SISTEM PERADILAN PIDANA YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN) JURNAL ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh : DINI WAHYUNI N HARAHAP NIM : 100200235 Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
SISTEM PERADILAN PIDANA YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN) JURNAL ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh : DINI WAHYUNI N HARAHAP NIM : 100200235 Departemen Hukum Pidana
Mengetahui Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH,MH NIP. 195703261986011001
Editor
Dr. Mohammad Eka Putra, SH,M.Hum NIP. 197110051998011001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
Abstrak Dini Wahyuni N. Harahap* 1 Dr. Mohammad Eka Putra, SH, M.Hum** Dr. Marlina, SH, M.Hum***
Anak sangat mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya sehingga perbuatan salah yang dilakukan oleh anak tanpa adanya pengarahan dan bimbingan yang benar dapat menjadi juvenille delinquence yang pada akhirnya membuat anak masuk dalam sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana untuk anak dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak walaupun dalam Undang-undang Pengadilan anak telah tersirat bahwa pidana penjara diupayakan sebagai last resort namun masih belum secara detail mengatur kepentingan anak dan tetap memungkinkan anak menempuh jalur sistem peradilan. Undang-undang Sistem peradilan pidana anak yang telah dirumuskan saat ini mengatur bagaimana proses penanganan khusus untuk anak dalam setiap tahapan peradilan, mewajibkan diversi dalam setiap tahap peradilan dan memungkinkan terlaksananya restorative justice. Sistem peradilan edukatif yang dimaksud adalah pemberian tindakan khusus yang memperhatikan kepentingan anak dalam setiap tahap peradilan dengan Integrated Criminal Justice Administrasion, sejalan dengan itu permasalahan yang muncul adalah bagaimana proses penanganan yang edukatif dalam setiap tahap peradilan pidana anak, bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak, apa saja hambatan dan upaya mengatasinya dalam menerapkan sistem peradilan pidana anak. Metode yang digunakan adalah desktiptif analitis dengan metode pengumpulan data Library Research dan Field research, data diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses penanganan anak di kabupaten simalungun masih belum mencapai tujuan dari perlindungan anak, ditunjukkan dengan tidak menurunnya laporan pengaduan tindak pidana anak di Kepolisian Kabupaten Simalungun, dan meningkatnya perkara anak yang masuk ke Pengadilan Negeri Simalungun. Kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah sistem peradilan pidana anak wajib memperhatikan kepentingan anak disetiap tahap peradilan yaitu prajudikasi, judikasi, dan pasca judikasi. Penerapan konsep diversi juga telah diwajibkan dalam setiap tahap peradilan sehingga kesempatan terlaksananya restorative justice semakin terbuka lebar. Hambatan yang muncul adalah dari segi penerapan peraturan, aparat penegak hukum yang belum memadai dan minimnya kepedulian masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah dengan mengadakan sosialisasi peraturan dan mengadakan Public awareness. Kata Kunci : Sistem peradilan pidana, pidana edukatif, anak pelaku tindak pidana * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
A.
PENDAHULUAN Anak sebagai unsur penting kehidupan masa depan memerlukan pembinaan
dan bimbingan khusus agar dapat berkembang baik fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal, perkembangan tersebut terjadi di lingkungan anak. Lingkungan
adalah
hal
yang
penting
untuk
diperhatikan
dalam
perkembangan anak karena pada dasarnya tempat anak mempelajari hal-hal baru dalam pertumbuhannya adalah di lingkungan, termasuk hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak. Anne Astasi mantan presiden American Psychological Associaton mengemukakan bahwa pengaruh keturunan kepada tingkah laku tidak terjadi secara langsung, pengaruh keturunan selalu membutuhkan perantara atau perangsang yang terdapat dalam lingkungan, dan faktor lingkungan menjadi sumber dari berkembangnya setiap tingkah laku. 2 Anak yang masih dalam pencarian jati diri mempunyai mental yang sangat mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya, sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut buruk dapat berpengaruh pada tindakan yang buruk juga. Kesalahan anak yang ringan dapat berkembang menjadi kenakalan anak yang apabila dibiarkan tanpa adanya pengawasan dan pembinaan yang tepat, serta terpadu oleh semua pihak maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan kriminalitas, menjadikan anak sebagai pelaku tindak pidana. 3 Perbuatan atau tingkah laku anak yang menyalahi hukum disebut Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), Peter Salim mengartikan juvenile delinquency
2
Singgih, yulia, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,PT. BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2008, hlm. 19 3 Wagiati, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 16
1
adalah kenakalan anak remaja yang melanggar hukum, berprilaku anti sosial, melawan orang tua, berbuat jahat, sehingga sampai diambil tindakan hukum. 4 Indonesia telah membuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu dapat dilihat dari diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah ada antara lain, UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak pelaku tindak pidana tidaklah sama dengan orang dewasa sebagai pelaku tindak pidana, ketentuan hukum mengenai anak-anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, baik pembedaan perlakuan di dalam hukum acara maupun ancaman pidananya. Penerapan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak demi masa depannya yang masih panjang, dan pembedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana anak dengan dewasa juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik yang berguna bagi diri, keluarga , masyarakat, dan Negara. 5 Data dari Direktorat jenderal Pemasyarakatan tentang Kondisi Anak Pelaku Tindak Pidana saat ini antara lain sebagai berikut: 6 4
Peter Salim, Salim Ninth Collegiate English Indonesia Dictionary, cet 3, Modern English Press, Yogyakarta, 1987, hlm. 321. 5 Wagiati, Op.cit,hlm. 29 6 Apong, Penanganan Anak yang bermasalah dengan hukum, 2012, http://www.situslama.kemenkeu.go.id/ind/others/bakohumas/bakomaspemberwanita_anak/ABH% 20HARUS%20BAGAIMANA.ppt, di akses pada tanggal 12/02/2014
2
1. 2.
3.
4.
Lebih dari 7.000 anak sebagai pelaku tindak pidana masuk proses peradilan setiap tahun Bulan Juli 2010 terdapat 6.273 anak yang berada di Tahanan dan lapas di seluruh Indonesia, terdiri dari 3.076 anak dengan status tahanan, 3.197 Narapidana dan 56 Anak negara . Dari 6.273 anak tersebut diatas , 2.357anak ditempatkan di Lapas Anak, sedangkan sisanya sebanyak 3.916 anak ditempatkan di Lapas Dewasa . 5 (lima) Jenis tindak pidana yang paling dominan dilakukan anak yaitu : Pencurian , Narkotika Susila ,dan penganiayaan dan pengeroyokan
Peradilan anak ada hakikatnya diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap juga perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah dilakukannya. 7 Keadaan dimana anak adalah generasi penerus yang diharapkan kelak dan kemungkinan masih dapat
dibimbing
lagi karena masih dalam tahap
perkembangan, maka patutlah untuk seterusnya negara mengubah paradigma dalam penangan anak berhadapan dengan hukum atau anak pelaku tindak pidana. Komite Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sejalan dengan itu telah membahas revisi UU Pengadilan anak dengan substansi penting : 8 1. Penyelesaian perkara anak dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif 2. Dalam penyelesaian perkara anak dimungkinkan adanya proses pengalihan dari proses formal (diversi ) 3. Perampasan kemerdekaan sebagai upaya terakhir. Substansi dan hal penting tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diharapkan akan
mewujudkan
sistem
peradilan
yang
lebih
spesifik
dan
sebagai
penyempurnaan dan penanggulangan hambatan- hambatan yang dirasakan pada
7
Maidin Perlindungan Hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak diindonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.77 8 Ibid
3
peraturan sebelumnya dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Hal-hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, diantaranya definisi anak, lembagalembaga anak, asas-asas, sanksi pidana, ketentuan pidana. Pelaksanaan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana berada dalam satu sistem yang terdiri dari subsistem yang saling berhubungan yang disebut dengan peradilan pidana atau dalam bahasa inggris criminal justice system.
9
Istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system (CJS) menurut davies menggambarkan the world system converts an impression of a complect to end, artinya kata sistem menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang kompleks terdiri dari bagian-bagian dan sub-sub bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan satu sama lain dan berjalan sampai akhir. Berdasarkan pengertian tersebut jelas bahwa tujuan CJS terwujud apabila keempat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan bekerjasama secara terpadu (integrated Criminal Justice Administrasion). 10 Sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut bekerjasama dalam menegakkan keadilan.
Tahapan dalam proses peradilan
pidana yaitu tahap prajudikasi (sebelum sidang peradilan), meliputi penyidikan dan penyelidikan, judikasi (selama sidang peradilan) meliputi pemeriksaan dan pembuktian tuntutan pihak jaksa dan pascajudikasi (setelah sidang peradilan) meliputi pelaksanaan keputusan yang telah ditetapkan dalam persidangan seperti penempatan terpidana kedalam lembaga pemasyarakatan. Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku, hal ini perlu mengingat bahwa anak adalah bagian dari masyarakat yang 9
Marlina. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan restorative justice, Refika Aditama, Medan, 2009, hlm 5 10 Ibid, hlm.7
4
mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya oleh karenanya anak memerlukan perlindungan dan perawatan khusus. 11 Perlindungan hukum tersebut tidak terkecuali bagi anak yang melakukan tindak pidana, dalam sistem hukum khususnya peradilan pidana anak juga telah menjadi perhatian penting dengan adanya sistem yang edukatif atau mendidik khusus untuk anak, perkembangan sistem yang edukatif ini tak terlepas dari konsep diversi dan restorative justice. Konsep diversi dan restorative tersebut merupakan hal baru di Indonesia, awalnya konsep diversi muncul dalam wacana-wacana seminar yang sering diadakan. Berawal dari pengertian dan pemahaman tentang konsep itu menumbuhkan semangat dan keinginan untuk mengkaji konsep tersebut, selanjutnya secara intern kelembagaan yang terlibat dalam sistem peradilan pidana anak tersebut masing-masing membicarakan kembali tentang konsep tersebut dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. 12 Sistem pemidanaan yang bersifat mendidik (edukatif), tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara, memungkinkan dapat tercapainya tujuan dari pembuatan peraturan yang mengatur tentang anak tersebut. 13 Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua / wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau dianutnya. 14
11
Ibid, hlm.42 Marlina, Op.cit 13 Novie amalia, Op.cit 14 Ibid 12
5
B.
PERMASALAHAN
1.
Bagaimana proses penanganan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap prajudikasi, judikasi, dan pasca judikasi?
2.
Bagaimana konsep diversi dan restorative justice pada sistem peradilan pidana anak?
3.
Apa hambatan yang ada dalam mewujudkan sistem peradilan anak yang edukatif, dan bagaimana upaya mengatasi hambatan tersebut?
C.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif 15. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis karena penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas, rinci dan sistematis, sedangkan dikatakan Analitis karena data yang diperoleh akan dianalisis untuk pemecahan terhadap permasalahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Adapun jenis data penelitian ini bersumber dari data sekunder yang meliputi: a.
Bahan Hukum Primer Penelitian ini menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian tentang sistem peradilan pidana anak yang edukatif ini yaitu Undang-undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997, dan UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
15
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, , Bayu media, Surabaya , 2008, hlm. 295
6
b.
Bahan Hukum Sekunder Penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti, khususnya tentang peradilan yang edukatif.
c.
Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo, serta saran ajar tentang penulisan karya ilmiah. Metode Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Penelitian Kepustakaan (Library Research) Pengumpulan data dari literatur-literatur, karya
ilmiah peraturan
perundang-undangan, pendapat-pendapat sarjana b.
Penelitian Lapangan (Field research) Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer, data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide). Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Penelitian ini dianalisis dengan secara kualitatif, dan dikemukakan dalam
bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dengan memperhatikan fakta-fakta dalam pengaplikasiannya di lapangan yang kemudian dibandingkan dengan teori dalam studi kepustakaan, sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, metode analisa data yang digunakan adalah Normatif Kualitatif.
7
D.
HASIL PENELITIAN
1.
PROSES PENANGANAN YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Proses Peradilan Pidana Anak Tahap Prajudikasi Tahap penyidikan dan penyelidikan Penyidikan dan penyelidikan anak pelaku tindak pidana yang berlaku saat ini menurut UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
A. 1. a.
Undang- undang pengadilan anak menetukan bahwa penyelidik dan penyidik yang melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap anak adalah penyelidik dan penyidik khusus anak, dengan demikian penyelidik dan penyidik anak mempunyai tugas khusus menangani anak. Hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara Pengadilan Anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini, namun dalam melaksanakan kewajibannya sebagai penyidik anak, ada beberapa hal yang penting sebagai berikut: 1)
Penanganan proses penyidikan perkara anak nakal wajib dirahasiakan, hal ini dipertegas UU Pengadilan anak. 16
2)
Penyidik wajib memeriksa tersangka anak dalam suasana kekeluargaan, secara autentik dijelaskan suasana kekeluargaan antara lain pada waktu memeriksa tersangka penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif dan simpatik.
3)
Penyidik wajib meminta pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan
16 17
Nashriana, Op.cit, hlm. 118 Pasal 42 ayat 2(dua) UU Pengadilan Anak
8
17
4)
Penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa berkasnya dipisah. Anak diajukan ke sidang anak sementara orang dewasa diajukan ke sidang orang dewasa.
5)
Pemberkasan perkara oleh penyidik anak berdasarkan ketentuan KUHAP, karena dalam pasal 41 dan pasal 42 UU Pengadilan Anak, tidak menngatur sedikitpun tentang pemberkasan perkara anak. artinya pemberkasan perkara anak dikembalikan kepada ketentuan KUHAP, penyidik diperintahkan membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan tindakan dalam rangka penyelidikan : a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k)
b.
Pemeriksaan tersangka Penangkapan Penahanan Penggeledahan Pemasukan rumah Penyitaaan surat Pemeriksaan surat Pemeriksaan saksi Pemeriksaan di tempat kejadian Pelaksanaan penetapan dari putusan hakim Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan KUHAP
Proses penyidikan dan penyelidikan anak pelaku tindak pidana menurut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Undang- undang 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
disebutkan bahwa Ketentuan beracara dalam hukum acara pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang ini. 18 Proses penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan kepala kepolisian negara republik 18
Pasal 16 Undang-undang 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
9
indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kepala kepolisian negara republik indonesia, dengan persyaratan : 19 1) Telah berpengalaman sebagai penyidik 2) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalh anak 3) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. 2. a.
Tahap Penangkapan dan Penahanan Penangkapan dan penahanan anak pelaku tindak pidana yang berlaku saat ini menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Awal proses suatu perkara pidana dimulai dengan tindakan penangkapan terhadap seorang yang diduga melakukan tindak pidana. Penangkapan tersebut untuk kepentingan penyelidikan atau kepentingan penyidikan. Penangkapan terhadap anak nakal ternyata dalam Undang-undang Pengadilan anak tidak mengatur secara tersendiri, oleh karena itu penangkapan berlaku ketentuan KUHAP. 20 Hukum acara pidana mengatur wewenang polisi dalam melakukan
penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya di atur dalam petunjuk pelaksanaan (juglak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Penahanan anak merupakan pengakangan fisik sementara terhadap seorang anak berdasarkan putusan pengadilan selama anak dalam proses peradilan pidana. 21 Pasal 45 ayat (1) UU Pengadilan Anak merumuskan bahwa penahanan terhadap
anak
dapat
dilakukan
setelah
dengan
sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan / atau kepentingan masyarakat. Anak yang terpaksa ditahan dalam proses peradilannya maka anak dapat dititipkan pada lembaga atau agen sosial dengan fasilitas yang memisahkan anak dengan orang dewasa, bila lembaga atau agen sosial yang dimaksudkan tidak ada maka anak dapat ditempatkan dirumah tahanan dengan fasilitas yang terpisah dengan orang dewasa. 22
19
Pasal 26 ayat 3, Ibid Nashriana, op.cit. hlm. 125 21 Marlina, Op.cit. hlm. 96 22 Butir 13 Angka 2 The Beijing Rules 20
10
b.
Penangkapan dan penahanan anak pelaku tindak pidana menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sitem Peradilan Pidana Anak
pasal 32 ayat (1) di sebutkan bahwa Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Ayat
2 (dua) menentukan syarat penahan terhadap anak, Penahanan
terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a.
Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b.
diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
3. a.
Tahap Penuntutan Penuntutan anak pelaku tindak pidana yang berlaku saat ini menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang Pengadilan Anak menghendaki agar setiap kejaksaan negeri
memiliki penuntut umum anak untuk menangani perkara anak nakal. Kantor kejaksaan negeri yang tidak mempunyai jaksa penuntut umum anak karena alasan tertentu maka menurut pasal 53 ayat (3) UU Pengadilan Anak penuntutan perkara anak nakal dibebankan kepada penuntutan umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa b.
Penuntutan anak pelaku tindak pidana menurut undang-undang no. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak Penuntutan menurut pasal 1 butir 7 KUHAP adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
11
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntutan terhadap perkara anak dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan berdasarkan keputusan jaksa agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh jaksa agung. 23 Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak juga menentukan persyaratan bagi penuntut umum yaitu : a.
Telah berpengalaman sebagai penuntut umum
b.
Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak
c.
Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak Penuntut umum yang dimaksud apabila belum terdapat yang memenuhi syarat tersebut maka dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan terhadap orang dewasa. Penuntut umum diwajibkan untuk melakukan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik, dan dilaksanakan paling lama 30 (hari). 24
B. 1.
Proses Peradilan Pidana Anak Tahap Judikasi Pemeriksaan perkara anak dalam sidang pengadilan yang berlaku saat ini menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Hakim Penuntut umum dan Penasihat Hukum tidak memakai toga, juga panitera yang bertugas membantu hakim juga tidak memakai jas, dimaksudkan agar dalam persidangan tidak menimbulkan kesan menakutkan atau menyeramkan kepada anak yang diperiksa, juga agar dengan pakaian biasa dapat menjadikan persidangan berjalan lancar penuh kekeluargaan. 25 Perkara anak yang disidangkan dengan hakim tunggal adalah perkaraperkara pidana yang ancaman hukumannya lima tahun kebawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit. Tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara diatas lima tahun dan pembuktiannya sulit maka 23
Pasal 41 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana Ibid, Pasal 41 ayat 3 25 Nahsriana, Op.cit, hlm140 24
12
berdasarkan pasal 11 Undang-undang Pengadilan Anak perkara tersebut di periksa dengan hakim majelis. 26 Sidang anak prinsip dasarnya adalah hakim tunggal kemudian dalam hal tertentu dan dipandang perlu dilakukan dengan hakim majelis, sebaliknya dalam ketentuan Undang-undang No. 35 tahun 1999 mempergunakan ‘hakim majelis’ dan apabila diperlukan dilakukan dengan ‘hakim tunggal’. Sesuai dengan pasal 56 UU Pengadilan anak, sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan kepada pembimbing kemasyarakatan agar menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyaraktan (LitMas) mengenai anak yang bersangkutan. Adapun laporan hasil penelitian kemasyarakatan sekurangkurangnya memuat hal –hal sebagai berikut : 27 a. Data individu anak dan data keluarga anak yang bersangkutan b. Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan yang membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan. 2.
Pemeriksaan perkara anak dalam sidang pengadilan menurut Undangundang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
telah mengatur lamanya waktu proses pengadilan anak sebagai pengganti peraturan sebelumnya, yaitu dalam pasal 36 ayat 1 (satu) dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, hakim dapat melakukan penahan paling lama 10 (sepuluh) hari, dan atas permintaan hakim dapat di perpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari, sehingga jangka waktu penahan menjadi lebih singkat dari sebelumnya yakni 25 (dua puluh lima) hari. Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara anak dilakukan oleh hakim yang ditetapkan berdasarkan keputusan ketua mahkamah agung atau 26 27
Ibid, hlm 141 Nashriana, Ibid. Hlm 144
13
pejabat lainnya yang ditunjuk oleh ketua mahkamah agung atas usul ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi.
28
Hakim yang memeriksa perkara anak baik ditingkat pertama, hakim banding, dan hakim kasasi berlaku syarat : a.
Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum
b.
Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak
c.
Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak Pemeriksaan perkara pidana anak di sidang pengadilan, hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai hakim, dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari, yang dilakukan di ruangan mediasi pengadilan negeri, apabila mencapai kesepakatan hakim menyampaikan berita acara diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan, dalam hal tidak berhasil akan dilanjutkan ke persidangan. 29 Sidang pemeriksaan perkara anak dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan, dalam sidang anak wajib didampingi baik orangtua/ wali, advokat atau memberi bantuan hukum lainnya, apabila tidak maka sidang anak batal demi hukum. Setelah pembacaan surat dakwaan, hakim memerintahkan pembimbing kemasyarakatan membacakan hasil laporan penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan tanpa kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain. 30
C. 1.
Proses peradilan pidana anak pasca judikasi Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana yang berlaku saat ini menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
a.
Ancaman pidana dalam undang-undang pengadilan anak ada dua hal, yaitu:
1)
Pidana pokok dan Pidana tambahan (Pasal 23 ayat 1 UUNo.3/1997) a)
Pidana pokok meliputi : pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pengawasan (Pasal 23 ayat 2)
28
Pasal 43 ayat 1 Undang-undang No. 11 tahn 2012 tentang sistem peradilan pidana anak Ibid, pasal 52 30 Ibid, pasal 57 ayat 1 dan 2 29
14
b) Pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi (Pasal 23 ayat 3) c)
Pidana Denda (Pasal 28 UU No. 3/ 1997)
b. Tindakan yang tercantum dalam Undang-undang Pengadilan Anak menurut Pasal 24 ayat 1 UU No. 3/ 1997 : a) Dikembalikan kepada orangtua / wali b) Diserahkan kepada Negara untuk dididik c) Diserahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. c.
Pemidanaan di dalam Undang-undang Pengadilan anak, ada empat hal : 31 1) Pemenjaraan atau pidana kurungan maksimum setengah dari pidana pokok bagi orang dewasa. 2) Ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup dikonversi menjadi pidana penjara maksimum 10 tahun. 3) Ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup bagi anak yang umurnya belum 12 tahun dikonversi menjadi penyerahan anak kepada negara 4) Pidana denda maksimum setengah dari denda untuk orang dewasa.
2.
Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana menurut undangundang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak Beberapa pasal dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem
peradilan anak yang berkaitan dengan ancaman pidana terhadap anak: a.
Pidana Pokok bagi anak terdiri atas: 1) Pidana peringatan 32 2) Pidana dengan syarat ;33 31
Pasal 26, 27 UU No. 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak ( Pasal 72 UU 11 Tahun 2012) 32
15
b.
Pidana dengan syarat terbagi atas:
1)
Pembinaan diluar lembaga,
2)
Pelayanan masyarakat
3)
Pengawasan
4)
Pelatihan kerja
5)
Pembinaan dalam lembaga
6)
Penjara c. Pidana tambahan terdiri atas: 1.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
2.
pemenuhan kewajiban adat.
d. Pidana tindakan Pidana tindakan yang dapat diberikan meliputi 34: a. pengembalian kepada orang tua/Wali; b. penyerahan kepada seseorang, tindakan penyerahan Anak kepada seseorang dilakukan untuk kepentingan Anak yang bersangkutan. c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di LPKS, tindakan perawatan terhadap Anak dimaksudkan untuk membantu orang tua/Wali dalam mendidik dan memberikan pembimbingan kepada Anak yang bersangkutan. e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana.
33 34
Pasal 73 UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Pasal 82 UU 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
16
2.
KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE PADA PERADILAN PIDANA ANAK
a.
Konsep Diversi Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau
menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. 35 Diversi adalah satu bentuk pembelokan atau penyimpangan penanganan anak pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional seperti dinyatakan dalam Commentary Rule 11 Resolusi PBB 40/33, UN Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice. Dilakukannya Diversi sendiri adalah bertujuan untuk : 1. Menghindari penahanan Anak – anak diharapkan dapat terhindar dari penahanan dan kasusnya dapat diselesaikan dengan tidak mengorbankan kepentingan anak 2. Menghindari cap / label atau stigmatisasi, sehingga tidak mempengaruhi perkembangan mental anak. 3. Meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku, karena dengan adanya Diversi memberikan kesempatan kepada pelaku untuk terlibat dalam proses. 4. Pelaku dapat bertanggung jawab terhadap perbuatannya 5. Mencegah pelaku untuk mengulangi tindak pidana 6. Memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal. 7. Diversi akan menghindarkan anak dari proses sistem peradilan 8. Diversi akan menjauhkan anak – anak dari pengaruh – pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan tersebut. Penerapan prinsip diversi merupakan pengarahan penggunaan hak diskresi oleh petugas untuk mengurangi kekuatan hukum pidana dalam menangani perkara 35
http://doktormarlina.htm Marlina, Penerapan Konsep Diversi terhadap Anak Pelaku tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diakses pada tanggal 5 Maret 2014
17
terutama perkara anak, oleh karena itu untuk menjalankan diversi diperlukan aturan dan cara pelaksanaan yang benar-benar dibangun agar dapat menjadi sisi lain dari penegakan hukum yang tepat di masyarakat. b. Restorative justice Proses penanggulangan anak pelaku tindak pidana dilakukan secara penal dan non penal. Secara penal yaitu dengan penerapan sanksi pidana dan secara non penal dengan tindakan diversi oleh aparat penegak hukum dan penyelesaiannya di luar peradilan formal dengan restorative justice. Tony F. Marshall mengemukakan bahwa definisi dari restorative justice adalah : 36 “restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future. (restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan) Berikut beberapa prinsip yang terkait dalam konsep restorative justice yang termuat dalam Draft Declaration Of Basic Principles on The Use Of Restorative justice Programmer in Criminal Matters: 37 a) Program restorative justice berarti beberapa program yang menggunakan proses restorative justice atau mempunyai maksud mencapai hasil restorative (restorative outcome) b) Restorative outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari proses restorative justice. Contoh : restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan masyarakat dan mengembalikan korban dan/atau pelaku c) Restorative process dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban, pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktip bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan dicampuri oleh pihak ketiga. Contoh proses restorative mediation, conferencing dan circles.
36 37
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan restorative justice, Ibid. Hlm. 28 Ibid, Hlm. 37
18
d) Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam program restorative justice. e) Faciliator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi partisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam pertemuan. Penyelesaian dengan sistem
restorative justice diharapkan agar semua
pihak yang merasa dirugikan akan terpulihkan kembali dan adanya penghargaan dan penghormatan terhadap korban dari suatu tindak pidana. 38 c.
Konsep Diversi dan Restorative justice menurut UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia telah membuat Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan pidana anak yang telah mengatur Konsep diversi dan keadilan restoratif. Menurut Undang-undang Sistem peradilan pidana anak tersebut Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar perdilan pidana. 39 Keberadaan diversi di Indonesia telah diakui melalui Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif 2 (dua) tahun kemudian. Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa “Pada tingkatan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi”. Syarat atau kriteria tindak pidana yang dapat dilakukan diversi adalah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi “Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.
38 39
Ibid, Hlm. 40 Pasal 1 ayat 7 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
19
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang
tua/walinya,
korban
dan/atau
orang
tua/walinya,
pembimbing
kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Harkristuti menjelaskan, bahwa pengaturan yang telah dihilangkan dari UU No. 3 Tahun 1997 ke UU No. 11 Tahun 2012, yakni : 40 a. Istilah “anak nakal” b. Cakupan pelaku ”tindak pidana” atau yang melanggar “living law” c. Usia pertanggungjawaban pidana anak 8 tahun d. Belum memasukkan asas-asas Beijing rule e. Tidak secara expressis verbis menyatakan bahwa perampasan kemerdekaan adalah measure of the last resort f. Tidak memberi ruang bagi diversi. Bentuk Perubahan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak : a. b. c. d. e.
Filosofi Sistem Peradilan Pidana Anak Penghapusan kategori Anak Pidana, Anak Negara Dan Anak Sipil Diversi dan Restorative justice Penegasan hak anak dalam proses peradilan Pembatasan upaya perampasan kemerdekaan sebgai measure of the last resort f. Pengaturan bentuk-bentuk alternative to imprisontment 3.
A.
HAMBATAN DAN UPAYA PENANGANAN DALAM MEWUJUDKAN PERADILAN PIDANA ANAK YANG EDUKATIF TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN) Hambatan dalam pelaksanaan peradilan pidana anak
1.
Hambatan dari segi Yuridis
a)
Berikut ini peneliti menjelaskan hambatan yang dihadapi penyidik dari segi yuridis dalam melaksanakan penyidikan terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak 40
41
:
Harkristuti Harkrisnowo, RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas, 2010,
hal.7
20
1) Penyidik mengetahui adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak sebagai pengganti Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tapi belum ada sosialisasi. 2) Masa Penahanan untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (Tujuh) hari yang di atur dalam pasal 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dirasakan penyidik terlalu singkat sehingga terkesan agar tidak melakukan penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana. 3) Pasal 33 ayat 4 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak mengatur adanya Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) untuk penahanan anak pelaku tindak pidana namun pada prakteknya belum ada Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). 4) Pasal 26 ayat 3
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang
sistem peradilan pidana anak mengatur adanya syarat khusus untuk penyidik anak yaitu : (a). Telah berpengalaman sebagai penyidik , (b).Mempunyai minat dedikasi dan memahami masalah anak, (c).Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak namun dalam prakteknya belum ada pelatihan teknis tentang peradilan anak untuk di ikuti penyidik khusus anak.
41
Hasil wawancara dengan Brigadir Eldison Damanik penyidik pembantu polsek bangun kabupaten simalungun pada tanggal 14 Maret 2014
21
5) Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak mengatur bahwa pada tingkat penyidikan , penuntutan dan pemeriksaan perkara anak dipengadilan wajib di upayakan diversi, namun dalam prakteknya Penyidik khusus anak selama ini memakai ADR (Alternatife Dispute Resolution) untuk pengalihan proses formal ke luar sistem peradilan (damai) dan belum memahami diversi. 6) Batas usia anak yang dirasakan oleh penyidik tidak sesuai lagi, menurut penyidik usia 16-17 tahun seharusnya tidak lagi disebut anak dan telah dapat di kategorikan dewasa. 7) Penyidik menyatakan belum adanya pengaturan tentang bukti penentuan seseorang masih dalam kategori anak, apabila akta kelahirannya tidak ada. Kesulitan menentukan usia anak saat berada diantara umur 18-19 tahun dan tidak mempunyai akte lahir atau bukti catatan kelahiran. b).
Berikut ini peniliti menjelaskan hambatan yang dihadapi penuntut umum dari segi yuridis dalam melaksanakan penuntutan terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak:42
1) Minimnya jaksa fungsional yang memilih bidang kekhususan anak sehingga kekurangan personil untuk dapat menjalankan penuntutan terhadap anak karena kekurangan personil tersebut para jaksa fungsional yang bukan khususan anak ikut serta dalam proses
42
Hasil wawancara dengan Edmond N. Purba Kasi Pidsus di Kejaksaan Negeri Siantar pada hari senin 17 Maret 2014
22
penuntutan, sebagai akibatnya jaksa fungsional lebih mementingkan permasalahan yang besar sehingga hak anak terabaikan dan tujuan peradilan anak tidak tercapai maksimal. 2) Penuntut umum mengetahui adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak sebagai pengganti Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tapi belum ada sosialisasi. 3) Masa Penahanan untuk kepentingan penuntutan dilakukan paling lama 5 (lima) hari yang di atur dalam pasal 34 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak menurut jaksa penuntut umum terlalu singkat . 4) Pelaksanaan hak- hak anak untuk perlindungan anak yang terkesan terlalu memanjakan anak pelaku tindak pidana. 5) Tidak adanya sosialisasi hak – hak anak untuk perlindungan anak 6) Singkatnya waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk mempelajari dan meneliti hasil penyidikan dari penyidik anak 7) Belum tersedia rumah tahanan khusus anak 8) Kewajiban meminta pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan 9) Pasal 41 ayat 2
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang
sistem peradilan pidana anak mengatur adanya syarat khusus untuk penyidik anak yaitu : (a). Telah berpengalaman sebagai penuntut umum, (b).Mempunyai minat perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak, (c).Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan
23
anak namun dalam prakteknya belum ada pelatihan teknis tentang peradilan anak untuk di ikuti penyidik khusus anak. 10) Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak mengatur bahwa pada tingkat penyidikan , penuntutan dan pemeriksaan perkara anak dipengadilan wajib di upayakan diversi, namun dalam prakteknya penuntut umum anak selama ini memakai ADR (Alternatife Dispute Resolution) untuk pengalihan proses formal keluar sistem peradilan (damai) dan belum memahami diversi. c).
Berikut ini peniliti menjelaskan hambatan yang dihadapi hakim anak dari segi yuridis dalam sidang pengadilan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak:
1) Hakim mengetahui adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak sebagai pengganti Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tapi belum ada sosialisasi. 2) Pasal 33 ayat 4 Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang
sistem peradilan pidana anak mengatur adanya Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) untuk penahanan anak pelaku tindak pidana namun pada prakteknya belum ada Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). 3) Pasal 43 ayat 2 Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang
sistem peradilan pidana anak mengatur adanya syarat khusus untuk penyidik anak yaitu : (a). Telah berpengalaman sebagai hakim dalam 24
lingkungan peradilan umum, (b). Mempunyai minat dedikasi dan memahami masalah anak, (c).Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak namun dalam prakteknya masih ada yang belum mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak 4) Adanya ancaman pidana (kriminalisasi) bagi aparat penegak hukum dianggap berlebihan, hakim saat menjalankan tugas sudah terikat dengan kode etik profesi selain itu hakim juga diawasi oleh MA dan KY serta LSM. 5) Sistem Peradilan Pidana memuat
aturan sanksi pidana dan
administratif bagi penegak hukum yang tak menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik, termasuk
kewajiban untuk tidak
mempublikasikan identitas anak yang bermasalah secara hukum. Ada beberapa sanksi pidana untuk penegak hukum dan pejabat pengadilan dalam Undang-undang Sistem Peradilan pidana anak. pertama sanksi pidana maksimal 2 tahun atau denda maksimal Rp. 200 juta bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tidak melaksanakan kategori tindak pidana yang bisa di diversi ( bagi ancaman pidana di bawah 7 tahun) dan tidak bisa di diversi. Kedua sanksi pidana kepada penyidik, penuntut umum dan hakim paling lama 2 tahun bagi yang sengaja melakukan penahanan kepada anak yang lewat dari batas waktu sebagaimana diatur dalam RUU ini. Hal ini bertujuan agar penegak hukum profesional dalam menjalankan tugasnya. Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan
25
pidana anak mengatur bahwa pada tingkat penyidikan , penuntutan dan pemeriksaan perkara anak dipengadilan wajib di upayakan diversi, namun dalam prakteknya hakim anak selama ini memakai ADR (Alternatife Dispute Resolution) untuk pengalihan proses formal ke informal (Damai) dan belum sepenuhnya menerapkan diversi. 6) Fasilitas ruang sidang yang belum memadai untuk sidang perkara anak. 7) Penentuan hukuman yang terbaik untuk anak, pertimbangan pidana dan perlakuannya terhadap anak sebab pada peradilan anak keputusan hakim tersebut harus mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif terhadap anak- anak disamping tindakan yang bersifat menghukum. 8) Tidak maksimalnya Laporan pertimbangan kemasyarakatan. Penentuan hukuman sangat
dipengaruhi oleh pertimbangan dari pembimbing
kemasyarakatan atau Case Study. Case Study sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak di kemudian hari, karena dalam memutuskan perkara anak dengan melihat case study dapat dilihat dengan nyata keadaan si anak secara khusus (pribadi), apabila pemutusan hukuman perkara anak tidak dibantu oleh case study maka hakim hanya bertemu dengan anak sebatas ruang sidang yang hanya beberapa jam saja dan biasanya dalam pertimbangan pembimbing kemasyarakatan menyarankan pada hakim tindakan yang sebaiknya diambil guna kepentingan dan memenuhi kebutuhan anak.
26
2.
Hambatan dari segi aparat penegak hukum
a).
Hambatan dari penegak hukum menurut penyidik dalam melaksanakan penyidikan terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak: 43
1) Kurangnya penyidik khusus anak yang memenuhi syarat 2) Lamanya waktu dari pembimbing kemasyarakatan memberikan pertimbangannya 3) Kurangnya perhatian dan kepedulian aparatur desa atau kepala desa untuk mendampingi anak dalam proses penyidikan 4) Tuntutan kerja yang ekstra kepada aparat penegak hukum agar peka dan handal dalam menangani perkara anak b).
Hambatan dari penegak hukum menurut penuntut umum dalam melaksankan penuntutan terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak: 44
1) Kurangnya penyidik khusus anak yang telah memenuhi syarat 2) Lamanya waktu dari pembimbing kemasyarakatan memberikan pertimbangannya c).
Hambatan dari penegak hukum menurut hakim dalam melaksanakan sidang perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak: 45
1) Tidak Kooperatifnya penasihat hukum anak sebagai pendamping anak
43
Hasil wawancara dengan Brigadir Eldison Damanik penyidik pembantu di polsek bangun, tanggal 14 Maret 2014 44 Hasil wawancara dengan Julius M. S Jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Siantar, tanggal 17 Maret 2014 45 Hasil wawancara dengan David P. Sitorus Hakim anak di Pengadilan Negeri Simalungun, tanggal 18 Maret 2014
27
2) Peneliti kemasyarakatan yang kurang maksimal dalam laporan penelitian kemasyarakatannya 3.
Hambatan dari segi masyarakat
a).
Berikut ini peniliti menjelaskan hambatan dari segi masyarakat yang dihadapi penyidik dalam melaksanakan penyidikan terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak : 46
1) Tidak kooperatifnya orang tua anak pelaku tindak pidana dalam proses penyidikan 2) Tidak kooperatifnya masyarakat sekitar anak untuk membantu proses penyidikan 3) Kurangnya perhatian dan kepedulian aparatur desa atau kepala desa untuk mendampingi anak
dalam proses penyidikan, apabila anak
tersebut tidak ada orangtua atau keluarganya. Kurangnya dukungan dari lingkungan keluarga dan masyarakat dalam pelaksanaan ADR (Alternatife Dispute Resolution) untuk pelaksanaan damai, bahkan terkadang banyak ditemui pihak ketiga yang terkesan “mengompori” atau membuat keruh dengan menyarankan agar tidak perlu berdamai.
E.
PENUTUP Kesimpulan 46
Hasil wawancara Brigadir Eldison Damanik Penyidik anak di Polsek Bangun, tanggal 14 maret 2014
28
2.
Sistem peradilan pidana edukatif yang dimaksud adalah pemberian tindakan khusus yang memperhatikan kepentingan anak dalam setiap tahap peradilan dengan Integrated Criminal Justice Administrasion Proses penangangan yang edukatif terhadap anak pelaku tindak pidana dilakukan pada setiap tahapan dalam sistem peradilan pidana baik dalam tahap prajudikasi, judikasi, dan pasca judikasi secara umum yaitu : a. Memperhatikan hak anak, baik hak sebagai anak secara umum dan hak anak dalam persidangan. b. Tidak melakukan tindakan tidak wajar yang dapat menimbulkan trauma pada anak c. Aparat penegak hukum dalam setiap tahapan proses peradilan tidak menggunakan seragam resmi d. Aparat penegak hukum tidak “melabelisasi” anak e. Mengusahakan diversi berhasil dalam setiap tahapan peradilan
e. Penerapan prinsip diversi
dan restorative justice pada sistem peradilan
pidana anak a. Penerapan diversi merupakan pengarahan penggunaan hak diskresi oleh aparat penegak hukum untuk mengurangi kekuatan hukum pidana dalam menangani perkara terutama perkara anak, penerapan konsep tersebut dilakukan dalam setiap tahap dalam sistem peradilan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan bahkan pengadilan.
29
b. Penyelesaian kasus dengan konsep restoratif adalah penyelesaian yang berorientasi pada rehabilitasi, pembinaan dan pemulihan hubungan baik antara pelaku ,korban dan masyarakat bukan retributif. f.
Hambatan yang ada dalam mewujudkan sistem peradilan pidana yang edukatif dan upaya mengatasinya : a. Hambatan yang ada : 1) Segi yuridis atau peraturan perundang-undangan itu sendiri yang belum dengan memadai memuat pengaturan yang dibutuhkan. 2) Jumlah aparat penegak hukum yang belum memenuhi syarat dalam proses penanganan khusus anak 3) Kurangnya partisipasi masyarakat. 4) Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum di Indonesia terhadap perlakuan dan penerapan kasus anak menjadi salah satu faktor bahwa kepentingan anak sering terabaikan, peraturan yang ada selama ini belum terealisasikan dengan baik seperti pembangunan rumah tahanan khusus anak 5) Belum tersosialisasikannya peraturan yang akan diberlakukan. b. Upaya yang dapat dilakukan: 1) Polisi, Bapas, Jaksa, Hakim, Lapas perlu diberi pelatihan dan bengkel kerja. Tujuannya agar mereka dapat lebih efektif dan efisien dalam merespon dilaksanakannya Restorative Justice.
30
2) Public awareness atau pendidikan publik dapat diselenggarakan bagi peningkatan pemahaman dan kualitas penegak hukum atau aparat maupun masyarakat. Saran 1. Untuk terciptanya sistem peradilan pidana anak memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik sehingga diperoleh keseimbangan kegiatan perlindungan
anak
secara
keseluruhan
terutama
dalam
masalah
perlindungan hukumnya. Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa dilihat secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. 2. Sosialisasi Diversi dan Restorative Justice dapat diselenggarakan sebagai sarana
memperkenalkan
kepada
aparat
penegak
hukum
maupun
masyarakat dapat dilakukan melalui pameran dan seminar, sekalipun pendidikan publik bagi masyarakat umum penting dilaksanakan, namun bentuk kampanye peduli anak dapat diselenggarakan secara berkala untuk mengingatkan pentingnya Restorative Justice demi kepentingan terbaik bagi anak 3. Public awareness atau pendidikan publik dapat diselenggarakan bagi peningkatan pemahaman dan kualitas penegak hukum atau aparat maupun masyarakat
31
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adi, Koeno, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009. Arief,
Barda nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan pengembangan hukum pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Dirdjosisworo, Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya, Bandung, 1984. Efendi, Tolib, Sistem Peradilan pidana : perbandingan komponen dan proses peradilan pidana di beberapa negara, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2013. Gultom, Maidin Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem Peradilan Pidana anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008. Harkrisnowo, Harkristuti, RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas, 2010 Harahap, M. Yahya, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika, 2003. Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Surabaya, Bayu media, 2008. Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan restorative justice, Refika Aditama, Medan, 2009. -----------, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam hukum pidana, USU Press, Medan 2010. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006. Mulyadi, Mahmud, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press,Medan, 2009. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. Salim, Peter, Salim Ninth Colligiate English Indonesia Dictionary, Modern English Press, 1987 Sambas, Nandang, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010
Singgih, Psikologi Perkembangan anak dan remaja, PT. BPK. Gunung mulia, Jakarta,2008 Sutejo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006. Wadong, Maulana, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000
B. Jurnal Ilmiah Nugraheni, Novie Amalia, “Sistem pemidanaan yang edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana”, 2009. Marlina,”Penerapan konsep diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak”, 2008. Ratomi, Achmad, “Prosedur pelaksanaan diversi pada tahap Penyidikan dalam penyelesaian tindak Pidana yang dilakukan oleh anak”, 2008. Dewi , Proses diversi dalam SPPA di Indonesia, Expert Consultation meeting, Bali, 2013
C. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Keputusan Bersama 6 Instansi Tahun 2009 tentang Penanganan ABH
D. Internet Apong, Penanganan Anak yang bermasalah dengan hukum, 2012, http://www.situslama.kemenkeu.go.id/ind/others/bakohumas/bakomas pemberwanita_anak/ABH%20HARUS%20BAGAIMANA.ppt, diakses pada tanggal 12 Februari 2014. Draft Sistematika Prosedur standar operasional (PSO) Penanganan anak yang berhadapan hukum, http://xa.yimg.com/kq/groups/.../ draft+sop+abh+-11-12+mei+2010+di+bumi+wiyata+depok.doc, diakses pada tanggal 23 maret 2014
Caitlin Johnson, SparkAction (at press time, Connect for Kids) , Education : the key to the future for kids in juvenile justice, January 9, 2006, http://sparkaction.org/content/education-key-future-kids-juvenilejustice, diakses pada tanggal 5 april 2014 Ilman, Penerapan pidana penjara bagi anak, diakses pada tanggal 5 April 2014
www.hukumonline.com ,
Aka, Memberikan anak hukuman edukatif, http://edukasi.kompasiana.com, diakses pada tanggal 5 april 2014 Haryanto, kenakalan anak wujud kepribadian dan kreatifitas, http://belajarpsikologi.com/kenakalan-anak-cara-mengatasikenakalan-anak/, diakses pada tanggal 5 April 2014
E. Hasil Wawancara Wawancara dengan Brigadir Eldison Damanik, Penyidik pada Polsek Bangun Kabupaten Simalungun pada Jumat tanggal 14 Maret 2014 Wawancara dengan Edmond Purba, Kasi PIDSUS Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Siantar pada Senin 17 Maret 2014 Wawancara dengan Julius M. S, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Siantar pada Senin 17 Maret 2014 Wawancara dengan S.B Damanik, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Siantar pada Senin 17 Maret 2014 Wawancara dengan Samuel Ginting Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Simalungun pada Selasa 18 Maret 2014 Wawancara dengan David P. Sitorus Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Simalungun pada Selasa 18 Maret 2014 Wawancara dengan Budi Teguh Alberto Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Simalungun pada Selasa 18 Maret 2014