1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah pengertian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana, diantaranya oleh Moeljatno. Menurut beliau, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:1
1
1)
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar aturan tersebut.
2)
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3)
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1.
2
Beberapa pengertian menurut kepustakaan, hukum pidana sendiri dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti hukum pidana objektif - hukum pidana subjektif; hukum pidana berdasarkan adresat; hukum pidana umum - hukum pidana khusus; hukum pidana nasional - hukum pidana lokal serta hukum pidana internasional dan hukum pidana materiil - hukum pidana formil.2 Hukum pidana materiil adalah keseluruhan hukum yang berisi asas-asas, perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang diperintahkan beserta sanksi pidana terhadap yang melanggar atau tidak mematuhinya. Sedangkan hukum acara pidana adalah hukum untuk melaksanakan hukum pidana materiil yang berisi asas-asas dan proses beracara dalam sistem peradilan pidana yang dimulai dari penyelidikan sampai eksekusi putusan pengadilan. Hukum pidana materiil tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja tetapi juga dalam perundangundangan lainnya. Demikian pula dengan hukum acara pidana, tidak hanya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja namun terdapat pula dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.3 Ilmu hukum acara pidana sendiri mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan penyelenggaraan masyarakat serta wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam berkehidupan bermasyarakat.4 Pada umumnya pengertian antara tujuan hukum acara pidana dan tugas hukum acara
2
Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 14. 3 Ibid, hlm. 15. 4 Bambang Poernomo, 1988, Pola Dasar Teori Dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 28.
3
pidana dengan begitu saja dicampuradukkan, karena sulitnya menempatkan posisi kedamaian, kebnaran dan keadilan dalam hukum. Hukum yang mengatur tatanan beracara perkara pidana itu memiliki tujuan yang diarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian, adapun penyelenggaraan beracara perkara pidana oleh pelaksana dengan tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran dan selanjutnya mengajukan tuntutan hukum yang tepat untuk mendapatkan penerapan hukum dengan keputusan dan pelaksanaannya berdasarkan keadilan. Dengan demikian, tugas atau fungsi dalam hukum acara pidana bisa didefinisikan sebagai (1) untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, (2) mengadakan penuntutan hukum dengan tepat, (3) menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan, dan (4) melaksanakan keputusan secara adil.5 Untuk mewujudkan tujuan dari hukum acara pidana, maka dalam melaksanakan tugas tersebut, alat negara penegak hukum tersebut menggunakan ketentuan-ketentuan mengenai acara pidana yaitu Herziene Inlandsch Reglement (HIR), namun HIR sendiri merupakan produk dari pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengutamakan kepentingan penguasa sehingga pada tahun 1981 lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang sampai sekarang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bertindak, untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada hakekatnya 5
Ibid, hlm. 29.
4
merupakan pengurangan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa sebagai manusia yang ternyata dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun harus diingat pula bahwa aparat penegak hukum adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan masyarakat, ternyata kadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah atau terkadang dilakukan melampaui batas waktu yang telah ditentukan, sehingga tersangka/terdakwa menderita lahir batin akibat sikap aparat penegak hukum tersebut. Sudah tentu ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang dinamakan praperadilan.6 Praperadilan yang merupakan hal baru dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia, mempunyai tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi yaitu perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan atau mencegah terjadinya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum terhadap seseorang yang sedang menjalani proses hukum.7 Menurut Adnan Buyung Nasution seperti dikutip oleh Reda Manthovani, ide pembentukan lembaga Praperadilan berasal dari adanya hak habeas corpus dalam sistem hukum Anglo Saxon (common law system) yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act
6
Ratna Nurul Afiah, 1985, Praperadilan dan ruang lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 3. 7 Ibid, hlm. 74.
5
memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi/jaksa) membuktikan bahwa penahanan itu tidak melanggar hukum.8 Lahirnya lembaga Praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan bahwa tidak terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang menjamin hak asasi manusia di dalam HIR, yan dibentuk dengan berorientasi atas kekuasaan pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Praperadilan pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan, disamping adanya pengawasan intern dalam perangkat aparat itu sendiri. Hadirnya Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan sendiri tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi yang baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini.9 Kemudian, mekanisme pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan permintaan ganti rugi, rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan yang dinamakan praperadilan itu diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP). Permohonan praperadilan diajukan dan diproses
8
Reda Manthovani, “Praperadilan, Tinjauan Yuridis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/beranda/beritamedia/Praperadilan,TinjauanJuridisPascaP utusanMahkamahKonstitusi, diakses pada 1 Oktober 2015 pukul 19.43. 9 M.Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
6
sebelum perkara pokok disidangkan di pengadilan. Oleh karena itu dinamakan pra atau sebelum dan peradilan atau persidangan. Praperadilan merupakan upaya dari pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hukum acara pidana peninggalan Belanda yaitu Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Oleh karena dalam hukum acara pidana itu sering terjadi upaya paksa oleh aparat penegak hukum dilakukan tanpa menghormati hak asasi manusia, sehingga dibentuklah praperadilan dalam rangka mengawasi tindakan penyidik.10 Namun, berawal dari permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Pasific Indonesia yang memberikan kuasa kepada beberapa advokat yang semuanya berasal dari Kantor Maqdir Ismail & Partners, dalam salah satu permohonannya mengenai pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan : 11 6.
Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.
Akhirnya pada hari Selasa, 28 April 2015, meskipun diwarnai dengan 1 alasan berbeda (concurring opinion) dan 3 pendapat berbeda (dissenting opinion) mengenai pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP, Mahkamah Konstitusi sesuai 10
Reda Manthovani, “Praperadilan, Tinjauan Yuridis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Loc.Cit. 11 Putusan Nomor 21/PUU-XXI/2014, hlm 23.
7
dengan kewenangannya mengabulkan sebagian permohonan Pemohon. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal yang dimohonkan yaitu Pasal 1 butir 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 77 huruf a KUHAP beralasan menurut hukum sehingga inkonstitusional, karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut, terdapat hal yang menarik dengan mengubah ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tentang objek praperadilan, ditambahkan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai objek praperadilan. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 maka pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Perubahan bunyi pasal 77 huruf a KUHAP tersebut seolah menjadi norma baru bagi hukum acara pidana di Indonesia khususnya dalam ranah praperadilan. Maka, semua lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi
harus menerima norma baru
tersebut dan harus bersiap tehadap kemungkinan gugatan praperadilan para tersangka yang akan menguji sah tidaknya status tersangka mereka. Putusan Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi terhadap praperadilan sebenarnya tidak hanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 saja. Sebelumnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUIX/2011 dengan Pemohon Tjetje Iskandar yang merupakan seorang anggota Kepolisian Republik Indonesia, dalam amar putusannya menyatakan bahwa Pasal
8
83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi logis dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka terhadap sah tidaknya penghentian penyidikan dan sah tidaknya penghentian penuntutan tidak dapat lagi dimintakan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Kemudian, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-X/2012 dengan Pemohon Dr. Ir. Fadel Muhammad, seorang wiraswasta yang memohonkan agar pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang “pihak ketiga yang berkepentingan” dimaknai termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dapat menjadi subjek hukum yang dapat melakukan permohonan Praperadilan. Kemudian, dalam amar putusannya Majelis Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan permohonan untuk seluruhnya. Konsekuensi logis dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka yang termasuk dalam frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” tidak hanya dimaknai sebagai saksi korban atau pelapor saja namun harus diintepretasikan secara luas termasuk juga perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Masyarakat lainnya. Namun, Penulis tertarik untuk lebih mendalami Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memiliki konsekuensi logis memperluas kewenangan atau objek dari Praperadilan.
9
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas dan dalam perkembangan pembaharuan hukum pidana pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya mengenai praperadilan, berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014,
Penulis
tertarik
untuk
membahas dalam bentuk penulisan hukum (skripsi). Oleh karena itu dalam penulisan hukum ini, Penulis mengambil judul : “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN”
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka rumusan
masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014?
2.
Bagaimanakah sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian “IMPLIKASI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SAH TIDAKNYA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN”,
dapat dikelompokan sebagai tujuan obyektif dan tujuan subyektif sebagai berikut :
10
1.
Tujuan Objektif a.
Untuk mengetahui sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
b.
Untuk mengetahui sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XXI/2014.
2.
Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data akurat yang dipergunakan dalam penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D.
Kegunaan Penelitian Beberapa manfaat yang akan kita peroleh dalam penelitian ini, antara lain:
1.
Kegunaan Akademis Penelitian ini akan memberikan saran dan masukan mengenai pembangunan dan pembaruan Hukum Acara Pidana khususnya dalam ranah Praperadilan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
2.
Kegunaan Praktis Penelitian ini akan menambah perkembangan ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai penetapan tersangka sebagai objek praperadilan
11
sebelum dan sesudah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. E.
Keaslian Penelitian Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis telah melakukan
penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian, baik dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, media cetak maupun media elektronik.. Penelusuran yang penulis lakukan menemukan beberapa penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang berkaitan dengan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi antara lain sebagai berikut : 1.
Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34 /PPU-XI/2013 Terhadap Pemenuhan Asas Kepastian Hukum dan Keadilan, disusun oleh Eka Lestaria, tahun 2014,12 penelitian tersebut merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap asas kepastian hukum dan keadilan? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka Lestaria, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1.
Keluarnya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 (putusan kedua) telah berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan keadilan. Ketidakpastian
hukum
dari
putusan
tersebut
oleh
karena
pertimbangan putusan tersebut inkonsistensi dengan putusan 12
Eka Lestaria, 2014, Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XXI/2013 Terhadap Pemenuhan Asas Kepastian Hukum dan Keadilan, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
sebelumnya yaitu putusan nomor 16/PUU-VIII/2010 (putusan pertama). Ketiga petimbangan MK dalam putusan kedua kontradiktif dengan pertimbangan dalam putusan pertama sehingga menimbulkan
keraguan
dan
ketidakjelasan.
Sedangkan
ketidakadilan dari putusan tersebut karena permohonan yang dikabulkan oleh MK terkait PK hanya pada perkara pidana, sedangkan pengajuan PK pada perkara perdata dan tata usaha negara tetap dibatasi hanya satu kali, yang mana telah membatasi hak Warga Negara lainnya untuk mencapai keadilan pada perkara perdata maupun tata usaha negara. Padahal hak setiap Warga Negara dijamin persamaannya oleh pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yaitu setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga MK dalam putusannya tidak mencerminkan rasa keadilan karena membedabedakan Warga Negara yang satu dengan Warga Negara lainnya, tidak menyamaratakan putusan yang permohonannya sama, terkesan memihak dan sewenang-wenang. 2.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Terhadap Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Terkait Asas Litis Finiri Oportet, disusun oleh Arifanny Faizal, tahun 201513, penelitian tersebut merumuskan masalah sebagai berikut:
13
Arifanny Faizal, 2015, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Terhadap Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Terkait Asas Litis Finiri Oportet. Skripsi, Program Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
1. Bagaimana relevansi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana di Indonesia? 2. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap asas litis finiri oportet dalam hukum acara pidana di Indonesia? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Arifanny Faizal, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1.
Menurut Pasal 268 ayat (3) KUHAP upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal itu berarti putusan yang sudah diajukan peninjauan kembali dan telah diputus untuk perkara yang sama tidak dapat diajukan lagi oleh terpidana atau ahli warisnya. Ketentuan peninjauan kembali dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, saat ini upaya hukum peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali. Apabila ada pejabat negara atau warga negara yang membatasi upaya hukum peninjauan kembali hanya satu kali setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUUXI/2013 maka tindakannya tidak memiliki dasar hukum. Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tidak mengganggu tujuan dan fungsi peninjauan kembali. Pada dasarnya peninjauan kembali dimaksudkan
semata-mata
untuk
melindungi
kepentingan
14
terpidana, bukan kepentingan negara atau korban. Peninjauan kembali yang kini tidak dibatasi hanya satu kali jelas akan lebih melindungi kepentingan terpidana untuk mencari keadilan. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan eksekusi putsan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun pada prakteknya Kejaksaan biasanya melakukan penundaan eksekusi pidana mati ketika terpidana mati mengajukan permohonan peninjauan kembali. Keadaan ini semakin pelik setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. Adanya kesempatan melakukan peninjauan kembali berkali-kali dikhawatirkan akan digunakan oleh terpidana mati untuk terus menunda eksekusi pidana mati terhadap mereka. Atas keadaan ini MAKI dan LP3HI mengajkan judicial review Pasal 268 ayat (1) KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak seluruh permohonan MAKI dan LP3HI. Mahkamah berpendapat sikap kehati-hatian jaksa selaku eksekutor dalam hal ini pidana mati harus dihormati. Sebab, seorang terpidana mati yang mengajukan Peninjauan Kembali harus ditunggu terlebih dahulu sampai ada putusan untuk menghindari jangan sampai ada permohonan Peninjauan Kembali yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung sesudah eksekusi dilaksanakan. Dalam hal ini jaksa selaku eksekutor di dalam mengeksekusi terpidana mati memang harus
15
sangat hati-hati karena menyangkut nyawa seseorang yang berkaitan erat dengan hak asasi yang sangat mendasar. SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang membatasi peninjauan kembali tetap satu kali tidak tepat. Selain permasalahan terkait bentuk produk hukum yang digunakan, SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tidak mematuhi asas lex specialis derogate legi generali karena mengacu pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 Tenatang Mahkamah Agung. Padahal keduanya mengatur peninjauan kembali secara umum. Jika dikatakan dengan peninjauan kembali dalam perkara pidana maka sudah seharusnya MA berpedoman pada KUHAP, yang mana Pasal 268 ayat (3) KUHAP telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Putusan MK Nomor 34/PUUXI/2013. 2.
Menurut Penulis, Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tidak mengganggu asas litis finiri oportet maupun kepastian hukum. Perkara yang dimohonkan Peninjauan Kembali hanya perkara yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut bisa dapat langsung dilaksanakan putusannya. Dengan demikian, keadaan demikian sudah dapat dikatakan sebagai akhir perkara (karena dapat langsung dieksekusi) dan sudah menjamin kepastian hukum.
16
Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, setelah membaca penelitian Eka Lestaria dan Arifanny Faizal, baik pada bagian rumusan masalah maupun kesimpulan maka Penulis menyimpulkan penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan Penulis lakukan. Penelitian Eka Lestaria melihat implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2103 dari aspek hukum tata negara sementara penelitian Arifanny Faizal melihat implikasi putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor
34/PUU-XI/2013
terhadap
upaya
hukum
peninjauan kembali dalam hukum acara pidana terkait asas litis finiri oportet. Penulis akan melakukan penelitian melihat implikasi dari Putusan yang lain yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terhadap sah tidaknya penetapan tersangka yang menjadi objek praperadilan, dengan demikian penelitian yang akan Penulis lakukan dengan judul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR
21/PUU-XII/2014
TERHADAP
SAH
TIDAKNYA
PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN” adalah asli,
belum pernah dilakukan dan permasalahan ini murni ide Penulis sehingga penelitian ini bukan merupakan karya plagiarisme.