23
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA, PIDANA PENGAWASAN, PIDANA PENJARA DAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA 1.1.
Hukum Pidana
1.1.1. Pengertian Hukum Pidana Untuk mengetahui hakikat Hukum Pidana, terlebih dahulu perlu dikemukakan pandangan ahli. Sarjana-sarjana klasik seperti WLG Lemaire menyatakan bahwa hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat khusus.1 Pompe memberikan definisi sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan apa yang diancamkan dengan pidana dan dimana pidana itu menjelma. Definisi yang telah diberikan oleh Pompe tersebut, dapat diketahui bahwa unsur Hukum Pidana ada 2 (dua) yakni pertama, berupa peraturan hukum yang menentukan perbuatan apa yang diancam dengan pidana. Kedua, peraturan hukum tentang pidana, berat dan jenisnya, serta cara menerapkannya. 2
1
PAF Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru, Bandung, (selanjutnya disebut PAF Lamintang I), h. 1. 2 AZ Abidin dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Yarsif Watampone, Jakarta, h. 1.
24
Dalam Black Law Dictionary disebutkan Criminal Law adalah the body of law defining offences against the community at large, regulating how suspect are invetigated, charged, and tried and astablishing punishment for convicted offeders.3 Soedarto memberikan definisi Hukum Pidana sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat perbuatan pidana.4 Sementara itu Simons memberikan definisi Hukum Pidana adalah: a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati; b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana; c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana. Dengan demikian Hukum Pidana dapat disimpulkan sebagai suatu ketentuan hukum atau undang-undang yang menentukan perbuatan yang dilarang atau pantang untuk dilakukan dan ancaman sanksi terhadap pelanggaran larangan tersebut. Banyak ahli berpendapat bahwa Hukum Pidana menempati tempat tersendiri dalam sistematik hukum, hal ini disebabkan karena Hukum Pidana tidak menetapkan norma tersendiri, akan tetapi memperkuat norma-norma di bidang hukum lain dengan menetapkan ancaman sanksi atas pelanggaran norma-norma di bidang hukum lain tersebut. 1.1.2. Tujuan Hukum Pidana
3
Bryan A. Garner, 204, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson-West, h. 402. Soedarto, 1975, Hukum Pidana Jilid 1A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h. 7. 4
25
Tujuan dari hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat dengan cara melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan hukum pidana demi terciptanya rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Beberapa ahli dari hukum pidana mengutarakan mengenai tujuan hukum pidana adalah sebagai berikut: 1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventive) maupun dengan cara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventive). 2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.5 Dapat diketahui disini bahwa tujuan hukum pidana bukan hanya memberikan penderitaan bagi orang yang bersalah, namun juga langkah utnuk memperbaiki dan mencegah terjadi suatu perbuatan pidana, baik berupa kejahatan ataupun pelanggaran. Inilah tujuan hakiki dari hukum pidana yaitu menciptakan kesejahteraan dan kedamaian dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat.
1.2.
Pidana Pengawasan
5
Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edy Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Pidana, Indie Publishing, Depok, h. 6.
26
1.2.1. Pengertian Pidana Pengawasan Pengaturan tentang pidana bersyarat dalam KUHP yang berlaku saat ini belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek (kurang dari enam bulan). Salah satu bentuk alternatif pidana perampasan kemerdekaan (alternatives to imprisonment) yang lain ialah dengan diadakannya jenis sanksi yang dikenal dengan istilah probation and judicial supervision (The Tokyo Rules-Rule 8.2 huruf h). Hal ini juga sesuai dengan Konggres PBB ketiga di Stockhlom pada tahun 1965 tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana, yang juga memfokuskan pada diskusi-diskusi tentang pidana pengawasan (probation) untuk orang dewasa dan tindakan-tindakan lain yang bersifat non-institusional.6 Pidana Pengawasan merupakan alternatif pidana perampasan kemerdekaan bersyarat, yaitu adanya ketentuan untuk tidak dijalankannya pidana yang telah dijatuhkan (yang berkaitan dengan pidana penjara) dengan diadakannya syarat-syarat tertentu dan ditetapkan masa percobaan paling lama 3 (tiga) tahun. Menurut Muladi, istilah pidana pengawasan (probation) dalam pengertian modern mempunyai arti sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengadakan rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana, dengan cara mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode pengawasan.7
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit, h. 84.
7
Ibid, h. 155-156.
27
Pidana Pengawasan selain dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat, juga dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh pidana pencabutan kemerdekaan, terutama dalam bentuk gangguan terhadap kehidupan sosial yang normal yang akan menambah kesulitan narapidana dalam penyesuaian diri kepada masyarakat serta keluarganya dan sering kali meningkatkan kemungkinan timbulnya residivisme. Muladi mengemukakan bahwa dalam Pidana Pengawasan, pelaku tindak pidana dalam perkara tertentu (perbuatan dan keadaannya) diputuskan untuk dikembalikan pada masyarakat dengan pengawasan, bantuan, dukungan dan bimbingan dari pejabat pengawas untuk menjadi manusia yang baik dan berguna bagi masyarakatnya. Dalam hal ini, terdapat upaya guna menghindarkan atau melindungi pelaku tindak pidana tersebut dari kemungkinan pengaruh buruk yang bisa terjadi bila ditempatkan di dalam penjara. Pidana Pengawasan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan dapat membantu pelaku tindak pidana untuk dapat melanjutkan kehidupan sosial yang normal kembali, meningkatkan kemungkinan untuk memberikan kompensasi atas kerugian-kerugian si korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dengan demikian, dalam pidana pengawasan telah tercakup adanya upaya untuk mengimplementasikan ide atau gagasan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pelaku. Pidana Pengawasan ini bukanlah merupakan tindakan pembebasan terhadap si pelaku karena pada kenyataannya jenis Pidana Pengawasan berupa probation ini
28
memuat didalamnya berupa kewajiban-kewajiban yang justru nantinya akan dirasakan lebih berat daripada jenis pidana yang telah diatur secara formal seperti halnya pidana denda. 1.2.2. Hubungan Pidana Pengawasan dengan Pidana Bersyarat Pidana bersyarat sering disebut dengan putusan percobaan (voorwaardelijke veroordeling) dan bukan merupakan salah satu dari jenis pemidanaan karena tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 10 KUHP, tetapi ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terkait pada Pasal 10 KUHP, khususnya pada pidana penjara dan kurungan yang keberlakuannya hanya pada batas satu tahun penjara atau kurungan. Pidana dengan bersyarat, yang dalam praktik hukum sering disebut sebagai pidana percobaan, adalah suatu sistem atau model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantung pada syarat-syarat tertentu, yang artinya pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya. Andi Hamzah dan Siti Rahayu berpendapat mengenai pidana bersyarat dengan menyatakan bahwa pemidanaan bersyarat dapat disebut pula pemidanaan dengan perjanjian atau pemidanaan secara janggelan, dan artinya adalah menjatuhkan pidana kepada seseorang, akan tetapi pidana ini tak usah dijalani kecuali di kemudian hari ternyata bahwa terpidana sebelum habis tempo percobaan berbuat suatu tindak pidana
29
lagi atau melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya oleh hakim, jadi keputusan pidana tetap ada akan tetapi hanya pelaksanaan pidana itu tidak dilakukan.8 Sementara Muladi juga menyatakan bahwa pidana bersyarat adalah suatu pidana di mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan (pidana bersyarat ini merupakan penundaan pelaksanaan pidana.9 Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pidana bersyarat terdapat dalam ketentuan Pasal 14a sampai Pasal 14f KUHP telah ditambahkan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 251 jo. Nomor 486 dan mulai diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1927. Berdasarkan penjelasan Pasal 74 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana pengawasan bersifat noncustodial, probation, atau pidana penjara bersyarat sebagaimana dimaksud dalam KUHP. Dari penjelasan pasal diatas maka dapat diketahui bahwa pidana pengawasan memiliki makna atau pengertian yang sama dengan pidana bersyarat. Perlu diketahui bahwa penjelasan dalam RUU KUHP bersifat tidak mengikat karena masih dalam bentuk rancangan (tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan), dari segi istilah asing pun terdapat perbedaan yakni pidana bersyarat bernama suspended, sedangkan pidana pengawasan bernama probation, oleh sebab
8 9
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 112. Muladi, 2008, h. 95.
30
itu sangat diperlukan adanya batasan-batasan mengenai perbedaan antara pidana bersyarat dengan pidana pengawasan. 1.3.
Pidana Penjara
1.3.1. Pengertian Pidana Penjara Sudarto mengemukakan bahwa istilah pidana perampasan kemerdekaan lazim juga disebut pidana penjara.10 Secara etimologis, kata penjara berasal dari kata penjoro (kata dari bahasa Jawa) yang berarti taubat atau jera, dipenjara berart dibuat jera.11 Istilah penjara berasal dari kata “penjera”, artinya sesuatu yang menjadikan jera seseorang. Karena itu, kata penjara kemudian dirangkai dengan kata pidana (straf) dan kemudian lahir istilah pidana penjara. Pidana penjara bukan merupakan jenis pidana asli Indonesia. Jenis pidana penjara tersebut mulai dikenal di Indonesia karena diatur dalam Pasal 10 KUHP. Secara terminologis, pengertian pidana penjara di Indonesia sama dengan pidana perampasan kemerdekaan (deprived liberty).12 Secara normatif tidak dijumpai batasan atau definisi tentang Pidana Perampasan Kemerdekaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perampasan kemerdekaan dengan variannya masing-masing seperti pidan penjara maupun kurungan merupakan jenis pidana yang universal. Perampasan kemerdekaan merupakan bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang dengan menempatkan
10 11
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 90. R.A. Koesnoen, 1964, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung,
h. 9. 12
Widodo, op.cit, h. 1.
31
pada suatu tempat tertentu sehingga kehilangan kebebasannya untuk berada atau pergi pada atau ke suatu tempat berdasarkan kehendaknya sendiri.13 Menurut PAF Lamintang, pidana perampasan kemerdekaan atau penjara telah dikenal sejak abad keenam belas dan ketujuh belas, pada waktu itu hukuman dilakukan dengan menutup para terpidana di menara-menara, di puri-puri atau di benteng-benteng. Pidana ini semula dijatuhkan kepada mereka dalam bentuk hukuman mati, akan tetapi kemudian justru bergeser pula dijatuhkan kepada mereka berupa pidana perampasan kemerdekaan baik untuk sementara maupun untuk seumur hidup.14 Secara umum yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.15 1.3.2. Kelemahan Pidana Penjara
13
Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya, Bandung, h. 27. 14 PAF Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Armico, Bandung, (selanjutnya disebut PAF Lamintang II), h. 56. 15
PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 54.
32
Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa ancaman pidana penjara sangat dominan, yaitu sebagaimana diatur dalam hukum pidana negara asing dan KUHP Indonesia. Dalam KUHP Indonesia, jumlah ancaman pidana penjara secara tunggal dan alternatif sebanyak 98% (sembilan puluh delapan persen) dari seluruh tindak pidana yang diatur. Dalam ketentuan pidana diluar KUHP, pidana penjara diancamkan sekitar 92% (sembilan puluh dua persen) dari seluruh jumlah tindak pidana. Jumlah perumusan pidana penjara dan/atau denda (sistem altenatif-kumulatif) sekitar 23% (dua puluh tiga persen), jumlah pidana atau denda (perumusan alternatif) sekitar 21% (dua puluh satu persen), jumlah pidana penjara saja (perumusan tunggal) sekitar 20% (dua puluh persen).16 Meskipun pidana penjara merupakan pidana utama yang diancamkan dan dilaksanakan oleh mayoritas negara, sejak dahulu sampai saat ini efektivitas pidana penjara masih diragukan.17 Efektivitas pidana penjara dalam kaitannya dengan penanggulangan kejahatan telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan narapidana. Pertama, akibat pidana penjara dapat merampas aktivitas seksual seseorang terutama mereka yang telah berkeluarga. Kebutuhan biologis yang tidak terpenuhi secara wajar, akan menimbulkan penyimpangan seksual yang parah. Kedua, pidana penjara dapat memberikan stigma negatif pada seseorang yang pernah dijatuhi pidana. Ketiga,
16 17
.Widodo, op.cit, h. 13. Sudarto, op.cit, h. 90.
33
dampak negatif dari kedua hal diatas, menimbulkan perasaan berupa hilangnya kepercayaan diri untuk hidup secara normal di tengah pergaulan masyarakat.18 Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan agar pidana penjara atau pidana perampasan kemerdekaan sedapat mungkin dihindarkan, terutama terhadap mereka yang baru pertama kali melakukan kejahatan, terdakwanya masih muda atau telah berusia lanjut atau kerugian yang ditimbulkan tidak mengguncang sendi-sendi kehidupan masyarakat. Menurut PBB bahwa orang tidak menjadi lebih baik tetapi justru menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara. Didalam penjara-penjara antara narapidana terjadi interaksi tentang modus dan motif-motif melakukan kejahatan, sehingga orang yang baik sekalipun akan belajar metode dan teknik untuk melakukan kejahatan. Penyebab salah satu faktor penolakan terhadap pidana penjara yakni akan timbulnya prisonisasi (prisonization). Penjara merupakan suatu komunitas sosial yang berbeda dengan masyarakat di luarnya. Penjara telah tumbuh menjadi suatu institusi yang memproduksi suatu kultur baru yang asing.19 Melihat dalam penerapannya, pidana penjara menimbulkan hal yang negatif baik
itu
terhadap
narapidana
maupun
pada
masyarakat,
maka
dalam
perkembangannya pidana penjara menuai banyak kritikan, baik dari para ahli maupun
18 19
M. Ali Zaidan, op.cit, h. 35-36. Ibid.
34
masyarakat yang menganggap pidana penjara dewasa ini kurang efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.20 Pada umumnya, analisis kelemahan pidana penjara yang dilakukan oleh para ahli lebih menitik beratkan pada pidana penjara jangka pendek. Pidana penjara itu sendiri dalam hal eksistensinya tidak bisa dibuang secara keseluruhan, oleh sebab itu munculah pidana penjara jangka pendek yang kemudian menjadi sorotan oleh para ahli. Sejalan juga seperti yang telah dikemukakan oleh Muladi bahwa hakikat pencarian alternatif pengganti pidana penjara adalah bagaimana membatasi penggunaan pidana penjara jangka pendek.21 Selama ini yang sebenarnya menjadi persoalan bukanlah pidana penjaranya, melainkan bagaimana pelaksanaan pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan dan bagaimana cara menyadarkan masyarakat agar mantan narapidana tidak selalu dianggap sebagai penjahat. Karena dua hal itu yang mengakibatkan penerapan hukuman menjadi kurang efektif dan tujuan dari pidana itu sendiri tidak dapat berjalan dengan optimal. 1.3.3. Pidana Pengawasan sebagai Alternatif Pidana Penjara Andi Hamzah menyatakan bahwa pidana penjara, terutama pidana penjara jangka pendek (kurang dari 6 bulan), tidak efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan. Oleh karena itu, perlu dicarikan alternatif pengganti pidana penjara.
20
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV), h. 3. 21 Muladi I, op.cit, h. 134.
35
Sejumlah negara mulai meninggalkan pidana penjara, misalnya China yang memperkenalkan pidana kontrol atau pidana pengawasan, yang digunakan untuk menjatuhkan pidana yang paling ringan. 22 Mengenai penggantian pidana penjara ini, sejalan dengan resolusi PBB, bahwa setiap negara perlu mencari alternatif pengganti pidana penjara dengan pidana yang lebih bermanfaat sesuai dengan kondisi suatu negara dan lebih banyak melibatkan masyarakat luas, dalam rangka rehabilitasi pelanggar. Secara lengkap duiuraikan sebagai berikut. “In a resolution on alternatives to imprisonment, the Congress recommended that Member States examine their legislation with a view towards removing legal obstacles to utilizing alternatives to imprisonment in appropriates cases in countries where such obstacles exist an encouraged wider community participation in the implementation of alternatives to imprisontment and activies aimed at the rehabilitation of offenders.”23 Terjemahan Bebas: Dalam resolusi tentang alternatif penjara, Kongres merekomendasikan bahwa Negara-negara Anggota memeriksa undang-undang mereka dengan maksud menuju penghilangan hambatan hukum untuk memanfaatkan alternatif penjara sesuai kasus di negara-negara di mana hambatan tersebut ada sebuah
22 23
Widodo, op.cit, h. 13-14. Widodo, loc.cit, h. 149.
36
partisipasi masyarakat didorong lebih luas dalam pelaksanaan alternatif untuk rehabilitasi pelanggar. Banyaknya desakan terhadap penggantian pidana penjara jangka pendek di Indonesia membuat adanya perubahan dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia yang menambahkan pidana pengawasan sebagai salah satu jenis pidana pokok. Diadopsinya pidana pengawasan dalam sistem hukum pidana di Indonesia yang tidak saja berorientasi pada perbuatan tetapi juga berorientasi pada pelaku sekaligus. Pemikiran tentang penjatuhan pidana pengawasan sebagai pidana penjara juga selaras dengan hasil penelitian Muladi bahwa pidana pengawasan (pidana bersyarat) mempunyai keunggulan berikut: 1. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki diri sendiri dalam masyarakat. 2. Memungkinkan terpidana melanjutkan kegiatan sehari-hari sebagai manusia, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. 3. Mecegah terjadinya stigma negatif 4. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarganya. 5. Biaya yang ditanggung oleh negara untuk membina narapidana lebih murah dibandingkan dengan pidana penjara. 6. Petugas pemasyarakatan sebagai salah satu agen pelaksana pidana pengawasan dapat menggunakan segala fasilitas yang tersedia di masyarakat untuk melakukan rehabilitasi terpidana.24
Melalui pidana pengawasan maka tujuan pemidanaan berupa perlindungan masyarakat dan perlindungan terpidana akan tercapai. Terhindarnya terpidana dari
24
Widodo, op.cit, h. 205.
37
efek negatif dari pemidanaan di penjara, bagi masyarakat berarti akan terlindung dari kemungkinan timbulnya penjahat. Perlindungan terhadap terpidana pengawasan juga tampak dalam pemberian kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki diri di masyarakat atas bimbingan dari petugas pemasyarakatan. 1.4.
Pembaharuan Hukum Pidana
1.4.1. Pengertian Prospek dan Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Prospek merupakan kemungkinan atau harapan ke depannya. Prospek dapat diartikan sebagai suatu upaya terkait segala kemungkinan atau harapan ke depannya terhadap suatu hal di masa yang akan datang. Pembaharuan Hukum Pidana pada hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, pembaharuan hukum pidana dilakukan agar hukum pidana yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia.25 Berkaitan dengan pemaknaan pembaharuan hukum pidana ini, patut kiranya dikemukakan pandangan seorang pakar hukum pidana yaitu Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. yang menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-
25
Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 23.
38
kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.26 Lebih lanjut dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum atau penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan makna dari hakikat pembaharuan hukum pidana adalah: 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan a) Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya); b) Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan
bagian
dari
upaya
perlindungan
masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan); c) Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
26
Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 21.
39
2. Dilihat dari pendekatan nilai Pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya
merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilainilai sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.27 Melihat perumusan dan pemaknaan pembaharuan hukum pidana sebagaimana terurai diatas, dapat diketahui bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya menggali nilai-nilai dalam masyarakat untuk diterapkan dalam hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana dimaksudkan agar substansi hukum pidana dapat menjelmakan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, sehingga efektif di dalam penerapannya. 1.4.2. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Usaha untuk melakukan pembaharuan Hukum Pidana merupakan bidang Politik Hukum Pidana. Sebagaiaman dinyatakan bahwa secara politis dan kultural, pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun terhadap KUHP telah dilakukan pelbagai perubahan dan penyesuaian, tidaklah menjadikan upaya tersebut disebut sebagai upaya pembaruan Hukum Pidana dalam arti sesungguhnya serta memiliki karakter nasional.28
27 28
Ibid, h. 22. M. Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 59.
40
Urgensi perubahan terhadap KUHP didasarkan kepada pertimbangan politis, praktis, dan sosiologis.29 Alasan politis, yakni sebagai negara yang merdeka, wajar bahwa negara Republik Indonesia memiliki KUHP yang bersifat nasional. Tugas pembentuk undang-undang untuk menasionalisasikan semua perundang-undangan warisan zaman kolinial dan usaha tersebut harus didasarkan kepada pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Alasan praktis didasarkan kenyataan semakin sedikitnya sarjana hukum Indonesia yang mampu memahami bahasa Belanda berikut asas-asas hukumnya. Alasan sosiologis dimana KUHP berisi pencerminan dari nilainilai kebudayaan dari suatu bangsa. WvS belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat.30 Ketiga alasan tersebut ditambah oleh Muladi bahwa pembaharuan hukum pidana didasarkan kepada tuntutan adaptif yakni agar hukum pidana mampu beradaptasi dengan perkembangan dalam pergaulan masyarakat yang bergerak cepat.31 Hukum Pidana dituntut untuk memberikan keadilan di tengah-tengah situasi yang tengah berkembang dan terus berubah. KUHP nasional harus tetap dapat menyesuaikan
diri
dengan
perkembangan-perkembangan
baru
khususnya
perkembangan internasional dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesepakatan-kesepakatan Internasional yang digariskan oleh PBB.
29
Barda Nawawi Arief I, op.cit, h. 95. M. Ali Zaidan, op.cit, h. 59. 31 M. Ali Zaidan, loc.cit h. 60. 30
41
Telah dikemukakan di atas bahwa KUHP yang hingga saat ini berlaku, merupakan warisan penjajah yang dijiwai oleh semangat individualisme. Akibatnya penggunaan asas legalitas sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak individu menimbulkan dampak negatif dalam penegakan hukum. Tujuan penegakan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, tujuan ini yang harus menjadi tujuan akhir seluruh upaya penegakan hukum, akan tetapi demi kepastian hukum, keadilan sering dikorbankan.32 Penerapan Hukum Pidana sudah seharusnya dilakukan secara proporsional dengan mengindahkan sifat subsidiaritas sanksi pidana. Sanksi pidana hendaklah dipandang sebagai usaha terakhir dalam hal alternatif lain tidak tersedia. Penggunaan sanksi sebagai ultimum remidium harus tetap dipertahankan, demi menjaga ketertiban masyarakat. Berdasarkan hal itu pula, sanksi pidana perlu dihindarkan dalam hal masih terdapat upaya lain yang seimbang dengan kerugian yang ditimbulkan.
32
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 159.