KAJIAN SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
M. Khalid Ali Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang
Abstrak Dikaji dari terminologi, Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Dari perspektif Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System maka di Indonesia dikenal 5 (lima) institusi yang merupakan Sub Sistem Peradilan Pidana. Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan “usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum)”. Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagai suatu sistem, hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), struktur (struktural), dan substansi (substantive) hukum. Kata Kunci : Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Kebijakan Hukum Pidana
A. Pendahuluan Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem AngloSaxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan.1 Pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 (Lembaran Negara RI 1981-76; Tambahan Lembaran Negara RI 3209) yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981. Dan ketentuan hukum materiilnya mengacu kepada Kitab Undang-Undang 1
Kenneth J. Peak, Justice Administration, Departement of Criminal Justice, University of Nevada, 1987, hal. 25 menganalisis lebih jauh apakah komponen sistem peradilan pidana tersebut terdiri dari proses, network, nonsistem, dan sistem.
Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada hakekatnya Sistem Peradilan Pidana dapat dikaji melalui pendekatan dimensi hukum, sosiologi, ekonomi dan manajemen. Dikatakan demikian karena pada Sistem Peradilan Pidana termaktub anasir yang mendukung eksistensi dari prosesnya. Oleh Satjipto Rahardjo dideskripsikan lebih detail, bahwasanya: “Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti sistem peradilan pidana (criminal justice system-SPP), yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi dan manajemen. Dari segi profesional, SPP lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang
berdiri sendiri. Di sini kita memberikan perhatian terhadap asas, doktrin dan perundang-undangan yang mengatur SPP tersebut. Dalam ilmu hukum, penedekatan seperti itu disebut positivis-analitis.”2 Pada dasarnya Sistem Peradilan Pidana dikemukakan pertama kali di Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science. Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.3 Ditinjau dari dimensinya maka Frank Hagan membedakan antara Criminal Justice System dengan Criminal Justice Process.4 Pada dasarnya, Criminal Justice System adalah: “...is the system by which society, fist determinies what will contitue a crime and then identifies, accuses, tries, convicts, and punishes those who violated the criminal law. Sedangkan Criminal Justice Process diartikan sebagai: “the series of procedure by which society identifies, accuses, tries, convicts, and punisher offender”. Oleh karena itu, terdapat perbedaan gradual kedua pengertian di atas yaitu Criminal Justice System merupakan substantive law sedangkan Criminal Justice Process menunjuk pada pengamanan penerapan dari substantive law.
Menurut Allan Coffey, ada perbedaan antara “sistem” dan “proses” dimana dikatakan bahwa, “The process of the system refers to many activities of police, attorneys, judges, probahation and a role and prison staff. Process therefore is the most visible part of the system.”5 Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) maka di Indonesia dikenal 5 (lima) institusi yang merupakan Sub Sistem Peradilan Pidana. Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Sistem Peradilan Pidana yang merupakan proses peradilan pidana sebagai suatu sistem maka institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta pemasyarakatan sebagai suatu sub-sub sistem.6 Apabila dikaji dari terminologi, Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin dengan tegas mengemukakan aspek sebagai berikut: “Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundangundangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu
2
Satjipto Rahardjo, Sosial Sistem Peradilan Pidana dalam Wacana Kontrol, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. I/Nomor I/1998, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 97. 3 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994, hal. 8485. 4 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 1982, hal. 70.
5
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Victimologi, PT. Djambatan, Jakarta, 2004, hal. 1-2. 6 J.W. La Patra, Analysing the Criminal Justice System, Lexington Books, 1978, hal. 98.
sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala 7 keterbatasannya.” Jika dikaji dari perspektif teoritik dan komparatif maka ada beberapa model Sistem Peradilan Pidana. Secara teoritik dan komparatif menurut Michael King8 maka ada 7 (tujuh) model Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang secara implisit mengemukakan adanya “model keadilan” yang dapat dipilih dan dipilah hakim sebagai kebijakan aplikatif yang diinginkan dalam hal menjatuhkan suatu putusan. Pada hakekatnya, model Sistem Peradilan Pidana merupakan model ideal sesuai tolak ukur dimensi, paradigma dan nuansa masyarakat Amerika Serikat yang menjunjung tinggi heteroginitas, liberalisasi dan demokrasi. 7 (tujuh) model Sistem Peradilan Pidana oleh Michael King: 1. Due Process Model (DPM) tujuannya menggambarkan suatu versi yang diidealkan tentang bagaimana sistem harus bekerja sesuai dengan gagasangagasan atau sifat yang ada dalam aturan hukum. Hal ini meliputi prinsip-prinsip tentang hak-hak terdakwa, asas praduga tidak bersalah, hak terdakwa untuk diadili secara adil, persamaan di depan hukum dan peradilan. 2. Crime Control Model (CCM) tujuannya Sistem yang bekerja dalam menurunkan atau mencegah dan mengekang kejahatan dengan menuntut dan menghukum mereka yang bersalah. Lebih menjaga dan melayani masyarakat. Polisi harus berjuang melawan kejahatan.
7
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hal. 14. Lilik Mulyadi, Peradilan Terorisme Kasus Bom Bali, PT. Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 67. 8
3. Medical Model (diagnosis, predection and treatment selection) tujuannya bahwa satu dari pertimbangan masing-masing tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasaan untuk memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial. 4. Bureaucratic Model tujuannya menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efisien. Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama. Jika terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan pembuktian. 5. Status Passage Model tujuannya model ini menekan bahwa pelanggar harus diadili di depan umum dan dijatuhi hukuman. Hukuman perlu dijatuhkan untuk menggambarkan pencelaan moral masyarakat. Pengadilan publik dan hukuman perlu untuk menunjukkan bahwa masih terdapat nilai-nilai hukum yang kebal dari masyarakat. Hukum publik dan ungkapan pencelaan dalam rehabilitasi dapat menyebabkan perasaan malu para pelanggar. 6. Power Model tujuannya bahwa Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya memperkokoh peranan penguasa sebagai pembuat hukum dan sekaligus menerapkannya di masyarakat. Hukum pidana dan pelaksanaannya dipengaruhi oleh kepentingan dari golongan yang dominan, seperti ras, jenis kelamin dan lain-lain.
7. Just Desert Model (Just Desert Model & Just Punishment) tujuannya setiap orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Tersangka harus diperlakukan sesuai dengan hak asasinya, sehingga hanya mereka yang bersalah yaang dihukum. Juga memberi ganti kerugian kepada yang bersalah. Ketujuh model Sistem Peradilan Pidana mendeskripsikan “model keadilan” yang ingin dicapai dalam takaran kebijakan aplikatif bagi hakim di pengadilan khususnya saat proses penjatuhan putusan. “Model Keadilan” sesuai dimensi Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM) yang juga dikemukakan oleh Herbert L. Packer dalam bukunya yang berjudul: The Limits of Criminal Sanction dimana disebutkan bahwa dimensi dari Crime Control Model bertitik tolak kepada keadilan dengan titik tolak tindakan represif merupakan keadilan yang ingin dicapai guna menekan angka kejahatan sedangkan pada Due Process Model lebih menekankan pada keadilan dengan orientasi kepada eksistensi tentang hak-hak terdakwa, lebih mengedepankan dimensi hukum dan hak asasi manusia. Secara gradual dan fundamental perbedaan antara Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM): 1. Karakteristik Crime Control Model: a. Represif, b. Presumption of guilt, c. Informal-lact finding, d. Factual guilt, e. Efisiensi. 2. Karakteristik Due Process Model: a. Preventif, b. Presumption of innocence, c. Formal-adjudicative, d. Legal guilt, e. Efektivitas. Adapun karakteristik yang mengandung nilai-nilai atau values yang
melandasi Crime Control Model (CCM) adalah: 1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal (represion of crime) adalah fungsi terpenting dari proses peradilan. 2. Efisiensi penegak hukum untuk menyeleksi tersangka, penetapan kesalahannya dan perlindungan hak tersangka dari proses peradilan. 3. Proses penegakan hukum berlandaskan prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finality) dan model yang dapat mendukung sifat administratif. ”Speedy” tergantung informality. Informality tergantung informaty (keseragaman) sedangkan finalty tergantung chalenge (bebas hambatan). 4. Bertumpu pada fakta empiris yaitu asas “praduga bersalah” atau “presumption of guilt” dan proses penegakan hukum bertitik tolak pada fakta administratif (administrative fact finding) yang akan membawa muara pada pembebasan seorang tersangka dari penuntutan atau kesediaan tersangka mengaku bersalah atau “plea of guilty”. 5. Penemuan kesalahan secara faktual (factual guilt) serta cara kerjasama seperti ban berjalan (assembly line).
1.
2.
3.
4.
5.
Dan karakteristik dari nilai-nilai Due Process Model (DPM) berorientasi: Mengutamakan “formal-adjudicative” dan “adversary fact-findings” sehingga model ini menolak “informal fact-findings process”. Menekankan penegakan (preventive measures) dan menghapus sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan. Bertitik tolak dari nilai yang bersifat legal guilt dan gagasan persamaan di depan hukum diutamakan. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana (criminal sanction). Menganggap proses peradilan sebagai
coercive (menekan), restricting (membatasi), dan demeaning (merendahkan martabat) sehingga proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara. Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM) tidak lain merupakan suatu “decision making”. CCM merupakan pengambilan keputusan yang menggunakan “excessive leniency”, sedangkan DPM mengutamakan ketetapan dan persamaan. Akan tetapi walaupun demikian, di lain pihak Muladi mengemukakan kelemahan-kelemahan Crime Control Model dan Due Process Model. Adapun kelemahan CCM tidak cocok di Indonesia karena model ini berpandangan tindakan bersifat represif sebagai yang terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana sedangkan DPM tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat “antiouthoritarian values”. Apabila diperinci secara cermat, detail dan terperinci maka “model keadilan” yang dikemukakan oleh Michael King maka yang sesuai, selaras dan cocok diterapkan di Indonesia yang berciri Eropa Kontinental adalah Sistem Peradilan Pidana (SPP) “model keadilan” yang berupa Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment). Karena hakekatnya penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana selektif dalam artian kepada orang yang bersalah saja yang harus dijatuhi pidana. Maka penjatuhan pidana haruslah sesuai dengan tingkat dan bobot kesalahan yang dilakukan. Dalam menjalani proses peradilan, hak-hak dari terdakwa berupa asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) harus dilindungi dan dijunjung tinggi dan bagi korban diberikan ganti rugi. Konkretnya, pelaku tindak pidana
diwajibkan memberi ganti kerugian kepada korban akibat tindak pidana yang telah dilakukannya. Sebenarnya “sistem” dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) sangat penting eksistensinya, karena menurut Mardjono Reksodiputro apabila keterpaduan dalam bekerjanya sistem tidak dilakukan maka kemungkinan terdapat 3 (tiga) kerugian, yaitu sebagai berikut: 1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama; 2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana); 3. Karena tanggung jawab masingmasing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.9 Penulis tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai praktik Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Dan juga mengenai efektivitas Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam perspektif kebijakan hukum pidana. Berpijak dari pemaparan permasalahan diatas, maka perlu pengkajian yang lebih mendalam melalui sebuah penelitan dalam bentuk disertasi dengan judul: “KAJIAN SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA”.
B. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana Indonesia Sistem Peradilan Pidana Indonesia terdiri dari lima lembaga dan diakui eksistensinya guna menegakkan hukum 9
Mardjono Reksodiputro, Loc. Cit.
dan keadilan. Konkretnya, kelima lembaga Sistem Peradilan Pidana Indonesia adalah yang menjalankan fungsi hukum pidana baik hukum acara pidana (hukum formal) maupun hukum pidana materiil. Dengan bekerjanya kelima lembaga penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana diharapkan adanya dimensi keadilan, kepastian hukum, hak asasi manusia dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat, pelaku tindak pidana, korban, negara dan bangsa Indonesia. 1. Lembaga Kepolisian Hakekatnya ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagai lembaga penegak hukum yang berdasarkan KUHAP, hakekatnya Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 KUHAP menentukan, bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Berikutnya berdasarkan Pasal 1 butir 4, Pasal 4 KUHAP menyatakan penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 5 KUHAP, maka penyelidik: a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang: Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; Mencari keterangan dan barang bukti; Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan; Pemeriksaan dan penyitaan surat; Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
Pada hakekatnya, Kepolisian menjadi penyelidik terhadap semua tindak pidana (UU Nomor 2 Tahun 2002 dan KUHAP). Sementara ada lembaga penyelidik lain semisal Komnas HAM, menjadi penyelidik terhadap kasus pelanggaran HAM berat (UU Nomor 26 Tahun 2000), Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU (UU Nomor 5 Tahun 1999), dan lain sebagainya. Kemudian menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP maka penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP mempunyai wewenang: Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; Mengadakan penghentian penyidikan; Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Berdasarkan huruf j Pasal 6 ayat (1)
huruf a KUHAP dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan kewenangan penyidik untuk “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” dijelaskan sebagai tindakan yang: Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; Tindakan itu harus patut dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; Atas pertimbangan yang layak dan berdasarkan keadaan memaksa; Menghormati hak asasi manusia. Kalimat dalam KUHAP yang berbunyi, “...menurut hukum yang bertanggung jawab”, terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 RUU KUHAP Tahun 2002 dirubah bunyinya menjadi, “...melakukan tindakan lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”. Akan tetapi ternyata perubahan draf tersebut menimbulkan pandangan dan asumsi yang kurang disetujui sebagaimana pendapat Wisnubroto dan G. Widiartana, dengan alasan: Makna dan cakupan “peraturan perundangan yang berlaku” lebih sempit daripada “hukum yang bertanggung jawab” sehingga justru membatasi ruang gerak pejabat penyelidik dan penyidik dalam menjalankan tugasnya sehingga muncul kesulitan baru ketika terjadi kevakuman hukum positif. Dalam menjalankan tugas dan wewenang, landasannya tetap harus pada peraturan formal, namun ketika hukum formal belum mengatur atau penerapan hukum formal justru akan berakibat terhambatnya proses penyelidikan atau penyidikan, diskresi tetap diperlukan asal dapat dipertanggung jawabkan. Jika dilihat penjelasan Pasal 5 RUU KUHAP draf Tahun 2002, ternyata redaksinya sama persis dengan penjelasan Pasal 5 KUHAP (UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981).
Artinya, justru dalam RUU KUHAP terjadi ketidaksinkronan antara bunyi dan penjelasannya.10 Dalam aspek penyidikan terdapat adanya variasi. Kepolisian menjadi penyidik dalam semua tindak pidana (Pasal 7 ayat (2) KUHAP), Jaksa menjadi koordinator penyidikan dalam tindak pidana korupsi (Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999 yo UU Nomor 20 Tahun 2001), TNI Angkatan Laut menjadi koordinator Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tindak pidana Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (UU Nomor 5 Tahun 1983) dan tindak pidana perikanan (Pasal 3, 12 UU Nomor 9 Tahun 1985), HAKI, Imigrasi, Pelayaran (Pasal 130 UU Nomor 6 tahun 1989, Pasal 47 UU Nomor 9 Tahun 1992, UU Nomor 10 Tahun 1992), Bea Cukai dan Pasar Modal (Pasal 101 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1995). Akan tetapi, sebagai ius constituendum berdasarkan Pasal 6 RUU KUHAP draf Tahun 2002, bahwa kewenangan penyidikan di samping pada penyidik Kepolisian, juga ada kewenangan pada pegawai tertentu, misal anggota Komite Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan anggota Komnas HAM. Dalam rancangannya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diganti dengan sebutan Pegawai Negeri Sipil Penyidik (PNSP) dan tetap diberikan kewenangan melakukan penyidikan namun dibatasi dengan memperhatikan tugas dan fungsi secara teknis yang spesifik memerlukan keahlian tertentu. Serta terhadap kepangkatan penyidik pejabat polisi negara dan PPNS diatur oleh Peraturan Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2) KUHAP yo PP Nomor 27 Tahun 1983). Adapun syarat kepangkatan penyidik Kepolisian serendah-rendahnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, dan PPNS serendah-rendahnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/B) atau yang disamakan (Pasal 2 ayat (1) PP
10
Al. Wisnusubroto dan G. Widiarta, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 39.
Nomor 27 tahun 1983). Kemudian syarat kepangkatan penyidik pembantu untuk Kepolisian serendah-rendahnya berpangkat Sersan Dua Polisi, sedangkan PPNS serendah-rendahnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/A) atau yang disamakan (Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983). Akan tetapi dengan adanya pemisahan Polri dan TNI sebagaimana TAP MPR RI Nomor: VI/MPR/ 2002 dan TAP MPR RI Nomor: VII/MPR/2000 maka kedudukan penyidik di bawah langsung Presiden sejak tanggal 1 Januari 2002 maka dengan sendirinya ada konsekuensi perubahan nama dan jenjang kepangkatan penyidik Polri yang ditetapkan oleh PP Nomor 27 Tahun 1983 yang dapat disetarakan sebagai Penyidik Polri serendah-rendahnya Ajun Inspektur Polisi Dua dan penyidik pembantu serendah-rendahnya berpangkat Brigadir Polisi Dua. Adapun tata cara penetapan pejabat penyidik dan penyidik pembantu Kepolisian berdasarkan Ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi, “Jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan fungsional yang penjabatannya diangkat dengan Keputusan Kapolri”. Kemudian berdasarkan paragraf 5 Penjelasan RUU KUHAP Tahun 2002, maka tidak dikenal lagi terminologi “Penyidik Pembantu”, akan tetapi hanya dikenal istilah “Penyidik” agar seluruh penyidik khususnya di jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat disejajarkan dengan penegak hukum lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 75 KUHAP dalam melakukan penyidikan kepada seorang tersangka penyidik membuat berita acara pemeriksaan dan menyerahkannya kepada lembaga Kejaksaan. 2. Lembaga Kejaksaan Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga Kejaksaan diatur Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan KUHAP.
Sebagai lembaga penuntut dalam perkara pidana maka berdasarkan ketentuan Pasal 137 KUHAP, Jaksa Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya. Dalam melakukan fungsinya berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP penuntut umum mempunyai wewenang: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan penyidik pembantu; b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang; j. Melaksanakan penetapan hakim.11 Berdasarkan ketentuan Bab III tentang Tugas dan Wewenang Bagian Pertama Pasal 30 UU Nomor 16 tahun 11
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
2004 maka di bidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: Melakukan penuntutan; Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang; Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) ditentukan di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan pemerintah. Dan berdasarkan Pasal 30 ayat (3) dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; Pengamanan kebijakan penegakan hukum; Pengawasan peredaran barang percetakan; Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perwatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang
dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004, Kejaksaan membina kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya dan kejaksaan dapat memberi pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya (Pasal 31, 32, 33 dan 34 UU Nomor 16 Tahun 2004). 3. Lembaga Peradilan Lembaga peradilan merupakan lembaga pemutus perkara yang dilimpahkan oleh Kejaksaan dan diatur dalam UU Nomer 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum. Pada lembaga peradilan terdakwa diperiksa, diadili dan diputus oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri. Berdasarkan data terakhir maka di seluruh Indonesia ada 30 Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri berjumlah 304 dengan perincian Pengadilan Negeri Klas IA berjumlah 36, Pengadilan Negeri Klas IB berjumlah 60 dan Pengadilan Negeri Klas II berjumlah 208. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2004, UU Nomor 4 Tahun 2004 dan KUHAP maka tugas pengadilan adalah menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam memeriksa seorang terdakwa majelis hakim bertitik tolak kepada surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP, dengan 2 (dua) alat bukti dan keyakinannya (Pasal 183 KUHAP) hakim dapat menjatuhkan putusan. Adapun bentuk putusan dapat berupa putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP), putusan bebas/vrijspraak (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) dan putusan penglepasan dari segala tuntutan hukum/onslag van alle rechtsvervolging (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).12 Pada dasarnya badan peradilan di bawah Mahkamah Agung menurut Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 meliputi badan peradilan dalam lingkungan 12
Ibid.
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Khusus terhadap peradilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang mempunyai spesifikasi dalam hal administrasi perkara dan administrasi pada umumnya. Proses administrasi peradilan merupakan elemen bersifat substansial dalam proses peradilan guna mendapatkan sistem hukum acara dalam rangka membangun proses peradilan yang baik. Sistem administrasi peradilan asasnya juga mengatur konsep pengarsipan. Dikaji dari perspektif sejarahnya maka sistem administrasi peradilan dirintis oleh Menteri Kehakiman Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM., pada pertengahan tahun 1970-an yang memberi wacana perlunya menyeragamkan pelaksanaan administrasi perkara di seluruh pengadilan tingkat pertama dan banding di seluruh Indonesia. Berdasarkan perspektif UU Nomor 8 Tahun 2004 pada dasarnya penyelenggaraan administrasi pengadilan dibedakan menurut jenisnya dibagi menjadi administrasi perkara dan administrasi umum. Berdasarkan penjelasan UU Nomor 8 Tahun 2004 atas dasar pola penanganannya maka dibedakan adanya administrasi yang dilakukan Panitera/Sekretaris, pedoman administrasi pengelolaan perkara dikategorisasikan administrasi perkara yang penanganannya dilakukan oleh kepaniteraan. Konkretnya dari pelaksanaan administrasi perkara puncaknya pada peran Ketua Pengadilan dalam mengawasi pelaksanaan pengadilan yang dipimpinnya terhadap tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Juru Sita di daerah hukumnya. pada hakekatnya struktur organisasi kepaniteraan di Pengadilan Negeri/Tinggi relatif sama yang terdiri dari pejabat struktural dan pejabat fungsional. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 1996 tentang Bagan Susunan
Pengadilan Tinggi dan Negeri (Klas IA, IB dan II) dimana adanya Ketua/Wakil Ketua, Majelis hakim, Panitera/Sekretaris dan dalam administrasi perkara dikenal adanya sub kepaniteraan perdata/Panitera Muda Perdata, sub kepaniteraan Pidana/Panitera Muda Pidana, sub kepaniteraan hukum/Panitera Muda Hukum dan kelompok fungsional kepaniteraan yang terdiri dari Panitera Pengganti dan Juru Sita/Juru Sita Pengganti. Berdasarkan Buku tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang diterbitkan Mahkamah Agung RI maka dikenal adanya rincian tugas kepaniteraan dengan adminnistrasi perkara pidana. Adapun berdasarkan Buku I maka tugas Panitera dalam perkara pidana menyangkut aspek-aspek: a) Tugas Panitera 1. Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan; 2. Bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, barang bukti dan suratsurat lainnya yang disimpan di kepaniteraan; 3. Menyelenggarakan administrasi perkara; 4. Mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti; 5. Menerima serta membuat daftar semua perkara dan permohonan grasi yang diterima di kepaniteraan; 6. Membuat salinan putusan; 7. Membuat akta: Pemberitahuan putusan kepada terdakwa yang tidak hadir ketika putusan dijatuhkan; Terima isi putusan; Mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan; Tidak mengajukan memori banding; Penolakan permohonan
banding bagi pengajuan banding yang terlambat; Permohonan banding; Pemberitahuan adanya permohonan banding; Penyampaian salinan memori/kontra memori banding; Pemberitahuan membaca/memeriksa berkas (inzage); Pencabutan permohonan banding; Pemberitahuan isi putusan banding; Permohonan kasasi; Pemberitahuan adanya permohonan kasasi; Penerimaan memori kasasi; Pemberitahuan adanya memori kasasi; Penerimaan kontra memori kasasi; Penyampaian tembusan kontra memori kasasi; Tidak menerima memori kasasi; Pencabutan permohonan kasasi; Pemberitahuan isi putusan kasasi; Permohonan peninjauan kembali; Pemberitahuan adanya permohonan peninjauan kembali; Pencabutan permohonan peninjauan kembali; Pemberitahuan isi putusan peninjauan kembali; Permohonan grasi/remisi; Pembuatan akta yang menurut undang-undang/peraturan diharuskan dibuat oleh panitera; 8. Mengirimkan berkas perkara yang dimohonkan banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK); 9. Mengirimkan berkas permohonan
grasi ke Kejaksaan Negeri. b) Tugas Wakil Panitera 1. Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan; 2. Membantu Panitera untuk secara langsung membina, meneliti dan mengawasi pelaksanaan tugas administrasi perkara, antara lain ketertiban mengisi buku register perkara, membuat laporan periodik; 3. Melaksanakan tugas Panitera apabila Panitera berhalangan; 4. Melaksanakan tugas yang didelegasikan kepadanya. c) Tugas Panitera Muda Pidana 1. Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan; 2. Melaksanakan administrasi perkara, mempersiapkan berkas perkara, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang berhubungan dengan masalah perkara pidana; 3. Memberi nomor register setiap perkara yang diterima di Kepaniteraan dan memberi nomor register pada setiap perkara dengan acara singkat yang telah diputus hakim atau diundurkan hari persidangannya; 4. Mencatat setiap pekara yang diterima ke dalam buku daftar disertai catatan singkat tentang isinya; 5. Menyerahkan salinan putusan kepada jaksa, terdakwa atau kuasanya serta Lembaga Pemasyarakatan apabila terdakwa ditahan; 6. Menyiapkan berkas yang dimohonkan banding, kasasi atau Peninjauan Kembali dan menyiapkan berkas permohonan grasi; 7. Menyerahkan arsip berkas
perkara/permohonan grasi kepada Panitera Muda hukum. d) Tugas Panitera Muda Hukum 1. Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan; 2. Mengumpulkan, mengolah dan mengkaji data, menyajikan statistik perkara, menyusun laporan perkara, menyimpan arsip berkas perkara, permohonan grasi dan tugas lain yang diberikan berdasarkan peraturan perundangundangan; 3. Menyimpan barang-barang bukti yang diserahkan jaksa. e) Tugas Panitera Pengganti Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan; Membantu hakim dengan hal: 1. Membuat penetapan hari sidang; 2. Membuat penetapan terdakwa tetap ditahan, dikeluarkan dari tahanan atau dirubah jenis penahanannya; 3. Membuat berita acara persidangan yang harus diselesaikan sebelum sidang berikutnya; 4. Melaporkan barang bukti kepada Panitera; 5. Mengetik putusan. Melaporkan kepada Panitera Muda Pidana: 1. Penundaan haris-hari sidang; 2. Perkara yang sudah diputus berikut amar putusannya. Menyrahkan berkas perkara kepada Panitera Muda Pidana bila perkara telah selesai dimutasi. Pada dasarnya berdasarkan Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan pola administrasi perkara pidana di Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) dan Banding
(Pengadilan Tinggi) dilaksanakan berdasarkan sistem meja. Pola administrasi perkara mempergunakan sistem dua meja yaitu meja pertama dan kedua, berbeda dengan perkara perdata yang mempergunakan sistem tiga meja. Pada dasarnya meja pertama pada perkara pidana meliputi: Menerima perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaan dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara; Melakukan pendaftaran perkara tindak pidana biasa dalam buku register induk, dilaksanakan dengan mencatat nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register. Pendaftaran perkara tindak pidana singkat dilaksanakan setelah hakim menetapkan dalam persidangan bahwa perkara tersebut akan diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat. Dan pendaftaran perkara tindak pidana ringan dan lalu lintas dilaksanakan setelah perkara diputus oleh pengadilan; Memberi berkas perkara yang diterima formulir penetapan Majelis Hakim untuk diserahkan kepada Wakil Panitera yang akan menyerahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri melalui Panitera; Menyerahkan kepada majelis hakim yang ditunjuk berkas perkara yang sudah ditetapkan majelis hakimnya, dilengkapi dengan formulir penetapan hari sidang dan pembagian perkara dicatat dengan tertib; Mencatat dalam register semua kegiatan perkara yang berkenaan dengan perkara banding, kasasi, peninjauan kembali, grasi dan pelaksanaan putusan ke dalam buku register induk bersangkutan. Meja kedua dalam perkara pidana meliputi: Menerima pernyataan banding, kasasi, peninjauan kembali dan grasi/remisi; Menerima/memberikan tanda terima atas: a) Memori banding;
b) c) d) e) f)
Kontra memori banding; Memori kasasi; Kontra memori kasasi; Alasan peninjauan kembali; Jawaban/tanggapn peninjauan kembali; g) Permohonan grasi/remisi; h) Penangguhan pelaksanaan putusan. Membuat akta permohonan berpikir bagi terdakwa; Membuat akta tidak mengajukan permohonan terdakwa; Menyiapkan dan menyerahkan salinan-salinan putusan pengadilan, apabila ada permintaan dari pihak yang bersangkutan;13
Pelaksanaan tugas-tugas pada meja pertama dan meja kedua, dilakukan oleh Kasub Kepaniteraan Pidana dan berada langsung pengamatan Wakil Panitera. 4. Lembaga Pemasyarakatan Eksistensi Lembaga Pemasyarakatan diakui UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pada pasal 1 butir 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 maka Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sebagai tahap eksekusi maka LAPAS mempunyai kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pasal 1 butir 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 menentukan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan memperbaiki diri dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. 5. Advokat Advokat diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Menurut Sidik Sunarya14, advokat merupakan bagian integral (sub sistem) dalam sistem peradilan yang terintegrasi (Integrated Justice System). Sebagai salah satu pilar (sub sistem) maka kehadirannya sangat penting dalam rangka mewujudkan peradilan yang jujur, adil, bersih dan menjamin kepastian hukum dan kepastian keadilan dan jaminan HAM untuk menciptakan independensi kekuasaan dan kehakiman. Keberadaan advokat secara perseorangan maupun secara organisatoris, harus mampu menjadi faktor pendorong (impetus majority) dalam mewujudkan sistem peradilan yang terintegrasi. Karena secara posisional kedudukan Advokat sejajar dengan kedudukan Hakim, Jaksa, Polisi dan Lembaga Pemasyarakatan dengan segala hak dan kewajibannya dalam mengawal perwujudan independensi kekuasaan kehakiman. C. Teori Kebijakan Dasar konteks “kebijakan” dalam hukum pidana berasal dari terminologi policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum)
13
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan di Lingkungan Peradilan Umum, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2006.
14
Sidik Sunarya, Sistem Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang, 2004, hal. 241-242.
dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundangundangan dan mengalokasikan hukum/ peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran 15 masyarakat (warga negara). Pada asasnya “kebijakan hukum pidana” sama dengan istilah “politik hukum pidana”. Istilah “politik hukum pidana” disebut juga dengan istilah penal policy, criminal law atau strafrechpolitiek. Menurut Sudarto, politik hukum adalah: (1) Usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat; (2) Kebijakan dari suatu negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dengan tujuan untuk mencapai apa yang dicitacitakan.16 Menurut A. Mulder dalam Strafrechtpolitiek ditentukan garis-garis kebijakan tentang: (1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaiki; (2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; (3) Cara bagaimana penyidikan, pengusutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.17 Andi hamzah menyatakan bahwa poltik hukum dalam arti yang luas diartikan: “Dalam pengertian formal, politik hukum hanya cukup 1 (satu) tahap saja, yaitu menuangkan kebijakan pemerintah dalam bentuk produk
15
Lilik Mulyadi, Op. Cit., hal. 26 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni, 1981, hal. 159. 17 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 28. 16
hukum atau disebut “legislative drafting”, sedangkan dalam pengertian materiil, poltik hukum mencakup legislative drafting, legal executing dan legal review.18 Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan “usaha untuk mewujudkan peraturan perundangundangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum)”. Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagai suatu sistem, hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), struktur (struktural), dan substansi (substantive) hukum.19 Dikaji dari perspektif politik hukum maka politik hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan “ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif yang dirumuskan secara lebih baik”. Peraturan hukum positif diartikan sebagai peraturan perundangundangan hukum pidana. Maka istilah penal policy menurut Ancel, sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.20 Usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga bagian dari politik kriminal. Dari sudut politik kriminal, poltik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.21 18
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, PT. Gramedia, Jakarta, 1994, hal. 24. 19 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and Social Development, hal. 1002-1010 dan Law and Society an Introduction, New Jersey, Prentice Hall Inc, 1977, hal. 6-7. 20 Barda Nawawi Arief, Loc. Cit. 21 Ibid, hal. 29.
Ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Aspek ini berorientasi pada kenyataan bahwa kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/ operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari: a) Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif. b) Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut tahap kebijakan yudikatif. c) Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.22 Hakekatnya kebijakan hukum pidana (penal policy, cirminal law policy atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh atau total. Karenanya diharapkan ketiga tahapan merupakan suatu jalinan mata rantai yang berkorelasi dalam sebuah kebulatan sistem. Kebijakan legislatif adalah tahap awal yang paling strategis dari tahap fungsionalisasi/ operasionalisasi/konkretisasi hukum pidana dan merupakan fundamen aplikasi dan tahap eksekusi. Perlu diingat bahwasanya kebijakan hukum pidana pada hakekatnya ibarat “pedang bermata dua”. Di satu sisi kebijakan pidana dengan sarana penal sangat penting eksistensinya. Aspek ini tercermin melalui seminar Kriminologi ke3 Tahun 1976 dimana disebutkan bahwa: “Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam
arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan (rehabilitatie) dengan memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.”23 Di sisi lain dengan mempergunakan sarana penal suka atau tidak suka, sadar ataupun tidak sadar, hakekatnya mempunyai beberapa batasan dan kelemahan. Apabila dipergunakan sarana penal saja maka ada keterbatasan, ditinjau dari sudut terjadinya kejahatan dan dari sudut bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Menurut Arief, sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif), antara lain: a) Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (karena itu juga sering disebut sebagai (ultimum remedium); b) Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi (antara lain: berbagai undang-undang organik, lembaga/aparat pelaksana dan lebih menuntut “biaya tinggi”); c) Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur atau efek samping yang negatif; d) Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am sympton” (menanggulangi/menyembuhkan gejala). Jadi, hukum/sanksi pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif” karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks di luar jangkauan hukum pidana;
23
22
Muladi, Op. Cit., hal. 13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, TeoriTeori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1998, hal. 92.
e) Hukum/sanksi pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosiokultural dan sebagainya); f) Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural atau fungsional; g) Keefektifan pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karenanya masih sering dipermasalahkan.24 Mengingat pelbagai keterbatasan dan kelemahan hukum pidana dilihat dari sudut kebijakan, maka penggunaan atau intervensi penal seyogyanya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Sarana penal tidak selalu harus dipanggil/digunakan dalam setiap produk legislatif. Dalam menggunakan sarana penal, Nigel Walker pernah mengingatkan adanya prinsipprinsip pembatas (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian, antara lain: a) Jangan menggunakan hukum pidana semata-mata untuk tujuan pembalasan/retributif; b) Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan; c) Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; d) Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;
e) Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah; f) Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik; g) Hukum pidana jangan memuat larangan/ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan/dipaksakan (unenporceable).25 Menurut Jeremy Bentham, janganlah hukum pidana dikenakan/digunakan apabila groundless, needless, unprofitable or inefficacious.26 Pecker pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana menjadi suatu “pengancam yang utama” (prime threatener).27 Karena keterbatasan penal, maka dalam penanggulangan kejahatan (politik kriminal) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan yaitu kebijakan penal dengan menggunakan sanksi pidana (termasuk bidang politik hukum pidana) dan kebijakan nonpenal (termasuk menggunakan sanksi administrasi, sanksi perdata dan lainnya). Kedua kebijakan itu dilakukan melalui pendekatan terpadu (integrated approach) antara politik, kriminal dan sosial serta keterpaduan (integritas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan nonpenal. D. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Hakekatnya aparat penegak hukum memiliki hubungan
24
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 139-140.
25
Ibid, hal. 48. Ibid, hal. 39. 27 Herbert L. Pecker, Op. Cit. Hal. 87. 26
erat satu sama lain sebagai suatu proses dikenal criminal justice process yang dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, pembelaan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan. Apabila dikaji dan dianalisis lebih intens penyelesaian perkara pidana berdasarkan UU Nomor 8 tahun 1981 mengenal 4 (empat) proses pentahapan, yaitu: Pertama, proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan suatu penyelidikan oleh penyelidik. Kedua, dalam proses penyelesaian perkara pidana berupa penangkapan (Bab V Bagian Kesatu Pasal 16-19 KUHAP). Ketiga, proses penyelesaian perkara pidana berupa penahanan (Bab V Bagian Kedua Pasal 2031 KUHAP). Keempat, proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 berupa pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang diawali pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan setelah dipanggil secara patut dan sah menurut undangundang (Pasal 145, 146 KUHAP). Sistem Peradilan Pidana yang berlandaskan UU Nomor 8 Tahun 1981 memiliki asas-asas sebagai berikut: Perlakuan sama di depan hukum bagi setiap orang (asas equality before the law); Praduga tidak bersalah (presumption of innocence); Hak untuk memperoleh konpensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; Hak untuk memperoleh bantuan hukum; Hak adanya kehadiran terdakwa di depan persidangan; Peradilan bebas dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan; Peradilan terbuka untuk umum; Pelanggaran hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah
tertulis; Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan dakwaan terhadapnya; Kewajiban pengadilan untuk mengamati pelaksanaan putusannya.
Kesepuluh asas dalam praktiknya tidak terlepas dari desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana yang terdapat dalam KUHAP. Tegasnya, Reksodiputro telah membagi sistem peradilan pidana di Indonesia dalam tiga tahap, yaitu: a) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-adjudikasi (preadjudication); b) tahap sidang pengadilan atau tahap adjudikasi (adjudication); c) tahap setelah sidang pengadilan atau tahap purna-adjudikasi (postadjudication).28 E. Penutup Apabila diperinci secara cermat, detail dan terperinci maka “model keadilan” yang dikemukakan oleh Michael King maka yang sesuai, selaras dan cocok diterapkan di Indonesia yang berciri Eropa Kontinental adalah Sistem Peradilan Pidana (SPP) “model keadilan” yang berupa Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment). Karena hakekatnya penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana selektif dalam artian kepada orang yang bersalah saja yang harus dijatuhi pidana. Maka penjatuhan pidana haruslah sesuai dengan tingkat dan bobot kesalahan yang dilakukan. Dalam menjalani proses peradilan, hak-hak dari terdakwa berupa asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) harus dilindungi dan dijunjung tinggi dan bagi korban diberikan ganti rugi. Konkretnya, pelaku tindak pidana diwajibkan memberi ganti kerugian kepada korban akibat tindak pidana yang telah dilakukannya.
28
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi), Jakarta: FH UI, 1993, hal. 12.
Menurut Jeremy Bentham, janganlah hukum pidana dikenakan/digunakan apabila groundless, needless, unprofitable or inefficacious. Pecker pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana menjadi suatu “pengancam yang utama” (prime threatener).
DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 Arief, Barda Nawawi dan Muladi. TeoriTeori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1998 Atmasasmita, Romli. Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 1982 Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung, 1996 Friedman, Lawrence M. Legal Culture and Social Development, hal. 1002-1010 dan Law and Society an Introduction, New Jersey, Prentice Hall Inc, 1977 Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, PT. Gramedia, Jakarta, 1994 La Patra, J.W. Analysing the Criminal Justice System, Lexington Books, 1978 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) Mulyadi, Lilik. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Victimologi, PT. Djambatan, Jakarta, 2004 Mulyadi, Lilik. Peradilan Terorisme Kasus Bom Bali, PT. Djambatan, Jakarta, 2005 Peak, Kenneth J. Justice Administration, Departement of Criminal Justice, University of Nevada, 1987 Rahardjo, Satjipto. Sosial Sistem Peradilan Pidana dalam
Wacana Kontrol, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. I/Nomor I/1998, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batasbatas Toleransi), Jakarta: FH UI, 1993 Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni, 1981 Sidik Sunarya, Sistem Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang, 2004 Widiarta, G. dan Al. Wisnusubroto. Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 Literatur lain: Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan di Lingkungan Peradilan Umum, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2006 Rekaman Proses Workshop, Kode Etik Advokat Indonesia: Langkah Menuju Penegakan, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2004 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana