka terhadap benda yang dikenakan penyitaan itu tidak dilakukan pengembalian. 3) Pengumuman putusan hakim Semua putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum karena, sesuai dengan ketentuan Pasal 195 KUHAP putusan hakim yang tidak diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk
77
KUHAP, Bab XIX, Pasal 273 ayat (3) (4).
39
umum tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Pengumuman putusan hakim sebagai suatu pidana dalam hal ini maksudnya bukan seperti ituakan tetapi, merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. 78 Jan Remelink mengemukakan, “Dari sudut pandang terpidana dengan dibacakannya putusan hakim dihadapan umum merupakan penderitaan yang serius, terutama karena secara langsung menyentuh nama baik atau martabatnya, dalam hal ini pidana tambahan tersebut betul-betul merupakan sanksi pidana”. 79 Pidana pengumuman putusan hakim ini bersifat fakultatif dan hanya dapat dijatuhkan pada tindak pidana tertentu saja misalnya, tindak pidana yang dalam KUHP dirumuskan pada Pasal 128, Pasal 206, Pasal 361, Pasal 377, Pasal 395, Pasal 405 dan lain-lain. Pelaksanaan pidana pengumuman putusan hakim sendiri telah diatur pada Pasal 43 KUHP yang menyatakan, “Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu, atas biaya terpidana”.80 Pasal 43 KUHP tersebutmemberikan kewenangan dan kebebasan bagi hakim untuk menetapkan mengenai cara pelaksanaan dari jenis pidana tambahan ini misalnya, melalui surat kabar, radio, televisi, plakat yang ditempelkan pada papan pengumuman,
78 79 80
Adami Chazawi, Loc.Cit., hlm. 54. Jan Remelink, Op.Cit., hlm. 505. Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 42.
40
dan sebagainya, yang mana pembiayaan dibebankan pada terpidana. Adami Chazawi dalam hal ini mengemukakan: Maksud putusan hakim yang demikian ini adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan (tindak pidana). 81 Pada apa yang telah dikemukakan oleh Adami Chazawi di atas tersirat bahwa, pidana pengumuman putusan hakim itu ditujukan sebagai usaha preventif dengan cara publikasi. D. PEMIDANAAN 1. Istilah dan Pengertian Pemidanaan Istilah pemidanaan merupakan istilah yang digunakan dalam pemberian pidanaakan tetapi ada istilah lain yang digunakan yang memiliki maksud yang sama dengan istilah ini yaitu, punisment, treatment, sanction, dan lain-lain. Jerome Hall sebagaimana dikutip oleh Gerber dan McAnanny memberi batasan konseptual mengenai istilah ini dengan membuat deskripsi yang terperinci sebagai berikut: Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama negara “diotorisasikan”. Keempat, pemidanaan mensyaratkan adanya 81
Adami Chazawi, Loc.Cit., hlm. 54.
41
peraturan-peraturan, pelanggaran dan penentuannya yang diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika. Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya. 82 Pemidanaan bisa diartikan sebagai penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat disimak dalam pendapat Sudarto bahwa pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang, sedangkan pemberian pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. 83 Andy Hamzah mengemukakan, “Pemidanaan merupakan hal yang berkenaan dengan pidana misalnya, tujuan atau maksud dijatuhkannya pidana”.84 2. Teori Pemidanaan a.
Teori Absolut/ Teori Retributif Teori ini berpendapat bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan (quia peccatum est) oleh karena itu, pidana merupakan suatu akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan.
82
83 84
Rudolph J. Gerber dan Patrick D. McAnanny dalam M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 70. Ibid., hlm. 114. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 122.
42
Herbet L. Packer mengemukakan, “Pendekatan teori absolut meletakkan gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya, sudah seharusnya Ia menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya”. 85 Dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Tujuan utama dari teori absolut menurut Johanes Andenaes adalah “Untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.86 Andy Hamzah mengemukakan: Teori pembalasan menyatakan bahwapidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.Kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana.Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan, tidak perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana. 87 Salah satu tokoh yang menganut teori absolut adalah Immanuel Kant, Beliau dalam tulisannya mengemukakan: Kan niemals verhangt warden bloss als Mittels ein anderes Gut zu befordern fur die burgeliche Gesselschaft sodern muss jederzeit nur darum wider ihn verhangt warden, weil er verbochen hat.
85
86 87
Herbert L. Packer, The Limit of Criminal Sanction, dalam Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 187. Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 11. Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 2, dalam Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, 2012, hlm. 68, http://online-journal.unja.ac.id., diakses 30/09/2012.
43
(Di dalam hukum, pidana tidak dapat hanya dijatuhkan sebagai sarana untuk memajukan kesejateraan umum, hukuman atau pidana hanya dapat dijatuhkan pada seseorang karena Ia bersalah melakukan kesalahan).88 Pada apa yang telah dikemukakan di atas menunjukan bahwa Beliau memandang pidana sebagai tuntutan etis. Menurut Beliau pidana sebagai Kategorische Implementatief yakni, seseorang harus dipidana oleh hakim karena Ia telah melakukan kejahatan. 89 Tokoh lain yang menganut teori absolut adalah Hegel, Beliau memandang pidana sebagai konsekuensi logis dari adanya kejahatan. Hal ini karena menurut Beliau kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita susila maka, pidana merupakan “Negation der Negation” (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran).90 Teori absolut menurut Vos sebagaimana dikutip oleh Andy Hamzah terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku dan pembalasan objektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar”.91 Neger Walker memberikan 3 (tiga) pengertian mengenai pembalasan, yaitu: 1) Retaliatory retribution, yaitu dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukan;
88 89 90 91
Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 602. Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Loc.Cit., hlm. 11. Ibid.,hlm. 12. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 31.
44
2) Distributive retribution, yaitu pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan; 3) Quantitative retribution, yaitu pembatasan terhadap bentuk-betuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang dilakukan. 92 Karl O. Christiansen akhirnya menjelaskan lebih lanjut mengenai teori absolut ini dengan mengemukakan lima ciri pokok dari teori tersebut untuk membedakan dengan teori pemidanaan yang lainnya, yaitu: 1) Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan; 2) Pembalasan adalah tujuan utama, dan di dalamnya mengandung saranasarana untuk tujuan lain, seperti kesejahteraan rakyat; 3) Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan; 4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku; 5) Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau meresosialisasikan si pelaku. 93 b. Teori Relatif/ Teori Utilitarian Teori relatif berpendapat bahwa memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan dalam teori ini tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi masyarakat oleh karena itu, Johanes Andenaes menyebut teori ini sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence). M. Abdul Holiq dalam jurnalnya yang berjudul “Reformasi Sistem
92
93
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta, 1982, hlm.199. M. Sholehuddin, Op.Cit., hlm. 54.
45
Pemasyarakatan dalam Rangka Optimalisasi Pencapaian Tujuan Pemidanaan” sebagaimana dikutip oleh Mahrus ali mengemukakan: Teori ini memang sangat menekankan pada kemampuan pemidanaan sebagai suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crime) khususnya bagi terpidana.Oleh karena itu, implikasinya dalam praktik pelaksanaan pidana sering kali terjadi kasus-kasus penyiksaan terpidana secara berlebihan oleh aparat dalam rangka menjadikan terpidana jera untuk selanjutnya tidak melakukan kejahatan lagi. 94 Uraian di atas menjelaskan bahwa, memidana harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja atau bukan hanya sekedar pembalasan saja, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat oleh karena itu disebut juga teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya, yaitu pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).95 Tujuan pidana supaya orang jangan melakukan kejahatan ini terdiri dari: 1) Teori menakuti yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum). 2) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus).96 E. Utrecht dalam hal yang sama mengemukakan: 94
95 96
M. Abdul Kholiq, “Reformasi Sistem Pemasyarakatan dalam Rangka Optimalisasi Pencapaian Tujuan Pemidanaan”, dalam Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 191. Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 16. Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op.Cit., hlm. 26.
46
Sifat prevensi dari hukuman itu ada dua macam: 1) Prevensi umum (generale preventive). 2) Prevensi khusus (special preventive). Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar.97 Pada kedua pendapat di atas terlihat bahwa inti dari tujuan prevensi umum dan prevensi khusus memang berbeda. Pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya merupakan inti dari tujuan prevensi umum. Ini berarti, pencegahan kejahatan ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.98 Sebaliknya, pengaruh pidana terhadap terpidana merupakan inti dari tujuan prevensi khusus. Ini berarti, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. 99 Karl O. Christiansen secara lebih lanjut menjelaskan teori relatif atau teori utilitarian ini dengan mengemukakan karateristik atau ciri-ciri pokok dari teori tersebut yaitu: 1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi); 2) Pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
97 98 99
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta, Jakarta, 1958, hlm. 157. Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 18. Ibid.
47
3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; 4) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan. 5) Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.100 c. Teori Gabungan/ Teori Integratif Teori gabungan secara teoritis berusaha menggabungkan pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Teori ini pada dasarnya muncul sebagai respon dari kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori relatif, karena kedua teori tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu: 1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan. 2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.101 Teori gabungan berpendapat bahwa penjatuhan pidana kepada seseorang tidak hanya bertujuan untuk upaya balas dendam terhadap orang yang melakukan kejahatan tetapi juga, untuk upaya mendidik atau memperbaiki orang itu agar tidak
100 101
Ibid.,hlm. 17. Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, hlm. 11-12.
48
melakukan kejahatan lagi sehingga tercipta kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini dapat dicapai apabila pidana mempunyai tiga sifat sebagai berikut: 1) Bersifat menakut-nakuti (afschrikking). 2) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering). 3) Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).102 Pellegrino Rossi (1787-1848) adalah penulis pertama yang mengemukakan teori gabungan di dalam bukunya Traite de droit penal. Beliau tetap menganggap pidana sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui pembalasan yang adil namun,Beliau berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. 103 Teori gabungan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut: 1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan tata tertib dalam masyarakat. 2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata-tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tersebut tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. 104 Penggolongan teori gabungan tersebut memberikan indikasi bahwa pada hakikatnya pidana merupakan asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib 102
Dr. Woro Winandi, SH. MHum dan Indra Rukmana Lukito, “Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19,2010, hlm. 57, ejournal.narotama.ac.id., diakses 30/09/2012. 103 Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hlm. 19. 104 Schravedijk, dalam Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 166.
49
masyarakat karena, disamping pidana sebagai pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum juga merupakan perlindungan tata tertib hukum masyarakat. 3. Tujuan Pemidanaan Tujuan pemidanaan
berperan
sebagai pedoman
bagi
hakim dalam
menjatuhkan pidana.Sudarto mengemukakan bahwa pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dapat dibedakan sebagai berikut: 1) Pembalasan, pengimbalan, atau retribusi, 2) Mempengaruhi tindak laku orang demi perlindungan masyarakat.105 Menurut Roeslan Saleh ada beberapa tujuan yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yaitu: Yang pertama adalah apa yang disebut orang dengan koreksi. Terhadap orang yang melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan berlaku sebagai suatu peringatan bahwa hal itu tidak boleh berulang lagi. Seperti demikianlah yang disebut koreksi. Kedua adalah resoasialisasi. Yang dimaksud dengan ini adalah usaha dengan tujuan bahwa terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa Dia dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan lagi kejahatan-kejahatan. Ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi bilamana masalahnya adalah untuk manusia yang telah melakukan kejahatan berat dan harus dikhawatirkan, bahkan ditakuti, bahwa diwaktu yang akan datang masih besar sekali kemungkinannya Dia akan melakukan delik-delik berat, walaupun terhadapnya telah diadakan resosialisasi.
105
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 81.
50
Di Indonesia perumusan mengenai tujuan pemidanaan belum ada dalam hukum positif, selama ini tujuan pemidanaan hanya ada pada tataran yang bersifat teoritis seperti yang telah disebutkan di atas, namun sebagai bahan kajian RUU KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 54 yang menyatakan bahwa: 1) Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.106 Tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP tersebut menunjukan bahwa antara penetapan sanksi dan perumusan tujuan pemidanaan ada hubungan yang erat dengan teori pemidanaan, karena di dalam teori pemidanaan terkandung tujuan penjatuhan pidana. Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa perumusan tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP bertolak pada pokok-pokok pemikiran sebagai berikut: 1) Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system) sehingga dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikat hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan. 106
RUU KUHP Tahun 2010, Bab III, Bagian 1, Pasal 54.
51
2) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkritisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai suatu kesatuan sistem pemidanaan, maka diperlukan perumusan tujuan pemidanaan. 3) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagi fungsi pengendali/ kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.107 Jauh sebelum tujuan pemidanaan dirumuskan dalam RUU KUHP, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980 dalam salah satu laporannya telah menyatakan: a. Sesuai dengan tujuan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/ negara, korban, dan pelaku. b. Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsurunsur yang bersifat: 1) Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. 2) Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruksi bagi usaha penanggulangan kejahatan. 3) Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.108 Pada apa yang telah dinyatakan dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980 dalam salah satu laporannya tersebut jelas bahwa tujuan utama pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. 107
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 152-153. 108 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Genta publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 83.
52
E. TEORI EFEKTIFITAS Efektivitas menurut Ensiklopedia Indonesia, menunjukan taraf tercapainya suatu tujuan.Efektifitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian keefektifan, dimana keefektifanadalah: 1. keadaan berpengaruh; hal berkesan; 2. kemanjuran; kemujaraban (tentang obat); 3. keberhasilan (tentang usaha, tindakan); kemangkusan; 4. hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan). Richard M. Steers mengemukakan, “Efektivitas adalah sejauh mana organisasi melaksanakan seluruh tugas pokoknya atau mencapai semua sasaran”.109 Sejalan dengan pendapat Richard M. Steers yang pada intinya berpendapat efektivitas berkaitan dengan pencapaian sasaran, Gibson mengemukakan, “Efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama”.110 Menurut Hidayat, “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai”. 111 Barda Nawawi Arief dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Efektivitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dalam Upaya Penanggulangan Narkoba” mengemukakan, “Efektivitas
109
Pyzam,“Definisi atau Pengertian Efektivitas”,http://pyjam.com., diakses 23/11/2012. Ibid. 111 Ibid. 110
53
mengandung arti “keefektifan” (effectiveness), pengaruh/ efek keberhasilan, atau kemanjuran/ kemujaraban”. 112 Beliau secara lebih lanjut mengemukakan bahwa berbicara mengenai efektifitas hukum untuk menanggulangi kejahatan tentu tidak terlepas dari penganalisaan terhadap karateristik dan variable yang terkait, yaitu: 1. Karateristik objek/ sasaran yang dituju, 2. Karateristik dari alat/ sarana yang digunakan. 113 Teori efektivitas hukum menyatakan bahwa efektif tidaknya hukum akan sangat tergantung pada faktor-faktor berikut: 1. Subtansi (peraturan hukum itu sendiri), 2. Struktur (aparat penegak hukum), dan 3. Kultuur (masyarakat).114 Faktor-faktor di atas menurut Friedman dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama adalah struktur (aparat penegak hukum) yaitu, yang bergerak di dalam mekanisme, misalnya di dalam lembaga peradilan strukturnya membedakan lembaga pengadilan umum, pengadilan administrasi, pengadilan agama, pengadilan militer, dengan pembagian kompetensi masing-masing. Komponen struktur ini diharapkan untuk melihat bagaimana hukum memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. Kedua berupa subtansi, yang termasuk dalam komponen ini adalah ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Setiap keputusan yang mengandung doktrin, keputusan pengadilan, keputusan pembuat undang-undang dan keputusan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan. Ketiga berkaitan dengan kultuur terdiri dari nilai-nilai, sikap112 113 114
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 89. Ibid. Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Universitas Muhamadiyah Malang, Malang, 2005, hlm. 10.
54
sikap yang melekat dalam budaya bangsa. Nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat itu yang kemudian dapat dipakai untuk menjelaskan apakah atau mengapa orang menggunakan atau tidak menggunakan proses-proses hukum untuk menyelesaikan sengketanya.115 Pada penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa, faktor subtansi hukum (peraturan hukum itu sendiri) menunjuk pada aturan-aturan atau ketentuanketentuan hukum baik yang tertulis dan tidak tertulis maka, salah satu yang terkait dengan faktor tersebut dalam hal ini adalah kebijakan formulasi hukum pidana. Barda Nawawi Arief mengemukakan, “Kesalahan/ kelemahan kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektivitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.116
115 116
Ibid., hlm. 14. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 126.
55
BAB III METODE PENELITIAN
A. TIPE PENELITIAN Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Johny Ibrahim mengemukakan, “Penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif”. 117 Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif karena penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan pasal dalam undang-undang yakni, mengkaji penerapan Pasal 148 dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang
Narkotika
terhadap
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. B. PENDEKATAN PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan dalam penelitian ini karena tipe penelitian ini adalah penelitian normatif. Johnny
117
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, hlm. 295.
56
Ibrahim mengemukakan, “Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang dikaji adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian”. 118 2. Pendekatan Analitis (Analytical Approach) Pendekatan analitis (analyticalapproach) digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini bermaksud mengetahui penerapan aturan perundangundangan dalam sebuah putusan hakim yakni, penerapan Pasal 148 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. C. SPESIFIKASI PENELITIAN Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian Inventarisasi Hukum Penelitian inventarisasi hukum dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan materi penelitian iniyaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
118
Ibid., hlm. 302.
57
2. Penelitian Asas-Asas Hukum Penelitian asas-asas hukum dalam penelitian ini dilakukan terhadap asasasas hukum bahan hukum primer dan asas-asas hukum bahan hukum sekunder. Penelitian asas-asas hukum terhadap asas-asas hukum bahan hukum primer meliputi asas-asas hukum yang terdapat pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Penelitian asas-asas hukum terhadap asas-asas hukum bahan hukum sekunder meliputi asas-asas hukum yang terdapat pada buku-buku teks dan literatur-literatur lainnya sebagai bahan hukum sekunder. 3. Penelitian Konsistensi Hukum Penelitian konsistensi hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji kesesuaian penerapan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang
Narkotika
pada
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. D. LOKASI PENELITIAN Lokasi dalam penelitian ini adalah:
58
1. Pengadilan Negeri Purwokerto sebagai tempat mengambil Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. dan tempat melakukan wawancara untuk memperoleh data pendukung, 2. Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Universitas Jenderal Soedirman sebagai tempat mencari bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan materi yang diteliti, dan 3. Situs di internet sebagai tempat mencari literatur-literatur lainnya. E. JENIS DAN SUMBER DATA Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data pendukung. 1. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari: a) Bahan hukum primer Peter Mahmud dalam bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum" mengemukakan, “Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
59
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim”.119 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
(KUHP),
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana(KUHAP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, karya ilmiah di bidang hukum, dan lain sebagainya. Menurut Peter Mahmud, “Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi”.120 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, karya ilmiah di bidang hukum dan
119
120
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 141. Ibid., hlm. 142.
60
literatur lain di bidang hukum yang diperoleh melalui internet yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. 2. Data Pendukung Data pendukung dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto dimana Bapak Abdul Latif sebagai narasumbernya. Data pendukung ini digunakan untuk melengkapi dan memperkuat data yang telah diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. F. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN Teknik pengumpulan bahan dalam penelitian ini adalah: 1. Teknik Kepustakaan Teknik kepustakaan adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan melakukan penulusuran terhadap bahan pustaka, seperti: literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin, jurnal ilmiah dan sebagainya.121 Teknik kepustakaan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penulusuran terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal hukum, doktrin, literatur dari internet baik berupa artikel maupun ensiklopedia.
121
Tedi Sudrajat, “Aplikasi Metode Penelitian Normatif dalam Penulisan Hukum”, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012, hlm. 6.
61
2. Teknik Dokumenter Teknik dokumenter adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan menelaah dokumen-dokumen pemerintah dan non pemerintah (putusan pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo, konsep pidato, buku harian, risalah rapa laporan-laporan, media massa, internet, pengumuman, instruksi, aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah, dan sebagainya. 122 Teknik dokumenter dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah suatu putusan pengadilan
yakni,
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. G. TEKNIK PENGOLAHAN BAHAN Teknik pengolahan bahan dalam penelitian ini dilakukan secara deduktif. Johny Ibrahim mengemukakan, “Pengolahan bahan hukum secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi”. 123 Permasalahan umum dalam penelitian ini adalah pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara bagi pelaku tindak pidana narkotika yang tidak mampu membayar pidana denda, dan efektifitas pidana penjara sebagai pengganti pidana denda tersebut dalam suatu putusan hakim.
122 123
Tedi Sudrajat, Loc.Cit., hlm. 6. Johnny Ibrahim, Op.Cit., hlm. 393.
62
Permasalahan konkrit dalam penelitian ini adalah pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda dan efektifitas pidana yang dialternatifkan dengan pidana penjara pada Putusan Perkara Nomor:52/Pid.Sus/PN.Pwt. H. TEKNIK PENYAJIAN DATA Teknik penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teks naratif, yakni suatu penyajian data dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis dan sistematis sehingga akan mudah dipahami. I. TEKNIK ANALISIS DATA Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis normatif kualitatif yaitu, data yang diperoleh akan dianalisis dengan pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan mendasarkan pada norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan objek yang diteliti.
63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN Penelitian mengenai pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar dan efektifitas pidana denda yang dialternatifkan dengan pidana penjara tersebut pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN. Pwt yang dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto dalam perkara pidana khusus mengenai tindak pidana narkotika, telah menghasilkan sejumlah data yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Identitas Identitas terdakwa tindak pidana narkotika dalam Putusan Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. adalah sebagai berikut: Nama Lengkap
:
YAP OEN SING Bin YAP IT SWIE
Tempat Lahir
:
Purwokerto
Umur/ tanggal Lahir
:
43 Tahun/ 09 Oktober 1967
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Kebangsaan
:
Indonesia
64
Alamat/ Tempat Tinggal :
Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW. 04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas.
Agama
:
Khatolik
Pekerjaan
:
Belum Bekerja (Pengangguran)
Pendidikan
:
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
2. Duduk Perkara Pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00 WIB di Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas Kepolisian dari Satnarkoba Polres Banyumas menangkap terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie atas informasi dari masyarakat bahwa terdakwa membawa narkotika jenis shabu-shabu. Pada saat petugas kepolisian bertanya tentang barang yang dibawa oleh terdakwa, terdakwa mengatakan kalau Ia membawa narkotika jenis shabu-shabu dalam satu bungkus rokok LA merah yang disimpan di saku celana kanan depan yang dipakainya, sambil Ia menunjukannya dengan cara membuka bungkus rokok tersebut yang ternyata didalamnya memang terdapat narkotika jenis shabu-shabu sebanyak satu bungkus plastik kecil transparan, kemudian terdakwa langsung diamankan oleh petugas kepolisian. Pada saat dilakukan pemeriksaan terdakwa mengakui masih menyimpan narkotika jenis shabu-shabu sebanyak satu bungkus plastik kecil
65
dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan dirumahnya di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamar terdakwa yang kemudian langsung diamankan oleh pihak kepolisian. Narkotika jenis shabu-shabu tersebut diakui oleh terdakwa diperoleh dari saudara Sri yang kini merupakan Daftar Pencarian Orang (DPO) yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri Purwokerto, dengan cara memesan melalui telepon dengan menggunakan handphone terdakwa. Terdakwa mengakui sudah tiga kali melakukan pembelian narkotika jenis shabu-shabu kepada saudara Sri, yang pertama pada awal bulan Mei 2011 sebanyak satu gram, yang kedua satu minggu setelah pembelian pertama dan yang ketiga hari Senin pada tanggal 30 Mei 2011. Pada pembelian yang ketiga yakni pada tanggal 30 Mei 2011 terdakwa memesan sebanyak tiga gram seharga Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah). Penerimaan barang dilakukan dengan cara saudara Sri mengirim alamat melalui SMS kemudian terdakwa mengambil barang dekat kuburan sebelah selatan Kebon Dalem Purwokerto, selanjutnya pembayaran dilakukan pada malam harinya sekitar pukul 21.00 WIB di Jalan Kol. Sugiri Purwokerto. Dua gram dari tiga gram narkotika jenis shabu-shabu tersebut sudah dijual kepada saudara Iwong, saudara Iwan, dan saudara Heri dengan harga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) setiap setengah gramnya, karena tujuan Ia melakukan pembelian ini memang untuk dipakai dan dijual
66
lagi kepada orang lain. Sisanya yang satu gram adalah yang Ia bawa pada saat dilakukan penangkapan. Terdakwa dalam hal ini tidak memiliki izin untuk membeli atau menjual narkotika jenis shabu-shabu tersebut, karena kapasitas terdakwa melakukan hal tersebut bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan unntuk mencari keuntungan. Berdasarkan
Berita
Acara
Pemeriksaan
Laboratoris
Kriminalistik,
Laboratorium Forensik Cabang Semarang No. Lab: 662/KNP/VI/2011, tanggal 08 Juni 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dra. Tyas Hartaningsih dan Ibnu Sutarto, ST. selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang Semarang serta diketahui oleh Drs. Siswanto selaku Kepala Laboratorium Forensik Cabang Semarang dinyatakan bahwa, dua bungkus plastik yang berisi serbuk kristal dengan berat keseluruhan 0,472 gram dan sisa hasil pemeriksaan seberat
0,470
yang
disita
dari
terdakwa
adalah
mengandung
METAMFETAMINA POSITIF dan terdaftar dalam Golongan I Nomor Urut 61 Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 3. Dakwaan Berdasarkan uraian dalam duduk perkara di atas, maka terdakwa didakwa melakukan tindak pidana narkotika dengan dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu:
67
Pertama : Melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ATAU Kedua : Melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hakim dalam membuktikan dakwaan tersebut akan memilih dakwaan yang paling tepat dan sesuai dengan fakta hukum yang terungkap yaitu, dakwaan pertama melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 4. Pembuktian Pembuktian dalam persidangan dilakukan dengan memeriksa beberapa alat bukti yang terdiri dari: a. Keterangan Saksi 1) Saksi-1 (Hadiyanto) Di dalam persidangan Hadiyanto memberikan keterangan sebagai berikut: Ia pernah diperiksa oleh penyidik dan tetap pada keterangannya dalam Berita Acara Penyidikan. Ia melakukan penangkapan terhadap terdakwa bersama dengan Briptu Pramuaji, Bripka Damar Iskandar, SH dan team Iptu R. Soenardjo
68
pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00 WIB di Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan, Kecamatan Purwokerto
Timur,
Kabupaten
Banyumas
karena
menemukan
narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil transparan yang di masukkan dalam satu bungkus rokok LA merah yang disimpan di saku celana kanan depan yang terdakwa pakai. Kemudian Ia dan petugas kepolisian lainnya membawa terdakwa ke Polres Banyumas dan setelah diperiksa terdakwa mengakui masih menyimpan narkotika jenis shabu-shabu sebanyak satu bungkus kecil dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan di rumah terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamar terdakwa. Disamping
menemukan
narkotika
jenis
shabu-shabu
Ia
juga
menemukan satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu 081391300088 yang merupakan milik terdakwa. Sebelumnya terdakwa pernah dihukum dalam kasus yang sama pada tahun 2007. Terdakwa memperoleh narkotika jenis shabu-shabu dengan cara memesan melalui telepon menggunakan handphone terdakwa dari saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri, Purwokerto.
69
Tujuan terdakwa membeli narkotika jenis shabu-shabu tersebut adalah untuk dipakai dan dijual lagi kepada orang lain. Barang bukti dipersidangan adalah benar milik terdakwa. Terdakwa pada saat ditangkap mengakui membawa satu gram Narkotika jenis shabu-shabu dan sudah menjual 2 gram narkotika jenis shabu-shabu kepada saudara Iwong, saudara Iwan, dan saudara Heri dan setelah ditimbang di laboratorium forensik ternyata beratnya 0,472 gram. Terdakwa tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang dan terdakwa
bukan
merupakan
apoteker
atau tenaga
kesehatan/
paramedis. Atas keterangan saksi Hadiyanto ini terdakwa membenarkannya. 2) Saksi-2 (Pramuaji. W, S.H.) Di dalam persidangan Pramuaji. W, S.H memberikan keterangan sebagai berikut: Ia pernah diperiksa oleh penyidik dan tetap pada keterangannya dalam Berita acara Penyidikan Ia melakukan penangkapan terhadap terdakwa bersama dengan Brigadir Hadiyanto, Bripka Damar Iskandar, SH dan team Iptu R. Soenardjo pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00
70
WIB di Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas karena telah menemukan narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil transparan yang di masukkan dalam satu bungkus rokok LA merah yang disimpan di saku celana kanan depan yang terdakwa pakai. Kemudian Ia dan petugas kepolisian lainnya membawa terdakwa ke Polres Banyumas dan setelah diperiksa terdakwa mengakui masih menyimpan narkotika jenis shabu-shabu sebanyak satu bungkus kecil dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan di rumah terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamar terdakwa. Disamping
menemukan
narkotika
jenis
shabu-shabu
Ia
juga
menemukan satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu 081391300088 yang merupakan milik terdakwa. Sebelumya terdakwa pernah dihukum dalam kasus yang sama pada tahun 2007. Terdakwa memperoleh narkotika jenis shabu-shabu dengan cara memesan melalui telepon menggunakan handphone terdakwa dari saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri, Purwokerto.
71
Tujuan terdakwa membeli narkotika jenis shabu-shabu tersebut adalah untuk dipakai dan dijual lagi kepada orang lain. Barang bukti dipersidangan adalah benar milik terdakwa. Terdakwa pada saat ditangkap mengakui membawa satu gram narkotika jenis shabu-shabu dan sudah menjual 2 gram narkotika jenis shabu-shabu kepada saudara Iwong, saudara Iwan, dan saudara Heri dan setelah ditimbang di labaratorium forensik
ternyata beratnya
0,472 gram. Terdakwa tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang dan terdakwa
bukan
merupakan
apoteker
atau tenaga
kesehatan/
paramedis. Atas keterangan saksi Pramuaji.W, S.H. ini terdakwa membenarkannya. b. Surat Alat bukti surat berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik,
Laboratorium Forensik Cabang Semarang No.
Lab:
662/KNP/VI/2011, tanggal 08 Juni 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dra. Tyas Hartaningsih dan Ibnu Sutarto, ST selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang Semarang serta diketahui oleh Drs. Siswanto selaku Kepala laboratorium Forensik Cabang Semarang menyatakan bahwa, dua bungkus plastik yang berisi serbuk kristal dengan berat keseluruhan
72
0,472 gram dan sisa hasil pemeriksaan seberat 0,470 yang disita dari terdakwa adalah mengandung METAMFETAMINA POSITIF dan terdaftar dalam Golongan I Nomor Urut 61 Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. c. Keterangan Terdakwa Di dalam persidangan terdakwa memberikan keterangan sebagai berikut: Ia pernah diperiksa oleh penyidik, keterangan para saksi sudah betul dan tidak ada paksaan serta bertanda tangan dalam Berita Acara Penyidikan. Ia pernah dihukum sebelumnya pada tahun 2007 selama satu tahun dalam perkara narkoba. Pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00 WIB di Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, Ia ditangkap oleh petugas kepolisian dari Satnarkoba Polres Banyumas karena padanya ditemukan satu bungkus rokok LA merah yang berisi narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil transparan yang disimpan dalam saku celana kanan depan yang dipakai olehnya. Setelah diperiksa Ia mengakui masih menyimpan narkotika jenis shabushabu satu bungkus kecil dalam bungkus permen merk Gofress yang
73
disimpan di rumahnya di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamarnya. Ia mendapatkan shabu dari saudara Sri yang beralamat di jalan kol. Sugiri, Purwokerto. Pada hari Senin tanggal 30 Mei 2011 Ia membeli narkotika jenis shabushabu kepada saudara Sri dengan cara memesan melalui telepon menggunakan handphone miliknya merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu 081391300088 sebanyak tiga gram seharga Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah). Ia menerima barang dengan cara saudara Sri mengirim alamat melalui SMS kemudian Ia mengambil barang dekat kuburan sebelah selatan Kebon Dalem Purwokerto, selanjutnya permbayaran dilakukan pada malam harinya sekitar pukul 21.00 WIB di Jalan Kol. Sugiri Purwokerto. Ia menjual narkotika jenis shabu-shabu tersebut kepada saudara Heri dengan harga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) sebanyak setengah gram, saudara Iwong dengan harga Rp 1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu rupiah) sebanyak satu gram, dan saudara Iwan dengan harga Rp 800.000.00 (delapan ratus ribu rupiah) sebanyak setengah gram, sedangkan sisanya disimpan dan kemudian disita oleh petugas.
74
Tujuan Ia memilliki narkotika jenis shabu-shabu adalah sebagai perantara jual beli temannya yang membutuhkan narkotika jenis shabu-shabu dan mendapatkan keuntungan Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap satu gramnya. Barang bukti dipersidangan adalah benar miliknya. Uang pembelian sudah dibayarkan kepada saudara Sri sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan masih kurang Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Ia telah mendapat keuntungan Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) yang dipakai untuk keperluan makan sehari-hari. Ia membeli narkotika jenis shabu-shabu kepada saudara Sri sudah tiga kali, yang pertama pada awal bulan Mei 2011 membeli sebanyak satu gram, yang kedua seminggu setelah pembelian pertama dan yang ketiga pada hari Senin tanggal 30 Mei 2011. Handphone yang disita oleh petugas kepolisian adalah handphone yang digunakan olehnya untuk berkomunikasi dengan saudara Sri dan temannya yang akan menjadi pembeli. Ia tidak memiliki izin untuk memiliki, menyimpan dan menguasai narkotika jenis shabu-shabu dari pihak yang berwenang. Ia membeli narkotika jenis shabu-shabu selain untuk dijual juga untuk dipakai olehnya. Ia merasa menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
75
Pembuktian dalam persidangan selain dilakukan dengan memeriksa beberapa alat bukti, juga dilakukan dengan memeriksa beberapa barang bukti yang terdiri dari: a. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress dan dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu. b. Satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu 081391300088 warna hitam. Alat-alat bukti dan barang-barang bukti yang digunakan dalam pembuktian di persidangan tersebut diajukan oleh penuntut umum dimana sebelumnya terhadap barang-barang bukti telah dilakukan penyitaan menurut hukum. 5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Penuntut umum dalam Surat Tuntutan Pidana Penuntut Umum tertanggal 28 September 2011 Nomor: PDM.-093/PKRTO/Euh.2/07/2011 pada pokoknya menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1) Menyatakan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat 76
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam surat dakwaan kesatu; 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan; 3) Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan penjara; 4) Menyatakan barang bukti berupa: a. Satu
buah
handphone
merk
Nokia
tipe
2323
dengan
nomor
081391300088 warna hitam. Dirampas untuk negara; sedangkan b. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress, dan dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu. Dirampas untuk dimusnahkan; 5) Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah). 6. Pertimbangan Hukum Hakim Berdasarkan pembuktian dalam persidangan yang dilakukan dengan memeriksa beberapa alat bukti dan beberapa barang bukti yang diajukan oleh penuntut
umum,
maka
majelis
hakim
dalam
musyawarahnya
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
77
Menimbang bahwa sehubungan dengan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum adalah dakwaan alternatif, maka majelis hakim akan membuktikan dakwaan yang paling tepat dan sesuai dengan fakta hukum yang terungkap yaitu, dakwaan pertama melanggar Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang unsur-unsurnya terdiri atas: a. Setiap orang. b. Tanpa hak atau melawan hukum. c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I. Majelis Hakim menjelaskan unsur-unsur tersebut dalam pertimbangannya sebagai berikut: a. Setiap orang Bahwa yang dimaksud setiap orang adalah siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, yang diajukan ke persidangan karena didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Bahwa penuntut umum telah menghadapkan seorang terdakwa bernama Yap Oen Sing Bin Yap It Swie yang membenarkan identitasnya dalam
78
surat dakwaan penuntut umum dan setelah mendengar keterangan saksisaksi serta keterangan terdakwa di persidangan didapat fakta bahwa, tidak ada kekeliruan terhadap orang (error in persona) yang disangka melakukan tindak pidana tersebut. Bahwa selain itu, selama persidangan tidak ditemukan halangan secara fisik atau psikis yang dapat menjadi alasan pemaaf ataupun alasan pembenar dari perbuatan terdakwa, sehingga terdakwa dapat dimintai pertanggungjwabannya secara hukum. Bahwa berdasarkan pertimbangan yang telah diuraikan di atas maka unsur barang siapa telah terpenuhi. b. Tanpa hak atau melawan hukum Bahwa menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahwa menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam jumlah terbatas narkotika golongan I dapat digunakan
untuk
kepentingan
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
teknologi, dan reagensia diagnostic, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 79
Bahwa berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa dikaitkan dengan barang bukti dan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Semarang dapat diketahui bahwa, pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 20.00 WIB di Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, telah dilakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap terdakwa dan pada terdakwa ditemukan satu bungkus rokok LA merah yang berisi satu bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu yang disimpan di dalam saku celana kanan depan yang dipakainya. Bahwa pada saat diperiksa terdakwa mengakui masih menyimpan narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil yang dimasukkan dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan di rumah terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamar terdakwa. Ketika ditindak lanjuti oleh petugas Kepolisian ternyata memang benar apa yang telah dikatakan terdakwa. Terdakwa mengakui mendapatkan narkotika jenis shabu-shabu tersebut dari saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri, Purwokerto.
80
Bahwa berdasarkan pengakuan terdakwa, terdakwa membeli Narkotika jenis Shabu-Shabu tersebut untuk dikonsumsi sendiri dan untuk dijual kepada orang lain yang membutuhkannya. Bahwa dalam pemeriksaan di persidangan terdakwa mengatakan tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mempunyai pengalaman dalam bidang farmasi, terdakwa mendapatkan narkotika jenis shabu-shabu tersebut tanpa izin dari pihak yang berwenang dan kapasitasnya tidak terkait dengan kepentingan ilmu pengetahuan, sehingga tindakan terdakwa membeli narkotika jenis shabu-shabu dengan maksud untuk dijual lagi adalah tindakan tanpa hak atau melawan hukum, dengan demikian unsur tanpa hak atau melawan hukum telah terpenuhi. c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau, menyerahkan Narkotika Golongan I. Bahwa pengertian dari narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi mengakibatkan ketergantungan yang sangat tinggi. Bahwa berdasarkan keterangan saksi Hadiyanto dan Pramuaji. W, S.H. dan keterangan terdakwa dikaitkan dengan barang bukti dan Berita Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Semarang dapat diketahui bahwa, pada hari Kamis tanggal 02 Juni 2011 sekitar pukul 81
20.00 WIB di Jalan Raya Penatusan Kelurahan Purwokerto Wetan, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, telah dilakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap terdakwa dan pada terdakwa ditemukan satu bungkus rokok LA merah yang berisi satu bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu yang disimpan di dalam saku celana kanan depan yang dipakainya. Bahwa pada saat diperiksa terdakwa mengakui masih menyimpan narkotika jenis shabu-shabu yang dibungkus plastik kecil yang dimasukkan dalam bungkus permen merk Gofress yang disimpan di rumah terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, yang berada di bawah tempat tidur kamar terdakwa. Ketika ditindak lanjuti oleh petugas kepolisian ternyata memang benar apa yang telah dikatakan terdakwa. Terdakwa mengakui mendapatkan narkotika jenis shabu-shabu tersebut dari saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri, Purwokerto. Bahwa terdakwa membeli narkotika jenis shabu-shabu tersebut selain untuk dikonsumsi sendiri juga untuk dijual kepada orang lain yang membutuhkannya, yang menurut keterangan terdakwa Ia telah telah menjual narkotika jenis shabu-shabu yang didapatkannya dari saudara Sri kepada saudara Heri seharga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah),
82
saudara Iwong seharga Rp 1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu rupiah) dan saudara Iwan seharga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah). Bahwa barang bukti berupa Narkotika jenis shabu-shabu berdasarkan hasil laboratories dari Laboratorium Forensik Cabang Semarang adalah mengandung METAMFETAMINA POSITIF dan terdaftar dalam Golongan I Nomor Urut 61 Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik, Laboratorium Forensik Cabang Semarang No. Lab: 662/KNP/VI/2011, tanggal 08 Juni 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dra. Tyas Hartaningsih dan Ibnu Sutarto, ST selaku pemeriksa pada Laboratorium Forensik Cabang Semarang serta diketahui oleh Drs. Siswanto selaku Kepala laboratorium Forensik Cabang Semarang. Bahwa sesuai dengan alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Laboratorium Forensik Cabang Semarang No. Lab: 662/KNP/VI/2011 tertanggal 08 Juni 2011 dan alat bukti keterangan terdakwa didapatkan petunjuk bahwa, narkotika jenis shabu-shabu yang ditemukan pada saat penggeledahan pada diri terdakwa yang disimpan dalam satu bungkus rokok LA merah dan yang ditemukan pada saat penggeledahan di rumah terdakwa di Jalan Martadireja I. No. 427 RT.01 / RW.04 Kelurahan
83
Purwokerto, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas yang disimpan dalam bungkus permen merk Gofress adalah dari hasil pembelian dan direncanakan akan dijual kembali kepada orang yang membutuhkan. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dapat diketahui bahwa barang bukti dalam perkara aquo berupa narkotika jenis shabu-shabu adalah terbukti mengandung METAMFETAMINA POSITIF sehinggga barang bukti berupa narkotika jenis shabu-shabu tersebut termasuk dalam kualifikasi narkotika golongan I dan didapatkan terdakwa dari hasil pembelian. Bahwa berdasarkan pertimbangan yang telah diuraikan di atas maka unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I telah terpenuhi. Menimbang bahwa oleh karena semua unsur pada Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah terpenuhi, maka majelis hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Pertama. Menimbang bahwa oleh karena tidak ada alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan hukum serta alasan pembenar yang meniadakan kesalahan dalam
84
diri terdakwa, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepada terdakwa harus dijatuhi pidana. Menimbang bahwa oleh karena selama pemeriksaan terdakwa telah ditahan maka lamanya terdakwa dalam tahanan akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 33 KUHP jo Pasal 22 ayat (4) KUHAP) dan karena tidak ada alasan hukum untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu ke jenis penahanan yang lain, maka penahanan terdakwa tetap dipertahankan. Menimbang bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah maka terhadapnya dibebani membayar biaya perkara (Pasal 222 ayat (1) KUHP). Menimbang bahwa barang bukti yang berupa: a. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress dan dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu oleh karena merupakan barang yang terlarang untuk dimiliki maka berdasarkan hukum harus dimusnahkan. b. Satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu 081391300088 warna hitam oleh karena merupakan alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana maka berdasarkan hukum harus dimusnahkan.
85
Menimbang bahwa oleh karena pidana yang dijatuhkan pada terdakwa bersifat kumulatif maka disamping dijatuhi pidana penjara terdakwa juga dijatuhi pidana denda yang besarnya ditentukan dalam amar putusan. Menimbang bahwa majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan: Hal-hal yang memberatkan: a. Perbuatan terdakwa sangat meresahkan masyarakat; b. Terdakwa pernah dihukum; Hal-hal yang meringankan: a. Terdakwa mengaku bersalah,
menyesal dan berjanji tidak akan
mengulanginya perbuatannya. Pertimbangan-pertimbangan hukum sebagaimana yang telah dijelaskan di atasadalah pertimbangan-pertimbangan hukum yang nantinya dalam musyawarah majelis hakim akan digunakan dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dengan mengingat ketentuan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, serta peraturan perundang-undangan lain yang berkenaan dengan perkara ini.
86
7. Amar Putusan Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah diuraikan, maka dalam amar putusannya majelis hakim memutuskan: 1) Menyatakan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa Hak Membeli dan Menjual Narkotika Golongan I”; 2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa berupa pidana penjara selama 5 (lima) tahun, dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila tidak mampu membayar denda tersebut maka dapat diganti dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan; 3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa tersebut akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4) Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan; 5) Menyatakan barang bukti berupa: a. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress dan dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu. b. Satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu 081391300088 warna hitam. Dirampas untuk dimusnahkan; 6) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
87
B. PEMBAHASAN 1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menentukan Lamanya Pidana Penjara sebagai Pengganti Pidana Denda pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. Terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “Tanpa Hak Membeli dan Menjual Narkotika Golongan I” telah dijatuhi pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan, apabila terdakwa tidak mampu membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama empat bulan. Hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. ini akan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum tertentu akan tetapi, sebelum kita membahas apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda tersebut terdapat beberapa hal yang perlu kita cermati yaitu: a. Kewenangan mengadili, b. Dasar memutus
88
Add a. Kewenangan mengadili Kewenangan mengadili dalam hal ini adalah kewenangan mengadili bagi pengadilan negeri. Dasar hukum menentukan kewenangan mengadili bagi pengadilan negeri diatur pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 86 KUHAP. Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan pada pasal-pasal tersebut, menurut M. Yahya Harahap terdapat beberapa kriteria atau asas yang dapat digunakan oleh pengadilan negeri untuk menguji kewenangannya mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya, yaitu: 1) Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti) Menurut asas ini pengadilan negeri berwenang mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. 124 Adapun dasar hukumnya yaitu Pasal 84 (1) KUHAP yang menyatakan, “Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. 125 Berdasarkan pasal tersebut maka jelas bahwa “tempat tindak pidana dilakukan” atau “locus delicti” menentukan kewenangan relatif pengadilan negeri untuk mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
124
125
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 96. KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (1).
89
2) Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil. Menurut asas ini jika saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan suatu pengadilan negeri maka pengadilan negeri tersebut yang paling berwenang memeriksa dan mengadili.126 Kriteria ini diatur pada Pasal 84 ayat (2) KUHAP yang menyatakan: “Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan”.127 Berdasarkan pasal tersebut di atas, penentuan kewenangan relatif menurut asas locus delicti dapat dikesamping dengan asas tempat tinggal, tempat kediaman terakhir, tempat diketemukan atau tempat terdakwa ditahan akan tetapi, syarat bahwa saksi-saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan pengadilan negeri tempat dimana terdakwa bertempat tinggal, berkediaman terakhir, diketemukan atau ditahan harus dipenuhi. 128 3) Kewenangan relatif sehubungan dengan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri. 126 127 128
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 99. KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (2). M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 101.
90
Asas ini dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Masing-masing pengadilan negeri berwenang mengadili sesuai dengan asas locus delicti apabila di dalam tindak-tindak pidana tersebut tidak terdapat unsur “berlanjut” atau “perbarengan”. Menurut asas ini setiap pengadilan negeri berwenang mengadili berdasarkan asas locus delicti akan tetapi, tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku harus benar-benar murni terpisah dan berdiri sendiri tidak ada unsur berlanjut atau unsur perbarengan. Adapun dasar hukumnya yaitu Pasal 84 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu”. b) Salah satu pengadilan negeri yang berwenang memeriksanya dengan jalan menggabungkan semua perkara. Asas ini diatur pada Pasal 84 ayat (4) KUHAP, dalam penerapannya harus dihubungkan dengan Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP. Tanpa menghubungkan Pasal 84 ayat (4) KUHAP dengan Pasal 64 dan Pasal 65
91
KUHP tersebut, tidak dapat melaksanakan kemungkinan penggabungan perkara.129 Pasal 84 ayat (4) KUHAP menyatakan: Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. 130 Kalimat “terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya” pada pasal di atas tersebut adalah yang dimaksud dalam penerapannya Pasal 84 ayat (4) KUHAP harus dihubungkan dengan Pasal 64 dan 65 KUHP. Pasal 64 KUHP mengatur tentang perbuatan berlanjut sedangkan Pasal 65 KUHP mengatur tentang perbarengan perbuatan. 4) Wewenang mengadili berdasarkan penetapan atau penunjukan Menteri Kehakiman. Kewenangan mengadili berdasarkan penetapan atau penunjukan Menteri Kehakiman secara tegas diatur pada Pasal 85 KUHAP, kewenangan ini berupa “pengalihan” kewenangan mengadili dari pengadilan negeri kepada pengadilan negeri yang lain. Pasal 85 KUHAP menyatakan: Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau 129 130
KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (3). KUHAP, Bab X, Pasal 84 ayat (4).
92
menunjukan pengadili negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. 131 Berdasarkan Pasal 85 KUHAP di atas, pengalihan hanya terjadi apabila keadaan daerah tidak mengizinkan untuk mengadili suatu perkara. Ini artinya, suatu pengadilan negeri mengalami kesulitan tugas operasional peradilan, berhubung karena keadaan daerah tidak mengizinkan. 132 Menurut penjelasan Pasal 85 KUHAP yang dimaksud “keadaan daerah tidak mengizinkan” antara lain karena ada gangguan keamanan atau karena bencana alam. 5) Wewenang mengadili Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasar undangundang. Khusus bagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat undang-undang memberi wewenang kepadanya untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia.133 Hal ini sebagaimana diatur pada pasal 86 KUHAP yang menyatakan, “Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya”.134
131 132 133 134
KUHAP, Bab X, Pasal 85. M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 107. Ibid., hlm. 108. KUHAP, Bab X, Pasal 86.
93
Penjelasan mengenai kewenangan mengadili di atas apabila dihubungkan dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. diketahui bahwa, asas yang digunakan adalah asas locus delicti karena pengadilan negeri yang berwenang mengadili tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie adalah Pengadilan Negeri Purwokerto, sebagaimana kita ketahui dari data hasil penelitian tempat terjadinya tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie adalah di Purwokerto sehingga termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Pasal 84 ayat (1) KUHAP. Add b. Dasar memutus Dasar memutus yang dimaksud disini adalah dasar
hakim dalam
menjatuhkan putusan. Hakim dalam menjatuhan putusan yang berupa pemidanaan harus memenuhi syarat pemidanaan. Menurut Sudarto syarat pemidanaan terdiri dari: 1) Perbuatan: a) Memenuhi rumusan undang-undang b) Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) 2) Orang: a) Kesalahan: 1. Mampu bertangung jawab 2. Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf). 135
135
Sudarto, Hukum Pidana 1, Op.Cit., hlm. 50.
94
Syarat pemidanaan diatas apabila dihubungkan dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. maka dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Perbuatan Perbuatan di sini meliputi berbuat dan tidak berbuat.136 Salah satu ahli hukum yang mengemukakan pengertian perbuatan adalah Simons, Beliau mengemukakan, “Dalam arti sesungguhnya ‘handelen’ (berbuat) mempunyai sifat aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki, dan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan
suatu
akibat”.137
Menurut
Sudarto
perbuatan
yang
memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar).138 a) Memenuhi rumusan undang-undang Suatu perbuatan dikatakan memenuhi atau mencocoki rumusan delik dalam undang-undang apabila perbuatan konkrit dari si pembuat memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang”. 139 Hal ini sesuai dengan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege yang artinya, tiada delik tiada pidana tanpa 136 137 138 139
Ibid., hlm. 64. Ibid. Loc.Cit., hlm. 50. Ibid., hlm. 52.
95
peraturan terlebih dahulu. Asas ini dikenal juga dengan asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang menyatakan, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.140 Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan demikian, perbuatan yang telah dilakukannya tersebut termasuk ke dalam perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. b) Memenuhi sifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) Menurut Sudarto, sifat melawan hukum ada dua ajaran yaitu: 1. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undangundang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat dihapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). 2. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik 140
Moeljatno, KUHP, Bab I, Pasal 30 ayat (1).
96
itu dapat dihapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (urbergesetzlich).141 Tidak ada alasan pembenar artinya, tidak ada alasan yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Secara teoritis yang dapat dikategorikan sebagai alasan pembenar dalam hukum pidana adalah pembelaan terpaksa (nooodwer), melaksanakan ketentuan undang-undang, dan melaksanakan perintah atasan. 142 Secara yuridis yang dapat dikategorikan alasan pembenar diatur secara tegas pada Pasal 49 ayat (1), Pasal 50, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie telah memenuhi rumusan delik pada Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan itu menjadi indikasi bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah bersifat melawan hukum yang tepatnya bersifat melawan hukum formil. Terkait mengenai alasan pembenar, berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya alasan yang dapat menghapus sifat melawan hukum perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik pada Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut karena, perbuatan itu dilakukan bukan untuk pembelaan terpaksa, bukan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, dan bukan untuk 141 142
Sudarto, Hukum Pidana I, Op.Cit., hlm. 78. Mahrus Ali,Op.Cit., hlm. 151.
97
melaksanakan perintah atasan, melainkan untuk kepentingan pribadinya yakni untuk dikonsumsi sendiri dan untuk dijual dalam rangka mencari keuntungan materiil. 2) Orang Orang dalam hal ini adalah orang yang melakukan perbuatan atau disebut dengan pembuat oleh karena itu, yang dimaksud orang di sini adalah subjek tindak pidana. Pada dasarnya subjek tindak pidana adalah manusia (natuurlijke personen). Sudarto dalam kesimpulannya menjelaskan bahwa disamping manusia badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana disamping manusia, apabila secara khusus ditentukan dalam undang-undang untuk delik tertentu.143 Syarat lain yang harus dipenuhi untuk adanya pemidanaan adalah adanya kesalahan karena, orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum tidak dapat dijatuhi pidana apabila orang tersebut tidak memiliki kesalahan. Hal ini sesuai asas “tiada pidana tanpa kesalahan” artinya, untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada orang yang melakukan perbuatan tersebut.
143
Sudarto, Hukum Pidana I, Op.Cit., hlm. 63.
98
a) Kesalahan Kesalahan dalam arti yang luas dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya. 144 Kesalahan dalam pandangan normatif ditentukan berdasar penilaian normatif yaitu, penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara pembuat dengan perbuatannya. Kesalahan terdiri dari beberapa unsur dimana penjatuhan pemidanaan baru dimungkinkan apabila unsur-unsur tersebut telah dipenuhi. Unsur-unsur yang dimaksud diantaranya adalah: 1. Mampu bertanggung jawab Memorie van Tolichting (memori penjelasan) secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggung jawab sebagai berikut: Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat: 1) Dalam hal Ia tidak ada kebebasan memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. 2) Dalam hal Ia ada dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. 145 Ketentuan mengenai kemampuan bertanggung jawab secara a contrario dapat dilihat pada rumusan Pasal 44 KUHP yang menyatakan:
144 145
Ibid., hlm. 89-90. Ibid., hlm. 94.
99
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrikkige ontwikeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. (2) Jika ternyata bahwa perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. 146 Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie apabila dihubungkan dengan pengertian kemampuan bertanggung jawab dan ketentuan Pasal 44 KUHP diatas maka, jelas bahwa Ia dapat dipertanggung jawabkan atas kesalahannya tersebut. Hal ini karena Ia melakukan kesalahan itu dalam keadaan jiwa yang sehat, tidak ada gangguan, dan tidak dalam keadaan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sehingga dapat membedakan mana perbuatan yang diperintahkan dan dilarang oleh undang-undang, serta dapat menginsyafi akibat yang akan muncul apabila melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tersebut. 2. Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf) Dolus atau kesengajaan menurut Memorie van Toelichting adalah menghendaki dan mengetahui (willen and wettens). Seseorang yang melakukan
146
Moeljatno, KUHP, Bab I, Pasal 44.
100
sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan tiga corak sikap batin yang menunjukan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu, yaitu: a. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus directus, b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidbewustzijn atau noodzakelijkeidbewustzijn), c. Kengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voowaardelijke opzet).147 Culpa atau kealpaan menurut Memorie van Toelichting disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan di pihak lain dengan hal yang kebetulan (toevel/ casus).148 Kealpaan ada atau tidak pada suatu kesalahan bukan ditetapkan secara psikologis oleh psikiater, tetapi ditetapkan secara normatif oleh hakim. Tidak ada alasan pemaaf artinya, tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat sehingga terhadap si pembuat tetap ada pemidanaan. Alasan pemaaf ini menyangkut pribadi si pembuat itu sendiri. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie apabila dihubungkan dengan pengertian dolus dan culpa di atas, kesalahannya termasuk ke dalam dolus atau kesengajaan karena Ia menghendaki dan mengetahui mengenai kesalahan yang Ia lakukan. Kesengajaan dari kesalahan yang Ia lakukan tersebut apabila ditinjau dari corak sikap batin maka termasuk ke dalam kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) karena, kesengajaannya dimaksudkan untuk 147 148
Sudarto, Hukum Pidana I, Op. Cit., hlm. 103. Ibid., hlm. 124.
101
menimbulkan akibat yang ditujunya. Pada kesalahan yang Ia lakukan tidak ditemukan adanya alasan yang dapat menghapus kesalahannya sehingga tidak ada alasan pemaaf baginya. Uraian di atas telah menunjukan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
telah
memenuhi
syarat
pemidanaan sebagaimana yang dikemukan oleh Sudarto baik syarat mengenai perbuatan maupun syarat mengenai orang (pembuat). Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP hakim dalam menjatuhkan pidana disamping harus memenuhi syarat pemidanaan juga harus mendasarkan pada hasil pembuktian di persidangan. Pasal 183 KUHAP menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar
terjadi
dan
bahwa
terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya”.149 Kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti” pada rumusan Pasal 183 KUHAP di atas mengandung arti bahwa, hakim baru dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila mendasarkan minimal pada dua alat bukti, dan dari pemeriksaan dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan bagi hakim bahwa terdakwa terbukti bersalah. Alat bukti yang dimaksud pada Pasal 183 KUHAP tersebut lebih lanjut diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: 149
KUHAP, Bab XVI, Pasal 183.
102
Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa.150 Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. telah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP karena, penjatuhan pidana oleh hakim dalam putusan tersebut dilakukan sebagai berikut: 1. Hakim mendasarkan pada lebih dari satu alat bukti yang sah sebagaimana yang diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang terdiri dari: a. Keterangan saksi, yang diperoleh dari: Saksi Hadiyanto Saksi Pramuaji W, S.H. b. Surat, yang berupa: Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Laboratorium Forensik Cabang Semarang No. Lab: 662/KNP/VI/2011 tertanggal 08 Juni 2011. c. Keterangan
terdakwa,
yang
diperoleh
dari
pernyataan
terdakwa
dipersidangan. Alat bukti di atas disertai dengan barang bukti yang dibawa ke persidangan, barang bukti tersebut berupa: 150
KUHAP, Bab XIX, Pasal 184 (1).
103
a. Satu bungkus rokok LA merah, satu bungkus permen merk Gofress dan dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu. b. Satu buah handphone merk Nokia tipe 2323 dengan nomor kartu 081391300088 warna hitam. 2. Hakim dari alat bukti tersebut memperoleh keyakinan bahwa terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa Hak Membeli dan Menjual Narkotika Golongan I”. Uraian di atas telah menunjukkan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana di dalam putusannya yakni, Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak hanya telah memenuhi syarat pemidanaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto tetapi juga telah memenuhi ketentuan Pasal 183 KUHAP. Pejatuhan
pidana
oleh
hakim
pada
Putusan
Perkara
Nomor
52/Pid.Sus.2011/PN.Pwt. menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai dasar hukumnya. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
merupakan
undang-undang
pidana
khusus.
Sudarto
mengemukakan, “Undang-undang pidana khusus itu adalah undang-undang pidana selain KUHP, yang merupakan induk peraturan hukum pidana”.151 Undang-undang pidana khusus berlaku berdasarkan asas lex specialis derogate legi generalis yang artinya, undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum. Berlakunya asas lex specialis derogate legi generalis ini berdasarkan Pasal 103 151
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 64.
104
KUHP yang menyatakan, “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undangundang ditentukan lain”.152 Aturan hukum pidana yang diatur di luar KUHP sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 103 KUHP tersebut apabila dilihat dari aspek penyimpangan maka penyimpangan itu tetap sah, demikian pula apabila dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat penyimpangan maka penyimpangan itu juga tetap sah. Salah satu penyimpangan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar karena dalam KUHP sendiri apabila denda tidak dapat dibayar maka diganti dengan pidana kurungan. Ketentuan mengenai pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur pada Pasal 148 yang menyatakan, “Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar”.153 Ketentuan yang diatur pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut menyimpang dari ketentuan yang diatur pada Pasal 30 ayat (2) KUHP yang menyatakan, “Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan 152 153
Moeljatno, KUHP, Bab IX, Pasal 103. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XV, Pasal 148.
105
kurungan”. Secara lebih lanjut Pasal 30 ayat (3) KUHP menyatakan, “Lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling lama enam bulan”.154 Ini menunjukan bahwa KUHP menentukan secara jelas batas minimum pidana kurungan yang harus dijalani sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 148 undang-undang tersebut tidak menentukan secara jelas batas minimum pidana penjara yang harus dijalani sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar. Hal ini tentunya akan mempersulit dalam kenyataan praktik apabila pelaku melakukan percobaan (poeging), pengulangan (residive), perbarengan (concurus), atau penyertaan (deelneming) oleh karena itu harus dikembalikan lagi pada aturan induk hukum pidana yakni KUHP. Aturan dalam KUHP yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan batas minimum pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dapat dibayar sebagaimana dirumuskan pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah Pasal 30 ayat (3) karena pada pasal 30 ayat (3) diatur tentang batas minimum pidana pengganti bagi pidana denda yang tidak dapat dibayar. Berdasarkan Pasal 30 ayat (3) KUHP tersebut maka menjadi jelas bahwa ketentuan batas minimum pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar sebagaimana dirumuskan pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah satu hari. Adanya ketentuan batas minimum pidana penjara sebagai
154
Moeljatno, KUHP, Bab I, Pasal 30 ayat (2) (3).
106
pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar tersebut akan memudahkan hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara yang hendak dijatuhkan sebagai penggati pidana denda yang tidak dapat dibayar, meskipun dalam kenyataan praktik hakim dihadapkan pada pelaku yang melakukan percobaan (poeging), pengulangan (residive), perbarengan (concurus), atau penyertaan (deelneming). Berangkat dari uraian-uraian tersebut di atas, kita akan memasuki hal yang menjadi titik point dalam pembahasan tentang dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. ini, sebagaimana telah dijelaskan diawal terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Tanpa Hak Membeli dan Menjual Narkotika Golongan I” telah dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan, apabila tidak dapat membayar denda tersebut maka dapat diganti dengan pidana penjara selama empat bulan. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tersebut adalah:
107
a. Bobot perbuatan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie telah melanggar Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pasal ini menjadi dasar untuk menentukan kualifikasi tindak pidana dari perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa Yap Oen sing Bin Yap It Swie. Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak 155 Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Penerapan unsur-unsur pasal tersebut di atas pada Putusan Perkara Nomor 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Setiap orang Setiap orang yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah subjek tindak pidana sebagai orang yang diajukan dipersidangan adalah benar sebagaimana disebutkan identitasnya dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum. 156 Pada Putusan Perkara Nomor
155 156
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XV, Pasal 114. AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit., hlm. 227.
108
52/Pid.Sus/2011/PN. Pwt. dijelaskan bahwa yang dimaksud setiap orang adalah siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, yang diajukan ke persidangan karena didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie telah membenarkan identitasnya dalam surat dakwaan penuntut umum, dan setelah mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan terdakwa di persidangan, didapat fakta tidak ada kekeliruan terhadap orang (error in persona) sehingga jelas yang menjadi subjek tindak pidana pada putusan tersebut adalah manusia. 2) Tanpa hak atau melawan hukum Tanpa hak atau melawan hukum merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan. Suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang akan tetapi, perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tidak senantiasa bersifat melawan hukum karena mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa, perbuatan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie membeli narkotika jenis shabu-shabu untuk dikonsumsi sendiri dan untuk dijual kepada orang lain yang membutuhkan adalah bertentangan dengan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang
109
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan, “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.157 Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara lebih lanjut menyatakan: “Dalam jumlah terbatas Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan reagensia diagnostic, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan”.158 Pada saat memberikan keterangan terdakwaYap Oen Sing Bin Yap It Swie mengatakan bahwa Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mempunyai pengalaman dalam bidang farmasi, Ia mendapatkan narkotika jenis shabu-shabu tersebut tanpa izin dari pihak yang berwenang yang dalam hal ini Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Keamanan, dan kapasitasnya tidak terkait dengan kepentingan ilmu pengetahuan sehingga, tindakannya membeli narkotika jenis shabu-shabu dengan maksud untuk dijual lagi adalah tindakan tanpa hak atau melawan hukum. 3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I.
157 158
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab III, Pasal 7. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab III, Pasal 8 ayat (2).
110
Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I merupakan bentuk penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Soedjono Dirdjosisworo yang mengemukakan, “Pemakaian di luar pengawasan dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya sangat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara”. 159 Penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang oleh pembentuk undang-undang disebut dengan tindak pidana narkotika sebagai istilah teknis yuridisnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, pada saat diperiksa terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie mengakui membeli narkotika jenis shabu-shabu dari saudara Sri yang beralamat di Jalan Kol. Sugiri, Purwokerto seharga Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu) seberat tiga gram. Tujuan Ia membeli narkotika jenis shabu-shabu tersebut selain untuk dikonsumsi sendiri juga untuk dijual kepada orang lain yang membutuhkan, yang menurut keterangannya telah dijual kepada saudara Heri seharga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) seberat setengah gram, saudara Iwong seharga Rp 1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu rupiah) seberat satu gram, dan saudara
159
Soedjono Dirdjosisworo, Loc.Cit., hlm. 3.
111
Iwan seharga Rp 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) seberat setengah gram dengan demikian, perbuatannya membeli dan menjual narkotika jenis shabushabu tersebut telah memenuhi unsur menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I. Terpenuhinya unsur-unsur Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di atas menunjukan bahwa, tindak pidana narkotika yang dilakukan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie termasuk dalam bobot perbuatan yang cukup berat karena narkotika yang digunakan sebagai objek jual belinya adalah narkotika golongan I. Berdasarkan data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto diketahui bahwa, kualifikasi tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh penyalah guna menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara yang akan dijatuhkan sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar. Hal ini rasional saja karena setiap kualifikasi tindak pidana narkotika dengan jenis narkotika yang berbeda besar ancaman pidana dendanya berbeda pula. Kita ketahui dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika besarnya ancaman pidana denda bagi kualifikasi tindak pidana narkotika dengan jenis narkotika yang termasuk dalam golongan I adalah berkisar antara Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) - Rp 10.0000.000.000 (sepuluh milyar rupiah). Ancaman pidana denda
112
dalam jumlah tersebut dirumuskan pada Pasal 111- Pasal 116 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. b. Bobot kesalahan Kesalahan dalam pandangan normatif tidak hanya ditentukan berdasarkan hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya saja tapi berdasarkan penilaian normatif juga. Penilaian normatif ini merupakan penilaian dari luar yang tidak lain adalah penilaian dari hakim terhadap pembuat dan perbuatannya. Bobot kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie termasuk berat karena, menurut penilaian hakim terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie dalam melakukan tindak pidana narkotika ini dalam keadaan jiwa yang normal sehingga Ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, hubungan batin antara Ia dengan perbuatannya berupa kesengajaan, dan padanya tidak ditemukan adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahannya. Bobot kesalahan yang berat ini menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar, termasuk dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. c. Teori straftoemeting Menurut teori straftoemeting, pada dasarnya hakim mempunyai kebebasan dalam pemberian dan penetapan pidana hanya saja, hakim tetap harus mengikuti
113
ukuran-ukuran tertentu. Hal ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sudarto sebagai berikut: Apakah yang harus dipertimbangkan dalam penetapan pidana itu? Ini masalah pemberian pidana (straftoemeting). Masalah ini merupakan masalah yang tidak banyak disinggung dalam pelajaran hukum pidana, dan dapat diibaratkan sebagai “anak tiri dari ilmu hukum pidana” (Maurach). Padahal pemberian pidana itu bukanlah masalah yang mudah seperti perkiraan orang. Perkiraan ini dapat dimengerti karena hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana. Mengenai yang terakhir ini hakim dapat bergerak antara minimum yang berlaku untuk semua delik dan maksimum pidana yang khusus untuk tiap-tiap delik, namun kebebasan ini tidak berarti hakim boleh menjatuhkan pidana “menurut seleranya sendiri” tanpa ukuran tertentu.160 Pada apa yang telah dikemukakan oleh Sudarto di atas dikatakan bahwa, hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan tinggi rendahnya pidana, dan hakim dapat bergerak antara minimum yang berlaku untuk semua delik dan maksimum pidana yang khusus untuk tiap-tiap delik. Ini artinya, hakim bebas dalam menetapkan tinggi rendahnya pidana (straafmaat) yang akan dijatuhkan pada terdakwa akan tetapi harus memperhatikan batas minimum yang berlaku untuk semua delik dan batas maksimum pidana yang khusus untuk tiap-tiap delik tersebut sebagai ukurannya. Kita ketahui bahwa, ketentuan pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar sebagaimana yang diatur pada Pasal 148 hanya ditentukan batas maksimumnya yakni dua tahun oleh karena itu, untuk menentukan batas minimumnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya 160
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 78.
114
harus dikembalikan pada aturan induk hukum pidana yakni KUHP. Pasal 30 ayat (3) KUHP menentukan bahwa batas minimum pidana kurungan pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar adalah satu hari. Berdasarkan batas minimum yang ditentukan pada Pasal 30 ayat (3) KUHP dan berdasarkan batas maksimum yang ditentukan pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hakim dapat menjatuhkan pidana penjara sebagai pengganti pidana denda berapa pun lamanya dengan ketentuan tidak boleh kurang dari satu hari dan tidak boleh lebih dari dua tahun karena, satu hari adalah batas minimumnya dan dua tahun adalah batas maksimumnya. Menurut Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto, dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dijadikan sebagai ukuran dalam menentukan batas maksimum pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang akan dijatuhkan. Ini artinya, teori straftoemeting juga menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai penggati pidana denda yang tidak dapat dibayar yang akan dijatuhkan hakim terhadap terdakwa, termasuk pula dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
115
c. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan Dasar pertimbangan hukum hakim selanjutnya dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tentu tidak terlepas dari hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Greogorius Aryadi mengemukakan: Menurut Oemar Seno Adjie, jika dalam suatu undang-undang terdapat “ground” yang dimaksudkan untuk memberatkan atau meringankan hukuman, maka akan mengurangi kebebasan hakim dalam penjatuhan ataupun pemilihan hukuman. Tetapi sebenarnya dalam maksimal dan minimal yang ditentukan, hakim pidana bebas mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Jadi bukan kebebasan mutlak secara tidak terbatas untuk menyalurkan kehendaknya dengan kesewenang-wenangan subjektif untuk menentukan berat ringannya hukuman. Harus dipertimbangkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan yang dihadapkan kepadanya, kepribadian pelaku, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan lain-lain. 161 Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief di atas secara tegas diatur pada Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan, “Pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa”.162 Berdasarkan data
161
162
Barda Nawawi Arief, Pidana Penjara Terbatas, dalam Gregorius Aryadi, Putusan Hakim dalam Perkara Pidana (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1995, hlm. 73. KUHAP, Bab XVI, Pasal 184 (1).
116
pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto, hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan turut menjadi pertimbangan hukum hakim dalam menetukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar. Terkait hal-hal yang memberatkan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN. Pwt. diketahui bahwa, terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie melakukan tindak pidana narkotika bukan untuk yang pertama kali karena sebelumnya pada tahun 2007 terdakwa juga telah dijatuhi pidana dalam kasus yang sama. Ini artinya, Ia merupakan residivist karena Ia melakukan pengulangan (residive). Hanya saja, menurut Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika untuk kesekian kalinya tidak diartikan sebagai residive akan tetapi cukup diartikan dengan pernah dihukum yang konteks berbeda dengan residive. Tentu saja hal ini berbeda dengan teori yang ada yang menjelaskan bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana dan sebelumnya telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana juga disebut dengan residive. Mahrus Ali mengemukakan, “Residive adalah kelakuan seesorang yang mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi pidana oleh putusan hakim yang
117
mempunyai kekuatan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukannya lebih dahulu”.163 Mengacu pada teori residive yang ada yang dikemukakan oleh para ahli hukum seperti yang dikemukakan oleh Mahrus Ali di atas maka, tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie bagaimanapun juga harus diartikan sebagai residive dan residive yang dilakukan oleh terdakwa tersebut dalam hal ini tidak menggunakan ketentuan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini karena pertama kali terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie dihukum melakukan tindak pidana narkotika adalah pada tahun 2007 dan pengulangan yang dilakukannya terjadi pada tahun 2011 sehingga, renggang waktu dari tahun 2007 sampai tahun 2011 telah melewati batas waktu tiga tahun. Pasal 144 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan: Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahunmelakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129, pidana maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).164 Ketentuan yang digunakan untuk pengulangan (residive) dalam hal ini adalah ketentuan dalam KUHP Buku Kedua Bab XXXI karena, secara umum ketentuan batas waktu maksimum pengulangan (residive) yang diatur dalam KUHP Buku 163 164
Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 139. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Bab XIV, Pasal 144.
118
Kedua Bab XXXI adalah lima tahun baik ketentuan yang dirumuskan pada Pasal 486, Pasal 487, maupun Pasal 488. Pasal 486 KUHP menyatakan: Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244248, 253-260 bis, 263, 264, 268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua, dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditujunjuk kepada ayat kedua dan ketiga Pasal 365, Pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381, 383, 385, 388, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480, dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat keempat Pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya, atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140-143, 145 dan 149, Kitab Undang-Undang Hukum Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan (kwijtgescholden) atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa. 165 Pasal 487 KUHP menyatakan: Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131, 133, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353 355, 438 – 443, 459 dan 460, begitupun pidana pidana penjara selama waktu tertentu yang diajtuhkan menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ayat ketiga, Pasal 140 ayat kedua dan ayat ketiga, 339, 340, dan 444, dapat ditambah sepertiga. jika yang bersalah ketika melakukan belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau mati, Pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 KUHP Tentara, atau sejak pidana 165
Moelyatno, KUHP, Bab XXXI, Pasal 486.
119
tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa. 166 Pasal 488 KUHP menyatakan: Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134 – 138, 142 – 144, 207, 208, 310 – 321, 483, dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana itu baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa. 167 Pasal-pasal tersebut di atas dalam penerapannya dihubungkan dengan Pasal 12 ayat (3) KUHP yang menyatakan: Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun beturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concurus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (L.N. 1958 No. 127).168 Terkait hal-hal yang meringankan sebagaimana dari data hasil penelitian diketahui bahwa, terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie mengaku bersalah, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulanginya perbuatannya. Hal yang meringankan ini apabila dicermati maka lebih kepada sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, yang mana sikap dan tindakan pembuat sesudah 166 167 168
Moeljatno, KUHP, Bab XXXI, Pasal 487. Moeljatno, KUHP, Bab XXXI, Pasal 488. Moeljatno, KUHP, Bab II, Pasal 12 ayat (3).
120
melakukan
tindak
pidana
wajib
dipertimbangkan
oleh
hakim
dalam
pemidanaan.169 J.E. Sahetapy mengemukakan: Patutlah diingat bahwa masalah berat ringan atau takaran pidana sangat erat bertautan dengan konsep penilaian yang hendak diberikan terhadap kejahatan atau jenis kejahatan yang tertentu. In concreto lazimnya takaran atau berat ringannya pidana dikaitkan dengan sikap penjahat selama Ia diadili. Selain dari itu takaran tersebut juga dipengaruhi oleh hal-hal lain, seperti apakah Ia mempersulit jalannya sidang dan sebagainya. Ada pula beberapa hal lain yang tampaknya dilupakan, seperti realitas kehidupan sosial, sepak terjang hidupnya, sifat, bentuk, dan cara kejahatan yang dilaksanakannya serta juga bagaimana skala nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan. 170 Pada apa yang telah dikemukakan oleh J.E. Sahetapy di atas diketahui bahwa, untuk menentukan berat ringan pidana yang hendak dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa berkaitan dengan sikap terdakwa itu selama menjalani proses persidangan dan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie selama menjalani proses persidangan tidak mempersulit jalannya proses persidangan tersebut. Hal ini tampak dari sikapnya yang mengakui perbuatan yang telah dilakukannya dan memberikan keterangan yang jelas dan tidak berbelit-belit. Ini artinya, sikap yang Ia tampakkan selama menjalani proses persidangan tersebut berkaitan juga dengan penentuan lamanya pidana penjara yang akan dijatuhkan sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
169 170
Muladi, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 69. J.E. Sahetapy,Op.Cit., hlm. 180.
121
Kekuasaan Kehakiman dalam hal yang sama menyatakan, “Dalam menentukan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.171 Tidak terlepas dari dasar pertimbangan hukum hakim seperti yang telah dijelaskan di atas, perlu diperhatikan bahwa pada Putusan Perkara Nomor 52/Pid.Sus/PN.Pwt. masih ada hal lain yang bersifat tersirat yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai pengganti pidana denda tersebut yaitu tujuan pemidanaan. Hal ini karena hakim dalam menjatuhkan pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) telah memperhitungkan tujuan pemidanaan. Terkait tujuan pemidanaan dalam penjatuhan pidana oleh hakim, Roeslan Saleh mengemukakan: Jelaslah bahwa dengan demikian hakim harus memperhitungkan semua tujuan pemidanaan. Ia tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat saja, atau kepentingan-kepentingan pembuat saja, atau juga hanya memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dia juga tidak perlu memuaskan sekaligus semua tujuan pemidanaan itu. Dan memang juga tidak mungkin Ia berbuat demikian. Dalam kejadian-kejadian konkrit hakim dapat memberi tekanan-tekanan pada hal tertentu.172 Roeslan Saleh lebih lanjut mengemukakan: Menurut hemat kami dalam garis besarnya ada beberapa hal yang dapat ditekankan hakim dalam putusannya. Artinya ada beberapa tujuan yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana. 171 172
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab II, pasal 8 ayat (2). Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op.Cit.,hlm.5.
122
Yang pertama adalah apa yang disebut orang dengan koreksi. Terhadap orang yang melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan berlaku sebagai suatu peringatan bahwa hal itu tidak boleh berulang lagi. Seperti demikianlah yang disebut koreksi. Kedua adalah resoasialisasi. Yang dimaksud dengan ini adalah usaha dengan tujuan bahwa terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan lagi kejahatan-kejahatan. Ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi bilamana masalahnya adalah untuk manusia yang telah melakukan kejahatan berat dan harus dikhawatirkan, bahkan ditakuti, bahwa diwaktu yang akan datang masih besar sekali kemungkinannya dia akan melakukan delik-delik berat, walaupun terhadapnya telah diadakan resosialisasi. 173 Berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Roeslan Saleh di atas apabila dihubungkan dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian maka, wujud hakim telah memperhitungkan tujuan pemidanaan dalam menjatuhkan pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/PN.Pwt. tampak dari tekanan-tekanan tertentu yang diberikan oleh hakim terhadap kepentingan pelaku, kepentingan masyarakat, dan kepentingan korban. 1) Kepentingan pelaku Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian tampak bahwa hakim memperhatikan kehidupan terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie pada masa yang akan datang. Penjatuhan pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda Rp 1.000.000.000,00(satu milyar rupiah) dirasa sudah
173
Ibid., hlm. 5-6.
123
cukup untuk mencapai tujuan koreksi dan resosialisasi karena, terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie bukan merupakan pelaku kategori kelas berat, mengingat Ia dalam kasus ini hanya sebagai pembeli dan penjual narkotika kategori kelas rendah,
dan
mengingat
juga
pada
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. ini Ia telah dijatuhi pidana penjara selama lima tahun yang dirumuskan secara kumulatif dengan pidana penjara yang menjadi pengganti pidana denda Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tersebut. 2) Kepentingan masyarakat Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian tampak bahwa hakim memperhatikan kehidupan masyarakat untuk mewujudkan rasa aman dan terlindungi dari kegiatan penyalahgunaan narkotika yang dapat mengakibatkan kemerosotan moral, meningkatnya kecelakaan, meningkatnya kriminalitas, meningkatnya penyakit HIV/AIDS dan akibat negatif lainnya, yang semuanya itu ditujukan dalam rangka mencapai tujuan pengayoman kehidupan masyarakat . Penjatuhan pidana penjara selama empat bulan sebagai pengganti pidana denda Rp 1.000.000.000,00 dirasa sudah cukup untuk mencapai tujuan tersebut karena, pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. ini terdakwaYap Oen Sing Bin Yap It Swie juga telah dijatuhi pidana penjara selama lima tahun yang dirumuskan secara kumulatif dengan pidana penjara yang menjadi pengganti pidana denda Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tersebut.
124
3) Kepentingan korban Kita ketahui bahwa korban tindak pidana narkotika biasanya adalah pelaku tindak pidana narkotika itu sendiri yang disebut dengan penyalah guna sehingga wujud korbannya tidak tampak seperti halnya korban pembunuhan, perampokan, atau pencurian, disamping penyalah guna korban tindak pidana narkotika lainnya adalah masyarakat. Penyalah guna yang menjadi korban adalah individu penyalah guna yang membeli dan mengkonsumsi narkotika secara terus-menerus karena, mengkonsumsi narkotika secara terus-menerus akan menimbulkan akibat negatif diantaranya: toleransi, dependesi (psikis dan phisik), abstinensi, eksalasi, flash back phenomena, demenfia, psikosis, bahkan kematian. 174 Masyarakat merupakan korban tindak pidana narkotika karena tindak pidana narkotika dapat menimbulkan akibat negatif terhadap masyarakat diantaranya: kemerosotan moral, meningkatnya kecelakaan, dan meningkatnya kriminalitas. 175 Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, hakim pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN. Pwt. telah memperhatikan kepentingan korban, baik korban itu adalah individu penyalah guna yang telah membeli dan mengkonsumsi narkotika secara terus menerus maupun korban itu adalah masyarakat karena, dengan dijatuhkannya pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan
174 175
Soedjono Dirdjosisworo, Loc.Cit., hlm. 25-26. Ibid.
125
apabila denda tersebut tidak dapat dibayar maka diganti pidana penjara selama empat bulan, individu penyalah guna yang berperan sebagai pembeli dan pengkonsumsi akan lebih jera mengulangi perbuatannya dan masyarakat akan lebih merasa aman dan terlindungi dari kemerosotan moral, meningkatnya kecelakaan, dan meningkatnya kriminalitas. Adanya
pemberian
tekanan-tekanan
tertentu
pada
kepentingan
pelaku,
kepentingan masyarakat, dan kepentingan korban sebagaimana yang diuraikan di atas telah menunjukan bahwa, pemidanaan yang dilakukan oleh hakim pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. senada dengan tujuan pemidanaan dalam salah satu laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang menyatakan: a. Sesuai dengan tujuan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingankepentingan masyarakat/ negara, korban, dan pelaku. b. Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat: 1) Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. 2) Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruksi bagi usaha penanggulangan kejahatan. 3) Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.176
176
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Loc.Cit., hlm. 83.
126
2. Efektifitas Pidana Denda yang Dialternatifkan dengan Pidana Penjara pada Putusan Perkara Nomor 52/Pid.sus/2011/PN.Pwt. Pengertian efektivitas menurut Ensiklopedia Indonesia, menunjukan taraf tercapainya suatu tujuan. Adapun pengertian efektifitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian keefektifan, dimana keefektifan adalah: 1. keadaan berpengaruh; hal berkesan; 2. kemanjuran; kemujaraban (tentang obat); 3. keberhasilan (tentang usaha, tindakan); kemangkusan; 4. hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan). Terkait pengertian pidana denda Andy Hamzah mengemukakan, “Pidana denda adalah pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.177 Di Indonesia pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para hakim dibandingkan dengan jenis pidana pokok lainnya oleh karena itu, pelaksanaan pidana denda di Indonesia kurang efektif dan yang perlu diperhatikan adalah kebijakan legislatifnya. Hal ini karena kebijakan legislatif dalam usaha untuk mengefektifkan pelaksanaan pidana denda lebih terfokus pada peningkatan besarnya ancaman pidana denda. Pada kenyataanya kebijakan legislatif dalam usaha untuk mengefektifkan pidana denda tidak cukup hanya 177
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Loc.Cit.,hlm. 120.
127
dengan meningkatkan besarnya ancaman pidana denda. Barda Nawawi Arief mengemukakan: Dalam menetapkan kebijakan legislatif yang berhubungan dengan pelaksanaan (operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan) pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengenai: a. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda; b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda; c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan; d. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap seorang anak yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua); e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda. 178 Pada apa yang telah dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief di atas diketahui bahwa, kebijakan legislatif yang harus diperhatikan oleh para legislator terkait pelaksanaan (operasionalisasi/ fungsionalisasi/ penegakan) pidana denda harus mencangkup keseluruhan sistem pelaksanaan pidana denda itu sendiri. Salah satu contoh ketidakefektifan pidana denda yang dapat kita lihat meskipun kebijakan legislatif telah meningkatkan ancaman pidana denda adalah pada ketentuan pidana denda dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan jumlah ancaman pidana denda secara besar-besaran yaitu mulai dari Rp 50.000.000.000 (lima puluh juta rupiah) hingga Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) akan tetapi, pada kenyataannya kebanyakan pelaku tindak pidana narkotika lebih banyak
178
Ibid., hlm. 181.
128
dijatuhi pidana alternatifnya yakni pidana penjara yang batas maksimumnnya hanya ditentukan dua tahun sebagaimana diatur pada Pasal 148 yang menyatakan, “Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar”.179 Lebih banyaknya pelaku tindak pidana narkotika yang dijatuhi pidana alternatif ini secara garis besar disebabkan oleh dua hal yaitu: Pertama, meskipun secara formil pidana denda memang dirumuskan secara kumulatif dengan pidana penjara akan tetapi, secara materiil pidana denda sifatnya alternatif sehingga dimungkin hakim hanya menjatuhkan pidana penjara. Kedua, adanya kecenderungan pelaku tindak pidana narkotika lebih memilih pidana penjara dibandingkan dengan pidana denda karena dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu: a. Faktor kondisi ekonomi Pelaku tindak pidana narkotika bisa berasal dari kelas ekonomi bawah, menengah dan atas. Berdasarkan data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto diketahui bahwa, kebanyakan pelaku tindak
179
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Bab XV, Pasal 148.
129
pidana narkotika yang diadili di Pengadilan Negeri Purwokerto berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah sehingga kecenderungan mereka adalah memilih pidana penjara yang merupakan pidana alternatifnya daripada pidana denda yang telah dijatuhkan karena, keadaan ekonominya tidak memungkinkan untuk membayar denda yang jumlahnya berjuta-juta sampai bermilyar-milyar rupiah, dan sampai saat ini dari sekian banyak Beliau mengadili kasus tindak pidana narkotika belum ada pelaku tindak pidana narkotika yang melaksanakan pidana denda. b. Faktor keuntungan dan kerugian materiil Pelaku tindak pidana narkotika baik yang berasal dari kelas ekonomi bawah, menengah, maupun atas, dalam memilih pidana yang hendak dijalani pasti memikirkan keuntungan dan kerugian materiil. Hal ini dikarenakan kuantitas pidana denda dengan kuantitas pidana penjara yang merupakan pidana alternatif tidak seimbang. Pidana denda yang diancamkan dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berkisar antara Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah), sedangkan batas maksimum pidana penjara yang merupakan pidana alternatifnya hanya ditentukan dua tahun. Ini artinya, betapa pun besarnya pidana denda yang telah dijatuhkan oleh hakim apabila pelaku tidak membayar denda tersebut maka pelaku hanya dikenakan pidana penjara maksimum dua tahun sebagai pidana alternatifnya, dalam hal ini apabila pelaku
130
dari hasil tindak pidana narkotika yang dilakukannya telah memperoleh keuntungan materiil maka kecenderungannya pelaku akan lebih memilih pidana penjara daripada pidana denda karena dengan begitu pelaku ataupun keluarganya tetap dapat menikmati keuntungan tersebut. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena berdasarkan data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Abdul Latif yang merupakan salah satu hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto diketahui bahwa, selama ini tindakan penyitaan yang dilakukan pada pelaku tindak pidana narkotika yang berperan sebagai pembeli dan penjual biasanya hanya meliputi barang-barang bukti saja, seperti pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. ini yang disita hanya narkotika jenis shabu-shabu yang menjadi objek jual beli, satu bungkus rokok LA merah dan satu bungkus permen merk Gofress yang digunakan untuk menyimpan narkotika jenis shabu-shabu tersebut, dua bungkus plastik kecil transparan berisi narkotika jenis shabu-shabu serta handphone yang menjadi alat komunikasi untuk melakukan transaksi jual beli. Secara logika meskipun dimungkinkan terjadi tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika tetap saja kecenderungan pelaku adalah menjalani pidana penjara daripada pidana denda karena, dengan adanya tindakan penyitaan terhadap harta kekayaannya maka pelaku telah dimiskinkan sehingga akan lebih meringankan dan menguntungkan bagi pelaku apabila pelaku memilih pidana penjara
131
daripada memilih pidana denda yang besarnya mencapai berjuta-juta rupiah hingga bermilyar-milyar rupiah. Pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. hakim telah menjatuhkan pidana penjara selama lima tahun dan pidana denda Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang dirumuskan dalam bentuk kumulatif terhadap terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie dengan ketentuan, apabila tidak dapat membayar denda maka diganti dengan pidana penjara selama empat bulan. Penjatuhan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang dialternatifkan dengan pidana penjara selama empat bulan tersebut dalam pelaksanaannya terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie lebih memilih pidana penjara selama empat bulan. Penyebab Ia lebih memilih pidana penjara daripada pidana denda adalah karena faktor kondisi ekonomi. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa, Ia tidak mempunyai pekerjaan atau dengan kata lain Ia seorang pengangguran sehingga tidak memungkin baginya membayar denda dalam jumlah tersebut, diketahui juga bahwa Ia dalam kasus ini bukan sebagai pembeli dan penjual narkotika kelas atas melainkan hanya sebagai pembeli dan penjual narkotika kelas bawah, dimana keuntungan dari jual beli narkotika itu Ia gunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Ini artinya, pidana denda pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak efektif karena pidana denda yang telah dijatuhkan tidak dilaksanakan, dan dengan tidak dilaksanakannya pidana denda
132
tersebut maka tujuan dijatuhkan pidana denda oleh hakim pun tidak tercapai. Tujuan yang dimaksud oleh hakim dalam penjatuhan pidana denda pada putusan tersebut yaitu: a. Penjeraan Tujuan dijatuhkan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) adalah agar terdakwaYap Oen Sing Bin Yap It Swie merasa jera untuk melakukan tindak pidana narkotika karena, disamping Ia telah dijatuhi pidana penjara selama lima tahun Ia juga harus membayar denda dalam yang jumlah besar. b. Perbaikan diri Tujuan dijatuhkan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) adalah agar terdakwaYap Oen Sing Bin Yap It Swie bisa memperbaiki diri tanpa harus lebih lama menjalani pidana penjara, sebagaimana kita ketahui pidana penjara membawa dampak yang negatif pada aspek psikologis dan kesehatan disamping itu, dikhawatirkan apabila Ia berada terlalu lama di penjara maka Ia dapat belajar modus yang lebih tinggi. Hal ini karena mengingat terdakwa hanya merupakan pembeli dan penjual narkotika kategori kelas bawah.
133
BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV maka didapat simpulan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan lamanya pidana penjara sebagai
pengganti
pidana
denda
pada
Putusan
Perkara
Nomor:
52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. adalah dari bobot perbuatan terdakwa, bobot kesalahan terdakwa, adanya teori straftoemeting dalam pemidanaan, adanya hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan, serta tujuan pemidanaan yang bersifat tersirat. 2. Pidana denda yang dialternatifkan dengan pidana penjara pada Putusan Perkara Nomor: 52/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. tidak efektif karena, pidana denda yang telah dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa Yap Oen Sing Bin Yap It Swie tidak dilaksanakan. Faktor kondisi ekonomi menjadi penyebab Ia tidak melaksanakan pidana denda dan lebih memilih menjalani pidana penjara yang merupakan pidana alternatifnya.
134
B. SARAN Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan di atas, saran yang dapat diberikan sebagai berikut: 1. Sebaiknya kebijakan formulasi pidana pada Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diperbaiki, dengan cara menetapkan batas minimum pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar pada pasal tersebut. 2. Sebaiknya kebijakan legislatif mengenai pidana denda dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diperbaiki, salah satunya dengan cara menetapkan kuantitas pidana denda yang seimbang dengan kuantitas pidana penjara sebagai pidana alternatifnya agar pidana denda yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana narkotika menjadi efektif.
135
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku: Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hamzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. . 2009. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Hawari, Dadang. 1997. Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dana Bakti Primayasa. Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing. Lamintang. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico Bandung. . 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Mahmud, Peter Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Makarso Taufik., Suhasril dan Moh. Zakky. 2005. Tindak Pidana Narkotika. Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia. Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Penerbit Alumni.
136
Nawawi, Barda Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. . 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. . 2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana. Remelink, Jan. 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Projodikoro, Wirjono. 1981. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta: PT. Eresco. Puji, PrayitnoKuat. 2009. “Kesenian Hukum dan Penemuan Hukum”. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. RoeslanSaleh. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Sahetapy, J.E. 1982. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana. Jakarta: Rajawali Press. Sholehuddin, M. 2003.Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya). Jakarta: Grafindo Persada. Sudarto.1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. . 1990. Hukum Pidana. Jilid 1A-B. Purwokerto: Fakultas Hukum Jenderal Soedirman.
137
Sujono, AR. dan Bony Daniel. 2011. Komentar & Pembahasan Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika. Sunaryo, Sidik. 2005. Kapita Selekta Peradilan Pidana. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang. Suparni, Niniek. 2007. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta:SinarGrafika. Wresniwiro, M.dkk, 2000. Masalah Narkotika & Obat Berbahaya. Jakarta: Yayasan Mitra Bintibmas. Utrecht, E. 1958. Hukum Pidana I. Jakarta: Universitas Jakarta. B. Literatur lain: Pyzam, “Definisi atau Pengertian Efektivitas”. http://pyjam.com. diakses 23/11/2012. Sudrajat, Tedi. 2012. “Aplikasi Metode Penelitian Normatif dalam Penulisan Hukum”. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Usman.2012. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum. http://online-journal.unja.ac.id.diakses 30/09/2012. C. PeraturanPerundang-Undangan Moeljatno. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Republik Indonesia.Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Semarang: Aneka Ilmu.
138
. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Grasi. . Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. . Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. . Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2010.
139