BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN PIDANA DAN UPAYA HUKUM KASASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI 2.1. Kajian Teoritis Sistem Peradilan Pidana 2.1.1. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Khusus bagi sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana23 . Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran hakim dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas dan wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya (actor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut.
23
Yesmil Anwar dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi24, pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan. Apabila dikaji dari etimologis, maka”sistem”mengandung arti terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana” merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat. Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini telah menjadi
suatu
istilah
yang
menunjukan
mekanisme
kerja
dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Ciri pendekatan ”sistem” dalam peradilan pidana. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law enforcement”. Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System. Untuk mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal justice sistem, di bawah ini penulis ketengahkan beberapa pengertian sistem peradilan pidana, sebagai berikut : 1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai ”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi
dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan. 2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. 3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana). Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana25. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan 25
Mardjono Reksodipoetro. "Sistem Peradilan Pidana Indonesia:Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994.
memberikan
langkah
hukum
untuk
memformulasikan
kebijakan
dan
menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi. Ada
beberapa
asas
utama
yang
harus
diperhatikan
dalam
mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana.
Berbagai teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ada yang menggunakan pendekatan dikotomi dan atau pendekatan trikotomi26. Pendekatan dikotomi umumnya digunakan oleh teoritisi hukum pidana di Amerika Serikat. Herbert Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford, menggunakan pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana. Terdapat dua model dalam pendekatan dikotomi. Pertama, crime control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana, sehingga perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana27. Titik tekan pada model ini adalah efektifitas, yaitu kecepatan dan kepastian. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh petugas kepolisian. Presumption of guilty digunakan untuk mempercepat memproses tersangka atau terdakwa ke sidang pengadilan. Nilainilai yang rnelandasi crime control model adalah tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan.
26
27
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung 1995. Ibid.
Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan. Proses criminal penegakan hukum harus dilaksahakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas, dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan merupakan model manajerial. Asas praduga tak bersalah akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah. Kedua due process model, model ini menekankan seluruh temuan-temuan fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh melalui prosedur formal yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Setiap prosedur adalah penting dan tidak boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi untuk setiap tahap pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah akan dapat rnemperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan kejahatan.
Presumption of innocence merupakan tulang punggung model ini28. Adapun nilai-nilai yang melandasi due process model adalah mengutamakan, formal-adjudicative dan adversary fact findings, hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke rnuka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka rnemperoleh hak yang penuh untuk rnengajukan pembelaannya. Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan rnekanisme administrasi dan peradilan. Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sarnpai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari Negara. Memegang teguh doktrin legal audit yaitu: seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas itu. Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak. Gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
28
Romli Atmasasmita, "Kapita ...", Op. Cit., him. 138.
Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara pidana tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum.
Setiap
penegakan
hukum
harus
seusai
dengan
persyaratan
konstitusional, harus menaati hukum, serta harus menghormati the right of self incrimination.
Tidak
seorangpun
dapat
dipaksa
menjadi
saksi
yang
memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan, atau harta benda tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara. Setiap orang harus "terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan, Hak memperoleh pemeriksaan yang cepat, Hak perlindungan yang sama dan perlakuan yang sama dalam hukum, Hak mendapat bantuan penasihat hukum29. Pendekatan trikotomi, diperkenalkan oleh Denis Szabo, Direktur the International Centre for Comparative Criminology, the University of Montreal, Canada dalam Konperensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, Jepang bulan Desember 198230. Terdapat tiga model dalam pendekatan trikotomi. Pertama, medical model, pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso, yang menyatakan penjahat merupakan seorang yang memiliki kepribadian yang menyimpang, dan
29
M. Yahya Harahap, Pembahasan Perrnasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta 2000.
30
Romli Atmasasmita, "Kapita ..." Op. Cit., him. 139.
disebut sebagai orang yang sakit. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana harus menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan rnenjadi manusia yang normal. Pemikiran ini diperkuat teori social defence, yang dikemukakan oleh Grammatica yang menyatakan hukum perlindungan social harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang, dalam tulisan berjudul La lotta contra la pena sehingga seorang pelaku tindak pidana diintegrasikan kembali dalam masyarakat bukan diberi pidana terhadap perbuatannya31, dan di perbaharui oleh Marc Ancel. Kedua justice model, model ini melakukan pendekatan pada masalahmasalah kesusilaan, kemasyarakatan, dan norma-norma hukum serta pengarupengaruh sistem peradilan pidana. Pendekatan justice model, diperkenalkan oleh Norval Morris, dengan suatu pemikiran yang bertitik tolak pada mekanisme peradilan dan perubahan hukuman. Model ini melakukan re-evaluasi terhadap hasil-hasil administrasi peradilan pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi pidana, moral dan social cost untuk mencapai tujuan pencegahan dan perlindungan atas masyarakat dari kejahatan. Ketiga model gabungan, dari preventive model dan justice model. Model ini menitik beratkan pada kompensasi atas korban-korban kejahatan. Dasar
31
Barda Nawawi Arief, kebijakan Legislatif dalam Penanggulangaan Kejahatan, Program Magister llmu Hukum Undip, Semarang: BP Undip, 1994.
pemikiran ini menempatkan Negara selain sebagai pemberantas kejahatan dan perlindungan masyarakat juga memberikan jaminan sosial yang di peroleh dari pendapatan Negara dari sektor pajak. Muladi mengemukakan, bahwa dari teori-teori system peradilan pidana dengan berbagai bentuk model pendekatannya, untuk konteks diindonesia yang cocok adalah model yang mengacu kepada daad-dader strafrechf, atau model keseimbangan kepentingan. Model ini merupakan model yang realistik, yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah : a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut : a) Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
b) Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy). c) Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy). Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana. Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System.
Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu : a) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama. b) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana). c) Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana. Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya. Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem. 1. Susbtansi Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
2. Struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. 3. Kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana. Pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan. Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system ). 2.1.2. Kedudukan Hakim Dalam Peradilan Pidana Menurut KUHAP dalam Pasal 1 ayat (8)32 Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. 32
Pasal 1 ayat (8)Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang judisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur. Lebih lanjut tugas hakim dapat dibedakan menjadi tugas hakim secara normatif dan tugas hakim secara konkrit dalam mengadili suatu perkara. Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu: 1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1). 2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2)). 3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1)).
4. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)). 5. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat (2)). Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan secara bertahap yaitu: 1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit. Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit. 2. Mengkualifisir
yaitu
menetapkan
atau
merumuskan
peristiwa
hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi
itu
termasuk
dalam
hubungan
hukum
yang
mana.
Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada
undang-undangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit. 3. Mengkonstituir
atau
memberikan
konstitusinya,
yaitu
hakim
menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni kemampuan dan keterampilan hakim untuk melaksanakan efesiensi dan efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya. Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang “profesi”, disamping sisi etika profesi. Jadi, setiap profesi mempunyai dua aspek, yakni profesionalisme sebagai keahlian teknis dan etika profesi sebagai dasar moralita. Profesionalisme mempunyai peranan yang penting, lebih-lebih Hakim mengemban tanggung jawab dan kewajiban yuridis yang terkait dengan jabatannya. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1974 jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 mewajibkan Hakim :
“.....tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. (Pasal 14 ayat (1)). Dalam upaya mewujudkan profesionalisme Hakim, maka seyogyanya para hakim memiliki penguasaan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas, yang tercermin dalam bobot dan untuk putusan yang dijatuhkan dengan kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta mempunyai keberanian menjatuhkan keputusan berdasarkan hukum dan keadilan33. Putusan hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat. Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkaraperkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan 33
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kebebasan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, undang-undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum. Hakim dapat mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang. Tugas hakim pada dasarnya dalam penegakan hukum akan sangat berkait erat dengan persoalan filsafat hukum sebagaimana dikatakan Roscoe Pound, bahwa salah satu objek filsafat hukum adalah”The application of law”. Oleh karena itu, tugas hakim secara kongkret adalah mengadili perkara,yang pada dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan penafsiran terhadap realitas, yang sering disebut sebagai penemuan hukum34. Penemuan hukum hakim juga terkait erat dengan bisikan hati pada penilaian yang dikembangkan hakim, yang merupakan motivasi-motivasi bagi putusan yang berada diluar sistem hukumnya dan juga mendorong terciptanya konsesus keadilan, sekaligus merupakan temu jiwa antara rasa keadilan hakim,
34
Otje Salman S, Filsafat Hukum(Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung 2009.
masyarakat, dan Negara35. Hal ini memperlihatkn bahwa secara subtansial penemuan hukum hakim terkait dengan Pembukaan, Alinea Pertama, yang secara subtansial mengandung pokok pikiran tentang apa yang kita pahami sebagai “Perikeadilan”. Penegakan hukum tidak lepas dari konsep hukum yang mendasari pemikiran
hakim dalam menentukan
cara-cara
yang dijalankan
dan
dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Pemahaman mengenai konsep hukum dan pemikiran itu, telah disadari terdapat perbedaan paradigmatik diantara para penegak hukum (hakim) dalam memandang hakikat hukum. Dalam ilmu hukum terdapat berbagai aliran pemikiran yang menggunakan paradigma-paradigma tertentu. Paradigma tersebut, yaitu : 1. Yuridis - dogmatis, yaitu suatu cara pendekatan di mana diolah peraturanperaturan hukum dengan logika akal saja dan selanjutnya pengertianpengertian hukum tersebut diberlakukan hanya dengan akal logika tanpa memperhitungkan kenyataan dan keadilan (dogma adalah ajaran atau pendapat yang diterima begitu saja tanpa menyelidiki benar tidaknya); 2. Kausal-empiris/sosiologis, ialah suatu cara pendekatan yang menggarap peraturan-peraturan hukum dengan cara mempelajari sebab akibatnya dalam
hubungannya
dengan
kenyataan-kenyataan
sosial
dalam
masyarakat; 35
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009.
3. Filosofis/idealis/ideologis, yaitu metode pendekatan yang menggarap peraturan,peraturan hukum dengan mempelajari hubungannya dengan hal-hal yang timbul dari ide-ide atau cita-cita atau hasil pemikiran manusia. Pembedaan terhadap paradigma ini tidak dimaksudkan untuk menyekat sedemikian rupa sehingga masing-masing model paradigma memisahkan diri satu sama lainnya. Pemisahan masing-masing model paradigma ini berimplikasi negatif terhadap proses penegakan hukum oleh Hakim. Sehingga tujuan dari penegakan hukum oleh Hakim yaitu keadilan yang dicita-citakan atau dikehendaki oleh masyarakat luas tidak tercapai . Idealnya Hakim menggunakan ketiga paradigma itu sebagai konsep dasar pemikiran atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan ketiga metode pendekatan itu, hendaknya selalu bermuara pada paradigma filosofi/idealis/ideologis sebagai pertimbangan yang harus digunakan Hakim36. Paradigma filosofi meyakini bahwa norma moral tidak akan lepas dari hukum, terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum positif. Ronald Dowrkin pemikir hukum kontemporer, menegaskan hal serupa namun dengan memberikan penekanan pada isi hukum. Hadirnya pranata hukum Yurisprudensi dalam proses penegakan hukum oleh Hakim, menjadi Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009.
bukti yang jelas untuk maksud tersebut. Menurut Dowrkin, yang menjadi pertimbangan pertama dalam Yurisprudensi bukan persoalan fakta dan strategi hukum melainkan dengan masalah moral. Hakim dibenarkan untuk mencari penyelesaian masalah dengan bimbingan moral yang rasional. Di tengah kebutuhan hukum positif yang sedang berhadapan dengan kasus berat, Hakim dibenarkan untuk menggunakan pertimbangan moral dalam penyelesaiannya. Posisi moral dalam hukum bukan selalu bersifat serba subyektif. Pertanggung jawaban moral selalu menuntut argumen yang secara rasional dapat diuji oleh siapapun. Konsekuansi logis terhadap perbedaan paradigma diatas berdampak pada perbedaan teori-teori yang dibangun dan dikembangkan. Sebagai kelanjutan dari perbedaan paradigma tersebut, maka metode yang digunakan untuk memahami keadilan substansinya pun berbeda. Paradigma dipahami sebagai asumsi-asumsi dasar yang ingin kita kembangkan, yang kita yakini benar dan yang nantinya menentukan cara pandang kita tentang obyek yang kita telaah. Asumsi-asunsi dasar inilah, yang menimbulkan perbedaan cara pandang penegak hukum pada saat dihadapkan dengan perkara yang harus diselesaikan. Berawal dari perbedaan cara pandang atau paradigma ini, maka menimbulkan beberapa aliran-aliran yang menggambarkan hubungan hukum dengan Hakim dalam penegakan hukum, yaitu :
(1) Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang. Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional. Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen. (2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim. (a) Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh Hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga Hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum. (b) Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan Hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang, tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk
peraturan dalam putusan Hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan dalam keadaan tertentu Hakim bahkan boleh menyimpang dari undangundang, demi kemanfaatan masyarakat. Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan,
hukum
kebiasaan,
yurisprudensi,
perjanjian
internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau “Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi Hakim untuk membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya itu. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs. (c) Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin dan G. Gurvitch. (d) Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem terbuka, open system van het recht, karena sistem hukum itu
membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut37. Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan. Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
Yusriyadi, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan Undip dalam rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004, hal. 5
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut; b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundangundangan tersebut. c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis. 2.1.3. Bentuk-bentuk Putusan Hakim Pengadilan Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Dengan adanya putusan hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat memperoleh
kepastian
hukum
tentang
statusnya
sekaligus
dapat
mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya.
Menurut Rusli Muhammad putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksisaksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan. Pasal 1 butir 11 KUHAP38 menyatakan: Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Lebih jauh Bagir Manan menyatakan bahwa suatu putusan hakim akan bermutu, hal ini tergantung pada tujuh hal, yakni: 1. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman Konsep Keadilan dan Kebenaran; 2. Integritas hakim yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat dipercaya; 3. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dari pihak-pihak berpekara maupun tekanan publik; 4. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai kekuatan moral;
38
Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
5. Fasilitas di lingkungan badan peradilan; 6. Sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya termasuk fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di daerah; 7. Kondisi aturan hukum didalam aturan hukum formil dan materiil masih mengandung kelemahan. Aktualisasi dari moralitas ini tidak hanya berlaku terhadap para hakim saja, tetapi termasuk pula para penyidik, penuntut umum sebagai bagian dari criminal justice system. Memang Putusan hakim akan menjadi putusan majelis hakim dan kemudian akan menjadi putusan pengadilan yang menyidangkan dan memutus perkara yang bersangkutan dalam hal ini setelah dilakukan pemeriksaan selesai39, maka hakim akan menjatuhkan vonis berupa : 1. Penghukuman bila terbukti kesalahan terdakwa; 2. Pembebasan jika apa yang didakwakan tidak terbukti atau terbukti tetapi bukan perbuatan pidana melainkan perdata; 3. Dilepaskan dari tuntutan hukum bila terdakwa ternyata tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rohaninya (ada gangguan jiwa) atau juga ternyata pembelaan yang memaksa. 39
R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Penerbit: Tarsito, Bandung, 1981.
Putusan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu : 1. Unsur yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama; 2. Unsur filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan; 3. Unsur sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Ada 3 bentuk putusan pengadilan yang diatur dalam KUHAP pada Pasal 191 dan Pasal 193 yaitu: 1. Putusan Bebas Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Dakwaan tidak terbukti diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal ini memberi penjelasan bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana akan tetapi dari dua alat bukti yang sah itu hakim juga memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjojo dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena: a. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP, jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain. b. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. c. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti. Mengenai alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli. c. Surat.
d. Petunjuk. e. Keterangan terdakwa. Secara teori (menurut KUHAP) hanya dikenal istilah putusan bebas, tanpa adanya kualifikasi “ bebas murni” atau “bebas tidak murni.” Putusan bebas (vrijspraak) yang diputus oleh hakim, dalam nuansa praktek peradilan berkembang istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Dalam memilah adanya indikasi bebas murni dan bebas tidak murni berdasar pula atas acuan argumen teoritisi yang mengadakan pengkualifikasian bentuk-bentuk vrijspraak, seperti yang dikemukakan oleh seorang doktrina Belanda, J. M. van Bemmelen, sebagai berikut: 1. De zuivere vrijspraak (putusan bebas murni), merupakan putusan akhir, hakim membenarkan fakta hukumnya (feiten), namun tuduhan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. 2. De onzuivere vrijspraak (putusan bebas tidak murni), yaitu dalam hal batalnya tuduhan terselubung (bedekte neitigheid van dagvaarding) atau putusan bebas yang menurut keyakinan kenyataannya tidak didasarkan pada tidak terbuktinya apa yang dimuat dalam surat tuduhan. 3. De vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen (putusan bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya), yaitu putusan
hakim yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa haruslah diakhiri atas suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya. 4. De bedekte vrijspraak (putusan bebas yang terselubung), yaitu dalam hal hakim mengambil putusan tentang fakta hukum (feiten) dan menjatuhkan putusan ontslag van alle rechtsvervolging (dilepas dari tuntutan hukum). Mencermati pembagian vrijspraak oleh J. M. van Bemmelen tersebut dihubungkan dengan praktek peradilan pidana Indonesia maka jenis vrijspraak dengan kualifikasi bebas tidak murni (de onzuivere vrijspraak), bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan (de vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen) dan bebas yang terselubung (de bedekte vrijspraak) yang potensial serta dominan menjadi alasan atau justifikasi bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. 2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Dasar hukum dari putusan ini dapat dilihat pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Dari bunyi Pasal di 191 ayat (2) di atas dapat diartikan bahwa putusan hakim berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan di sidang pengadilan ternyata menurut pendapat majelis hakim perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut perbuatannya sendiri maupun yang menyangkut diri pelaku perbuatan itu, misalnya terdapat pada: a. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa, atau cacat jiwanya. b. Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (overmacht) c. Pasal 49 KUHP tentang membela diri (noodweer). d. Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang. e. Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah. Hal-hal yang menghapuskan pidana yang terdapat pada pasal-pasal tersebut, oleh Soedarjo dikatakan sebagai hal yang bersifat umum. Di samping itu dikatakan pula terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, yang diatur secara khusus dalam pasal tertentu dalam undang-undang, misalnya Pasal
166 dan 310 ayat (3) KUHP. Dengan demikian, terdakwa yang memenuhi kriteria masing-masing pasal, baik yang mengatur hal-hal yang menghapus pidana secara khusus maupun yang bersifat umum seperti tersebut di atas, tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti. Menurut Pasal 67 KUHAP terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat terdakwa atau penuntut umum tidak berhak minta banding. Di atas telah dijelaskan bahwa pelepasan dari segala tuntutan hukum dibenarkan oleh hukum apabila seseorang melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah. Tetapi tidak semua perintah yang diberikan oleh atasan bisa lepas dari segala tuntutan hukum. Hakim menempatkan perintah atasan pada hal-hal yang meringankan saja. Karena sesuai fakta di persidangan perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa40. 3. Putusan Pemidanaan Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademi Pressindo, Jakarta 1985.
berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Selain itu, dalam penjatuhan pidana jikalau terdakwa tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan oleh hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam hal terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan
terdakwa
tersebut
tetap
berada
dalam
tahanan
atau
membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu. Sedangkan lamanya pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan41. walaupun pembentuk undang-undang memberi kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, bukan berarti hakim bisa seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan putusan hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal dua alat bukti dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada dan 41
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif Teoritis dan Praktik, P.T. Alumni, Bandung, 2008.
dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim, berarti pula syarat untuk menjatuhkan pidana telah terpenuhi Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan halhal yang memberatkan dan meringankan terdakwa: Hal-hal yang memberatkan : 1. Program pemerintah gemar memerangi narkoba. 2. Bisa meresahkan masyarakat dan sebagainya. 3. Menghancurkan masa depan generasi muda. Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa belum pernah dihukum. 2. Terdakwa menyesali akan perbuatannya. 3. Terdakwa bersikap sopan di pengadilan. Adapun jenis pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap pelaku kejahatan diatur di dalam ketentuan pasal 10 KUHP yaitu : 1. Pidana Pokok : a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Kurungan
d. Denda 2. Pidana tambahan : a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu. Hakim dalam usaha penerapan hukum demi keadilan di persidangan harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila bertindak dan berbuat tidaklah sekedar menerima, memeriksa kemudian menjatuhkan putusan, melainkan keseluruhan perbuatan itu diarahkan guna mewujudkan Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa42. Inilah yang harus diwujudkan oleh hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung jawabnya. Berbagai pengertian keadilan, diantaranya keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional), keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Demikian pula klasifikasi keadilan juga banyak ditemukan misalnya Aristoteles membagi keadilan komutatif dan distributif,
ada
juga
membedakan
norm
gerechtigkeit
dan
einzelfall
gerechtigkeit dan seterusnya. Demikian ada ahli yang membagi menjadi : keadilan hukum (legal justice), keadilan secara moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice). 42
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), Mandar Maju, Bandung, 1999.
John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika tidak benar. Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisen dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang didasarkan pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkanya. Teori-teori Keadilan Dalam Pandangan Hukum yaitu Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”. Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut : teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state. 1. Teori Keadilan Aritoteles Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat
hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan
tapi
bukan
persamarataan.
Aristoteles
membedakan
hak
persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang
adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. 2. Teori Keadilan John Rawls Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperti A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan. John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsipprinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance43).
John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2006.
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”. Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompetabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle). John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik. Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah. 3. Teori Keadilan Hans Kelsen Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya44. Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilainilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu. Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan
44
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, 2011.
menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif. Aliran positivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positifisme,
mengakui
juga
kebenaran
dari
hukum
alam.
Sehingga
pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam. Menurut Hans Kelsen : “Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapat tangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.”
Konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen : pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan. Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia. Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah
apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila. Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapatpendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang pengertian adil. (1) “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya. (2)“Adil” ialah : menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang. (3)“Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”. Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu. Dengan pengakuan hak hidup orang
lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai : (1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak. (2)Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusahapengusaha. (3)Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”. Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-
hari sering dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu. Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya. Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilankeadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum. Teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari hukum. Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan. Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Arietoteles
juga
membedakan
dua
macam
keadilan,
keadilan
“distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan
commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya. John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka program
penegakan
keadilan
yang
berdimensi
kerakyatan
haruslah
memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. John Rawl terhadap konsep “posisi asli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompetabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu45. Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar
45
John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara,Pusaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Keadilan dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya. Keadilan didalam perspektif hukum nasional ini adalah keadilan yang menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Keadilan ini lebih menitikberatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dengan
demikian
konsep
keadilan
sebenarnya
sudah
banyak
dikemukakan oleh para ahli karena keadilan sesungguhnya sesuatu yang sangat dekat dengan pemenuhan hak dan kepentingan manusia. Hanya saja yang tidak mudah dalam praktek adalah merumuskan apa yang menjadi tolok ukur atau parameter keadilan itu sendiri. Dalam konteks putusan hakim peradilan, terutama yang sering disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantive (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya.
Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani. Dengan kebebasan yang demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, maka hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum46. 2.2. Upaya Hukum Kasasi Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi 2.2.1 Pengertian dan Penjelasan Upaya Hukum Kasasi Dalam konteks ini berupa pemberian kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk memperjuangkan haknya dalam memperoleh keadilan lewat upaya hukum kasasi terhadap putusan yang mengandung pembebasan yakni dengan cara melakukan koreksi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri kepada terdakwa sehingga keadilan tersebut dapat dirasakan oleh semua pihak (terwujudnya keadilan sosial yang secara interen dapat disebut dengan keadilan Pancasila yakni dengan menggunakan landasan berpijak pada keadilan distributif melalui sarana keadilan korektif).
46
Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, diedarkan oleh Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1986.
Menurut kalangan doktrina ada beberapa pendapat tentang pengertian upaya hukum tersebut, antara lain, A. Hamzah dan Irdan Dahlan, menyatakan, “Upaya hukum dimaksudkan merupakan sarana untuk melaksanakan hukum, yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk tidak menerima penetapan atau putusan pengadilan karena tidak merasa puas dengan penetapan atau putusan tersebut.” Dengan diberikannya kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) maka akan dapat dirasakan bahwa upaya hukum yang disediakan oleh KUHAP yang merupakan hak yang dijamin oleh hukum benar-benar dapat dimanfaatkan, diwujudkan oleh para pihak (terdakwa/terpidana maupun Jaksa penuntut Umum) apabila mereka merasa tidak puas akan kualitas putusan atau vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan. Sebelum menguraikan mengenai definisi atau pengertian upaya hukum kasasi, penting diketahui mengenai asal kata serta sejarah ringkas perkembangan dari kasasi tersebut. Kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah. Lembaga Kasasi berawal di Prancis, ketika suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Mulanya, kewenangan itu berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang–undang dan kekuasaan kehakiman.
Lembaga kasasi tersebut lalu diaplikasikan di negeri Belanda yang kemudian masuk ke Indonesia. pada asasnya, kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui
kekuasaan kehakimannya. Hadar Djenawi Tahir (2002:8)
menyebutkan dalam bukunya bahwa kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi. Selama ini banyak orang keliru menafsirkan bahwa pemeriksaan kasasi adalah pemeriksaan tingkat tiga. Pemeriksaan tingkat kasasi itu sebenarnya bukanlah pemeriksaan tingkat ketiga. Kasasi adalah membatalkan atau memecah. Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan–putusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan–pengadilan lain dalam perkara– perkara pidana maupun perdata, agar dicapai kesatuan dalam menjalankan peraturan–peraturan dan undang–undang. Siapa saja yang dapat mengajukan kasasi? Kasasi dapat diajukan oleh : 1. pihak–pihak, yaitu terdakwa atau penuntut umum, pihak–pihak ini mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, maka pembatalan keputusan
dalam tingkat
kasasi
mempengaruhi
keputusan
yang
dimintakan kasasi itu; 2. Jaksa Agung demi kepentingan hukum. jaksa agung menyampaikan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung. Kasasi demi kepentingan hukum ini tidak membawa pengaruh terhadap putusan pengadilan yang
telah dijatuhkan. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang– undang atau keliru dalam menerapkan hukum. Menurut Yahya Harahap (2006:19), ada beberapa tujuan utama upaya hukum kasasi. 1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum,agar hukum benar–benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar–benar dilakukan menurut ketentuan undang–undang. 2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. 3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam
memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. Tidak semua hal dapat dimintakan pemeriksaan kasasi. kasasi hanya dimungkinkan apabila mengetahui persoalan– persoalan hukum (rechtsvragen). Apabila dikaji dari pendapat doktrina maka pengertian “salah menerapkan hukum” berarti judex facti telah keliru menerapkan suatu peraturan hukum seperti yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (verkeerde toepossing) atau telah menerapkan suatu peraturan hukum bertentangan atau berlawanan dengan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (schending der wet). Tegasnya, dapat dikonklusikan bahwa adanya kesalahan penerapan hukum yang dilakukan judex facti baik terhadap hukum acara maupun hukum materiilnya. Menurut Bagir Manan , terdapat empat kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum yaitu: kesengajaan sebagai cara menyembunyikan keterpihakan, kelalaian atau kekurang cermatan, pengetahuan yang terbatas dalam menggunakan legal reasoning dan kurang dalam pertimbangan hukum. Hakim Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman harus mengambil peran yang optimal untuk menjadi pembaru hukum guna mewujudkan pengadilan yang bersih. Mahkamah Agung yang bertindak sebagai “judex facti” seperti dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 1565/K/Pid/2004 ada hal yang menarik dimana putusan tersebut menyatakan “judex facti” telah salah menerapkan hukum berkenaan dengan putusan bebas dalam perkara korupsi dan begitu pula
halnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1500/K/Pid/2006, dan juga putusan Mahkamah Agung Nomor. 2057/K/Pid.Sus/2009 dengan kaidah dasar bahwasanya :”Mahkamah Agung berwenang memperbaiki dan merubah tentang putusan bebas yang diputuskan oleh Judex Facti karena Mahkamah Agung
menilai judex facti
telah salah dalam menerapkan hukum dan
Mahkamah Agung relatif kurang sependapat terhadap putusan bebas yang diputuskan oleh judex facti. Adapun persoalan– persoalan hukum itu adalah: 1. Apabila satu aturan hukum tidak diperlakukan oleh hakim atau, 2. Ada kekeliruan dalam memperlakukan satu aturan hukum atau, 3. Apabila hakim melampaui batas kekuasaan. Apakah suatu hak itu mengenai persoalan hukum atau tidak diputus oleh Mahkamah Agung sendiri. Dalam perundang–undangan Belanda, ada tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu; 1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara; 2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya; 3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang – undang.
Dalam undang–undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan–alasan dan dasar putusan itu, memuat pula pasal–pasal tertentu dari peraturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Ini adalah dasar hukum yang sah bahwa suatu putusan hakim haruslah memuat alasan–alasan dan dasar–dasar putusan itu. Dalam tahun 1947 dan 1974, Hoge Raad membatalkan putusan hakim yang lebih rendah karena alasan–alasan yang kurang cukup dan kelihatan di situ bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan alasan–alasan yang dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut. Berdasarkan
alasan–alasan
atau
pertimbangan–pertimbangan
yang
ditentukan oleh undang–undang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim) itu. Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi kadang– kadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh undang–undang (dalam hal ini khususnya yang tercantum pada Undang–Undang Kekuasaan Kehakiman). Tidak/kurang adanya pertimbangan/alasan–alasan atau pun alasan–alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, dapat menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.
Pasal 253 ayat (1) KUHAP dimuat beberapa alasan mengajukan kasasi, yaitu; 1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; 2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang– undang; 3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus dilakukan menurut tenggang–tenggang waktu tertentu, yaitu 14 hari setelah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa atau penuntut umum, dan kemudian harus disusul dengan mengajukan memori kasasi yang memuat alasan – alasan permohonan kasasi, dalam tempo 14 hari setelah mengajukan permohonan tersebut (pasal 245 dan 248). Jika tenggang waktu sebagaimana dimaksudkan di atas dilampaui, hak mengajukan permohonan kasasi dan hak menyerahkan memori menjadi gugur dengan sendirinya (pasal 246 ayat (2) dan pasal 248 ayat (4) KUHP). Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang–undang,misalnya pengadilan dilakukan di belakang pintu tertutup tanpa alasan menurut undang– undang. Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina dapat disimpulkan bahwa upaya hukum kasasi merupakan suatu hak yang dapat dipergunakan atau dikesampingkan oleh terdakwa atau penuntut umum.
Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat bawahnya maka dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan dan penerapan hukum yang telah dijalankan oleh pengadilan di bawahnya kecuali terhadap putusan yang mengandung pembebasan. Demi keadilan dan kebenaran maka putusan hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan. Mengenai kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas, bahwa dalam praktek peradilan pidana Indonesia telah terjadi suatu penerobosan hukum terhadap ketentuan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang jelas-jelas melarang pengajuan permohonan pemeriksaan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Menurut KUHAP terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244 KUHAP, yang menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Dengan demikian secara tataran normatif yudisial, hak atau peluang bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan
bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat dikatakan bahwa sebenarnya jalan atau pintu itu sudah tertutup. Akan tetapi terjadi perkembangan dalam praktek peradilan pidana Indonesia, yakni terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut akhirnya dilakukan suatu penerobosan sehingga terhadap putusan bebas dapat dimintakan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini merupakan suatu langkah untuk mengatasi krisis ketidakadilan menurut persepsi publik akan ekses putusan bebas yang cenderung mempolakan situasi dan kondisi negatif bagi dunia peradilan khususnya dan penegakan hukum pada umumnya47. Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil gejala negatif tersebut antara lain berupa kembali ke belakang menoleh dan mempertahankan yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi seperti yang dianut pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan Mahkamah Agung melakukan contra legem terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP melalui putusannya tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 yang merupakan yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung atas putusan bebas yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
47
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983
Dalam menghubungkan tindakan contra legem dari hakim pada moment tertentu, kalangan doktrina, yakni, H. Ahmad Kamil, menyatakan: Ketentuan pasal dalam Undang-Undang sudah dipandang tidak mampu atau kurang menjamin terciptanya kepentingan perlindungan ketertiban umum tampak adanya keresahan dari pencari keadilan, timbul rasa ketidak adilan, ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga dipandang bobot yurisprudensi lebih potensial menegakkan kelayakan dan perlindungan kepentingan umum, di banding dengan suatu ketentuan pasal undang-undang, dia (hakim) dibenarkan mempertahankan yurisprudensi. Berbarengan dengan itu, hakim langsung melakukan contra legem terhadap pasal-pasal yang bersangkutan.48 Senada dengan pendapat di atas, Komariah Emong Sapardjaja berpendapat seperti berikut: pencari keadilan, terutama bagi hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, tidak dapat menemukan keadilan hanya dalam undang-undang, tetapi akhirnya ia juga tidak dapat tidak menerapkan undangundang. Karena itu, dalam putusan hakim sering ditemukan kaidah-kaidah baru seperti mengesampingkan suatu ketentuan peraturan perundang undangan. Putusan yang demikian kalau telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
48
H. Ahmad Kamil, M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Penerbit: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
apalagi telah diikuti oleh putusan-putusan berikutnya, dapat disebut yurisprudensi.49 Ketentuan terhadap putusan bebas yang secara langsung dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung dapat kita lihat dalam: 1. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. 2. Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983. 3. Yurisprudensi Mahkamah Agung. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07.03 Tahun 1982 Tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, menyatakan: Mengingat bahwa mengenai masalah “salah atau tidak tepatnya penerapan hukum” justru merupakan alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan permohonan kasasi (lihat pasal 253), dan melihat pada pasal 244 yang menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan bebas tidak boleh dimohonkan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa terhadap semua putusan
49
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi KasusTentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Penerbit: Alumni, Bandung, 2002.
lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan banding, melainkan hanya boleh dimohonkan kasasi. Terkait dengan esensi Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tersebut, untuk dapat dimintakan kasasi secara langsung kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas maka diperlukan adanya suatu pembuktian bahwa putusan bebas tersebut sebagai pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum terselubung). Sedangkan esensi dari butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 198350, yakni, “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.” Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:M. 14PW. 07. 03. Tahun 1983 tersebut maka terhadap putusan bebas,Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung tanpa terlebih dahulu melalui upaya hukum banding. Keputusan Menteri Kehakiman ini menjadi titik awal penentu lahirnya yurisprudensi yang sangat bersejarah dalam konteks penegakan hukum khususnya dalam beracara pidana kita yang menyangkut persoalan putusan bebas. 50
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983.
Selanjutnya mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menjadi dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, yakni, bahwa dalam waktu singkat berselang 5 (lima) hari sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 dengan Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tersebut, Mahkamah Agung langsung merespon dengan yurisprudensi pertama, yakni Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dengan mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum atas permohonan kasasi kasus Raden Sonson Natalegawa. Putusan Mahkamah Agung ini menjadi yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum. Upaya hukum atas putusan bebas yang dimohonkan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember Tahun 1983 tersebut melahirkan dua (2)yurisprudensi yang isinya , yakni: 1. Putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa dapat diajukan kasasi. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tersebut di atas, pada pertimbangan-pertimbangannya antara lain mencantumkan sebagai berikut: “..........sesuai dengan yurisprudensi yang ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan
yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut atau relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan dalam
putusan
itu,
hal
mana
dalam
melaksanakan
wewenang
pengawasannya meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi oleh Jaksa. Mahkamah Agung wajib menelitinya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni, Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi tersebut. 2. Penafsiran “melawan hukum”, mengenai hal ini Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, antara lain mencantumkan: “Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tidak semata-mata diukur dari segi perbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang diancam dengan hukum pidana tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum, tapi juga menurut kepatutan dalam kehidupan dalam masyarakat perbuatan itu menurut penilaian masyarakat merupakan perbuatan tercela.” Bertitik tolak dari uraian di atas dapat diketahui
bahwa, “Putusan bebas” dapat diajukan kasasi agar permintaan kasasi tersebut berhasil maka penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa “putusan bebas” tersebut bukan merupakan pembebasan murni.” Atas cerminan dan panutan dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, dalam praktek peradilan pidana di Indonesia para Jaksa Penuntut Umum memperoleh nuansa baru dan angin segar berupa hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (tanpa perlu terlebih dahulu harus menempuh upaya hukum banding atau peradilan tingkat kedua) atau dengan kata lain bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung pertama tersebut menjadi acuan dan dasar pembenar secara yuridis normatif bagi para Jaksa Penuntut Umum untuk memanfaatkan hak dan ruang guna meminta pemeriksaan kepada Mahkamah Agung berupa upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas51. Hal ini merupakan salah satu langkah penegakan hukum terkait dengan adanya berbagai fenomena yuridis sebagai ekses dari kevakuman norma tentang hak Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut. 2.2.2 Pembuktian Terbalik Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Konsep keadilan yang menyatu dengan kehidupan masyarakat menjadi prinsip yang harus ditegakkan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat.
51
Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta,1992
Dengan kepercayaan itulah penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Krisis di segala bidang bukan disebabkan oleh korupsi tetapi lemahnya penegakan hukum. Artinya ketika penegakan hukum dapat dilaksanakan maka kasus korupsi akan dapat di atasi dan krisis kepercayaan yang selama ini hilang dapat di munculkan kembali. Tetapi dalam memberantas korupsi bukan hanya masalah penegakan hukum, tetapi persoalannya ialah membuat sistem itu berjalan dan mengubah cara orang berperilaku52. Secara harafiah, tindak pidana korupsi berasal dari kata "tindak pidana" dan kata "korupsi". Tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dan bahasa Belanda Strafbaarfeit" atau "delict" dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptie. Corruptie Berasal dari: kata corumpere yang berarti merusak atau membuat menjadi busuk, membuat menjadi jelek, membujuk dan menyesatkan dan sering digunakan untuk istilah penyuapan dan sikap tidak jujur. Dari kata corrumpere inilah kemudian diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi corruptie.
52
Wasingatu Zakiah, Penegakan Hukum Undang-Undang Korupsi, Makalah, Jakarta 2001.
Wordnet Princenion Education, korupsi, didefinisikan sebagai "lack , of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position oftrust for dishonest gain." Selanjutnya, dalam Kamus Collins Cobuild arti dari kata corrupt adalah "someone who is corrupt behaves in a way that is morally wrong, especially by doing dishonesty or illegal things in return for money or power." Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Leden Marpaung adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah (haram). Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung, korupsi diartikan sebagai : “…penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan atau sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata “keuangan negara” biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang mengelola “keuangan Negara” adalah aparat pemerintah. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang "bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepalsuan hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas, dapat adalah: a. Asas kepastian hukum (supremacy of law) adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap warga. Hukum adalah merupakan penjaga gawang keberlangsungan suatu Negara secara tertib dan lancar. Pada hakikatnya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan pelanggaran hukum yang berperan dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
perbuatan
atau
tindakan
administrasi harus didasarkan pada atas aturan atau prosedur yang berlaku. b. Asas tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keselarasan,
dan
keseimbangan
dalam
pengendalian
penyelenggara negara. c. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. d. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang
penyelenggaraan
negara
dengan
tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dari rahasia negara. e. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
f. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. g. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau; h. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang
penyelenggaraan
negara
dengan
tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. i. Pembatasan kekuasaan adalah pembatasan kekuasaan negara dan organorgan negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau perusahaan kekuasaan secara horisontal. Setiap kekuasaan pasti ada memiliki kecenderugan untuk berkembang secara sewenang-wenang. Dalam pengadaan barang dan jasa birokrat cenderung menyalahgunakan kekuasaan. j. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa sedap kegiatan dari hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada
masyarakat
atau
rakyat
sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. k. Pembatasan kekuasaan adalah pembatasan kekuasaan Negara dan organorgan negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahaan kekuasaan secara horisontal. Setiap kekuasaan pasti ada memiliki kecenderungan untuk berkembang secara sewenang-wenang. Dalam pengadaan barang dan jasa birokrat cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Pembuktian kasus korupsi baik di Indonesia dan beberapa negara asing memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut di samping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan U.U. yang produknya masih dapat bersifat multi interprestasi, sehingga relatif banyak ditemukan beberapa kelemahan di dalamnya. Salah satu contoh dapat dikemukakan di sini adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan UU disebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures).
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan adanya pengaturan mengenai beban pembuktian terbalik. Lilik Mulyadi53 mengemukakan bahwa ada dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban pembuktian terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoretis dan praktik? Menurut penulis, tidak. Secara tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU 31/1999 Jo UU 20/2001. Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) berbunyi: "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan-nya dan yang berlawanan dengan, kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh .juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum."
53
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di aras dalam pandangan Lilik Mulyadi yaitu: Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana (materiele feit) ketentuan tersebut menimbulkan kesalahan dan ketidak-jelian norma asas beban pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang berbunyi "....yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi", akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional, "setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya", maka adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan. Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran ketentuan UU dan tiada dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legislasi merumuskan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada: Kedua,
terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional "..dianggap pemberian suap". Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan "....dianggap pemberian suap" akan tetapi sudah termasuk tindakan "penyuapan". Eksistensi asas beban pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional. Akan tetapi, harus kepada dua unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediming) dan yang melakukan pekerjaan ini yang bertentangan dengan kewajiban (in stijd met zijn -plicht). Ketiga, dikaji dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus dihubungkan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) yang diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Hakikatnya, dari dimensi ini beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption). Selain itu bersimpangan dengan ketentuan hukum acara pidana yang mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHAP, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf
(i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), Pasal 11 ayat (l) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Prinsip 36 ayat (1) kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 43/1739 Desember 1988 dan Konvensi Internasional serta asas legalitas. Dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebenarnya beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia "ada" ditataran kebijakan legislasi akan tetapi '"tiada" dan "tidak bisa" dilaksanakan dalam kebijakan aplikasinya. Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara54. Meskipun demikian, untuk dapat menerapkan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji. terlebih dahulu, karena menurut Topo Santoso, dalam hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu: "Pertama, bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya. Kedua, apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktan terbalik), mulai dari pengacaranya, hakimnya, jaksa penuntut umumnya. 54
Chairudin dan Syaiful Ahmad Dinar, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Jakarta, 2008.
Ketiga, jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat pemerasan baru, di mana semua orang dapat saja disudutkan melakukan korupsi. Dan pihak kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-macam korupsi. Orang yang dituduh korupsi disuruh membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, sehingga banyak sekali orang yang akan "diperas" karena dituduh melakukan korupsi." Todung Mulia Lubis mengemukakan bahwa penerapan asas pembuktian terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat tidak dibuat. Jadi sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaankekayaan "haram" yang dia peroleh. Seharusnya disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga si pejabat bisa diinvestigasi.