IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI KOTA MAKASSAR THE IMPLEMENTATION OF THE LEGAL ASSISTANCE GIVEN TO CHILDREN AS THE ACTORS OF CRIMES IN THE CRIMINAL JUDICIARY SYSTEM IN MAKASSAR
1
1
Haritsa, 2Said Karim, 2Syamsuddin Muchtar
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 2 Bagian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat Koresponden: Haritsa Jl. Bung, Lrong Perjuangan, No.02 Bagian Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Makassar 90245 Hp. 085342729932 Email:
[email protected]
Abstrak Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, yaitu bersifat labil, mudah terpengaruh, cenderung bersikap meniru terhadap lingkungan sekitar. Penelitian ini bertujuan mengetahui implementasi bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam system peradilan pidana di Kota Makassar tahun 2013 – 2014 dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam system peradilan pidana di Kota Makassar tahun 2013 – 2014. Penelitian ini dilaksanakan di Polrestabes Makassar, kejaksaan Negeri Makassar, pengadilan Negeri Makassar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Lembaga Perlindungan Anak Kota Makassar, dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Makassar. Pengumpulan data dilakukan melalui metode obeservasi, interview, dan dokumentasi. Data dianalisis kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam system peradilan pidana Kota Makassar, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan belum berjalan maksimal. Hal ini terlihat pada minimnya jumlah anak yang berpendapat pendamping oleh penasihat hukum di semua tahapan. Setelah berlakunya UU No. 11 Tahun 2014 tentang SPPA masih ditemukan pendamping yang terkesan bersifat formalitas belaka, terutama dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Adapun kendala dalam pengimplementasian bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam system peradilan pidana di Kota Makassar, yaitu berupa kurang optimalnya penyuluhan bantuan hukum, adanya tekanan dalam pemeriksaan, khususnya oleh penyidik dan penuntut umum, serta masih adanya penolakan oleh tersangka. Kata kunci: Implementasi bantuan hukum, tindak pidana, peradilan pidana.
Abstract Special characteristics of children, namely unstable, easily to be influenced and tend to copy the surrounding environment, need to be considered when dealing with children having various crime problem. This research aimed (1) to investigate the implementation of the legal assistance given to children as criminals in the criminal judiciary system in Makassar 2013 – 2014; (2) to determine the obstacles faced in the implementation of the legal assistance given to children as criminals in the criminal judiciary system in Makassar during the period of 2013 – 2014. The research was conducted in Makassar Polrestabes, Makassar State Attorney, Makassar First Instance Court, Makassar Legal Assistance Office, Makassar Children Protection Agency, and Makassar Class 1 Penitentiary. Then the data were analyzed using the technique of descriptive-qualitative analysis. The research results revealed that (1) the implementation of the legal assistance given to children as the perpetrators of criminal actions in the judicial system in Makassar city, in the stages of either investigation, prosecution, or examination in the court had not yet run optimally; (2) the constraints faced in the implementation of the legal assistance to the children as the perpetratos of criminal actions in the criminal judicial by the system in Makassar city were the inadequate information about the legal assistance, the pressures during the examination by the investigators and the prosecutors, and the denials by the suspects. Keywords: Implementation of legal aid, criminal offense, criminal justice.
PENDAHULUAN Secara substansial undang-undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristrahat, bergaul dan hak jaminan sosial. Terkait dengan hak seorang anak yang berhadapan dengan hukum diatur didalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana UU No. 3 Tahun 1997 ini merupakan perwujudan atau penampungan dari kaidah hukum Konvensi Hak Anak mengenai peradilan khusus untuk anak-anak yang berhadapan atau bermasalah dengan hukum (children in conflict with law) (Joni & Zulchaina, 1999). Khusus mengenai hak anak untuk memperoleh bantuan hukum, terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “apabila seorang anak dirampas kebebasanya berhak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku”. Selain itu, dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak disebutkan bahwa “setiap anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Ketentuan pasal tersebut menisyratkan hak anak untuk untuk mendapat bantuan hukum dalam menjalani setiap tingkatan proses beracara diperadilan (Wagiati, 2006). Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, yaitu bersifat labil, mudah terpengaruh, cenderung bersikap meniru terhadap lingkungan sekitar (Wahyono, 2011). Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam mengahadapi masalah anak nakal orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan dan pengembangan perilaku anak tersebut. Menurut data yang diperoleh dari hasil sebuah penelitian di Kota Makassar jumlah anak yang bersentuhan dengan permasalahan hukum, khususnya sebagai tersangka tindak pidana dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada Tahun 2009 total jumlah kasus yang diproses sebanyak 23 kasus dan melibatkan 28 orang anak, Tahun 2010 jumlah kasus yang diproses sebanyak 26 kasus dengan melibatkan 31 orang anak, dan pada Tahun 2011 total jumlah kasus sebanyak 34 dan melibatkan 41 orang anak (Jabbar, 2012). Sedangkan pada data lain yang penulis peroleh dari sebuah hasil penelitian di POLRESTABES Makassar pada Tahun 2010, menyebutkan bahwa dari total 15 jumlah anak sebagai sampel yang diproses sebagai pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan, hanya 4 orang yang mendapat pendampingan dari penasihat hukum. Melihat uraian diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui implementasi Bantuan Hukum terhadap Anak sebagai pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Kota Makassar.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis data, yaitu: data primer dan data sekunder. Data Primer; yaitu sejumlah data yang berupa keterangan atau fakta yang secara langsung diperoleh penulis dalam mengadakan penelitian di lapangan. Data Sekunder; yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu bahan dokumentasi atau bahan yang tertulis berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, laporan-laporan, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data ini dilakukan dengan tiga macam metode, yaitu metode interview, observasi, dan dokumenter. Berdasarkan tiga metode tersebut diharapkan dapat merekam data sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun interview ini dimaksudkan untuk pengumpulan data berbentuk wawancara berupa tanya jawab secara lisan antara peneliti (interview) dengan beberapa nara sumber (informan) yang dikerjakan secara sistematik berdasarkan pada tujuan penelitian. Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan terhadap gejala objek yang diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis akan melaksanakan observasi dengan maksud agar dapat mendekati dan mengetahui permasalahan yang sebenarnya kepada objek atau sasaran. Metode dokumenter adalah suatu metode penelitian yang menggunakan dokumen sebagai sumber datanya, dalam metode ini
sumber informasinya berupa bahan–bahan tertulis atau tercatat. Dengan demikian peneliti langsung mengambil data yang ada sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian. Sedangkan pengertian dokumen itu sendiri adalah laporan tertulis dari suatu peristiwa yang isinya terdiri atas penjelasan dan pemikiran atas peristiwa dan atau ditulis dengan sengaja untuk menyimpan atau meneruskan keterangan mengenai suatu peristiwa. Populasi dan Sampel Populasi dalam rencana penelitian ini adalah (1). Seluruh Polisi di POLRESTABES Makassar yang terlibat dalam peyelidikan tindak pidana anak. (2) Seluruh Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar yang terlibat dalam penuntutan anak. (3) Seluruh Hakim dalam Pengadilan Negeri Makassar yang terlibat dalam sidang anak. (4) Seluruh advokat di kantor advokat atau di Lembaga Bantuan Hukum. (5) Seluruh tersangka, terdakwa dan Napi Anak di POLRESTABES dan Pengadilan Negeri Makassar. (6) Seluruh pihak-pihak yang berkompeten dalam Rumah Tahanan Negara. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Penyidik Anak pada unit PPA di Polrestabes Makassar sekurang-kurangnya lima (2) orang anggota penyidik. (2). Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar yang bertindak sebagai penuntut umum pada sidang anak, sekurang-kurangnya tiga (2) orang. (3) Hakim di Pengadilan Negeri Makassar yang menangani perkara anak, sekurangkurangnya tiga (4) orang. (5) Aparat atau pihak-pihak yang berkompeten dalam Lapas baik Kepala Lapas maupun yang yang bertindak sebagai Pembimbing Kemasyarakatan. (6) Advokat atau yang bertindak sebagai penasihat hukum kepada anak sebagai tersangka, sekurangkurangnya tiga (3) Advokat. (7) Pihak-pihak yang konsen dalam perlindungan anak, sekurangkurangnya tiga (2) Orang. (8) Beberapa Anak, baik dalam kapasistasnya sebagai tersangka maupun terdakwa. Adapun target, peneliti berusaha menemukan masing-masing sepuluh (10) sampel atau sekurang-kurangnya lima (5) Anak. Teknik Analisis Data Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan deskriptif. Data yang berhasil diperoleh dalam penelitian, baik berupa data primer maupun data sekunder diolah dan disusun secara sistematis serta dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif dan selanjutnya disajikan secara deskriptif.
HASIL Bantuan hukum menurut KUHAP dibedakan berdasarkan tiga tahap proses pemeriksaan yaitu: (1) Bantuan hukum pada tahap penyidikan. (2) Bantuan hukum pada tahap penuntutan. (3) Bantuan hukum pada proses pemeriksaan perkara (sidang) di pengadilan. Pada table 1 memperlihatkan keadaan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan hasil penelusuran buku pencatatan laporan yang masuk oleh penyidik di Polrestabes Makassar, khususnya laporan Unit PPA Polrestabes Makassar, terdapat 451 Kasus Anak sejak Tahun 2103 sampai dengan Bulan Maret Tahun 2014. Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, seorang anak yang terlibat dalam pidana anak akan menjalani proses pemeriksaan awal dikepolisian oleh penyidik, kemudian diteruskan ke Jaksa Penuntut Umum dan selanjutnya pemeriksaan persidangan oleh Hakim dari Pengadilan. Polisi, Jaksa, Hakim yang menangani pidana anak tersebut adalah Polisi, Jaksa, dan Hakim anak. Hakim anak yang bertugas dipengadilan tingkat pertama, tingkat banding dan kasasi, adalah hakim yang telah mendapat surat keputusan dari ketua Mahkamah Agung sebagai hakim anak, diisyaratkan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak yang meliputi pembinaan, pertumbuhan, anak dan tata nilai dalam masyarakat. Pada table 2 memperlihatkan bahwa dari total 20 jumlah anak sebagai sampel yang diproses sebagai pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan, hanya 2 orang yang mendapat pendampingan dari penasihat hukum, dengan latar belakang, alasan dan motivasi yang berbeda antara keduanya, yaitu dalam penyidikan menggunakan penasihat hukum karena orang tua melapor ke LBH dan meminta bantuan pengacara, sedangkan pada sampel yang lain menggunakan penasihat hukum karena memilki keluarga yang berfrofesi sebagai Advokat. Terhadap ke-18 anak yang tidak mendapat penasihat hukum, dalam wawancara tersebut juga terungkap alasan dan motivasi yang beragam antara satu sampel dengan sampel lainnya. Pada table 3 memperlihatkan bahwa terdapat lima (5) alasan dan motifasi yang menonjol, dan diantara kelima alasan terdapat satu (1) alasan yang dominan yaitu sengaja tidak menggunakan penasihat hukum dengan pertimbangan bahwa proses peradilan nantinya yang dijalani oleh para tersangka akan menjadi rumit dan berbelit-belit, ditambahkan lagi bahwa
menurut “AG, AD dan RD saat penulis menanyakan bahwa apakah yang bersangkutan mendapat penjelasan mengenai hak-haknya pada saat sebelum dimulainya penyidikan, menurut mereka penyidik tidak menjelaskan apa-apa, penyidik hanya sekedar menanyakan apakah tersangka memiliki pengacara, bahkan menurut pengakuan ke-10 sampel penyidikan justru menyarankan untuk tidak menggunakan penasihat hukum, dikarenakan menurutnya sambil meniru perkataan penyidik “repot ki kalo pake Pengacara itu, apa lagi lama ki nanti di tahan, lama ki juga disidang”. Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku tindak Pidana Pada Tahap Penuntutan Menurut proses peradilan pidana, tahapan setelah penyidikan yaitu tahapan penuntutan. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan. Pada table 4 memperliahatkan bahwa data pada Lembaga Bantuan Hukum Makassar yang merupakan salah satu lembaga yang menyediakan bantuan hukum gratis bagi tersangka yang tidak mampu mengalami penurunan jumlah. Dibanding dalam tahapan penyidikan maupun pemeriksaan didepan persidangan, dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya persentase jumlah tersangka yang mendapatkan pendampingan oleh penasihat hukum di tingkat penuntuttan terbilang sangat kecil.
PEMBAHASAN Pada penelitian ini terlihat bahwa Implementasi Bantuan Hukum terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Kota Makassar terdiri atas tiga tahapan, yaitu implementasi pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap pemeriksaan di depan persidangan, namun dalam semua tahapan tersebut belum berjalan maksimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hal ini dapat dilihat dari minimnya jumlah Anak yang mendapat pendampingan oleh Penasihat Hukum, sementara itu setelah berlakunya UU No 11 Tahun 2012 tentang SPPA masih ditemukan pendampingan yang terkesan bersifat formalitas belaka, terutama dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Pola pemberian bantuan hukum merupakan suatu hak seseorang sebagai pelaku tindak pidana baik sebagai tersangka, maupun terdakwa, dalam hal sebagai tersangka sebelum penyidik mulai melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka maka wajib diberitahukan hak-
haknya, bahwa yang bersangkutan berhak mendapat bantuan hukum dan didampingi oleh penasehat hukum dalam pemeriksaannya (Marlina, 2009). Yang dimaksud dengan mendapat bantuan hukum adalah sebelum tersangka diperiksa penyidik, tersangka dapat terlebih dahulu berkonsultasi dengan penasehat hukumnya. Batuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan Dari rumusan Pasal 114 KUHAP sangat jelas mengatur bahwa penyidik berkewajiban sebelum pemeriksaan dimulai, wajib memberitahukan bahwa tersangka berhak mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum atau advokat, dan memberitahukan bahwa perkara yang dihadapinya mengharuskan dirinya dalam pemeriksaan didampingi penasehat hukum atau advokat. Khusus mengenai hak anak untuk memperoleh bantuan hukum, terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa apabila seorang anak dirampas kebebasanya berhak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku”. Selain itu, dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak disebutkan bahwa “setiap anak sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: (1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja. (2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. (3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. (4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. (5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat antara satu dan lainya, oleh karena itu disamping merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Efektivitas dari sebuah peraturan perundang-undangan bergantung pada beberapa faktor, antara lain: (1) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan, (2) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. (3) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya. (4) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan. (5) Instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undangundang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya (Ali, 2012). Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila terjadi ketidakserasian antara “tritunggal” yaitu nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang tumpang tindih antara satu kaidak terhadap kaidah yang lain, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan. Sedangkan dalam teori kesadaran hukum (Legal awareness) Menurut RM. Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu, sekaligus juga menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau perbuat dalam menegakkan hukum atau apa yang sebaiknya dilakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum (Ali, 2002). Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), membagi kesadaran hukum menjadi dua macam yakni kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum‟ dan kesadaran hukum negatif, identik dengan „ketidaktaatan‟. Mengenai kesadaran hukum, Ewick dan Silbey berpendapat bahwa: (kesadaran hukum, adalah istilah yang digunakan para ilmuwan untuk merujuk pada cara-cara orang memahami lembaga-lembaga hukum dan hukum, yaitu pemahaman yang memberi makna pada pengalaman orang-orang dan tindakan).
Kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas kesadaran hukum, ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Begitu pentingnya kesadaran hukum di dalam memperbaiki sistem hukum, maka tak heran dari tokoh-tokoh
mazhab sejarah seperti Krabbe dan Kranenburg bersikukuh mengatakan bahwa kesadaran hukum merupakan satu-satunya sumber hukum. Paul Scholten sebagai eksponen teori tentang kesadaran hukum atau yang dalam Bahasa Belanda disebut Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn secara tegas menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum. Selengkapnya Paul Scholten mengatakan: (Pandangan Scholten di atas pada intinya menjelaskan kepada kita bahwa istilah kesadaran hukum, tidak dipandangnya sebagai penilaian hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang hidup pada manusia mengenai apa yang hukum, atau apa yang seharusnya hukum. Kesadaran hukum masuk kategori tertentu dari kehidupan kejiwaan, yang menyebabkan kita dengan evidensi melepaskan diri dari lembaga-lembaga hukum positif, dalam membedakan antara hukum dan bukan hukum, seperti kita membedakan antara benar dan tidak benar, baik dan buruk, cantik dan jelek).
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Implementasi Bantuan Hukum terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Kota Makassar terdiri atas tiga tahapan, yaitu implementasi pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap pemeriksaan di depan persidangan, namun dalam semua tahapan tersebut belum berjalan maksimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hal ini dapat dilihat dari minimnya jumlah Anak yang mendapat pendampingan oleh Penasihat Hukum, sementara itu setelah berlakunya UU No 11 Tahun 2012 tentang SPPA masih ditemukan pendampingan yang terkesan bersifat formalitas belaka, terutama dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Diharapkan bagi pemerintah melalui institusi terkait, baik Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk dapat berperan lebih maksimal dalam mensosialisasikan program bantuan hukum kepada masyarakat, sehingga lebih banyak tersangka ataupun terdakwa pada khususnya yang mengetahui mekanisme, manfaat dan tujuan dari program bantuan hukum.
DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad. (2002). Menguak tabir hukum sebuah kajian filosofis dan sosiologis, Cetakan Kedua, PT.Toko Gunung Agung tbk, Jakarta. Ali Achmad. (2012). Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Joni M. & Zulchaina. (1999). Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Persepektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Jabbar Asdar. (2012). Perlindungan Hukum terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana. (Tesis) Makassar: Universitas Hasanuddin. Marlina. (2009). Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT Refika Aditama, Bandung. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Wagiati Soetadjo. (2006). Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung. Wahyono Agung. (2011). Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.
Tabel 1.
Data Jumlah Anak yang berkonflik dengan Hukum Polrestabes Makassar, Tahun 2013-2014 (Per Bulan Maret 2014) Jenis Kasus
Pencurian Perbuatan cabul/pelecahan Senjata tajam Perkosaan Narkoba Laka lantas Perjudian Penganiayaan Pencurian dengan kekerasan Pengancaman Membawa lari anak perempuan Pengrusakan/pembakaran rumah Penggelapan/Penipuan Pembunuhan Lain-lain Jumlah Sumber: Polrestabes Makassar, setelah diolah.
Tahun 2013
2014
125 31 22 16 19 9 9 4 4 1 3 1 2 246
100 12 33 12 17 10 5 5 4 1 1 2 2 1 205
Keterangan: Lain-lain (Memiliki, Menyebarkan Konten Pornografi, dan Pecemaran nama baik melalui internet).
Tabel 2.
Jumlah Anak yang didampingi Penasihat Hukum dalam tahap penyidikan Tahun 2013-2014 di Polrestabes Makassar
No. Status 1. Mendapatkan Bantuan Hukum 2. Tidak Mendapatkan Bantuan hukum
Jumlah 2 18
JUMLAH 20 Sumber: Hasil Wawancara Tanggal 18 Maret 2014 setelah diolah,
Persentase 20 % 80 % 100%
Tabel 3. Alasan dan Motivasi Anak yang tidak didampingi Penasihat Hukum Tahun 2013-2014 di Polrestabes Makassar No.
Alasan
Jumlah
1.
Tidak memerlukan pengacara Tidak mengetahui prosedur untuk mendapatkan bantuan 2 hukum 3 Tidak memilki uang 5 Akan mengalami proses peradilan yang rumit JUMLAH TOTAL Sumber: Hasil Wawancara Tanggal 22 Oktober 2014 setelah diolah.
1 3 4 10 18
Tabel 4. Pemberian Bantuan Hukum Terhadap anak sebagai Tersangka Oleh LBH Makassar Tahun 2013-2014 Tahapan Proses Hukum
2013
Penyidikan 2 Penuntutan 1 Sidang Tingkat I 5 Total 8 Sumber: LBH Makassar Tahun 2013-2014, Setelah diolah.
2014 2 5 7