BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA PENGAWASAN DAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
2.1.
Pengertian Pidana Pengawasan Melihat latar belakang yang sudah dikemukakan di atas bahwa
pekembangan hukum pidana dalam pidana dan pemidanaan terdapat banyak adanya kritik terhadap pidana perampasan kemerdekaan. Menurut Muladi, perkembangan mutakhir dalam hukum pidana yang menjadi trend atau kecenderungan internasional adalah berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisonment) dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif (alternative sanction).1 Dewasa ini peningkatan pendayagunaan alternatif pidana pencabutan kemerdekaan sudah menjadi masalah yang bersifat universal.2 Upaya untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan, dalam perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan ini semakin tidak disukai atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan oleh karena jenis pidana ini memiliki dampak yang tidak baik terhadap narapidana, maupun terhadap keluarga serta orang-orang yang bergantung pada narapidana tersebut. Beberapa dampak yang ditimbulkan pidana perampasan kemerdekaan terhadap narapidana antara lain : 1
Tongat I, loc.cit.
2
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori- teori Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.76
23
24
a. Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan (Loos of Personality). b. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas sehingga ia merasa kurang aman, serasa selalu dicurigai atas tindakannya (Loos of security). c. Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, hal ini menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat menghambat proses pembinaan (Loos of Liberty). d. Dengan menjalani pidana di dalam lembaga Pemasyarakatan, maka kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun juga dibatasi (Loos of personal Communication) e. Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (Loos of Good and Service) f. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih sayang dan kerinduan pada keluarga (Loos of Heterosexual) . g. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya (Loos of Prestige) h. Akibat dari perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan rasa percaya diri (Loos of Belief). i. Narapidana selama menjalani pidananya di Lembaga pemasyarakatan, karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasangagasannya dan imajenasinya (Loos of Creatifity).3 Menurut Herman G. Moeller dalam bukunya Muladi dan Barda Nawawi Arief yang berjudul “Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana” berpendapat bahwa, terdapat hal-hal yang bertentangan (ambivalence) bila ditinjau dari segi filosofisnya antara lain sebagai berikut : 1. Bahwa tujuan dari penjara, pertama adalah menjamin pengamanan narapidana, dan kedua adalah memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi. 2. Bahwa hakekat dari fungsi penjara tersebut di atas seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama didalam lembaga, berupa ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat.4 3
Tongat I, op.cit, h.5
25
Hal yang sama dikatakan oleh Bernes dan Teeters dalam bukunya Muladi dan Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa : Penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran (a place of contamination) yang justru oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab ditempat ini penjahat-penjahat kebetulan (accidental offenders), pendatang baru di dunia kejahatan (novices in crime) dirusak melalui pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis.5 Berkaitan dengan hal tersebut, pidana penjara saat ini sedang mengalami “masa krisis”, karena termasuk salah satu jenis pidana yang “kurang disukai”. Banyaknya kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang. Kritik-kritik tajam dan negatif itu tidak hanya ditujukan terhadap pidana
penjara
menurut
pandangan
retributif
tradisional
yang
bersifat
menderitakan, tetapi juga terhadap pidana penjara menurut pandangan modern yang lebih bersifat kemanusiaan dan menekankan pada unsur perbaikan si pelanggar (reformasi, rehabilitasi, dan resosialisasi).6 Bagaimanapun, pidana penjara dalam eksistensinya tidak dapat ditolak dalam hal ini. Perlu adanya pembaharuan-pembaharuan dalam hukum pidana ataupun dalam pidana dan pemidanaan untuk mencari serta dapat diterapkannya berbagai alternatif pidana lain disamping tetap mempertahankan pidana penjara, dalam lingkup inilah pidana pengawasan sebagai suatu alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan lagi dalam meminimalisir trend kriminalitas, disamping 4 5 6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit, h.77-78 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit, h.79 Barda Nawawi Arief III, op.cit, h.197
26
mencari
alternatif-alternatif
pidana
lainnya
yang
tidak
lagi
merampas
kemerdekaan seseorang salah satunya dapat diterapkannya pidana pengawasan ini. Pidana pengawasan merupakan pidana jenis baru di Indonesia yang tercantum dalam pidana pokok Rancangan KUHP Tahun 2013, dan pada kenyataanya sudah dilaksanakan dan diterapkan oleh beberapa negara asing diantaranya, Inggris-Amerika, Perancis-Belgia dan Portugal. Berdasarkan kajian teoritis maupun praktis dengan dikembangkannya pidana pengawasan yang dilakukan oleh beberapa negara di dunia tersebut, merupakan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan oleh Hakim. Pelaksanaan pidana pengawasan ini dapat membantu terpidana untuk membebaskan diri dari rasa bersalah, disamping menghindari efek destruktif dari pidana perampasan kemerdekaan. Masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Dapat dikutip dalam sebuah situs internet mengenai konsep pidana pengawasan/probation, yaitu : “A sentence whereby a convict is released from confinement but is still under court supervision; a testing or a trial period. Probation can be given in lieu of a prison term or can suspend a prison sentence if the convict has consistently demonstrated good behavior.”7
7
Abadinsky, Howard, 2003, “Probation and Parole: Theory and Practice”, URL : http://legaldictionary.thefreedictionary.com/probation. diakses tanggal 27 April 2015
27
Terjemahan bebas : “Sebuah kalimat dimana terpidana dilepaskan dari kurungan tetapi masih dalam pengawasan pengadilan; pengujian atau masa percobaan. Percobaan dapat diberikan sebagai pengganti hukuman penjara atau dapat menangguhkan hukuman penjara jika terpidana telah secara konsisten menunjukkan perilaku yang baik”. Menurut Muladi, istilah probation/pidana pengawasan dalam pengertian modern mempunyai arti sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengadakan rehabilitasi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana, dengan cara mengembalikannya ke masyarakat selama suatu periode pengawasan. 8 Sejalan dengan hal tersebut di atas dalam karya tulis Slamet Siswanta dalam bentuk (tesis) Muladi juga mengemukakan, bahwa
terdapat dua
pendekatan dalam upaya mencarikan formulasi jenis pidana sebagai alternatif pengganti pidana perampasan kemerdekaan yaitu : 1. Pendekatan yang melihat dari alternatif pidana perampasan kemerdekaan (penjara) sebagai alternative sanction, yaitu sanksi yang dapat menggantikan sanksi pidana penjara, dimana sanksi alternatif ini hanya dapat digunakan dan diterima bilamana sanksi tersebut dapat melayani tujuan pemidanaan dan pidana penjara dipandang memang tidak perlu digunakan. 2. Pendekatan yang menyatakan bahwa sanksi alternatif merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan dari pemidanaan dimana dengan pidana penjara tujuan pemidanaan itu malah tidak dapat tercapai.9
8 9
Muladi I, op.cit., h.155-156
Slamet Siswanta, 2007, “Pidana Pengawasan dalam Sistem Pidana Pemidanaan di Indonesia”, Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h.72
28
Adapun pendekatan-pendekatan terhadap pencarian alternetif pidana perampasan kemerdekaan tersebut di atas, agar selalu diupayakan secara kritis dan realistis, akan tetapi memang bilamana terdapat fungsi hukum pidana yang tidak mungkin dihilangkan dengan hanya alternatif pidana penjara saja. Namun yang terpenting adalah adanya keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam digunakannya alternatif pidana perampasan kemerdekaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang sesuai dan ingin dicapai. Tujuan pidana dan tujuan pemidanaan dalam perkembangannya tidak lagi memfokuskan bahwa upayanya hanya untuk menderitakan, akan tetapi mengarah pada upaya perbaikan kearah yang lebih rasional dan manusiawi. Kemudian, dikutip dalam bukunya Muladi yeng berjudul “Lembaga Pidana Bersyarat” bahwa, Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana yang ketiga di Stockholm pada tahun 1965, salah satunya membahas prihal tindakan-tindakan yang bersifat non-institutiional berupa probation (pidana pengawasan) bagi para pelaku tindak pidana sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan.10 Selanjutnya keadaan ini dipertegas kembali dengan adanya rekomendasi yang diusulkan oleh sub-Committee II The Sixth United Nation Conggres in the prevention of offenders tahun 1980 di caracas, dengan topik yang dibicarakan “De-institutionslization of corrections”, yang antara lain berbunyi sebagai berikut : “In a resolution on alternetives to imprisonment, the Conggres recommended that member states examine their legislation with a view towards removing legal obstacles to utilizing alternatives to imprisonment in appropriates cases in countries where such obstacles exits an encourage wider community participation in the implementation of alternatives to imprisonment and activities at the rehabilitation of offenders”.11
10 11
Muladi I, op.cit., h. 151 Muladi I, loc.cit.
29
Terjemahan bebas : “Resolusi tentang alternatif penjara, Kongres merekomendasikan bahwa negara-negara anggota memeriksa undang-undang mereka dengan maksud menuju menghilangkan hambatan hukum untuk memanfaatkan alternatif penjara dalam kasus di negara-negara dimana hambatan seperti keluar mendorong untuk berpartisipasi terhadap masyarakat luas dalam pelaksanaan alternatif untuk penjara dan kegiatan rehabilitasi pelanggar”. Bentuk-bentuk
alternatif
pidana
perempasan
kemerdekaan
seperti
probation (pidana pengawasan) telah diterima dan diterapkan di Amerika dan Inggris, dimana ditentukan pada fase pertama pelaku tindak pidana hanya dinyatakan bersalah dan ditetapkan suatu masa percobaan. Sedangkan fase kedua pidana baru dijalani apabila terpidana melakukan tindak pidana pada fase pertama. Pidana pengawasan yang berlaku di Prancis dan Belgia menunjukan perkembangan tersendiri yaitu apabila dalam masa percobaan melakukan tindak pidana maka pidana yang telah ditetapkan harus dijalani.12 Menurut Muladi, pidana pengawasan (probation) mempunyai keuntungankeuntungan apabila dilihat dari segi orang yang dikenal antara lain sebagai berikut: a. Akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, sepanjang kesejahtraan terpidana dalam hal ini dipertimbangkan sebagai hal yang lebih utama dari pada resiko yang mungkin diderita oleh masyarakat, seandainya si terpidana dilepas di masyarakat. Pemberian kesempatan ini, persyaratan yang paling utama adalah kesehatan mental dari terpidana.
12
Slamet Siswanta, op.cit, h.74
30
b. Memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia, yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. c. Akan mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana perampasan kemerdekaan.
Selanjutnya, jika dilihat dari keuntungan-keuntungan dari sisi masyarakat adalah : a. Untuk menentukan apakah harus dijatuhkan pidana pengawasan atau pidana perampasan kemerdekaan, maka salah satu pertimbangan utama adalah sampai seberapa jauhkah unsur-unsur pokok kehidupan masyarakat memperoleh manfaat dari pemberian pidana pengawasan tersebut. Hal ini dapat diamati dari keikutsertaan terpidana dalam pekerjaan-pekerjaan yang secara ekonomis menguntungkan kehidupan masyarakat. Keikutsertaan terpidana didalam kehidupan keluarga merupakan sesuatu yang sangat bernilai dari sudut masyarakat. b. Secara finansiil maka pidana dengan syarat (probation) yang merupakan pembinaan diluar lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan pembinaan di dalam lembaga. c. Bila ditinjau dari segi pelaksana pidana dengan syarat (probation officer) keuntungannya adalah, bahwa dengan pidana dengan syarat (probation) diluar lembaga petugas pelaksana pidana dengan syarat dapat menggunakan segala fasilitas yang ada di masyarakat untuk mengadakan rehabilitasi terhadap terpidana dengan syarat (probation). Fasilitas ini dapat berupa bantuan pembinaan dari masyarakat setempat, jasa-jaa pengadaan lapangan pekerjaan, pemerintah ataupun swasta dan sebagainya.13 Terkait dengan pandangan terhadap pentingnya pidana pengawasan (probation) sebagai salah satu mata rantai sistem dalam penyelenggaraan hukum pidana, maka yang harus dihapuskan dalam hal ini adalah adanya kesan, bahwa pidana non-custodial merupakan sikap kemurahan hati, pemberian ampun, atau pembebasan, sebab di dalam kerangka sebab musabab kejahatan dari pelaku tindak pidana serta usaha-usaha untuk menetralisasikan sebab musabab tersebut, 13
Muladi I, op.cit, h.153-154
31
maka peranan pengawasan didalam pembinaan diluar lembaga ini menjadi suatu keadaan dinamis untuk memecahkan masalah. Menuurut Howard dikutip dari karya tulis Slamet Siswanta dalam bentuk (tesis), bahwa : “It (probation) is not a “let-of” then, because the probationer must either make good or suffer punishment later. In fact, the duty of reporting to a probation officer and accounting for one’s behavior to him over a long period is much more onerous than formal punishments such as a fine, especially if, as is often the case, additional duties and restrictions are also imposed under the terms of the probation order. Whatever theory the probationer must often feel that to be placed on probation is itself a punishment”.14 Terjemahan Bebas : “Pada masa (percobaan) ini bukan merupakan suatu yang kemudian untuk dibiarkan, sebab orang yg menjalani masa percobaan itu harus menjadi yang lebih baik atau dalam menjalani hukuman kemudian hari. Pada kenyataannya, kewajiban untuk melaporkan ke petugas pengawasan dan terhitung prilaku seorang kepadannya selama periode yang panjang jauh cenderung lebih memberatkan selain hukuman formal seperti denda, terutama jika, seperti yang sering terjadi, kewajiban tambahan dan pembatasan juga dijatuhkan di bawah persyaratan perintah masa percobaan. Teori apapun mengenai seorang yg menjalani masa percobaan pasti sering merasa bahwa untuk ditempatkan di dalam masa percobaan itu sendiri adalah suatu hukuman”.
14
Slamet Siswanta, op.cit, h. 75
32
Menurut Howard Jones dalam karya tulis Slamet Siswanta, ada beberapa persyaratan untuk adanya probation yang disebutkan dalam hal-hal berikut, antara lain : 1. No punishment is imposed initially 2. The offender is given a fixed period to redeem himself 3. During this period he is placed under the supervision of a probation officer (a) in order to keep the court information of his progress, (b) to help him to make the best of the opportunity given him 4. If the makes good, the original crime is considered to have been purged, but if he fails to do so, he may be brought back into court and sentenced for this, as well as for any other crime he may have commited since. 15 Terjemahan Bebas : 1. Tidak ada hukuman dijatuhkan pada awalnya. 2. Pelaku diberi jangka waktu tertentu untuk menebus dirinya sendiri. 3. Selama periode ini ia ditempatkan di bawah pengawasan seorang petugas percobaan (a) untuk menjaga informasi pengadilan atas perkembangannya, (b) untuk membantu dia dalam melakukan prilaku yang baik atas kesempatan yang diberikan kepadanya. 4. Apabila membuatnya baik, kejahatan asli dianggap telah dibersihkan, tetapi jika ia gagal untuk melakukannya, ia bisa dibawa kembali ke pengadilan dan dihukum untuk ini, serta untuk berkomitmen tidak melakukan kejahatan lainnya. Pada penjatuhan pidana pengawasan/probation tersebut dimungkinkan adanya pembatasan dalam menentukan tindak pidana yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan. Menurut pendapat Muladi bahwa pembatasan dalam menentukan tindak-tindak pidana yang pelakunya dikecualikan dari pengenaan probation adalah tindak-tindak pidana yang secara tradisional tidak disukai (menjijikan) oleh masyarakat, yaitu : 1. Kejahatan-kejahatan kekerasan 2. Kejahatan-kejahatan terhadap moral
15
Slamet Siswanta, loc.cit.
33
3. Kejahatan-kejahatan yang melibatkan penggunaan senjata-senjata yang mematikan 4. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan seseorang karena diupah oleh orang lain 5. Kejahatan-kejahatan terhadap pemerintah 6. Kejahatan-kejahatan yang diancam pidana tertentu16 Seperti yang telah diuraikan di atas jelas kiranya, bahwa pidana pengawasan atau probation ini dimaksudkan sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan yang tidak hanya berpusat pada kepentingan sematamata si pelaku tindak pidana, melainkan juga demi masyarakat. Selain dapat meminimalisir kesenjangan sosial atau menstigmatisasi seseorang yang nantinya akan dikembalikan lagi kemasyarakat yang diharapkan tidak akan menambah kesulitan narapidana dalam menyesuaikan diri dimasyarakat itu sendiri, terlebih lagi biaya yang dapat dikurangi akibat kerugian yang ditimbulkan oleh pidana perampasan kemerdekaan, terutama adanya gangguan terhadap kehidupan sosial si pelaku bentuk-bentuk gangguan dalam kehidupan normal biasanya yang akan menambah kesulitan dalam penyesuaian narapidana kepada masyarakat beserta keluarganya dan memungkinkan timbulnya residivis. Pelaksanaan pidana pengawasan ini dikaitkan dengan ancaman pidana penjara, yang berarti pidana ini hanya dapat dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara. Pidana pengawasan bersifat “non-custodial” dengan
“probation” di Inggris, atau
“pidana penjara bersyarat” yang terdapat dalam KUHP 1918. Pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara. Pidana penjara yang diancamkan kepada
16
Muladi I, op.cit., h.157
34
tindak pidana dengan ancaman paling lama tujuh tahun atau kurang dari tujuh tahun jelas tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya.17 Sehubungan dengan hal tersebut, jika disimak ketentuan mengeni pidana pengawasan, hal ini tercantum dalam konsep Rancangan KUHP tahun 2013. 2.2
Pengertian dan Ruang Lingkup Pembaharuan Hukum Pidana Perkembangan teknologi saat ini menyebabkan tingkah laku mayarakat
semakin berkembang. Ruang lingkup permasalahan yang dihadapi oleh penegak hukum dan masyarakat dalam penanggulangan kriminalitas modern, maka perlu adanya kestabilan terhadap pembenahan sistem hukum pidana yang secara keseluruhan meliputi pembangunan terhadap struktur, substansi dan kultur. Pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan politik hukum pidana (penal policy).
18
Makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana yang dapat ditinjau dari aspek sosiopolitk, sosiofilosofis, sosiostruktural atau berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakkan hukum). Singkatnya dapat dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).19
17
Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h.34-35 18
Tongat I, op.cit, h.19
35
Pembaharuan hukum pidana dikatakan sebagai kebijakan politik hukum pidana (penal policy). Istilah kebijakan diambil dari bahasa Inggris “policy” atau dalam bahasa belanda “politiek”. Dalam Black’s Law Dictionary, disebutkan mengenai policy merupakan : “The general principle by wich a government is gulded in its management of public affairs, …or principle and standart regarded by the legislature or by the courts as being of fundamental concern to the state and the whole of society in measures ….this term, as applied to a low, ordinance, or rule of law, denotes its general purpose or tendency considered as directed to the welfare or prosperity of the state community”.20 Terjemahan Bebas : Prinsip umum penggunaan media oleh pemerintah dalam pengaturan urusan publik, …atau prinsip dan standar yang dianggap oleh legislatif atau oleh pengadilan sebagai keprihatinan mendasar kepada negara dan seluruh masyarakat dalam langkah-langkah … istilah ini, sebagaimana diterapkan dalam rendah, peraturan, atau aturan hukum, untuk menunjukkan tujuan umum atau kecenderungan yang dianggap sebagai hal yang diarahkan bagi kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat negara. Sedangkan, politik hukum (law/rechtspolitiek) dapat diartikan sebagai berikut : 1. Usaha untuk terwujudnya peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi tetentu.21
19
M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.129
20
Henry Campbell Black, 1999, Black’slaw Dictionary, Seventh Edition, St. Paulminn West Publishing, C.O, h.1178 21
Sudarto II, op.cit, h.195
36
2. Kebijakan dari Negara sendiri melalui badan-badan atau lembaga Negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki serta diperkirakan
dapat
digunakan
untuk
mengekspresikan
apa
yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicitacitakan.22 Bertolak dari pengertian tersebut selanjutnya Sudarto menyatakan, bahwa : Melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.23 Pada kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.24 Sehubugan dengan itu, Marc Ancel dalam bukunya Barda Nawawi Arief yang berjudul “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep Kuhp Baru)” pernah menyatakan bahwa, “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”. Beliau mengemukakan, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.25
22 23 24 25
Sudarto II, op.cit, h. 20 Sudarto I, op.cit, h.161 Sudarto II, op.cit, h. 93 dan 109 Barda Nawawi Arief III, op.cit, h.19
37
Selanjutnya dinyatakan olehnya : “Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terkait didalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.” Jadi, menurut Marc Ancel dalam buku yang sama di atas istilah “penal policy” adalah sama dengan “kebijakan atau politik hukum pidana.” Selanjutnya, menurut A. Mulder dalam bukunya Barda Nawawi Arief yang berjudul “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep Kuhp Baru)”, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan : a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui. b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana c. Cara bagaimana penyidikan, penutupan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.26 Bertolak pada pengertian “sistem hukum pidana” menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem
26
Barda Nawawi Arief III, op.cit., h. 23
38
hukum pidana yang terdiri dari : (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana). 27 Berdasarkan beberapa pemikiran di atas dalam usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama dalam usaha penegakkan hukum khususnya hukum pidana. Maka diharapkan adanya peraturan positif yang akan datang (ius constituendum) serta diwujudkannya sanksi minimum khusus dalam formulasi kebijakan hukum pidana yang dihasilkan memenuhi kebijakan pemidanaan yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencangkup perlindungan masyarakat serta individu dari terpidana. 2.3
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Pembaharuan hukum pidana di Indonesia (khususnya dalam penyusunan
Konsep KUHP baru), dilatarbelakangi oleh ide yang berulang-ulang dinyatakan dalam
berbagai
forum
seminar
nasional
maupun
internasional
bahwa
pembaharuan hukum pidana dan penegakkan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, antara lain dalam hukum agama dan hukum adat.28
27 28
Barda Nawawi Arief III, op.cit., h. 24
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief VII), h.4
39
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, dikutip dari bukunya Yesmil Anwar dan Adang yang berjudul “Pembaharuan Hukum pidana Reformasi Hukum pidana” menyatakan, ada dua makna atau (arti) dalam pembaharuan hukum. Dapat diartikan sebagai Legal Reform dan Law Reform. Pada saat hukum dikonsepkan sebagai suatu sistem, hukum akan menuju pada suatu proses demi tegaknya hukum itu sendiri. Proses pembaharuan ini dikenal dengan istilah legal reform. Proses ini merupakan bagian dari proses politik yang progresif dan normatif.29 Selanjutnya
Soetandyo
Wignjosoebroto
dalam
buku
yang
sama
menjelaskan bahwa, di Indonesia ini pembaharuan hukum yang dilakukan sebagai legal reform dalam kenyataan sejarahnya belum mendapat keberhasilan, jadi pembaharuan yang seperti ini belum terbukti terwujud. Reform atau pembaharuan seperti hanya berkecenderungan untuk membatasi diri dari pada pembaharuan undang-undang atau Pasal dan ayat yang telah ada dalam perundang-undangan saja dan terkesan untuk tidak mempertahankan ideologisnya.30 Mengenai hal tersebut, berbagai kongres PBB yang telah diselanggarakan 5 tahun sekali yaitu, the prevention of crime dan the treatment of offenders, dijelaskan bahwa sistem hukum pidana yang ada selama ini di beberapa Negara (yang dalam hal ini berasal dari sistem hukum asing semasa zaman kolonial),
29
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana Reformasi Hukum Pidana, PT. Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.2 30
Ibid, h. 4
40
umumnya memiliki sifat absolute an unjust (telah usang dan tidak adil) serta outmoded an unreal (sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai kenyataan).31 Pada uraian kongres tersebut dapat dikemukakan berbagai alasan sebagai berikut : Sistem hukum pidana yang ada dibeberapa Negara yang berasal dari hukum asing semasa zaman kolonial, tidak berakar pada nilai-nilai budaya bangsa itu sendiri dan bahkan ada yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, dan serta tidak responsif terhadap apa yang dibutuhkan oleh sosial saat ini. Kongres PBB menyatakan, bahwa kondisi yang demikian merupakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan (a contributing factor of the increase of crime) bahkan kebijakan pembangunan (termasuk dalam bidang hukum) yang tidak menjungjung tinggi nilai kultural, yang diantaranya masih diberlakukannya hukum asing zaman kolonial dalam sistem hukumnya, dapat menjadi faktor kriminogen. Bertolak dari hal tersebut, Kongres PBB menghimbau agar melakukan pertimbangan dan dilakukannya pemikiran kembali terhadap keseluruhan kebijakan kriminal (to rethink the whole of criminal policy) termasuk dibidang kebijakan hukum pidana.32 Melihat dalam arti yang luas, pembaharuan hukum pidana meliputi, ruang lingkup kebijakan dibidang hukum pidana materiil (substansif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan dibidang hukum pelaksanaan pidana, yang harus
31 32
Ibid, h.13 Ibid, h.14
41
bersama-sama diperbaharui, apabila hanya salah satu maka akan terjadi kesulitan dalam pelaksanaannya. Tujuan dan usaha untuk memperbaharui hukum pidana yang baik yaitu penanggulangan kejahatan tidak akan dapat tercapai sepenuhnya, maka karya ini hanya lebih menitikberatkan pembahasan pembaharuan hukum pidana materiil (substansif). Kemudian, dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief bahwa : “pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.”33 Dasar pemikiran Barda Nawawi Arief di atas dilatarbelakangi oleh pendapat Roeslan Saleh, yang menurutnya : Keharusan rasionalitas itu bukanlah berarti bahwa pertimbanganpertimbangan etis dalam hukum pidana dapat ditinggalkan saja, juga syarat rasional adalah suatu syarat moral (wilkins, moris, dan howard). Maka dari itu, rasionalitas jangan sampai dikaburkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat etis, sehingga batas-batas yang bersifat etis itu haruslah sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya dirumuskan di dalam batas-batas dari apa yang secara etis dapat diterima, serta haruslah dapat diambil keputusan-keputusan yang rasional itu.34 Maka dalam pembaharuan hukum di Indonesia seyogyanya dapat memperhatikan masalah kebijakan dan pendekatan nilai tersebut. Hal ini penting bagi tercapainya suatu hukum pidana yang bermanfaat dalam mengatasi masalah
33 34
Barda Nawawi Arief III, loc.cit. Slamet Siswanta, op.cit, h.65
42
sosial, menjamin perlindungan masyarakat dan tidak lagi merupakan hukum yang pernah beranjak dari jaman penjajah. Menurut Soeharjo SS, usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tentu tidak terlepas dari politik hukum yang memiliki tugas untuk meneliti perubahan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang baru dan berkembang di dalam masyarakat. Politik hukum tersebut melanjutkan arah perkembangan tertib hukum dari “Jus Constitutum” yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada penyusunan “Jus Constituendum” atau hukum pada masa yang akan datang.35 Apabila ditinjau pada alasan mengapa diperlukannya pembaharuan hukum pidana, Sudarto mengemukakan dalam bukunya Tongat yang berjudul “Pidana Kerja
Sosial
dalam
Pemmbaharuan
Hukum
Pidana
Indonesia”
bahwa
pembaharuan hukum pidana Indonesia dasarkan pada 3 (tiga) alasan : 1. Alasan politis : adalah wajar bahwa Indonesia sebagai Negara yang merdeka mempunyai hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. 2. Alasan sosiologis : urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum, pen.) (pidana) nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia. 3. Alasan praktis : alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami oleh masyarakat itu sendiri. Alasan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan bahasa Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit masyarakat (termasuk para penegak hukum) yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda.36 Sehubungan dengan kenyataan sangat di sadari, bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia sudah tidak dapat menampung aspirasi masyarakat yang berkembang sangat dinamis serta tidak sesuai dengan nilai-nilai 35
Soeharjo SS, 1983, Politik Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,
h. 66 36
Tongat I, op.cit, h.25-26
43
dalam masyarakat Indonesia. Pandangan dari sudut demikian pembaharuan hukum pidana terutama dalam KUHP yang sekarang haruslah diganti dengan KUHP Nasional yang baru.
Proses pembaharuan KUHP di Indonesia pada
dasarnya telah mulai dilakukan semenjak ditetapkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1946. Proses pembaharuan tersebut berlangsung secara terus menerus serta tahap demi tahap yang disesuaikan dengan perkembangan kesadaran hukum dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Namun, dalam pembaharuan KUHP sebagai hukum pidana materiil, secara substansiil produk-produk hukum tersebut, hanya baru dilakukan dengan cara parsial yaitu, mengadakan perubahan pada bagian-bagian tertentu dari KUHP atau disebut juga cara “tambal sulam”. Pembaharuan hukum pidana di Indonesia baru dilakukan secara parsial, ini diwujudkan dengan munculnya beberapa kebijakan legislatif atau produk perundang-undangan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah. Selain hal tersebut, sebenarnya ada usaha-usaha pembaharuan secara khusus yang sifatnya lebih sistematis yaitu, dengan cara total dimana pembaharuan ini secara keseluruhan terhadap KUHP sehingga terbentuknya KUHP baru. Usaha pemerintah untuk tujuan ilmiah dalam pembentukan KUHP baru antara lain, pemerintah mendirikan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LHPN) dengan Keputusan Presiden RI No.194 Tahun 1961. Lembaga ini, dibentuk suatu komisi khusus hukum pidana yang bertugas melakukan studi dan persiapan pembentukan KUHP Nasional yang baru dan mengganti KUHP warisan Hindia Belanda secara total. Jadi, atas dasar inilah telah disusun Konsep
44
Rancangan KUHP Nasional, yang sudah beberapa kali mengalami perbaikan dalam penyusunannya dan sampai saat ini muncul konsep terakhir, yaitu Konsep Rancangan KUHP Tahun 2013.