SKRIPSI Peradilan In Absentia Dalam Penanganan Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif) Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: AHMAD FARHAN FARIS NIM: 107045102712
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKUKTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PENANGANAN PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
AHMAD FARHAN FARIS 107045102712
Dibawah Bimbingan : Pembimbing :
Dr. Asmawi, MA NIP. 197210101997031008
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Peradilan In Absentia Dalam Penanganan Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa, 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam (Jinayah Syar’iyyah). Jakarta, 21 September 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Dr. Asmawi M.Ag NIP 197210101997031008
2. Sekretaris
: Afwan Faizin M.Ag NIP 197210262003121001
3. Pembimbing I
: Dr. Asmawi, MAg NIP 197210101997031008
4. Penguji I
: Zoebir Laini, SH NIP 150009273
5. Penguji II
: H. Qasim Arsyadani, M. Ag NIP 196906292008011016
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Agustus 2011
Ahmad Farhan Faris
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik di antara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan, karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembantu Dekan I, II, dan III yang telah membimbing Penulis.
i
2. Dr. Asmawi, MA., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama perkuliahan dalam 8 semester ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi srata 1 dengan sebaik-baiknya. 3. Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaikbaiknya. 4. Sri Hidayati, MA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik. 5. Dr. Asmawi, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 6. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keikhlasan menyalurkan ilmu-ilmu dan pengetahuannya dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani. 7. Tak terlupakan untuk kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta doa yang bergema dalam dzikir dan tahajjudnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat, ayahanda H. Ahmad Syamsuddin Raisin dan ibunda Siti Sopiah, kakak saya
ii
Ahmad Ghufron, Siti Musyriqoh, Siti Nurfajriyah, Ahmad Fitroh, SHi., Ahmad Fikri, Ahmad Chozyn,
SPdi., Neneng Manzilah dan Siti
Nurkameliawati, SHum., serta kakak-kakak ipar, terima kasih penulis haturkan berkat dukungan kakanda penulis selalu termotivasi dengan penuh semangat. Tak lupa juga untuk adikku tercinta, Ahmad Afif Afifi dan Ahmad Fajrul Falah, terus menuntut ilmu dan raih cita-cita kalian. Untuk pamanda Ust. H. Ahmad Zakwani Raisin dan Ust. H. Mukhlis Raisin, terima kasih penulis haturkan berkat bimbingan dan arahan yang telah diberikan. 8. Ibu Indah Panitera Muda Hukum Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah membantu penulis untuk mendapatkan data berupa putusan berkas perkara korupsi sebagai bahan kajian penulis. 9. Sahabat-sahabat Program Studi Pidana Islam Angkatan 2007 terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam hidup, terutama (Shanti, Rahmah, Hurry, Novi, Ridho, Mizi, Mamet, Rofiq, Ical, Azwar), terima kasih yang selalu bersedia menemani penulis, baik berdiskusi maupun berpetualang. 10. Sahabat-sahabat komisariat (Gus Aab, Faris, Endra, Halim, Chandra), terima kasih telah menemani dan membimbing penulis untuk berorganisasi di dalam kampus dan di luar kampus. Untuk Angkatan 2008 Pidana Islam, terima kasih telah memberi bantuan semangat dan do’anya. 11. Ustadz H. Rif’at Syauqi Ghazali dan Rizal Mahmudi Ghazali, terima kasih penulis haturkan berkat bantuan referensinya serta dukungan do’anya.
iii
Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akhirnya, semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wassalamualaikum. Wr. Wb. Jakarta, 29 Agustus 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................
5
D. Tinjauan Pustaka Terdahulu...........................................................
6
E. Metode Penelitian...........................................................................
7
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 10
BAB II
PERADILAN IN ABSENTIA DAN PERADILAN KORUPSI A. Peradilan In Absentia 1. Definisi Peradilan ..................................................................... 13 2. Selayang Pandang Peradilan In Absentia Di Indonesia ........... 18 3. Landasan Hukum Peradilan In Absentia .................................. . 23 B. Peradilan Korupsi 1. Definisi Korupsi ....................................................................... 27 2. Proses Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ........ 30 3. Penegakan Hukum Perkara Korupsi Di Indonesia ................... 35
v
BAB III
KONSEP PERADILAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Sejarah Peradilan Dalam Islam ...................................................... 45 B. Perkembangan Peradilan Islam Dari Masa Ke Masa ..................... 55
BAB IV
PERADILAN PERKARA KORUPSI SECARA IN ABSENTIA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Deskripsi Putusan Perkara Korupsi secara In Absentia (Putusan Nomor: 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST.) .................................... 70 B. Analisa Putusan Perkara Korupsi secara In Absentia Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif................................................... 80
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 91 B. Saran ............................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 96 LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Korupsi masih merupakan permasalahan yang serius di Indonesia, karena
korupsi sudah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas, sistematis dan terorganisir. Korupsi sudah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi menjadi penyebab timbulnya krisis ekonomi, merusak sistem hukum dan menghambat jalannya pemerintahan yang bersih (good governance) serta demokratis. Dengan kata lain, korupsi sudah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).1 Berhubung korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, maka dalam penanganannya mesti dilakukan secara luar biasa juga. Untuk saat ini, berbagai upaya coba dilakukan untuk membasmi praktik korupsi, di antaranya dengan cara melakukan putusan secara in absentia dan dibentuknya pengadilan khusus untuk menangani perkara korupsi. Dengan kata lain, telah dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun, kedua penanganan tersebut bukan sebuah jaminan akan musnahnya praktik korupsi di negeri ini.
1
Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2008), cetakan Ke-1, hlm. 2.
1
2
Oleh karena itu, dianggap perlu untuk membentuk suatu pengadilan secara khusus menangani perkara-perkara korupsi dengan segala ciri dan kompleksitas permasalahan yang membutuhkan pengaturan yang khas, antara lain mengenai struktur organisasi, personil dan hukum acaranya.2 Nah, putusan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia) masih mengalami kemelut, karena bertentangan dengan KUHAP, di mana terdakwa merupakan orang yang menjadi icon
untuk diperiksa, dituntut dan diputus suatu perkara yang
dihadapinya di sidang pengadilan. Tetapi, di sisi lain perkara korupsi harus dilakukan secara luar biasa penyelesaiannya, karena korupsi sudah menjadi kejahatan yang luar biasa. Di samping itu, agar terselamatkannya aset dan keuangan negara yang telah dikorupsi. Peradilan in absentia diartikan sebagai proses untuk mengadili seorang terdakwa dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa yang telah dipanggil secara sah oleh Pengadilan dan tanpa alasan sah dari terdakwa. Memang, mengenai persoalan putusan tanpa dihadiri terdakwa, banyak para ahli hukum berpendapat, baik dari kalangan fiqh maupun konvensional. Sebagian mereka berpendapat dalam hal memberi putusan, terdakwa harus dihadirkan dalam persidangan. Seperti diungkapkan oleh Imam Hanafi, “tidak boleh dijatuhkan hukuman terhadap orang yang tidak datang dan terhadap orang yang lari sebelum dijatuhkan hukuman dan sesudah dimajukan keterangan-keterangan. Hanya perlu tiga
2
Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. vi.
3
orang pergi menemui terdakwa untuk diminta datang ke pengadilan. Kalau dia tidak mau datang, boleh dipaksa.3 Dari kutipan di atas penulis berpendapat, tidak diperbolehkannya diberi putusan kepada terdakwa yang belum hadir pada tempat pemeriksaan. Uniknya, dari kutipan tersebut diperintahkan tiga orang yang menemui terdakwa untuk dihadirkan di persidangan. Apabila tidak mau hadir juga, maka boleh dipaksa terdakwanya. Selain itu, para ahli membolehkan memberi putusan terhadap terdakwa yang tidak hadir. Akan tetapi, dengan catatan bahwa telah melakukan upaya atau cara untuk mendatangkan terdakwa di persidangan. Artinya, terdakwa telah diberi tahu sebelumnya atau telah dipanggil secara sah. Menurut Imam Ahmad, “hakim boleh memutuskan hukum terhadap orang yang tidak datang apabila telah cukup keterangan diberikan oleh pihak pendakwa.” Di samping itu, Imam Malik juga menyatakan hal yang sama yaitu, “boleh dihukum orang yang tidak datang apabila yang telah datang itu telah mengemukakan keterangan dan meminta dihukumkan”.4 Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan mengenai putusan tanpa terdakwa di dalam Pasal 18 ayat (2). Tak terlepas juga telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 38 ayat (1): “Dalam hal terdakwa telah
3
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddeqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 527. 4
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, h. 527.
4
dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”.5 Sehubungan dengan hal di atas, menarik perhatian penulis untuk menyusun skripsi yang berjudul: “Peradilan in absentia dalam Penanganan Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)”.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis
pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah. Mengingat persoalan mengenai korupsi ini amat luas, maka dalam penelitian skripsi ini penulis merumuskan dan membatasi kepada beberapa permasalahan: 1. Bagaimanakah pengaturan peradilan in absentia dan peradilan korupsi di Indonesia? 2. Bagaimanakah konsep peradilan menurut hukum Islam? 3. Bagaimanakah peradilan perkara korupsi secara in absentia dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif? Merujuk kepada pembahasan di atas, peneliti membatasi permasalahan agar tidak terlalu luas dalam pembahasannya. Peneliti akan membahas permasalahan bagaimana peradilan in absentia dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam hal ini tindak pidana korupsi dan bagaimana dampak dari putusan in absentia. 5
Adami Chazawi, Lampiran Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2005), h. 23.
5
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan mengenai pengaturan peradilan in absentia dalam mengatasi perkara tindak pidana korupsi bagi terdakwa, sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Untuk menjelaskan konsep peradilan menurut hukum Islam. 3. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang peradilan korupsi secara in absentia. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui tentang peradilan in absentia dalam penanganan pelaku tindak pidana korupsi. 2. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca dalam memahami peradilan in absentia dalam penanganan pelaku tindak pidana korupsi. 3. Penelitian ini setidaknya diharapkan bermanfaat menjadi sumbangan ilmiah penulis dalam rangka revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6
D.
Tinjauan Pustaka Terdahulu Sejumlah tinjauan tentang topik peradilan in absentia telah dilakukan, baik
yang dikaji secara spesifik isu tersebut maupun yang menyinggungnya secara umum. Berikut pemaparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut. Karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, yang berjudul Peradilan dan Hukum Acara Islam. Temuan penelitian tersebut adalah bahwa konsep peradilan sudah ada sejak Muhammad ibn „Abdullah diangkat menjadi Rasul di kota Madinah, sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur‟an surat an-Nisaa‟ ayat 65. Selain itu, dalam buku ini juga dijelaskan tentang tata cara dalam pengangkatan dan pemberhentian hakim, hukum acara dalam peradilan Islam dan peradilan pada masa jahiliyah. Karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, yang berjudul Sejarah Peradilan Islam. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang sejarah peradilan dari masa ke masa, masalah pengangkatan hakim oleh pihak-pihak berperkara, perubahan dalam sidang pengadilan dan riwayat-riwayat ringkas hakim ternama dari masa ke masa. Karya K. Wantjik Saleh, yang berjudul Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Buku ini menyinggung persoalan konsep peradilan in absentia dalam perkara korupsi. Lebih umum penulis buku tersebut menguraikan tentang pengertian korupsi dan suap, lalu bagaimana proses penyelesaiannya atau penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Karya Waludi, yang berjudul Kejahatan Pengadilan dan Hukum Pidana. Buku ini menggambarkan bagaimana potret peradilan di Indonesia. Artinya, di Indonesia setiap orang yang berperkara selalu saja ingin diselesaikan dengan proses
7
pengadilan. Padahal, menurut penulis bahwa di negeri Jepang itu tidak dengan gegabah untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, karena mereka beranggapan bahwa itu merupakan membuka aib pribadi. Karya ini sedikit mengulas tentang peradilan in absentia, penulis menekankan bagaimana sistem pembuktian dalam hal peradilan in absentia. Di mana telah disebutkan di dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) dan hakim bisa memberikan putusan terhadap terdakwa minimal bisa dibuktikan dengan dua alat bukti. Karya Djoko Prakoso, yang berjudul Peradilan in absentia di Indonesia. Buku ini menguraikan bagaimana konsep peradilan secara in absentia terhadap terdakwa yang tidak bisa dihadirkan di depan sidang pengadilan, bagaimana etika hakim dalam memberikan putusan serta bagaimana hak-hak terdakwa dalam menjalani putusan tersebut. Kelebihan dari karya ini adalah telah mengulas landasan hukum yang berkaitan dengan memberi putusan tanpa hadirnya seorang terdakwa. Adapun kelemahan atau kekurangannya yaitu tidak memberikan landasan hukum menurut hukum Islam.
E.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian
yang menghasilkan data kualitatif. Adapun data kualitatif yang dimaksud adalah ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang- orang (subyek itu
8
sendiri)6 yang kemudian dari informasi yang didapat, menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.7 Penelitian ini juga menggunakan tipe penelitian hukum normatif doktriner, yaitu penelitian yang menggunakan objek kajiannya adalah bahan- bahan hukum primer yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.8 Karena penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, maka penulis menjadikan penelitian ini menjadi sebuah kajian yang bersifat yuridis normatif. Yaitu mengkaji suatu pembentukkan peraturan perundang-undangan yang ada dengan kajian hukum Islam dan hukum positif. Bedanya dengan penelitian yang bersifat empiris/sosiologis yaitu bahwa dalam penelitian empiris objek penelitiannya adalah norma-norma hukum di lapangan dengan sumber data yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya.9 Adapun yang dimaksud dengan kajian yuridis normatif ini adalah sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini bahan hukum primer yaitu perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-
6
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Alih bahasaArif Furchan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), cetakan I, h. 21. 7
8
Consuelo G. Sevilla, at. all, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI-PRESS, 2006), h. 71.
Peter Mahmud Marzuki, cetakan Ke-4, h. 141. 9
Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008),
Tomi Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 2007), h. 28.
9
undangan. Sedangkan bahan-bahan sekundernya sendiri terdiri dari buku-buku, majalah-majalah, dan situs website yang objek kajiannya mengenai hukum pidana Islam yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana dalam Islam, serta buku-buku yang terkait dengan sumber buku primer yang dijadikan buku rujukan dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumenter, di mana bahan-bahan penelitian yang didapat melalui dokumen eksternal berisi bahanbahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, pernyataan, dan berita yang disiarkan kepada media massa.10 Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan cara menggambarkan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dan fakta-fakta tanpa menggunakan rumus dan angka. Sedangkan metode pembahasan hasil analisa adalah metode komparatif atau perbandingan. Di mana melalui kedua kajian hukum antara hukum Islam dan hukum positif, dapat ditarik kesimpulan kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara pengaturan yang sama pula dan kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.11
10
Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), cetakan 18, h. 163. 11
Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Dikutip dari Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), Ed-rev. Cetakan Ke-4, h. 313.
10
Teknik Penulisan, adapun teknik penulisan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007”.
F.
Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama bertajuk
“Pendahuluan”.
Di
dalam
bab
ini,
diuraikan
pokok-pokok
pikiran
yang
melatarbelakangi penelitian, yang terdiri dari 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka terdahulu, (5) metode penelitian dan (6) sistematika penulisan. Bab kedua berjudul “Peradilan In Absentia dan Peradilan Korupsi”. Pada bab ini, terdiri dari 2 (dua) sub-bab utama, yaitu (1) peradilan in absentia dan (2) peradilan korupsi. Pada sub-bab utama peradilan in absentia, terdiri dari 3 (tiga) subbab, yaitu (a) definisi peradilan, bagaimana ta‟rif atau pengertian peradilan dalam pandangan para ahli, (b) selayang pandang peradilan in absentia di Indonesia, bagian ini menarasikan serta mengemukakan pendapat para ahli mengenai posisi peradilan in absentia di Indonesia, (c) landasan hukum peradilan in absentia, bagian ini menguraikan landasan-landasan hukum yang mengatur tentang peradilan secara in absentia serta pendapat para ahli yang bertolak belakang dalam mengkritisi yuridis tersebut.
11
Pada sub-bab utama peradilan korupsi, terdiri dari 3 (tiga) sub-bab yaitu (a) definisi korupsi, mengemukakan pendapat para ahli tentang korupsi, (b) proses pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi, bagian ini menguraikan history di mana perlu adanya lembaga khusus untuk penanganan dan penyelesaian dalam kasus korupsi di Indonesia, (c) penegakan hukum perkara korupsi di Indonesia, bagian ini menguraikan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi di Indonesia. Perangkat hukum apa saja yang diperbolehkan untuk menangani dan menyelesaikan perkara korupsi serta status terdakwa dalam memberikan keterangan sebagai saksi atau alat bukti. Bab ketiga bertajuk “Konsep Peradilan menurut Hukum Islam”. Pada bab ini penulis menguraikan peradilan menurut Islam, yang terdiri dari (1) sejarah peradilan dalam Islam, pada bagian ini teruraikan peradilan pada masa sebelum Islam, siapa yang menjadi hakim pada saat itu, dan (2) perkembangan peradilan Islam dari masa ke masa, bagian ini menguraikan peradilan setelah masuknya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam serta perkembangannya pasca wafatnya beliau yang dipimpin oleh para khulafa al-rasyidin dan para sahabat. Bab keempat berjudul “Peradilan Perkara Korupsi secara In Absentia dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”. Pada bab ini, penulis mendeskripsikan seorang hakim yang telah memberikan putusan terhadap pelaku korupsi tanpa dihadiri oleh terdakwa. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor: 1032/Pid.B/2001/PN.Jkt.Pst. Berikutnya, penulis melakukan analisa terhadap putusan tersebut dengan pandangan hukum Islam dan hukum positif, bagaimana majelis
12
hakim memberikan keadilan hukum atau etika hakim dalam memutuskan suatu perkara (adabul qadhi‟). Bab kelima “Penutup”. Bab ini mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian dan juga saran yang relevan dari peneliti.
BAB II PERADILAN IN ABSENTIA DAN PERADILAN KORUPSI
A.
Peradilan In Absentia 1.
Definisi Peradilan Salah satu pendapat dari „ulama mengenai peradilan, di antaranya: “Memutuskan perkara (qadhi‟), salah satu fardhu‟ kifayah.”12 Pendapat Abu Hanifah dan Malik. Beliau-beliau ini menetapkan bahwa
wajib atas orang yang cakap menjadi kadi, menjabat pekerjaan kadi apabila tidak diperoleh orang yang lain. Sebelum beranjak kepada definisi peradilan, maka kita hening sejenak mengingat kisah-kisah mengenai para manusia yang terlibat dalam suatu peradilan. Bagaimana kehidupan bila tanpa adanya suatu peradilan. Mengingat kisah Qobiel dan Habiel, putera Nabi Adam „Alaihissalam. Keduanya adalah suatu ilustrasi dalam fase kehidupan manusia yang pertama kali. Qobiel tak bisa menerima keputusan sang orang tua yang menjodohkan Iqlima untuk Habiel, sedangkan dirinya diminta menerima Lubuda. Adam tergambarkan sebagai mediator, kembali menawarkan jalan damai agar keduanya menyerahkan kurban dan sepenuhnya keputusan Allah Subhanahu wa Ta‟ala, dan dengan kesepakatan sang pemenang adalah pemilik kurban
12
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, h. 519.
13
14
yang diterima oleh-Nya. Sekali lagi, Qobiel kalah dan ia tidak bisa menerima kekalahan sehingga berujung pembunuhan Habiel.13 Itulah salah satu cerita mengenai peradilan, masih ada cerita-cerita lainnya yang di antaranya tentang pemikiran Socrates dan seorang wanita yang mencuri di zaman Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam. Kasus Socrates yang didakwa melakukan pelanggaran pidana karena pikirannya.cara berpikir Socrates itu dinilai menyebarkan misi dan praktik pengajaran menyesatkan era 399 SM. Keberaniannya membahas soal ketuhanan dianggap menyimpang (nyeleneh) oleh kebanyakan seperti adanya dewa-dewi kahyangan. Pengadilan memutuskan bersalah dan dihukum mati. Socrates disodori dua opsi, dihukum mati minum racun, atau bebas dari segala hukuman dengan syarat menghentikan kegiatan filsafatnya. Namun Socrates memilih opsi pertama, yaitu meminum racun. Di era kenabian Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam, ada cerita kasus pencurian bokor emas yang dilakukan Fatimah al-Makhzumiyah, putri kepala suku al-Makhzum. Posisi sebagai putri keturunan bangsawan tak bisa melepaskan Fatimah al-Makhzumiyah dari hukuman potong tangan. Begitu pula tatkala suku al-Makhzum mengirimkan Usamah bin Zaid, cucu kesayangan Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam dari anak angkatnya Zaid bin Haritsah untuk melunakkan hukuman tersebut. Usamah bin Zaid
13
Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2009), h. 1.
15
bertindak sebagai pelobi atau makelar kasus, namun gagal. Hukuman tetap dilaksanakan. Berawal dari kasus tersebut, nabi bersabda yang termasyhur; “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya”.14 Dari kisah cerita di atas menunjukkan betapa pentingnya lembaga peradilan. Manusia tak bisa lepas dari kesalahan atas didasari nafsu, kebencian dan keinginan memiliki sesuatu yang bukan haknya. Dan lembaga peradilan diharapkan mampu mengembalikan kesalahan manusia untuk kembali ke jalur benar melalui keadilan yang sebenar-benarnya. Di samping itu, ada sebuah pepatah Latin kuno yang cukup menggambarkan mengenai begitu mulianya lembaga peradilan. Bahwa pengadilan adalah “nec curia deficeret in justitia exhibenda”, pengadilan adalah istana di mana dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma wangi akan keadilan.15 Qadha‟
menurut
bahasa
artinya
menghukumi
sesuatu
dan
menyelesaikan. Al-Jauhari berpendapat, qadha‟ artinya selesai. Kadi (hakim) adalah orang yang menyelesaikan sesuatu perkara dengan hukum.16
14
Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, h. 2. 15
Hery Susanto, dkk., Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat, h. 4. 16
h. 443.
Moh. Rifa‟i, dkk., Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putra, tt.),
16
Fuqaha mendefiniskan bahwa qadha‟ (peradilan) adalah pendapat yang mewajibkan yang keluar dari kekuasaan umum,17 atau pemberitaan tentang hukum syar‟i dengan jalan pengharusan. Dikatakan qadha al-qadhi‟, artinya: hakim menetapkan kebenaran kepada pemiliknya.18 Ibnu Khaldun mengatakan dalam Mukaddimah ketika menjelaskan garis-garis agama yang berkaitan khusus dengan khilafah. “Adapun peradilan, maka merupakan tugas yang masuk di bawah khilafah, karena dia merupakan jabatan pemutusan di antara manusia dalam perselisihan untuk memastikan terhadap tuduhan dan memutuskan perselisihan. Hanya saja, peradilan ini dengan hukum-hukum syariah yang bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah. Karena itu, peradilan merupakan salah satu tugas khilafah dan masuk dalam keumumannya.”19 Di dalam al-Qur‟an disebutkan lafazh qadha‟dan lafazh hukm serta akar kata keduanya dalam banyak tempat. Adapun sebagai pedoman dasar peradilan adalah firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:
17
Bathros Al-Bustani, Muhith al-Muhith, Jilid 2, h. 1726-1727, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 315. 18
Muhammad Salam Madkur, h. 11, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham adDaulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, h. 315. 19
Ibnu Khaldun, Al-Ibar wa Diman Al-Mubtada‟ wa Al-Khabar (Mukaddimah), Juz 1, h. 174, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, h. 315.
17
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. AlMaidah: 49) Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut pengadilan. Peradilan adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam “mengadili dan menyelesaikan suatu perkara” itulah terletak proses pemberian keadilan yang dilakukan oleh hakim baik tunggal maupun majelis. Oleh karena itu, hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan peradilan.20 Dari beberapa definisi di atas, bahwa peradilan adalah merupakan suatu proses pemberian keadilan kepada pihak yang berperkara. Dalam hal memberikan keadilan, seorang kadi atau hakim dituntut agar memberikan
20
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Ed. 6, cetakan 9, h. 250.
18
kepada yang berhak dengan kata lain putusan yang seadil-adilnya. Katakan benar jika ia benar, dan katakan salah jika ia bersalah. Lembaga peradilan dirintis sudah sejak masa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam, dan disempurnakan pada masa-masa sesudahnya, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
2.
Selayang Pandang Peradilan In absentia Di Indonesia Kita mungkin masih teringat kasus yang meneriakkan tentang adili
mantan Presiden Soeharto (almarhum) atau yang disebut juga sebagai “Bapak Pembangunan” untuk dituntaskan kasus korupsinya. Namun apa daya, kasus tersebut tak kunjung usai dengan berbagai macam alasan yang telah dikeluarkan oleh para penegak hukum. Pihak kejaksaan telah mengalihkannya tuntutan menjadi perdata, tetapi menjadi wacana belaka. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan SKP3-nya (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara) karena alasan sakit permanen yang telah divonis terhadap Pak Harto. Ironis tampaknya penegakan hukum untuk menciptakan tujuan hukum yang efektif dan efisien demi tegaknya keadilan sirna terlihat. Arena perbincangan sekarang-sekarang ini adalah adili dengan segera mungkin pelaku tindak pidana korupsi, lakukan hal-hal jitu untuk memberantas pelaku korupsi. Karena mengingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime, maka dipandang perlu melakukan upaya semaksimal
19
mungkin. Walaupun tidak menutup kemungkinan perilaku akan tetap ada dan berkembang dengan modus-modus lain. Peradilan in absentia dirasakan merupakan solusi yang paling tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Peradilan in absentia sendiri dapat diartikan
sebagai
upaya
untuk
mengadili
seorang
terdakwa
dan
menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri. Pengaturan peradilan in absentia ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak dicantumkan secara jelas, baik di dalam ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan maupun di dalam penjelasannya. Hanya di dalam Pasal 196 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) terdapat sedikit pengaturan tentang in absentia yang sifatnya terbatas. Pasal 196 ayat (1) yang berbunyi: “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”. Penulis berpendapat bahwa dalam hal memutus perkara, undang-undang ini menentukan lain yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 di dalam Pasal 38 ayat (1). Pasal 214 ayat (1) berbunyi: “Jika terdakwa atau waktunya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan”. Pasal tersebut masih terlalu umum cakupannya, Pasal tersebut menyatakan terdakwa waktunya tidak hadir, perkara dilanjutkan. Di sana tidak disebutkan alasan terdakwa tidak hadir dan pemanggilan secara sah kepada terdakwa.
20
Dalam perkara perdata, mengadili atau menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu dilakukan oleh hakim, yaitu setelah dilakukan pemanggilan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku. Malah dalam perkara perdata pada umumnya, yang menghadiri sidang pengadilan hanyalah wakil atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, sedang yang bersangkutan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut tidak menjadi masalah. Adapun peradilan in absentia ini harus memenuhi beberapa unsur, di antaranya yaitu: 1. Karena terdakwa tinggal atau berpergian ke luar negeri. 2. Adanya
usaha
dari
terdakwa
untuk
melakukan
tindakan
pembangkangan, misalnya melarikan diri. 3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (Pasal 38 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).21 Namun, dengan unsur-unsur tersebut di atas, peradilan in absentia adalah contoh praktik hukum yang potensial melahirkan kesewenangwenangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Meski bukan pelanggaran atas 21
Fave Chayo Saputra, In Absentia Untuk Pak Harto, Ambon: Waspada Online, http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg22012.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011.
21
Non-Derogable Right (hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun), praktik in absentia akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Hak-hak tersangka atau terdakwa menjadi terhempas dan hilang, dan semuanya itu merupakan hilangnya indepedensi penegak hukum dan adanya kelompok kepentingan yang mengintervensi kekuasaan yudikatif. 22 Di sinilah muncul dilema untuk memilih praktik in absentia yang menghilangkan hak-hak tersangka atau terdakwa, atau untuk melindungi hakhak asasi tersangka atau terdakwa. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini”. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa hukum acara pidana yang berlaku terhadap ketentuan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain menurut UU tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hukum acara yang bersifat ganda dalam penanganan korupsi, yaitu di satu sisi menggunakan KUHAP, dan di sisi menggunakan Hukum Acara Pidana Khusus (ius singalare, ius
22
Skripsi Eksistensi Peradilan In Absentia Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Di Indonesia dan Relevasinya dengan Hak Terdakwa untuk Melakukan Pembelaan, http://gudangmakalah.blogspot.com/2011/02/skripsi-eksistensi-peradilan-in.html. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.
22
speciale/Bijzonder Strafrecht), yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana umum. Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan hukum acara pidana umum ini dimaksudkan untuk mempercepat proses peradilan kasus korupsi.23 Terkait masalah putusan in absentia dalam perkara korupsi, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Tanpa memberi alasan yang sah berarti terdakwa tidak diketahui di mana keberadaannya, alamat atau tempat tinggal, atau terdakwa melarikan diri.24 Di lain sisi, apabila sudah diberikan putusan oleh hakim terhadap terdakwa yang tidak hadir. Maka terhadap putusan Pengadilan secara in absentia itu diumumkan oleh Panitera dalam papan pengumuman Pengadilan atau Kantor Pemerintah Daerah, agar dapat diajukan banding oleh terdakwa atau kuasanya. Pada lazimnya, putusan yang dijatuhkan secara in absentia oleh Pengadilan, dibuka kemungkinan bagi terdakwa untuk mengajukan perlawanan. Namun, dengan alasan mempercepat prosedur peradilan perkara 23
IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cetakan I, h. 160-161. 24
Harli Siregar, Aspek Hukum Peradilan Pidana In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Mantan Bupati Langkat, http://digilib.usu.ac.id/download/fh/D0200290.pdf. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.
23
korupsi, maka lembaga perlawanan ditiadakan. Lalu terdakwa langsung dapat meminta banding dengan menuruti ketentuan yang berlaku.25 Di samping itu, selain dibolehkannya memutus perkara tanpa dihadiri oleh terdakwa, perlu diperhatikan juga hak-hak asasi manusia. Karena hal tersebut termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) dan Penjelasan Umum dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 pada nomor 2 dikatakan: “Jelaslah penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga Negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga Negara, setiap penyelenggara Negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik pusat maupun daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini”.26
3.
Landasan Hukum Peradilan In absentia Sesungguhnya pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara
in absentia adalah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu tersendiri. 25
K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), ed. Revisi, cetakan Ke-5, h. 64. 26
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasannya, www.docstoc.com/docs/35983113/Kitab-Undang-Undang-Hukum-Acara-Pidana-(KUHAP). Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.
24
Dalam perkara pidana pada umumnya menghendaki hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka, seperti yang disebutkan di dalam Pasal 1 sub 15 KUHAP, bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Prinsip hadirnya terdakwa dalam perkara pidana ini didasarkan atas hakhak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta benda atau kehormatannya. Dengan demikian, terdakwa memiliki hak dianggap tidak bersalah selama ia belum dijatuhi hukuman yang mempunyai kekuatan pasti oleh Pengadilan, dalam istilah asing disebut “presumption of innocence” (praduga tak bersalah).27 Di samping itu, kedudukan terdakwa sebagai seseorang yang sedang dituntut, diperiksa, dan sedang diadili sebagaimana tersebut pada Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, keberadaan terdakwa juga diposisikan sebagai alat bukti yang sah melalui keterangan yang diberikan di muka sidang pengadilan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan, bahwa “alat bukti yang sah adalah: 1. Keterangan saksi, 2. Keterangan ahli, 3. Surat,
27
55.
Djoko Prakoso, Peradilan In Absentia di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h.
25
4. Petunjuk, 5. Keterangan terdakwa.28 Jika terdakwa ada dalam tahanan, maka tidaklah sulit untuk membawa terdakwa ke muka pemeriksaan sidang, biasanya yang bersangkutan sendiri menghendaki agar perkaranya lekas diperiksa dan lekas selesai. Namun sebaliknya, agak berbeda jika terdakwa tidak ditahan, lebih-lebih lagi jika ia telah berpindah-pindah alamat tanpa memberitahukan kepada yang berwajib sehingga pemanggilan secara sah menurut hukum sulit untuk dilaksanakan. Keadaan ini sering menimbulkan tertundanya perkara sampai berbulan-bulan yang selanjutnya menimbulkan banyak tunggakan perkara sampai bertumpuk-tumpuk. Kadi tidak dibenarkan mengulur-ulur proses pemeriksaan karena semata-mata bermaksud ingin mencapai perdamaian. Jika kadi telah berketetapan hati untuk mengambil suatu keputusan terhadap kasus yang disidangkan, maka itu lebih baik daripada mengulurkan waktu persidangan. Memperlambat persidangan (menunda tanpa dasar hukum) akan dapat mendatangkan kemudharatan kepada para pihak yang berperkara. Selain itu, di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18, peradilan in absentia, disebutkan: 1. Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.
28
113.
Waludi, Kejahatan Pengadilan dan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h.
26
2. Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa hadirnya terdakwa. Berdasarkan pasal tersebut, bahwa prinsip persidangan dilakukan dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. Di lain sisi, penafsiran kata “dengan” tidak sama dengan pengertian kata “harus”, sehingga pasal tersebut tidak dapat diartikan sebagai “persidangan harus dihadiri terdakwa”. Berarti tanpa tidak hadirnya terdakwa, persidangan tetap dapat dilaksanakan.29 Memang kita ketahui, bahwa asas-asas dalam peradilan itu adalah salah satunya cepat. Cepat di sini harus dengan segera diproses perkara yang sudah cukup segala bukti-buktinya, agar tidak terjadi tumpukan-tumpukan saja berkas-berkas yang sudah dilimpahkan untuk diproses peradilan dan negara tidak dirugikan dalam hal pembiayaan. Maka, penulis berpendapat bahwa dalam hal kasus korupsi tampaknya perlu dilakukan peradilan tanpa hadirnya terdakwa. Karena mengutip dari beberapa pendapat di atas, bahwa persidangan bisa dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Di lain sisi, memang diperlukan bukti-bukti yang cukup untuk pemeriksaan dan pemberian putusan. Di samping itu, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan sudah mewabah di mana-mana secara sistematis dan terorganisir. Maka, dalam upaya pencegahan dan penyelesaian perkaranya 29
Waludi, Kejahatan Pengadilan dan Hukum Pidana, h. 115.
27
harus didahulukan daripada pidana-pidana umum demi terselamatkannya aset serta keuangan negara yang telah dikorup.
B.
Peradilan Korupsi 1.
Definisi Korupsi Sejauh ini, jarang sekali ditemukan penjelasan terperinci dalam hukum
kriminal tentang definisi korupsi. Umumnya, hukum kriminal masih mencampuradukkan tindak kejahatan korupsi dengan tindak kejahatan lainnya, yang kemudian juga disebut sebagai tindak pidana korupsi. Misalnya, penyuapan (baik pemberi maupun penerima) oleh para pejabat pemerintah, baik lokal maupun asing dan perusahaan-perusahaan pribadi, pemberian uang pelicin, penipuan data dalam tender, penggelapan, pencurian, tender arisan (kolusi antar sesama peserta tender), suap di lembaga legislatif dan lain-lain. Biasanya, bentuk dan hukuman atas pelanggaran terhadap hukum kriminal masing-masing negara berbeda, meski pada intinya perbuatan tersebut merupakan tindak pidana korupsi. Korupsi secara harfiah merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi, akan menemukan kenyataan semacam itu, karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
28
jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas, yaitu: 1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 2. Korupsi, busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).30 John M. Echols dan Hassan Shadily,31 mengartikan korupsi secara harfiah yaitu jahat atau busuk. Transparancy International (TI) mendefinisikan korupsi sebagai suatu tindakan
penyalahgunaan
kekuasaan
yang
bertujuan
menghasilkan
keuntungan pribadi. Pengertian “keuntungan pribadi” ini harus ditafsirkan secara luas, termasuk juga di dalamnya keuntungan pribadi yang diberikan oleh para pelaku ekonomi kepada kerabat dan keluarganya, partai politik atau dalam beberapa kasus ditemukan bahwa keuntungan tersebut disalurkan ke organisasi independen atau institusi amal. Di mana pelaku politik tersebut memiliki peran serta, baik dari sisi keuangan atau sosial.32
30
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), ed. Kedua, cetakan
Ke-3, h. 9. 31
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), h. 149. 32
Buku Panduan; Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, Transparancy International, 2006, h. 3.
29
Korupsi adalah tindak kejahatan yang diatur dalam peraturan. Hal tersebut berdasar pada kenyataan bahwa pemberi dan penerima suap adalah penjahat. Maka diperkirakan kedua belah pihak akan berupaya untuk menutupi kejahatan mereka. Pengawasan yang ketat oleh pihak penguasa adalah upaya yang harus dilakukan untuk mengungkap praktik-praktik korupsi dan memberi hukuman atas perbuatan tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 mendefinisikan korupsi sebagaimana termaktub di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Sedang korupsi menurut Fockema Andrea dalam Andi Hamzah,33 kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960), yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis; yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.
33
Fockema Andreae, Kamus Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), huruf c, Terjemahan Bina Cipta. Di dalam buku Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4-6.
30
Di dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh Wijowasito,34 corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. Korupsi menurut fikih jinayah itu dilihat dari beberapa segi atau unsurunsurnya yang mendekati terminologi di saat sekarang ini, di antaranya ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian) dan hirabah (perampokan).35 Dari beberapa definisi yang disebutkan, penulis berpendapat bahwa korupsi adalah suatu perbuatan korup atau penyuapan di mana memiliki kepentingan untuk keuntungan pribadi, keuntungan kelompok dengan menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan, diketahui secara kasat bahwa perbuatan tersebut adalah buruk, penyimpangan dari kesucian dan ketidakjujuran (integritas berkurang). 2.
Proses Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Praktik korupsi merupakan kejahatan yang sudah memasuki ranah luar
biasa, kejahatan yang tersistematis, terorganisir yang merusak kehidupan
34
Wijowasito, Kamus Umum Bahasa Belanda Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1999), h. 128, sebagaimana dikutip dalam Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yurudis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Ed. 1, cetakan Ke-2, h. 6. 35
Di antara enam macam jarimah atau pelanggaran dan penyimpangan-penyimpangan dalam fikih jinayah di atas, dua di antaranya merupakan bagian dari hudud, yaitu sariqah dan hirabah. Sedangkan empat jarimah yang lain masuk ke dalam kategori jarimah takzir, yaitu jarimah yang jenis sanksi dan teknis pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa dan hakim setempat. Sebagaimana dikutip dalam Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah, (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Cetakan Pertama, h. 93.
31
berbangsa
dan
bernegara,
membuat
kerugian
keuangan
negara,
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan baik dari segi ekonomi, politik, budaya, demokrasi dan penegakan hukum. Korupsi sudah bukan lagi kategori kejahatan biasa, dia sudah memasuki kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karenanya, dalam penanganan untuk memberantasnya diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (yang disingkat Pengadilan “Tipikor”) merupakan salah satu bagian upaya yang luar biasa untuk menangani pemberantasan pelaku kejahatan korupsi. Karena perlunya dibentuk pengadilan khusus untuk penanganan korupsi, masyarakat menilai jumlah perkara korupsi yang diperiksa semakin meningkat dan juga telah terjadi inefisiensi dalam penanganan perkara korupsi. Di samping itu, masyarakat juga memandang karena rendahnya produktifitas aparat dalam menangani perkara korupsi. Kehadiran Pengadilan Tipikor ini tidak bisa dilepaskan dari cerita panjang tentang perjalanan lembaga-lembaga untuk memberantas korupsi. Pada Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi telah dibentuk lembaga-lembaga untuk memerangi tindak pidana korupsi, namun lika-liku terjadi di dalamnya.36
36
Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 7.
32
Pada masa orde lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Pertama, dengan perangkat aturan undang-undang Keadaan Budaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Ghani. Kepada Paran inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data-data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Namun terdapat perlawanan terhadap lembaga ini, dan dengan diimbuhi kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Juanda. Tahun 1963 melalui Keppres No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk
lagi
A.H.
Nasution
yang
saat
itu
menjabat
sebagai
Menkohankam/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan “Operasi Budhi”. Kali ini dengan tugas yang lebih berat yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan negara, sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Namun operasi ini kemudian berhenti. Meski berhasil menyelamatkan keuangan negara sebanyak kurang lebih Rp. 11 Milyar, Operasi Budhi ini „dibunuh‟ dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio. Kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar), di mana Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
33
Bohari (2001) mencatatkan, bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, maka pemberantasan korupsi di masa orde lama pun kembali masuk ke jalur lambat bahkan macet .37 Pada masa awal orde baru, melalui pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik orde lama yang tidak mampu memberantas korupsi.
Pidato itu seakan memberi harapan besar
seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Ternyata, kemudian TPK tidak serius dan mulai dipertanyakan, hingga pada akhirnya berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan beribawa, seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, C.V Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain.38 Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
37
Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 7. 38
Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 8.
34
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP No. 19 tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, keputusan MA membubarkan TGPTPK. Nasib „serupa tapi tak sama‟ dialami oleh Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( KPK ) tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK.39 Secara yuridis-konstitusional, keberadaan Pengadilan Tipikor telah memperoleh landasan yang kuat. Ditinjau dari arah politik hukum nasional pemberantasan korupsi, perlunya Pengadilan Tipikor sejalan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Bahkan, Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 yang dalam bagian diktumnya antara lain menentukan “bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendisendi kehidupan berbangsa dan bernegara”.40
39
Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 9. 40
Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 18.
35
Pembentukan Pengadilan Tipikor juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention Againts Corruption, UNCAC) Tahun 2003.41 3.
Penegakan Hukum Perkara Korupsi Di Indonesia Tingkat kejahatan merupakan indikasi penilaian efektivitas kinerja
sistem peradilan pidana dan meningkatnya intensitas kejahatan menunjukkan tidak efektifnya sistem peradilan pidana itu sendiri. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana dari sudut pandang kriminologi saat ini, bukan lagi dipandang sebagai sistem penanggulangan kejahatan, tetapi justru dilihat sebagai “social problem” yang sama dengan kejahatan itu sendiri. Dalam halhal tertentu sistem peradilan pidana dapat dilihat sebagai faktor criminogen dan victimogen. Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana, yaitu mulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan oleh Polisi, tahap penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan hingga proses pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana sangat terkait dengan aturan hukum pidana, baik materiil maupun formil, karena peraturan 41
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti-Korupsi, 2003), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620). Di dalam Tim Taskforce, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang, h. 18.
36
perundang-undangan pidana itu merupakan penegakan hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum pidana “in concreto” melalui sistem peradilan pidana.42 Terkait dengan tindak pidana korupsi, aspek hukum acara pidana yang berpengaruh pada struktur hukum dalam proses sistem hukum pidana dan penerapan sistem peradilan pidana mulai tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan. Sebagaimana disebut dalam Pasal 26, “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.43 Penyidikan merupakan salah satu tahap dalam proses penegakan hukum pidana dan merupakan tahap awal dalam criminal justice system. Oleh karena itu, proses penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam upaya penegakan aturan-aturan pidana terhadap berbagai peristiwa pidana konkret yang terjadi. Keberhasilan dalam menegakkan hukum pidana sangat dipengaruhi oleh proses penyidikan, oleh karena hasil penyidikan tindak pidana tersebut yang kemudian dilimpahkan ke Penuntut Umum untuk selanjutnya diperiksa dalam sidang pengadilan.
42
IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 167. 43
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, h. 379.
37
Perbuatan menyidik atau mengusut merupakan usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu serta siapakah yang terlibat dengan perbuatan itu. Dan suatu penyidikan atau pengusutan diakhiri dengan suatu kesimpulan bahwa atas perkara tersebut akan diadakan penuntutan atau tidak.44 Dalam masalah tindak pidana korupsi, khusus dalam tahap penyidikan terdapat beberapa institusi penyidik yang berwenang untuk menangani proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi ini. Tidak lain, mereka telah diberi tugas oleh peraturan perundangundangan. Sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa “dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung”. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka institusi yang dikedepankan adalah Kejaksaan Agung. Dengan demikian, selain Polri selaku penyidik yang diberikan wewenang berdasarkan Pasal 6 dan 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka Kejaksaan pun diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. 44
K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, h. 58.
38
Selain Kepolisian dan Kejaksaan, institusi yang juga mempunyai tugas melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, bahwa “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. Bahkan, KPK memiliki wewenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, dalam hal terdapat alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.45 Berdasarkan ketentuan di atas, maka penulis menarik beberapa institusi penyidik yang mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, yaitu penyidik Polri yang diangkat oleh Kapolri, PPNS berdasarkan usul departemen yang bersangkutan, dan penyidik Kejaksaan yang diangkat oleh Jaksa Agung. Tahap kedua dalam proses peradilan pidana setelah proses penyidikan dinyatakan lengkap adalah proses penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Peran Kejaksaan dalam proses peradilan pidana dimulai sejak Penyidikan terhadap suatu tindak pidana diberitahukan oleh pihak penyidik kepada pihak
45
IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 169.
39
Kejaksaan, bahwa terhadap suatu tindak pidana telah dimulai penyidikannya dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). 46 Sejak diterimanya surat tersebut, pihak Kejaksaan menunjuk Jaksa Penuntut Umum dengan surat P-16 untuk mengikuti jalannya proses penyidikan. Proses koordinasi antara penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum kemudian dilakukan secara intensif dengan maksud agar hasil dari penyidikan tersebut memenuhi persyaratan yuridis untuk dapat dilanjutkan ke proses penuntutan dalam persidangan di Pengadilan. Jaksa Penuntut Umum mempunyai kewenangan untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada penyidik untuk melengkapi berkas perkara penyidikan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 138 dan Pasal 139 KUHAP. Menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Pengertian penuntutan menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Pasal 1 angka 7) dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Bab I Pasal 1 angka 3), dirumuskan bahwa: “Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
46
IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 173.
40
yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan”. Menurut Nurdjana, penuntutan adalah suatu tindakan Penuntut Umum untuk membuktikan terpenuhinya unsur-unsur ketentuan pidana yang dilanggar oleh terdakwa akibat perbuatan yang telah dilakukan, atau konkretisasi aturan pidana yang bersifat abstrak dalam fakta perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa, sehingga memberikan keyakinan kepada hakim bahwa perbuatan terdakwa telah melanggar ketentuan pidana yang didakwakan kepadanya.47 Penulis menyimpulkan bahwa, penuntutan adalah perbuatan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri di mana telah terdapat atau cukup terbukti unsur-unsur tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh Hakim dihadapan sidang Pengadilan. Peradilan adalah salah satu pelaksanaan hukum dalam hal terjadi tuntutan hak yang konkret melalui putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga yang mandiri, bebas yang tidak dipengaruhi oleh lembaga di luar lembaga itu sendiri. Peradilan merupakan suatu seni, yaitu seni yang didasarkan pada ilmu. Dikatakan seni karena hakim dalam memeriksa perkara
47
IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 175.
41
bukan hanya menggunakan kecerdasan intelektualnya saja, melainkan juga menggunakan hati nuraninya (kecerdasan emosional/emotional concern).48 Untuk
menyelenggarakan
peradilan
dilakukan
oleh
kekuasaan
kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 20004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah, kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 49 Menurut Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 2004 ditegaskan, bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Termasuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Begitu besar dampak kerugian keuangan negara akibat korupsi baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik maupun dari segi moralitas, sehingga Undang-Undang memberikan kewenangan kepada negara untuk selain menuntut koruptor secara pidana, tetapi juga menuntut secara
48
Prof. Sudikno Mertokusumo, Kumpulan Materi Kuliah Teori Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2004), h. 4. Di dalam IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, h. 179. 49
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358.
42
perdata. Bahkan, negara berwenang menuntut ahli waris pelaku sekalipun pelaku telah meninggal dunia. Djoko Prakoso berpendapat lain, bahwa proses acara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa suatu perkara ternyata berbeda dengan yang diatur dalam Hukum Acara Pidana yang lama (RIB). Di dalam RIB, maka setelah hakim merasa dirinya berwenang untuk mengadili atau memeriksa suatu perkara, maka pertama-tama ia harus meneliti apakah pemeriksaan pendahuluan (berkas perkara) itu telah lengkap atau belum. Jika belum lengkap perkara itu dikembalikan kepada jaksa dengan permintaan untuk dilengkapi (Pasal 249 ayat (1), (2), dan (3) RIB). Kalau pemeriksaan sudah lengkap maka hakim meneliti kembali apakah tindak pidana dari tertuduh itu merupakan kejahatan atau pelanggaran dan cukuplah alasannya untuk dikenakan tuntutan. Jika tidak cukup alasan untuk dikenakan tuntutan, maka hakim membuat penetapannya yang memuat alasan-alasan tidak dapat dituntut.50 Pada dasarnya, pemeriksaan di sidang pengadilan adalah mencari faktafakta hukum untuk menemukan kebenaran yang hakiki (kebenaran materiil) mengenai peristiwa yang sebenarnya terjadi, sehingga isi yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum itu terbukti kebenarannya, atau sebaliknya.
50
Djoko Prakoso, Peradilan In Absentia di Indonesia, h. 23.
43
Salah satu sumber fakta hukum yang tidak dapat diabaikan adalah saksi. Saksi adalah sumber utama yang hampir (pasti) tidak mungkin ditetapkannya perkara pidana atau terjadinya tindak pidana (walaupun dalam bentuk dugaan), baik dalam pekerjaan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan lebih-lebih lagi di sidang pengadilan, tanpa didasarkan atas keterangan saksi, walaupun dari segi teori kemungkinan tanpa saksi bisa terjadi, asalkan telah memenuhi dua syarat minimum pembuktian sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP. Dalam hukum pidana korupsi setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi termasuk juga ahli (apabila diminta), namun ada pengecualian yakni pada ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu terdakwa (Pasal 35 ayat (1)). Pengecualian ini berlaku bagi saksi yang diperiksa dalam sidang pengadilan dan tidak dalam pekerjaan penyidikan. Walaupun boleh diperiksa dan diberkas terhadap orang-orang ini, tidak ada manfaatnya, karena keterangan yang sah dan dapat dipertimbangkan oleh hakim adalah keterangan terdakwa di sidang pengadilan. Oleh karena itu, memang tidak perlu memberkas keterangan saksi dalam penyidikan. Dalam perkara tindak pidana umum, tidak memungkinkan untuk diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa, atau dilakukan secara in absentia, namun dalam perkara korupsi dibenarkan untuk digelar dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
44
Menurut Pasal 38 ayat (1), pemeriksaan dan diputusnya perkara korupsi baru boleh dilakukan, apabila terdakwa telah dipanggil secara sah, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Jadi, harus memenuhi dua syarat yakni; (1) harus dipanggil secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah. Ketentuan ini dipastikan hanya diperuntukkan bagi terdakwa yang tidak ditahan, sebab bagi terdakwa yang ditahan untuk menghadap persidangan tanpa diperlukan panggilan, karena menjadi tanggung jawab JPU untuk menghadirkan ke muka persidangan pengadilan. Apabila sidang in absentia telah dijalankan kemudian terdakwa tiba-tiba hadir sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa tetap harus diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang telah dibacakan sebelum sidang kehadiran terdakwa dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang (Pasal 38 ayat (2)). Apabila putusan telah dijatuhkan dalam sidang in absentia, maka putusan itu diumumkan pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya Pasal 38 ayat (3). Dalam hal ini terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan in absentia tersebut (ayat (4)).
BAB III KONSEP PERADILAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Sejarah Peradilan Dalam Islam I.
Nabi yang Menjadi Hakim Sebelum Islam Nabi Daud dan Nabi Sulaiman „Alaihimassalam merupakan dua hakim
pertama dalam sejarah kemanusiaan. Demikian itu karena Nabi Daud adalah sebagai raja yang menangani keputusan perkara di antara manusia dan mengatur urusan pemerintahan. Ketika Allah Subhanahu wa Ta‟ala hendak menambahkan hikmah dan ilmu dalam memutuskan hukum dan peradilan di antara manusia kepada Nabi Daud, maka Allah mengutus kepadanya dua malaikat yang masuk kepadanya dengan memanjat pagar dengan maksud supaya dia takut terhadap keduanya, karena dia dapatkan keduanya telah duduk di depannya tanpa meminta izin ketika masuk kepadanya.51 Nabi Daud menghadapi keduanya dengan tetap tenang. Lalu, keduanya menjelaskan perselisihan dan meminta keputusan yang adil terhadap masalah tersebut. Salah satunya mengatakan kepada Nabi Daud, “janganlah kamu menyimpang dari kebenaran, dan tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus”. Daud mendengarkan penjelasan dari kedua orang yang berselisih tersebut terlebih dahulu. 51
Lihat perincian kisah ini, Samith Athif Al-Zain, Majma‟ Al-Bayan Al-Hadits (Qashash AlAnbiya‟ fi Al-Qur‟an Al-Karim), h. 546-548, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham adDaulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 285.
45
46
Salah satu dari keduanya berkata, “sesungguhnya saudara saya ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan saya mempunyai seekor saja. Tapi, ketamakannya menjadikan dia terkalahkan hawa nafsunya, lalu dia meminta satu-satunya kambing yang saya miliki. Tetapi saya menolak permintaannya dan saya jelaskan alasan penolakan penyerahan kambing yang saya miliki kepadanya. Saya jelaskan kepadanya perbedaan antara kekayaan dia dan kemiskinan yang menimpa saya. Namun, rekayasanya lebih besar sehingga dia mengalahkan saya dengan kehebatan debatnya, sehingga menjadikan saya harus menerima alasannya. Sungguh, dia orang yang paling lancar bicaranya, paling kuat debatnya dan paling kaya penjelasannya”.52 Nabi Daud „Alaihissalam melihat bahwa alasan yang dimiliki orang kedua akan berdampak pada kezhaliman temannya, maka Nabi Daud segera menetapkan keputusan dengan mengatakan, “sesungguhnya dia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zhalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh dan amat sedikitlah mereka ini”. Lalu, orang yang kedua mengarahkan pandangannya kepada Nabi Daud dan berkata kepadanya, “ini keputusan yang zhalim, engkau tidak adil. Bagaimana 52
Sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 286.
47
kamu memperbolehkan dirimu memutuskan persengketaan yang tidak kamu dengar, melainkan satu pihak dari dua orang yang bersengketa”. Nabi Daud mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta‟ala sedang mengujinya, maka dia meminta ampun kepada-Nya seraya bersungkur sujud dan bertaubat. Kemudian dia merenung, merasa takut dan jiwanya gelisah, sehingga dia mengetahui kelengahan yang diperbuatnya. Semua itu dikarenakan pandangan kedua orang tersebut. Mengapa dia tergesa dalam memberikan keputusan, dan dia meyakini ketika itu bahwa dia telah melakukan tindakan yang tidak tepat, dan menetapkan suatu hukum tanpa kecermatan, tapi hanya berpedoman kepada apa yang tampak pertama kali. Kemudian dia kembali bertanya dirinya, siapakah kedua orang tersebut dan bagaimana keduanya memecahkan kesunyiannya secara tiba-tiba tanpa mengetahui kapan kedua orang tersebut masuk. Nabi Daud pun mengerti bahwa keduanya bukanlah manusia, tapi kedua malaikat dari langit yang diutus Allah Subhanahu wa Ta‟ala untuk mengujinya.53 Maka, beliau bersungkur sujud meminta ampunan Allah dan bertaubat kepada-Nya. Allah pun mengampuninya, lalu menyampaikan wahyu kepadanya sebagai teguran yang berbunyi:
53
Sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 287.
48
Artinya : “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad; 26). Peristiwa kedua malaikat dengan Nabi Daud ini adalah kasus pertama yang ditangani oleh seorang hakim dalam sejarah manusia, sehingga Allah menyebutkan peristiwa ini dalam al-Qur‟an. Peristiwa ini terjadi sejak lima belas abad silam, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur‟an surat ash-Shaad ayat 17-26:
49
Artinya : Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan, dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi. Dan (kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul masingmasingnya amat taat kepada Allah. Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah54 dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan. Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? Ketika mereka masuk (menemui) Daud, lalu ia terkejut karena kedatangan mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut, (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain. Maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan". Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang 54
perbuatan.
Yang dimaksud hikmah di sini ialah kenabian, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal
50
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya. Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi kami dan tempat kembali yang baik. Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orangorang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (QS. Ash-Shaad: 17-26) Beberapa ayat tersebut bertujuan untuk melakukan terapi terhadap hawa nafsu seorang hakim, dan keharusannya mengikuti kebenaran serta tidak tergesatergesa dalam menetapkan hukum sebelum mendengar argumentasi dua pihak yang berseteru. Demikian itu, berdasarkan pandangan al-Qur‟an yang komprehensif dan tidak terbatas pada waktu dan tempat tertentu, namun untuk seterusnya selama kehidupan manusia masih ada di muka bumi ini, untuk menegakkan keadilan di antara manusia yang merupakan harapan masyarakat manusia di setiap tempat dan zaman. Adapun Nabi Sulaiman „Alaihissalam yang hidup dalam didikan ayahnya dan memiliki pemahaman dan kecerdasan yang dianugerahkan Allah kepadanya sejak kecil, sebagaimana tampak dalam berbagai ucapan dan perbuatannya serpihan mutiara dan keputusan yang tepat. Ketika berusia 11 tahun, ia memiliki kebiasaan duduk di samping ayahnya (Nabi Daud) untuk mendengarkan keputusan yang diambilnya bagi orang-orang yang bersengketa.
51
Pada suatu hari, dua orang menemui Nabi Daud untuk meminta keputusan hukum dan tercermin kemarahan pada raut muka keduanya. Keduanya duduk di depan Nabi Daud dan salah satu dari keduanya mengajukan gugatan kepada yang lain seraya mengatakan: “Wahai Nabi, sesungguhnya saya memiliki tanaman yang berbuah dan telah dekat masa petiknya. Ketika tanaman itu telah indah dipandang, datanglah kambing-kambing orang ini tanpa ada yang mencegahnya atau dicegah oleh penggembala. Sehingga kambing-kambing berada di kebun saya pada siang hari dan berdiam di dalamnya pada malam hari hingga merusak kebun yang saya miliki, dan tidak ada lagi tanaman yang tersisa”. 55 Ketika penggugat ini menyelesaikan pembicaraannya, maka Nabi Daud „Alaihissalam memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk menyampaikan pembelaannya jika dia memiliki pembelaan. Orang tersebut menjawab dengan mengakui kebenaran lawannya. Ia berkata: “Saya adalah pemilik kambing, apa yang disampaikan temanku benar, dan saya tidak memiliki sanggahan terhadap tuduhan tersebut. Maka, putuskanlah di antara kami dengan adil dan tegakkanlah kebenaran sebagaimana yang diajarkan Allah kepadamu”. Nabi Daud berfikir sejenak, lalu berkata: “Pemilik tanaman mengambil kambing sebagai ganti kerugian yang dideritanya dan balasan atas kecerobohan
55
Lihat pemaparan beberapa kejadian kisah yang disebutkan al-Qur‟an ini dalam Samith Athif Al-Zain, Majma‟ Al-Bayan Al-Hadits (Qashash Al-Anbiya‟ fi Al-Qur‟an Al-Karim), h. 561-563, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, h. 289.
52
pemilik kambing, sebab membiarkannya berada di kebun orang sehingga merusak hasil tanamannya”.56 Sulaiman “Alaihissalam senantiasa mendengarkan keputusan ayahnya dengan penuh perhatian dan melihat bahwa keputusan ayahnya tidak memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak, meskipun telah memberikan ganti rugi kepada pemilik ladang dan balasan kepada pelaku kemaslahatan. Hanya saja keputusannya tidak merealisasikan keadilan sepenuhnya. Maka, Nabi Sulaiman memandangi kedua orang tersebut yang hendak pergi seraya mengisyaratkan kepada keduanya agar tetap di tempat duduk. Lalu, dia menengok ke arah bapaknya dan berkata kepadanya: “Ubahlah apa yang telah engkau tetapkan. Barangkali lebih bagus bagi kedua belah pihak dan lebih sesuai bagi kemaslahatan keduanya serta bagi kebenaran. Semua orang yang hadir pun terkaget karena keberanian pemuda ini, hingga mereka pun terdiam. Akan tetapi, Nabi Daud berusaha menetralkan suasana seraya berkata kepada putranya: “Berikanlah pendapatmu, wahai Sulaiman!”. Maka putranya itu mengemukakan pendapat dan alasan sesuai dengan pemahaman yang diberikan Allah kepadanya”. Ia berkata: “Engkau serahkan kambing kepada pemilik ladang sehingga dia dan keluarganya dapat memanfaatkan susu kambing, bulu dan anaknya selama beberapa 56
tahun,
sedangkan
pemilik
kambing
mengurus
ladang
dan
Sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah, Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 290.
53
mengembalikan tanamannya dari baru. Hingga ketika tanaman telah kembali seperti semula, kambing itupun dikembalikan kepada pemiliknya semula, sedangkan tanah dan tanamannya dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan demikian, tidak ada yang dirugikan dan tidak ada pula yang diuntungkan di antara keduanya”. Al-Qur‟an menyebutkan kisah ini dalam surat al-Anbiya‟ ayat 78-79, sebagai berikut:
Artinya : “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambingkambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat);57 dan kepada masingmasing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud dan kamilah yang melakukannya”. (QS. Al-Anbiya‟: 78-79)
57
Menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. Maka yang Empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud „Alaihissalam, Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang Empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman „Alaihissalam memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang Empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan perang yang Empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanamtanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mempunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman „Alaihissalam ini adalah keputusan yang tepat.
54
II. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Hakim Pertama dalam Islam Setelah tiga belas tahun Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam menegakkan agama Allah Subhanahu wa Ta‟ala di tengah-tengah masyarakat Arab di Mekkah, dengan kehendak Allah beliau hijrah ke Madinah untuk meneruskan langkah tugasnya.58 Di Madinah beliau melanjutkan dakwahnya, yakni menyeru dan menyampaikan ajaran-ajaran Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada para manusia. Di samping itu, Rasulullah juga diperintahkan untuk memutuskan hukum dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dengan kesimpulan, bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam merupakan orang yang pertama menjadi profesi hakim dalam sejarah Islam. Sungguh Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam memutuskan dan menetapkan hukum di antara orang-orang yang berselisih. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Jika hakim duduk untuk memutuskan hukum, maka Allah mengutus kepadanya dua malaikat untuk menunjukkannya kepada jalan yang benar. Jika dia adil maka keduanya berdiri, dan jika dia menyeleweng maka keduanya naik dan meninggalkannya”.59
58
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), cetakan Ketiga, h. 12. 59
Abu Hasan Al-Mawardi, Adab al-Qadhi, (Baghdad: Tahqiq Muhyi Hilal As-Sarhan, 1971), juz 1 No. 15, h. 130, sebagaimana dikutip dalam Samir Aliyah Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk., Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, h. 289.
55
Di dalam al-Qur‟an juga disebutkan dalam surat an-Nisaa‟ ayat 65, yaitu:
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa‟: 65) Pada saat Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam memangku jabatan di pemerintahan, masih sedikit sekali perkara yang diajukan kepadanya. Kebanyakan dari umat Islam dewasa itu hanya meminta fatwa saja, mereka menyelesaikan sendiri perkara mereka setelah memperoleh fatwa dari Rasul. Begitu juga dalam memutus perkara, Rasulullah dengan cepat dan mereka segera menjalankan, tak perlu lagi Nabi ikut campur tangan dalam urusan eksekusi putusan.
B. Perkembangan Peradilan Islam Dari Masa Ke Masa 1.
Masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang kapan dimulainya
peradilan dalam Islam, apa sejak Nabi Muhammad menerima wahyu di Mekkah atau sejak beliau diangkat sebagai Rasul Madinah. Dalam Islam adalah sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, tepatnya ketika terbentuknya sistem pemerintahan di kota Madinah, tahun 1 H/ 662 M, berakhir pada tahun 150 H/
56
767 M. Sejak itu, banyak kegiatan peradilan dilaksanakan Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi Wasallam., terutama hal-hal yang menyangkut penegekan hukum kepada seluruh warga masyarakat. Di masa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam dalam melaksanakan peradilan didasarkan pada surat an-Nisaa‟ ayat 65. Sejak turun perintah melalui ayat tersebut, mulai saat itu Rasulullah melaksanakan tugasnya sebagai hakim, di samping tugas-tugas lain dalam bidang yudikatif dan dakwah Islamiyah. Di kota Madinah Rasulullah bertindak sendiri sebagai seorang hakim, ketika Islam mengalami perluasan di luar kota Madinah, barulah Rasulullah mengutus para sahabat untuk menjadi hakim di daerah tertentu dan Rasul menguji kelayakan kepada sahabat yang diutus sebelum berangkat bertugas. Sahabat yang diutus oleh Rasulullah untuk bertindak sebagai hakim di antaranya; Ali bin Abi Thalib, ditunjuk menjadi hakim ke Yaman. Kedua, Muadz Ibn Jabal, ditunjuk menjadi hakim di Yaman. Ketiga, „Attab ibn Asied, menjadi gubernur di negeri Makkah.60 Keempat, Abi Burdah, beliau diangkat sebagai kadi untuk mendampingi Muadz Ibn Jabal bertugas sebagai kadi di Yaman. Kelima, Huzaifah al-Yamani (diutus oleh Rasulullah untuk menetapkan hukum terhadap dua orang bertetangga memperselisihkan tentang dinding
60
„Attab ibn Asied ini memeluk agama Islam di hari Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam menaklukkan Makkah. Pada hari ini Nabi berangkat dari Makkah ke Hunain, „Attab ibn Asied diangkat menjadi wali negeri Makkah. Di waktu itu „Attab baru berumur 20 tahun lebih sedikit. Lihat Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 14.
57
tembok yang ada di antara rumah mereka).61 Selain itu, tercatat juga Umar ibn Khattab, Khalid ibn Walid, Yahya ibn Ya‟mar, Asy-Sya‟bi dan Amru ibn Ash. Di zaman Rasulullah belum ada bangunan pengadilan khusus untuk keperluan persidangan. Untuk menyelesaikan sengketa, sering digunakan masjid atau di lapangan atau di perjalanan atau di teras rumah. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Yahya bin Ya‟mar atas restu Rasulullah diselesaikan ketika perjalanan dan Sya‟biy di teras rumah.62 Meskipun pelaksanaan peradilan pada zaman Rasulullah terkesan tidak formal, tetapi rukun-rukun al-Qadha telah terpenuhi, yaitu hakim, hukum, al-mahkum bih, al-mahkum „alaih, dan almahkumlah (orang yang menggugat). Putusan yang ditetapkan oleh Rasulullah itu diterima dengan secara sukarela dan tidak memerlukan upaya eksekusi.63 Orang yang datang kepada Rasulullah untuk mengajukan gugatan agar diselesaikan sengketa yang dihadapinya bukan saja dari kalangan kaum Muhajirin dan Anshor, tetapi juga dari kalangan kaum Yahudi dan musyrik Mekkah. Rasulullah menetapkan hukum berdasarkan wahyu yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala, dan jika belum ada wahyu beliau berijtihad sebagaimana mestinya. 61
Muhammad A. Al-Buraey, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 255. 62
Al-Bukhariy al-Ja‟fiy, Matan Bukhariy, Juz VII, (Semarang: Thaha Putra, tt), h. 107-109, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), cetakan Ke-1, h. 78. 63
Fazlur Rahman, Islamic Metodologi in History, terjemahan Anas Mahyudi, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 15-16, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 78.
58
2.
Masa al-Khulafa ar-Rasyidin Pada masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddieq, tidak tampak adanya suatu
perubahan dalam bidang peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukan beliau memerangi orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat, juga kesibukan beliau menyelesaikan urusan politik kekuasaan karena meluasnya wilayah pemerintahan pada waktu itu. Pada masa Abu Bakar, lembaga peradilan (yudikatif) belum dipisahkan dari lembaga pemerintahan (eksekutif). Ditingkat pusat langsung dipegang oleh khalifah, sedangkan pada tingkat daerah dipegang oleh pemangku wilayah „ammah (penguasa). Pada masa Abu Bakar, kepala negara bertindak sebagai orang yang memutus perkara (kadi) dan sebagai orang yang melaksanakan putusan/eksekusi (munafidz).64 Ketika pemerintahan dipegang „Umar ibn Khattab, Islam mengalami perluasan di wilayah-wilayah. Sehingga, segala urusan atau pekerjaan yang harus ditangani oleh khalifah „Umar semakin bertambah banyak. Maka, sulit baginya untuk menyelesaikan tugas-tugas sendiri hingga akhirnya perlu diadakan pemisahan tugas negara ke berbagai bidang, termasuk di dalamnya urusan peradilan. Tidak hanya di kota Madinah sebagai pusat pemerintahan, tetapi khalifah „Umar mengangkat pejabat tinggi khusus untuk mengendalikan lembaga peradilan, bahkan di kota-kota tempat kediaman para gubernur sekalipun beliau 64
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 14.
59
mengangkat juga pejabat yang menjabat jabatan hakim.65 Orang yang pertama kali memisahkan urusan pemerintahan dengan urusan peradilan yaitu khalifah „Umar ibn Khattab. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, pada masa khalifah „Umar, beliau sendiri yang mengangkat seseorang untuk menjabat sebagai kadi guna ditempatkan di suatu daerah, atau khalifah mengirim surat kepada para gubernur supaya mengangkat seorang kadi untuk bertugas di daerahnya.66 Demikian juga tentang pemberhentian seorang kadi, sepenuhnya menjadi wewenang khalifah „Umar. Adapun kadi yang diangkat oleh Umar ibn Khattab adalah; Pertama, Abu Darda menjadi kadi di kota Madinah. Kedua, Syura‟ih menjadi kadi di kota Basrah. Ketiga, Abu Musa al-Asy‟ary,67 menjadi kadi di kota Kuffah dan khalifah „Umar telah memberikan instruksi untuk menjalankan tugas kekuasaan kehakiman sehingga atas dasar instruksi tersebut Abu Musa menuliskan sebagai risalatul qadla.68 Risalah tersebut dijadikan pedoman pokok para hakim dalam melaksanakan tugasnya.69
65
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 15.
66
Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Al-Ma‟arif, tt), h. 15-16, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 81. 67
Demikian menurut keterangan Ibn Chaldun dalam Muqaddimahnya. Menurut penerangan Zarkaly dalam al-A‟lam 1 : 410 dan 2 : 573, Abu Musa menjadi wali di Kuffah di masa „Utsman ibn „Affan. Yang menjadi qadhi di Kuffah di masa „Umar adalah Syuraih, Syuraih tetap menjadi qadhi di Kuffah hingga masa al-Hadjaj. Tujuh puluh lima tahun lamanya Syuraih menjadi qadhi di Kuffah. 68
Dalam sebuah kitab tarikh diterangkan, bahwa yang mula-mula dilantik menjadi hakim dalam pemerintahan Islam adalah „Umar ibn Khattab. Beliau diangkat menjadi hakim oleh Khalifah Abu Bakar semasa Abu Bakar memegang kendali Khalifah Islam. Setahun lamanya „Umar menjadi
60
Sayyidina „Umar ibn Khattab menggambarkan dunia peradilan, di mana norma-norma yang digunakan bersendikan kepada Kitabullah, kepada Sunnah Rasulullah dan harus selalu teliti dalam menangani setiap perkara yang ditangani oleh seorang hakim. Sebagaimana tertuliskan tentang peradilan di bawah ini:
)(البيهاقي Artinya: “Bahwa sesunguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT. Dan suatu sunnah Rasul yang wajib diikuti. Maka, pahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang dibentangkan kepadamu dan laksanakanlah jika ternyata kebenarannya”. “Karena sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu sehingga orang bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus harapan dari keadilan”. “keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa, dan sumpah hendaklah dilakukan oleh orang yang mungkir (terdakwa)”.70 Adapun mengenai tempat persidangan, khalifah „Umar menjadikan masjid sebagai tempat untuk melakukan persidangan. Karena masjid itu tempat yang mulia dan suci. Untuk kalangan Non-Islam dibenarkan oleh beliau untuk
qadhi dalam pemerintahan Abu Bakar. Tetapi, menurut riwayat yang lebih shahih, „Umar sendirilah yang memisahkan urusan peradilan dari tangan pemangku wilayah „ammah (gubernur). „Umar adalah khalifah yang mula-mula mengangkat qadhi di samping pemangku jabatan umum pemerintahan. Lihat Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 15. 69
70
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, h. 15.
Abu Bakar Ahmad bin Husain bin „Ali Baihaqi. Penjelasan oleh Turkmani, Sunan alKubro lil Baihaqi wa fi Dzailihi al-Jauhari an-Naqyi, (India: Majlis Dairoh al-Ma‟arif an-Nizhomiyah, 1344 H), cetakan Pertama. (Maktabah Syamilah. Terjemahan: A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Persada, 2006), cetakan Ke-1, h. 8-10).
61
menyelesaikan perselisihan mereka sendiri sesuai dengan aturan mereka asal tidak mengganggu ketertiban dan tidak melanggar peraturan negara. Di samping itu, khalifah „Umar juga telah membentuk Dewan Fatwa untuk orang Islam yang memerlukan. Tidak hanya itu, khalifah „Umar ibn Khattab juga membentuk lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain zina yang langsung ditangani oleh hakim. Lembaga tersebut adalah ahdath, dengan Qadamah bin Mazan dan Abu Hurairah sebagai pemimpinnya.71 Dalam sejarahnya, khalifah „Umar ibn Khattab adalah orang yang pertama mengadakan sistem pemenjaraan bagi pelaku kriminal dan pelaku jinayah lainnya. Beliau telah membeli rumah Safwan ibn Umayyah dan menjadikan rumah itu sebagai penjara. Penjara itu hanya diperuntukkan untuk pelaku kriminal saja, tetapi setelah Shuraih diangkat sebagai kadi, beliau juga memasukkan orang yang dihukum karena tidak membayar utang (Judgment debitor) ke dalam penjara. Abu Mahjan Thaqlijke dimasukkan juga ke dalam penjara karena beberapa kali dihukum meminum arak, tetapi ia tidak insaf.72 Ketika jabatan khalifah dipegang oleh „Utsman ibn „Affan, sistem peradilan Islam yang telah dibangun oleh „Umar ibn Khattab terus disempurnakan.
71
Mahmud Saedon A-Othman, Kadi, Pelantikan, Perlucutan dan Bidang Kuasa, (Malaysia Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementerian Pendidikan, 1990), h. 93, sebagaimana dikutip dalam Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), cetakan Ke-1, h. 150. 72
Mahmud Saedon Awang Othman, h. 93, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 83.
62
Menurut Abdul Karim Zaidan,73 usaha-usaha yang dilaksanakan oleh „Utsman ibn „Affan dalam bidang peradilan antara lain, pertama, membangun gedung peradilan, baik di kota Madinah maupun di daerah Gubernuran, yang sebelumnya pelaksanaan persidangan dilaksanakan di masjid. Kedua, menyempurnakan administrasi peradilan dan mengangkat pejabatpejabat yang mengurusi administrasi peradilan. Ketiga, memberi gaji kepada kadi dan stafnya dengan dana yang diambil dari baitul mal. Keempat, mengangkat naib kadi, semacam panitera yang membantu tugas-tugas kadi. Pada masa „Ali bin Abi Thalib, tidak banyak perubahan yang dilakukan dalam bidang peradilan, disebabkan situasi negara saat itu tidak stabil, karena masih adanya pihak-pihak yang tidak mengakui dirinya sebagai khalifah. Beliau hanya melanjutkan kebijakan yang sudah ditetapkan pada masa „Utsman ibn „Affan, dengan melakukan sedikit perubahan saja khalifah „Ali bin Abi Thalib. Imam Burhanuddin menguraikan sebuah riwayat ketika khalifah Ali melantik an-Nakha‟i menjadi gubernur Mesir. Beliau berpesan dalam bidang peradilan sebagai berikut: “... kemudian pilihlah untuk jabatan kadi di antara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang yang terhormat dan tidak disibukkan dengan urusan-urusan lain, anjurkan agar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya. Pilihlah orang-orang yang tidak sombong lantaran pujian, tidak condong lantaran 73
Abdul Karim Zaidan, Nizhomul Qadha fi Syar‟iyyatil Islamiyah, (Baghdad: Mathb‟ah alAny, tt), h. 61, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 83.
63
hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan pesan-pesan kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya...”.74 Khalifah „Ali bin Abi Thalib melakukan perubahan kebijakan dalam hal pengangkatan kadi, pada awalnya diangkat oleh pemerintahan pusat, kemudian tingkat daerah diperbolehkan untuk mengangkat kadi. Menarik kesimpulan dari uraian peradilan di masa al-Khulafa ar-Rasyidin, bahwa pada masa tersebut peradilan masih merupakan lembaga dalam tahap pembentukan, belum terorganisir secara rapi (belum sempurna). Bagi orangorang yang mempunyai perselisihan, mereka hanya sebatas diberikan fatwa guna untuk ditetapkan sebagai hukum. Setelah itu, mereka menyelesaikan sengketanya dengan sendiri. Namun, mereka sangat patuh dan taat terhadap putusan yang telah diberikan oleh para kadi.
3.
Masa Setelah Khulafa ar-Rasyidin Era al-Khulafa‟ al-Rasyidin telah silam, namun dakwah dan perjuangan
Islam tidak terhenti di tengah jalan. Masih banyak para sahabat yang meneruskan perjuangan Islam seperti dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah sampai berikutnya. Kedua dinasti tersebut memiliki metamorgana dalam bidang politik dan peradilan.
74
Imam Burhanuddin, Tabsiratul Hukmi, (Beirut: Dar al-Limiyah, tt), h. 12, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 84.
64
Pada masa dinasti Umayyah, banyak sumber yang menyebutkan tidak memiliki banyak informasi dalam bidang peradilan. Disebabkan karena pemerintahan Bani Umayyah banyak terlibat dalam politik kenegaraan. Hampir semua kekuasaan negara pada waktu itu difokuskan pada pembasmian pemberontakan yang menentang kekuasaan Bani Muawiyyah dan tidak sempat memperbaiki struktur kelembagaan termasuk lembaga peradilan. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy,75 informasi tentang peradilan pada masa pemerintahan Bani Umayyah hanya sedikit, yaitu putusan hakim yang memutus suatu perkara sudah mulai dibukukan dan tempat persidangan sudah dilaksanakan pada gedung yang diperuntukkan untuk itu. Menurutnya, pada masa Bani Umayyah memiliki dua ciri khas dalam bidang peradilan, yaitu:76 a. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma‟. b. Lembaga peradilan pada masa ini belum lagi dipengaruhi oleh penguasa. Hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh penguasa.
75
Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Al-Ma‟arif, tt), h. 15-16, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 85. 76
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 20.
65
Jadi, hakim-hakim yang memberikan putusan merupakan orang-orang pillihan yang memiliki budi luhur tinggi terhadap keadilan, takut kepada Allah dan berwibawa. Pada dasarnya, dari masa ke masa dalam hal pengambilan putusan yang dijadikan sumber oleh para hakim yaitu al-Qur‟an dan hadits. Di samping itu, mereka juga menggunakan ijtihad dengan mengkombinasikan hukum-hukum temporer. Dalam mengambil keputusan yang nantinya menjadi dasar dari hukum Islam, para hakim yang diangkat menggunakan daya kreasi mereka dengan mengkombinasikan hukum setempat dengan semangat al-Qur‟an dan normanorma hukum temporer di dalam masyarakat muslim pada waktu itu.77 Jadi, hakim-hakim tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan alQur‟an dan tetap menaati peraturan pemerintah. Setelah runtuhnya daulah Bani Umayyah, muncul khalifah Bani Abbas. Di mana pada masa Bani Abbasiyah terlihat perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan hukum Islam, serta memberikan tempat terhormat kepada para fuqaha. Pada masa Bani Abbasiyah, terbagi menjadi dua masa, masa Abbasiyah pertama (132 H/ 750 M - 232 H/ 847 M) dan masa Abbasiyah kedua (232 H/ 847 M - 447 H/945 M)78. Namun, penulis tidak menguraikan secara rinci kemajuan serta gejolak yang dialami pada masa Bani Abbasiyah.
77
Faisar Ananda Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Studi Kritis tentang Hukum Islam di Barat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), cetakan Pertama, h. 13. 78
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), ed. I, cetakan 9, h. 49.
66
Memang, terlihat secara kasat mata bahwa pada masa Bani Abbas terjadi perluasan di lingkaran peradilan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hukum Islam terus berkembang, di antaranya; pertama: tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah pada pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur (754-775 M), khalifah kedua Bani Abbasiyah. Beliau sangat menghargai dan memberi dukungan terhadap kajian ilmiah tersebut. Kedua: Pemerintah khulafa‟ Bani Abbasiyah sangat respek kepada hukum Islam yang menekankan kepada seluruh hakim agar menggunakan hukum Islam dalam memutus suatu perkara dengan tanpa melihat kepada suatu mazhab tertentu. Ketiga: Pada pemerintahan Abbasiyah, muncul era baru dalam penulisan hukum Islam. Setiap fuqaha menulis sendiri pendapat dan fatwa mereka, kemudian menganjurkan kepada murid-muridnya. Dengan demikian, intensitas pengajaran fikih semakin berkembang dan hukum Islam mulai dipelajari oleh kalangan umum. Keempat: Perhatian khulafa‟ Bani Abbasiyah terhadap hukum Islam dan fuqaha juga tergambar dalam kebebasan berpendapat dan berbagai stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan keberanian untuk berijtihad bagi para mujtahid. Sama sekali tidak ada batasan bagi mazhab tertentu yang mengikat para hakim untuk menentukan hukum sesuai dengan metodologi dan kaidahkaidah ijtihad yang mereka gunakan.79
79
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 87.
67
Perbedaan pendapat berbagai masalah hukum telah muncul sejak masa sahabat dan masa pemerintahan Bani Ummayyah. Perbedaan pendapat itu berlanjut sampai pada masa pemerintah Bani Abbasiyah, yang dapat dilihat dari seringnya terjadi pertentangan antara hukum-hukum yang dikeluarkan oleh para mufti dengan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh para hakim melalui putusan pengadilan. Hal tersebut akhirnya di atasi oleh khalifah Abbasiyah, Abu Ja‟far alMansur dengan menjadikan kitab al-Muwatha‟ karya Imam Malik sebagai mazhab resmi negara, yaitu dengan memaksakan rakyat untuk mengamalkannya. Tetapi Imam Malik sendiri menolaknya, karena menurutnya hadits-hadits Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam, banyak tersebar dibeberapa kota dan Al-Muwatha‟ belum memuat semua tentang Rasulullah itu.80 Selanjutnya, orang-orang Abbasyiah telah menyokong mazhab Abu Hanifah untuk digunakan dalam berbagai lapangan kehidupan, termasuk juga dalam bidang peradilan.81 Ibnu Hubairah Gubernur Irak bermaksud mengangkat Abu Hanifah untuk menjadi hakim di Kuffah, tetapi Abu Hanifah menolaknya, kemudian ia didera 110 kali cambuk dan dipenjara. Akhirnya Ibnu Hubairah melepaskannya, karena keteguhan hati Abu Hanifah yang tetap menolak jabatan hakim tersebut. 80
Umar Sulaiman al-Asyqar, Fikih Islam Sejarah Pembentukan dan Perkembangannya, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2001), h. 222-223, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 87. 81
Umar Sulaiman al-Asyqar, Fikih Islam Sejarah Pembentukan dan Perkembangannya, h. 222-223, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 87.
68
Khalifah Al-Mansur al-Abbasiyah mendatangkan Abu Hanifah dari Kuffah ke Baghdad untuk diangkat menjadi hakim, tetapi jabatan itu ditolaknya. Abu Hanifah berkata: ”ya amirul mukminin, janganlah Anda menyerahkan jabatan yang berarti ini kepadaku. Demi Allah, saya merasa tidak mampu melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Khalifah Al-Mansur menjawab: “Engkau berdusta, engkau pantas memangku jabatan ini. Lalu Abu Hanifah menjawab, sungguh engkau telah memutus tentang diriku, maka bagaimana Anda dibolehkan mengangkat seorang hakim yang melaksanakan amanat Anda, sedangkan ia sendiri adalah seorang pendusta?” Akhirnya khalifah Al-Mansur membebaskannya.82 Meskipun Imam Hanafi menolak untuk diangkat sebagai hakim, tetapi muridnya yang bernama Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari (Abu Yusuf) direstui untuk diangkat sebagai hakim pada Daulah Abbasiyah di zaman Harun al-Rasyid (786-809 M). Ketika ia diangkat sebagai Qadhi al-Qudhah (Ketua Mahkamah Agung) pada masa itu, ia diberi wewenang untuk mengangkat hakim di seluruh provinsi, dan kesempatan ini ia gunakan untuk mengangkat hakim dari kalangan mazhab Hanafi. Abu Yusuf adalah orang pertama yang menjabat ketua Mahkamah Agung dalam Daulah Abbasiyah dan beliau mendampingi tiga khalifah, yaitu Al-Mahdi
82
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), h. 194, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 88.
69
(775-785 M), Al-Hadi (775-786 M), dan Harun ar-Rasyid (786-809 M).83 Beliau juga menetapkan agar hakim berpakaian khusus yang sebelumnya sama saja dengan pakaian orang biasa.84 Runtuhnya Daulah Abbasiyah tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap peradilan dan hukum Islam, karena praktik peradilan masih terus dilaksanakan sesuai dengan konsep hukum Islam mazhab Hanafi. Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, mereka juga menyokong mazhab Abu Hanifah, bahkan mazhab tersebut menjadi mazhab resmi negara.
83
84
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 52.
Muhammad Al-As-Sayis, Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), h. 140, sebagaimana dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 88.
BAB IV PERADILAN PERKARA KORUPSI SECARA IN ABSENTIA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A.
Deskripsi Putusan Perkara Korupsi secara In absentia (Putusan Nomor: 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST.) Pada bagian ini akan dibahas tentang kondisi perkara korupsi yang diputus
secara in absentia yang sedang dikaji. Kasus atau perkara korupsi secara in absentia ini terlebih dahulu telah memenuhi unsur-unsur untuk dilakukannya putusan in absentia. Artinya, para terdakwa telah dilakukan pemanggilan melalui surat kabar pada tanggal 13 Agustus 2001 berdasarkan Surat Penetapan Hakim Ketua Majelis Pengadilan Jakarta Pusat Nomor: 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST.85 Dalam kasus korupsi ini melibatkan banyak pihak, di antaranya; terdakwa I, Mantan Komisaris Utama PT. Bank Harapan Santosa yaitu Hendra Rahardja. Terdakwa II, Mantan Komisaris PT. Bank Harapan Santosa yaitu Eko Edi Putranto. Dan terdakwa III, Mantan Direktur PT. Bank Harapan Santosa yaitu Sherny Kojongian. Para terdakwa di atas tidak ditahan dan tidak diketahui lagi alamatnya, baik di dalam maupun di luar wilayah Negara Republik Indonesia, sehingga pemeriksaan perkara tanpa hadirnya para terdakwa (in absentia). Telah dibahas sedikit mengenai putusan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia) pada bab sebelumnya, bahwa disebutkan unsur untuk dapat dilakukannya putusan 85
Berkas Putusan Perkara Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST.
70
Putusan Nomor:
71
tanpa dihadiri terdakwa (in absentia) di antaranya; 1). Karena terdakwa tinggal atau bepergian ke luar negeri (melarikan diri) atau tidak diketahui keberadaannya, baik di dalam wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. 2). Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Para terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan cara sendiri maupun bersama-sama. Perbuatan melawan hukum menurut para pendapat ahli yaitu di antaranya; Dari deskripsi kasus dalam putusan, penulis menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa telah menghindar dari pemeriksaan dan proses peradilan. Maka, perlu dilakukan pemeriksaan dan putusan tanpa kehadiran terdakwa, mengingat demi terjaganya aset negara yang telah dikorupsi untuk bisa dikembalikan kepada negara dengan cepat. Di sisi lain, menjalankan sebagaimana yang diidamkan seluruh masyarakat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Untuk lebih jelasnya lagi, kasus ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. 1. Sekilas Tentang Perkara Pada bagian ini akan diurai singkat kronologis perkara korupsi yang dilakukan oleh para terdakwa. Para terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan cara sendiri maupun bersama-sama antara para terdakwa (Hendra, Eko dan Sherny) dengan M. Nur Tajeb, Drs.
72
Andre Widijianto, Hendro Suwono, Tony Gunawan dan Asep Subandi (yang dituntut dalam perkara tersendiri) dan secara berturut-turut melakukan perbuatan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut pada tahun 1992 sampai dengan 1996, atau setidak-tidaknya pada waktu lain antara tahun 1992 sampai dengan 1996. Kantor PT. Bank Harapan Santosa Pusat (yang akan disingkat PT. BHS) bertempat di Jalan Gajah Mada No. 7, Jakarta Pusat. Kantor PT. BHS merupakan wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau masih di tempat lain dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga wewenang pemeriksaan dan mengadili diberikan kepada Pengadilan tersebut. Para terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan perbuatan memperkaya diri mereka atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini, PT. BHS telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara menarik dan menggunakan dana dari PT. BHS, baik yang dihimpun dari masyarakat/pihak ketiga dalam bentuk Tabungan, Deposito, rekening giro maupun dana yang merupakan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), berupa; Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dan Kredit Investasi (KI), serta Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara c/q Bank Indonesia sebesar Rp. 2. 659. 308. 000. 000,- (dua triliun enam ratus lima puluh sembilan miliyar tiga ratus delapan juta rupiah).
73
PT. BHS bergerak di bidang usaha perbankan, di mana memiliki modal dasar per posisi akhir tahun 1992 berjumlah Rp. 69. 000. 000. 000,- atau berkisar jumlah tersebut, kemudian pada posisi tahun 1996 mengalami penambahan hingga Rp. 295. 651. 000. 000,- atau berkisar jumlah tersebut. Khusus terdakwa Sherny Kojongian, bahwa terdakwa selaku Direktur Treasury/ Direktur Kredit/ Direktur HRD pada PT. BHS secara berturut-turut pada waktu yang berlangsung dari tanggal 22 Agustus 1997 sampai dengan 31 Oktober 1997, atau setidak-tidaknya pada waktu antara bulan Agustus 1997 sampai dengan bulan Oktober 1997. Bertempat di kantor PT. BHS di Jalan Gajah Mada No. 7 Kelurahan Petojo Kecamatan Gambir Jakarta Pusat, atau setidak-tidaknya di tempat lain di mana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya. Terdakwa telah melakukan serangkaian perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voorgezette handeling), dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Pada tanggal 20 Agustus 1997 rekening giro PT. Bank Harapan Santosa di Bank Indonesia mengalami saldo negatif sebesar Rp. 3. 377. 000. 000,-. Akan tetapi, keesokan harinya tanggal 21 Agustus
74
1997 saldo negatif tersebut dapat ditutup sehingga menjadi saldo positif (saldo kredit) sebesar Rp. 6. 160. 000. 000,-. Namun demikian, keesokan harinya tanggal 22 Agustus 1997, PT. BHS mengalami saldo negatif kembali sebesar Rp. 5. 018. 000. 000,dan kemudian secara terus-menerus mengalami saldo negatif yang semakin besar yang berlangsung sampai tanggal 31 Oktober 1997. 2. Bahwa terjadinya saldo negatif pada rekening giro PT. BHS di Bank Indonesia tersebut dikarenakan PT. BHS sudah berada dalam kondisi tidak sehat, karena sekitar 88% atau sekitar Rp. 2. 659. 308. 000. 000,dari kredit yang dikeluarkan oleh PT. BHS diberikan kepada perusahaan group, seedangkan kredit tersebut beserta bunganya tidak pernah dibayar kembali oleh perusahaan group. 2. Putusan dan Pertimbangan Hakim Kasus yang dibahas ini diselesaikan sebagaimana disebutkan di atas oleh Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
melalui
putusan
nomor
perkara:
1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST. Putusan ini ditetapkan oleh sebuah majelis yang terdiri dari Hakim Ketua dan 2 (dua) Hakim Anggota serta dihadiri oleh Panitera Pengganti dan Jaksa Penuntut Umum. Seperti lazimnya putusan lain, putusan ini berisi ketentuan sanksi pidana yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa. Setelah mempertimbangkan banyak hal, seperti akan dijelaskan pada bagian selanjutnya, dan setelah majelis hakim dan hakim anggota memeriksa dan mengadili perkara tersebut,
75
dan mendengar pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, dan juga mendengar keterangan terdakwa, dan para saksi serta memperhatikan bukti di persidangan. Namun, dalam hal ini para terdakwa tidak hadir dalam proses pemeriksaan dan mengadili. Akan tetapi, Majelis Hakim memutuskan bahwa para terdakwa dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana, yaitu melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan yang diucapkan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengacu pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1974 yang menentukan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dan hakim juga menggunakan dalil yang tercantum pada Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa pemeriksaan dan diputusnya perkara korupsi bisa dilakukan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia) apabila telah dilakukan dengan dua syarat, yaitu telah dipanggil secara sah dan tidak hadir tanpa alasan sah. Pada substansi putusan tersebut, majelis tetap berpegang teguh kepada azas praduga tak bersalah kepada mereka yang disangka melakukan tindak pidana korupsi untuk diperiksa dan diadili tetapi berada di luar negeri. Selain itu, majelis juga mengartikan tentang in absentia tidak secara sempit, melainkan diartikan secara luas maknanya, yaitu pemeriksaan in absentia harus diartikan dan atau dikenakan kepada siapa saja yang menurut
76
sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diadili secara in absentia, baik orang tersebut diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya, baik di luar negeri maupun di dalam negeri dan telah dipanggil secara patut, sehingga mempermudah pemerintah untuk memeriksa yang bersangkutan. Mengenai persoalan melanggar hak asasi manusia atau tidak, Majelis berhemat pendapat, bahwa putusan yang diputuskan tidak melanggar hak asasi, karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karenanya, apabila mereka akan menggunakan hak-haknya untuk beracara, baik tingkat penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan di muka persidangan, diharapkan kembali ke tanah air. Majelis
hakim
menjatuhkan
putusan
terhadap
terdakwa
telah
mempertimbangkannya secara yuridis dari fakta-fakta dan bukti-bukti yang diungkapkan dalam persidangan. Adapun yang dimaksud dengan fakta-fakta di persidangan adalah tidak ditemukan adanya alasan yang dapat memaafkan ataupun alasan yang membenarkan, sehingga dapat mengahapuskan pertanggungjawaban pidana atau melepaskannya dari hukuman. Sedangkan yang dimaksud dengan pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya adalah termasuk ha-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Yang dimaksud dengan hal-hal yang memberatkan
77
para terdakwa yaitu akibat perbuatannya telah merugikan keuangan negara sangat besar, hasil korupsi telah dinikmati oleh mereka dan para terdakwa tidak mempunyai rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara, terbukti setelah melakukan perbuatan korupsi, mereka melarikan diri. Dan perbuatan para terdakwa merupakan salah satu potensi yang merusak perekonomian negara yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter. Adapun dalam putusan perkara ini, majelis hakim memutuskan tidak adanya hal-hal yang meringankan bagi para terdakwa. Selain itu, majelis hakim mempertimbangkan putusannya dengan memperhatikan pada dakwaan dan tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Adapun dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah bahwa para terdakwa (Hendra Rahardja, Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian) telah bersalah melakukan turut serta tindak pidana korupsi yang diatur Pasal 1 ayat (1) sub a juncto Pasal 28 juncto 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 55 ayat (1) sub 1 e juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, dalam surat dakwaan Kesatu. Dalam dakwaan Kedua, dengan terdakwa Sherny Kojongian bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang diatur Pasal 1 ayat (1) sub a juncto Pasal 28 juncto 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 juncto UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
78
Unsur-unsur yang terkandung dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum melakukannya secara kumulatif. Pertama majelis hakim mempertimbangkan pada dakwaan Kesatu terlebih dahulu. Unsur-unsur yang terdapat pada dakwaan Kesatu yaitu; 1). Barangsiapa, 2). Dengan melawan hukum, 3). Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dan 4). Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian negara. Sedangkan dalam dakwaan Kedua, unsur-unsur yang terkandung yaitu; 1). Barangsiapa, 2). Dengan melawan hukum, 3). Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang atau suatu badan, 4). Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian negara atau diketahui patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan dan atau perekonomian negara. Bahwa dari unsur-unsur Pasal 1 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagaimana telah disebutkan di atas, yang kemudian dihubungkan dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsurunsur tersebut. Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum itu selaras dengan putusan yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Jaksa melakukan penuntutan terhadap terdakwa I yaitu Hendra Rahardja dengan pidana penjara seumur hidup, terhadap terdakwa II yaitu Eko Edi
79
Putranto dengan pidana penjara selama 20 tahun, dan terhadap terdakwa III yaitu Sherny Kojongian dengan pidana penjara selama 20 tahun. Mengenai pidana denda, para terdakwa dipidana denda masing-masing sebesar Rp. 30. 000. 000,Untuk mendukung penuntutan dan dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi yang telah bersumpah menurut tatacara agamanya masing-masing yang bernama; saksi Sudarto, saksi Muhammad Hasjim, F. Dinald, Iswanto Tedjadinata, saksi Hendi Susanto, Hendro Suwono, saksi Ari Dharma, saksi Kim Ha Tirto Kuntjoro, saksi Djuhanda, saksi Puspa Lili Tanusatrio, saksi Muhtar Suriadihardja, saksi Bambang Budiman, saksi Muhammad Nur Tajeb, saksi Lanny Ratna Ekowati, saksi Lie Kessy Lisyanto, saksi Andre Wijayanto, saksi Hardi Susanto, saksi Eko Tjipto, saksi Hasan Bisri, saksi Oei Hoey Tiong. Setelah membahas putusan dan pertimbangan yang dilakukan oleh majelis hakim sebagaimana telah dijelaskan di atas, kasus tersebut diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Senin, tanggal 18 Maret 2002, oleh sebuah majelis yang terdiri dari hakim ketua, yaitu H. Subardi, SH. MH. dan dua hakim anggota, yaitu H. Herri Swanto, SH. dan H. Asep Iwan Iriawan, SH., dan didampingi oleh panitera pengganti bernama Supangat serta dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan tidak dihadiri oleh para terdakwa.
80
B.
Analisa Putusan Perkara Korupsi secara In Absentia Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif Berbicara peradilan, tidak lepas dari peran seorang hakim selaku pemberi
putusan demi terciptanya suatu keadilan dalam hukum. Pada bab sebelumnya, telah diurai sedikit tentang peradilan dalam hukum Islam. Dalam hal peradilan, selalu saja yang diungkap adalah memberikan suatu keadilan kepada pemiliknya. Hukum adalah sesuatu yang diucapkan oleh hakim, yang menunjukkan kepada seseorang yang terhukum memenuhi sesuatu hak untuk pihak terdakwa. Maka dari itu, yang menjadi pedoman bagi hakim baik dia seorang mujtahid atau seorang muqallid, atau seorang yang diperintah memutuskan perkara dengan undang-undang yang sudah ditentukan atau mazhab yang sudah ditetapkan.86 Keadilan merupakan prinsip dasar ideologi Islam. Pelaksanaan keadilan tidak boleh berat sebelah, tanpa membeda-bedakan status sosial seseorang, kekayaan, kelas, ras, pengaruh politik, maupun keyakinan agama. Walau lingkup pembahasan ini terbatas, sehingga dapat dirinci lebih lanjut tentang
praktik umum muslim dalam menegakkan keadilan di masa permulaan
Islam, namun jelas bahwa pada masa-masa permulaan Islam keadilan pernah mencapai taraf sangat tinggi, yang tidak pernah dapat dicapai dalam sejarah ummat manusia mana pun.87
86
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 61.
87
Muhammad A. Al-Buraey, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, h. 86.
81
Al-Qur‟an mewajibkan ummat Islam agar memutuskan perkara secara adil, tidak berat sebelah, dan menepati janji. Karenanya, seluruh ummat Islam bukan saja para penguasanya, memiliki tanggung-jawab untuk mewujudkan keadilan. Ayat-ayat al-Qur‟an seperti berikut ini menggambarkan konsepsi Islam tentang keadilan, bukan saja dalam pengertian teoritis, tetapi juga sebagaimana telah terlaksana oleh Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam sendiri dan para sahabatnya. Surat An-Nisaa‟ ayat 135:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (orang yang tergugat atau yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisaa‟: 135)
Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena itu, seorang hakim harus selalu menjaga segala tingkah lakunya dan menjaga martabat serta kewibawaan sebagai hakim. Jangan sampai hakim mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, hakim harus tetap istiqomah dengan pendiriannya walau hantaman akan menimpa dirinya.
82
Firman Allah:
Artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (Al-Maidah: 49) Dan dalam surat al-Maidah ayat 42, Allah Subhanahu wa Ta‟ala memperingatkan bahwa jika engkau menghukum, maka hukumlah di antara mereka dengan adil, karena sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil. Selain itu, Allah juga memperingatkan kepada seorang hakim untuk berlaku adil dalam mengambil segala putusan, berkata dan berlaku adil walau itu dengan kerabat. Berkaitan dengan ini, maka hakim harus memiliki etika dalam memberikan suatu putusan serta dalam pergaulan sehari-hari. Artinya, adabul qhadi merupakan tingkah laku yang baik dan terpuji yang harus dilaksanakan oleh seorang kadi dalam berinteraksi sesama manusia dalam menjalankan tugasnya. Artinya, seorang hakim patut melakukan perbuatan yang terpuji dalam pergaulan (di luar mahkamah) atau di saat bertugas menjadi seorang hakim (di dalam mahkamah).
83
Di luar mahkamah, seorang hakim tidak seharusnya ia bergaul bebas dengan mereka, melainkan hanya sekedar perlunya saja. Hakim juga tidak dibenarkan bersenda gurau secara berlebihan, hal ini dikhawatirkan akan menjatuhkan martabat dan wibawanya sebagai hakim.88 Selain itu, seseorang yang menjabat sebagai hakim tidak diperbolehkan menerima hadiah dari pihak yang berperkara, dari orang-orang yang berada dalam lingkup jabatannya, meskipun orang itu tidak sedang dalam perkara hukum. Karena dikhawatirkan hal itu dapat melemahkan ketika mengurus masalah hukum nantinya. Hal ini didasarkan kepada sebuah hadits sahih, bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam pernah bersabda: hadayal umarai ghululun, hadiah-hadiah yang diterima para pejabat adalah suatu bentuk korupsi.89 Apabila seorang hakim telah menerima hadiah dari seseorang yang sedang dalam masalah hukum, maka diharuskan untuk mengembalikannya. Jikalau pihak tersebut tidak diketahuinya, maka hadiah tersebut diserahkan kepada pihak Baitul Maal, karena Baitul Maal lebih berhak atas hadiahnya. Walau ada beberapa pendapat yang tidak melarang seorang hakim menerima hadiah, yang terpenting tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara hukumnya. Menurut penulis, hal itu harus dihindari oleh seorang hakim demi menjaga kewibaan dan kekhawatiran akan menjadi bomerang nantinya. 88
Muhammad bin Ahmad al-Qarati, Qawaninal-Ahkam as-Syari‟ah, (Beirut: Lebanon, tanpa penerbit, tt.), h. 324, sebagaimana telah dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 34. 89
Imam al-Mawardi dan Abu al-Hasan bin Muhammad bin Habib, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kairo: Mathba‟at Mustafa al-Halabi, 1375 H), h. 155, sebagaimana telah dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 34.
84
Di samping itu, hakim tidak dibolehkan untuk memberikan suap atau melakukan penyogokan untuk mendapatkan suatu jabatan. Karena apabila hal tersebut dilakukan, maka dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu kasus sedangkan putusannya itu didasarkan kepada rusywah, maka putusan itu tidak boleh dijalankan, meskipun putusan itu mendekati kebenaran. Memutus suatu perkara itu adalah ibadah, jika putusan itu didorong karena sogok, maka putusan itu tidak lagi didasarkan ibadah, tetapi karena kepentingan pribadinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan Ibn Amru, Tsabit dari Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam melaknat keras si pemberi suap, menerima suap, dan yang menjadi perantara transaksi suap-menyuap itu. Umar bin Abi Salamah, dari Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu berkata, Rasulullah bersabda: La‟anar Rasyi wal Murtasyi wa arRaisya. Rasulullah Shallallhu „Alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan penerima suap dalam peradilan. (HR. Imam Turmudzi, nomor 1236).90 Dalam melaksanakan persidangan, hakim harus menyamakan kedudukan para pihak sama dalam majelis persidangan. Tidak diperkenankan melebihkan salah satu dengan lainnya, baik mengenai sikap, pertanyaan yang diajukan kepada para pihak, tempat duduk para pihak, dan mendengar keterangan para pihak, pelayanan ketika masuk, selama dalam persidangan dan ketika keluar persidangan.
90
Abu Fida‟ Abdul Rafi‟, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa), (Jakarta: Republika, 2004), cetakan I, h. 9.
85
Konsep kehakiman dalam peradilan Islam sangat mengutamakan asas equality before the law dan asas audi et alteram partem. Kedudukan para pihak adalah sama di muka hukum dan memutuskan perkara hakim harus menghadirkan ke dalam majelis pihak-pihak yang berperkara dan hakim dilarang memutus perkara sebelum mendengar semua pihak yang terkait dengan perkara yang disidangkan itu. Hakim dilarang berbicara dengan lembut dan bahasa yang hormat kepada salah satu pihak. Tidak boleh menekan satu pihak dan menolong pihak lain. Hakim harus bersikap berimbang dalam memeriksa keterangan para pihak yang berperkara, ia harus bersikap adil. Asy-Syaukani
menjelaskan,
bahwa
Rasulullah
pernah
bersabda
yang
maksudnya; siapa saja yang mengadili suatu perkara di antara orang-orang Islam, maka hendaklah memeriksanya dengan adil, baik dalam percakapan, isyarat, duduknya, janganlah terlalu keras suaranya pada seseorang, tapi lemah-lembut kepada orang lain.91 Hakim dalam menghadapi berbagai masalah hukum, hendaklah selalu berlapang dada dan sabar mendengar segala keluhan pihak-pihak yang berperkara. Janganlah menjatuhkan putusan berdasarkan keterangan dari satu pihak saja, tetapi hendaknya mendengar keterangan dari pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Dapat dipahami, jika keadilan merupakan cita yang harus diterapkan. Rasul sendiri melaksanakan keadilan yang tidak berat sebelah, dan untuk menjamin 91
Muhammad al-Syaukani, Nailur Autar, (Mesir: Penerbit tidak terbaca, tt.), Juz 8, h. 282, sebagaimana telah dikutip dalam Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, h. 36.
86
pelaksanaannya, maka ditunjuklah Qadhi, yaitu mereka yang bertakwa kepada Allah, shaleh, tidak berkelakuan tercela, memahami syari‟ah dan telah dilatih dengan baik. Sistem keadilan seperti ini merupakan lembaga pertama yang didirikan oleh Islam. Hal ini bukan saja disebut di dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah, namun juga dilukiskan dalam banyak karya kepustakaan Arab. Ungkapan: “Keadilan merupakan landasan pemerintahan” sudah merupakan pengetahuan umum. “Celakalah suatu umat bila yang melakukan kejahatan itu orang bangsawan, tidak berlaku baginya hukum. Dengarlah, sekiranya Fatimah anak kandungku melakukan pencurian, akan diberlakukan hukum potong tangan akibat perbuatannya”. (Hadits Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam).92 Terkait putusan yang penulis kaji, sebagaimana telah diketahui secara seksama bahwa korupsi bukan lagi bagian dari kejahatan biasa, melainkan sudah masuk ke ranah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dalam hal ini, perlu dilakukan penanggulangan secara khusus atau cara yang luar biasa pula untuk memberantas dan mencegahnya. Pada halaman sebelumnya, sudah diurai sekilas tentang perjalanan bangsa ini untuk memberantas kejahatan korupsi, dari orde lama, orde baru sampai era reformasi. Menurut penulis, hadits yang baru disebutkan di atas tentang Fatimah putri rasul. Hal ini sangat mendukung dengan keadaan di negeri kita. Maksudnya, banyak sekali kasus-kasus yang menimpa para bangsawan atau pejabat, tetapi keadilan hukum masih dibuat bimbang dan goyang. Maka perlu diadakan hal-hal jitu untuk memberantas dan mencegah perbuatan tindak pidana korupsi. 92
Muhammad A. Al-Buraey, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, h. 87.
87
Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur mengenai boleh diputuskan secara tanpa hadirnya terdakwa. Ini merupakan bagian upaya pemberantasan dan menanggulangi pelaku korupsi agar cepat diproses perkaranya. Selain itu, saat ini juga telah dibentuk pengadilan khusus penanganan pelaku korupsi, yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan ini dibentuk untuk memeriksa dan memutus perkara korupsi, karena jumlah perkara korupsi yang diperiksa semakin meningkat dan juga telah terjadi inefisiensi dalam penanganan perkara korupsi, serta masyarakat juga telah menilai rendahnya produktifitas aparat dalam menangani perkara korupsi. Terkait dengan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai perkara korupsi diputus tanpa hadirnya terdakwa (in absentia) yang terjadi dalam perusahaan perbankan, bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh para terdakwa yang bernama Hendra Rahardja, Eko Edi Putranto, Sherny Kojongian. Perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa dapat disangka telah merugikan keuangan dan atau perekonomian negara. Dalam kaca mata hukum pidana Islam, aturan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga merepresentasikan penerapan maslahat. Secara teoritis, bahwa aturan yang dicantum dalam peraturan perundang-undangan tersebut bertujuan untuk memberikan rasa keadilan masyarakat dan sarana perlindungan masyarakat. Sebagaimana wujud dari komponen maslahat, yakni jalb
88
al-masalih wa dar‟ al-mafasid, di mana kepentingan yang dilindungi ialah kepentingan hidup masyarakat (maslahah „ammah).93 Oleh karena itu, pelaku atau terdakwa bisa diputus secara tanpa kehadirannya (in absentia) mengingat kepentingan perekonomian dan atau keuangan negara yang harus dilindungi serta kehidupan masyarakat agar menjadi sejahtera. Karena akibat dan dampak dari perbuatan para pelaku korupsi sangat besar dan merusak perekonomian dan keuangan negara, sehingga perlu adanya penerapan teori maslahat. Atas perbuatannya itu, maka para terdakwa dapat dipidana sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto KUHP. Para terdakwa telah melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a juncto Pasal 28 juncto 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 55 ayat (1) sub 1 e juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan khusus terdakwa Sherny dikenai Pasal 1 ayat (1) sub a juncto Pasal 28 juncto 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 juncto UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam dakwaan, para terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri mereka atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau yang diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan 93
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia, (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010), cetakan Pertama, h. 183.
89
mereka merugikan keuangan dan atau perekonomian negara. Dalam hal ini, secara melawan hukum telah menarik dan menggunakan dana dari PT. BHS, baik dihimpun dari masyarakat/pihak ketiga dalam bentuk Tabungan, Deposito, rekening giro maupun dana yang merupakan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia, berupa Kredit Modal Kerja Permanen dan Kredit Investasi serta Surat Berharga Pasar Uang, sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara c/q Bank Indonesia sebesar Rp. 2. 659. 308. 000. 000,-. Atas perbuatannya, para terdakwa tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, di mana telah terbukti setelah melakukan perbuatan, mereka melarikan diri. Oleh karenanya, hakim telah memutuskan kepada para terdakwa secara in absentia (tanpa kehadirannya) dan masing-masing telah dipidana penjara dan pidana denda. Dalam hukum Islam, Abu Hanifah berpendapat mengenai peradilan, bahwa “Tidak boleh dijatuhkan hukuman terhadap orang yang tidak datang dan terhadap orang yang lari sebelum dijatuhkan hukuman dan sesudah dimajukan keteranganketerangan. Hanya perlu tiga orang pergi menemui terdakwa untuk diminta datang ke pengadilan. Kalau dia tidak mau datang, boleh dipaksa. Selain itu, menurut Imam Malik, boleh dihukum orang yang tidak datang apabila yang telah datang itu telah mengemukakan keterangan dan meminta dihukumkan.94
94
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam; Tinjauan Antar Mazhab, h. 528.
90
Dari pendapat di atas, telah sesuai dengan unsur-unsur yang telah tercantum di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 38 ayat (1), boleh diberi putusan terhadap terdakwa tanpa kehadirannya, apabila telah dilakukan pemanggilan secara patut dan tidak hadir tanpa alasan yang sah. Nah, hakim menurut penulis telah melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan yang termaktub pada Pasal 38 ayat (1). Di sisi lain, perlu dilihat dari kaca mata kemaslahatan masyarakat (maslahah „ammah). Korupsi telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dari segi politik, budaya, ekonomi, sosial dan hukum. Maka, kaidah jalb al-masalih wa dar‟ al-mafasid sangat relevan untuk digunakan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Terkait dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai putusan perkara korupsi secara in absentia dengan terdakwa Hendra Rahardja, Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian, penulis beranggapan bahwa menurut hukum Islam perbuatan terdakwa merupakan suatu jarimah yang harus dipertanggung jawabkan. Adapun dalam hal tersebut, pertanggung jawaban harus ditanggung secara pribadi, tidak dapat dibebani oleh siapa pun baik keluarga, saudara atau kerabat. Sebagaimana yang difirmankan di dalam surat al-Baqarah ayat 286.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Peradilan in absentia di dalam KUHAP tidak diatur secara rinci, sebagaimana disebut dalam Pasal 196 dan Pasal 214. Namun, pada Pasal 196 disebutkan bahwa terdakwa harus hadir ketika hakim hendak memberikan putusan, kecuali undang-undang menentukan lain. Berarti, sudah termaktub di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, diatur dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 38 ayat (1). Pada Pasal 214 KUHAP, tidak diatur secara jelas. Apabila terdakwa atau waktunya tidak hadir di sidang, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan. Ini yang menjadi kelemahan dan menjadi bahan acuan untuk melemahkan tidak diterimanya putusan tanpa hadirnya terdakwa. Namun, dalam penanganan pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi, telah diatur unsurunsur untuk boleh dilakukan diperiksa dan diputus secara in absentia (tanpa hadirnya terdakwa), yakni terdakwa telah dipanggil secara patut atau sah dan tidak hadir pada sidang tanpa adanya alasan yang sah serta tidak diketahui di mana keberadaannya. Pengadilan korupsi di Indonesia memiliki dukungan yang sangat tinggi saat ini oleh masyarakat, karena mengingat sejarah bahwa selalu tergambar tidak
91
92
ada keseriusan untuk memberantas dan mencegah tindak pidana korupsi, terbentur dengan kondisi perpolitikan. Pengadilan korupsi merupakan bagian dari upaya pemberantasan terhadap kejahatan luar biasa, karena pengadilan ini dikhususkan untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara korupsi. Kehadirannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat mengingat semakin meningkatnya jumlah perkara yang diperiksa dan juga telah terjadi inefisiensi dalam penanganan korupsi serta rendahnya produktifitas aparat dalam menangani perkara korupsi. 2. Dalam Islam, peradilan memiliki beberapa fase, di antaranya fase peradilan sebelum masuk Islam, yakni Nabi Daud dan Nabi Sulaiman „Alaihimassalam yang menjadi sebagai hakim atau pengambil keputusan. Setelah itu, fase setelah masuknya Islam yakni Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam yang pertama kali menjadi sebagai hakim. Beliau menjadi hakim ketika ada persengketaan di tengah-tengah masyarakat. Kemudian fase setelah Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam dilanjutkan dan diteruskan dakwahnya oleh para sahabat beliau yang dikenal dengan alKhulafa‟ al-Rasyidin. Pada masa ini dunia peradilan terus ditingkatkan dan dikembangkan, baik pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq, „Umar ibn Khattab, „Utsman ibn‟Affan dan „Ali ib Abi Thalib. Mereka memiliki peningkatan masing-masing di saat mereka menjabat sebagai kepala pemerintahan. Ada suatu kemajuan salah satu kepemimpinan para sahabat, yaitu khalifah ‟Umar
93
ibn Khattab. Pada masa beliau terbentuk suatu risalah qadha‟, di mana risalah ini menjadi sebagai pedoman dalam dunia peradilan. Selanjutnya, fase setelah al-Khulafa‟ al-Rasyidin, yakni dilanjutkan oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Pada masa Umayyah, tidak terlalu ada peningkatan terhadap dunia peradilan, karena pada masa ini masih terlibat dalam politik pemerintahan. Kemudian diteruskan oleh Bani Abbasiyah, pada masa ini terbagi menjadi dua fase. Fase pertama berkisar dari tahun (132 H/ 750 M - 232 H/ 847 M), dan fase kedua berkisar dari tahun (232 H/ 847 M 447 H/945 M). Pada masa ini, dunia peradilan terlihat dengan perkembangan yang begitu pesat, baik dalam pembukuan putusan serta pakaian khusus untuk hakim. 3. Peradilan in absentia dalam Islam juga telah dibahas dan dikaji oleh para imam mazhab, di antaranya Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berbeda pendapat mengenai pembahasan memberikan putusan secara in absentia. Abu Hanifah, tidak membolehkan memberikan putusan tanpa dihadiri terdakwa, kecuali telah datang kepadanya tiga kali, kalau tidak baru dipaksa dan diputus tanpa terdakwa. Menurut Imam Malik, boleh dihukum orang yang tidak datang apabila yang telah datang itu telah mengemukakan keterangan dan meminta dihukumkan. Penulis melakukan analisa terhadap putusan, dari kaca mata Islam penulis mengutip beberapa pendapat para imam mazhab, di antaranya telah disebutkan di atas. Dalam kajian hukum positif mengenai perkara korupsi
94
yang diadili secara in absentia, penulis berpendapat bahwa hakim telah melaksanakan aturan yang telah diatur oleh Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan, menurut pandangan Islam mengenai perkara korupsi yang diperadilankan secara in absentia, penulis menggunakan teori maslahat, yakni jalb al-masalih wa dar‟ al-mafasid. Di mana pengembalian aset negara perlu dikembalikan untuk menstabilkan perekonomian negara. Di samping itu, dalam Islam ada suatu pertanggung jawaban. Segala sesuatu perbuatan harus dipertanggung jawabkan oleh pelaku, tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Nah, jika para pelaku korupsi tidak bertanggung jawab atau melarikan diri atas perbuatannya. Maka keadilan hukum lebih utama nilainya. Jadi, dalam melakukan penanganan dan pemeriksaan perkara korupsi perlu dikhususkan. B. Saran Mengingat tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, maka dalam penanganan dan pencegahan perlu dengan upaya luar biasa jua. Karena akibat dari perbuatan yang tidak terpuji itu, bisa meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik segi politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Tak ada lagi belas kasihan untuk memberikan peringatan dan hukuman kepada para pelaku tindak pidana korupsi, namun perlu diperhatikan dan diberikan juga hak-hak asasi manusianya. Bukan berarti digerogoti bersih para penjahat korupsi tersebut.
95
Sejak dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, perkara demi perkara dengan cepat diproses, diperiksa dan diputus, guna menyelamatkan aset keuangan negara dan menormalisasikan perekonomian negara agar menjadi stabil kembali. Dalam hal memberikan putusan, hakim selalu memutuskan berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti hukum. Mengenai perkara korupsi kejahatan luar biasa, maka perkara korupsi bisa didahulukan untuk dilakukan pemeriksaan dan mengadili. Berbagai upaya pemberantasan dan pencegahan dilakukan untuk penanganan tindak pidana korupsi. Kita ketahui bersama, banyak sekali kasus-kasus korupsi yang tak kunjung usai, berkas-berkas hanya jadi tumpukan semata. Itu terlihat dari kurang komitmen dan keseriusan untuk memerangi kejahatan korupsi, karena dari orde lama, orde baru sampai era reformasi selalu saja terjadi pembubaran secara pasif lembaga-lembaga yang concern untuk memberantas korupsi, indikasinya yaitu terjadinya konfllik perpolitikan. Oleh karena itu, ketika terjadi hal perbuatan melakukan melawan hukum dalam hal ini korupsi, maka penyelesaiannya bukan melalui ranah pollitik, melainkan jalur hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku Al-Qur‟an dan Terjemahan. A. Al-Buraey, Muhammad. Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan. Jakarta: Rajawali. 1986. Abdul Rafi‟, Abu Fida‟. Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa). Jakarta: Republika. 2004. Cetakan I. Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadi Media. 2009. Ali Baihaqi, Abu Bakar Ahmad Husain. Sunan al-Kubro lil Baihaqi wa fi Dzailihi alJauharin Naqyi. India: Majlis Dairoh al-Ma‟arif an-Nizhomiyah. 1344 H. Cetakan Pertama. Aliyah, Samir. Nizham ad-Daulah wa al-Qadha‟ wa Al-„urf fi al-Islam. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, dkk. Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam. Jakarta: Khalifa. 2004. Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2008. Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1970. Cetakan Ketiga. Asmawi. Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia. 2010. Cetakan Pertama. Bogdan, Robert. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Alih bahasa-Arif Furchan Cet- 1. Surabaya: Usaha Nasional. 1992. Buku Panduan; Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik. Transparancy International. 2006. Chazawi, Ahmad. Lampiran Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia. 2005.
96
97
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000 Ed. 6. Cetakan 9. Djaja, Ermansjah. Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yurudis Normatif. 2009. Djalil, Abdul Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Persada. 2006. Cetakan Ke-1. Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007. Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. Ed. Kedua. Cetakan Ke-3. Hartono, Sunaryati. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Dikutip dari Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Ed-rev. Malang: Bayumedia Publishing. 2008. Irfan, Muhammad Nurul. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. 2009. Cetakan Pertama. J Moleong, Lexi. Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2004. John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1977. Karjadi, M dan R. Soesilo. Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bogor: Politeia. 1997. Manan, Abdul. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam. Jakarta: Kencana. 2007. Cetakan Ke-1. Marzuki, Peter Mahmud. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Media Group, 2008. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. Hukum-Hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001.
98
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 1997. Cetakan Ke-1. Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia; Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Bandung: Alumni. 2006. Nurdjana, IGM. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Cetakan I. Prakoso, Djoko. Peradilan In Absentia di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984. Purwaka, Tomi Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Atmajaya. 2007. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Perkara Korupsi Secara In Absentia, Putusan Nomor: 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST. Rifa‟i, Moh., dkk. Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra. Tanpa Tahun. Saleh, K. Wantjik. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983. Ed. Revisi. Cetakan Ke-5. Sevilla, Consuelo G. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI- PRESS. 2006. Susanto, Hery. dkk. Menegakkan Wibawa Hakim: Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan Peradilan Bersih dan Bermartabat. Jakarta: Komisi Yudisial. 2009. Tim Taskforce. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. 2008. Cetakan Ke-1. Waludi. Kejahatan Pengadilan dan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. 2009. Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2005. Cetakan I. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1999. ed. I. cetakan 9.
99
Internet Fave Chayo Saputra, In Absentia Untuk Pak Harto, Ambon: Waspada Online, http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg22012.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2011. Harli Siregar, Aspek Hukum Peradilan Pidana In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Mantan Bupati Langkat, diakses pada tanggal 14 Maret 2011 dari http://digilib.usu.ac.id/download/fh/D0200290.pdf. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg22012.html. pada tanggal 18 Maret 2011. Kitab
Diakses
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasannya, www.docstoc.com/docs/35983113/Kitab-Undang-Undang-Hukum-AcaraPidana-(KUHAP). Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.
Skripsi Eksistensi Peradilan In Absentia Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Di Indonesia dan Relevasinya dengan Hak Terdakwa untuk Melakukan Pembelaan, http://gudangmakalah.blogspot.com/2011/02/skripsi-eksistensiperadilan-in.html. Diakses pada tanggal 14 Maret 2011.
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.