1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama.
Sebagai konsekuensinya, maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia.1 Demi mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama maka hukum terus berkembang menjadi beberapa bagian. Salah satu bagian dari hukum tersebut adalah hukum pidana. Hukum pidana pada dasarnya secara materiil hukum pidana Umum dikodifikasikan dalam KUHP dan formil hukum pidana umum dikodifikasikan dalam KUHAP.2 Namun, pada perkembangannya selain hukum pidana umum tersebut, ada juga yang disebut sebagai hukum pidana khusus yaitu ketentuanketentuan hukum pidana yang secara materiil berada di luar KUHP atau secara formil berada di luar KUHAP. Selain diatur di luar kodifikasi, aturan mengenai hukum materiil maupun aturan mengenai hukum formilnya menyimpang dari KUHP dan KUHAP. Dalam konteks teori, tindak pidana seperti tindak pidana korupsi sering disebut sebagai tindak pidana khusus dan undang-undangnya disebut hukum pidana khusus. Adanya tindak pidana khusus disebabkan perkembangan jaman karena kejahatan-kejahatan yang dilakukan semakin
1
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 35. 2 Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 19.
2
canggih dengan modus operandi (cara melakukan kejahatan) yang rumit.3 Penulis berpendapat bahwa tidaklah berlebihan apabila korupsi sebagaimana telah disinggung sebelumnya termasuk ke dalam tindak pidana khusus, karena selain modus operandi yang rumit, kondisi korupsi di Indonesia masih mengkhawatirkan dengan adanya beberapa fakta penting sebagai berikut: 1.
Lembaga
Transparency
International
(TI)
mengeluarkan
Hasil
Corruption Perspective Index (CPI) Tahun 2014 dimana Indonesia menduduki peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei. 4 Dalam peringkat tersebut, negara yang menduduki peringkat paling pertama adalah negara yang paling bebas dari korupsi, sedangkan negara pada peringkat terakhir adalah yang paling korup. Sehingga berdasarkan CPI yang dikeluarkan oleh TI, Indonesia adalah negara terkorup ke-68 di dunia; 2.
Lembaga Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis hasil kajian bahwa sepanjang tahun 2014 di Indonesia terdapat jumlah kasus tindak pidana korupsi sebanyak 629 kasus, dengan jumlah tersangka sebanyak 1328 orang, dan jumlah kerugian negara senilai Rp5,29 triliun;5
3.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) pada tahun 2014 juga merilis laporan bahwa dalam kurun waktu sejak akhir tahun 2003 sampai dengan semester I tahun 2014, terdapat 441 temuan kerugian pada keuangan negara senilai Rp43,42 triliun yang mengandung
3
Ibid, hlm. 20. Transparency International, Corruption By Country, http://www.transparency.org/country#IDN, diakses pada tanggal 3 Oktober 2015. 5 Indonesian Corruption Watch, Tren Korupsi 2014, http://antikorupsi.info/id/doc/tren-korupsi2014, diakses pada tanggal 10 Oktober 2015. 4
3
unsur pidana;6 dan 4.
Selain kerugian negara yang nyata (factual loss) terdapat pula potensi kerugian negara (potential loss) akibat dugaan korupsi di Indonesia yang sulit untuk dihitung secara konkrit, akan tetapi diperkirakan nilainya sangat besar melampaui factual loss akibat korupsi. KPK-RI pernah melakukan kajian secara sampling untuk memperkirakan potential loss akibat dugaan korupsi pada beberapa sektor penting di Indonesia. Hasil kajian tersebut memperkirakan bahwa potensi kehilangan penerimaan negara dari pajak adalah Rp10 triliun setiap tahun, kemudian potensi kehilangan penerimaan negara dari pertambangan di dalam kawasan hutan adalah Rp15,9 triliun setiap tahun, dan potensi kerugian negara akibat pembalakan liar mencapai Rp35 triliun setiap tahun. 7 Sehingga apabila dijumlah hanya dari ketiga sektor tersebut saja maka potential loss akibat korupsi di Indonesia diperkirakan setidaknya dapat mencapai Rp60,9 triliun setiap tahun belum termasuk potential loss dari seluruh sektor lain yang ada di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian dari KPK-RI tersebut maka dapat disimpulkan bahwa potential loss setiap tahunnya di Indonesia akibat dugaan korupsi memiliki nilai yang jauh lebih besar dari temuan kerugian keuangan negara oleh BPK-RI dalam kurun waktu 2003-2014 yang telah diulas penulis pada poin ketiga sebelumnya.
6
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Hasil Pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2014, http://www.bpk.go.id/news/hasil-pemeriksaan-bpk-semester-i-tahun-2014, diakses pada tanggal 10 Oktober 2015. 7 Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, KPK Selamatkan Uang Negara Rp 270 T, http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2641-kpk-selamatkan-uang-negara-rp-270-t, diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.
4
Keempat fakta penting tersebut di atas hanyalah segelintir dari banyaknya fakta yang menunjukan betapa bahayanya korupsi yang memang telah terjadi secara sistematik dan meluas di Indonesia. Oleh karenanya semakin mempertegas salah satu substansi dari penjelasan umum Undang-Undang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
yang
menyebutkan
bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia membutuhkan cara yang luar biasa (extraordinary measure). Extraordinary measure dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menimbulkan beberapa imlikasi secara hukum, salah satunya adalah penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. 8 Kendati demikian, Penegak hukum pasti akan menghadapi berbagai kendala untuk menindak perkara tindak pidana korupsi secara cepat menurut amanah Undang-Undang a quo. Apabila dihubungkan dengan permasalahan pembuktian, maka salah satu kendala yang kerap muncul adalah bagaimana mendapatkan minimum dua alat bukti sesuai hukum acara pidana yang berlaku. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) sendiri dalam beberapa kesempatan baik dalam seminar, forum ilmiah, maupun konferensi pers mengakui secara terbuka kepada publik bahwa dalam penanganan kasus besar yang tidak dapat dikembangkan dan dilengkapi berkas perkaranya biasanya disebabkan oleh sulitnya mendapatkan minimum dua alat
8
Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5
bukti berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku. Kendala tersebut dapat diketahui dengan memperhatikan pernyataan resmi KPK-RI dalam berbagai penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi, salah satunya adalah kasus Bank Century.9 Kendala untuk mendapatkan minimum dua alat bukti sesuai hukum acara pidana yang berlaku sangat beragam. Salah satu yang menarik untuk dicermati adalah apabila saksi-saksi maupun pelaku berbohong dalam memberikan keterangan sehingga menyulitkan penegak hukum dalam perkara tindak pidana korupsi untuk memperoleh alat bukti berupa keterangan saksi maupun terdakwa yang sah menurut hukum acara pidana yang berlaku. Padahal menurut Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya berjudul ‘Teori & Hukum Pembuktian’, alat bukti dalam pembuktian pidana harus memenuhi asas clear and convincing evidence untuk dapat meyakinkan hakim pemeriksa perkara di luar tingkat keraguan yang masuk akal (beyond reasonable doubt).10 Apabila membandingkan dengan negara-negara lain salah satunya negara maju seperti Amerika Serikat, penegakan hukum di negaranya sudah banyak melakukan pendekatan kepada disiplin ilmu lain. Upaya tersebut menghasilkan banyak terobosan, salah satunya adalah metode deteksi kebohongan (lie detection) untuk mengetahui apabila saksi maupun pelaku berbohong dalam memberikan keterangan pada suatu investigasi pidana. Lie Detection dihasilkan oleh interaksi antara hukum dengan psikologi pada awal perkembangannya di
9
Gresnews.com, KPK Tak Mau Dijebak dalam Kasus Century, http://www.gresnews.com/berita/hukum/1013158-kpk-tak-mau-dijebak-dalam-kasus-century/0/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2015. 10 Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori & Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 41.
6
tahun 1920 sehingga saat itu masih dilakukan secara manual (tanpa menggunakan alat elektronik) oleh psikolog dengan cara memperhatikan gestur tubuh, cara berbicara, maupun bentuk tulisan dari subyek yang diperiksa. 11 Lie detection akhirnya terus dikembangkan melibatkan disiplin ilmu lain seperti fisiologi, kedokteran, teknik, dan disiplin ilmu lainnya agar ditemukan suatu metode deteksi kebohongan yang mendekati sempurna. Akhirnya tercipta sebuah teknik polygraph yang menggunakan seperangkat alat pendeteksi kebohongan (lie detector) untuk mendeteksi kebohongan.12 Gordon H.Barland sebagaimana dikutip oleh Mark Constanzo memperkirakan bahwa sekitar 40.000 polygraph test dilakukan setiap tahun di Amerika Serikat. 13 Metode lie detection dengan menggunakan teknik polygraph sendiri harus diakui sempat dikritisi akurasinya oleh berbagai pihak. Namun, kritikan tersebut akhirnya dijadikan bahan evaluasi oleh para ahli yang berkecimpung dalam disiplin ilmu psikologi yang merupakan disiplin ilmu yang melahirkan metode lie detection secara umum dan teknik polygraph secara khusus. Para ahli tersebut memberi kesimpulan bahwa faktor utama penyebab kelemahan akurasi pada teknik polygraph adalah karena dioperasikan secara mandiri oleh orang awam tanpa melibatkan ahli khususnya Psikolog. Padahal diperlukan checksand-balances dengan metode-metode lie detection lain menurut psikologi sehingga suatu proses lie detection dalam pemeriksaan saksi maupun pelaku
11
I Gede Aris Gunardi dan Agus Harjoko, 2012, Telaah Metode-Metode Pendeteksi Kebohongan, ditulis untuk IJCCS (Indonesian Journal Of Computing And Cybernetics Systems), hlm.35-36. 12 Ibid. 13 Mark Constanzo, diterjemahkan oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, 2008, Aplikasi Psikologi Dalam Sistem Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.74.
7
dapat mencapai hasil optimal.14 Berdasarkan uraian-uraian tentang metode lie detection tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Polygraph meskipun adalah metode yang paling dikenal dan sering digunakan, namun bukanlah satu-satunya metode lie detection karena terdapat pula metode lain yang penting dikuasai untuk menunjang proses lie detection yang dilakukan oleh penegak hukum untuk keperluan penegakan hukum pidana.
2.
Metode lie detection tetap dapat optimal dan dipertanggungjawabkan hasilnya apabila dikuasai dan diterapkan oleh para ahli yang menguasai hal tersebut. Apabila menelaah perkembangan psikologi forensik maupun metode lie
detection untuk penegakan hukum pidana khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa metode lie detection sendiri masih relatif sedikit digunakan untuk perkara pidana bahkan belum pernah digunakan untuk perkara tindak pidana korupsi. Hal tersebut dapat disimpulkan apabila mencermati ulasan mengenai metode tersebut pada forum ilmiah hukum maupun media yang ada. Bahkan KPK RI melalui juru bicaranya pernah memberikan pernyataan kepada pers bahwa metode lie detection belum dirasa terlalu diperlukan untuk penanganan tindak pidana korupsi dikarenakan meskipun fasilitasnya telah tersedia akan tetapi tingkat akurasinya diragukan sehingga KPK RI lebih memilih menggunakan metode 14
Lawrence S. Wrightsman dan Solomon M. Fulero, 2005, Forensic Psychology, Thomson Wadsworth, Belmont, hlm.95-101.
8
pembuktian lainnya yang lebih akurat seperti penyadapan. 15 Bahkan beberapa psikolog terkemuka di Indonesia, salah satunya Yusti Probowati Rahayu juga masih mempertanyakan tingkat akurasi dari hasil metode lie detection untuk membantu proses penegakan hukum di Indonesia. 16 Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas mengenai pandangan penegak hukum dan psikolog terhadap penggunaan metode lie detection di Indonesia, maka terlihat bahwa terdapat perbedaan signifikan antara perkembangan penggunaan metode lie detection di dunia khususnya negara maju yang sudah sangat pesat karena terus digunakan dan disempurnakan tingkat akurasinya sehingga dirasa oleh para penegak hukumnya dapat signifikan membantu proses penegakan hukum, sedangkan di Indonesia masih diragukan dapat signifikan membantu proses penegakan hukum sehingga masih belum terlalu populer digunakan. Penulis berpendapat bahwa penting bagi penegak hukum di Indonesia khususnya yang menangani perkara tindak pidana korupsi untuk mulai melakukan pendekatan kepada disiplin ilmu selain hukum untuk membantu penanganan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki modus operandi rumit khususnya pendekatan kepada metode lie detection yang memiliki prospek menjanjikan guna mencegah adanya kebohongan yang mungkin dilakukan oleh saksi maupun pelaku dalam memberikan keterangan dalam pembuktian tindak pidana korupsi sehingga keterangan yang diberikan dapat menjadi bukti yang 15
Hukum Online, Lie Detector Tidak Populer dalam Penanganan Kasus Korupsi, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19995/lie-detector-tidak-populer-dalampenanganan-kasus-korupsi, diakses pada tanggal 22 Januari 2015. 16 Ibid.
9
sesuai dengan asas clear and convincing evidence sehingga makin banyak dugaan
tindak
pidana
korupsi
yang
dapat
ditangani
mengingat
pemberantasannya harus dilakukan dengan extraordinary measure menurut amanah Undang-Undang. Pemberantasan tindak pidana korupsi meskipun harus digencarkan, akan tetapi juga harus selalu mengingat bahwa salah satu tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mendapatkan kebenaran materiil.17 Salah satu cara untuk mencapai kebenaran materiil tersebut adalah dengan memastikan seluruh keterangan saksi maupun pelaku berkesesuaian satu sama lain karena diberikan secara jujur. Hal tersebut lebih lanjut akan mencegah terjadinya miscarriage of justice18 dalam suatu perkara tindak pidana korupsi. Sehingga penindakan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum tidak akan terkesan sekedar “kejar setoran” demi melaksanakan perintah undang-undang, tetapi juga menjunjung perlindungan bagi hak asasi manusia. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk membahas dalam bentuk penulisan hukum (skripsi) dengan
judul:
“RELEVANSI
PENGGUNAAN
METODE
DETEKSI
KEBOHONGAN (LIE DETECTION) DALAM PSIKOLOGI FORENSIK UNTUK KEBUTUHAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI”.
17
Lihat tujuan hukum acara pidana menurut Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.7. 18 Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip dari laman situs The Law Dictionary: http://thelawdictionary.org/miscarriage-of-justice/ mendefinisikan miscarriage of justice sebagai: “Returning an unfair verdict based on the evidence presented as a legal justice failure”. Definisi tersebut apabila diterjemahkan secara bebas ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi: “Penjatuhan sebuah putusan tidak adil yang didasarkan kepada bukti yang dihadirkan dari sebuah kegagalan sistem peradilan”. Diakses pada tanggal 20 Januari 2016.
10
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana penerapan metode deteksi kebohongan (lie detection) menurut psikologi forensik?
2.
Bagaimana relevansi metode deteksi kebohongan (lie detection) terhadap kebutuhan dari penegak hukum untuk proses pembuktian tindak pidana korupsi?
3.
Bagaimana relevansi hasil metode deteksi kebohongan (lie detection) menurut hukum pembuktian pidana yang berlaku untuk perkara tindak pidana korupsi?
C.
Tujuan Penelitian Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa penelitian merupakan suatu
bagian pokok dari ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mengetahui dan lebih memperdalam segala segi kehidupan.19 Abdulkadir Muhammad lebih lanjut berpendapat bahwa penelitian hukum bertujuan untuk mengembangkan hukum dan ilmu hukum sesuai dan seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi global. Dampaknya adalah penelitian hukum akan menjadi sub disiplin hukum yang dikaji secara profesional yang berbasis kemampuan dan keahlian, sebagai profesi sumber penghasilan. 20
19
Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, hlm.11. 20 Abdulkadir Muhammad, 2011, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.37.
11
Penelitian ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif, sebagai berikut: 1.
Tujuan Objektif
a.
Untuk mengetahui dan memahami bagaimana penerapan metode deteksi kebohongan (lie detection) menurut psikologi forensik.
b.
Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis apakah metode deteksi kebohongan (lie detection) relevan dengan kebutuhan penegak hukum untuk proses pembuktian tindak pidana korupsi.
c.
Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis apakah hasil metode deteksi kebohongan (lie detection) relevan menurut hukum pembuktian pidana yang berlaku pada perkara tindak pidana korupsi.
2.
Tujuan Subjektif
a.
Sebagai salah satu rangka dari pengajuan penulisan hukum sebagai tugas akhir yang merupakan salah satu persyaratan akademis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
b.
Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan kemampuan analisis penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum pidana dan disiplin ilmu lain yang dapat digunakan untuk membantu penegakan hukum pidana, yakni psikologi forensik khususnya ilmu tentang penerapan metode deteksi kebohongan (lie detection).
12
D.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber baik cetak maupun
elektronik yang dilakukan oleh penulis, belum pernah ada penelitian maupun penulisan hukum yang berjudul: “RELEVANSI PENGGUNAAN METODE DETEKSI
KEBOHONGAN
(LIE
DETECTION)
DALAM
PSIKOLOGI
FORENSIK UNTUK KEBUTUHAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI”. Namun, Penulis menemukan beberapa penelitian yang sedikit memiliki kemiripan karena membahas tentang alat pendeteksi kebohongan (lie detector) yang merupakan bagian atau elemen dari metode deteksi kebohongan (lie detection). Penelitian tersebut adalah antara lain sebagai berikut: 1.
Penulisan Hukum (skripsi) oleh Muhammad Ikhwan:21
a.
Judul Penulisan Hukum:
“PENGGUNAAN LIE DETECTOR PADA PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI KASUS UDIN WARTAWAN HARIAN BERNAS)”. b.
Perumusan Masalah:
1)
Faktor apa yang menyebabkan lie detector digunakan pada pemeriksaan perkara pidana kasus Udin?
2)
Upaya apa yang dilakukan penyidik apabila saksi yang diperiksa dengan menggunakan lie detector memberikan keterangan tidak benar?
c.
Kesimpulan:
1)
Dalam pemeriksaan saksi di tingkat penyidikan, dapat ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan dipakainya lie detector pada pemeriksaan kasus
21
Muhammad Ikhwan, 2007, Penggunaan Lie Detector Pada Pemeriksaan Perkara Pidana (Studi Kasus Udin Wartawan Harian Bernas), Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
Udin, yaitu: a)
Terlalu berbelit-belitnya keterangan yang diberikan oleh saksi.
b)
Saksi memberikan keterangan yang tidak benar (bohong), tutup mulut, atau pura-pura.
c)
Saksi memberikan dua pernyataan yang berbeda dan saling berlawanan satu dengan lainnya.
d)
Banyaknya jumlah saksi yang harus diperiksa.
2)
Dalam hasil analisa pada pemeriksaan saksi dengan menggunakan lie detector menyimpulkan bahwa saksi berbohong, maka penyidik dapat melakukan beberapa upaya diantaranya:
a)
Melakukan pemeriksaan ulang terhadap saksi yang dinyatakan berbohong pada tahap pemeriksaan dengan menggunakan lie detector.
b)
Melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi lain dengan menggunakan lie detector.
d.
Perbedaan Dengan Penulis: Berdasarkan pengamatan penulis terhadap penulisan hukum oleh
Muhammad Ikhwan tersebut, terdapat perbedaan pada beberapa aspek penting yaitu judul, fokus pembahasan, dan rumusan masalah yang menyebabkan penelitian yang akan dilakukan penulis berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis tersebut di atas. Perbedaan mendasar pada penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ikhwan dengan Penulis dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut: 1)
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ikhwan tersebut hanya
14
membahas secara sempit mengenai alat pendeteksi kebohongan (lie detector), sedangkan penulis akan membahas secara luas tentang metode deteksi kebohongan (lie detection) yang dikenal dalam psikologi forensik sehingga akan dapat diketahui metode-metode apa saja yang dapat digunakan
untuk
mendeteksi
kebohongan
beserta
kelebihan
dan
kekurangannya. 2)
Penelitian yang dilakukan oleh penulis juga mengkhususkan relevansi penggunaan metode lie detection untuk kebutuhan pembuktian tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus, berbeda dengan penelitian oleh Muhammad Ikhwan yang diambil pada kasus tindak pidana umum.
3)
Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ikhwan tersebut hanya menitikberatkan pada proses penyidikan sehingga penelitian lapangan dengan metode wawancara hanya dilakukan terhadap Penyidik pada Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, berbeda dengan penulis yang akan menitikberatkan pada proses pembuktian secara luas sehingga wawancara dilakukan terhadap berbagai elemen penegak hukum tidak hanya Penyidik.
2.
Penulisan Hukum (skripsi) oleh Hendra Sinuhaji:22
a.
Judul Skripsi:
“TINJAUAN HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI 22
Hendra Sinuhaji, 2010, Tinjauan Hukum Mengenai Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan (Lie Detector) Pada Proses Pengadilan Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung.
15
KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PENGADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG
NOMOR
11
TAHUN
2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK”. b.
Perumusan Masalah:
1)
Bagaimana peranan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana?
2)
Bagaimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tentang pembuktian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana?
c.
Kesimpulan:
1)
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, peranan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana yaitu sebagai alat bukti petunjuk, namun harus didukung oleh alat-alat bukti lainnya antara lain yaitu alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat yang berupa salinan data (data recording) dari hasil tes pengujian alat pendeteksi kebohongan.
2)
Penggunaan sistem elektronik, khususnya pada hal ini alat pendeteksi kebohongan (lie detector) belum diatur secara tegas di dalam KUHAP. Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti yang sah, dan diluar dari alat-alat
16
bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan pelaku tindak pidana. Berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti dapat mengacu kepada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum dalam penggunaan sistem elektronik sebagai alat bukti di pengadilan. Kedua pasal tersebut lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil dari pemeriksaan tes alat pendeteksi kebohongan (lie detector) diberikan oleh seorang ahli atau keterangan ahli, yang dalam hal ini yaitu ahli laboratorium forensik komputer. d.
Perbedaan Dengan Penulis: Berdasarkan pengamatan penulis terhadap penulisan hukum oleh Hendra
Sinuhaji tersebut, terdapat perbedaan pada beberapa aspek penting yaitu judul, fokus pembahasan, dan rumusan masalah yang menyebabkan penelitian yang akan dilakukan penulis berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis tersebut di atas. Perbedaan mendasar pada penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sinuharji dengan Penulis dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut: 1.
Penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sinuhaji tersebut masih memiliki
17
kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ikhwan yakni hanya membahas secara sempit mengenai alat pendeteksi kebohongan (lie detector), sedangkan penulis akan membahas secara luas tentang metode deteksi kebohongan (lie detection) yang dikenal dalam psikologi forensik sehingga akan dapat diketahui metode-metode apa saja yang dapat digunakan untuk mendeteksi kebohongan beserta kelebihan dan kekurangannya. 2.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengkhususkan relevansi penggunaan metode lie detection untuk kebutuhan pembuktian tindak pidana korupsi. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh penulis akan meneliti relevansi metode lie detection tidak hanya dengan relevansinya dengan hukum acara pidana yang berlaku, akan tetapi juga relevansinya dengan kebutuhan terkini dari penegak hukum terkait yang akan menangani perkara tindak pidana korupsi. Hal tersebut akan menimbulkan implikasi berupa penelitian dari penulis yang berjenis kombinasi yakni empiris-normatif. Oleh karena hal tersebut, maka penelitian penulis akan berbeda dengan Hendra Sinuhaji yang hanya berjenis normatif. Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sangatlah jelas bahwa
tidak terdapat penelitian berjudul “RELEVANSI PENGGUNAAN METODE DETEKSI
KEBOHONGAN
(LIE
DETECTION)
DALAM
PSIKOLOGI
FORENSIK UNTUK KEBUTUHAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI”. Lebih lanjut, penulisan hukum ini juga telah memiliki perbedaan mendasar dengan beberapa penelitian lain yang memiliki sedikit kemiripan.
18
Perbedaan mendasar tersebut dapat ditemukan menurut judul, fokus pembahasan, dan rumusan masalah yang akan dilakukan oleh penulis. Oleh karenanya perbedaan tersebut menjadi keaslian dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. E.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai kegunaan, baik secara akademis maupun
praktis. Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut: 1.
Kegunaan Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum pidana, khususnya mengenai hubungan antara metode deteksi kebohongan (lie detection) menurut psikologi forensik dengan proses pembuktian pidana khususnya untuk perkara tindak pidana korupsi.
2.
Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan/atau panduan bagi para penegak hukum, khususnya Penyidik, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, dan Hakim dalam mengawal jalannya pembuktian tindak pidana korupsi dengan tetap pada koridor asas dan aturan hukum yang berlaku. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pembelajaran bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa fakultas hukum pada khususnya.