PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Muhammad Aidz Billah NIM: 1110043200017
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
ABSTRAK Muhammad Aidz Billah. 1110043200017. Pemberlakuan Hukum Secara Surut (Retroaktif) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Menurut Pandangan Hukum Islam. Perbandingan Hukum. Perbandingan Mazhab dan Hukum. Fakultas Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Asas legalitas merupakan asas fundamental yang menjadi acuan dalam praktek hukum pidana. Namun pemberlakuan asas ini dianggap hanya melindungi kepentingan pelaku tindak pidana saja, akan tetapi kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban. Hingga akhirnya muncul sebuah Peraturan Pemerintah menerapkan prinsip retroaktif di dalamnya. Sehingga bagi para pelaku tindak pidana kejahatan pada masa lalu dapat dihukum. Hal ini akhirnya menimbulkan perdebatan di kalangan sarjana hukum, baik di luar maupun dalam negeri. Sebab bagaimana mungkin sebuah asas legalitas yang fundamental dapat dilakukan penyimpangan terhadapnya ? terlebih penerapan prinsip retroaktif lebih identik dengan lex talionis, sehingga penerapannya dapat diberlakukan secara sewenang-wenang sesuai dengan kehendak penguasa. Selain itu pembahasan tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut juga menjadi sorotan dalam hukum pidana Islam, meski hanya dalam intensitas yang sangat kecil. Namun dengan berdasarkan pada maqashid al-syari’ah yang bertujuan melindungi agama, keturunan, agama, harta dan nyawa maka pemberlakuan hukum secara surut dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan demi terciptanya suatu kemashlahatan. Dengan adanya permasalahan tersebut maka penulis ingin membahas lebih lanjut tentang bagaimana praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam hukum Pidana Indonesia ? dan bagaiamana praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam hukum pidana Islam ? Penelitian dengan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian akan dianalisa melalui analisis deduktif-induktif dimana penulis akan menelaah fakta-fakta yang bersifat umum dan menariknya menjadi kesimpulan yang bersifat khusus. Kata Kunci : asas legalitas, retroaktif, lex talionis. Di bawah Bimbingan: Pembimbing I: Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA., dan Pembimbing II: Muhamad Ainul Syamsu, S.H., M.H. Daftar Pustaka: Tahun 1997 s.d Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam, yang menjadikan segala sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Sholawat serta salam tercurahkan kepada penghulu alam kanjeng Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya. Berkat adanya taufik, hidayah dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM
SISTEM
HUKUM
PIDANA
INDONESIA
MENURUT
PANDANGAN HUKUM ISLAM. Karya ini tentunya tidak dapat terselesaikan tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT serta dukungan dari teman-teman serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan, ide, motivasi, masukan serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Sehingga penulis merasa wajib untuk memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si selaku Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA., selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga selaku Pembimbing I bagi penulis yang selalu memberi masukan dan arahan dalam membuat karya tulis skripsi ini.
vi
4. Bapak Muhamad Ainul Syamsu, S.H, M.H., selaku Pembimbing II yang selalu memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis skrpsi ini. 5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis. 6. Ayahanda tercinta Moch. Tadjuddin dan Ibunda terkasih Aisyah, serta adikadik dan saudara-saudara dalam keluarga besar alm. KH. Ali Muhammad. 7. Guru tercinta KH. Masyhuri Baedlowi, MA. Pengasuh PP Darussalam EretanIndramayu, yang telah mengajarkan penulis ilmu agama. 8. Guru tercinta, abah Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. inspirator bagi penulis. 9. Teman-teman seperjuangan Rafika Hastya Rany, Ramdhani ‘sambit’, Wiwin Winata, Ilyas, Bambang, Laka, Fany, sandi dan teman-teman PH 2010 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua semangat ini. 10. Teman berkeluh kesah adinda Riri Rizqiyatul Falah, semoga kesabaran dan penantian mu dibalas oleh Allah SWT. Jakarta, 13 Juni 2015
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................................
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Identifikasi,Batasan Masalah dan Perumusan Masalah ..............
6
C. Tujuan Serta Maanfaat Penelitian ...............................................
7
D. Studi Terdahulu............................................................................. 8 E. Metode Penelitian ......................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan. ................................................................ 10 BAB II
: PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS A. Asas Legalitas dan Sejarahnya ............................................... 12 B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam .......................... 17 C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut (Retroaktif) Sebagai Pengecualian Asas Legalitas ................................................. 21
viii
BAB III : Pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam Aturan Pidana Indonesia A. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP .......................................................................................... 29 B. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana Tertentu : 1. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Pelanggaran HAM Berat ...................................................... 38 2. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana Terorisme ..................................................... 43 C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam RKUHP................ 50
Bab IV
: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM PUTUSAN
PENGADILAN
A. Praktik Pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam Putusan Pengadilan HAM Ad-Hoc ......................................... 58 B. Praktik Pemberlakuan Hukum Secara Surut terhadap Tindak Pidana Terorisme ........................................................ 71 C. Analisis Putusan ....................................................................... 80
Bab V
: PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 86 B. Saran ............................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan yang terjadi di dalam hukum selalu didahului dengan adanya perkembangan dalam masyarakat. Berbagai factor seperti kemajuan teknologi dan pertukaran budaya, memicu terjadinya interaksi yang dinamis di dalam masyarakat. Dengan salah satu fungsinya yaitu sebagai sarana control sosial (social control), hukum memiliki fungsi untuk mendidik, mengajak atau bahkan mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.1 Namun pada kenyataannya untuk menjalankan fungsinya terkadang hukum mengalami kendala. Perkembangan masyarakat yang selalu dinamis terkadang tidak bisa diikuti oleh perkembangan hukum, sehingga tak jarang hukum sering “kecolongan” dan selalu tertinggal, sehingga sulit bagi hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang muncul akibat terjadinya interaksi masyarakat. Jika sudah seperti itu maka mau tidak mau hukum harus mengikuti perkembangan, sebab jika tidak maka hukum akan menemui banyak kendala baik itu yang berkaitan dengan rasa keadilan maupun persoalan yang berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement)2. Maka demi mengantisipasi dua hal tersebut hukum harus lebih bersifat akomodatif dan progresif demi mengimbangi berbagai persoalan hukum yang timbul akibat interaksi masyarakat. 1
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hal. 22.
2
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007) hal. 26.
1
2
Namun jika melihat pada kenyataan yang ada, rasanya akan sulit menciptakan hukum yang bersifat lebih akomodatif dan progresif. Sebab proses penegakan hukum yang ada selalu terbentur pada aturan hukum yang sudah ada, seperti halnya dalam menegakan aturan hukum pidana. Dalam menegakan aturan pidana penegak hukum harus berpegangan pada batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mengatakan bahwa ; “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan pada ketentuan dari perundang-undangan pidana yang telah ada”.. Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini dianut asas legalitas atau disebut juga dengan principle of legality, sehingga meskipun seseorang melakukan tindak pidana, namun jika perbuatannya tersebut tidak disebutkan dalam aturan perundang-undangan yang ada maka ia tidak dapat dikenai tindakan hukum. Berdasarkan pada prinsip nullum crimen nulla poena sine lege praevia bahwa sebuah undang-undang tidak boleh diberlakukan secara retroaktif atau secara surut. Tujuan dari larangan ini adalah : 1. Untuk
menjamin
kebebasan
individu
dari
kesewenang-wenangan
penguasa. 2. Ketentuan pidana tersebut juga berfungsi sebagai ancaman terhadap psikis calon pelaku kejahatan (teori psychologische dwang dari Anslem von Feurbach). Sehingga dengan adanya ketentuan pidana yang disebutkan dalam undang-undang maka calon pelaku tindak pidana akan berpikir dua kali dalam melakukan kejahatannya.3 3
Anis Widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, dalam Jurnal Pandecta Vol. 6 Nomor 2, Juli 2011. hal. 171.
3
Meski pemberlakuan hukum secara surut dilarang, namun jika melihat pada sejarah dan prakteknya hal tersebut tetap dilakukan meski hanya diterapkan pada tindak pidana tertentu saja seperti tindak pidana yang tergolong kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Menurut Anis Widyawati sebuah tindak pidana dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) jika memiliki empat unsur, yang antara lain:4 1. Adanya korban dalam jumlah yang sangat besar. 2. Kejahatan dilakukan dengan cara yang sangat kejam. 3. Memiliki dampak yang luas terhadap psikologi masyarakat. 4. Ditetapkan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan kemanusiaan. Empat syarat inilah merupakan sebuah satu kesatuan yang menjadi patokan dalam menetapkan sebuah tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana kejahatan luar biasa. Pembahasan mengenai asas legalitas dan pemberlakuan hukum secara surut tidak hanya terjadi di dalam hukum pidana Indonesia saja, namun di dalam hukum pidana Islam juga terdapat pembahasan mengenai pemberlakuan hukum secara surut meski tidak dilakukan pembahasan secara khusus dan mendalam. Akan tetapi jika dilakukan kajian yang mendalam tentang ayatayat al-Qur’an, maka akan ditemukan bahwa syari’at Islam juga mengenal adanya praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam kasus yang sangat berbahaya bagi masyarakat dan kemanusiaan.5
4
5
Anis widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, hal. 176.
Rahmat Syafi’I, “Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Syi’ar Hukum, FH. Unisba. Vol. XII. No. 1 Maret 2010.
4
Dalam hukum pidana Islam dikenal sebuah kaidah yang berbunyi:6
َح ْكىُ نِأَ ْفعَالِ ان ُعقَهَا ُء قَ ْبمَ وُرُ ْودِ انّنَّص ُ نَا “sebelum adanyan nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orangorang yang berakal” Dari kaidah ini diketahui bahwa sebuah perbuatan tidak bisa dianggap sebagai jarimah (tindak pidana) jika tidak ada nash yang mengatakan perbuatan tersebut sebagai suatu jarimah (tindak pidana). Selain kaidah diatas ada pula kaidah lainnya yaitu :7
ِحرِ ْيى ْ شيَاءِ اإلِبَاحَةُ حَّتَى يَدُلُ اندَنِ ْيمُ عَهَى ان َّت ْ َصمُ فِي األ ْ َاأل “Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada menunjukan keharamannya”
dalil yang
Menurut Abd al-Qadir Audah sebagaimana dikutip oleh A. Wardi Muslich, dari kedua asas (kaidah) di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:8
ٌ فَّاِذَا نَّ ْى يَّرِ ْد نَّّص.َعّتِبَا ُر فِ ْعمٍ أَ ْو تَ ْركٍ جَرِ ْيًَةً إِّالَ بِّنَّصٍ صَرِ ْيحٍ يُحَ ِّروُ انْفِ ْعمَ أَوِ انّتَّ ْرك ْ ِنَا ُي ًْكِنُ إ ٍسؤُنِيَةَ وَنَا عِقَابَ عَهَى فَاعِمٍ أَوِ تَارِك ْ َيُحَرِوُ انْفِ ْعمَ أَوِ انّتَ ْركَ فَهَا ي “Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat, tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena ada nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman bagi pelaku atas sikapnya.” Sehingga sebuah perbuatan tidak cukup jika hanya dipandang sebagai suatu jarimah hanya karena perbuatan tersebut dilarang, akan tetapi perbuatan 6
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hal. 47
7
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hal. 30. 8
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,hal. 30.
5
tersebut perlu dinyatakan hukumannya. Artinya sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai jarimah manakala ada ketentuan nashnya. Meski praktek pemberlakuan hukum secara surut dianggap merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dan bertentangan dengan Pasal 28 I UUD 1945. Pada kenyataannya praktek pemberlakuan hukum secara surut pernah diterapkan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dimana tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk merespon tindak pidana terorisme yang terjadi pada peristiwa bom Bali pada tanggal 12 Oketober
2002 bertempat di dua lokasi yang berbeda yaitu
peristiwa pertama di Paddy’s Pub dan Sari Club di jalan Legian, Kuta, Bali. Peristiwa ke dua di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat. Selain itu praktek pemberlakuan hukum secara surut juga terjadi dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Tujuan dari pembuatan undang-undang ini adalah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pada tahun 1999 dan Tanjung Priok tahun 1984. Terhadap dua undang-undang ini akhirnya diajukan judicial review yang dilakukan oleh Abilio Jose Osorio Suares terhadap Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berat, dan judicial review
yang
dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
6
Maka dengan adanya fakta ini penulis memandang bahwa perlu adanya penelitian lebih lanjut tentan praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam sistem hukum pidana Indonesia dan menuangkannya dalam sebuah karya tulis ilmiah (skripsi) berjudul: PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM
SISTEM
HUKUM
PIDANA
INDONESIA
MENURUT
PANDANGAN HUKUM ISLAM.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah Adanya fakta yang muncul tentang pemberlakuan hukum secara surut menimbulkan banyaknya perdebatan. Pemberlakuan hukum secara surut dianggap melanggar hak para pelaku tindak pidana. Sedangkan di sisi lain pemberlakuan secara surut dapat memberikan keadilan bagi pihak korban tindak pidana. Mengingat luasnya pembahasan mengenai praktek pemberlakuan hukum secara surut, maka penulis membatasi pembahasan dalam penelitian ini pada praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam kasus pelanggaran HAM berat dan dalam kasus tindak pidana terorisme. Adapun rumusan masalah yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan yaitu : 1. Bagaimana proses pemberlakuan hukum secara surut menurut sistem hukum pidana Indonesia ? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberlakuan hukum secara surut ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam sistem hukum pidana Indonesia. b. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang pemberlakuan hukum secara surut. 2. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat memberikan manfaat, di antaranya : a. Manfaat Akademis : Adapun tujuan penilitian ini bagi dunia akademis yaitu: 1) Memberikan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa tentang praktek pemberlakuan hukum secara surut. 2) Menambah khazanah keilmuan di bidang hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam. b. Manfaat Masyarakat : Adapun manfaat dari penelitian ini bagi masyarakat : 1) Memberikan pengetahuan tentang penyelesaian tindak pidana luar biasa. 2) Memberikan masukan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam bertindak karena semua kejahatan yang dilakukan pasti akan ada hukumannya.
8
c. Manfaat Pemerintah : Adapun manfaat dari penelitian ini bagi kalangan pemerintah adalah : 1) Memberi masukan kepada pemerintah dalam menyelesaikan segala tindak pidana yang telah terjadi di masa lampau. 2) Memberi masukan kepada pemerintah bahwa pemberlakuan hukum secara surut dapat dilakukan atas dasar prinsip keadilan.
D. Studi Terdahulu Dalam pembuatan skripsi ini sebelumnya penulis melakukan kajian terhadap tulisan-tulisan terdahulu. Akan tetapi sayangnya tulisan-tulisan tersebut hanya berupa judulnya saja, namun bentuk nyata dari tulisan-tulisan tersebut sudah tidak ditemukan. Adapun tulisan-tulisan tersebut memiliki tema sebagai berikut: 1. Skripsi karya Pikri Zulpikar tentang Eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Dalam Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat tahun 2003. Dalam skripsi ini penulis hanya menjelaskan tentang eksistensi Pengadilan HAM berat sebagai upaya dalam menyelesaikan kasus HAM berat. 2. Skripsi karya Dewi Jayanti Mandasari tentang Analisis Putusan Terhadap Tindak
Pidana
Terorisme
oleh
Mushlihul
Ma’arif
(No.
1168/PID.B/2001/PN.Jakarta Selatan) tahun 2009. Adapun dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang Surat Dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang merupakan salah satu pertimbangan hukum hakim dalam memberikan putusan.
9
3. Tesis karya Muhammad Adil tentang “Islah” Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia tahun 2003. Dalam karya tulisnya penulis menjabarkan tentang penggunaan islah sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan permasalahan dalam kasus pelanggaran HAM berat. Dari ketiga karya tulis di atas penulis tidak ada satu pun yang membahas tentang
praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam sistem pidana
Indonesia sebagaimana yang nantinya akan penulis bahas dalam karya tulis ini.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif – analitik dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yang kemudian dilakukan analisa terhadap fakta-fakta yang muncul dari objek yang diteliti. Sehingga nantinya hasil penelitian akan memberikan gambaran yang obyektif tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti. 2. Obyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUUII/2004 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 34 PK/PID.HAM.AD HOC/2007. 3. Sumber Data Penelitian Data-data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua sumber :
10
a. Sumber Data Primer : Sumber data primer mencakup putusan
Mahkamah Konstitusi,
putusan mahkamah agung, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Pengadilan HAM, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Perpu dan undang-undang yang lainnya yang terkait dengan penelitian ini. b. Sumber Data Sekunder : Adapun sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jurnal, Literatur-literatur dan Buku-buku yang memiliki kaitan dengan penelitian ini. 4. Analisis Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa deduktif – induktif, dimana penulis menganalisa data-data yang bersifat umum dan kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus. 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam karya tulis ini yaitu sebagai berikut : BAB I :
dalam bab ini berisi latar belakang, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian, review (kajian) studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
11
BAB II : dalam bab berisi pengertian umum asas legalitas dan pengertian retroaktif, kemudian asas legalitas dalam hukum pidana Islam, pemberlakuan hukum secara surut sebagai pengecualian asas legalitas baik dalam pandangan hukum Islam mau pun dalam pandanga hukum pidana Indonesia. BAB III : membahas tentang pemberlakuan hukum secara surut dalam aturan pidana Indonesia yang kemudian terbagi menjadi tiga sub judul yaitu pertama, pemberlakuan hukum secara surut menuru Pasal 1 ayat (2) KUHP, kedua, pemberlakuan hukum secara surut dalam tindak pidana tertentu yaitu dalam kasus pelanggaran HAM berat dan terorisme, ketiga, pemberlakuan hukum secara surut dalam RKUHP. BAB IV : dalam bab ini berisi tentang analisis praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam putusan pengadilan. Analisis menurut pandangan hukum pidana Indonesia, dan juga analisis hukum Islam menurut konsep mashlahah. BAB V : bab terakhir ini berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II PENGERTIAN UMUM ASAS LEGALITAS DAN RETROAKTIF
A. Asas Legalitas dan Sejarahnya Sebelum
berbicara
tentang
pemberlakuan
hukum
secara
surut
(Retroaktif), hendaklah kita terlebih dahulu membahas dan memahami tentang asas legalitas yang menjadi asas fundamental dalam hukum pidana Indonesia. Meskipun pada saat ini asas legalitas tidak diberlakukan secara absolut, serta tidak lagi dianggap sebagai kebenaran absolut yang tidak dapat lagi diperdebatkan,
akan
tetapi
pikiran-pikiran
yang
berkembang
masih
berdasarkan bahwa asas legalitas merupakan asas yang harus dijunjung tinggi, sehingga berbagai penerobosan hanya dianggap sebagai suatu pengecualian, serta menempatkan pikiran-pikiran tersebut sebagai sekedar pelengkap dari asas legalitas tersebut.1 Menurut Roeslan Saleh bahwa asas legalitas yang terkandung dalam Pasal (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur tentang apa sajakah yang dipandang sebagai perbuatan pidana, sebab menurutnya tidak semua perbuatan yang melanggar hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana, dan merupakan tugas dari pemerintah untuk menentukan perbuatan apa saja yang termasuk kategori perbuatan pidana.2
1
Deni Setyo, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2014) hal. 1. 2
Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, (Jakarta: Aksara Baru, 1981) hal. 1.
12
13
Penerapan asas legalitas dalam proses penegakan hukum sebenarnya adalah untuk melindungi hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan pemerintah dalam menegakkan hukum. Hal ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu saat terbentuknya asas legalitas itu sendiri. Dimana pada masa romawi kuno ada sebuah tindak pidana yang dikenal dengan criminal extra ordinaria atau yang lebih dikenal dengan kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan di dalam undang-undang. Di antara criminal extra ordinaria ada suatu kejahatan yang dikenal dengan criminal stellionatus yang artinya perbuatan jahat atau durjana akan tetapi tidak diketahui bagaimana bentuk dari kejahatan tersebut. Maka dengan adanya ketidakjelasan dari bentuk dan jenis kejahatan tersebut maka pemerintah Romawi kuno menggunakan hukum pidana secara sewenang-wenang demi menegakkan hukum.3 Keberadaan asas legalitas sendiri sebenarnya pertama kali muncul di Amerika bermula dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Jenderal Lefayatte mengenai hak-hak asasi manusia dimana selanjutnya ajaran tersebut berkembang sampai ke Inggris melalui John Locke. Sedangkan di Perancis ajaran tersebut dikembangkan oleh Montesquieu melalui konsep trias politicanya, dimana kekuasaan Negara dibagi menjadi tiga bagian, dengan maksud melindungi hak-hak individu dari kesewenangan pemerintah. Seiring dengan perkembangan waktu ajaran tentang asas legalitas kemudian dilanjutkan oleh J.J. Rousseau dengan fahamnya yaitu fiksi perjanjian masyarakat yang kemudian pemikirannya itu ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul Due Contract Social yang menjelaskan bahwa sebuah pemerintahan timbul karena 3
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal. 26.
14
adanya sebuah kesepakatan antara rakyat dan penguasa, dengan tujuan untuk menjalankan aturan atau Undang-undang agar terciptanya kemerdekaan berpolitik dan perdata. Selanjutnya Beccaria di Italia melalu bukunya Dei delitti e delle pene menerangkan bahwa hukum pidana haruslah bersumber dari hukum tertulis agar dapat terjaminnya hak-hak warga Negara dan warga Negara pun mengetahui mana sajakah perbuatan yang dilarang dan diperintahkan.4 Namun demikian ajaran yang benar-benar memberikan pengaruh terhadap rumusan undang-undang hukum pidana ialah ajaran yang bersumber dari seorang sarjana hukum jerman, Von Feuerbach. Ia merumuskan asas legalitas dalam bahasa romawi yang dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali dalam bukunya Lehrbuch des Peinliches Recht5 yang bermakna “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa adanya aturan terlebih dahulu”. Kemudian dari pepatah nullum crimen ini kemudian para ahli hukum menyimpulkan bahwa ini merupakan sebuah prinsip yang melarang tentang diberlakukannya hukum secara retroaktif, Thomas Hobbes mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh James Popple bahwa: “No law, made after a fact done, can make it a crime…. For before the law, there is no transgression of the law.”6 (tidak ada hukum yang dibuat setelah adanya perbuatan, sehingga bisa menjadikan perbuatan tersebut sebagai suatu kejahatan. Jika sebelumnya tidak ada aturan, maka tidak ada pelanggaran terhadap hukum). 4
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem, 1996) hal. 72. 5 6
Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasasn, hal. 1.
James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August 1989, hal. 252.
15
Dari perkataan Hobbes di atas dapat dipahami bahwa tidak ada hukuman yang diberikan ketika perbuatan tersebut telah dilakukan sedangkan tidak ada undang-undang yang mengatur tentang perihal tersebut, maka dengan demikian perbuatan tersebut dikatakan tidak melanggar hukum. Menurut Machteld Bolt dengan mengutip pendapat dari Jescheck dan Weigend, paling tidak ada empat prinsip yang termasuk kedalam asas legalitas tersebut yaitu: 1.
Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege praevia atau tidak ada perbuatan pidana, tindak pidana tanpa adanya undang-undang yang mengatur sebelumnya.
2. Prinsip nullum crimen, noela poena sine lege scripta atau tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang tertulis. Sehingga setiap ketentuan pidana harus dituliskan secara expresiv verbis dalam undang-undang. 3. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege certa atau tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Dalam artian bahwa sebuah rumusan pidana haruslah dibuat secara jelas agar tidak terjadi multitafsir sehingga dapat membahayakan kepastian hukum. 4. Prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege stricta atau tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa adanya undang-undang yang ketat. Akibat dari ketentuan ini maka dilarang menggunakan analogi.7
7
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009) hal. 4.
16
Pada tahun 1789 di Amerika prinsip non-retroaktif (ex post facto law) diatur di dalam artikel 1 Pasal 9 (3) dari Konstitusi Amerika. Kemudian dikatakan pula pada artikel 7 dari Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan diperlakukan dan dihukum secara semena-mena atas perbuatan atau kelalaian yang dilakukan, jika perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan yang disepakati oleh Negara-negara yang beradab yang kemudian dalam Pasal 15 kata “Negaranegara beradab” diganti dengan “komunitas bangsa-bangsa”. 8 Dalam sistem hukum pidana Indonesia asas legalitas diletakkan pada Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan dalam undang-undang yang telah ada, sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Sehingga setiap perbuatan yang dilakukan sebelum munculnya peraturan yang mengatur tentang perbuatan tersebut maka si pelaku tidak bisa dikenakan hukuman. Jika melihat kembali kepada sejarah ketatanegaraan kita, hal semacam ini pernah diatur dalam konstitusi Negara kita yaitu diatur dalam Pasal 14 ayat 2 UUDS 1950 yang mengatakan bahwa: “tiada seorang juapun dapat atau boleh dituntut untuk dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan yang ada dan berlaku terhadapnya.”, dan jika dilihat secara yuridis formal maka rumusan ini merupakan asas legalitas, akan tetapi perbedaannya adalah jika
8
James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited, Volume 13 Number 4 August 1989, hal. 253.
17
kita hendak merubah rumusan tersebut maka kita juga harus merubah konstitusi. Sedangkan secara teoritis Pasal 1 ayat (1) KUHPidana yang merupakan penjelmaan dari asas legalitas dapat diubah atau dikesampingkan hanya dengan membuat undang-undang baru yang berbeda.9 Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa asas legalitas yang sebelumnya dikenal dengan prinsip „nulla poena’ menjadi patokan utama dalam memberikan hukuman, dimana dalam salah satu intisari prinsip tersebut dikatakan bahwa sebuah perbuatan dapat dijatuhi hukuman jika perbuatan itu diatur dalam sebuah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan, sehingga jika sebuah pemberian hukuman dilakukan terhadap perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang atau ketika perbuatan telah dilakukan barulah dibuatkan undang-undangnya (berlaku surut atau retroaktif), maka hal tersebut melanggar ketentuan-ketentuan dalam aturan hukum itu sendiri.
B. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam Penerapan asas legalitas tidak hanya dikenal dalam hukum pidana positif saja, sebab meski tidak disebutkan secara jelas, dalam hukum Islam pun dikenal dengan adanya asas legalitas, dimana seseorang tidak dianggap melakukan tindak pidana (Jarimah) sebelum turunnya nash al-Qur‟an yang menyatakan bahwa perbuatannya itu haram dan patut mendapatkan hukuman. Hal ini dikarenakan adanya asas atau kaidah hukum yang mengatakan bahwa hukum asal suatu perkara adalah kebolehan, dengan kata lain seseorang 9
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) hal. 38.
18
dibolehkan melakukan apa saja selama tidak melanggar aturan, dan jika ia melanggar aturan maka ia boleh dipidana.10 Sebenarnya pembahasan tentang hukum Islam tidak bisa dilepaskan begitu saja dari aspek teologis yang berkembang di kalangan umat Islam. Sebab intisari dari ajaran agama Islam pada dasarnya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu aspek akidah, akhlak dan hukum. Ketiga aspek ini mempunyai peranan penting dalam menciptakan kehidupan yang bahagia. Tidak hanya itu saja pemahaman yang berbeda dari para ulama terhadap ayat-ayat hukum yang ada didalam al-Qur‟an menjadi faktor yang menyebabkan berbedanya suatu kaidah hukum yang telah ada pada masa kini. Selain itu dari 6236 ayat yang terdapat di dalam al-Qur‟an kurang lebih hanya ada 228 ayat yang membahas tentang hukum dan dari 228 ayat tersebut hanya ada 30 ayat yang berkaitan dengan hukum pidana. Tentunya hal ini membutuhkan usaha keras untuk mengembangkan hukum agar tidak tertinggal dari perkembangan masyarakat. Berkaitan dengan pembahasan asas legalitas di dalam al-Qur‟an kiranya ada beberapa ayat yang berkaitan dengan hal tersebut salah satunya adalah :
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan 10
Rachmat Syafe‟i, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Jurnal Syiar Hukum, Fakultas Hukum UNISBA Vol. XII No. 1 Maret 2010.
19
Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (al-Isra : 15) Menurut aliran Asy‟ariyah ayat ini menerangkan bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman (taklif) atas tindak kejahatannya sebelum diutusnya seorang nabi atau rasul, meskipun sebenarnya orang tersebut mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang dilarang. Namun berbeda dengan pemikiran aliran Mu‟tazilah yang berpendapat meskipun belum ada ayat yang menjelaskan suatu perbuatan dilarang atau belum diutusnya seorang rasul kepada suatu kaum, apabila mereka melakukan kejahatan maka mereka bisa dijatuhi hukuman (taklif). Karena menurut mereka meski belum diutus seorang rasul namun akal manusia dapat membedakan antara baik dan buruknya suatu perbuatan.11 Lain halnya dengan pendapat aliran Maturidiyah yang mengambil jalan tengah dimana aliran ini menyetujui pendapat kalangan Mu‟tazilah tentang kemampuan akal mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, akan tetapi dilain sisi berbeda pandangan tentang pembebanan hukum (taklif). Menurut kalangan Maturidiyah permasalahan taklif, dosa dan pahala hanya ditetapkan melalui wahyu Allah. Meskipun akal memiliki kemampuan untuk mengetahui mana yang baik dan buruk, mashlahat atau mafsadat, namun akal tetap harus tunduk pada ketetapan wahyu.12 Asas legalitas seperti yang disebutkan di atas, yang memberikan 11
Amir Syarifuddin, Ushul FIqh, (Jakarta: Kencana, 2011, Jilid 1) hal. 414.
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hal. 416.
20
penjelasan bahwa tidak ada jarimah atau hukuman tanpa adanya suatu nash (aturan-aturan) yang disebutkan di dalam syara, bukan di dasarkan atas nashnash syara‟ yang sifatnya umum semata yang menyuruh kepada keadilan dan melarang kedzaliman, melainkan didasarkan atas nah-nash yang jelas dan khusus mengenai persoalan ini.13 Selain ayat dari surat Bani Israil di atas ada beberapa ayat lain yang juga menjelaskan tentang asas legalitas diantaranya Q.S. al-Qasas, Q.S. alAn‟am, Q.S. al- Baqarah dan Q.S. al- Anfal. Nash-nash ini semuanya berisi ketentuan, bahwa tidak ada sesuatu jarimah kecuali sesudah ada penjelasan, tidak ada hukuman kecuali sesudah ada pemberitahuan.14 Sehingga dengan adanya nash- nash al-Qur‟an tersebut kemudian muncullah satu kaidah yang berkenaan dengan asas legalitas yaitu
ّص ِ ع ُقوْ َب َة إِلَا ِبال َّن ُ لَا جَ ِريْمَ َة وَلَا “Tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman kecuali tertulis dalam peraturan”15 Dengan demikian jelas bahwa semua tindak pidana harus dimasukkan atau diatur didalam sebuah undang-undang yang terperinci dan jelas agar terhindar dari kesewenang-wenangan dalam menegakkan hukum. Dalam Islam dikenal kaidah la hukm qabla syar’ -tidak ada hukum sebelum ada ketentuan dari syara‟, sehingga sanksi hanya diberikan kepada seorang
48.
13
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hal.
14
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, hal. 49.
15
Abd al- Qadir „Audah, al- Tasyri’ al- Jina’I al- Islami, (Kairo: Maktabah Dar al„Urubah, 1968) hal. 261.
21
berdasarkan aturan yang jelas. Dengan demikian hukum Islam sejalan dengan prinsip yang dianut oleh hukum positif.16
C. Pemberlakuan Hukum Secara Retroaktif (Surut) Sebagai Pengecualian Asas Legalitas Ketika berbicara tentang asas legalitas maka kiranya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang apa itu „retroaktif‟ atau biasanya para pakar hukum menyebutnya dengan „asas retroaktif‟, meski sebenarnya penulis merasa kurang tepat jika retroaktif disebut sebagai „asas‟ akan tetapi lebih tepat jika disebut sebagai sebuah aturan hukum saja. Sebab jika merujuk pada pendapat Roeslan Saleh yang mengatakan bahwa asas-asas hukum bersifat lebih umum daripada undang-undang dan keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran dari asas-asas hukum.17 Menurutnya pula selain asas hukum bersifat lebih umum dan aturan hukum bersifat lebih khusus, asas-asas hukum mempunyai teritori terapan yang lebih luas ketimbang aturan hukum yang memiliki teritori terapan yang lebih sempit.18 Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa Retroactivie adalah an extending in scope or effect to matters that have occurred in the past. 19 Sementara itu di dalam kamus bebas Wikipedia, pengertian retroaktif dijelaskan sebagai; 16
Rachmat Syafe‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Ilmu Hukum; Syiar Hukum. FH. Unisba Vol. XXI No. 1 Maret 2010, hal. 69. 17
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, ( CV. Karya Dunia Fikir, 1996), hal. 20. 18
19
Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional. hal. 21.
Anis Widyawati, Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia, (Jurnal Pandecta, FH. Universitas Negeri Semarang Vol. 6 No. 2 Juli 2011) hal. 171.
22
Law that retroactively changes the legal consequences of acts commited or the legal status of facts and relationships that existed prior to the enactment of the law. “hukum yang berlaku surut mengubah akibat hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau mengubah status hukum dan hubungan yang ada sebelum berlakunya hukum” Dari pengertian di atas dikatakan bahwa hukum yang diterapkan secara retroaktif (berlaku surut) mengubah akibat-akibat hukum dari tindakan yang dilakukan atau status hukum dari perbuatan dan hubungan yang terjadi sebelum penetapan undang-undang.20 Penerapan hukum secara retroaktif memang mengundang berbagai tanggapan bahkan perdebatan baik itu dikalangan para ahli hukum maupun dari kalangan pelaku tindak kejahatan itu sendiri. Pasalnya sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan hukum secara retroaktif telah melanggar aturan yang tersirat dari asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Terlebih dikatakan bahwa penerapan hukum secara retroaktif dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui di dalam Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian dikatakan sebagi hak konstitusional warga Negara, yang salah satunya adalah “hak bebas dari tuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut.21Di dalam UUD 1945 sendiri setidaknya ada 11 pasal yang membahas tentang HAM mulai dari Pasal 28, 28A sampai dengan Pasal 28J.
20
A. Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 274. 21
Masyhur Efendi, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal. 151.
23
Akan tetapi jika dikatakan bahwa penerapan hukum secara surut dianggap melanggar hak dari pelaku kejahatan tersebut maka kita pun harus melihat dampak yang timbul akibat kejahatan yang dilakukan. Memang benar dikatakan dalam Pasal 28I ayat 1 bahwa; “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Akan tetapi jika kita melihat kepada pada pasal selanjutnya yaitu Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2 yang mengatakan bahwa; (1) Setiap orang harus menghormati hak-hak orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan (2) Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya setiap orang diwajibkan
untuk tunduk kepada pembatasan undang-undang dengan maksud sematamata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Menurut pemerintah pembatasan Pasal 28J terhadap Pasal 28I ini memungkinkan diterapkannya suatu aturan pidana yang berlaku surut.22 Akan tetapi berbeda dengan pemerintah, Nyoman Serikat Putra Jaya memberikan pandangannya bahwa Pasal 28I yang berisikan tentang hak-hak warga Negara
22
Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008, hal. 77.
24
yang sifatnya tidak dapat bisa dikurangi atau dibatasi (derogable rights),23 meskipun terdapat Pasal 28J yang menurut pemerintah memberikan peluang bagi penerapan hukum secara surut, namun menurut Nyoman Serikat ketentuan dalam Pasal 28J tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” dapat dikurangi atau dibatasi.24 Namun demikian jika melihat pada penjabaran diatas bukan berarti peluang untuk memberlakukan suatu aturan pidana secara surut menjadi tertutup. Sebagaimana pendapat Romli Atmasasmita yang dikutip oleh Dani Setyo Bagus mengatakan bahwa prinsip hukum non-retroaktif hanya berlaku bagi pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa. Oleh karena itu, prinsip non-retroaktif tidak bisa dipergunakan.25 Jika mencermati pendapat Romli maka penerapan hukum secara retroaktif hanya dapat dilakukan pada tindak pidana yang sifatnya luar biasa, dengan persyaratan bahwa suatau tindak pidana dapat dikatakan luar biasa jika: 1. Adanya jumlah korban yang besar 2. Cara melakukan kejahatan kejam
23
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004, hal. 18. 24
Nyoman Serikat, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana) hal. 19. 25
Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 72.
25
3. Dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas 4. Penetapan oleh lembaga internasional sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan Penerapan suatu aturan hukum pidana secara surut sebenarnya merupakan suatu penyimpangan terhadap asas legalitas yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Sebab jika kita rasakan bahwa berlakunya asas legalitas seolah-olah hanya untuk melindungi kepentingan dan hak dari pelaku namun kurang memperhatikan hak dan kepentingan dari korban akibat dari tindak kejahatan yang dilakukan, sehingga terlihat bahwa akses untuk memperoleh keadilan bagi korban terutama korban kolektif menjadi terhambat. Selain itu meski asas legalitas atau principles of legality diakui sebagai asas yang fundamental oleh Negara-negara yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, namun pemberlakuannya tidak bersifat mutlak dalam artian bahwa penerapan hukum pidana secara surut dapat dilakukan jika perbuatan yang dilakukan tersebut bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang menurut hukum pidana internasional disebut dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian pemberlakuan hukum secara surut hanya dapat dilakukan pada pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat.26 Penerapan hukum secara surut dalam hukum Islam (جعِي ْ َ(األَ َث ُر الر dilakukan demi kemashlahatan pelaku dan korban. Jika perbuatan yang
26
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana) hal. 37.
26
dilakukan sebelum adanya aturan tersebut maka pelaku bisa dihukum dengan undang-undang atau hukum yang muncul kemudian. Namun dengan syarat hukuman yang diberikan harus lebih ringan dari hukuman yang telah ada. Kemudian jika pelaku telah dihukum dengan aturan atau undang-undang yang lama maka ia tidak boleh dihukum dengan aturan atau hukum yang baru dibuat. Hal ini dilakukan semata-mata demi menjaga kepentingan baik pelaku maupun korban.27 Hal ini sejalan dengan dengan apa yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, yaitu “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan, terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.” Kemashlahatan sendiri merupakan prinsip yang berlaku secara universal. Setiap manusia yang ada dimuka bumi ini menginginkan kemashlahatan bagi dirinya. Sehingga tidak salah jika Islam memandang kemashlahatan sebagai sebuah pertimbangan hukum, terlebih terhadap perkara-perkara atau peristiwa hukum yang tidak disebutkan di dalam alQur‟an maupun as-Sunnah, akan tetapi meski kemashlahatan dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum, bukan berarti penggunaan konsep mashlahat dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Dalam artian ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar maslahah dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum di antaranya: 1. Penerapan maslahah masih dalam ruang lingkup maqasidu syari‟ah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
27
Abd al- Qadir „Audah, al- Tasyri’ al- Jina’I al- Islami, hal. 271.
27
2. Maslahat tidak bertentangan dengan al-Qur‟an. 3. Maslahah tidak bertentangan dengan as-Sunnah. 4. Maslahah tidak bertentangan dengan qiyas, dan 5. Penerapan maslahah tidak merusak maslahah lain yang lebih penting.28 Menurut Mushtafa al-Zarqa sebagaimana yang dikutip oleh Fathikun ada empat alasan yang membolehkan penggunaan konsep maslahah dalam penerapan hukum secara surut yaitu; 29 1. Untuk mendatangkan kemashlahatan (jalb al-mashalih), dimana penerapan hukum secara retroaktif bisa dilakukan jika ia dapat menimbulkan ketentraman dan keadilan bagi kehidupan masyarakat secara umum. 2. Menolak kerusakan (dar’ al-mafasid), untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum, maka diperbolehkan penerapan hukum secara retroaktif. Terlebih jika tindak kejahatan yang dilakukan bersifat luar biasa, korban yang ditimbulkan dalam jumlah besar ditambah belum adanya undangundang yang mengatur tentang tindak pidana tersebut, maka demi terciptanya keadilan yang sifatnya kolektif maka penerapan hukum secara retroaktif dianggap relevan dengan metode ini. 3. Untuk menutup peluang ( sadd al-dzari’ah ) bagi terjadinya pelanggaran di masa yang akan datang. Alasan ini pun masih komprehensif dengan penerapan hukum secara retroaktif. Meskipun peluang terjadinya 28
Muhammad Said Ramadhan al-buthi, Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at alIslamiyah, (Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997) hal. 248. 29
M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali, hal. 90.
28
pelanggaran
masih
sebatas
kemungkinan,
namun
mengingat
perkembangan manusia lebih cepat dari perkembangan hukum maka demi mencegah timbulnya potensi kejahatan penerapan hukum secara retroaktif menjadi salah satu solusinya. 4. Perubahan waktu, menurut Abu Zahrah teks undang-undang, meskipun begitu banyak tetap tidak akan mungkin bisa mencakup semua kejahatan disertai
dengan
perkembangannya.30
Mengingat
bahwa
saat
ini
perkembangan kejahatan terus meningkat dan undang-undang yang ada belum tentu bisa mengaturnya sehingga tidak tercapai efektifitas dalam menegakan hukum demi tercapainya keadilan, maka penerapan hukum secara surut dapat dilakukan sebagai jalan keluar. Jadi baik dalam hukum pidana Indonesia maupun dalam hukum pidana Islam keberadaan asas legalitas merupakan sesuatu keharusan dengan tujuan demi mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak si Pelaku tindak pidana. Akan tetapi keberadaan asas legalitas dianggap hanya berpihak pada kepentingan pelaku dan kurang mengakomodir kepentingan korban. Sehingga demi terwujudnya keadilan maka diperbolehkan memberlakukan hukum secara surut sebagai sebuah upaya untuk memenuhi rasa keadilan bagi para korban.
30
Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al- Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arab, 1977) hal. 159.
BAB III PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM ATURAN PIDANA INDONESIA
A. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP Secara garis besar pemberlakuan hukum pidana dibagi menjadi dua jenis pemberlakuan, pertama, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat. Pemberlakuan hukum pidana secara waktu tidak terlepas dari eksistensi prinsip legalitas yang dianut dalam sistem hukum pidana Indonesia, di mana proses penegakan hukum harus mengikuti apa yang sudah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana. Dimasukannya prinsip legalitas dalam sistem hukum pidana Indonesia sendiri tidak terlepas dari sejarah kemunculan asas legalitas itu sendiri yang bermula dari kesewenang-wenangan para raja pada masa Romawi kuno. Sehingga demi melindungi kepentingan rakyat dari kesewenang-wenangan raja maka pada saat itu timbul pemikiran untuk menciptakan sebuah wet yang di dalamnya ditentukan mana saja perbuatan yang dapat dikatakan sebagai kejahatan. Sehingga pada akhirnya terlahirlah kalimat nullum delictum nulla poena sine praevia lege atau tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu, yang kemudian diadopsi kedalam pasal 1 ayat (1) KUHP sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah perbuatan tidak dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan yang mengatur terlebih dahulu, kemudian sebuah ketentuan pidana tidak dapat
29
30
diberlakukan secara surut (retroaktif).1 Menurut Cleiren dan Nijboer sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah mengatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum tertulis. Tidak seorang pun dapat dipidana dengan berdasarkan pada hukum kebiasaan, sebab hukum kebiasaan tidak menentukan hal-hal apa saja yang dapat dipidana (Strafbaarheid).2 Keberadaan asas legalitas memang diakui mampu melindungi kepentingan masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Akan tetapi jika dilihat dari segi keadilan keberadaan asas legalitas hanya memberikan keadilan bagi individu tertentu saja yang dalam hal ini adalah pelaku tindak pidana. Namun jika dilihat dari segi keadilan kolektif maka asas legalitas dirasa belum dapat memenuhi hal tersebut. Sebab bisa saja pelaku kejahatan tersebut dilepaskan jika perbuatan yang dilakukannya tidak termasuk kedalam kejahatan yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga dalam hal ini timbul sebuah kesan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan karena adanya peraturan (mala in prohibita), bukan sebaliknya sebuah perbuatan dianggap sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut tercela (mala in se) sehingga meski dampak yang timbul dari perbuatan tersebut berakibat fatal, namun jika belum diatur dalam undang-undang maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Bahkan menurut Hazewingkel Suringa sebagaimana dikutip oleh Muladi, yang berpendapat bahwa dengan adanya
1
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008) hal. 42. 2
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal. 41.
31
ketentuan legalitas ini bukan hanya pelaku tindak pidana tersebut tidak dapat dituntut, namun ia (pelaku-pen.) juga tidak dapat dijatuhi pidana.3 Sehingga keberadaan asas legalitas yang dianggap sakral ini akhirnya menjadi hambatan tersendiri bagi penegakan hukum di Indonesia, sebab jika melihat perkembangan kejahatan selalu lebih cepat ketimbang perkembangan hukum, penegakan hukum pidana Indonesia selalu mengalami ketertinggalan dan kurang responsif. Namun demikian, banyak para ahli yang setuju untuk menganut asas legalitas, meski prinsip legalitas memiliki kelemahan yaitu kurangnya memberikan rasa keadilan bagi pihak korban dan lambat dalam merespon kejahatan. Akan tetapi berbeda menurut pandangan Utrecht, ia menganggap bahwa dengan dianutnya prinsip legalitas dalam hukum pidana Indonesia menyebabkan banyaknya perbuatan yang sepatutnya dijatuhi hukuman pidana (Strafwaarding) tidak dipidana karena adanya prinsip legalitas tersebut. Ia juga beranggapan bahwa keberadaan asas legalitas tersebut menjadi penghambat bagi perkembangan hukum pidana adat yang hidup di masyarakat.4 Akan tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa larangan untuk menegakan hukum secara surut (retroaktif) bukan hanya ada di dalam hukum pidana saja, semua bidang hukum pun sebetulnya menganut prinsip nonretroaktif. Sebagaimana disebutkan dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-Undangan) yang 3
Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan HAM RI, 2003) hal. 17. 4
Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia, hal. 21.
32
dikeluarkan oleh pemerintah Belanda tertanggal 30 April 1847 (Staatsblad 1847 No. 23). dalam pasal 2 disebutkan; “De wet verbindt allen voor het toekomende en heft geen terugwerkende kracht (Undang-Undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut)”.5 Hanya saja asas ini kemudian oleh pembuat undang-undang diulangi kembali dalam Undang-undang Hukum Pidana, sehingga memberikan kesan bahwa prinsip non-retroaktif hanya ada di dalam hukum pidana saja. Meskipun asas legalitas atau principles of legality merupakan asas fundamental yang diakui oleh negara-negara namun berlakunya tidak secara mutlak, artinya terhadap asas legalitas masih bisa dilakukan penyimpangan demi menggapai keadilan. Menurut pendirian yang berkembang selama ini bahwa dalam Ayat (2) dalam pasal 1 KUHP memberikan peluang bagi penerapan hukum secara retroaktif dengan harapan dapat memberikan keadilan bagi para korban kejahatan, hal ini tidak terlepas dari redaksi yang ada di dalam Ayat 2 tersebut yang mengatakan; “Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”. Maka jika kita melihat redaksi yang disampai dalam Ayat (2) tersebut secara kontekstual, dapat dipahami bahwa sebuah peraturan perundangundangan dapat diberlakukan surut dengan syarat; 1. Adanya perubahan dalam perundang-undangan ketika proses hukum sedang berlangsung.
5
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, hal. 43.
33
2. Ada aturan yang meringankan bagi terdakwa (Retroactive des lois plus douces). Namun menurut Barda Nawawi jika Pasal 1 ayat (2) dianggap memuat prinsip retroaktif maka anggapan tersebut adalah kurang tepat. Menurutnya Pasal 1 ayat (2) tidak mengatur tentang prinsip retroaktif, melainkan mengatur tentang hukum yang berlaku pada masa transisi karena adanya perubahan dalam perundang-undangan. Jika dalam masa transisi ada 2 pilihan perundang-undangan
maka
hendaknya
dicarikan
hukum
yang
lebih
meringankan bagi tersangka, jadi di dalam Pasal 1 ayat (2) terkandung asas subsidiaritas bukan asas retroaktif. Meskipun dikemudian hari muncul undang-undang yang baru bukan berarti undang-undang yang lama tidak dipakai lagi. Sebab jika ketentuan yang ada di dalam undang-undang yang lama lebih meringankan maka masih dapat digunakan. Sehingga menurutnya kurang tepat rasanya jika menganggap Pasal 1 Ayat (2) berisi prinsip retroaktif.6 Menurut Bagir Manan Asas “retroaktif” memiliki pengertian yaitu penerapan ketentuan hukum yang baru terhadap peristiwa hukum sebelum peraturan perundang-undangan yang baru tersebut ditetapkan. Sedangkan yang dimaksud dengan “hukum peralihan” adalah tetap menerapkan ketentuan hukum yang lama terhadap peristiwa hukum yang sudah ada atau yang akan ada. Tujuan dari penerapan aturan peralihan tersebut ialah untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, sehingga kepastian dan ketertiban hukum tetap 6
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) hal. 8-9.
34
terjamin.7 Keberadaan Pasal 1 ayat 2 dalam KUHP memang banyak mengundang kontroversi, bahkan menurut Hazewingkel Suringa menyatakan bahwa sebaiknya ayat 2 dalam pasal 1 itu dihapus saja. Sebab meskipun sebuah hukum boleh dilakukan secara surut dengan syarat hukuman harus lebih ringan, maka pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan bagi sesama pelaku kejahatan. Namun menurut Van Hattum, jika ada dua aturan baru yang lebih ringan dari aturan lama maka hendaknya pada waktu mengadili terdakwa pengadilan menggunakan aturan-aturan yang lebih ringan bagi terdakwa dengan alasan retroactive des lois plus douces atau berlaku surut aturan yang ringan baginya. Sebenarnya apakah maksud dari ketentuan yang lebih menguntungkan atau lebih ringan tersebut ?.8 Dibagian Penjelasan KUHPidana
Belanda,
dijelaskan
bahwa
ketentuan
yang
paling
menguntungkan atau gunstige bepalingen tidak hanya berkaitan dengan dengan pidananya saja, namun juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atau penilaian terhadap suatu tindak pidana. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang paling menguntungkan adalah: 1. pengurangan ancaman pidana. 2. penghapusan sifat dapat dipidana suatu perbuatan dengan ketentuan : a. adanya pencabutan pidana. b. penambahan bagian (bestanddeel) yang baru dalam rumusan ketentuan pidana, sehingga memungkinkan perbuatan terdakwa tidak termasuk lagi sebagai tindak pidana. 7 8
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004) hal. 55. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal. 39.
35
3. menghapuskan sifat dapat dituntut (vervolgbaarheid).9 Sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Farid, Jonkers berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang paling menguntungkan bukan hanya dalam hal pidana, namun termasuk pula termasuk kedalamnya hal-hal yang berkaitan dengan penuntutan, pengurangan jangka waktu verjaring, dan keadaan bahwa perbuatan tersebut merupakan delik aduan.10 Di lain pihak Profesor Simons berpendapat bahwa ketentuan yang paling menguntungkan meliputi11: 1. Hal dapat dihukumkan perbuatannya itu sendiri. 2. Bentuk-bentuk pertanggungjawabannya. 3. Syarat-syarat mengenai dapat dihukumnya suatu perbuatan. 4. Jenis hukumannya. 5. Berat-ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan. 6. Pelaksanaan hukumannya itu sendiri. 7. Batalnya hak untuk melakukan penututan. 8. Masalah kedaluwarsanya. Sedangkan menurut van Hammel bahwa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa diantaranya adalah12: 1. Semua ketentuan dalam hukum material yang mempunyai pengaruh terhadap penilaian menurut hukum pidana mengenai suatu perilaku. 9
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012) hal. 277-278. 10
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 152.
11
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) hal. 172. 12
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, hal. 172.
36
2. Pertanggung jawaban menurut hukum pidana. 3. Syarat-syarat tambahan mengenai hak untuk melakukan penuntutan dan mengenai hak untuk menjatuhkan hukuman. 4. Jenis hukumannya. 5. Lamanya hukuman yang telah dijatuhkan. 6. Ketentuan-ketentuan mengenai delik aduan. 7. Ketentuan-ketentuan mengenai penuntutan menurut hukum pidana. 8. Ketentuan-ketentuan mengenai hukuman. Terlepas dari pandangan para ahli hukum, penerapan penerapan hukum secara retroaktif masih memungkinkan untuk dilakukan terlebih jika berdasarkan pada prinsip keadilan, namun tentunya masih tetap berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP, yaitu harus diterapkan hukuman yang lebih ringan. Menurut pendapat Muladi sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali dalam bukunya, mengatakan bahwa penerapan hukum secara retroaktif dalam hukum pidana juga berkaitan dengan hukum tata negara darurat, dimana penerapannya hanya dapat dilakukan jika negara dalam keadaan darurat, pemberlakuannya hanya dilakukan untuk wilayah tertentu, dan waktu pemberlakuaannya pun hanya bersifat temporer bukan permanen serta harus disebutkan di dalam Undang-Undang. Kedua, penerapan hukum secara retroaktif tidak boleh bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 2 KUHP, artinya karena sifatnya yang darurat hukum boleh diterapkan secara surut namun dengan syarat hukumannya tidak memberatkan bagi tersangka atau
37
terdakwa, ketiga, tidak boleh menyimpang dari Asas Lex Certa sehingga tidak menimbulkan
multiinterpretasi
dan
dapat
menimbulkan
kesewenang-
wenangan oleh penguasa. 13 Jika memang penerapan hukum secara surut merupakan pelanggengan lex talionis oleh pemerintah terhadap pelaku kejahatan, dan asas legalitas merupakan penangkalnya dengan tujuan melindungi hak dan kepentingan dari tersangka maka hal tersebut dirasa kurang tepat. Sebab jika kita berbicara tentang hak, maka bukan hak dari tersangka saja yang harus kita penuhi namun kita juga perlu memperhatikan hak dari para korban dan keluarganya yang mencari keadilan, sehingga pada akhirnya terciptalah sebuah keseimbangan. Menurut James People sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali mengatakan bahwa, “non-retroactivity is an important principle, but it does not deserve the status of a fundamental human rights. Perlindungan terhadap penuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut adalah sesuatu yang penting, tetapi ia tidak layak mendapat status sebagai hak asasi yang sifatnya fundamental. Jika memang hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut merupakan bagian dari hak individual, maka sifatnya hanya hak biasa saja. Sebab jika ia dianggap sebagai hak fundamental maka ia bertentangan dengan fakta bahwa hak masyarakat umum lebih penting dari pada hak individu.14
13
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hal. 172
14
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hal. 77.
38
Dengan demikian jika melihat pada penerapan hukum secara retroaktif merupakan suatu keniscayaan namun harus disertai dengan alasan dan batasan-batasan yang jelas dalam menerapkan prinsip retroaktif tersebut. Bahkan menurut Muladi ia mengatakan bahwa penerapan hukum secara retroaktif dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan kasus kejahatan HAM berat atau gross violation of human rights dengan didasarkan pada asas keadilan.
B. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Tindak Pidana Tertentu 1. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Pelanggaran HAM Berat. Tujuan dari dibentuknya pengadilan HAM di Indonesia adalah untuk menyelesaikan berbagai kasus kejahatan HAM yang pernah terjadi di masyarakat pada masa lampau. Hal itu menandakan bahwa pengadilan HAM muncul setelah adanya tindak kejahatan yang telah terlebih dahulu dilakukan oleh pelaku. Dan itu juga mengindikasikan bahwa pengadilan HAM ad hoc memiliki kewenangan untuk memberlakukan hukuman secara surut atau retroaktif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa “ Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”15, tentunya hal ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap prinsip legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang telah diakui oleh Negara Indonesia. 15
Lihat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
39
Namun demikian menurut Oentoeng Wahjoe terhadap kejahatan HAM berat dapat diterapkan asas retroaktif dengan berdasarkan pada hukum internasional. Kemudian penerapan hukum secara retroaktif juga merupakan implementasi atau penerapan dari apa yang sudah ditentukan di dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya seseorang harus tunduk dan patuh pada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh undangundang. Hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain demi tercapainya sebuah keadilan yang sesuai dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis. Ia pun menambahkan bahwa karena pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan khusus yang sebulumnya tidak diatur dalam KUHP sehingga dengan kekhususannya ini, maka penangananya pun boleh menggunakan cara-cara yang khusus atau menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam KUHP.16 Begitupun menurut Romli, ia mengatakan bahwa penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM berat telah mengesampingkan asas nonretroaktif, hal ini dibuktikan dengan adanya penyimpangan dalam praktek penyelesain kasus HAM berat di Pengadilan Nuremburg dan Tokyo yang kemudian dilanjutkan dengan diadakannya Pengadilan HAM ad hoc Tribunal untuk
16
bekas
jajahan
Yugoslavia
dan Rwanda dengan
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasiol : Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya, (Jakarta : Erlangga, 2014) hal. 179.
40
menggunakan
prinsip-prinsip
yang
terkandung
dalam
Pengadilan
Nuremburg yang telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Maka dengan berdasarkan pada preseden hukum internasional tersebut maka dibentuklah pengadilan HAM ad hoc di Indonesia yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000.17 Namun menurut Roy S. Lee sebagaimana yang dikutip oleh Eddy, mengatakan bahwa ketentuan legalitas yang terkandung di dalam Statuta Roma Pasal 24 ayat 1 memilik unsur politis karena sebagian besar Negara di antaranya memiliki pengalaman kelam akan masa lalu dan harus memberikan pengampunan atau solusi yang serupa dalam upaya rekonsiliasi nasional. Sehingga pertanggung jawaban pidana menurut pandangan hukum internasional tidak bisa diberlakukan surut18. Akan tetapi lain halnya menurut Cherif Bassiouni yang mengatakan jika dalam konteks hukum nasional prinsip legalitas memang merupakan prinsip fundamental yang mengandung larangan ex post facto law, retroaktif maupun analogi, sehingga aturan hukum pidana menurutnya tidak boleh bersifat ambigu. Akan tetapi lainnya hal jika dilihat dari sudut hukum pidana internasional yang sumbernya berasal dari kebiasaan internasional, prinsip legalitas tidak dapat diterapkan seketat mungkin, sebagaimana ia diterapkan dalam hukum nasional.19
17
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional 2, (Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2004) hal. 56. 18
Eddy O,S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Erlangga, 2012)
hal. 34-35. 19
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, hal. 36.
41
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip legalitas memiliki kaitan yang sangat erat dengan asas non-retroaktif. Hal ini jelas terlihat dalam dokumen-dokumen yang membahas tentang HAM mulai dari Magna Charta yang lahir di Inggris tahun 1215, Bill of Rights tahun 1689, Bill of Rights milik Amerika Serikat tahun 1789 dan Declaration des Droits Del L’Nomme et du Citoyen (Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara) milik Perancis tahun 1789. Bahkan di dalam Declaration des Droits Del L’Nomme et du Citoyen dikatakan bahwa, “Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undangundang yang ada sebelumnya”. Sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan hukum secara surut telah merampas Hak Asasi Manusia yang sifatnya memang tidak bisa dikesampingkan (non-derogable rights).20 Menurut Suparman Marzuki asas legalitas memang mempunyai tingkat efektifitas yang tinggi dalam melindungi kepentingan rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa, akan tetapi kurang efektif dalam merespon pesatnya perkembangan kejahatan. Asas legalitas yang mengatakan bahwa sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan jika disebutkan dalam undang-undang ini dianggap kurang efektif dalam melindungi kejahatannya
kepentingan
kolektif,
sebab
tidak disebutkan dalam
pelaku
kejahatan
yang
undang-undang maka bisa
dibebaskan.21 Serupa dengan pendapat Suparman, Deny Setyo mengatakan
20
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2006) hal. 146-147. 21
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia: melanggengkan impunity, (Jakarta: Erlangga, 2012) hal. 57.
42
asas legalitas sama sekali tidak memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban. Selain itu asas legalitas pun sama sekali tidak berdaya untuk menutut kerugian luar biasa, yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan yang sifatnya luar biasa pula (Extra ordinary crime) hanya karena perbuatan tersebut belum atau tidak dilarang oleh undang-undang pidana.22 Sehingga dengan adanya kelemahan yang dimiliki oleh asas legalitas
tersebut,
maka
beberapa
ahli
menganggap
perlunya
memberlakukan hukum secara surut (retroaktif) dalam menangani tindak kejahatan yang tentunya disertai dengan berbagai pertimbangan yang di antaranya23 : a. Penerapan asas retroaktif semata-mata diterapkan hanya untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan. b. Untuk mencegah terulangnya perbuatan yang sama. c. Bertujuan untuk mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan. d. Untuk mengisi kekosongan hukum. Suparman pun menambahkan meski Undang-Undang Dasar 1945 memberi peluang bagi pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif), namun bukan berarti Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengutamakan asas non-retroaktif. Menurutnya para pemerhati HAM secara umum berpendapat bahwa pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) tidak
22
Denny Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 6. 23
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia.., hal. 58.
43
boleh dilakukan, kecuali sudah memenuhi empat syarat kumulatif yaitu24: a. Kejahatan
berupa
HAM
berat
atau
kejahatan
yang
tingkat
kekejamannya dan destruksinya setara dengannya. b. Peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional. c. Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen. d. Keadaan hukum nasional Negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup untuk menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya. Dengan demikian jika melihat dari penjabaran di atas maka setidaknya bisa diketahui bahwa dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat, proses penerapan hukumnya boleh dilakukan secara surut atau retroaktif yang tentunya harus dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan di atas dan dengan tujuan semata-mata untuk menciptakan keadilan dan mencegah terjadinya impunitas dan imunitas bagi para pelaku kejahatan HAM berat. 2. Pemberlakuan Hukum Secara Surut
Dalam Tindak Pidana
Terorisme Jika dalam menangani kasus kejahatan HAM berat dapat dilakukan penerapan hukum secara surut, maka lain halnya dalam kasus tindak pidana kejahatan terorisme. Masalahnya adalah Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang
24
Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia.., hal. 61.
44
Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002, resmi dibatalkan oleh MK. Pembatalan tersebut dilakukan setelah adanya upaya Judicial Review yang dilakukan oleh Masykur Abdul Kadir beserta kuasa hukumnya terhadap Undang-Undang No. 16 tahun 2003 atas Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menurutnya mengandung pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas legalitas yang sudah diakui secara universal. Sehingga akhirnya lima dari Sembilan hakim MK mengabulkan permohonan judicial review tersebut dengan dasar pertimbangan, Pertama, menurut lima hakim tersebut Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tidak perlu diberlakukan secara surut, karena baik unsur maupun jenis kejahatan yang terdapat dalam tindak pidana terorisme tersebut dapat dihukum dengan menggunakan instrument undang-undang yang telah ada dan dapat dimasukan ke dalam jenis kejahatan yang hukumannya dapat berupa pidana berat. Kedua, kejahatan terorisme belum dapat dikatakan sebagai extra ordinary crime sehingga tidak perlu diterapkan hukum secara surut dan dapat ditangani dengan instrument undang-undang yang sudah ada. Ketiga, jika memang terorisme melanggar batas-batasan HAM, namun penanganannya tidak boleh bertentangan dengan HAM, Keempat, pembentukan undang-undang terorisme sematamata hanya berdasarkan pada pandangan politik (Political Judgement).
45
Namun demikian tidak semua hakim MK mengabulkan permohonan tersebut, empat orang hakim MK yang terdiri dari Maruarar Siahaan, I Dewa Gede Palguna, Prof. Natabaya, Harjono
mengajukan dissenting
opinion yang isinya antara lain: a. Penerapan hukum secara surut dalam kasus bom Bali sangatlah tepat karena baik motif dan target sangatlah jelas. b. Kejahatan terorisme telah menjadi perhatian masyarakat dunia, di mana korban yang ditimbulkan bukan hanya dari satu Negara namun dari banyak Negara. Selain itu imbas yang ditimbulkan bukan hanya dari banyak korban jiwa, namun berbagai infrastruktur umum, lingkungan hidup dan sumber-sumber ekonomi juga mengalami kerusakan parah ditambah dengan tergoncangnya situasi social dan politik yang dapat mengganggu eksistensi Negara. c. Negara wajib melindungi warganya dan integritas bangsa dari berbagai kejahatan, baik dari kejahatan nasional maupun transnasional. d. Para pelaku tahu dan sadar bahwa perbuatan mereka merupakan suatu tindak kejahatan yang dapat dihukum dengan undang-undang, dan mereka pun tahu dan sadar bahwa kejahatan dilakukan ditujukan untuk bangsa lain dengan penuh kebencian, sehingga dapat dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah perbuatan immorality.25 Pendapat para hakim yang mengajukan dissenting opinion ini didasarkan pada prinsip “aut punere aut de dere, nullum crimen sine poena” atau 25
Dikutip dari artikel “Putusan MK dengan “Dissenting Opinion”, Jurnal Berita Mahkamah Konstitusi, (No. 6 Tahun 2004 hal. 9). Artikel diakses pada tanggal 2 April dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
46
setiap kejahatan tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa adanya hukuman. Pada kesempatan itu dihadirkan juga dua orang saksi ahli yang pada akhirnya kesaksian mereka mengukuhkan pendapat dari lima hakim yang mengabulkan permohonan pemohonan, yaitu Dr. Maria Farida Indarti dan Prof. Harun Alrasyid, dimana Maria Farida berpendapat bahwa penerapan Pasal
28J
ayat
(2)
UUD
yang
berisikan
kemungkinan
untuk
mengesampingkan hak asasi manusia tidak dapat dilakukan kepada Pasal 28I ayat (1), hal ini disebabkan adanya anak frasa “dalam keadaan apa pun”. Sehingga Pasal 28J tidak dapat dapat dikatakan sebagai lex specialis bagi Pasal 28I ayat (1). Hal yang senada pun disampaikan oleh Prof. Harun Alrasyid, dimana Pasal 28J ayat (2) tidak bisa disebut sebagai aturan khusus, sehingga pada akhirnya harus ditafsirkan bahwa prinsip non-retroakif merupakan suatu prinsip yang berlaku mutlak.26 Meskipun di dalam putusan MK tindak pidana terorisme tidak dapat dikategorikan dalam tindak pelanggaran HAM berat atau gross violation on human rights maupun tindak pidana yang butuh penanganan khusus (extra ordinary crime) namun jika melihat kembali pada konvensikonvensi internasional maka tindak pidana terorisme dapat pula dikatakan sebagai tindak pidana internasional, sehingga pelakunya memungkinkan dihukum dengan menggunakan hukum secara surut. Hal ini tersebut di dasarkan pada latar belakang pembentukan Pengadilan HAM Nurenberg. Selain itu dengan melihat pada dampak dan sifat dari tindak pidana 26
Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hal. 178.
47
terorisme tersebut seharusnya MK melihat kepada langkah yang diambil dalam Pengadilan HAM Nurenberg dalam menyelesaikan kasus tindak pidana terorisme yaitu mengesampingkan asas legalitas demi memberikan keadilan bagi para korban, meskipun hal tersebut dianggap tidak adil bagi pelaku kejahatan terorisme. Disamping alasan bahwa terorisme bukan termasuk dalam pelanggaran HAM berat maupun extra ordinary crime, keberadaan Pasal 28 I ayat (1) dan Pasal 28 J ayat (2) dalam UUD 1945 yang mengundang banyak perdebatan. Jika menurut Maria Farida dan Harun al-Rasyid Pasal 28 I ayat (1) tidak dapat dilakukan penyimpangan terhadapnya dan Pasal 28 J ayat (2) bukanlah lex specialis dari Pasal 28 ayat (1). Maka lain halnya menurut Ari Wibowo dalam bukunya “Hukum Pidana Terorisme” yang mengatakan bahwa Pasal 28J ayat (2) merupakan pengecualian terhadap Pasal 28I ayat (1). Meskipun jika dilihat secara sekilas bahwa kedua pasal tersebut saling bertentangan namun jika dilihat secara seksama maka akan nampak kesinambungan antara Pasal 28J dengan Pasal 28I, sebab menurutnya kedua pasal yang ada di dalam UUD 1945 tersebut memiliki kesamaan jika dibandingkan dengan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 3 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dimana dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 melarang adanya penuntutan dengan menggunakan hukum yang berlaku surut akan tetapi di dalam penjelasannya hak tersebut dapat dikesampingkan jika berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM berat yang
48
merupakan tindak pidana kemanusiaan, dan di lain sisi Pasal 3 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pun mengatakan bahwa pelanggaran terhadap HAM berat dapat dihukum melalu pengadilan HAM ad hoc, meskipun telah terlebih dahulu terjadi sebelum munculnya UU No. 24 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.27 Sehingga menurut Ari Mahkamah Konstitusi seharusnya melihat UUD 1945 secara kesuluruhan dan mempertimbangkan Pasal 28J ayat (2) sebagai pengecualian terhadap Pasal 28I ayat (1). Sedangkan dilain pihak pemerintah yang pada saat itu berkedudukan sebagai tergugat mengatakan bahwa penerapan prinsip retroaktif dalam Undang-Undang Terorisme tersebut didasarkan pada pandangan bahwa tindak pidana terorisme bukanlah kejahatan biasa, akan tetapi telah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) dan jika melihat jumlah korban yang ditimbulkan dapat dikategorikan kedalam tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Bukan hanya berdasarkan pada pertimbangan jumlah korban saja, namun dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme ini dapat berpengaruh pada kondisi social, ekonomi dan politik di Indonesia. Maka dengan dasar pertimbangan tersebut maka pemerintah membuat UndangUndang Terorisme yang dalam penerapannya dapat diberlakukan secara surut. Akan tetapi dengan adanya uji materi yang membatalkan UU No. 16
27
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012) hal. 99.
49
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme, maka penggunaan undang-undang a quo harus berakhir. Namun masih menyisakan sebuah pertanyaan, bagaimana nasib para pelaku baik yang masih berada dalam proses persidangan maupun yang sudah in kracht ? Maka menurut Yusril Ihza Mahendra bahwa putusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan kepada para pelaku dengan menggunakan UU No. 16 Tahun 2003 ini tetap sah dengan berdasarkan pada Pasal 58 undangundang MK. Akan tetapi lain halnya jika kasus tersebut masih berada pada proses persidangan, namun belum mencapai tahap pembacaan tuntutan maka UU No. 16 Tahun 2003 dapat dikesampingkan dan selanjutkan dapat dituntut dengan menggunakan tuntutan subsider yang didasarkan pada KUHP dan UU No. 12 Tahun 1951dan jika masih dalam tahap penyidikan maka UU No. 16 Tahun 2003 akan dikesampingkan secara keseluruhan.28 Menurut pendapat Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Rony, mengatakan bahwa meski pelaku terorisme dapat lepas dari jeratan UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi mereka tidak dapat lepas dari jeratan KUHP dan UU No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api yang ketentuan hukumannya juga sama beratnya yaitu sampai pada ketentuan tertinggi, hukuman mati.29 Maka dengan adanya penjelasan di atas dapat dipahami bahwa meski para pelaku tindak pidana terorisme tidak dapat dituntut dengan menggunakan 28
Tb. Rony Rahman, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, hal. 130.
29
Tb. Rony Rahman, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, hal. 132.
50
Undang-Undang No. 16 Tahun 2003, namun mereka tetap dapat dituntut dengan menggunakan Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dengan hukuman yang juga tak kalah beratnya. Sehingga dengan demikian tidak ada istilah kekosongan hukum bagi tindak pelaku tindak pidana terorisme.
C. Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam RKUHP Kemudian di dalam upaya pembaharuan tersebut dilakukan banyak sekali perubahan-perubahan salah satunya adalah perubahan yang terjadi di dalam Pasal 1 yang selalu berkaitan dengan asas legalitas. Dimana pada Pasal 1 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2010, asas legalitas terlihat masih begitu absolut dan rigid, di mana dikatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana atau dikenakan tindakan manakala perbuatan tersebut tidak ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu terjadi. Namun jika kita melihat pada ayat-ayat selanjutnya dari pasal 1, maka akan ditemui perubahan mencolok. Jika di dalam KUHP (wetboek van strafrecht ) yang sekarang kita pakai pada ayat 2 mengatur perihal pemberlakuan hukum secara surut bersyarat (Retroaktif Bersyarat), akan tetapi pada Pasal 1 ayat (2) RKUHP berisi larangan keras terhadap penggunaan analogi dalam menetapkan suatu tindak pidana. Sedangkan ayat yang membahas tentang pemberlakuan hukum secara surut dipindahkan kedalam Pasal 2 ayat (1) RKUHP 2010. Maka dengan dicantumkannya pelarangan penggunaan analogi nampaknya pembuat undang-undang ingin menggali lebih dalam intisari dari prinsip legalitas yang selama ini menjadi asas fundamental.
51
Asas legalitas yang selama ini kita gunakan memang memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat. Maka dengan adanya prinsip legalitas yang salah satu ajarannya melarang adanya pemberlakuan surut atau nonretroactive guna melindungi terjadinya political revange atau politik balas dendam terhadap kejahatan dimasa lalu, kemudian ditambah dengan adanya larangan penggunaan analogi guna mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap suatu perbuatan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa arbitrium Judicis. Di samping itu prinsip legalitas juga mengharuskan bahwa sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika ia memang sebutkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai tindak pidana, hal ini tidak terlepas dari sistem hukum Negara civil law yang menganut system kodifikasi, disamping hukum pidana harus merupakan hukum undang-undang dan harus adanya pembatasan kebebasan hakim. Akan tetapi dengan adanya sistem kodifikasi, hukum harus berdasarkan pada undang-undang dan kebebasan hakim dibatasi, pada akhirya memberikan peluang bebas dari hukuman bagi kejahatan-kejahatan yang sifatnya extra ordinary yang memang tidak disebutkan dalam undang-undang sebelumnya, sehingga perbuatan tersebut patutnya dipidana (strafwaardig) karena melanggar hukum (onrechtmatige) namun karena perbuatan tersebut tidak dilarang di dalam undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar).30 Hal ini tentunya dapat menimbulkan kekosongan hukum akibat adanya system kodifikasi yang dianut oleh Negara civil law. 30
Deny Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana : Sejarah Asas legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, hal. 66.
52
Bahkan menurut pendapat Sunaryati Hartono sebagaimana dikutip oleh Yudha Bakti dalam bukunya mengatakan bahwa dalam sistem kodifikasi pun masih sering ditemukan kekosongan hukum atau terdapat hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang dan disatu sisi penegakan hukum akhirnya semakin jauh dari keadilan dikarenakan terlalu dominannya Undang-undang dan kodifikasi.31 Namun nampaknya pembuat undang-undang memahami betul bahwa untuk mengantisipasi timbulnya ketidakadilan maka disertakan juga ayat (2) dalam pasal 1 tersebut yang berbunyi: “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Munculnya ayat ini mengundang berbagai perdebatan dimana ayat ini dianggap menyimpangi prinsip legalitas karena berisikan prinsip berlaku surut (retroaktif) di dalamnya. Karena salah satu dari asas yang dilahirkan oleh prinsip legalitas adalah adanya larangan non-retroaktif atau larangan berlaku surut bagi suatu undang-undang. Berbagai pendapat muncul apakah asas yang terkandung dalam ayat (2) pasal 1 ini berisikan prinsip berlaku surut atau hanya merupakan aturan peralihan saja sehingga menimbulkan asas subsidiaritas. Nyoman Serikat dan Barda Nawawi menganggap bahwa ayat (2) diatas hanya merupakan suatu aturan peralihan saja sehingga hanya memunculkan asas subsidiaritas saja, bukan asas “retroaktif”. Sedangkan di lain pihak Moeljatno berpendapat bahwa Pasal 1 ayat (2) mengandung unsur retroaktif bersyarat. 31
Yudha Bakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000) hal. 51.
53
Perdebatan ini di dasarkan pada perbedaan pemahaman terhadap frase “Perubahan dalam perundang-undangan” dan frase “ketentuan yang paling menguntungkan”. Maka terhadap frase “perubahan dalam perundangundangan”, setidaknya terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu padangan teori formal dan pandangan kelompok teori materil. Kelompok paham formal yang di dalamnya terdiri dari Prof. van Hammel, Prof. Simmons dan Prof. Zevenbergen berpendapat, bahwa maksud dari “Perubahan dalam perundangundangan” sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 1 ayat (2) ialah hanya perubahan dalam perundang-undangan hukum pidana atau perubahan dalam strafwetgeving-nya saja.32 Sedangkan
menurut
R.
Soesilo
teori
materil
perubahan
perundangan-undangan terjadi, jika ada perubahan-perubahan
dalam
yang sesuai
dengan perubahan perasaaan hukum. Jadi perubahan tidak hanya terjadi di dalam bidang hukum pidana saja, namun juga dalam bidang perundangundangan lainnya, seperti dalam bidang hukum perdata. Teori ini merupakan teori yang paling banyak dianut dalam praktek pidana di Indonesia ketimbang teori formil.33 Kemudian jika kita cermati bahwa Pasal 1 ayat (2) memiliki keterikatan dengan Pasal 1 ayat (1), dimana jika di dalam ayat (1) ada frase “ketentuan perundang-undangan pidana” dan di ayat (2) terdapat frase “Perubahan dalam perundang-undang”, maka terdapat benang merah yang menyatukan kedua ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan perubahan dalam perundang-undangan ialah perubahan dalam perundang-undangan 32
P.A.F. Lamintang dan F. Theojunior Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) hal. 159. 33
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor: Politea, tanpa tahun terbit) hal. 45.
54
pidana saja. Sedangkan menurut Andi Hamzah penggunaan kata “perundangundangan pidana” menunjukan bahwa perubahan tidak hanya terjadi dalam undang-undang formil saja, namun juga meliputi undang-undang materil seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan lain-lain
yang
kesemuanya berkaitan dengan perumusan delik dan ancaman pidana.34 Akan tetapi jika kita melihat kembali kepada rumusan Pasal 1 ayat (1) tepatnya pada kata “perundang-undangan” maka tidak dijelaskan secara rinci maksud dari kata tersebut sebagaimana yang kami jelaskan di atas. Namun lain halnya jika kita melihat Pasal 1 ayat (1) yang ada di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2013, pada bagian Penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-Undang dan Peraturan Daerah.35 Banyak perubahan mendasar yang terjadi di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana diantaranya pelarangan penggunaan analogi secara eksplisit yang pada dasarnya merupakan intisari dari prinsip legalitas, kemudian adanya penerapan hukum yang hidup dimasyarakat yang dahulu sempat diterapkan. Menurut Marcus Priyo Gunarto, dengan adanya ketentuan penerapan hukum yang hidup di masyarakat, maka telah terjadi pergeseran dalam penerapan asas legalitas, yang semulanya sebatas pada aspek legalitas formal kemudian diperluas sampai kepada aspek legalitas materiil.36
34
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, hal. 44.
35
Lihat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2013,Bag. Penjelasan,
hal. 212. 36
Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum (Vol 24, Nomor 1, 2012) hal. 88.
55
Semua usaha ini dilakukan dengan harapan dapat tercapai keadilan yang seadil-adilnya. Namun demikian keberadaan asas legalitas masih dirasa kurang memberikan keadilan, apalagi jika disangkutkan dengan kepetingan korban dan kepentingan umum. Maka keberadaan Pasal 3 ayat (1) dalam Rancangan
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
yang
merupakan
penyimpangan dari prinsip legalitas yang saat ini tercantum di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tetap dipertahankan dalam RKUHPidana tersebut meskipun dengan redaksi pasal yang sedikit berbeda. Jika di dalam KUHP Pasal 1 ayat (2) di katakan bahwa; “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan.” Maka di dalam RKUHPidana Pasal 3 ayat (1) mengatakan bahwa; “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundangundangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat.” Perbedaan itu terletak pada penegasan terhadap “ketentuan yang paling menguntungkan”, dimana dalam RKUHP 2013 pembuat undang-undang menegaskan tetap berlakunya ketentuan hukum yang lama manakala hukum yang lama tersebut lebih memberi mashlahat bagi pelaku tindak pidana, meskipun telah ada ketentuan hukum yang baru. Adanya ketentuan masih berlakunya hukum yang lama ini didasarkan pada sulitnya menentukan hukuman mana yang lebih ringan bagi pelaku. Sebab bisa saja hukum yang lama memiliki ancaman pidana yang lebih berat namun tidak disertai dengan
56
adanya hukuman tambahan, kemudian di sisi yang lain hukum yang baru memang memberikan hukuman yang lebih ringan namun diberlakukan pula hukuman tambahan terhadap kejahatan yang dilakukan. Maka jika ditemukan kondisi semacam ini tentunya tidak mudah untuk menentukan mana ketentuan hukum yang lebih menguntungkan. Hezewingkel Suringa pun mengusulkan untuk kembali kepada ketentuan yang lama yaitu ketentuan lex temporis delicti seandainya ditemui kondisi seperti ini.37 Dengan adanya ketentuan masih dapat diterapkannya hukum yang lama, dapat dikatakan menyimpangi prinsip umum sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan baru meniadakan aturan hukum yang lama.38 Maka dapat diketahui bahwa pemberlakuan hukum secara surut dapat dilakukan dengan dengan syarat bahwa hukum baru yang nantinya akan diberlakukan harus lebih ringan dari pada ketentuan hukum yang lama, akan tetapi jikalau ketentuan di dalam hukum yang lama bersifat lebih ringan dari pada hukum yang baru maka hukum yang lama tetap bisa diberlakukan. Adapun dalam proses pemberlakuan hukum secara surut hanya baru diberlakukan pada kasus pelanggaran HAM Berat, di mana proses penegaknya masih mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang sudah ada, di samping itu proses pemberlakuan hukum secara surut tersebut harus dilakukan secara limitatif dan restriktif pada kasus, tempat dan waktu-waktu tertentu. 37
F.A. Lamintang, F. TheoJunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,
38
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, hal. 55.
hal. 175.
57
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan hukum secara surut harus memenuhi berberapa unsur, pertama, hukum yang baru harus lebih ringan dari hukuman yang lama, kedua, hanya diterapkan bagi tindak pidana genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, ketiga, proses penerapannya harus dilakukan secara limitatif dan restriktif.
BAB IV PEMBERLAKUAN HUKUM SECARA SURUT DALAM PUTUSAN PENGADILAN A. Praktik Permbelakuan Secara Surut Dalam Putusan Pengadilan HAM Ad-Hoc 1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 065/PUU-II/2004 Pada tanggal 17 September 2004 Abilio Jose Osorio Suares yang sebelumnya telah menjalani hukuman penjara selama 3 tahun karena telah melakukan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan terhadap masyarakat Timor Timur yang pro kemerdekaan, dengan diwakili oleh kuasa hukumnya mendaftarkan permohonan judicial review UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian diterima oleh Kepaniteraan pada tanggal 18 September 2004. Dalam permohonannya, Abilio yang diwakili oleh para kuasa hukumnya ingin mengajukan uji materi terkait pemberlakuan Undangundang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dengan alasan-alasan: a. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang a quo telah melanggar hak konstitusinya sebagai warga Negara karena pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 karena diberlakukan secara surut. b. Dengan mengambil pendapat Maria Farid yang mengatakan bahwa
58
59
meski ada ketentuan dalam Pasal 28J yang memiliki kemungkinan dapat memberikan pembatasan terhadap Pasal 28I, namun hal itu tidak dapat dilakukan. Sebab di dalam Pasal 28I ada frasa yang berbunyi “dalam keadaan apapun”. Sehingga meski dalam kondisi darurat pun pemberlakuan hukum secara surut tidak dapat dilanjutkan. c. Pemberlakuan hukum secara surut lebih kental dengan nuansa politik balas dendam (political revenge), sehingga dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. d. Pengadilan Pidana Internasional (ICC) berdasarkan pada Statuta Roma 1998 juga menolak penerapan hukum secara surut. Hal tersebut disebutkan di dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 dari Statuta Roma. e. Kalaupun ingin menerapkan hukum secara surut, maka hendaklah sesuai dengan asas ketatanegaraan “abnormal recht voor abnormal tijden” (hukum darurat untuk kondisi darurat). f. Penerapan Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun
2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan prinsip legalitas yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana dan juga bertentangan dengan Ketentuan Umum Perundang-undangan atau Algemene Beppalingen van Wetgeving yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda dengan pada tanggal 30 April 1847, bahwa, “De wet verbindt aleen voor het toekomende en heft geen terug werkende kracht atau Undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut.
60
g. Bahkan menurut Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 18 ayat (2) dikatakan bahwa,”Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan”. h. Terakhir,
sebuah
undang-undang secara
materiil
tidak
boleh
bertentangan dengan undang-undang yang memilik kedudukan lebih tinggi di atasnya. Hal ini sebagaimana ditentukan oleh TAP MPR No.III/MPR/2000 Pasal 4 ayat (1). Selain mendengarkan keterangan dari pihak pemohon, Mahkamah Konstitusi juga mendengarkan keterangan dari pihak pembuat undangundang yaitu pemerintah dan DPR-RI. Menurut Pemerintah ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi pembentukan Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, di antaranya: a. Tindak pidana pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime yang memiliki sifat sistematis dan terkoordinasi dengan baik sehingga sulit untuk dibuktikan. Sedangkan KUHPidana hanya mengatur tentang ordinary crime saja sehingga untuk menangani tindak pidana pelanggaran HAM berat dibutuhkan Undang-undang khusus. b. Mengenai permasalahan pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Dilakukan secara khusus dan tertentu.
61
2) Limitatif dan restriktif. 3) Tidak memberatkan terdakwa. 4) Diatur secara tegas dan tidak multitafsir. c. Secara sosiologis pemerintah berpandangan bahwa kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat jika tidak segera diselesaikan maka akan menjadi “burning issues” yang dapat mengganggu stabilitas negara. d. Adanya desakan dari dunia internasional melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB menjadi salah satu factor terbentuknya Undangundang a quo. Sedangkan menurut DPR-RI pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) terhadap tindak pidana pelanggaran HAM didasarkan pada beberapa alasan: a. Jika melihat pada bagian penjelesan Pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dikatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualiakan hanya dalam kasus pelanggaran HAM berat saja. b. Ruang lingkup kerja dari Pengadilan HAM Ad Hoc hanya dibatasi untuk kasus denga locus dan tempus delicti tertentu saja dan keberadaan dari Pengadilan HAM Ad Hoc ini hanya sementara. c. Terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangundangkannya Undang-undang No. 26 Tahun 2000, maka akan diadili sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang No. 26 Tahun 2000.
62
d. Terkait dengan Pasal 28 I DPR-RI berpendapat bahwa pasal ini merupakan sebuah ketentuan umum, sedangkan Pasal 28 J merupakan pembatas terhadapa Pasal 28 I. e. Pemberlakuan hukum secara surut dilakukan dengan dasar prinsip keadilan. Sehingga dengan adanya Undang-undang a qua diharapkan dapat memenuhi tuntutan keadilan dari para korban tindak pidana pelanggaran HAM berat. Setelah mendengarkan keterangan dari berbagai pihak baik dari pemohon yaitu Abilio Jose Osorio Suares dan kuasa hukumnya, serta dari pihak terkait yaitu Pemerintah dan DPR-RI. Maka akhirnya Majelis Hakim dengan berdasarkan pada: a. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan legal standing bagi Pemohon. b. Ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Ditambah dengan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa undangundang yang dapat dilakukan uji materi terhadapnya ialah undangundang yang dibuat setelah adanya amandemen pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999, sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dibuat pada tanggal 23
63
November 2000 dengan LN Republik Indonesia Nomor 208. Maka dengan ini Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan yang diajukan oleh Pemohon. c. Secara harfiah memang benar apa yang terkandung dalam Pasal 28I memberikan gambaran bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan sesuatu yang mutlak. Namun jika kita melihat kepada sejarah dari pembentukan Pasal 28I tersebut tidak bisa kita pisahkan dari Pasal 28J. Kedua pasal terebut memiliki keterikatan satu sama lain sehingga tidak boleh dibaca secara parsial, melainkan harus dibaca secara bersamaan. Sehingga secara sistematis hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut bukan merupakan hak yang mutlak. Pemberlakuan hukum secara mutlak semata-mata hanya untuk memenuhi 3 tujuan hukum, yaitu: 1. Kepastian hukum, 2. Keadilan hukum, 3. Kebergunaan hukum. Akan tetapi, meski pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) dapat dilakukan, dalam prakteknya harus tetap dibatasi. d. Meski secara hierarki Undang-Undang berada dibawah UndangUndang Dasar, namun hal tersebut tidak secara otomatis menyebabkan undang-undang yang menerapkan hukum secara surut bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Ada dua aspek
yang harus
diperhatikan agar pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) tidak
64
dianggap bertentangan dengan hak asasi, pertama, adanya kepentingan umum yang lebih besar yang harus dilindungi. Kedua, bobot dan sifat hak-hak
yang terlanggar
akibat
pemberlakuan
undang-undang
demikian lebih kecil dari kepentingan umum yang terlanggar atau ketentuan hukuman yang diberikan harus lebih rendah sehingga tidak melanggar hak asasi pelaku. e. Meski UUD 1945 memberikan peluang untuk memberlakukan hukum secara surut (retroaktif) sehingga mengesampingkan asas nonretroaktif, namun UUD 1945 tetap mengutamakan prinsip nonretroaktif tersebut meski sifatnya tidak mutlak. Selain itu semangat yang terkandung dalamUUD 1945 dalam hubungan ini sejalan dengan semangat
yang
terdapat
dalam
sejumlah
instrument
hukum
internasional maupun regional, seperti dalam Pasal 29 ayat (2) DUHAM atau Universal Declaration of Human Right yang isinya hampir sama dengan Pasal 28J UUD 1945, kemudian dalam Pasal 15 ayat (1) Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Convenant on Civil and Political rights yang mengatakan bahwa,”Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana karena perbuatan ataupun karena kelalaian, yang pada saat perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan suatu tindak pidana baik menurut hukum nasional maupun menurut hukum internasional”. f. Berdasarkan Pasal 4 konvenan tersebut dan Pasal 7 Konvensi eropa
65
tentang Hak-hak Asasi Manusia
secara tegas mengatakan bahwa
negara-negara peserta konvenan boleh mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan manakala negara dalam keadaan darurat sehingga stabilitas negara menjadi terancam. Serta tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban negara yang bersangkutan menurut hukum internasional. Selain itu penerapannya tidak boleh dilakukan secara diskriminatif maupun atas dasar balas dendam. g. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a quo. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terkait dengan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc maka harus disertai dengan persetujuan dari DPR yang merupakan representasi dari masyarakat Indonesia. h. Tujuan dari pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc mengadili pelaku kejahatan yang tergolong kedalam “kejahatan serius terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan” atau “the most serious crime of concern to the international community as a whole”. Pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc sebenarnya dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di dunia internasional terkait pembentukan ICTY untuk kasus Yugoslavia dan ICTR untuk kasus Rwanda. i. Pemberlakuan hukum secara surut yang diterapkan di dalam UndangUndang Pengadilan hanya diperuntukan bagi tindak pidana kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja. Walaupun, sebenarnya tindak pidana kejahatan perang dan tindak pidana
66
kejahatan agresi secara hukum kebiasaan internasional (International Costumary Law) termasuk kedalam kejahatan serius terhadap kemanusiaan. j. Sampai saat ini belum ditemukan definisi yang pasti tentang apa yang dimaksud dengan terorisme, meski pada dasarnya ia termasuk kedalam kejahatan serius terhadap masyarakat internasional, maka bagi tindak pidana terorisme belum bisa dibentuk sebuah pengadilan ad hoc. k. Pemberlakuan asas non-retroaktif hanyalah berlaku bagi tindak pidana yang sifatnya biasa (ordinary crime) sedangkan untuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang secara internasional pun sudah diakui sebagai kejahatan intenasional, maka dapat diberlakukan hukum secara surut (retroaktif). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para pelaku kejahatan luar biasa seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak lolos dari jeratan hukum sebagaimana bunyi adagium “tidak boleh ada kejahatan yang berlalu tanpa adanya hukuman (aut punere aut de dere)”. Sehingga dengan adanya beberapa pertimbangan yang dijelaskan secara singkat di atas yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026, tidak terbukti bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945, maka dengan ini Menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon.
67
2. Putusan Nomor. 34 PK/PID.HAM.AD.HOC/2007 Selain terjadi pada kasus Abilio, praktek pemberlakuan hukum secara surut juga terjadi pada kasus Eurico Guterres, seorang mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI). Eurico dituntut dengan tuduhan telah melakukan pembiaran terhadap penyerangan yang terjadi di kediaman Manuel Viegas Carrascalao yang menyebabkan beberapa orang terluka parah dan meninggal dunia. Selain itu ia juga dituduh telah melakukan provokasi terhadap massa yang hadir pada Apel Akbar Peresmian PAM Swakarsa pada tanggal 17 April 1999 jam 09.00 WITA atau setidaknya pada waktu-waktu lain di bulan April, sehingga menyebabkan terjadinya penyerangan tersebut. Atas kejadian tersebut dalam Pengadilan tingkat pertama dan dalam dakwaan pertama ia dituntut dengan Pasal 42 ayat (2) a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 hurf a dan Pasal 37 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam dakwaan kedua ia dituntut juga dengan Pasal 42 ayat (2) hurf a dan b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h dan Pasal 37 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sehingga dalam Putusan Nomor
04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST ia dihukum dengan hukuman pidana penjara selama 10 tahun. Merasa tidak puas dengan putusan ini baik pihak Eurico dan pihak Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding terhadap putusan sebelumnya dan dalam putusan banding tersebut ia dihukum dengan hukuman yang
68
lebih ringan yaitu 5 tahun. Akan tetapi putusan tersebut bagi pihak Eurico masih kurang memuaskan dan bagi pihak JPU masih terlalu ringan, akhirnya kedua kubu tersebut mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut. Alih-alih ingin mendapatkan putusan yang lebih ringan, Eurico akhirnya dihukum dengan hukuman 10 tahun penjara. Kubu Eurico pun bereaksi terhadap putusan kasasi ini dengan mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi tersebut. Pengajuan peninjauan kembali dilakukan dengan beberapa alasasn: a. Dalam putusan kasasi Majelis Hakim Agung yang seharusnya berkedudukan sebagai Yudex Yuris merubah kedudukannya menjadi Yudex Factie. b. Tidak ada landasan yuridis yang ilmiah dalam putusan tersebut tentang penambahan masa hukuman. c. Dalam persidangan Eurico Guterres bersifat kooperatif sehingga memudahkan persidangan. d. Majelis Hakim 1, 2 dan 3 hanya mengambil pertimbangan hukum dari pihak Jaksa Penuntut Umum saja. e. Adanya dissenting opinion yang mengatakan bahwa terdakwa Eurico Guterres seharusnya dibebaskan. f. Majelis Hakim tidak melihat kepada fakta-fakta yang muncul dalam persidangan. g. Hakim ragu dalam memutuskan karena terjadi benturan antara prinsip kepastian hukum dan prinsip keadilan. Jika terjadi hal yang demikian maka hendaknya hakim mengutamakan prinsip keadilan.
69
Dengan berdasarkan beberapa alasan dan fakta yang ada akhirnya majelis hakim memutuskan untuk menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Eurico Guterres, membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 06 K/PID.HAM.AD.HOC/2005 tanggal 13 Maret Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc Nomor 02/PID.HAM/AD.HOC/2004/PT.DKI tanggal 29 Juli 2004 jo. Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST tanggal 27 November 2002, serta mengadili kembali dengan menyatakan bahwa pemohon PK yaitu Eurico Guterres tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut umu, maka dengan itu majelis hakim membebaskan Eurico Guterres dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Dalam putusan ini majelis hakim berpendapat bahwa sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 bahwa seorang terdakwa baik ia secara individual (individual responsibility) ataupun sebagai atasan (superior responsibility) haruslah dibuktikan apakah ia benar telah mengeluarkan kebijakan baik Kebijakan Negara atau pun Organisasi untuk melakukan kejahatan kemanusiaan secara sistemik dan meluas terhadap masyarakat sipil. Menurut hukum kemanusiaan internasional yang dimaksud dengan pengertian meluas berkaitan dengan adanya korban ialah harus bersifat massal, berulang kali, dilakukan dalam skala besar, dilakukan dengan
70
sungguh-sungguh dan ditujukan pada kelompok masyarakat tertentu. Sedangkan untuk pengertian dari kata sistemik bahwa perbuatan tersebut harus direncanakan terlebih dahulu secara matang serta sungguh-sungguh dan perencanaan tersebut harus merupakan kelanjutan dari kebijakan penguasa atau organisasi. Ke-dua, tidak terbukti adanya serangan terhadap masyarakat sipil, karena sebetulnya bentrokan yang terjadi ialah antara kelompok Pro kemerdekaan. Sehingga bila kita kembalikan kepada UU No. 26 Tahun 2000 maka kelompok Pro Kemerdekaan tidaklah termasuk ke dalam kelompok masyarakat sipil sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 26 Tahun 2000. Selain itu berdasarkan pada hukum internasional yang dimaksud dengan penduduk sipil adalah mereka yang tidak ikut aktif dalam pertikaian, atau tidak lagi ikut serta dalam pertikaian termasuk anggota-anggota bekas pasukan bersenjata yang telah menyerah dan orang-orang yang mengalami penderitaan (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau alasan-alasan lainnya. Ke-tiga, pemohon tidak terbukti melakukan pembiaran (omisi) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000. Ditambah posisi atau kedudukan terdakwa yang tidak memiliki otoritas terhadap anggota PPI. Sehingga tidak memiliki untuk mencegah dan menghentikan serta menghukum para pelaku sebagaimana kemampuan yang dimiliki oleh POLRI ataupun TNI. Ditambah penyerangan yang terjadi dilakukan secara spontan tidak direncanakan dan terjadi tanpa sepengetahuan pemohon.
71
Ke-empat, sejalan dengan doktrin Superior Liability bahwa terdakwa telah diangkat oleh Gubernur Abilio Jose Osori Suares sebagai pemimpin PAM Swakarsa pada apel akbar tanggal 17 April 1999 sehingga secara de facto dan secara efektif terdakwa berada dibawah kekuasaan Gubernur Abilio Jose Osori Suares. Sedangkan Gubernur Abilio Jose Osori Suares telah dibebaskan dari semua dakwaan berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No.45 PK/PID/HAM AD HOC/2004, maka demi keadilan dan kepatutan yang seadil-adilnya terdakwa dalam perkara a quo harus dinyatakan bebas dari segala dakwaan. Ke-lima, dengan berdasarkan pada pertimbangan dan fakta-fakta yang ada serta sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP maka terdapat cukup alasan bagi hakim untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 06 K/PID.HAM AD HOC/2005 jo Putusan
Pengadilan
Tinggi
Hak
Asasi
Manusia
Ad.Hoc
No.
02/PID.HAM/AD.HOC/2004/PT.DKI jo Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc
pada
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
No.
04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST. B. Praktik Pemberlakuan Secara Surut Dalam Putusan Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Terorisme 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 Putusan ini merupakan jawaban dari permohonan yang diajukan oleh Masykur Abdul Kadir, seorang pekerja swasta, berumur 39 tahun, beralamatkan di Jalan Pulau Pinang, Gang Rembingin I No. 9 DenpasarBali.
72
Pemohon adalah seorang terdakwa dalam kasus bom Bali yang terjadi di sebelah selatan Kantor Konsulat Amerika Serikat, di dalam Paddy’s Pub serta di depan Sari Club yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 pada jam 23.08 WITA pada saat yang hampir bersamaan. Dengan adanya kasus tersebut dengan berdasarkan Surat Dakwaan Reg. Perkara No. PDM.148/Denpa/04.2003 Pemohon di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman penjara selama 15 tahun. Terdakwa di dakwa dengan menggunakan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 juncto UndangUndang No. 16 Tahun 2003, yang telah ditetapkan, disahkan, diundangkan dan mulai diberlakukan pada tanggal 18 Oktober 2002 atau 6 hari pasca terjadinya peristiwa tragedi bom Bali. Sehingga dengan jelas dapat diketahui bahwa penerapan Perpu No. 2 Tahun 2002 jo. UU No. 16 Tahun 2003 telah diberlakukan secara surut (retroaktif). Hal yang demikian (Pemberlakuan hukum secara surut) tentunya bertentangan dengan ketentuan umum yang selama ini diakui yaitu Pasal 1 ayat (1) KUHPidana Indonesia yang secara jelas mengatakan bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.”, selain itu di dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar1945 pasca amandemen kedua dikatakan pula bahwa,”Hak untuk hidup, hak untuk
73
tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”, sehingga jika dilihat secara hierarki perundang-undangan, maka Perpu No. 2 Tahun 2002 jo. UU No. 16 tahun 2003 sudah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang memiliki pangkat lebih tinggi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 TAP MPR-RI No. III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan bahwa,”Tata urutan perundangundangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan perundag-undangan Republik Indonesia adalah 1). Undang-Undang Dasar 1945, 2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indoneisa, 3). Undang-Undang, 4). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 5). Peraturan Pemerintah, 6). Keputusan Presiden, 7) Peraturan Daerah”. dan juga Pasal 4 ayat (1) TAP MPR-RI No. III/MPR/2000 mengatakan,” Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”. Selain
itu
menurut
Pemohon,
tindakan
pemerintah
yang
menerapkan Perpu No. 02 Tahun 2000 menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 dianggap merupakan sikap yang inkonsisten dan diskriminatif
74
dalam upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Sebagai salah satu contohnya adalah peristiwa pembunuha terhadap ribuan warga muslim di ambon yang terjadi pada hari raya Idul Fitri 1999 dan pada tahun 2000 di Tobelo dan Halmahera. Dari data yang diperoleh oleh saksi bahwa hanya dalam 3 hari saja pada saat peristiwa pembunuhan di tahun 2000 itu terjadi, sekurang-kurangnya ada sekitar 2000 muslim menjadi korban jiwa dalam pembantaian tersebut, baik itu dari kalangan pria, wanita, tua atau muda bahkan anak kecil dan balita pun menjadi korban dalam peristiwa yang terjadi di Tobelo dan Halmahera tersebut. Meski demikian tidak ada satu pun Perpu yang dibuat oleh DPR-RI dan pemerintah guna menanggapi peristiwa tersebut. Padahal nyata dan jelas bahwa dengan adanya peristiwa tersebut telah terjadi upaya untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang termasuk kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dengan jumlah korban yang banyak dan kerugian yang besar baik dari kerugian materiil maupun kerugian psikis. Dengan berdasarkan alasan, fakta dan dalil-dalil di atas Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia selaku pelaksana sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi, yang antara lain: a. Menerima permohonan uji atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 untuk seluruhnya.
75
b. Menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengikat. c. Mencabut Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 dan menyatakan Undang-Undang a quo tidak berlaku. Setelah mendengarkan keterangan dari Pemohon, pada tanggal 10 Desember 2003 Majelis Hakim juga memanggil guna mendengarkan keterangan pihak Pemerintah dan DPR-RI yang dalam hal ini pihak pemerintah diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia Dr. Yusril Ihza Mahendra dan pihak DPR-RI diwakili oleh A. Teras Narang SH,. DKK yang menjelaskan bahwa pembentuka kedua Perpu tersebut didasarkan pada kondisi negara yang saat itu sedang genting karena banyaknya peristiwa peledakan yang terjadi di beberapa wilayah negara Indonesia. Sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 ayat
(2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa peraturan
pemerintah yang hendak dibentuk itu haruslah melalui persetujan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan dengan melihat kenyataan dan fakta serta dampak yang luas serta berpengaruh bagi kehidupan social, politik, hubungan internasional bahkan berpengaruh juga bagi integritas bangsa, maka DPR RI pun akhirnya menyetujui lahirnya kedua Perpu tersebut. Selain itu ada desakan dari dunia internasional yang dalam hal ini dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB dengan mengeluarkan Resolusi Nomor 1373 pada tahun 2001 dan Resolusi Nomor 1438 tahun 2002, yang
76
berisik kutukan terhadap peristiwa pengeboman yang terjadi serta memberi seruan kepada seluruh negera untuk membantu pemerintah Indonesia dalam menangani kasus serta mengungkap pelaku terorisme yang terjadi. Menurut pemerintah dengan melihat kepada dampak yang ditimbulkan terorisme tidak dapat lagi dikatakan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) namun sudah termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ditambah kejahatan terorisme tidak lagi menjadi ancaman bagi suatu bangsa saja, namun ia sudah menjadi ancaman besar bagi dunia internasional. Sebab ia tidak hanya melibatkan warga dari satu negara saja, namun anggota atau pelakunya bisa terdiri dari beberapa warga negara yang berbeda sehingga terdapat suatu jaringan yang luas. Selain itu sasarannya bukan hanya satu negara tertentu, melainkan bisa terjadi di mana saja. Sehingga demi menanggulangi tindak pidana terorisme ini maka kemudian dibentuklah beberapa konvensi internasional, diantaranya : a. International Convention for the Suppresion of Terorist Bombing 1997 b. International Convention for the Suppresion of Fitumcing of Terrorism 1999 c. European Convention on the Supression of Terorism 11978 (tingkat regional Eropa) d. The Arabian Convention on the Supression of Terrorism 1998 (negaranegara arab)
77
e. SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism 1987 (negara-negara Asia Selatan) Maka dengan melihat pada hal-hal diatas akhirnya dibentuklah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian dengan berdasarkan pada UU No. 15 Tahun 2003 akhirnya ditetapkan sebagai Undang-undang. Dalam kesempatan tersebut pemerintah juga memberikan sorotan terkait Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa Pasal 28I tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Pasal 28J, dimana pasal ini berfungsi sebagai pembatas terhadap Pasal 28I. Pembatasan ini dilakukan demi memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seorang warga negara. Maka dengan berdasarkan pada ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 28J, maka bisa dibuat suatu undang-undang guna membatasi hak
seseorang.
Adapun
kaitannya
dengan
undang-undang
yang
memberlakukan secara surut hanya untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebabasan orang lain. Selain itu Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas ayat, pasal atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (3) UndangUndang No. 24 Tahun 2003, oleh karena itu menurut Pemerintah permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak diterima.
78
Setelah mendengarkan keterangan dari pemerintah, DPR-RI dan Pemohon,
Majelis
Hakim
Konstitusi
memberi
keputusan
untuk
mengabulkan permohonan yang diajukan untuk melakukan pengujian Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, majelis hakim menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang (LN Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46, TLN Republik Indonesia No. 4285) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Ketiga, menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002
79
menjadi Undang-Undang (LN Republik Indonesia Tahun 2003 No. 46, TLN Republik Indonesia No. 4285) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dikabulkannya permohonan Pemohon ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, di antaranya adalah: a. Keberadaan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 sebetulnya telah memenuhi harapan para pencari keadilan. Namun Undang-Undang tersebut tidak perlu diberlakukan surut, karena unsur-unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam tindak pidana terorisme telah ada di dalam Undang-Undang terdahulu dan termasuk jenis kejahatan yang diancam dengan pidana berat. b. Meski kejahatan tindak pidana terorisme dianggap melanggar hak asasi manusia, namun di dalam prakteknya ketentuan dan tindakan hukum yang diambil tidak boleh bertentangan dengan atau tidak boleh melanggar HAM. Sebab di Amerika Serikat sendiri terdapat penilaian bahwa Terrorism Law is major setback for civil liberties. c. Melihat kepada Statuta Roma 1998 dan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999, peristiwa peledakan bom di Bali belum termasuk kedalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) melainkan masih termasuk ke dalam tindak pidana biasa (ordinary crime) yang sangat kejam, dan dapat ditangani dengan instrument hukum yang ada. d. Pemberlakuan surut dalam hukum pidana hanya berlaku bagi perkara pelanggaran HAM berat sebagai suatu kejahatan yang serius. Menurut
80
Statuta Roma 1998 yang termasuk kedalam kejahatan pelanggaran HAM
berat
adalah
kejahatan
genosida,
kejahatan
terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sedangkan di dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berta adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. e. Pelarangan untuk memberlakukan hukum secara surut sudah ada semenjak dahulu, terutama dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatsblad 1847 Nomor 23 berbunyi :”De wet verbind alleen voor het toekomende en heft gene terug werkende kracht”. Selain itu di dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Straftrecht disebutkan bahwa :”geen feit is straafbaar dan uit kracht van eene daar aan voor afgegane wettelijk straafbepaling (suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya)”.
C. Analisis Putusan Menurut Pandangan Hukum Positif Berdasarkan putusan mahkamah konstitusi No. 13/PUU-I/2003 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 065/PUU-II/2004 terdapat 2 perbedaan putusan di mana Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon Masykur Abdul Kadir terkait uji undang-undang UU No.
16 Tahun 2003, semua permohonan yang diajukan dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi lain halnya dengan permohonan yang diajukan oleh pemohon
81
Abilio Jose Osorio Suares terkait uji undang-undang UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Terhadap permohonan yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Suares, Majelis Hakim menolak seluruh permohonan yang diajukan. Padahal baik di dalam UU No. 16 Tahun 2003 dan UU No. 26 Tahun 2000 keduanya sama-sama menerapkan pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif). Terkait dengan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam Pasal 2 Kepres Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang oleh Presiden Abdurrahman Wahid ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 23 April 2001 dikatakan bahwa,”Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timur Timor pasca jajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.”. dalam pasal ini jelas bahwa ada upaya untuk memberlakukan penerapan hukum secara surut pada kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa jajak pendapat di Timur Timor dan peristiwa di Tanjung Priok. Namun dalam Pasal 2 untuk kasus Timor Timur tidak disebutkan batasan-batasan waktu dan tempat bagi berlakunya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, sedangkan untuk peristiwa tanjung priok jelas disebutkan secara rinci batasan waktu berlakunya Undang-Undang ini. Kemudian barulah pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri di keluar Kepres RI No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
82
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam Pasal 2 Kepres RI No. 96 Tahun 2001 disebutkan bahwa,”Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli dan Soae pada bulan April 1999 dan bulan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun bulan September 1984”. Dengan adanya ketentuan ini maka secara jelas bahwa telah diberlakukan hukum secara surut dalam kasus pelanggaran HAM berat, sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc pada kasus Eurico Guterres. Meski terdakwa Eurico Guterres terbebas dari segala dakwaan akibat Peninjauan Kembali yang dilakukannya dikabulkan oleh Mahkamah Agung, namun dalam peradilan tingkat pertama Jaksa Penuntut Umum mendakwanya dengan menggunakan Pasal 7 huruf b jis Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pemgadilan HAM Ad Hoc yang dengan berdasarkan pada Pasal 43 Undang-Undang a quo jelas mengatakan bahwa pelanggaran
hak
asasi
manusia
yang
berat
yang
terjadi
sebelum
diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, sehingga bahwa benar telah diterapkan pemberlakuan secara surut dalam kasus tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang terjadi di Timor Timur. Sedangkan untuk Undang-Undang No.16 Tahun 2003 yang sebelum
83
keluarnya putusan Mahkamah konstitusi masih menerapkan hukum secara surut, maka setelah keluarnya putusan tersebut maka UU No. 16 Tahun 2003 menjadi tidak berlaku lagi. Sehingga segala perkara yang sebelumnya ditangani dengan menggunakan UU No. 16 Tahun 2003 terpaksa harus dihentikan. Sebagaimana dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa tujuan dari penerapan hukum secara surut (retroaktif) adalah untuk mengimbangi keberadaan asas legalitas yang dianggap hanya berpihak pada pihak pelaku, sedangkan kurang memberikan keadilan bagi pihak korban. Maka penulis berpendapat meski, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 dibatalkan dan penuntutan terhadap kejahatan terorisme bisa dilakukan dengan menggunakan undang-undang lain yang memiliki hukuman maksimal yang lebih berat. Namun penulis berpendapat bahwa penerapan hukum secara surut tetap bisa dilakukan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Selain itu penerapan hukum secara surut tersebut dapat dilakukan secara bersyarat yaitu penerapannya harus dilakukan secara limitatif dan rigid serta tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) KUHPidana Indonesia, sehingga tidak memberikan ruang bagi pemerintah untuk
melakukan kesewenang-wenangan dan tidak pula
merugikan hak pelaku tindak pidana.
D. Analisis Hukum Islam (Pemberlakuan Hukum Secara Surut Dalam Pandangan Maslahah) Penulis berpendapat bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam konteks hukum Islam tidak terlepas dari adanya tujuan penerapan syari’ah
84
(maqashid al-Syari’ah) yaitu guna memberikan kemashlahatan bagi umat manusia. Dengan diberlakukannya hukum secara surut diharapkan dapat menolak munculnya bahaya yang lebih besar yang dapat mengganggu kemashlahatan umat manusia. Salah satu alasan yang diberikan oleh pemerintah tentang sebab dari pemberlakuan hukum secara surut dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc, karena peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu bisa saja menjadi “burning issues” yang nantinya tentu akan memberikan dampak yang besar bagi Indonesia. Alasan yang diberikan oleh pemerintah juga diamini oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya. Sehingga
meski
pemberlakuan
huku
secara
surut
dilarang
dan
bertentangan dengan kebiasaan hukum yang ada, namun demi mencegah timbulnya hal-hal yang merugikan lainnya maka dengan terpaksa harus dilakukan pemberlakuan hukum secara surut. Hal ini guna menutup terjadinya kemungkinan terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh korban (sad aldzari’ah). Sehingga demi mencegah terjadinya mafsadat yang lebih besar maka boleh menegasikan kepentingan dari pelaku tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam kaidah :
درء المفاسذ مقذّم على جلب المصالح “mencegah mafsadah kemashlahatan”
lebih
diutamakan
dari
pada
mendahulukan
Menurut pandangan penulis mashlahat dalam konteks ini merupakan mashlahat yang dimiliki oleh pelaku. Sehingga dengan
berdasarkan pada
85
kaidah di atas maka pemerintah boleh memberlakukan hukum secara surut yang dilarang karena bertentangan dengan asas legalitas demi menjaga kepentingan masyarakat secara umum. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
المصلة العامّة مقذّمة على المصلحة الخاصّة “kepentingan umum harus didahulukan dari kepentingan pribadi”. Terlebih Indonesia dalam hal ini mendapatkan tekanan dari dunia internasional untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu. Tentunya akan menjadi kerugian besar jika sampai Indonesia mendapatkan sanksi dari dunia internasional. Meski pemberlakuan hukum secara surut diperbolehkan tetapi harus tetap diperhatikan batasan yang ada salah satunya hukum yang diberlakukan secara surut harus memberikan hukuman yang lebih ringan. Hal ini sesuai dengan kriteria dalam menggunakan mashlahat sebagai suatu pertimbangan hukum, yaitu harus sesuai dengan tujuan syara’, tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, tidak bertentangan dengan qiyas, terakhir tidak merusak mashlahat lain yang lebih penting. Maka jelas tampak disini bahwa pemberlakuan hukum secara surut dalam hukum islam adalah untuk menciptakan kesimbangan dan memberikan keadilan, baik bagi si pelaku dan korban.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa : 1. Praktek pemberlakuan hukum secara surut hanya terjadi pada kasus pelanggaran HAM berat. Dimana proses pemberlakuannya harus dilakukan secara limitatif dan restriktif, hanya terbatas pada kasus dengan waktu dan tempat kejadian tertentu sebagaimana disebutkan dalam KEPRES RI Nomor 91 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc hanya berlaku untuk wilayah hukum Liquica, Dili dan Soae pada bulan April 1999 dan September 1999 dan untuk kasus Tanjung Priok bulan September 1984. Sedangkan untuk proses penegakannya masih menggunakan hukum acara yang berlaku dalam KUHAP, yang harus didahului dengan adanya laporan yang disampaikan oleh korban ke Komnas HAM, yang kemudian laporan tersebut diajukan kepada Pemerintah dan DPR-RI, setelah ada persetujuan dari pemerintah dan DPR-RI bahwa benar laporan tersebut merupakan tindak pelanggaran HAM maka Pemerintah dengan berdasarkan pada persetujuan DPR-RI akan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. 2. Pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) dalam pandangan hukum Islam
merupakan
kebolehan
dengan
bersandarkan
pada
dalil
kemashlahatan. Jika penerapan asas legalitas bertujuan untuk melindungi kepentingan pelaku tindak pidana, maka penerapan hukum secara surut
86
87
bertujuan untuk melindungi kepentingan umum. Hal ini selaras dengan kaidah :
المصلحة العامة مقدّمة على المصلحة الخاصّة “mashlahat umum didahulukan atas mashlahat khusus” Dari kaidah di atas diketahui bahwa kepentingan pelaku yang termasuk ke dalam mashlahat yang bersifat khusus ) (المصلحة الخاصّةdapat dinegasikan dengan adanya mashlahat umum ) (المصلحة العامةyang ada dimasyarakat. Selain itu pemberlakuan hukum secara surut bisa dianggap sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat yang menjadi korban, dikarenakan mereka tidak mendapatkan keadilan. Meski pemberlakuan hukum secara surut dibolehkan dalam hukum Islam dengan dasar kemashlahatan, namun pada tatanan prakteknya tidak jauh berbeda dengan apa yang diberlakukan dalam hukum pidana Indonesia, di mana hukuman yang diberikan harus lebih ringan dari ketentuan hukum sebelumnya.
B. Saran Pemberlakuan hukum secara surut memang bisa dilakukan dalam sistem hukum pidana Indonesia meski harus disertai dengan adanya syaratsyarat tertentu. Namun ini bukanlah suatu hal efektif untuk menyelesaikan berbagai tindak pidana yang terjadi. Sebab bisa saja kekuasaan yang dimiliki disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan penguasa semata, sehingga pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) yang diidentikan dengan lex talionis benar-benar terjadi. Untuk itu penulis memberi saran kepada :
88
1. Pihak penegak hukum yang di dalamnya mencakup pembuat hukum, untuk
menciptakan
suatu
hukum
yang
bersifat
progresif
guna
mengantisipasi munculnya kejahatan-kejahatan baru. Sehingga tidak ada alasan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dijatuhi hukuman manakala perbuatan tersebut tidak dijelaskan dalam ketentuan peraturan perundangundangan. Dengan demikian akan menutup kemungkinan terjadi kembali praktek pemberlakuan hukum secara surut. 2. Perkembangan hukum yang selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat menjadi alasan bahwa para ilmuwan, peneliti dan para sarjana hukum tidak boleh berhenti untuk terus mencari, menggali dan mengembangkan hukum yang ada demi memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Selain itu meski sulit untuk dilakukan namun Hukum Islam yang dalam hal ini Hukum Pidana Islam dapat dijadikan alternatif manakala hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda mengalami kebuntuan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. 3. Bagi masyarakat umum pengetahuan tentang hukum bukan sesuatu yang tabu lagi, melihat pesatnya perkembangan teknologi dan luasnya akses untuk mendapatakan pengetahuan tentang hukum. Maka diharapakan akan menambah wawasan yang nantinya akan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang perbuatan apa saja yang dilarang dan boleh dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Al- Buthi, Muhammad Said Ramadhan Dhawabith al-Mashlahat fi al-Syari’at alIslamiyah, Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1997. Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Ardhiwisastra,Yudha Bakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000. Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Atmasasmita, Romli Pengantar Hukum Pidana Internasional 2, Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2004.
Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami, Kairo: Maktabah Dar al„Urubah, 1968. Efendi, Masyhur, Taufik Sukamana, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga, 2009. ________________, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Erlangga, 2012. Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2004. Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2012. Marzuki, Suparman, Pengadilan HAM di Indonesia: melanggengkan impunity, Jakarta: Erlangga, 2012.
89
90
Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2013. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Muslich, Ahmad Wardi,
Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004. Nasution, Aulia Rosa, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; dalam perspektif hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2012. Nitibaskara, Ronny Rahman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2006. P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008. R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor: Politea, tt. Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan, Jakarta: Aksara Baru, 1981. _____________, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, CV. Karya Dunia Fikir, 1996. Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007. S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem, 1996. Syarifuddin, Amir, Ushul FIqh, Jakarta: Kencana, 2011, Jilid 1. Wahjoe, Oentoeng, Hukum Pidana Internasiol : Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya, Jakarta : Erlangga, 2014.
91
Wibowo, Ari, Hukum Pidana Terorisme, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012. Yuherawan, Deni Setyo Bagus, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan
Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana,
Malang: Setara Press, 2014. Zahrah, Muhammad Abu, al-Jarimah wa al- Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar alFikr al-Arab, 1977. B. Perundang-undangan Keppres Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 02 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. C. Jurnal dan Makalah Agus Raharjo, Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8 No. 1 Januari 2008, Anis Widyawati, “Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia”, dalam Jurnal Pandecta Vol. 6 Nomor 2, Juli 2011. James Popple, The Right to Protection From Retroactive Criminal Law, dalam Criminal Law Journal, penerbit: The Law Book Company Limited,
Volume 13
Number 4 August 1989 Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum Vol 24, Nomor 1, 2012.
92
M. Fatikhun, Penerapan Ketentuan Hukum Secara Retroaktif Dalam Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Imam Ghozali Muladi, dkk., Pengkajian Hukum Tentang Asas-asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini Dan Mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Hukum dan HAM RI, 2003 Nyoman Serikat Putra Jaya, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 7 Agustus 2004. Rahmat Syafi‟I, Asas Retroaktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Syi‟ar Hukum: FH. Unisba. Vol. XII. No. 1 Maret 2010. Mahkamah Konstitusi, “Putusan MK dengan “Dissenting Opinion”, Jurnal Berita MK :No. 6 Tahun 2004 hal. 9. Artikel diakses pada tanggal http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
2 April dari