BAB II PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Pemberlakuan Hukum Pidana. Apabila membahas pemberlakuan hukum pidana, secara garis besar dapat dibedakan dua jenis pemberlakuan hukum pidana ialah pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat. Pertama, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu, mensyaratkan dapat tidaknya suatu perbuatan pidana, harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketentuan ini dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbutan dilakukan”. Ini menunjukkan tidak ada pidana tanpa landasan perundang-undangan. Ilmu hukum pidana menyebut ketentuan ini sebagai asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang mempunyai makna tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Francis Bacon (1561-1626) seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni juga mencakup
Universitas Sumatera Utara
pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya bila ancaman pidana yang tercantum terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegah, maka menghukum dapat dibenarkan. 18 Kedua, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat, bahwa pemberlakuan hukum pidana selalu terikat pada masalah kewilayahan ialah terbatas pada wilayah negara tertentu.
B. Landasan Pemberlakuan Asas Retroaktif. Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif merupakan pengecualian dari asas legalitas atau Principle of legality atas dasar extra ordinary crimes, seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Dengan demikian pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang dilandasi oleh prinsip keadilan untuk semuanya dalam arti, baik keadilan bagi pelaku tindak pidana maupun keadilan bagi korban tindak pidana merupakan penyeimbang asas legalitas yang semata-mata berpatokan pada kepastian hukum dan asas keadilan untuk semuanya. Sehingga pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dengan kondisi-kondisi tertentu, sseperti kepentingan kolektif baik kepentingan masyarakat, bangsa, maupun
negara yang selama ini kurang mendapat
perlindungan dari asas legaltas dapat diterima guna memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat. 19 Pemberlakuan asas retro aktif sebagai pengecualian dari asas Legalitas merupakan suatu pergeseran paradigma bagi pemberlakuan hukum di Indonesia. 18 19
Ibid, hal 12 Nyoman Sarikat Putra Jaya., Loc.Cit.,hal.23.
Universitas Sumatera Utara
Dimana pemberlakuan asas retroaktif ini menjadi penting setelah terjadinya peristiwa bom bali pada Tahun 2002. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa asas legalitas itu dibuat intuk melindungi Hak Asasi Manusia, jadi akan menjadi suatu hal yang diharuskan pula apabila Asas Legalitas itu sendiri disimpangi untuk kepentingan Hak asasi manusia juga. Sebagaimana dimaklumi, dalam undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, bahwa “Pelanggaran HAM yang berat” akan diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (pasal 104) . Kemudian, keluar undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang di dalamnya juga mengatur tentang hukum pidana materilnya dan membagi atau merinci pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menjadi dua tindak pidana yaitu:
20
1. Kejahatan Genosida 2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilkukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama dengan cara : a. Membunuh anggota kelompok b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok c. Menciptakan
kondisi
kehidupan
kelompok
yang
akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian 20
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pdana, Citra Aditya Bakti, Bandung
2003 hal. 1-2
Universitas Sumatera Utara
d. Memaksakan
tindakan-tindakan
yang
bertujuan
mencegah
kelahiran di dalam kelompok, atau e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa : a.
Pembunuhan
b.
Pemusnahan
c.
Perbudakan
d.
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e.
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum Internasional
f.
Penyiksaan
g.
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
h.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
i.
Penghilangan orang secara paksa, atau
Universitas Sumatera Utara
j.
Kejahatan Apartheid. 21
Masalah retroaktif yang ramai dibicarakan adalah, apakah undangundang No. 39 tahun 1999 dan undang-undang no 26 tahun 2000 dapat juga diberlakukan terhadap kejahatan hak asasi manusia yang terjadi sebelum keluarnya undang-undang itu. Di Indonesia sendiri, meskipun cacat, amandemen UUD 1945 penting sekali diperhatikan. Pasal 28 I dan J pada dasarnya memberlakukan asas hukum retroaktif yang dapat
diterapkan untuk situasi kekacauan yang dapat
menghancurkan kehidupan manusia. Apabila kita perhatikan bunyi pasal 28 I maka akan berbunyi sebagai berikut : 1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionl dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
21
Undang-undang HAM No.39 Tahun 1999 pasal 7A dan B
Universitas Sumatera Utara
4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara,terutama pemerintah. 5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan. Pasal 28J 1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2) Dalam menjalankan hak asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
22
C. Makna yang terkandung dalam Asas Retroaktif Masalah yang perlu mendapat kajian mendalam adalah makna dari retroaktif itu sendiri. Artinya apakah masalah retroaktif hanya berlaku terhadap
22
Undang-undang dasar 1945 Pasal 28 I dan J
Universitas Sumatera Utara
undang-undang baru yang menciptakan delik baru ataukah juga berlaku terhadap undang-undang baru yang merupakan perubahan dari undang-undang lama, sehingga tidak menciptakan delik baru. Saya sendiri berpendirian bahwa pemberlakuan retroaktif secara sempit ialah terbatas pada undang-undang baru yang menciptakan delik baru saja dan terbatas pada delik baru yang memenuhi kriteria perbuatan-perbuatan yang membahayakan kelangsungan hidup negara, bangsa dan masyarakat. Di sini kepentingan yang harus dilindungi adalah kepentingan kolektif baik kepentingan negara, bangsa maupun masyarakat. Dengan demikian, ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan aturan peralihan yang bersifat umum. 23 Barda Nawawi Arief berpendapat, penyebutan asas retroaktif
untuk
pasal 1 ayat (2) KUHP kurang tepat karena: 1. Pasal 1 ayat (2) sebenarnya tidak mengatur tentang prinsip retroaktif (undang-undang berlau surut) tetapi mengatur tentang hukum yang berlaku pada masa transisi dalam hal ada perubahan perundang-undangan dengan prinsip hukum yang diberlakukan (dalam masa transisi) adalah hukum yang menguntungkan/meringankan terdakwa. Jadi pasal 1 ayat (2) mengandung prinsip, bahwa apabila dalam masa transisi menghadapi dua pilihan perundang-undangan, maka harus diterapkan atau di dahulukan hukum yang menguntungkan atau
23
Nyoman Sarikat Putra Jaya Loc.cit hal 14
Universitas Sumatera Utara
meringankan.
Jadi
dapat
dikatakan
mengandung
asas
“Subsidiaritas”. 2. Istilah Retroaktif memberi kesan, bahwa undang-undang yang baru, yang diberlakukan surut. Padahal menurut pasal 1 ayat (2) Undang-undang lamapun tetap dapat diberlakukan apabila menguntungkan atau meringankan terdakawa. 24 Beberapa perundang-undangan selain pasal 1 ayat (1) KUHP yang melarang suatu perundang-undangan pidana berlaku surut, dapat disebutkan sebagai berikut : 1. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. A. Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 B. Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 2. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada sidang tahunan tanggal 7-18 Agustus 2000, telah mengadakan perubahan kedua terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Salah satu perubahan terhadap UUD 1945 adalah menambahkan satu bab sesudah Bab X ialah Bab XA tentang “ Hak Asasi Manusia” (Pasal 28A-Pasal 28J). Dari ketentuan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, jelas bahwa “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” merupakan hak absolut dari manusia yang tidak dapat dikurangi atau
24
Ibid, hal 15
Universitas Sumatera Utara
dibatasi. Pernyataan yang tercantum dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 ialah hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tidak berlaku mutlak, karena sesuai dengan penjelasan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 yang menerangkan: Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang digolongkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengecualian terhadap pernyataan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut seperti tercantum dalam penjelasan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip umum yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang melarang suatu aturan pidana berlaku secara Retroaktif walaupun didalam penjelasan tersebut dibatasi hanya terhadap pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, serta pengecualian/seolah-olah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang melarang suatu aturan pidana berlaku surut, haruslah dipandang sebagai suatu penyimpangan dan masih di dalam tingkatan undang-undang yang sederajat, sehingga disini berlaku asas lex specialist
derogat
lex
generalis
artinya
undang-undang
yang
khusus
menyampingkan undang-undang yang umum. Pernyataan pemberlakuan secara retroaktif suatu perundang-undangan pidana akan menjadi permasalahan manakala pernyataan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut menjadi muatan materi dalam Undang-
Universitas Sumatera Utara
undang Dasar, seperti yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 25 Dalam pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 terdapat beberapa hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun, dimana salah satunya adalah hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Ini berarti hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan derogable rights sehingga tidak dapat dikurngi atau dibatasi walaupun terdapat ketentuan seperti seperti dalam pasal 28 J UUD 1945 yang seolah-olah memberi peluang untuk menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pasal 28 J UUD 1945 menentukan: 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Ketentuan dalam pasal 28 J ayat(2) 1945, tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dibatasi atau dikurangi. Apakah ketentuan yang menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
25
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Bandung. 1990
Universitas Sumatera Utara
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berlaku untuk semua hak-hak yang tercantum dalam ketentuan Bab X A UUD 1945, termasuk ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Padahal ketentuan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pengecualian sebenarnya harus secara eksplisit ditentukan dalam pasal atau ayat sendiri, seperti apa yang terkandung dalam pasal 18 dari Brisbane Ordonantie yang menentukan “ het bepalde in art.1 van het wetb.v.strafr.wordt voor wat betreft de toepassing van deze ord. buiten werking gesteld. Jadi ini sebetulnya menggarisbawahi ulang dalam konsiderans bahwa Pasal 1 KUHP (WvS) tidak bisa atau tidak akan diterapkan jadi asas retroaktif dalam sejarah hukum pidana (WvS yang masih berlaku) bukanlah sesuatu yang baru. Apa yang ditentukan dalam Pasal 1 KUHP bertalian dengan diterapkannya ordonansi ini tidak digunakan.
D. Pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Indonesia. Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23, kemudian muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Larangan asas retroaktif juga ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan:“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang
tidak
dapat
dikurangi
dalam
keadaan
apa
pun.”
Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah : 1. Untuk
menjamin
kebebasan
individu
dari
kesewenang-wenangan
penguasa. 2. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (Teori psicologische dwang dari Anselm von Feurbach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat. Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini
Universitas Sumatera Utara
tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas Retroaktif jika walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannhya”. Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika : 1. Menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana. 2. Menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 ayat(2) Deklarasi Universal HAM) Asas Retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat akumulatif : a.
Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
b.
Peradilannya bersifat Internasional, bukan peradilan nasional.
c.
Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen.
d.
Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggip menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan tingkat destruksinya setara dengannya.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai asas retroaktif ini diatur dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003. Polemik tentang perlu-tidaknya Asas Retroaktif ini diberlakukan sangat gamblang terwacanakan terutama saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatalkan berlakunya UU No. 16/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali. Keputusan ini ditetapkan dengan dalih utama bahwa Undang-Undang tersebut telah tercemar Asas Retroaktif yang sangat memojokkan tersangka, menetapkannya berarti pengkhianatan atas Asas Legalitas yang kesakralannya nyaris menyeimbangi kesakralan UUD.
Di samping mereka juga mengklaim
bahwa peledakan bom di Bali tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dapat dikenai prinsip hukum retroaktif. Betapa sikap Mahkamah Konstitusi saat itu sangat mengejutkan publik, karena selain keputusan itu dilegalkan tepat pasca penghargaan dunia internasional terhadap ketegasan pemerintah Indonesia dalam mengadili para pelaku terorisme bom Bali, keputusan tersebut juga dinilai berbagai pihak sebagai
Universitas Sumatera Utara
pencederaan terhadap rasa keadilan korban dan keluarganya sekaligus peng'hangat'an kembali kecemasan masyarakat akan impunitas yang kemungkinan besar didapatkan oleh para teroris via keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Di sisi lain, keputusan ini juga kurang mencerminkan penghargaan terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Bom Bali tersebut. 26 Dalam sejarah dan praktek hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlkuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan zaman menuntut peranan hukum khususnya hukum pidana semakin diperluas.
Selain itu pemberlakuan asas
retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya. Masalah melemahnya atau bergesernya asas legalitas, sebagaimana dimaklumi, asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari atau nilai dasar “kepastian hukum.” Namun, dalam realitanya, asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan atau penghalusan atau pergeseran atau perluasan dan menghadapi berbagai tantangan, antara lain sebagai berikut : 1. Bentuk pelunakan atau penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri yaitu dengan adanya pasal 1 ayat (2) KUHP
26
Agus Raharjo Op.Cit, hal 15
Universitas Sumatera Utara
2. Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel 3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undangundang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt. 1951 ; Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undan Nomor 35
Tahun 1999 dan konsep KUHP baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai Nullum delictum sine ius, atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum. 4. Dalam dokumen Internasional dan KUHP negara lain juga terlihat perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political RightI (ICCPR) dan KUHP kanada diatas. 5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai “Permaafan atau pengampunan hakim” (dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “ Rechterlijk Pardon”, Judicial Pardon” ,”Dispensa de pena”, atau “Nonomposing of Penalty”) yang merupakan bentuk “Judicial Corrective to the legality Principal”. 6. Ada perubahan Fundamental di KUHAP Prancis pada Tahun 1975 (dengan Undang-undang Nomor.75-624 Tanggal 11 juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai “ Pernyataan Bersalah Tanpa
Universitas Sumatera Utara
menjatuhkan pidana”) (“De Declaration of Guilt without emposing a penalty “) 7. Perkembangan atau perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “Cyber Crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “Lex Certa”, karena dunia maya (Cyber- Space) bukan dunia riel atau realita atau nyata atau pasti. 27 Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiel dengan mendasarkan pada ketentuan dalam pasal 15 ayat(2) ICCPR dan KUHP Kanada, padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian terhadap ketentuan non retroaktif dari konvensi tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah asas legalitas materiel sama dengan asas retroaktif. Asas legalitas materiel dalam penerapannya di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 dan kemudian direspon dalam pasal 1 ayat(3) RUU KUHP 2004 yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas legalitas materiel menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu muncul.
27
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 9-11
Universitas Sumatera Utara
Arti asas legalitas materiel bisa menjadi asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertilis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraruran pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlans Indie (AB) S.1947-23 dan Pasal 1 ayat (1) Wet Boek van Strafrecht (KUHP). Kemudian larangan itu muncul dalam konstitusi, yaitu UUDS 1950 pasal 14 ayat (2). Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas nonretroaktif ini hanya tersirat dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentng Hak Aasasi Manusia (HAM) dan Undangundang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara Historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia (1915) belum pernah asas retroaktif diberlakukan, kecuali pada saat pemerintah Hindia-Belanda dalam pengasingan di Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang, pemerintah Hindia-Belanda di pengasingan mengeluarkan Brsibane Ordonantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara terhadap pihak yang kalah perang yaitu jepang. Kuatnya
Universitas Sumatera Utara
keinginan menerapkan asas Retroaktif ini ternyata dilakukan untuk menunjukkan dominasi politis secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan serta untuk menunjukkan eksistensi dari asas Lex Stalliones (Pembalasan). Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam penjelasan pasal 4, pasal 18 ayat (3) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan pasal 43 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu : 1. Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam penjelasan pasal 4 dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu pasal 4. Ketentuan dalam pasal 4 menentukan bahwa “ Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang belaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapu dan oleh siapapun”. Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi Arief merupakan Hak Absolut. Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama , apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua, apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “Penjelasan”. Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada pasal 4 ditetapkan tentang Hak Absolut dan penjelasannya justru mem atasi hak
Universitas Sumatera Utara
absolut tersebut. Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi Hak Relatif. Kemudian tentang penjelasan kata “Siapaun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice), yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu atau perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu. 2. Tampaknya penerapan asas retoaktif dalam UU No.39 Tahun 1999 jo.UU No.26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenaipenenganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statua Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asa retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur.Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari pemerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC. Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau
Universitas Sumatera Utara
peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC. Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungin di adili di dalam negeri. 3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No.39 Tahun 1999 jo UU No.26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran Ham berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan. 28
Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang menjadi Undang-undang No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa Bom di Bali tanggal 12 oktober 2002 yang akhirnya menjadi Undang-undang No. 16 Tahun 2003.
28
Agus Raharjo, Op.Cit, hal 16
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 15 Thun 2003 menyatakan : “Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang
ini,
yang
penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang
tersendiri”.
Ketentuan
ini
merupakan
dasar
dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “….dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini…” mengandung indikasi bahwa selain perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali 12 oktober 2002. akankah demikian, tentunya kita lihat perkembangan dari kedua Perpu tersebut. Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku peledakan Bom Bali I yaitu Amrozi, Ali Imron, dan Imam Samudera. Dalam perkembangannya, eksistensi Perpu No.2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan uji materiel oleh Masykur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang diajukan uji materiel hanya Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/ UU No.15 Tahun 2003. Salah satu dasar hukum yang paling Relevan dengan persoalan yang dibicarakan disini adalah ketentuan dalam pasal 28 I ayat (1) perubahan kedua
Universitas Sumatera Utara
(amandemen kedua) UUD 1945. Argumen yang diajukan adalah bahwa Perpu No.2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk yidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Terhadap
argumen
tersebut,
pemerintah
sebagai
pihak
yang
berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan : 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Dalam menjalankan Hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrtis.
Universitas Sumatera Utara
Pembatasan dari Pasal 28 J ini memungkinkan untuk dirumuskannya suatu peraturan pidana yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk dari extra ordinary crime , sehingga diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk pemberlakuan surut suatu peraturan pidana. Berbagai argumen dikemukakan untuk menguatkan agar asas retroaktif dapat diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat mengecualikan asas nonretroaktif, argumen hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan sebagainya. Disamping itu, dikemukakan pula bahaya bagi penerapan asas retroaktif, misalnya bahaya pengesampingan asas nonretroaktif akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik (revenge) dan sebagainya. 29 Berdasarkan
argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak
tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004 bertentangan dengan UUD 1945. Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagaimana tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai berikut : 1. Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa asas non retroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti inkonsisten dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat; 2. Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Ad hoc Tribunal di Rwanda dan 29
Romli Atmasasmita Op.Cit, hal 85
Universitas Sumatera Utara
Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik,tidak lagi merupakan asas universal;
3. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif UU No. 15 Tahun 2003 atas peristiwa bom Bali dan mengabaikan sama sekali teori sabab akibat, mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum; 4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban bom Bali;
5. Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crime) menunjukan kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketatanegaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut. Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut terlalu dini dan ceroboh. 30 Terhadap kritikan pemerintah yang terakhir, adalah menarik untuk mengkaji secara ilmiah ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah terorisme atau bentuk kejahatan lain yang menimbulkan korban cukup besar dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) atau luar biasa (extra ordinary crime). Apa yang menjadi dasar penentuan itu, ada empat argumen yang dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran. Pertama, jumlah korban yang besar , 30
Romli Atmasasmita, Mengkritisi Putusan Mahkamah Konstitusi Hecca Mitra Utama, Jakarta, hal 87-96
Universitas Sumatera Utara
kedua, cara melakukan kejahatan yang sangat kejam, ketiga, dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas dan keempat, penetapan oleh lembaga internasional (PBB atau lainnya) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Keempatnya seharusnya merupakan suatu kesatuan, sehingga perbedaan penafsiran mengenai kriteria penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak berbedaa satu dengan yang lain. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003. Meski yang diputus bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003, akan tetapi ini membawa dampak pada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain yang berkaitan tentang terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak ada fungsinya sama sekali. Adalah menarik untuk mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi atau merupakan hukum tertinggig di bawah apa yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2002 diuji materiilkan terhadap UUD 1945. Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945. pertanyaannya adalah apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum dosmetik dan katentuan non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara. Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana (retroaktif) yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan asas tersebut. Kenyataannya yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berda di bawah UUD 1945. Problematika ini menimbulkan persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundang-undangan. Selain itu larangan penerapan peratuaran pidana secara retroaktif ternyata meninbulkan persoalan yang rumit terutama menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak ada bandingnya dalam KUHP atau perturan pidana khusus lainnya.
E. Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional. Pada saat ini, larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam artikel konvensi Jenewa ketiga 12 Agustus 1949, pasal 14 dan pasal 28 konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organization or between International Organization). Selain itu
Universitas Sumatera Utara
dapat pula dilihat dalam pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Right and Fundamental Freedom and Its Eight Protocols, terutama dalam pasal 22-24. 31 Meskipun ketentuan dalm hukum International menentukan demikian, bukan berarti tidak ada pengecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 28 konvensi Wina 1969 dan pasal 28 konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam pasal 103 piagam PBB dan pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian yang diberlakukan terhadap pasal 15 ayat (1) tersebut. 32 Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada perang dunia II, International Criminal Tribunal
31
Shinta Agustina, Hukum Pidana International dalam Teori dan Praktek, Andalas University press,Padang 2006. hal 62 32 Ibid,
Universitas Sumatera Utara
for the Former Yugoslavia (ICTY) dan Internationa Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “Benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca perang dunia kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana yang terdapat di seluruh dunia. Penolakan dari asas retroaktif dipicu dari adanya anggapan bahwa asas retroaktif merupakan wadah dari political revenge (balas dendam politik)sehingga asas retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionis (balas dendam). Larangan akan pemberlaakuan asas retroaktif dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional setidaknya menjadi indikator bahwa asas ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Larangan mengenai asas rettroaktif ini merupakan derogable rights (hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dikurangi.) pemenuhannya oleh negara.meski dalam kondisi darurat sekalipun. 33 Namun dalam konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik pengecualian non retroaktif dapat dilakukan apabila telah memenuhi persyaratan kumulatif sebagai berikut: 1.
Sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara.
33
Nyoman Sarikat Putra Jaya Loc.cit., hal 8
Universitas Sumatera Utara
2.
Penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada dikriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asasl usul sosial.
3.
Pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada perserikatn bangsa-bangsa (PBB). Pemberlakuan asas retroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam
peraturan perundang-undangan di Indoneisa. 34
Hal tersebut didasari oleh
beberapa alasan yakni: A.
Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan pasal 28 J undang-undang dasar Republik Indonesia 1945
B.
Ketentuan Internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, dan Tokyo.
C.
Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun di luar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku kejahatan yang lolos dari jeratan hukum.
D.
Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cermin dari asas keadilan, baik terhadap pelaku maupun korban.
34
Shinta Agustina, Op.Cit, hal 64
Universitas Sumatera Utara
E.
Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan sebelumnya oleh PBB.
F.
Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini smata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara
saja
tanpa
memperhatikan
aspek
pidana
(nasional
dan
internasional). 35
BAB III KEDUDUKAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Landasan Pemberlakuan Asas Legalitas. Asas Legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feurbach (17751883), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo apa yang dirumuskan oleh Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi: nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine,nullum crimen sine poena legali. Ketiga frasa tersebut kemudian di kembangkan oleh 35
Romli Atmasasmita, Op.Cit., hal 78
Universitas Sumatera Utara