46
BAB II TINJAUAN UMUM PEMBARUAN HUKUM PIDANA, ANAK YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM, DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
2.1 Pembaruan Hukum Pidana 2.1.1 Pengertian Pembaruan Hukum Pidana Sejarah pembangunan hukum di Indonesia sudah dirintis sejak setelah proklamasi kemerdekaan dan pada waktu itu telah dilakukan penyesuaian atau screening terhadap Wetboek Van Strafrech atau KUHP.44 Pembaruan hukum yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai sebagaimana telah dirumuskan dalam UUD 1945 secara singkat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila, hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum Indonesia serta hal ini pula yang menjadi landasan dan tujuan dari setiap usaha pembaruan hukum termasuk pula pembaruan hukum dibidang hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia.45
44
45
Subekti , 1980, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hal.6
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeslatif Dan Penanggulangan Kejahatan (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III), Universitas Diponogoro, Semarang, hal.1
47
Pembaruan (reform) yaitu suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi terhadap sesuatu hal yang akan ditempuh melalui kebijakan46, artinya harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Berkaitan dengan pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum di Indonesia.47 Pembaruan hukum yang akan ditempuh adalah hukum pidana (penal reform). Maka pengertian pembaruan hukum pidana tersebut yaitu pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosiokultural masyarakat yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakkan hukum.48 Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana,49 yang secara etimologis, istilah kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan” dan “hukum pidana”. Sebagaimana menurut Sudarto yang dikemukakan oleh Barda
46
Op.cit, hal. 27
47
Ibid, hal.48
48
Ibid, hal. 27
49
Ibid
48
Nawawi Arief: Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. 50 Bertolak dari uraian tersebut di atas, pembaruan hukum pidana ditentukan dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaruan hukum pidana dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana berarti telah mengadakan suatu pembaruan hukum pidana. Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut : Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.51 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian tentang politik hukum maupun dari politik kriminal. Pengertian politik hukum menurut Sudarto adalah sebagai berikut:
50
Ibid, hal.25
51
Ibid, hal.24
49
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.52 Mengkaji hal ini maka lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Menurut A. Mulder sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief: Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan: 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui ; 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.53
52
Ibid, hal 24
53
Ibid, hal 25
50
Pendapat yang dikemukakan oleh Mulder ini sebenarnya lebih bertolak pada pengertian sistem hukum pidana menurut Marc Ancel sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari : 1. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; 2. suatu prosedur hukum pidana, dan 3. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).54 Menurut Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa setiap usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Maka kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan lewat bantuan pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam
54
Ibid, hal.26
51
pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy”, dan “social defence policy”.55 Kebijakan hukum pidana dapat juga dilihat sebagai bagian dari politik kriminal. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau perbuatan yang dilarang. Maka kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Politik kriminal merupakan usaha yang rasional dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Dirumuskan oleh Marc Ancel, politik kriminal adalah the rational organization of the control of crime by society.56 Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan: Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Saparinah Sadli menyatakan bahwa perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial; dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan masalah kemanusiaan, ia juga merupakan masalah sosial, malahan menurut Benedict
55
Ibid, hal.27
56
Op.cit. hal. 162
52
S. Alper merupakan “the oldest sosial problem (masalah Sosial tertua)”.
57
Hal ini
diperkuat oleh pendapat dari Daniel Galser yang menyatakan bahwa “crime like most topics in social psychology , refers to a class of behavior the separate instances of which have many and diverse subjective and objective aspects (kejahatan seperti topik yang paling dalam dari psikologi sosial, mengacu pada kelas contoh perilaku yang terpisah dari aspek-aspek subyektif dan obyektif yang bersifat banyak dan beragam)”.58 Sebagai suatu persoalan sosial yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai terus-menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun demikian usaha inipun masih sering dipersoalkan. Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut : a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untukmencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing. b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas
57
58
Op.cit, hal. 148.
Stuard H.Traub and Craig B.Little, 1968, Theories Of Devience (Third Edition), State University Of New York at Cortland, hal.183
53
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaituwarga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.59
Bertolak dari hal tersebut maka nampak bahwa prevensi khusus dan prevensi umum menjadi pertimbangan utama. Di sisi lain ada pertimbangan nilai yaitu keseimbangan antara nilai dari hasil perbuatan yang dikenakan pidana dengan biaya yang dikeluarkan. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakkan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakkan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.60 H.L. Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief: a. (the criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the oreseeable future, get along without it) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana.
59
Ibid, hal.152
60
Ibid, hal.149
54
b. (the criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm).Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya c. (the criminal sanction is atau once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener) Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.61
Bertolak dari hal tersebut, maka tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan karena pada hakekatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem social seperti dikemukakan Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the problem of policy). Bertolak dari pengertian kebijakan hukum pidana di atas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan, bahwa: Dilihat dari bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-udangan pidana yang baik….Dengan demikian, yang dimaksud “peraturan hukum positif” (the positive rules) adalah peraturan perundang-udangan
61
Ibid. Hal, 155.
55
hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.62 2.1.2 Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Pidana Mengkaji hal-hal tersebut diatas maka untuk merespon amanat pembukaan UUD1945 maka pembaruan sebagai produk perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut diprioritaskan. Dengan demikian dari amanat tersebut juga tersimpul keharusan untuk melakukan pembaruan di bidang hukum. Usaha pembaruan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, namun mengingat permasalahan hukum menyentuh aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas sehingga setiap saat berubah, maka pembaruan tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Sebagaimana pengertian pembaruan hukum pidana yang telah dikemukakan pada sub-1 di atas, dalam hal ini, ruang lingkup pembaruan hukum pidana meliputi: 1. Pembaruan substansi hukum pidana; 2. Pembaruan struktur hukum pidana; dan 3. Pembaruan budaya hukum pidana. Pembaruan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum adalah melakukan pembaruan pada aspek pembaruan
62
Ibid. Hal.25.
56
substansi hukum pidana, dimana pembaruan substansi hukum pidana, Barda Nawawi Arief berpendapat: 1. Suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-folosifik, sosio-politik, sosio-kultural masyarakat. Pembaruan hukum pidana pada dasarnya adalah: -
Pembaruan konsep nilai
-
Pembaruan ide-ide dasar
-
Pembaruan pokok-pokok pemikiran
-
Pembaruan paradigma/wawasan
2. Sebagai bagian dari “Sosial Policy”, pemnaharuan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dari upaya mengatasi masalah sosial untuk mencapai kesejahteraan/perlindungan masyarakat. 3. Sebagai dari “Criminal Policy”, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya penaggulangan kejahatan. 4. Sebagai bagian dari “Law Enforcement Policy” pembaruan hukum pidana pada
hakekatnya
merupakan
bagian
kelancaran/efektivitas penegakkan hukum. 5. Pembaruan substansi hukum pidana meliputi: a. pembaruan hukum pidana materiel, b. pembaruan hukum pidana formal,
dari
upaya
menunjang
57
c. pembaruan hukum pelaksanaan pidana.63 Pembaruan hukum pidana terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik, maka ruang lingkup pembaruan hukum pidana bertolak dari pembaruan substansi yang meliputi pembaruan hukum pidana materiel. Pembaruan hukum pidana/ KUHP Nasional juga merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana substansi, patut dikemukakan bahwa dalam rangka pembaruan hukum pidana nilai-nilai tersebut telah diakomodasikan oleh penyusun RUU KUHP. Hal ini dapat dilihat dari beberapa prinsip yang terkandung dalam penyusunan rancangan KUHP Nasional yang antara lain menyebutkan: a. bahwa hukum pidana dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic sosial value) prilaku hidup masyarakat, dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan idiologi negara Pancasila; b. bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (sicial control) tidak mau atau belum dapat diharapkan keefektifitasannya; dan bahwa dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pambatasan (a) dan (b) di atas, harus diusahakan dengan sungguhsungguh bahwa cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa mengurangi
63
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf
58
perlindungan yang perlu diberikan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang modern. Pernyataan di atas, maka tendensi untuk tetap mempertahankan unsur-unsur asli dalam pembaruan hukum di Indonesia patut dikedepankan, apalagi terhadap hukum pidana. Mengingat hukum pidana dengan segala aspeknya (aspek-aspek sifat melawan hukum, kesalahan, dan pidana) mempunyai sifat dan fungsi yang istimewa, serta mempunyai fungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian dari politik kirminal) dan yang sekunder, ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara sepontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar. Upaya untuk melakukan reorientasi terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik, maka kode etik penggunaan hukum pidana tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan tentang persiapan melakuan tindak pidana sebagai delik agar lebih berorientasi baik pada perlindungan individu maupun masyarakat. Dengan demikian akan tercipta hukum pidana yang lebih fungsional yang tetap berakar pada nilai-nilai sosial masyarakat. Sebagaimana Barda Nawawi Arief menyatakan: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik san sosio-
59
kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.64
Penjelasan di atas, bahwa secara konstitusional pembaruan hukum nasional termasuk hukum pidana harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Keharusan konstitusioal tersebut patut untuk dikedepankan agar hukum yang akan terbentuk benar-benar merupakan penjelmaan dari nilai-nilai yang hidup alam masyarakat. Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value- oriented approach”).65 Bertolak dari uraian tersebut di atas, perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal yang digunakan untuk mencegah kejahatan sedini mungkin, sehingga perbuatan dapat dilihat dari dua sudut pendekatan yaitu sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, sehubungan dengan masalah ini, Barda Nawawi Arief menyatakan pendapat sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan: a. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi
64
65
Ibid
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Perbandingan (Selanjutnya disebut dengan Barda Nawawi Arief IV), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.4
60
hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan
bagian
dari
upaya
perlindungan
masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan) c. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/ menunjang tujuan nasional (yaitu : “Social defence” dan “Social Welfare”).66 2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai: Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai sosio politik, sosiofilosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS), hal ini dipandang bahwa hukum (hukum pidana) merupakan perwujudan suatu unsur sosial masyarakat yang mempengaruhi ada tidaknya penjaTuhan sanksi (dipidananya) terhadap persiapan melakukan tindak pidana tersebut, sehingga perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal sejalan beriringan waktu yang didasarkan pada nilai-nilai sosio politik, sosio 66
Ibid, hal.3
61
filosofik, sosio kultural dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.Bertolak dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat bagian hukum pidana ini yang mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatanperbuatan
apa
yang
pertanggungjawaban
dijadikan
pidananya,
tindak
serta
pidana,
bagaimana
bagaimana mengenai
mengenai
pidana
dan
pemidanaannya. Bertolak dari hal tersebut maka tahap formulasi menempati posisi strategis jika dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakkan hukum pidana. Mengenai posisi strategis dari tahap formulasi ini juga dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief : Tahap penetapan pidana hemat kami justru harus merupakan tahap perencanaan yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, dengan perkataan lain tahap ini harus merupakan tahap perencanaan strategis dibidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang masih tetap menggunakan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mulai diterapkan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918 dan merupakan produk hukum pemerintahan jaman kolonial Hindia Belanda, dengan berbagai perubahan dan penambahannya.
62
KUHP yang berasal dari Belanda tentu memiliki jiwa, pola pikir dan normanorma yang berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Sudarto, bahwa WvS kita ini tidak mungkin mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara penuh, karena tidak dibuat oleh kita sendiri. Secara politis, sosiologis, maupun praktis KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang perlu segera diganti dengan KUHP yang berasal dan bersumber dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Beberapa karakteristik hukum pidana yang mencerminkan proyeksi hukum pidana masa datang secara ringkas di dinyatakan oleh Muladi sebagai berikut : 1. Hukum pidana nasional mendatang, dibentuk tidak hanya sekadar alasan sosiologis, politis dan praktis semata-mata, melainkan secara sadar harus disusun dalam kerangka Idiologi Nasional Pancasila. Hal ini akan memberi kesadaran bahwa sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya tidak hanya merupakan suatu sistem yang bersifat phisik semata-mata melainkan juga merupakan sistem abstrak yang merupakan jalinan nilai-nilai yang konsisten dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. 2. Hukum pidana pada masa yang akan datang tidak boleh mengabaikan aspekaspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia. 3. Hukum
pidana
mendatang harus
dapat
menyesuaikan
diri
dengan
kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh didalam pergaulan
63
masyarakat beradab, dalam arti beradaptasi yang kadang-kadang berupa pengambilan hikmah dari perkembangan tersebut. 4. Sistem peradilan pidana, politik kriminal, politik penegakan hukum merupakan bagian dari politik sosial. Dengan demikian hukum pidana mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif. 5. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektifitas fungsinya di dalam masyarakat.67 Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah merdeka juga berupaya segera mengadakan pembaruan KUHP (WvS) yang disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia serta diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan jika dibandingkan dengan undang-undang warisan kolonial. Bertolak dari hal tersebut maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana dapat mencakup kebijakan di bidang pidana formil, materiel serta pelaksanaan pidana itu sendiri. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sangat luas karena tidak hanya menyangkut hukum pidana dalam arti materiel (pidana dan pemidanaan) tetapi juga mengatur tentang bekerjanya hukum pidana melalui lembaga sub-sistem peradilan yang ada serta bagaimana pelaksanaan eksekusinya.
67
Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://eprints.undip.ac.id/17715/1/Idi_Amin.pdf
64
2.2. Pengertian Anak dan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum 2.2.1. Pengertian Anak Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).68 Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak anatara satu negara dengan negara laun cukup beraneka ragam yaitu : Dua puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan btas umur antara 816. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda mentukan bata umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja mentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.69
Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia ( ius constitutum ) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi soeorang anak, hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu :
68
69
Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, hal.
Paulus Hadisuprapto, 1997, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, PT.Aditya Bakti, Bandung, hal.8
65
1. Menurut Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pada Pasal 1 (1) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan si anak belum pernah kawin. Jadi anak dibatasi syarat dengan umur antara 8 tahun sampai 18 tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinannya atau perkawinanya putus kaena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun. 2. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak ( Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ) Pada Pasal 1 (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 3. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pada Pasal 1 angka (2) merumuskan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.70 Batasan umur ini juga digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata, tetapi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah anak, yang digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan belum dewasa 70
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, hal.5
66
adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun dan tidak atau belum pernah kawin.71 4. Dalam Hukum Perburuhan Pada Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan ( Undang-undang No.12 Tahun 1948 ) memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun kebawah. 5. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Pasal 45 KUHP, memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 ( enam belas ) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan lahirnya Undang-undang No.3 Tahun 1997.72 6. Anak menurut Undang-undang Perkawinan ( Undang-undang No.1 Tahun 1974 )
71
Djoko Prakoso, 1986, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta
72
Op.cit, hal. 3
hal.84
67
Pada Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang Pokok Perkawinan memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ) Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. 8. Menurut Hukum Adat Indonesia Dalam hukum adat Indonesia maka batasan untuk disebut anak bersifat pluralistic. Dalam artian kreteria untuk menyebut seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah “ kuat gawe “, “ akil baliq ”, “ menek bajang ”, dan lain sebagainya.73 Menurt Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai “setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.74 Berbagai
criteria
untuk
batasan
usia
anak
pada
dasarnya
adalah
pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadiseorang subyek hukum yang data bertanggungjawab secara mandiri
73
74
Op.Cit, hal.6
Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, hal.21
68
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak itu.75 Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali.76 Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya. 2.2.2 Pengertian Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan
75
Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, hal.24 76
Djuhaendah Hasan, 1999/2000, Pengkajian Hukum Tentang Masalah Hukum Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Mengandung Alimentasi Terhadap Anak Yang Belum Dewasa, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM, hal.12
69
hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi (kelembagaan).77 Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law), dimaknai sebagai : Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana.78 Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah yaitu : 1)
Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
2)
Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana79
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena: 77
Inter-Parliamentary Union & UNICEF, 2006, Improving the Protection of Children in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice, UNICEF ROSA, hal.2 78
UNICEF, 2006, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION
Sheet 79
Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3
70
1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau 2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau 3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.80 Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi : 1) Pelaku atau tersangka tindak pidana; 2) Korban tindak pidana; 3) Saksi suatu tindak pidana.81 Menurut Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah, sedangkan criminal offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan atau anak yang bermasalah dengan hukum.82
80
Op.Cit, hal. 17
81
Ibid
71
Menurut Romli Atmasasmita dan Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak : 1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah : e. Faktor intelegentia f. Faktor usia g. Faktor kelamin h. Faktor kedudukan anak dalam keluarga. 2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah : e. Faktor rumah tangga f. Faktor pendidikan dan sekolah g. Faktor pergaulan anak h. Faktor mass media.83
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.84 Perbuatan
dikatakan
delinkuen
apabila
perbuatan-perbuatan
tersebut
bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.85
82
Op.Cit, hal.2
83
Op.Cit, hal. 17
84
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 219 85
Sudarsono, 1991, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 10.
72
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.86 Menurut Romli Atmasasmita Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.87 Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency, sebagai : 1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain sebagainya; 2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat; 3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.88
86
Kartini Kartono, 1992, Pathologi Sosial( 2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, hal.7
87
Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja(Selanjutnya disebut dengan Romli I), Armico, Bandung, hal.40 88
Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, hal.9
73
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).
2.3. Sistem Peradilan Pidana Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi penanggulangan kejahatan melalui sarana penal lazimnya secara operasional dilakukan melalui langkah-langkah: Perumusan norma-norma hukum pidana yang di dalamnya terkandung adanya unsur substantif, struktural dan kultural masyarakat tempat sistem hukum pidana itu diberlakukan. Sistem hukum pidana yang berhasil dirumuskan itu selanjutnya secara operasional bekerja lewat suatu sistem yang disebut Sistem Peradilan Pidana.89 Istilah sistem menurut Anatol Rapport sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdussalam dan DPM Sitompul memberikan pengertian sistem adalah whole which function as a whole by virtue of the interdependence of its parts (Keseluruhan yang berfungsi sebagai satu kebulatan yang saling ketergantungan diantara bagian tersebut). RL Ackoff menyatakan sistem sebagai entity conceptual or physical, which 89
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.7
74
concists of interdependent parts (kesatuan konseptual atau fisik yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak terpisahkan).90 Istilah sistem dari bahasa Yunani "systema" yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several parts (Seluruh diperparah dari beberapa bagian).91 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Menurut Lili Rasjidi, ciri suatu sistem yaitu : a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses) b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its parts) c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts) d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts) e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole) f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.92
90
Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta,
91
Tatang M. Amirin, 1986, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Cet.1, Jakarta, hal. 5.
hal. 5.
92
Lili Rasjidi, I.B. Wiyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem,: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 43
75
Pengertian Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System menurut para ahli hukum antara lain : a. Menurut Remington dan Ohlin, sebagaimana yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. b. Menurut Hagan membedakan pengertian “Criminal justice system” dan “Criminal Justice Process”. “Criminal Justice System” adalah interkoneksi antara keputusan tiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana sedangkan “Criminal Justice Process” adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. c. Menurut Marjono Reksodiputro sistem peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. d. Menurut Muladi Sistem Peradilan Pidana, harus dilihat sebagai “The network of Courts and tribunal which deal with criminal law and it’s enforcement”. Sistem peradilan Pidana di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem pendukungnya ialah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi atau pemasyarakatan yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan dari sistem peradilan Pidana yang terdiri dari : 1. Tujuan Jangka Pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana. 2. Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan dan 3. Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial93 Menurut Black’s law Dictionary, rumusan dari sistem peradilan Pidana Terpadu atau Integrated Criminal Justice System adalah “… the collective institutions through which an accused offender passes until the accusations have been disposed of or the assessed punishment conclued (kolektif lembaga-lembaga melalui mana
93
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2006, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Universitas Diponegoro. Semarang, hal. 3.
76
pelaku menuduh melewati sampai tuduhan telah dibuang atau hukuman dinilai menyimpulkan)…”.94 Menurut Chamelin/Fox/Whisenand, yang dikutip oleh Abdussalam dan DPM Sitompul, Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem dalam proses menentukan konsep sistem yaitu berupa aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara sub system kepolisian, pengadilan, dan lembaga penjara.95 Menurut Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata, pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.96 Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara,
94
Henry Campbel Black, 1999, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, West Group, hal. 381
95
Op.Cit, hal. 5
96
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme(Selanjutnya disebut dengan Romli II), Bina Cipta, Bandung, hal. 16
77
masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Pemahaman mengenai tujuan sistem peradilan pidana ini sangat penting, dimana peradilan pidana hanya dapat berfungsi secara sistematis apabila bagian sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian lainnya, dengan kata lain sistem tersebut tidak akan sistematis jika hubungan antara polisi dengan pengadilan, penuntut umum dan lembaga permasyarakatan, lembaga pemasyarakatan dengan pengadilan dan seterusnya tidak harmonis. Semua komponen yang berada dalam subsistem peradilan pidana dalam harus bekerjasama secara "terpadu" dan terintegrasi. Dirangkainya kata "terpadu" dalam istilah "sistem peradilan pidana" nampaknya sangat menarik sebab dalam pengertian "sistem" itu sendiri semestinya sudah mencakup makna terpadu, meskipun hal itu hanya dilakukan untuk memberikan penekanan akan perlunya "integrasi" dan "koordinasi" dalam sistem peradilan pidana.97 Menurut Bagir Manan bahwa terpadu dalam sistem peradilan adalah keterpaduan antara penegak hukum. Keterpaduan dimaksudkan agar proses peradilan dapat dijalankan secara efektif, efisien, saling menunjang dalam menemukan hukum yang tepat untuk menjamin keputusan yang memuaskan baik bagi pencari keadilan maupun menurut pandangan kesadaran, atau kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat pada umumnya.98
97
Op.Cit, hal. 1
98
Bagir Manan, 2005, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 93.
78
Menurut O.C. Kaligis bahwa Sistem Peradilan pidana terpadu adalah teori yang berkenan dengan upaya pengendalian kejahatan melalui kerjasama dan koordinasi diantara lembaga-lembaga yang oleh undang-undang diberi tugas untuk itu. Kejahatan sendiri sulit dihilangkan sama sekali dimuka bumi ini, tetapi melalui sistem peradilan pidana terpadu kejahatan tersebut dapat dikendalikan sehingga tidak bertambah banyak bahkan jika mungkin, berkurang. Pengendalian kejahatan sama maknanya dengan ketertiban di mana setiap orang mematuhi hukum yang berlaku dalam masyarakat.99 Bertolak dari pemaparan yang tertuang dalam sistem peradilan pidana diatas apabila kita kaji dengan pembahasan tesis disini maka kita akan berbicara mengenai sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system). Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice system) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Unsur tersebut meliputi beberapa unsur yaitu : 1. Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. 2. Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
99
O.C. Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, PT. Alumni, Bandung, hal 171.
79
3. Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. 4. Institusi penghukuman.100 Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi dengan hukum pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana formal yang diatur dalam KUHAP.
2.4. Lembaga Dalam Peradilan Anak Istilah peradilan menunjuk kepada lingkungan badan peradilan. 101 Menurut Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa adanya empat lingkungan badan peradilan yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Badan-badan peradilan tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang masing-masing dalam tugas menyelesaikan perkara sedangkan istilan pengadilan mengacu kepada fungsi badan peradilan itu sendiri.
100
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Robert C. Trajanowics and Marry Morash, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, hal 5 101
Loc.Cit, hal.16
80
Didalam suatu peradilan tidak menutup adanya suatu pengadilan khusus sehingga dalam hal ini memungkinkan adanaya pengkhususan didalam suatu peradilan itu sendiri. Pengadilan Anak adalah salah satu contoh pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Anak tugas dan wewenangnya pada prinsipnya sama dengan pengadilan lain meskipun sama tetap harus ada diperhatikan bahwa perlindungan anak merupakan tujuan utama.102 Lembaga-lembaga yang menangani perkara anak sesuai dengan Undangundang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu : 1. Kepolisian Kepolisian adalah pihak yang paling awal melakukan penanganan terhadap pelaku kejahatan atau pelanggaran, jika terjadi suatu kejahatan polisi wajib melakukan pengusutan dan melakukan penyidikan, selanjutnya pihak kejaksaan mengambil alih perkara guna melakukan penuntutan kepada para pelaku kejahatan di muka pengadilan. Kepolisian memiliki beberapa kewenangan diantarananya yaitu : Kepolisian berwenang melakukan penyelidikan, dimana penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang diduga merupakan kejahatan atau tindak pidana guna mendapatkan bukti permulaan yang diperlukan untuk memutuskan apakah diperlukan penyidikan atau tidak sesuai Pasal 1 (5) KUHAP, dalam hal ini Pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan adalah polisi (pasal 1 butir 4 KUHAP). Bukti permulaan 102
Bambang Waluyo, 2000, Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Graha, Jakarta, hal.103
81
diartikan sebagai petunjuk awal adanya keterlibatan seseorang atau kelompok dalam tindak pidana. Menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) No Pol. SKEP/04/1/1982, bukti permulaan yang cukup merupakan katerangan dan data yang terkandung dalam dua diantara : a. Laporan polisi b. Berita Acara Pemeriksaan Polisi c. Laporan hasil penyelidikan d. Keterangan saksi/saksi ahli e. Barang bukti103 Barang bukti menurut pasal 184 UU No 8/1981 adalah keterangan saksi, keterangan Kepolisian
ahli, juga
surat,
petunjuk
dan
keterangan
terdakwa.
memiliki
wewenang
untuk
melakukan
penyidikan,
dimana penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna mengungkap tindak pidana dan menemukan tersangka atau pelaku. Pejabat yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana adalah polisi atau pejabat sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, khusus untuk tindak pidana ekonomi dan korupsi peejabat yang berwenang adalah kejaksaan.104 Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j KUHAP, yaitu :
103
Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik (Selanjutnya disebut dengan Darwan Prinst II), Djambatan, Jakarta, hal. 30 104
Tadjuddin Malik, Integrated Criminal Justice System di Indonesia, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http: http://tadjuddin.blogspot.com/2010/07/kemandirianyudisial.html
82
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu tindak pidana 2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian 3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat 6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara 9. Mengadakan penghentian penyidikan 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab Undang - Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI terdapat beberapa ketentuan yang secara khusus mengatur tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan yang tidak diatur di dalam KUHAP dan hal ini merupakan relevansi dari azas hukum pidana (Lex Specialist Derogat Lex Generalis). Secara sosiologis, kewenangan polisi dalam proses pemeriksaan pendahuluan ini dapat dilihat sebagai kedudukan (status) dan peranan (role). Berdasarkan perumusan kedua peraturan perundang-undangan ini, Barda Nawawi Arief memerinci tugas pokok Polri sebagai penegak hukum yang memelihara keamanan dalam negeri, yang lebih luas mencakup berbagai aspek yang sangat luhur dan mulia, yaitu: a. Aspek ketertiban dan keamanan umum; b. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat / dari gangguan / perbuatan melanggar hukum / kejahatan; dari penyakit-penyakit masyarakat
83
dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan; termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberi perlindungan dan pertolongan. c. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan / kepatuhan hukum warga masyarakat; d. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang penyelidikan dan penyidikan.105
Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polisi memiliki tugas pokok yaitu :memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dalam melaksanakan tugas pokok ini, maka Polisi Republik Indonesia bertugas : a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
105
Loc.Cit, hal.3
84
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.. Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa dengan memperhatikan perincian tugas yuridis Polri seperti telah dikemukakan di atas, terlihat pada intinya ada dua tugas Polri dibidang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum di bidang peradilan pidana (dengan sarana "penal") dan penegakan hukum dengan sarana ("non penal"). Dengan demikian dalam menjalankan tugasnya Polri sebenarnya "berperan ganda" baik sebagai "penegak hukum” maupun sebagai "pekerja sosial" ("social worker"). Untuk kedua tugas ganda ini, dalam Kongres PBB ke-5 (mengenai Prevention of Crime and The Treatment of Offenders) pernah digunakan istilah "law enforcement duties", dan "service-oriented task".106 Peranan ganda dari tugas polisi sebagaimana disebutkan diatas sering disebut pula dengan "ambivalensi peranan polisi", sehingga untuk menghindari kerancuan pembahasan dalam penelitian ini, maka fungsi / peranan Polisi yang hendak dibahas adalah fungsi / peranan Polisi sebagai aparatur penegak hukum di bidang peradilan pidana sebagai bagian "criminal justice system” khususnya di bidang penyidikan perkara tindak pidana.
106
Ibid, hal.4
85
Fungsi ini dalam organisasi kepolisian diemban oleh "fungsi reserse" yang khusus melaksanakan hukum dalam bidang represif yaitu melakukan segala tindakan sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana, sehingga fungsi reserse atau penyidikan ini baru dilaksanakan setelah diketahuinya tindak pidana, baik melalui laporan, pengaduan, tertangkap tangan maupun diketahui langsung oleh penyidik. Adapun pengertian fungsi reserse atau peyidikan adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi penyidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan perkara kepada penuntut umum (Kejaksaan) dalam rangka sistem acara pidana.107 Perkara pidana yang dilakukan oleh anak – anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan dengan diberlakukannya undang – undang pengadilan anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 41 ayat (1) Undang – Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Pengadilan Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat
107
Departemen Pertahanan Keamanan AKABRI, 1980, Fungsi Reserse POLRI, Jakarta, hal.5
86
Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Pengadilan Anak melalui Pasal 41 Ayat (2) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang anggota Polri adalah : 1. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; 2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
2. Kejaksaan Tugas pokok jaksa dibidang pidana menurut Pasal 27 Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan adalah mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat; d. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Jaksa penuntut umum secara organic termasuk dalam lembaga kejaksaan merupakan lembaga yang berdiri sendiri dibawah pimpinan Jaksa Agung. Kejaksaan menganut asas “satu dan tidak terpisahkan”, artinya dalam melaksanakan tugasnya pejabatpejabat kejaksaan diharuskan mengindahkan hubungan hirarki dilingkungan pekerjaannya.108
108
Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem Dan Prosedur, Alumni Bandung, hal.44
87
Jaksa penuntut umum mempunyai kewenangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 14 KUHAP yaitu :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. Penyidikan perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik anak sehingga pada tahap penuntutan juga dilakukan oleh penuntut umum anak dengan syarat-syarat sebagai mana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berbunyi : (2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak Undang-undang Pengadilan Anak menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri memiliki penuntut umum anak untuk menangani perkara anak nakal, apabila pada
88
suatu kejaksaan negeri tidak mempunyai penuntut umum anak maka tugas penuntut perkara anak nakal dibebankan kepada penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa sesuai dengan pasal 53 ayat (3) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
3. Pengadilan Pengadilan adalah lembaga yang berwenang untuk memerikasa, mengadili, dan memutus suatu perkara termasuk perkara anak nakal berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Fungsi hakim dalam mengadili suatu perkaramaka haki mempunyai kedudukan bebas dan bertanggungjawab terhadap segala urusan dalam peradilan oleh pihak-pihak lain dilarang kecuali dalam hal diperkenankan oleh Undang-undang. Hakim adalah harapan para justiabelen (pencari keadilan) oleh karena itu mereka harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum.109 Pemerikasaan siding anak dilakukan oleh hakim khusus yaitu : Hakim Anak.Pengangkatan hakim anak ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan surat keputusan dengan mempertimbangkan usulan Ketua Pengadilan Tinggi tempat hakim bersangkutan bertugas sebagaimana diatur dalam PAsal 9 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
109
Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Vol. 6, Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Juli, 2009
89
Pengangkatan hakim anak oleh Ketua Mahkamah Agung karena hal tersebut menyangkut teknis yuridis pengadilan dan merupakan pengangkatan hakim khusus (Spesialis). Syarat-syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan anak di atur dalam Pasal 10 yang berbunyi : Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah : a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Terkait dengan perkara anak nakal maka dalam hal ini hakim yang memeriksa dan memutus perkara anak ini adalah hakim tunggal kecuali dipandang perlu untuk diperiksa oleh majelis hakim.
4. Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan sering disingkat dengan istilah ”LAPAS”, dimana hal ini merupakan tempat terpidana untuk menjalani hukuman pidananya baik yang menjalani hukuman penjara maupun kurungan. Menurut Satjipto Rahardjo, narapidana bukan orang hukuman melainkan orang tersesat dan kesempatan untuk bertobat, tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan melalui bimbingan.110 Operasional di lapangan banyak kalangan yang tidak mengetahui atau tidak mau mengakui bahwa instansi pemasyarakatan adalah termasuk dalam jajaran 110
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.38
90
penegak hukum, akan tetapi di kalangan akademisi pengakuan tersebut tidak perlu diragukan lagi. Terlebih hal ini apabila dibandingkan dengan negara negara maju seperti Amerika Serikat, instansi pemasyarakatan (correction) dilibatkan dan disejajarkan dengan instansi Kepolisian, Kejaksaan, serta Pengadilan dalam suatu sistem penegakan hukum terpadu yakni yang disebut dengan istilah integrated criminal justice system (Sistem Peradilan Pidana Terpadu).111 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 8 disebutkan bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, sebagai pejabat fungsional penegak hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan integritas profesi dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Konteks pelaksanaan misi Pemasyarakatan tersebut menempatkan posisi petugas Pemasyarakatan dalam lintas relasi yang setara merupakan prasyarat berjalannya sistem peradilan pidana yang terpadu.
Pasal 60 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak mengatur bahwa : (1) Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa. (2) Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
111
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi (Selanjutnya disebut dengan Romli III), Mandar Maju, Jakarta, hal.140
91
Lembaga Pemasyarakatan anak adalah tempat pendidikan dan pembinaan bagi anak pidana, anak negara dan anak sipil, apabila disuatu tempat belum ada LAPAS anak
maka
anak
didik
pemasyarakatan
ditempatkan
di
LAPAS
namun
penempatannya dipisahkan dengan narapidana dewasa. Salah satu hal ini merupkan suatu bentuk kekhususan yang terdapat dalam proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sehingga prinsip ini diharakan dalam pelaksanaannya atau secara formil dilakukan oleh para aparat penegak hukum yang yang terkait dengan anak yang bermasalah dengan hukum.
5. BAPAS (Balai Pemasyarakatan) Balai Pemasyarakatan adalah suatu lembaga mutlak yang harus ada salam sebuah system eradilan pidana anak khususnya bagi anak yang bermasalah dengan hukum, dimana dalam hal ini BAPAS merupakan sebuah lembaga pelaksana peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian mengena Pembimbing Kemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
menyatakan
bahwa
Pembimbing
Kemasyarakatan
adalah
petugas
pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Berbicara
mengenai
tahap
persidangan
sebelum
dibuka,
Hakim
memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan yang berisi data individu anak,
92
keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial anak serta kesimpulan atau pendapat dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56), pada waktu pemeriksaan saksi hakim dapat memerintahkan terdakwa keluar sidang., sedangkan orang tua, wali,orang tua asuh, penasihat huklum dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir (Pasal 57). Tugas Balai Pemasyarakatan adalah sebagai perantara untuk melaksanakan bimbingan Pemasyarakatan, dalam perkara anak BAPAS bertugas mempersiapkan LITMAS
(Penelitian
Kemasyarakatan)
yang
dilaksanakan
oleh
Petugas
Pemasyarakatan, selaku pejabat fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas Pembinaan, Pengamanan dan Pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan. LITMAS hendaknya dibuat berdasarkan fakta-fakta yang jelas, bagaimana keadaan anak disekolah, dilingkungan tempat tinggalnya, keterangan RT, RW, Lurah setempat, bagaimana kehidupan sehari-hari anak tersangka tersebut. Selain hal tersebut suatu keluhan dan keberatan masyarakat setempat, data-data yang perlu dipelajari Hakim dalam mempertimbangkan Pemidanaan yang akan dijatuhkan, dan apabila hal tersebut tidak dilakukan maka dapat diancam dengan ancaman batal demi hukum bilamana LITMAS tidak dipertimbangkan Hakim (Pasal 59 ayat 2).
6. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) BAB XI pada pasal 74 Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Pasal 75 mengatur tentang keanggotaan Komisi
93
Perlindungan Anak Indonesia yang terdiri dari beberapa unsur yakni ; unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyaraktan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Pasal 76 mengatu tentang tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia yaitu : (1) Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat,
melakukan
penelaahan,
pemantaun,
evaluasi,
dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; (2) Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. VISI & MISI KPAI :
VISI : Terjamin, Terpenuhi, dan terlindunginya hak – hak anak di Indonesia.
Misi : a) Menyadarkan semua orang terutama orang tua, keluarga, masyarakat dan negara akan pentingnya perlindungan hak anak; b) Menyadarkan anak-anak sendiri akan hak - haknya;
94
c) Menerima Pengaduan masyarakat dan memfasilitasi pelayanan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak.112
112
Magdalena Sitorus, 2006, Makalah Perlindungan Anak Di Indonesia Dan Implementasinya, Disampaikan dalam Seminar Kejahatan Terhadap Anak, Meridien 11 Juli 2006, Jakarta.