PIDANA
BERSYARAT MENURUT
HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Asharyanto NIM : 105045101482
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
PIDANA
BERSYARAT MENURUT
HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Asharyanto NIM : 105045101482
Pembimbing
Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
LEMBAR PENYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 Juni 2009
Asharyanto
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PIDANA BERSYARAT MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Pidana Islam.
Jakarta, 2 Juni 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394
(...........................)
2. Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag NIP. 150 282 403
(...........................)
3. Pembimbing : Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394
(...........................)
4. Penguji I
: H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA (............................) NIP. 150 238 774
5. Penguji II
: Dedy Nursamsi, SH, M.Hum NIP. 150 264 001
(............................)
2 KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, taufiq, serta nikmat-Nya, sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga hal-hal tersebut dapat penulis atasi dengan sebaikbaiknya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis berterima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H. M.A. M.M.,
Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2.
Bapak Asmawi, M.Ag., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang tanpa henti memberikan
dorongan dan semangat kepada penulis, serta yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.
3.
Asmawi, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran-saran sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak ajarkan dan arahkan mendapat balasan dari Allah SWT .
4.
Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mentransfer ilmunya dengan ikhlas kepada penulis, serta para pengurus perpustakaan yang telah meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis.
5.
Ayahanda Hermanto Madjahir (almarhum) atas segala, nasihat dan ilmu bermanfaat yang telah ditinggalkan sehingga terus memotivasi penulis hingga sekarang dan yang akan datang. Serta kepada Ibunda Nurhayati yang selalu mecurahkan cinta, kasih sayang, dan kesabaran yang tidak terbatas lebih-lebih dukungan moril maupun materiil.
6.
Ka’ Nila, Mas Rynto, Ka’ Sari, ditambah si lucu Rafka yang terus-menerus memotivasi dan mengingatkan penulis agar cepat lulus.
7.
Citra Ardhini atas segala perhatian, pengertinya dan kasih sayangnya selama ini.
8.
Rekan-rekan Mahasiswa Jurusan Pidana Islam 2005 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,yang dengan rela dan setia menemani penulis dalam menimba ilmu selama ini di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
9.
Yazid, Eja, Iin, Deni, Nendi, Asep, Zaki, Uci, Raijak, Usep, Anwar, Toso, Laila, Wiwit yang selalu menemani dan membantu penulis dikala suka maupun
duka. Terima kasih atas kesetian, semangat, kompetisi prestasi, dukungan tak terbendung yang kalian berikan. 10.
Aploy, Aziel, Ade, Tyo dan seluruh team futsal Fantasy yang telah membantu dan mendukung sepak terjang penulis.
11.
Kepada seluruh donatur beasiswa yang selama ini telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
12.
Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan, motivasi, bantuan moril dan materiil kepada penulis dalam menyelesaikan studi terutama penulisan skripsi ini.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari bebagai pihak tersebut diberikan-Nya pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.
Jakarta :
2 Juni 2009 M
____________________________
8 Jumadil Akhir 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB
I :
BAB II
:
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 5
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6
D.
Metode Penelitian .................................................................. 7
E.
Tinjauan Pustaka ................................................................... 9
F.
Sistematika Penulisan ............................................................ 11
PIDANA DAN PEMIDANAAN A.
B.
Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia .............................. 13 1.
Pengertian Pidana ......................................................... 13
2.
Jenis – Jenis Pidana ....................................................... 15
3.
Filosofi Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia ..... 18
Pidana Menurut Hukum Pidana Islam .................................... 27 1.
Kategorisasi Tindak Pidana ........................................... 27
2.
Pengertian Pidana ......................................................... 37
BAB III
:
3.
Jenis – Jenis Pidana ....................................................... 40
4.
Filosofi Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam ........... 52
PANDANGAN
HUKUM
PIDANA
ISLAM
DAN
KUHP
TERHADAP PIDANA BERSYARAT A.
Pengertian Pidana Bersyarat dan Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP ......................................................................... 54
BAB IV
:
B.
Pengaturan Pidana dengan Syarat dalam RUU KUHP ........... 66
C.
Pengaturan Pidana Bersyarat dalam Hukum Pidana Islam ...... 69
PENUTUP A.
Kesimpulan ............................................................................ 80
B.
Saran – Saran ........................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 83
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam membahas hukum pidana, maka tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai sanksi pidana yang dikenakan bagi para pelaku tindak pidana. Para sarjana hukum mengutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah; Pertama, untuk menakut – nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan (prepentive). Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang – orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya (represif). 1 Oleh karena itu, penjatuhan pidana bukan sekedar berat ringannya pidana, akan tetapi juga pidana itu efektif atau tidak dan pidana itu sesuai dengan nilai – nilai dan struktural yang hidup dan berkembang di masyarakat. Bahwa hukuman atau proses pemidanaan yang sesuai dengan apa yang diperbuat si pelaku dan dapat membuat pelaku jera serta menjadikan pelaku berubah kearah yang baik, hal tersebut merupakan suatu bagian penting dalam mewujudkan penegakan hukum. Ini dapat terlihat dari hasil yang dicapai. Akan tetapi, dilihat dari keadaan dewasa ini proses penegakan hukum masih terlihat maju mundur. Dalam artian bahwa pencapaian suatu nilai keadilan pada masa 1
Wirjono Prodjodikoro, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), h. 20
sekarang ini masih sangat digantungkan pada kebijaksanaan dan kewibawaan para aparat penegak hukum. 2
Dalam hal ini berkaitan dengan Kitab Undang – Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan suatu kebebasan bagi aparat penegak hukum, antara lain Jaksa sebagai penuntut umum untuk menuntut seorang terdakwa, yang menurutnya secara sah dan meyakinkan telah melakukan sebuah tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya. Ketentuan tersebut juga berlaku untuk hakim sebagai pemberi keputusan atas suatu tindak pidana. Namun dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara terutama perkara pidana, hakim harus mempertimbangkan banyak hal. Dalam artian ketika hakim melaksanakan tugasnya antara hukum dan keadilan tidak boleh menyimpang dari aturan normatif yang berlaku. Tetapi juga ia dapat memutus suatu perkara dengan memandang sisi sosiologis dari sebuah perkara. Penegakan hukum dalam perkara pidana pada suatu negara dapat dikatakan berhasil, tidak hanya semata – mata hakim yang menangani perkara pidana tersebut telah menjatuhkan sanksi pidana yang adil, baik bagi si korban ataupun si pelaku itu sendiri. Namun perlu juga diperhatikan bahwa putusan yang menyangkut penjatuhan sanksi pidana tersebut, seyogyanya dapat diterapkan sebagai tindakan untuk merubah perilaku salah (menyimpang) yang dilakukan oleh pelaku tersebut. Pidana bersyarat merupakan jenis pidana yang memberi kesan sebagai solusi dari suatu bentuk tindak pidana yang dijatuhkan oleh hakim bagi seseorang
2
Soerjono Soekanto & Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum di Dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 10
agar tidak muncul pengaruh yang buruk yang lebih berbahaya lagi bagi orang tersebut apabila dimasukan kedalam lembaga permasyarakatan, sehingga hal ini hakim mempertimbangkan pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana. 3 Perlu diketahui bahwa dalam pemidanaan bersyarat setiap seorang terpidana yang telah dijatuhi pidana tertentu yang berkekuatan hukum tetap tidak diharus menjalani pidananya di dalam lembaga permasyarakatan akan tetapi ia dapat berada di luar penjara. Tetapi perlu dicatat terpidana tersebut tidak sertamerta bebas begitu saja, melainkan ia mempunyai dan diikat dengan syarat – syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh majelis hakim. Ketentuan – ketentuan yang mengatur masalah pidana bersyarat ada di dalam pasal 14a – 14f Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ditambahkan kedalam KUHP dengan Staatsblad tahun 1926 nomor 251 jo nomor 486 dan mulai diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1927. 4 Walaupun sering disebut dengan pidana bersyarat (Voorwaardelijke Veroordeling), tetapi sesungguhnya bukan salah satu jenis pidana, karena tidak disebut dalam pasal 10 KUHP. 5 Maka pidana bersyarat bisa dikatakan sebagai suatu sistem penjatuhan pidana tertentu. Menurut penulis masalah pidana bersyarat merupakan suatu hal yang menarik untuk disimak dan dicermati, karena pidana bersyarat merupakan suatu 3
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 1995), h. 105 4 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Amrico, 1984), h. 148 5 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1), ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 54
putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap, yang pada dasarnya merupakan produk pengadilan yang harus dipatuhi dan dijalankan sesuai dengan diperintahkan. Pidana bersyarat merupakan pidana bagi seorang terpidana yang telah dijatuhi pidana tertentu
tetapi tidak
diharuskan
menjalani
pidananya
di
dalam
lembaga
pemasyarakatan melainkan ia dapat berada diluar penjara. Apabila dalam waktu tertentu terpidana tersebut di pidana karena melakukan tindak pidana yang lain maka pidana yang dijatuhkan kepadanya akan menjadi lebih berat, ini di karenakan selain pidana yang dijatuhkan akibat tindak pidananya yang terakhir kemudian ditambah dengan pidana pokok yang disyaratkan sebelumnya, jadi jelaslah bahwa keberadaan pidana bersyarat disini bukan merupakan putusan bebas akan tetapi lebih cenderung di titik beratkan kepada proses permasyarakatan terpidana. Dimana bukan tidak mungkin apabila putusan yang dijatukan adalah perampasan kemerdekaan seperti penjara maka akan membuat terpidana tersebut lebih “pandai” lagi dalam melakukan tindak pidana. Tidak dapat dipungkiri masyarakat kita masih buta hukum dalam menafsirkan sebuah ketentuan (peraturan). Dan terkadang keadaan ini yang menjadikan sebuah permasalahan baru tentang persepsi keadilan. Karena keadilan sering kali ditafsirkan sebagai suatu pemenuhan rasa adil (setimpal) terhadap perasaan yang dirasakan oleh korban. Padahal setiap individu baik itu pelaku tindak pidana ataupun korban dari tindak pidana mempunyai hak – hak dari rasa pemenuhan keadilan. Dari si pelaku mempunyai hak untuk diadili dan didakwa sesuai dengan apa
yang diperbuatnya, begitu juga dengan korban mendapatkan haknya untuk melihat si pelaku tindak pidana di jatuhkan putusan yang setimpal. Atas dasar pemikiran diatas , maka penulis merasa perlu dan berkepentingan membahas persoalan ini. Dan kemudian memberikan alasan bagi penulis untuk memberi judul
"PIDANA BERSYARAT MENURUT TINJAUAN HUKUM
PIDANA ISLAM”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Salah satu aspek yang paling penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah bidang hukum. Budaya masyarakat yang seringkali hanya mengetahui bahwa hukuman terhadap sebuah tindak pidana adalah penjara. Ini dikarenakan bahwa masyarakat belum memahami hukum secara mendalam. Padahal di dalam hukum positif negara Indonesia dikenal adanya putusan pidana bersyarat (pasal 14 KUHP). Pidana bersyarat itu sendiri adalah salah satu bentuk pidana yang dijatuhkan oleh hakim bagi seseorang agar tidak muncul pengaruh buruk yang lebih berbahaya lagi bagi orang tersebut apabila dimasukan kedalam lembaga permasyarakatan, sehingga dalam hal ini hakim mempertimbangkan pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana. Untuk itu penelitian ini akan menjelaskan apa tujuan dari setiap hukuman atau pemidanaan dan bagaimana konsep pengaturan Pidana bersyarat didalam sistem pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia, yang kemudian ditranformasikan
menurut pandangan hukum pidana Islam mengenai aturan Pidana Bersyarat di Indonesia ini. Dengan mengacu kepada idenifikasi masalah diatas, kemudian penulis menjadikan pidana bersyarat menurut tinjauan hukum pidana Islam sebagai fokus masalah dalam penelitian ini. Setelah adanya pokok masalah di atas, penulis selanjutnya membuat perumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana deskripsi umum tentang pidana dan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam?
2.
Bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana Indonesia?
3.
Bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam terhadap aturan Pidana Bersyarat di Indonesia ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa tujuan umum dari penulisan ini adalah : 1.
Menjelaskan deskripsi umum tentang pidana dan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam.
2.
Menjelaskan tentang pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana Indonesia.
3.
Menjelaskan pandangan hukum pidana Islam tentang aturan pidana bersyarat di Indonesia.
Hasil Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang Hukum Pidana yang berwawasan keislaman. Selain itu, diharapkan pula dapat memberikan informasi tentang Pidana Bersyarat kepada masyarakat luas, yang bisa dikatakan masih awam dalam memahami jenis pemidanaan yang satu ini.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian a. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif,6 yakni penelitian yang data-datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan, dengan kata lain penelitian yang memanfaatkan data kualitatif. b. Penelitian Hukum Normatif – Doktriner, yakni Penelitian yang mengkaji asasasas dan norma-norma suatu sistem hukum. Penulis mencoba menelaah dan meninjau aspek – aspek hukum yang berkenaan dengan permasalahan ini. 7 c. Penelitian Deskriptif, yakni menjelaskan satu variabel penelitian dengan menggambarkan masalah, mengumpulkan, menyusun dan menyeleksi data sehingga dapat diambil kesimpulannya. d. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
6
Lexi J Moleong, Metedologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), cet. ke-21, h. 6 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke-8, h. 13
a. Bahan Hukum primer yang digunakan, yaitu: norma atau aturan yang membahas langsung masalah ini. Diantaranya, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). b. Bahan Hukum sekunder yang digunakan, yaitu:berupa literatur-literatur yang terkait dengan fokus masalah penelitian. e. Teknik Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan
data
yang
dipergunakan
dalam
penelitian
ini
menggunakan teknik; Studi Dokumenter, yakni dengan menelaah buku dan bahan tertulis lainnya yang relevan dengan penelitian ini. f. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data, diterapkan teknik analisis isi secara kualitatif. Dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan bahan-bahan yang telah diperoleh dan disusun, kemudian melakukan interpretasi dan formulasi. Yang mana, penulis menggambarkan objek pembahasan dengan apa adanya untuk kemudian dicermati secara mendalam. f. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini maka buku pedoman yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Tim Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Pustaka Sejumlah penelitian yang memaparkan tentang masalah yang dikaji dalam skripsi ini secara spesifik belum ada. Hanya penjelasan secara umum yang banyak ditemukan pada buku – buku. Adapun buku – buku yang menjelaskan secara rinci permasalahan yang penulis bahas jumlahnya sangat sedikit bisa dikatakan jarang. Berikut ini paparan secara umum atas sebagian buku - buku tersebut. Buku pertama merupakan buku yang paling lengkap sebagai refrensi untuk masalah Hukum Pidana Islam. buku tersebut adalah At-Tasryi’ al-jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, yang dikarang oleh Abdul Qadir Audah. Buku ini membahas tentang tindak pidana beserta hukumannya dalam koridor Hukum Islam, dimana Hudud, Qisash-Diat, maupun Takzir ada didalamnya. Namun, untuk permasalahan yang diangkat penulis mengenai “pidana bersyarat”, tidak diketemukan pembahasannya dalam buku ini. Baik secara istilah ataupun lebih mendalam lagi. Berangkat dari itu, penulis yakin dan perlu mengangkat permasalahan tersebut. Buku selanjutnya karya Ahmad Hanafi, yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana Islam”. Dalam buku ini memang menjelaskan tentang macam – macam jarimah yang ada didalam hukum Islam, baik itu jarimah hudud, qishash – diyat, maupun ta’zir. Akan tetapi, seperti pada buku sebelumnya untuk permasalahan “pidana bersyarat” tidak ditemukan pembahasannya. Ketiga adalah buku yang berjudul “Hukum Pidana Islam” karya Zainuddin Ali. Didalam buku ini masih menjelaskan tentang masalah hukum dalam koridor
hukum Islam, yang mana pembidangan dari Pidana Islam (Jinayah) membahas tentang jarimah – jarimah Hudud, Qishash-diyat, serta takzir. Untuk itu dipandang perlu mengangkat permasalahan mengenai “pidana bersyarat” yang belum dibahas dalam buku ini khususnya dan umumnya secara koridor hukum pidana Islam. Buku lain yang membahas tentang masalah pidana bersyarat adalah buku yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro, dengan judul “Asas-asas hukum pidana di Indonesia”. Buku ini berisi tentang seluk beluk dari hukum pidana salah satunya membahas tentang strafstesel (sistem hukuman pidana), yang didalamnya membahas masalah penghukuman bersyarat (pidana bersyarat). Walaupun dalam buku ini dirasa cukup dalam menjelaskan masalah pidana bersyarat, namun menurut hemat penulis tidak ada salahnya lebih mengeksplor lagi dengan mengkomparasikan antara dua tipe hukum (Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Pidana Islam) dalam hal suatu konsep penjatuhan pidana dan pemidanaan tentunya. Buku terakhir yang dijadikan sebagai tinjauan pustaka oleh penilis merupakan karya Adami Chazawi, yang berjudul “Pelajaran Hukum Pidana”. Dalam buku ini menjelaskan deskripsi umum tentang sistem pemidanaan yang meliputi : pengertian hukum pidana, stesel pidana, tindak pidana, teori – teori pemidanaan, ruang lingkup berlakunya hukum pidana. Temuan penting dalam buku ini adalah pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) bukan salah satu jenis pidana, karena tidak disebutkan di dalam pasal 10 KUHP melainkan berdiri sendiri dalam Pasal 14a – 14f KUHP. Jadi dalam buku ini hanya menitikberatkan pada pengertian
pidana bersyarat dalam konteks hukum pidana di Indonesia, sedangkan skripsi yang ditulis oleh penulis ini menjelaskan pidana bersyarat dalam tinjauan hukum Islam. Melihat beberapa buku – buku diatas yang dijadikan tinjauan pustaka oleh penulis, cukup menggambarkan apa yang penulis akan bahas, tetapi menurut hemat penulis masih belum cukup mewakili apa yang sebenarnya terjadi dimasyarakat. Untuk itu penulis sangat merasa yakin permasalahan yang penulis ajukan dapat membuka paradigma para pembaca nantinya, karena tanpa penjelasan ataupun sosialisasi yang cukup hukum tidak dapat terlaksana dengan baik.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan sripsi dalam bentuk bab – bab yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, untuk lebih memudahkan dalam memahami masalah ini, penulis membaginya menjadi lima bab, yaitu : Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Yang dimaksudkan agar para pembaca sudah dapat mengetahui garis besar penelitian. Bab pertama ini adalah pengantar. Bab Kedua, penulis menguraikan tentang Pidana dan Pemidanaan, dimana didalamnya terdiri dari sub bab-sub bab yang menjelaskan tentang deskripsi umum
Pidana dan Pemidanaan, serta menjelaskan tentang filosofi pemidanaan menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia,. Bab Ketiga, terdiri dari tiga sub bab yang membahasa tentang, Pertama; Pengertian Pidana Bersyarat dalam hukum Pidana Indonesia, Kedua; Pengaturan Pidana bersyarat dalam KUHP dan RUU KUHP Tahun 2004. Serta, dalam bab ini penulis melakukan analisa mengenai Pidana bersyarat
dengan melakukan tinjauan
menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP. Bab Keempat, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan terhadap keseluruhan isi skripsi hasil penelitian dan diakhiri dengan beberapa saran dalam rangka perbaikan dan peningkatan kinerja penegakan hukum di Indonesia.
BAB II PIDANA DAN PEMIDANAAN
A. Pidana dan Pemidanaan Menurut Hukum Pidana Indonesia 1.
Pengertian Pidana Istilah ”Hukuman” berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang
sering digunakan sebagai sinonim dari istilah ”pidana”.8 Namun dalam referensi lain menyebutkan istilah Pidana berasal dari bahasa Hindu Jawa yang artinya hukuman, nestapa atau sedih hati. 9 Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah – ubah karena dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan istilah yang lebih khusus. Maka kebanyakan para sarjana ilmu hukum memakai istilah pidana untuk menggantikan kata hukuman. Sudarto mendefinisikan pidana sebagai penderitaan/nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan (melanggar kententuan undang – undang) yang memenuhi syarat – syarat tertentu.
8
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Ed.1, cet.2, h. 11 9 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h. 114
Kemudian, Roeslan Saleh mengartikan Pidana sebagai reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.10 Adami Chazawi, berpendapat bahwa pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatan yang telah melanggar larangan hukum pidana.11 Muladi dan Barda Nawawi menjelaskan tentang arti dari pidana, yaitu : a.
Pidana merupakan suatu pengenaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
b.
Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (wewenang).
c.
Pidana dikenakan kepada seorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang. 12
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pidana adalah menjatuhkan suatu tindakan yang tidak enak dirasakan, atau siksaan bagi pelanggar peraturan hukum yang telah dibuat oleh negara, yang semua itu merupakan suatu balasan bagi orang yang melanggar hukum (Undang-undang) demi untuk terpelihara
10
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT Alumni, 2005), h. 2 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, h. 24 12 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 53
ketertiban di masyarakat. Untuk itu, penulis lebih memilih kata pidana dalam menafsirkan arti dari ‘straf’ ketimbang kata hukuman.
2.
Jenis-Jenis Pidana Bagian terpenting dari KUHP adalah stesel pidananya, karena KUHP tanpa
stesel pidana tidak ada artinya. Pidana merupakan bagian mutlak dari hukum pidana. Jenis pidana tercantum didalam pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan pidana dalam pasal 10 13 tersebut dibuat menurut beratnya jenis pidana.14 a.
Pidana Pokok Pidana pokok ialah pidana inti dalam setiap jenis tindak pidana. Pidana
okok dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan. Dimana jenis pidana pokok dapat berbentuk: 1. Pidana Mati, adalah Pidana yang dilaksanakan untuk menghilangkan nyawa terhukum. 15 2. Pidana Penjara, adalah bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Menurut pasal 12 ayat 1-4 KUHP dikatakan bahwa pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara selama waktu
13
Moeljatno, KUHP (Wetboek van Strafrecht), (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 5 Sistem pemidanaan di Indonesia mengenal batas minimum tetapi tidak mengenal batas maksimum pada umumnya. Dimana batas minimum satu hari terhadap kebebasan terhukum. Sedangkan mengenai hal batas maksimum setiap delik menentukan batas maksimumnya sendiri. 15 Berdasarkan pasal 1 lembaran negara Hindia belanda No.123 tahun 1945 dikatakan bahwa hukuman mati yang dilaksanakan terhadap diri orang-orang sipil, kecuali ditentukan lain, akan dilaksanakan dengan menembak (dengan peluru) terhadap yang bersangkutan. 14
tertentu paling singkat adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. 3. Pidana Kurungan (vrijheidstraf), adalah pidana terhadap seseorang yang lebih ringan dari pidana penjara. Pidana kurungan diadakan di daerah tempat kediaman terhukum (pasal 21 KUHP), pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana lebih ringan dari pidana penjara (pasal 19 ayat 2 KUHP). Menurut pasal 18 ayat 1-3 pidana kurungan paling sedikit adalah satu hari dan paling banyak selama satu tahun, kemudian jika ada pemberatan pidana yang dikarenakan perbarengan
atau
pengulangan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan, dan pidana kurungan tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan. 4. Pidana Denda (vermogenstraf), berarti Pidana yang berupa keharusan membayar dengan uang atau juga dalam arti uang dibayarkan sebagai pemidanaan karena melanggar hukum. Jadi pidana denda adalah hukuman kekayaan. Pada masa modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda satu-satunya pidana yang dapat dipikul orang lain, karena tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayarkan oleh orang lain atas nama terpidana.
b.
Pidana Tambahan
Pidana tambahan ialah pidana yang tidak dapat dijatuhkan tersendiri, jadi selalu dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Jenis pidana tambahan dapat berbentuk: 1. Pencabutan hak-hak tertentu. Pidana tambahan berupa pencabutan hakhak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil (perdata) serta hak-hak ketatanegaraan. Dalam pencabutan hak-hak tertentu disini harus ditetapkan dengan putusan hakim serta ada jangka waktunya tidak berlaku selama seumur hidup ini pun dengan suatu putusan hakim (Pasal 35 KUHP). 2. Perampasan barang-barang tertentu. Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu pertama barang-barang yang didapat karena kejahatan dan kedua, barang-barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan (Pasal 39 ayat 1-3 KIHP). 3. Pengumuman putusan hakim. Menurut pasal 43 KUHP bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan KUHP dan aturan-aturan lainnya, maka harus ditetapkan pula bagaiman cara melaksanakan perintah itu, atas biaya terpidana. Yang perlu ditekankan disini adalah biaya pengumuman putusan hakim ditanggung oleh
terpidana dan juga nama baik terpidana tercemar atau menjadi tidak baik. 16
3.
Filosofi Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia Dalam uraian tentang filosofi pemidanaan ini akan diketengahkan mengenai
teori – teori hukum pidana (Strafrechtstheorien) dan aliran – aliran dalam hukum pidana (Strafrechtscholen) kemudian barulah tentang tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Para penulis Jerman membagi pemidanaan ke dalam tiga golongan pokok, yaitu teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan. 1.
Teori Pembalasan (Absolut, Vergelding) Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah
melakukan suatu tindak pidana, sehingga pelakunya mutlak dijatuhkan pidana yang merupakan pembalasan terhadap tindakan tadi. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahkan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu. Masa datang bermaksud memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi seorang penjahat mutlak harus dipidana. 17
16
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994), cet.2, h.
175 17
S.R. Sianturi dan Mompang L. Pengabean, Hukum Penitensia di Indonesia, (Jakarta: Alumni Ahaem-petehaem, 1996), h. 27
2.
Teori Tujuan (Relatif) Teori ini bertujuan untuk melindungi masyarakat atau mencegah terjadinya
kejahatan, supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne peccetur). Sebenarnya teori ini lebih tepat disebut Teori Perbaikan/Perlindungan. Perbedaan dari beberapa teori yang termasuk dalam kelompok teori tujuan ini, terletak pada cara untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana. Diancamkannya dan dijatuhkannya suatu pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat.18 Jadi teori ini bisa dikatakan menentang teori absolute, dimana teori ini mendasarkan pidana bukan kepada balas dendam melainkan menekankan kepada tujuan atau maksud dari setiap pemidanaan. 3.
Teori Gabungan (vereeningings-theorie) Teori ini muncul dengan mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori
pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut sebagai teori gabungan. Penganut dari teori ini Binding, beliau mengatakan bahwa teori pembalasan dan teori tujuan masing – masing mempunyai kelemahan – kelemahan. Pada teori pembalasan (vegelding) sama sekali tidak memberi rasa kepuasan terhadap masyarakat, dimana pidana dijadikan sifatnya sebagai pembalasan. Sedang hukum pidana diadakan untuk masyarakat.
18
Ibid., h. 29 - 30
Adapun di dalam teori relatif, Binding merasa keberatan, karena melihat kepada siapa pidana berat itu harus dijatuhkan , jika pidana itu hanya untuk menakut – nakuti saja, baik kepada umum ataupun perseorangan. Jadi teori gabungan mengajarkan tujuan pidana itu untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dengan memepertimbangkan rasa keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan. 19 Setelah melihat penjelasan tentang teori pemidanaan, penulis akan menjelaskan tentang aliran-aliran dalam hukum pidana, dimana penulis mencoba menemukan sinkronisasi antara teori pemidanaan dengan aliran dalam hukum pidana. Aliran-aliran tersebut antara lain: 1. Aliran Klasik (Deklassieke School) Aliran ini timbul pada abad ke-18 di Perancis, dimana pada waktu itu sering terjadi ketidak-pastian hukum, ketidak-samaan dalam hukum dan ketidak-adilan. Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Maka aliran ini memberikan pendapat tentang tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperjuangkan hukum pidana yang lebih adil, objektif dengan penjatuhan pidana yang lebih menghormati individu.20 Dalam artian pemidanaan dilihat dari perbuatan (daadstrafrecht) yang dilakukan bukan terhadap subjek yang melakukan.
19 20
Ibid., h. 58 - 62 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, h. 14
Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran ini pada awal timbulnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. Dikenallah pada waktu itu sistem “the definite sentence” yang sangat kaku (rigid) seperti terlihat di dalam Code Perancis 1791. Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang: a. Azas legalitas, yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang; b. Azas kesalahan, berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang disengaja atau karena kealpaan; c. Azas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, yang mana pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaaat, melainkan setimpal dengan beratringannya perbuatan yang dilakukan Dua tokoh utama dari aliran klasik adalah Cesare Beccaria (1738 – 1794) dan Jeremy Betham (1748 – 1832). Ide dari Beccaria tentang pemidanaan adalah Let the punishment fit the crime ( biarkan hukuman sesuai dengan kejahatannya). Alasannya adalah Beccaria menilai bahwa pemidanaan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mengcegah orang dari melakukan kejahatan.
Untuk itu Beccaria tidak yakin terhadap pidana yang berat atau kejam. Pencegahan akan datang, tiada dari pidana yang berat, tetapi dari pidana yang patut (appropriate), yang tepat (promp), dan pasti (inevitable). Kemudian seorang filosof Inggris yang ahli dalam hukum Jeremy Betham, memberikan pendapatnya tentang pemidanaan. “ Pidana bukan suatu bentuk balas dendam tetapi sebagai sarana untuk mencegah kejahatan atau kerugian yang lebih besar”. Jadi Betham lebih menekankan kepada tujuan yang hendak dicapai dalam suatu pemidanaan. 21 Jika melihat pemaparan diatas, penulis menganalisis tentang konsep pemidanaan dari aliran ini. Aliran ini lebih menekankan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukan artinya adalah perbuatannya, dengan tujuan pidana tersebut tidak memihak pada individu ataupun golongan tertentu. Karena perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang oleh hukum (undang-undang) dilarang atau dinyatakan salah. Sinkronisasi yang terlihat dalam aliran modern ini dengan teori pemidanaan ialah, bisa dianggap aliran ini memakai teori pembalasan sebagai bentuk pemidanaan. Ini diakibatkan karena pada masa tersebut sering terjadi ketidak-pastian hukum dan pada akhirnya perampasan keadilan dan kesamaan hak dimata hukum. Dimana teori pembalasan lebih menekankan kepada perbuatan dilakukan bukan kepada subjek yang melakukan. Walaupun teori pembalasan lebih keras lagi menyatakan tentang
21
Muladi dan Barda Nawawi Arief, , Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 27-32
berat yang ditanggung korban harus setimpal dengan pidana yang akan dijatuhkan kepada si pembuat. 2. Aliran Moderen (Modern School) Alran ini timbul pada abad ke-19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat. Aliran ini sering disebut aliran positif. Menurut aliran ini, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yurudis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkret bahwa perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor biologis, dan faktor lingkungan kemasyarakatannya. Perkembangan
ilmu
kemasyarakatan
telah
juga
turut
memperkembangkan ilmu pengetahuan hukum pidana. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat adalah salah satu ilmu yang memperkaya IPHP (Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana). Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari “Social Science” menimbulkan satu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan peraturan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar terlindung kepentingan hukum dan masyarakat.22 Tokoh aliran ini antara lain Lombroso, Lacassagne dan Ferri.
22
S.R. Sianturi, Asas – asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-petehaem, 1989), h. 55
Jadi poin penting dalam aliran ini adalah bahwa kejahatan yang dilakukan pertanggungjawabannya bukan kepada perbuatannya tetapi kepada sifat berbahaya atau tidakkah si pembuat (etat dangereux).23 Hal-hal yang telah dijelaskan diatas menjadi suatu penerangan tentang teori pemidanaan yang digunakan dalam aliran ini. Dimana poin penting seperti subjektifitas (keadaan si pembuat) dan masa yang akan datang (proses rehabilitasi) merupakan bagian penting dalam aliran ini. Untuk itu penulis melakukan sinkronisasi antara aliran modern dengan teori pemidanaan. Bahwa aliran ini bisa dianggap memakai teori
pemidanaan yang
berdasarkan dengan tujuan atau biasa disebut dengan teori relatif. Teori relatif ini lebih menekankan kepada perbaikan si pembuat dan perlindungan terhadap masyarakat. Akan tetapi, menurut penulis aliran ini tidak hanya didasarkan kepada teori tujuan (relatif), melainkan aliran ini juga mengadopsi teori gabungan. Dimana tujuan pemidanaan tidak harus mengurangi nilai dari pidana yang dijatuhkan terhadap si pembuat. Setelah melihat pemaparan tentang teori pemidanaan dan aliran-aliran dalam hukum pidana. Sampailah kepada penjelasan tentang tujuan pemidanaan. Dimana tujuan pemidanaan merupakan bagian penting dari jatuhkannya sebuah pidana dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Salah satu tujuan pemidanaan terhadap
23
Muladi dan Barda Nawawi Arief, , Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 32
pelaku tindak pidana adalah mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana dan orang-orang yang mempunyai maksud melakukan kejahatan. Yang mana pencegahan ini mempunyai aspek ganda, yaitu: 1. Pencegahan individual; bilamana penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan di kemudian hari apabila ia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya. (pada bagian ini pidana dianggap mempunyai daya untuk memperbaiki diri) 2. Pencegahan khusus; pencegahan ini memiliki beberapa segi faktor yang harus dilihat, yaitu: a. Faktor tipologi kejahatan (jenis) tekanan emosional dan kelainan jiwa. b. Faktor karakteristik dan personalitas pelaku kejahatan (kedudukan ekonomi, sosial, latarbelakang keluarga pelaku) c. Faktor kepastian dan kecepatan penjatuhan pidana (resiko ditangkap dan penanganan perkaranya secara cepat).24 Jika kita menilik pada KUHP yang merupakan warisan Belanda, yang berlaku sampai sekarang, tidaklah diatur sama sekali mengenai tujuan pemidanaan ini. Namun dalam naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS) Konsep 2004 (untuk selanjutnya disebut RUU KUHP), tujuan pemidanaan
24
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: PT. Alumni, 2004), h. 81 -82
atau hukuman ini ditentukan dengan tegas. Yang tercantum dalam Bab III pasal 54 RUU KUHP25 : (1)
Pemidanaan bertujuan: a.
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.
menyelesaikan
konflik
yang
ditimbulkan
oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan d. (2)
membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Jadi, pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana social
defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan perorangan (pembuat) dan masyarakat. Melihat dari uraian diatas bisa dikatakan tujuan yang akan dicapai melalui adanya pemidanaan, yaitu:
Memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri. 25
http://anggara.org/2006/07/26/ruu-kuhp/ , diakses hari Rabu, tanggal 3 Desember 2008
Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan.
Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat – penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi dengan cara lain.
B. Pidana dan Pemidanaan Menurut Hukum Pidana Islam 1.
Kategorisasi Tindak Pidana Sebelum memaparkan permasalahan tentang macam – macam pidana atau
hukuman (uqubah), penulis mencoba menjelaskan macam-macam tindak pidana (jarimah) dalam hukum pidana Islam yang didasarkan pada berat-ringannya hukuman atau pidana yamg diancamkan. Yaitu sebagai berikut: a.
Jarimah Hudud Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancamkan hukuman hudud atau had, yaitu hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya dan menjadi hak Allah SWT.26 Dimana hukuman had tidak memiliki batas terendah dan batas tertinggi. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu: 1. Zina, adalah memasukan zakar kedalam faraj secara melawan hukum (syar’I). Para ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda redaksinya, namun dalam substansinya sama. Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa zina, adalah hubungan kelamin laki26
Hak Allah SWT disini berarti bahwa hukuman tersebut tidak dapat dihapuskan oleh perseorangan (individu) atau masyarakat.
laki dan perempuan di luar nikah. Dasar hukumnya surat al-Israa’ ayat 32 :
(٣٢: ) اﻹﺴﺮاﺀ Artinya: “dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Israa/17 : 32) 2. Qadzaf , adalah menuduh orang berzina. Dasar hukumnya surat an-Nur ayat 4 :
﴾ ٤: ٢٤ / ﴿ اﻠﻨور Artinya: “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik27 (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orangorang yang fasik. (Q.S. An – Nuur / 24 : 4) 3. Syurb’ Khamr, adalah meminum segala sesuatu yang memabukan baik sedikit ataupun banyak. Dasar hukumnya surat al-Ma’idah ayat 90 :
(٩٠׃٥/ )اﻠﻤﺂﺌﺪة
27
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-Ma’idah/5 : 90) Jadi, yang diharamkan disini adalah zatnya bukan kadar banyak ataupun sedikitnya meminum-minuman khamr (berakohol).
4. Mencuri, adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi tahu dengan jalan menyembunyikan. Dasar hukumnya surat al-Ma’idah ayat 38 :
(٥:٣٨/ )اﻠﻤﺂﺌﺪة Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .” (Q.S. al-Ma’idah/5 : 38) 5. Hirabah (perampokan)28, adalah keluar dengan mengambil harta orang lain secara terang-terangan dan dengan cara mengalahkan. Dasar hukumnya surat al-Ma’idah ayat 33 :
28
Pada dasarnya ada 3 (tiga) tipe atau jenis perampokan, yang antara lain: (1) hanya Menakut-nakuti tidak sampai mengambil harta, dengan Hukumannya adalah pengasingan; (2) Menakut-nakuti sekaligus mengambil harta, yang dikenakan pidana pemotongan anggota badan (dilakukan sekaligus berselang-seling antara tangan kanan dan kaki kiri); (3) Menakut-nakuti, mengambil harta, serta membunuh (satu kesatuan), pada jenis yang terakhir ini dikenakan pidana mati dan ada yang sampai mati disalib secara bersamaan.
(٣٣׃٥/ )اﻠﻤﺂﺌﺪة Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik29, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (Q.S. al-Ma’idah/5 : 33) 6. Murtad, adalah keluarnya seseorang dari agama Islam. Dasar hukumnya adalah surat al-Baqarah ayat 217 :
... ﴾٢١٧׃٢/ ﴿اﻠﺒﻘرة Artinya: ”... Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al – Baqarah / 2 : 217) 7. Al-Baghyu (memberontak), adalah keenganan untuk mentaati imam (pemimpin) yang sah tanpa alasan yang benar (tanpa hak = bi ghair al-
29
Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
haqa) serta dengan mengangkat atau menggunakan senjata.30
Dasar
hukumnya ialah surat al-Hujurat ayat 9 :
(٩׃٤٩/﴿ اﻠﺤﺠﺮاﺖ Artinya: “dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Hujaraat /49 : 9)
b.
Jarimah Kisas-Diat 31 Jarimah kisas dan diat adalah jarimah yang diancamkan pidana Qishash atau diat. Arti ’kisas’ ialah si pelaku jarimah dihukum seperti perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan arti ’diat’ ialah pembayaran sejumlah harta sebagai ganti rugi kepada pihak korban.32 Kisas dan diat merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah ditentukan. Arti ’telah ditentukan”
30
K.H. Alie Yafi, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Judul Asli: At-Tasryi’ aljina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Pengarang: Abdul Qadir Audah, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2007), Jilid 1, h. 99 31 Para fuqaha terkadang mengistilahkan tindak pidana kisas dan diat dengan jinayah, tetapi sebagian lain mengistilahkan dengan jirah dan ada juga yang mengistilahkan dengan ad-dima. 32 Diat merupakan Ganti Rugi, bukan denda. Karena hubungannya antara individu bukan antara individu dan negara atau pemerintah yang berkuasa.
disini ialah tidak memiliki batas minimum dan batas maksimum. Kemudian arti ’hak inividu” ialah bahwa si korban atau walinya boleh memaafkan si pelaku
jika
mau,
dan
jika
dimaafkan
maka
pemaafan
tersebut
menggugurkan pidana yang dimaafkan. Jarimah qishash dan diat ada lima macam, yaitu: 1. Pembunuhan yang disengaja (al-qatlul ’amdu), merupakan perbuatan menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja. Dengan demikian kematian korban dikehendaki oleh si pelaku. 2. Pembunuhan yang menyerupai sengaja (al-qatlu syibhul ’amdi), perbuatan yang sengaja dilakukan namun salah dalam membunuh. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan bukan disengajakan untuk membunuh namun mengakibatkan kematian. Contohnya; memukul seseorang dengan benda atau alat yang biasanya tidak bisa membunuh atau bukan untuk membunuh, seperti tangan, tongkat, dan lain-lain. 3. Pembunuhan tersalah atau tidak sengaja (al-qatlul khata’), pembunuhan yang dilakukan secara tidak sengaja, baik perbuatannya maupun akibatnya. Seperti menembak burung tapi ternyat terkena orang lain dan mengkibatkan terbunuhnya orang tersebut. 4. Penganiayaan yang disengaja (al-jarhul ’amdu), perbuatan yang disengaja oleh si pelaku dengan menciderakan anggota badan si korban atau memberi dampak pada keselamatannya tetapi tidak sampai meninggal dunia.
5. Penganiayaan yang tersalah (al-jarhul khata’), pencederaan anggota badan secara tidak sengaja dan tidak sampai meninggal dunia.33 Dasar hukum pada jarimah kisas dan diat adalah :
Surat al-Baqarah ayat 178 :
﴾١٧٨ :٢/ ﴿اﻠﺒﻘرة Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.34 (Q.S. al-Baqarah / 2 : 178)
33
Surat al-Ma’idah ayat 45 :
Muhammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2008), h. 94 -97 34 Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.
(٤٥׃٥/)اﻠﻤﺂﺌﺪة Artinya: “dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Ma’idah/5 : 45)
Surat al-Nisa’ ayat 92 :
(٩٢׃٤/ )اﻠﻨﺴﺂﺀ Artinya: ”dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar dia tyang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (Q.S. an-Nisa’/4: 92)
c.
Jarimah Takzir Takzir merupakan pemberian pengajaran atas perbuatan – perbuatan yang dilarang dan tidak disyariatkan hukuman hudud atasnya, atau hukuman atas
jarimah – jarimah yang belum ditentukan oleh syar’i hukumannya.35 Dimana takzir merupakan sekumpulan hukuman yang belum ditentukan jumlahnya, yang dimulai dari hukuman yang paling ringan, seperti nasihat dan teguran, sampai kepada hukuman yang paling berat, yaitu kurungan dan dera, bahkan sampai kepada hukuman mati dalam tindak pidana berbahaya. Jadi,
hukum
Islam
tidak
menentukan
macam-macam
pidana
dan
pemidanaan untuk tindak pidana takzir, dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih pidana yang sesuai dengan macam tindak pidana takzir serta keadaan si pelaku. Singkatnya pidana pada jarimah takzir tidak ditentukan banyaknya dan jumlahnya seperti jarimah hudud atau qishas-diat. Syara’ hanya menentukan sebagian jarimah takzir, yaitu perbuatanperbuatan yang selamanya akan tetap dianggap sebagai tindak pidana, seperti; riba, mengkhianati janji, memaki orang, menyuap dan sebagainya. Adapun sebagian besar dari tindak pidana takzir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya dengan maksud mengatur masyarakat dengan menjauhkan dari perbuatan maksiat (kemaslahatan umum) dan memelihara kepentingannya tanpa keluar atau berlawanan dengan syar’i.
35
K.H. Alie Yafi, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid 1, h. 100
Setelah melihat pemaparan diatas, perlu diketahui juga beberapa hal pentingnya
pembagian jarimah menjadi hudud, qishash-diat, dan takzir. Yaitu
sebagai berikut :36
Segi Pengampunan, pada jarimah hudud tidak ada pengampunan sama sekali, baik dari si korban maupun dari penguasa tertinggi (kepala negara). Adapun pada jarimah kisas, pengampunan dapat diberikan oleh si korban
ataupun walinya. Dalam hal ini, pengampunan yang diberikan mempunyai pengaruh atau akibat hukum lain. Dimana si korban memberikan pemaafan pidana qishash untuk diganti dengan pidana diat sebagaimana ia juga bisa membebaskan si pelaku dari pidana diat. Kepala negara dalam jarimah qishash tidak dapat memberikan pengampunan karena pengampunan disini hanya dimiliki (yang mempunyai hak) oleh korban dan walinya. Dalam jarimah takzir penguasa diberi hak untuk membebaskan si pelaku dari hukuman, dengan syarat tidak mengganggu hak pribadi si korban. Si korban juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak pribadinya, tetapi hanya sebatas meringankan bukan menghapuskan pemidanaan karena jarimah yang dilakukan si pelaku menyinggung hak masyarakat. Jadi didalam jarimah takzir seorang hakim mempunyai kekuasaan dalam mempertimbangkan keadaan-keadaan yang meringankan serta peringanan pidana.
36
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) h. 9-10
Segi Kekuasaan Hakim, dalam jarimah hudud, apabila jarimah sudah dapat dibuktikan maka hakim harus melaksanakan pidana yang telah dtentukan, tanpa mengurangi menambah, mengganti, atau menunda pelaksanaannya. Artinya kekuasan hakim dalam jarimah hudud hanya sebatas pembacaan putusan. Pada jarimah kisas, kekuasaan hakim terbatas pada penjatuhan pidana yang
telah ditetapkan, apabila perbuatan yang dituduhkan kepada si pelaku telah dapat dibuktikan. Kalau korban memaafkan si pelaku dari qishash atau qishash tidak dapat dilaksankan karena alasan syar’i, maka hakim harus menjatuhkan pidana diat kepada si pelaku selama si korban tidak memaafkannya dari diat. Kalaupun diat ini juga dibebaskan oleh korban kepada si pelaku, maka hakim dapat menjatuhkan pidana takzir. Adapun pada jarimah takzir, hakim mempunyai kekuasaan yang luas untuk memberikan jenis dan ukuran pidana, memberikan pemberatan atau peringanan pidana dan juga dapat menyegerakan ataupun menunda pelaksanaan pemidanaan.
Segi Keadaan-keadaan yang Meringankan (az-Zuruf al-Mukhaffah), keadaan-keadaan yang meringankan hanya berpengaruh pada jarimah takzir. Sedangkan pada
jarimah hudud,
kisas-diat,
keadaan-keadaan yang
meringankan tidak berpengaruh apapun, artinya pidana atas ketiga jarimah tersebut tetap dilaksanakan bagaimanapun keadaan si pelaku.
Segi Pembukatian Jarimah, dalam pembuktian sebuah jarimah, baik hudud, kisas-diat, dan takzir, hukum Islam mensyaratkan adanya saksi yang jumlahnya telah ditentukan. Jika pembuktiannya hanya berupa saksi-saksi seperti dalam jarimah zina maka dibutuhkan empat orang saksi. Adapun jarimah hudud yang lain dan juga kisas-diat sedikitnya membutuhkan dua orang saksi. Sedangkan dalam jarimah takzir hanya diperlukan satu orang saksi.37
2.
Pengertian Pidana Dalam istilah pidana Islam, Pidana disebut dengan uqubah ( ) اﻠﻌﻘﻮﺒﺔ.38
Sedangkan menurut referensi lainnya, Pidana atau uqubah diartikan sebagai pembalasan dengan keburukan.39 Untuk itu penulis dalam menjelaskan pidana dan pemidanaan menurut hukum pidana Islam, lebih memakai istilah pidana dari pada istilah hukuman atau uqubah, agar meminimalisasi pemakaian istilah. Abdul Qadir ’Audah memberikan definisi Hukuman sebagai berikut: ”Hukuman adalah sanksi hukum yang telah ditentukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah syar’i(Allah SWT dan Rasul-Nya).”40
37
K.H. Alie Yafi, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid 1, h. 101-102 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 952 39 Luis Ma’lup, Al-Munjid, (Beirut: Daar al-Masayrik, tanpa tahun), Cet. X, h. 518 40 K.H. Alie Yafi, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid 3, h. 19 35 Abdul Aziz Dahlan., dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Uctiar Baru van Hoeve, 1996), h. 1971 38
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Pidana adalah akibat yang timbul dari perbuatan yang melanggar ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. 41 Dari penjelasan diatas jelaslah yang dimaksud Pidana (uqubah) adalah pembalasan yang ditetapkan atas perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk menjamin kehormatan perintah syar'iyyah yang bertujuan unfuk menciptakan kemaslahatn individu dan masyarakat. Dari paparan tersebut diatas dapat dimengerti pula bahwa pidana tersebut harus mempunyai dasar baik dari al-Qur’an, hadits atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus takzir. Dengan perkataan bahwa perbuatan seseorang yang cakap (mukhallaf) tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya pada saat nash yang melarangnya. 42 Asas legalitas pada Syari'at Islam seperti tersebut diatas, yang memberi kesimpulan bahwa tidak ada jarimah atau pidana atas setiap perbuatan tanpa adanya nash (Aturan-aturan) yang disebut syara’. dan firman Allah SWT yang menerangkan tentang asas legalitas dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
(١٥:١٧/ ) اﻹﺴﺮاﺀ … Artinya: ”...Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Israa/17 : 15)
36
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 47
… (٥٩:٢٨/ ) اﻠﻘ۔ﺼﺺ Artinya: ”Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka...” (QS. al-Qashash/28 : 59)
(٢٨٦:٢/ … ) اﻠﺒﻘﺮة Artinya: ”Allah tidak membebani seseorang melainkan kesanggupannya…” ( QS. Al-Baqarah/2 : 286 )
sesuai
dengan
Nash-nash tersebut dengan jelas berisi suatu ketentuan, bahwa tidak ada sesuatu jarimah43 kecuali sesudah ada penjelasan, dan tidak ada pidana kecuali sesudah ada pemberitahuan. Juga bahwa Allah tidak menjatuhkan sesuatu siksa atas sesuatu umat manusia, kecuali sudah ada penjelasan dan pemberitahuan melalui Rasul-Nya dan pembebanan kepada mereka termasuk perkara yang disanggupi. Ini mengakibatkan bahwa pidana Untuk dapat dinyatakan sah dan berlaku, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
43
Ahmad hanafi berpendapat pengertian jarimah tidak berbeda dengan tindak pidana pada hukum positif. Pengertian jarimah sendiri adalah perbuatan syara' baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun lainnya.
a.
Pidana bersifat syar’i, yaitu Pidana harus bersandar kepada sumber-sumber hukum islam (Al-Qur’an, Hadist, Ijmak, dst.) dan juga undang-undang yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.
b.
Pidanabersifat perseorangan (personal), yakni pidana hanya menimpa pelaku, tidak kepada yang lain.
c.
Pidana bersifat umum, artinya bahwa pidana dapat dijatuhkan kepada siapa pun, baik dia miskin-kaya, cerdas-bodoh, penguasa-rakyat. Semuanya mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.
3.
Jenis – Jenis Pidana Pidana itu dapat dikategorikan menjadi beberapa macam tergantung kepada
sudut pandang kita terhadapnya. Tetapi penulis mencoba menjelaskan pidana berdasakan tindak pidana (jarimah)
yang dilakukan si pembuat. Berikut
penjelasannya: 1.
Pidana Hudud, yaitu sanksi pidana yang ditetapkan untuk jarimah hudud.44 Ada beberapa poin penting di dalam menegakan pemidanaan dalam jarimah hudud, yaitu:
Asas legalitas, dimana setiap perbuatan yang dilakukan harus ada nash yang melarangnya. Ini dikarenakan agar ketika seorang pembuat perbuatan yang dilarang tidak dihukum atas perbuatannya dimasa lalu
44
Jarimah Hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu; Zina, Qadzaf, Khamr, Mencuri/Sariqa, Hirabah, Murtad, dan Pemberontak (Bughat).
yang ditetapkan sebagai jarimah dikemudian hari.
Prinsip kehati-hatian, ketika hudud akan diterapkan harus dengan penuh kehatian-hatian. Hudud tidak dapat dijatuhkan bila ditemukan keraguraguan (syubhat). Karena akan menjadi lebih baik, pada saat membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Disini berlaku qaidah ”Adlaruuratu tubiihu al-mahdzuraat” (keadaan darurat memperbolehkan melakukan yang dilarang), dimana terjadi dilematis akibat dari keragu-raguan timbul.
Prinsip pembuktian yang akurat, prinsip ini menjamin bahwa penjatuhan atas pidana hudud benar-benar tepat sasaran, yakni mengenai orang yang memang layak mendapatkannya. Pembuktian merupakan aspek penting dalam jarimah hudud, karena pembuktian yang akurat harus dilakukan sebelum putusan dijatuhkan. Karena putusan dapat diambil ketika si pembuat dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah atas perbuatan yang dilakukannya.45
Berikut ini perincian pidana dalam jarimah hudud : a. Pidana Zina 1. Unsur – unsur Zina:
Persetubuhan yang diharamkan, di dalam persetubuhan ini dapat diukur dari; apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk
45
123-125
Muhammad Ichsan dan M Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif , h.
kedalam farji (vagina) walaupun sedikit. Dan juga, tetap dianggap zina walaupun ada penghalang tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama. Persetubuhan haram itu dianggap zina jika dilakukan oleh seseorang dengan orang lain yang bukan miliknya atau bukan pasangan yang sah.
Adanya kesengajaan atau niat melawan hukum, unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan sesuatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia mengetahui bahwa wanita yang disetubuhi adalah wanita yang haram baginya.46
2. Bentuk Pidana Zina:
Pidana dera, pidana dera sebanyak seratus kali diancamkan atas perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang ghair muhsan (belum kawin). Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 2 :
﴾٤: ٢٤ / ﴿ اﻠﻨور Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah 46
Ibid., h. 126-128
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. An – Nuur / 24 : 4)
Pidana Pengasingan (tagrib), hukuman pengasingan ini dikenakan selama satu tahun selain hukuman jilid kepada pembuat zina ghair muhsan (belum kawin).
Pidana Rajam,
pidana rajam adalah pidana mati dengan jalan
dilempari dengan batu, dan yang dikenakan adalah pembuat zina muhsan (telah menikah), baik laki-laki ataupun perempuan. Apabila terjadi perbuatan zina antara laki-laki yang muhshan (telah menikah) dengan perempuan ghair muhshan (lajang). Maka bagi laki-laki berlaku pidana rajam, sedangkan untuk perempuan berlaku pidana dera. Demikian pula bila terjadi sebaliknya. 47 b. Pidana Qazaf (menuduh orang berzina) Pidana qazaf dikenakan hukuman dera sebanyak 80 kali, dan tidak diterima persaksian pembuatnya (hukuman tambahan). Hukuman terebut dijatuhkan apabila berisi kebohongan, akan tetapi jika berisi kebenaran maka qazaf tidak ada. Dasar hukum qazaf adalah surat an-Nur ayat 4. jariamah qazaf dapat dibuktikan, dengan:
Dengan Saksi, saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat –syarat saksi sama dengan syarat saksi dalam jarimah
47
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 197-199
zina. Yaitu; baligh, berakal, dapat berbicara, adil, islam, dan tidak terhalang menjadi saksi. Adapun jumlah saksi ± 4 orang.
Dengan Pengakuan, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh), bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup di nyatakan satu kali dalam majelis pengadilan.
Dengan Sumpah , menurut imam Syafi'i jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah; orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. 48
c. Pidana Syurb’ Khamr (minum minuman keras) Jarimah khamr dijatuhi pidana 80 kali dera. Namun pendapat Imam Syafi’i, hukuman jarimah khamr adalah 40 dera sebagai hukuman had, sedang 40 dera lainnya tidak termasuk dalam pidana had, melainkan sebagai pidana takzir. Dimana hukuman tersebut baru jatuhkan bila dipandang perlu oleh hakim atau penguasa. d. Pidana Sariqa (mencuri) Pencurian diancamkan hukuman potong tangan (dan kaki), sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 38. dan unsur-unsur dalam jarimah pencurian, adalah: 48
Ahmad Wardu Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 150.
Pengambilan secara diam – diam,
Barang yang diambil itu berupa harta,
Harta tersebut milik orang lain,
Adanya niat melawan hukum.
e. Pidana Hirabah (perampokan) Ada empat macam pidana yang dapat dijatuhkan terhadap jarimah Hirabah, yaitu: 1. Pidana Mati,
pidana ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan
(pembegal, penyamun) apabila ia melakukan pembunuhan. Pidana tersebut adalah pidana had. 2. Pidana mati disalib,
pidana ini dijatuhkan apabila pengganggu
keamanan melakukan pembunuhan disertai dengan merampas harta benda. Jadi pidana tersebut dijatuhkan atas perbuatan membunuh dan mencuri secara bersama-sama. 3. Pidana pemotongan anggota badan, pidana ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan jika ia mengambil harta tetapi tidak melakukan pembunuhan. Pemotongan disini dilakukan dengan memotong tangan kanan dan kaki kiri si pembuat secara sekaligus (selang-seling). 4. Pidana Pengasingan, pidana ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan
hanya menakut-nakuti orang yang melintas, tetapi tidak
mengambil harta dan tidak pula membunuh. Mengenai cara lamanya
pengasingan, menurut pendapat fuqaha sama dengan pengasingan dalam jarimah zina. f. Pidana Riddah (murtad) Hukuman bagi orang yang melakukan Riddah ada 3 (tiga) macam, yaitu: 1.
Pidana Pokok, pidana pokok untuk jarimah riddah adalah pidana mati. Ini sesuai dengan hadits Nabi Saw.:
﴾ ﴿ رواه اﻠﺒﺨﺎرى وه ﻠ ﺘـ ﻗـ ﻓﺎ ﻨﮫ ـ ﯿ د ل ﺒد ﻤن Artinya: "Barang siapa menukar agamanya, maka kamu bunuhlah dia". ( H. R. Bukhari )49 Bahwasanya pidana mati adalah berlaku umum untuk setiap orang yang murtad, baik ia laki-laki maupun perempuan, tua ataupun muda. Akan tetapi sebelum melaksanakan pidana tersebut diberikan kesempatan bagi terdakwa untuk bertaubat. Menurut Imam Malik waktu untuk bertaubat adalah 3 hari 3 malam.50 Dan taubatnya cukup dengan mengucapkan "Dua Kalimat Syahadat". 2. Pidana Pengganti, pidana pengganti untuk jarimah riddah berlaku dalam dua keadaan, yaitu:
Apabila pidana pokok gugur akibat Taubat. Maka hakim menggantinya dengan pidana Ta'zir yang sesuai dengan keadaan
49
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al – Bukhari, Kitab Sahih Bukhari, (t.t.: Daran Nahra al – Naiili, t.th), Juz 4, h. 191. 50 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), h. 166
pelaku perbuatan tersebut. Seperti; cambuk, penjara, denda, atau dipermalukan didepan umum.
Apabila pidana pokok gugur karena Syubhat, karena menurut pendapat Imam Abu Hanifah, seorang wanita dan anak-anak yang murtad tidak dihukum mati. Akan tetapi dipenjara dengan masa hukuman yang tidak terbatas dan keduanya kembali ke agama Islam.51
3. Pidana Tambahan, pidana tambahan bagi orang murtad dengan cara penyitaan dan perampasan harta. Menurut Imam Ahmad, Malik dan Syafi’i Apabila orang murtad meninggal atau dibunuh, maka hartanya menjadi milik bersama dan tidak boleh diwarisi oleh siapa pun. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, harta tersebut boleh diwarisi oleh ahli waris yang beragama Islam. g. Pidana Bughat (Pemberontakan) Jarimah pemberontakan dikenakan pidana mati, ketentuan ini bersumber pada firman Allah SWTdalam surat al-Hujurat ayat 49. Syariat mengambil tindakan keras terhadap jarimah pemberontakan, karena jika tidak demikian ditakutkan terjadi fitnah, kekacauan serta ketegangan yang akhirnya menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di masyarakat.52
51 52
Ahmad Wardu Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 130 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 207
2.
Pidana Kisas-Diat, yaitu pidana yang ditetapkan untuk jarimah kisas-diat yang oleh syariat Islam ada lima macam: a. Kisas, merupakan pidana bagi pembunuhan sengaja dan pencederaan sengaja. Dimana cara pemidanaannya disamakan atau seperti perbuatan jahat yang dilakukan oleh pembuatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 178-179 dan surat al-Maidah ayat 45. Sebagai contoh, jika si pelaku membunuh maka pidananya dibunuh dan bila ia mencederakan orang lain maka ia akan dicederakan. Kisas merupakan bentuk pidana yang menawarkan keadilan sejati, dimana pembuat jarimah diberi balasan yang sesuai ataupun setimpal dengan perbuatan jahatnya. Ancaman pidana yang diterapkan pada kisas berupa pembalasan (retaliation) sebagai ciri khasnya, memberikan daya cegah (prevention) dan efek jera (deterrent effect) yang luar biasa. Ada tiga sebab yang dapat menggugurkan kisas, yaitu 1. Hilangnya tempat atau objek kisas, yang dimaksud objek kisas disini adalah jiwa pelaku (pembunuh) ataupun anggota badan pelaku yang sama dengan objek kisas telah hilang. Dimana kehilangan tersebut dapat dikarenakan berbagai sebab, seperti, sakit, musibah, hukuman. Apabila objek kisas tidak ada maka dengan sendirinya kisas gugur. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah wali korban atau korban mendapatkan diat. Menurut Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah, jika kisas gugur maka korban tidak mendapat diat, karena hak korban dalam kisas adalah
bersifat asli. Sedangkan Imam
Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika hilangnya objek kisas maka korban berhak mendapat atau memilih diat, jika apapun sebab hilangnya objek kisas. 53 2. Pengampunan, korban atau walinya diberi wewenang atau hak untuk mengampuni pidana kisas. Apabila ia memaafkan si pelaku maka gugurlah kisas tersebut. Pemberian ampunan disini bisa dengan cuma-cuma atau dengan membayar diat kepada korban atau walinya. Jika kondisinya pada ampunan dengan membayarkan diat, menurut imam Malik dan Abu Hanifah, bukan merupakan ampunan, melainkan akad damai karena ampunan tersebut membutuhkan kerelaan pelaku untuk membayar diat. 3. Akad damai atau perdamaian (Shulh), perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku dapat berlangsung, sehingga dengan demikian kisas menjadi gugur. Korban, atau walinya boleh meminta imbalan yang sama dengan diat ataupun lebih. b. Diat, yakni pidana berupa kewajiban membayar ganti rugi dengan besaran tertentu kepada pihak korban untuk kasus penganiayaan ataupun pembunuhan. Status diat sendiri bisa merupakan hukuman pokok (main
53
K.H. Alie Yafi, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid 3, h. 64
punishment) dan hukuman pengganti (subtitutive punishment). Diat adalah pidana yang mempunyai satu batasan. Artinya hakim tidak berhak mengurangi atau menambahi jumlahnya. Diat itu merupakan hukuman untuk Pembunuhan Sengaja, Pembunuhan Serupa Sengaja dan Pembunuhan Salah, akan tetapi kadarnya berbeda. Pada umumnya diat itu 100 ekor unta. Tetapi didalam diat dapat terjadi pemberatan dan peringanan, dan yang membedakan bukan jumlahnya tetapi macam dan umur unta tersebut. Pembedaan tersebut dinamakan Diat Mughalladzah (yang diperberat) bagi pembunuhan sengaja dan menyerupai sengaja dan Diat Mukhaffafah (yang diperingan) diperuntukan pembunuhan salah. c. Kaffarat, adalah pidana pokok berupa memerdekakan seorang hamba yang beriman. Apabila tidak ditemukan hamba dan tidak mempunyai harta sebanyak hamba tersebut, maka digantikan dengan dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Pidana berpuasa tersebut sebagai pidana pengganti. d. Pencabutan Hak Mawaris, merupakan pidana tambahan bagi jarimah pembunuhan, selain pidana pokoknya yaitu mati, apabila antara orang yang membunuh dengan korbannya ada hubungan hukumnya adalah sabda Rasulullah Saw. :
keluarga. Dasar
ﺮا ﯿ ﻤ اﻟ ﻤﻦ ﺷﻲ ﺀ ﺘﻞ ﻘﺎ ﻟ ﻟ ﻟﺶ ﻟﯿﺲ Artinya: “Tidak ada bagian warisan sama sekali bagi orang yang membunuh”54
e. Pencabutan Hak Menerima Wasiat, pidana ini merupakan pidana tambahan. Dimana seorang pembunuh tidak mendapatakan apapun dari warisan ataupun juga wasiat.55
3.
Pidana Takzir, adalah pidana yang ditetapkan untuk segala jarimah takzir.56 Hal penting didalam pidana takzir adalah bahwa jarimah takzir tidak ditentukan di dalam Nash begitu pun dengan pemidanaannya. Walaupun seperti itu tetap saja dalam penjatuhan pidananya tidak boleh melewati ataupun tidak berdasarkan syar’i. Dalam artian tetap dalam koridor syar’i. Bentuk pidana takzir adalah sebagai berikut: a. Pidana Mati, b. Pidana dera, c. Pidana penjara, ada dua macam pidana penjara:
Pidana penjara terbatas (ada kurun waktunya), batas terendahnya ialah satu hari sedamgkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan. Biasanya pidana pnjara terbatas ini dikenakan untuk jarimah takzir biasa atau kejahatan biasa.
54 55 56
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 207 Muhammad Ichsan&M Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, h. 169 K.H. Alie Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid 3, h. 24
Pidana penjara tidak terbatas, para ulama sepakat bahwa pidana ini dikenakan bagi pelaku kejahatan yang membahayakan dan mereka yang biasa melakukan jarimah. Kurun waktunya tidak ditentukan terlebih dahulu, berarti dapat berlangsung terus menerus sampai mati atau terjadi tobat dan mau memperbaiki dirinya.
d. Pidana Pengasingan, pidana pengasingan ini diperlukan karena ditakutkan perbuatan si pelaku dapat berdampak buruk terhadap masyarakat (menarik orang lain untuk melakukannya ataumembahayakan orang lain). g. Pidana ancaman, teguran, dan peringatan, h. Pidana denda, diterapkan pada jarimah takzir seperti pencurian. Dimana seorang yang mencuri buah yang masih tergantung di pohonnya yang didenda dua kali harga buah tersebut.
4.
Filosofi Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam Filosofi dijatuhkannya Pidana adalah untuk memperbaiki keadaan manusia,
menjaga dari kerusakan, menyelamatkan dari kebodohan, menuntun dan memberikan petunjuk dari kesesatan, mengcegah dari kemaksiatan, serta merangsang untuk berlaku taat.57
57
K.H. Alie Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid 3, h. 19
Ahmad Hanafi berpendapat bahwa tujuan pokok dalam penjatuhan Pidana adalah pengcegahan (al-radd wa al-zajr) serta pendidikan (al-Işlâһ wa al-tahzb).58 Dari pemaparan diatas kemudian terlihat bahwa hukuman harus menyentuh berbagai aspek, yang mana aspek- aspek tersebut harus dapat mewujudkan tujuan dari Pidana itu sendiri. Aspek-aspek itu antara lain: a. Pidana yang dijatuhkan dapat mengcegah semua orang untuk melakukan tindak pidana, sebelum tindak pidana itu terjadi. (mengcegah orang lain untuk berbuat tindak pidana) b. Pidana dijadikan sebagai penghasil kemaslahatan individu dan kemaslahatan masyarakat, karena itu hukuman ada berbagai macam sesuai tindak pidananya, tidak hanya satu macam saja. c. Pidana bermaksud untuk memberikan pendidikan (ta’dib) kepada pelaku bukan sebagai bentuk balas dendam atas suatu perbuatan.( karena keadaan manusia bebeda-beda sesuai karakternya).
Jadi pada umumnya Pidana atau uqubah yang ditetapkan atas jarimah yang dilakukan mempunyai tujuan untuk memperbaiki individu, memelihara masyarakat, dan menjaga sistem masyarakat.59 Dan Pidana merupakan suatu upaya terakhir dalam menjaga seseorang agar tidak terjerumus kedalam lubang maksiat atau kesalahan.
58 59
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 191 Muhammad Ichsan&M Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, h. 106
BAB III PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP TERHADAP PIDANA BERSYARAT
D. Pengertian dan Pengaturan Pidana Bersyarat Dalam KUHP Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 januari 1927 dengan staatblad 1926 No. 251 jo. 486, pada bulan Januari 1927 yang kemudian diubah dengan staatblad No. 172.60 Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan
(Voorwardelojke Veroordeling). Namun berkaitan dengan
penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang sesuai sebab dengan penamaan itu memberi kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Oleh karena itu, terdapat beberapa pendapat yang di kemukakan para ahli hukum dalam mendefinisikan pidana bersyarat itu sendiri, antara lain: Muladi mendefinisikan Pidana Bersyarat sebagai suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. 61
60 61
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, h. 63 Ibid., h. 195-196
P.A.F Lamintang, berpendapat bahwa Pidana Bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang diterapkan dalam putusannya. 62 Selanjutnya R.Soesilo berpendapat bahwa, pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan-peraturan tentang “hukuman dengan perjanjian” atau “hukuman dengan bersyarat” atau “hukuman janggelan”, artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya jadi keputusan hakim tetap ada.63 R. Soesilo juga berpendapat bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat-syarat) yang telah ditentukan oleh hakim kepadanya. Melihat pendapat para ahli diatas bisa dikatakan bahwa pidana bersyarat sebagai upaya untuk menjauhi proses pemidanaan yang monoton (penjara), dalam artian selalu berujung ke penjara. Yang ditekankan disini ialah bagaimana memberdayakan pelaku tindak pidana yang masih dapat diperbaiki, dimana tidak langsung dirampas kemerdekaannya. oleh sebab itu, maka yang perlu diperhatikan
62 63
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, h. 148 R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Bogor: Politea, t.th), h. 40
juga tentunya ialah kehati-hatian hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat ini, maksudnya dalam menerapkan pidana bersyarat hakim harus sangat selektif untuk menerapkannya. Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat dalam pasal 14 a ayat (1) : Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidan melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis atau terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu. Pasal dalam KUHP tersebut diatas oleh Muladi disimpulkan menjadi persyaratan dapat dijatuhkannya pidana bersyarat yaitu antara lain: 64 1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, sehingga yang menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut, tetapi pada pidana yang dijatuhkan terhadap si terdakwa. Dari penjelasan tersebut nampak bahwa pidana bersyarat dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada saat ia member pidana satu tahun maka hakim tersebut
64
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, h. 63
memiliki hak untuk memberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan pidana bersyarat, antara lain:
Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa
pidana
denda
dan
perampasan
tersebut
memang
memberatkan pidana;
Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan Negara;
Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan.
Selain ketiga hal diatas sebagai pengecualian tidak dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, terdapat juga pengecualian lain mengenai lama waktu satu tahun juga dapat disimpangi yaitu dengan masa percobaan selama tiga tahun namun bagi kejahatan dan pelanggaran tertentu yaitu: a. Perbuatan merintangi lalu lintas atau mengganggu ketertiban atau keamanan bagi orang-orang lain ataupun melakukan sesuatu, dalam hal ini tindakan tersebut dilakukan ditempat umum dan dalam keadaan mabuk (pasal 492 KUHP);
b. Perbuatan meminta-minta pemberian di depan umum, baik dilakukan oleh sendiri ataupun oleh tiga orang atau lebih secara bersama-sama dan umur mereka sudah lebih dari enam belas tahun (Pasal 504 KUHP); c. Perbuatan
berkeliaran
kemana-mana
tanpa
memiliki
mata
pencaharian, perbuatan tersebut dilakukan oleh sendiri ataupun tiga orang atau lebih dan usia mereka diatas enam belas tahun dalam hal ini perbuatan tersebut adalah bergelandangan (pasal 505 KUHP); d. Perbuatan sebagai germo dengan mengambil keuntungan dari perbutan susila oleh seorang wanita (pasal 506 KUHP); e. Perbuatan berada dijalan umum dalam keadaan mabuk (pasal 536 KUHP). 2) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai pidana kurungan tidak diadakan pembatasan, sebab dalam pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan pada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan pengganti denda tidak dapat dikenakan pidana bersyarat karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak
mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang susah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan. 3) Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa. Pada penjatuhan pidana bersyarat, harus mencantumkan alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim terhadap putusan yang dijatuhkan kepada terpidana. Dan alasan-alasan tersebut harus juga disertai oleh syarat-syarat. Didalam pidana bersyarat terdapat ”syarat umum” dan ”syarat khusus”. Syarat umum adalah bahwa terpidana tidak boleh melakukan suatu tindak pidana atau yang sifatnya melanggar hukum selama masa percobaan yang telah ditentukan oleh hakim. Syarat khusus yang mengatakan bahwa harus mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya yang sifatnya melanggar hukum, baik seluruhnya ataupun sebagian dari kerugian yang telah ditetapkan di dalam perintah penangguhan pelaksanaan pidana. 65 Di dalam syarat-syarat khusus tersebut, hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana. Akan tetapi, syaratsyarat tersebut tidak boleh menghalangi terpidana untuk beragama dan tidak boleh membatasi terpidana melakukan kegiatan yang sah menurut ketatanegaraan (pasal 14c ayat (3) KUHP).
65
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, h. 154
Beberapa hal yang dikemukakan diatas adalah menyangkut persyaratan dapat dan tidak dapatnya dijatuhkan pidana bersyarat. Selain itu, juga perlu diketahui bahwa masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti (pasal 14b ayat (2) ), selain itu keputusan hakim itu sendiri telah diberitahukan kepada terpidana sesuai dengan tata aturan hukum yang sah, apabila kita mengacu kepada staatsblad tahun 1926 No. 251 jo. 486 mengenai aturan pidana bersyarat (regeling van de voorwaardelijke veroordeling) itu sendiri bahwa dalam pasal 1: 66 “ditentukan keputusan pengadilan yang berisi tentang pidana bersyarat setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan pengandilan, secepat mungkin harus diberitahukan kepada terpidana secara pribadi dan menjelaskan mengenai isi dari putusan tersebut, dengan menyerahkan surat pemberitahuan mengenai pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dan mengenai semua isi keputusan yang berkenaan dengan perintah tersebut.” Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu mempertimbangkan pendapat muladi yang memberikan persyaratan tambahan untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti berbuat, antara lain:67 1.
Sebelum melakukan tindak pidana tersebut terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana yang lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku;
66 67
Ibid., h. 157 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, h. 198-200
2.
Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun);
3.
Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar;
4.
Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar;
5.
Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adaya hasutan orang lain yang dilakukan untuk dapat dijadikan dasar memanfaatkan perbuatannya;
6.
Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya;
7.
Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
8.
Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya;
9.
Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
10. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan, bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain; 11. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya; 12. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non-intitusional;
13. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; 14. Tindak pidana terjadi karena kealpaan; 15. Terdakwa sudah sangat tua; 16. Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa; 17. Khusus untuk terdakwa dibawah umur, hakim kurang yakin akan kemampuan orang tua untuk mendidik.
Berkaitan dengan pelaku yang dikenai pidana bersyarat, apabila dalam proses
pemeriksaan
terpidana
bersyarat
dikenai
penahanan
(perampasan
kemerdekaan), maka masa percobaan terhadap terpidana tersebut tidak berlaku pada saat selama terpidana tersebut dirampas kemerdekaannya (pasal 14b ayat (3) ). Bagi pelaku tindak pidana yang diijatuhi pidana bersyarat, hakim dapat memberikan syaratsyarat khusus selain daripada syarat umum yang telah disebutkan diatas, syarat khusus yang dapat dijatuhkan hakim tersebut seperti pembebanan ganti rugi terhadap korban berkaitan dengan akibat yang timbul dari perbuatan pelaku yang telah melanggar hukum, pembebanan ganti rugi tersebut menyangkut sebagian ataupun seluruh kerugian yang ditimbulkan (pasal 14c ayat (1) ), akan tetapi persyaratan khusus yang dapat dijatuhkan oleh hakim tersebut tidak boleh membatasi kemerdekaan terpidana untuk beragama dan kebebasannya menurut ketatanegaraan. Seseorang yang dikenai pidana bersyarat apabila melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan hukuman yang diterimanya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun jika si terpidana tidak mentaati serta melanggar syarat khusus yang telah
dijatuhkan kepadanya maka hakim yang menjatuhkan pidana bersyarat tersebut dapat memerintahakan agar hukuman sebagai konsekuensi pidana bersyarat tersebut dilaksanakan atau memberi peringatan terhukum atas perbuatan yang telah dilakukannya. Pidana bersyarat berlaku sehubungan pidana pokok yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidananya sendiri adalah pidana penjara, namun dengan pertimbangan tertentu maka hakim memberikan kesempatan kepada terpidana untuk tidak perlu menjalani pidana penjara tersebut. Sebab hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat ini berpendapat terpidana masih memiliki kesempatan dan mau untuk berubah terpidana untuk memperbaiki diri, dan terpidana tidak dipisahkan keberadaannya dari masyarakat, hal ini sama dengan pendapat Roeslan Saleh, yaitu: “Janganlah jatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan yang tidak bersyarat, jika suatu pidana bersyarat dipandang telah cukup. Janganlah jatuhkan pidana perampasan kemerdekaan yang sifatnya adalah panjang, jika suatau pidana waktunya pendek telah menyelesaikan persoalan itu.”68
Berdasarkan pengertian serta pengaturan pidana bersyarat diatas maka Muladi memberikan pendapat mengenai manfaat-manfaat dari pidana bersyarat tersbeut, antara lain:69 a.
Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu, dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum
68
Roeslan Saleh, “dari Lembaga Kepustakaan Hukum Pidana”, (Jakarta: Sinar Grafika, 1998),
69
Ibid., h. 197
h. 50
serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut. b.
Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal.
c.
Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibatakibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha permasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat.
d.
Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sistem koreksi yang berdaya guna.
e.
Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana.
f.
Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pengcegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan.
E. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam RUU KUHP
Pada penulisan ini yang dikatakan sebagai RUU KUHP adalah Rancangan Undang-Undang KUHP yang dilakukan pembahasannya pada tahun 2004 dan selanjutnya dalam tulisan ini akan disebutkan sebagai
RUU KUHP. Dengan
koordinator panitia terpadu penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah Prof. Dr. Muladi, S.H.. Pembahasan mengenai pidana bersyarat dalam tulisan ini akan dikaitkan dengan pidana sejenis ataupun pidana yang memiliki kemiripan dengan pidana bersyarat, yaitu pidana pengawasan. Menurut penulis jenis pidana tersebut merupakan pembaharuan dari pidana bersyarat yang berlaku secara positif di Indonesia saat ini, sebab dalam pidana ini juga diatur berlakunya pidana pokok lain apabila terpidana melanggar syarat-syarat yang telah dibebankan kepadanya, sebab dalam RUU KUHP tersebut tidak ditemukan pidana bersyarat. Jika kita menilik pada pembahasan bab sebelumnya terdapat penjelasan tentang tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP, yang dimuat dalam pasal 54 ayat (1) dan (2). Di dalam pasal tersebut dikatakan (intinya) bahwa tujuan pemidanaan sebagai upaya untuk memperbaiki perilaku salah atau menyimpang dari pelaku tindak pidana, sehingga sekalipun para pelaku tersebut sudah dikenai sanksi pidana akan tetapi mereka tetap dapat diterima dalam masyarakat dan sudah cenderung meninggalkan tujuan pemidanaan sebagai tindakan balas dendam semata.
Selain tentang tujuan pemidanaan salah satu hal yang menarik untuk dicermati dalam RKUHP yaitu mengenai pengaturan pedoman pemidanaan yang diatur secara tegas dan dalam pasal tersendiri, yaitu dalam pasal 55 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan : a.
kesalahan pembuat tindak pidana;
b.
motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c.
sikap batin pembuat tindak pidana;
d.
apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e.
cara melakukan tindak pidana;
f.
sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g.
riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;
h.
pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i.
pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j.
Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya ; dan/atau
k.
pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 55 ayat (2) mengatakan bahwa; ”Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.” Dalam pasal 55 ayat (1) dan (2) tersebut nampak bahwa terdapat perkembangan yang memberikan jaminan bagi para pelaku tindak pidana untuk memperoleh tujuan hukum sebenarnya yaitu ”keadilan”, dengan pengaturan pedoman
pemidanaan dengan terinci tersebut juga memudahkan hakim untuk dapat mengambil keputusan dalam sebuah perkara pidana, tetapi sekalipun hakim memiliki pedoman dalam memidana perlu diingat juga bahwa hakim bukanlah corong undang-undang semata akan tetapi mereka harus memepertimbangkan rasa keadilan korban, pelaku dan masyarakat. Pidana bersyarat pada RUU KUHP memang mengalami pembaharuan, dimana pidana pengawasan yang didalam beberapa pasal dalam RUU KUHP tersebut antara lain, pasal 77 yang menyebutkan bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan. Dalam Pasal 78 ayat (1) RUU KUHP mengatur bahwa Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dan kemudian dalam ayat (2) menyebutkan bahwa Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun. Sedangkan di ayat (3)–nya terdapat beberapa syarat untuk dapat dijatuhkannya pidana pengawasan antara lain: a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau
c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
Berdasarkan beberapa pasal dalam RUU KUHP nampak bahwa keberadaan pidana bersyarat ini mempunyai maksud dan tujuan yang hampir sama dengan pidana bersyarat dalam hukum positif.
F. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam Hukum Pidana Islam Dalam hukum pidana Islam secara umum, tidak ditemukan sebuah istilah yang mengandung makna “pidana bersyarat” secara menyeluruh. Namun demikian, berdasarkan ciri-ciri yang dapat dikategorikan pidana bersyarat dalam hukum pidana Indonesia, terdapat beberapa klasifikasi yang serupa dengan pidana bersyarat dalam hukum pidana Islam, antara lain: 1.
Bahwa, pidana bersyarat merupakan salah satu jenis pidana yang termasuk dalam sistem pemidanaan;
2.
Bahwa di dalam pidana bersyarat, pidana pokok awal tidak dijalankan karena sebab tertentu. Akan tetapi, timbul pidana pokok70 lain dengan disertai syarat-syarat didalamnya;
70
Pidana pokok disini diartikan sebagai pidana yang harus dijalankan, walaupun jenisnya sebagai pidana pengganti dari pidana pokok yang sebenarnya.
3.
Bahwa, tidak dihilangkannya maksud dan tujuan dari pemidanaan itu sendiri (efek jera dan pendidikan).
Berdasarkan klasifikasi tentang pidana bersyarat diatas, dapat menunjukan kedekatan proses pemidanaan ini dengan jenis pidana dalam hukum pidana Islam, diantaranya yaitu: Diat Diat merupakan suatu jenis pidana yang memberikan sejumlah harta dalam ukuran tertentu, yang diberikan pelaku68 tindak pidana kepada korban atau ahli warisnya. 71 Merujuk definisi diatas, maka diat mrupakan pidana yang mempunyai satu batasan. Artinya, hakim tidak berhak mengurangi atau menambahai jumlahnya. Jadi, diat merupakan pidana ganti rugi dari pelaku kepada korban (murni diterima oleh pihak korban). Pada dasarnya hukum pidana Islam menetapakan dua bentuk pidana atas tindak pidana pembunuhan dan pelukaan, yaitu kisas dan diat. Kisas merupakan pidana pokok pada tindak pidana tersebut diatas, dimana pidana kisas ini merupakan jenis pidana yang menghukum pelakunya seperti apa yang telah dilakukannya terhadap korban. Akan tetapi yang menjadi kelebihan dari pidana ini adalah, adanya hak perorangan didalamnya. Maksudnya, bahwa korban atau walinya diberi wewenang 71
K.H. Alie Yafi, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid 3, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2007), h. 71
untuk pemaafan atas pidana kisas. Apabila korban atau walinya memaafkan, maka gugurlah pidana kisas tersebut. Pemberian pemaafan terkadang bisa dengan cumacuma dan pidana diat pun menjadi batal (gugur). Yang perlu ditekankan disini adalah, bahwa batalnya pidana kisas tidak srta-merta pelaku bebas begitu saja. Dimana hakim ataupun penguasa dapat mengalihkan dengan bentuk pemidanaan yang lain dengan melihat diri dan kondisi korban. Dasar hukum dari diat itu sendiri tersirat didalam firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa’ ayat 92 :
(٩٢:٤/ )اﻠﻨﺴﺂﺀ Artinya: ”dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar dia yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah...” (Q.S. an-Nisa’/4: 92)
Dan juga di dalam surat al-Baqarah ayat 178 :
﴾٢:١٧٨/ ﴿اﻠﺒﻘرة Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. (Q.S. al-Baqarah / 2 :178 ) Serta hadits Rasulullah Saw. :
ﻘﺎ ﻤ ﻌﺪ ﻞٌﺒ ۔ ﺗﯿ ﻗ۔ ﻠﮫ ۔ﻞ ﻗﺗ ﻣﻦ ﻓ : ﺺ ﻢ اﷲ ﻞ ﺮﺴﻮ ﻗﺎ ﻞ : ﻗﺎ ﻞ اﻋﻰ ﺰ ﺨ ﻠ ا ﺮﯿﺢ ﺸ أﯥ ﻋﻦ ﻮ ﻮا ) أﺨﺮ ﺠﮫ أ ﺑﻮأ ﺪ ا ﻮ ﻠ ﺗ۔ ﻘ۔ ﯿ أﻮ ﻘ۔ﻞ ﻠﻌ ا ﻮا ﺨذ ﺄ ﯿﻤﺎ أ إﯿ۔ ﺘ ﯿﺮ ﺨ ﯿ۔ ﺑ ﻠﮫ ھ ﻓﺄ ه ھﺬ ﺘﯽ ﻠ ( ﺪ ﻮ اﻠﻨﺴﺎ ﺌﻰ Artinya: “Dari Abi Syuraih Al-Khuza’I ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Saw : Maka barang siapa yang salah seorang anggota keluarganya menjadi korban pembunuhan setelah ucapanku ini, keluarganya memiliki dua pilihan: adakalanya memilih diat, atau memilih kisas.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i ) 72 Seiring penjelasan diatas bisa dipahami bahwa, hukum pidana Islam tidak sekeras dan sekaku yang dibayangkan. Dimana pada dasarnya, pidana kisas dan diat bertujuan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat. suatu pidana dijatuhkan atau diterapkan untuk memberantas dan mengcegah terjadinya tindak pidana serta sebagai alat untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Jadi, ketika pidana kisas
72
Juz 4, h. 17
Abu Dawud bin Sulaiman Syajastani, Sunah Abu Dawud, (Lebanon: Darul Fiqri, 1994),
gugur karena sebab yang diperbelohkan dengan syar’I, maka diat timbul menjadi pidana pokok bukan sebagai pidana pengganti. Yang paling menarik menurut penulis, adalah keunggulan dari konsep pemidanaannya. dimana hukum pidana Islam memberikan hak pengampunan (pemaafan) kepada korban
atau walinya sebagai hak absolut, yang tentunya
berdasarkan pertimbangan logis dan praktis. Pertimbangan logis disini memaknai, bahwa pemaafan diharapkan menghilangkan kedengkian dan pertikaian diantara keduanya. Artinya, ada sisi-sisi positif yang dapat merubah pribadi masing-masing baik itu korban ataupun pelaku itu sendiri. Sedangkan pertimbangan parktis, diartikan sebagai proses pengalihan bentuk pidana yang kearah lebih baik disertai sikap toleransi, memaafkan dan melemahkan rasa pemusuhan. Yang tentunya tidak melepas tanggungjawab si pelaku, yaitu membayarkan diat sebagai proses pemaafan. Hal tersebut dapat dilakukan karena diperbolehkan oleh syari’at.73 Secara umum memang semua diat adalah seratus ekor unta. Adapun beratringannya hukuman diat bukan pada bilangannya, melainkan hanya pada macam dan umur unta. Telah diketahui pada penjelasan bab sebelumnya bahwa, ada diat yang diperberat dan diat yang diperingan. Diat diperberat disebut sebagai diat Mughalladzah, jenis diat ini diberlakukan pada tindak pidana pembunuhan sengaja dan menyerupai sengaja, itupun setelah ada pemaafan dari korban atau walinya. Pemberatan diat Mughalladzah ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: 1.
Pembayaran ditanggung sepenuhnya oleh pelaku; 73
K.H. Alie Yafie, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid 3, h. 71
2.
Pembayaran harus tunai (tidak boleh dicicil); serta,
3.
Umur unta lebih dewasa. Misalnya, menurut Syafi’iyah unta harus berumur tiga tahun keatas, bahkan sebagian harus dalam keadaan bunting. 74
Sedangkan , diat Mukhaffafah (diat yang diperingan), keringanan dalam diat ini dapat dilihat dengan tiga aspek, yaitu: 1.
Kewajiban pembayaran dibebankan kepada aqilah (keluarga);
2.
Pembayaran dapat diangsur tiga tahun;
3.
Komposisi diat dibagi menjadi lima kelompok: a. 20 ekor unta bintu makhadh (unta betina umue 1-2 tahun), b. 20 ekor unta ibnu makhadh (unta jantan umur 1-2 tahun), c. 20 ekor unta bintu labun (unta betina umur 2-3 tahun), d. 20 ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun), e. 20 ekor unta jadza’ah (umur 4-5 tahun).75
Kedua diat tersebut diatas dapat dikatakan sebagai diat lengkap (ad-diyatul Kamilah). Sedangkan, ada yang dinamakan diat tidak lengkap yaitu Arsy. Ada dua jenis diat arsy. Pertama, arsy yang telah ditentukan ukurannya oleh syar’i, seperti; arsy jari dan arsy tangan. Yang kedua adalah, arsy yang belum ada ketetapan nashnya sehingga hakim diberikan wewenang untuk ukurannya.
74 75
Ahmad Wardu Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 171 Ibid., h. 171
Takzir Takzir merupakan jenis pidana terhadap jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ (al-Qur’an dan Hadits). Maka, pidana takzir adalah sekumpulan pidana yang belum ditentukan jumlahnya. Yang dimulai dari pidana yang paling ringan, seperti; nasihat dan teguran, sampai kepada hukuman yang paling berat, seperti; kurungan dan dera, bahkan sampai kepada hukuman mati dalam tindak pidana yang berbahaya.76 Adapun tindak pidana yang diancamkan pidana takzir adalah setiap tindak pidana selain pidana hudud, kisas, dan diat. Karena ketiga tindak pidana tersebut memiliki jenis pidana yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya oleh syara’. Dan ketika pidana takzir dijatuhkan atas ketiga tindak pidana tadi, maka pidana takzir bukan sebagai pidana pokok melainkan pidana pengganti. Hal ini dapat terjadi ketika terhalangnya pidana hudud yang dikarenakan, tidak sempurnanya syarat untuk melaksanakan pidana hudud; atau pidana tambahan yang ditambahkan untuk hukuman pokok, seperti pengasingan dalam tindak pidana zina (setelah hukuman dera) menurut Imam Abu Hanifah; atau pidana takzir yang ditambahkan dalam pidana kisas pada tindak pidana pelukaan, menurut Imam Abu Hanifah; atau tambahan empat puluh kali dera bagi peminum minuman keras, menurut Imam Syafi’I.77
76 77
Ibid., h. 84 Ibid., h. 85
Didalam takzir ini hakim mempunyai wewenang yang cukup luas untuk memilih jenis pidana yang sesuai dengan keadaan tindak pidana serta diri pelakunya. Kelonggaran atau kemudahan yang diberikan kepada hakim tidak mengurangi tujuan awal dalam setiap pemidanaan, yaitu sebagai wujud memperbaiki diri pelaku demi terjaganya kemaslahatan di dalam masyarakat. Yang perlu ditekankan disini adalah sifat dari pidana takzir itu sendiri. Dimana ciri khanya terletak pada keleluarsaan hakim untuk memilih diantara sekumpulan pidana-pidana lain. Ini menimbulkan sisi positif dalam penjatuhan pidana, ketika hakim menurut pandangannya dapat mempertimbangkan diri si pelaku serta keadaannya akan sebuah jenis pidana yang cocok dan dapat berjalan efektif. Dalam artian, pidana takzir ini dapat mendidik pelaku, memperbaiki, dan memelihara masyarakat tanpa menghilangkan nilai-nilai keadilan didalamnya. Dan yang paling penting adalah menepis anggapan masyarakat awam terhadap kewenangan hakim sebagai pengambil keputusan, tidak sebatas menerapkan apa yang tersirat didalam alQuran maupun hadits. Tetapi, hakim juga mampu berijtihad sesuai kemampuannya dan tidak keluar dari nilai-nilai keislaman walaupun telah diberikan wewenang yang luas. Berdasarkan pemaparan kategorisasi pidana bersyarat dalam hukum pidana Islam diatas, dapatlah dicapai suatu jenis pidana dan sistem pemidanaan yang serupa tapi tidak sama. Serupa disini dengan maksud bahwa, Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam memberikan keleluarsaan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana yang sesuai dengan tindakan dan keadaan si pelaku.
Walaupun di dalam hukum pidana Islam hanya takzir yang memberikan kekuasaan penuh kepada hakim. Maksud kata ’tidak sama’ hanya mengartikan penamaan saja yang berbeda. Namun jika ditelaah lebih dalam, konsep pidana bersyarat dalam hukum pidana Indonesia cakupannya lebih luas. Dimana pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim, jika menurut keyakinannya terdakwa dapat berubah menjadi lebih baik tanpa harus di jebloskan ke penjara. Sejalan dengan itu, dalam hukum pidana Indonesia tidak dibatasi oleh suatu tindak pidana dan ancaman pidananya, yang terpenting hakim ingin menjatuhkan pidana tidak lebih dari satu tahun dan keyakinan hakim tadi. Sedangkan didalam hukum pidana Islam, ada 3 poin penting mengenai konsep pidana bersyarat, yaitu: 1.
Bahwa, pidana bersyarat dapat dijalankan jika adanya pengampunan dari korban dan/atau ahli waris;
2.
Adanya perdamaian yang terjadi antara kedua belah pihak yang berpekara;
3.
Dibenarkan oleh Syar’I (al-Qur’an dan Hadits).
Melihat ketiga poin diatas, bisa didapat sebuah poin yang paling penting yang dapat membuka paradigma orang awam terhadap hukum pidana Islam selama ini membelenggu, yaitu; hukum pidana Islam adalah sistem hukum yang flexibel serta dinamis. Artinya, hukum pidana Islam tidak melakukan pemidanaan yang
monoton, dimana disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan serta keadaan pelaku pidana. Kecuali, bagi pidana hudud yang telah di tetapkan oleh syar’I. Karena pada intinya bahwa tujuan pokok dalam penjatuhan pidana dalam hukum pidana Islam adalah pengcegahan (al-radd wa al-zajr) serta pendidikan (alIşlâһ wa al-tahzb). Maka suatu pemidanaan hendaknya dapat mewujudkan tujuan tersebut. Karena suatu pemidanaan bukan hanya untuk tercapainya sifat efek jeranya saja, tetapi lebih kepada manfaat suatu pidana untuk dapat memperbaiki diri si pelaku setelah ia dipidana. Suatu pemidanaan akan dikatakan sukses bukan karena beratnya pidana yang dijatuhkan hakim kepada terpidana. Tetapi lebih kepada keberhasilan hakim dengan keyakinanannya menjatuhkan suatu pidana untuk memperbaiki kepribadian pelaku. Sehingga nantinya dapat terwujud sebuah pemahaman dimasyarakat akan tindak pidana atau jarimah bukan karena takut terhadap pidana yang dikenakan, melainkan lebih kepada kesadaran pribadi dan kebencian terhadap suatu tindak pidana atau jarimah yang dilarang oleh Allah SWT, tentunya agar mendapatkan keridhaan dari-Nya.
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan Pada tulisan ini telah dilakukan pembahasan mengenai pidana bersyarat
menurut tinjauan hukum pidana Islam, dengan melalui pembahasan komparatif antara dua sistem hukum, yaitu hukum pidana di Indonesia dan hukum pidana Islam, berdasarkan pemaparan tersebut maka diperoleh kesimpulan : 1. Pidana merupakan salah satu bagian penting dari ilmu hukum, khususnya dalam masalah penegakan hukum (Law Enforcement). Dimana suatu pidana dan pemidanaan haruslah lebih mengedepankan pengcegahan dan pendidikan sesuai dengan tujuan pokok pemidanaan dalam hukum pidana Islam. Pencegahan dimaksudkan sebagai penahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya serta pencegahan terhadap orang lain untuk tidak berbuat tindak pidana atau jarimah. Pendidikan dimaksudkan, memberikan pembelajaran dan mengusahakan pengembalian diri pembuat dari yang tidak baik menjadi baik. 2. Pidana bersyarat merupakan sebuah sistem pemidanaan yang mengutamakan perbaikan pelaku agar terhindarnya dari pengaruh yang lebih buruk lagi jika dimasukan kedalam Lembaga Pemasyarakatan (LP). Tetapi tidak mengurangi nilai efek jeranya. Ketentuan pada KUHP telah mengatur pidana bersyarat
dapat dijatuhkan, asal hakim dalam putusannya menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun dan tidak terbatsa pada tindak pidana dengan ancaman pidana tertentu. Pada saat dijatuhkannya pidana bersyarat, maka hakim yang memutus perkara tersebut juga langsung memberikan syarat umum dan syarat khusus bagi terpidana. Jadi, pidana bersyarat melakukan pembinaan terpidana diluar lembaga permasyarkatan (LP) dengan berada dibawah pengawasan jaksa sebagai pelaksana putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga terpindana diberi kesempatan untuk memperbaiki pribadinya dimasyarakat melalui penjatuhan pidana bersyarat. 3. Hukum pidana Islam tidak memberikan penamaan yang sama dengan hukum pidana di Indonesia tentang Pidana bersyarat, tetapi konsep dan sistem pemidanaan yang diterapkan oleh keduannya dapat dikatakan sama. Ini terlihat dari tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah pemidanaan atau penjatuhan pidana. Keduanya bukan didasarkan pada berat atau ringannya suatu ancaman pidana, melainkan proses perbaikan diri yang menjadi tujuannya, yang tentunya tanpa mengurangi nilai-nila keadilan dan efek jera didalamnya. Untuk itu pula menjadi penting makna sebuah pidana dan pemidanaan, dimana tanpa andanya suatu tujuan yang konkrit dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya dari penjatuhan pidana dan pemidanaan, maka sulit untuk menciptakan sebuah kemaslahatan umum lebih-lebih untuk menegakan supremasi hukum.
B.
Saran Berkenaan dengan isi pembahasan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan
beberapa saran, yaitu : 1. Bagi para Pemerintah dan anggota Legislatif perlu disadari bahwa, sistem hukum warisan belanda yang ada di negara ini dirasakan sudah tidak cocok lagi dengan sifat masyarakat Indonesia yang makin dinamis dan juga kurang mengakomodir kebutuhan hukum dimasyarakat. Untuk itu suatu perubahan sistem hukum merupakan langkah awal demi terselenggaranya keadilan dimasyarakat serta dapat tercapainya sebuah tujuan hukum yaitu ketertiban. 2. Untuk para penegak hukum diharapkan lebih objektif dalam menyelesaian suatu perkara (tindak pidana), khususnya Majelis Hakim dalam menjatuhkan suatu pidana lebih mempertimbangkan lagi pemidanaan apa yang cocok untuk diri pelaku (dader), agar suatu pemidanaan sejalan dengan tujuan pemidanaan sebagai pendidikan yang tentunya tanpa mengurangi hak dari si korban sebagai pemenuhan rasa keadilan. 3. Perlu pembinaan serta penjelasan mengenai Ilmu hukum di dalam lingkungan masyarakat, agar terciptanya masyarakat yang sadar hukum dan lebih-lebih tidak ada lagi masyarakat yang buta hukum.
DAFTAR PUSTAKA .
Al-Qur’an al-Karim Abdurrahman, Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1980. Ali, Zainuddin., Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Chazawi, Adami., Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002. Djazuli, A., Fiqh Jinayah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,1997. Dawud, Abu bin Sulaiman Syajastani, Sunah Abu Dawud, Juz 4, Darul Fiqri, Lebanon: 1994. Djamali, Abdul, R., Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, 1992 Farihah, Ipah., Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Press, Jakarta, 2006 Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. Hamzah, Andi, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Hanafi, Ahmad., Asas – Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1993, cetakan ke-5. Lamintang, P.A.F., Dasar – Dasar Hukum Pidana di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, Amrico, Bandung, 1984. Marpaung, Laden, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Maleong, Lexy J., Metedologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, cet. Ke-21, 2005.
Moeljatno, ”KUHP (Wetboek van Strafrecht)”, Bumi Aksara, Jakarta, 1999. Muladi, dan Nawawi A, Barda, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992 . Muhammad, Abi Abdullah bin Ismail al – Bukhari, Kitab Sahih Bukhari, Daran Nahra al – Naiili, Juz 4, t.t., t.th. Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005 Prodjodikoro, Wirjono, Asas – Asas hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003. Saleh, Roeslan, Stesel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983. Saleh, Roeslan, Dari Lembaga Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1998. Sianturi, S.R., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, AHAEM – PETEHAEM, Jakarta, 1996. Sianturi, S.R. & Pengabean, Mompang L., Hukum Penitensia di Indonesia, (Jakarta: Alumni Ahaem-petehaem, 1996), Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, UI – Press, Jakarta, 1986. Soekanto, Soerjono, dan Abdullah Mustafa, Sosiologi Hukum di Dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1987. Soekanto, Soerjono, dkk., Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo Persada, cetakan keempat, 1994. Soesilo. R., Pokok-Pokok Hukum Pidana, Politea, Bogor, t.th Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986. Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan , Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Yafie, Alie K. H, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Judul Asli: At-Tasryi’ aljina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Pengarang: Abdul Qadir Audah, Kharisma Ilmu, Jakarta, 2007.
Legislasi (Undang – Undang) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana