BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa kepada pelanggar-pelanggar hukum, tetapi bertujuan pula untuk mendidik, membina, mengadakan pencegahan supaya orang tidak akan melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana material yang berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Peraturan Perundangan Pusat maupun Peraturan-Peraturan Daerah yang mengandung sanksi pidana. Di dalam pasal 14 a KUHP dimuat wewenang hakim untuk memberikan putusan pidana bersyarat dalam hal pidana yang dijatuhkan tidak lebih dari satu tahun penjara, dan dimuat syarat umum pula yaitu terpidana tidak boleh melakukan perbuatan yang dipidana selama masa percobaan. Salah satu syarat khusus yaitu bahwa terpidana harus mengganti kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan pidana tersebut. Syarat-syarat tersebut di atas, atau syarat khusus lainnya tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama maupun kemerdekaan berpolitik bagi terpidana. Pidana bersyarat adalah suatu sistem pidana, di mana terhadap pidana dijatuhi pidana penjara, tetapi pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani olehnya, apabila dalam masa percobaan yang dilakukan suatu pelanggaran hukum atau pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan. 4 Maksud daripada pidana bersyarat ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana agar dalam waktu yang telah ditentukan,memperbaiki diri untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan pidana lagi. Di dalam praktek, Pidana bersyarat ini oleh 4
1
Sampurno Djojodiharjo, Majalah Pembinaan Hukum Nasional, No. VIII, tahun 1970 hal. 64
Universitas Sumatera Utara
terpidana sering ditafsirkan atau dianggap sebagai bukan pidana, karena secara fisik tidak membawa pengaruh apapun terhadap terpidana. Terpidana sering pula dianggap sebagai pembebasan pidana. Menurut Sampurno Djojodiharjo dikatakan bahwa :“Lembaga Pidana Bersyarat timbul berdasarkan suatu pemikiran bahwa tidak semua penjahat (Terpidana) harus dimasukkan ke dalam penjara, khususnya terhadap pelanggaran pertama kali (first offender) demi mencegah adanya pengaruh dari lingkungan masyarakat narapidana (inmate society) sebaiknya terhadap terpidana tersebut diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya di luar penjara” 5. Pendapat ini dapat dipahami karena syarat-syarat yang ditentukan dalam pidana bersyarat tidak sulit untuk dilaksanakan serta kurangnya pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat ini menimbulkan efek yang negatif seperti rasa tidak puas dari si korban dan keluarganya, juga pandangan dari anggota masyarakat yang tidak mengerti hukum. Setiap pelaku kejahatan semestinya dimasukkan ke dalam penjara sebagai balasan akan perbuatannya, tetapi dalam hal ini justru dipidana di luar tembok penjara 6. Di sisi lain masyarakat seakan-akan tidak mau mengerti, bahwa penjahat-penjahat yang tidak mereka inginkan itu setelah keluar dari menjalani pidana di tembok penjara tidak menjadi jera, tetapi cenderung untuk berbuat jahat lagi. Hal ini terjadi karena masyarakat masih menganggap bahwa pidana itu diartikan atau diidentikkan sebagai suatu pembalasan atau sanksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan. Berdasarkan alasan-alasan dan pandangan pemidanaan bersyarat tersebut, maka permasalahan yang timbul adalah bentuk-bentuk pemidanaan apa yang dapat mendukung
5
Ibid, hal. 66
6
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1996,
hal.43.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan pidana Bersyarat secara efektif sehingga dapat mencapai tujuan yang dikehendaki oleh sistem pemidanaan Indonesia. Bentuk pemidanaan tersebut haruslah meliputi pembinaan pribadi dan kehidupan dalam masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai pidana bersyarat, sebagai bahan pembahasan dalam penelitian ini. Untuk itu dalam penelitian ini penulis memberikan judul : “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat”. B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini penulis ingin merumuskan permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Apakah dasar pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putuskan pidana bersyarat? 2. Bagaimana penerapan Pidana bersyarat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2005/PN.Mdn? C.Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penelitian adalah dirumuskan secara deklaratif dan merupakan penyertaan-penyertaan tetang apa yang hendak dicapai dalam penelitian 7. Pelaksanaan ini bertujuan untuk : 1. Tujuan Umum a) Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan Pidana bersyarat di Indonesia pada umumnya. b) Untuk mengetahui penerapan Pidana bersyarat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2005/PN.Mdn. 7
Soerjono Soekanto, 1989, Pengantar Penelitian Hukum , Jakarta : UI Press, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
2. Tujuan Khusus a) Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penerapan teori hukum dengan kehidupan yang nyata di masyarakat. b) Meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian khususnya yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum. c) Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 (satu) jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada dasarnya setiap penelitian harus diyakini kegunaannya bagi pemecahan masalah yang diselidiki bertitik tolak dari permasalahan yang diungkap. Suatu penelitian setidaknya harus mampu memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis 8. 1) Manfaat Teoritis Penelitian yang dilakukan penulis dapat memberikan tambahan wacana kepustakaan dan dapat sebagai referensi bagi penelitian yang akan datang yang berkaitan dengan pidana bersyarat. 2) Manfaat Praktis Dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak yang berkepentingan mengenai pelaksanaan hukum yang berlaku dimasyarakat. D. Keaslian Penulisan
8
Nawawi Hadari & H.M. Martini, 1995, Instrumen Pendekatan Sosial \, Suatu Pendekatan Proposal, , Yogyakarta, UGM Press, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemeriksaan dari literatur bahwa dalam pustaka yang ada, belum pernah ada Mahasiswa/i yang sudah menulis tentang bahasan skripsi ini, jadi penelitian ini disebut asli sesuai dengan asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat, dan juga pemeriksaan terhadap hasil penelitian yang ada mengenai hal tersebut, sehingga dapat disimpulkan penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. E. Tinjauan Kepustakaan Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum dengan penegakkan hukum secara tegas adalah melalui Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim merupakan aparat penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi tolok ukur tercapainya suatu kepastian hukum. Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945 BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2009. UndangUndang Dasar 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal itu tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan pada Pasal 1 UU No. 40 Tahun 2009, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal- hal sebagaimana disebut dalam Undang- Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia . Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia,” hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri suatu negara hukum. 9 The Universal Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 mengatakan : Everyone is entitled in full equality to affair and public hearing by an independent and impartial in the determination of his rights and obligation and any criminal charge againts him. Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge) Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah diartikan tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No. 40 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang.”
9
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia,Jakarta, Sinar Grafika, hal. 94
Universitas Sumatera Utara
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusa terhadap peristiwa tersebut. Dalam kehidupan masyarakat yang semakin komplek saat ini dituntut adanya penegakkan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat menentukan melalui putusan- putusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu. 10 Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No 40 Tahun 2009 yaitu : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dalam menemukan hukumnya seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau hakim hanya merumuskan hukum. 11 Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada undang- undang yang berlaku saja tetapi juga harus berdasarkan nilai- nilai hukum yang hidup dalam 10
Nanda Agung Dewantara, Masalah kebebasan hakim dalam menangani suatu perkara pidana, Jakarta, Aksara Persada-Indonesia, 1987, hal. 25 11 Ibid
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No 40 Tahun 2009 yaitu : “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Oleh karena itu dalam memberikan putusan hakim harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik dan lain- lain. Dengan demikian seorang hakim dalam memberikan putusan terhadap kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda pula.
F. Metode Penelitian Metode penelitian pada pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris dan sistematis . Setiap penelitian dilakukan untuk mencari kepastian dan kebenaran dari suatu masalah sekaligus mencari jalan pemecahannya, sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan yang benar dan dapat dipercaya. 1. Jenis penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, yakni titik tolak penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah atau norma dalam hukum positif. Hal ini sesuai sebagaimana pendapat dari Johny Ibrahim: “Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahn yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah maupun norma dalam hukum positif” 12 Dalam melakukan penelitian normatif ada beberapa metode pendekatan yang dapat digunakan yakni: a)
Pendekatan konseptual (conceptual approach)
b)
Pendekatan perundang-undangan (normative approach)
c)
Pendekatan sejarah (historical approach)
d)
Pendekatan perbandingan (comparative approach)
e)
Pendekatan kasus hukum (law case approach) Metode penelitian Hukum yang telah ada dewasa ini secara umum lebih mengenal
metode penelitian atas dua kategori: metode penelitian hukum Normatif Empiris (Sosio Juridis) dan metode Penelitian Hukum Normatif. Metode Penelitian Sosio Juridis secara umum berupaya untuk melihat bagaimana penerapan sebuah aturan hukum seperti peraturan perundangan berlaku di masyarakat, sedangkan dalam penelitian hukum normatif seorang peneliti lebih menekankan pada penelitian atas substansi hukum tersebut. Penelitian Empiris maupun penelitian Normatif tampaknya dapat kita kritisi
12
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996,
hal.43.
Universitas Sumatera Utara
lebih mendalam, karena kedua penelitian tersebut masih berkutat pada wujud kenyataan hukum. Keduanya dipengaruhi oleh alam filsafat empirisme: sesuatu yang benar adalah sesuatu yang berwujud nyata. Pada model hukum empiris maka hukum dikatakan berwujud ada dilihat dari pelaksanaannya bahwa memang hukum itu benar nyata ada dibuktikan dengan kepatuhan masyarakat atas hukum. Pada penelitian normatif, hukum dikatakan nyata ada adalah dengan dibuktikan adanya undang-undang, putusan hakim, dan sebagainya. 2. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ada 2 yaitu : a. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan dengan cara wawancara bebas terpimpin maupu studi empiris atas putusan Hakim dalam perkara yang memberikan putusan pidana bersyarat, yaitu dengan terlebih dahulu mempersiapkan pokok-pokok pertanyaan (guide interview) sebagai pedoman dan variasi-variasi dengan situasi ketika wawancara maupun pengambilan data. 13 b. Data Sekunder Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoretis terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat. Disamping itu tidak menutup kemungkinan diperoleh bahan hukum lain, dimana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang terdapat dalam buku, literatur, tulisan-tulisan
13
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. V, IND-HILL-CO, Jakarta, 2001, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
ilmiah, dokumen-dokumen hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. 14 Bahan-bahan hukum tersebut berupa: 1)
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri atas:
a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana b) Undang-Undang UU No 40 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. d) Putusan-Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana narkoba e) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain buku, tulisan ilmiah, hasil penelitian ilmiah, laporan makalah lain yang berkaitan dengan materi penelitian. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas: (a)
Kamus Hukum
(b) Kamus Umum Bahasa Indonesia G. Sistematika Penulisan Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut. Bab I Pendahuluan, Didalamnya berisi uraian latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas. 14
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Bab II Didalamnya berisi pemaparan mengenai pengaturan pidana bersyarat berikut pengaturan yang terdapat didalam KUHP dan didalam RKUHP, serta pemaparan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat.
Bab III Merupakan bab yang memaparkan permasalahan berikutnya mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat (Studi Kasus Putusan), berturut-turut di dalamya terdapat sub bab mengenai posisi kasus, analisa kasus dan peranan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Bab IV Adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Hal mengenai kesimpulan dan saran terhadap sejumlah penulisan dalam skripsi ini. Merupakan cakupan yang dibahas secara sederhana dan terperinci guna menjelaskan rangkuman dari seluruh intisari yang penulis lakukan dalam skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara