BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi dan merupakan suatu bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial inilah untuk mengintergrasikan kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib, agar fungsi hukum ini dapat terlaksana dengan baik maka bagi para penegak hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan baik.1 Tujuan dari hukum pidana itu sendiri adalah untuk memenuhi rasa keadilan.2 Hal inilah mengakibatkan bahwa tugas hukum yakni mencapai keserasian antara nilai kepentingan hukum dengan masyarakat.3 Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi karena pelanggaran maka hukum harus ditegakkan.4 Pelanggaran hukum inilah akan menimbulkan lahirnya sanksi pidana yang merupakan suatu akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan yakni perbuatan melawan hukum.5
1
R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 55.
2
Wirjono Prodjodikoro, 1991, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Eresco, JakartaBandung, hlm. 16. 3
Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.
4
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.
5
Ibid, hlm. 16.
37.
1
2
Berbicara mengenai pelanggaran hukum, di Indonesia sampai saat ini masih belum terlepas dengan segala permasalahan pelanggaran hukum salah satunya dalam hal pelacuran. Masyarakat dunia dan tidak terkecuali masyarakat di Indonesia pada dewasa ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya praktek pelacuran. Pada dasarnya masalah sosial dan moral adalah masalah terbesar dari tatanan adat serta perilaku masyarakat yang masih sangat kental dengan kebudayaan timur. Di kalangan masyarakat Indonesia,
pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang
menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai penyakit masyarakat. Dengan kata lain penyakit masyarakat yang demikian merupakan produk sampingan, atau merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari sistem sosio kultural zaman sekarang, dan berfungsi sebagai gejala tersendiri. Kongkritnya banyak anggota masyarakat yang apatis terhadap norma-norma yang ada dan berlaku dalam kehidupan sosial, salah satunya dengan munculnya fenomena pelacuran yang semakin lama semakin menjamur. Berdasarkan pernyataan tersebut, tindak pidana pelacuran dapat mengganggu, merugikan keselamatan, ketenteraman dan kemakmuran baik jasmani dan rohani maupun sosial dari kehidupan masyarakat secara umum. Faktanya pelacuran banyak merugikan
menyangkut banyak kehidupan
manusia dan merupakan suatu permasalahan hukum, yang dinilai sebagai suatu patologi sosial karena dalam pelacuran ini tindakan yang dilakukan seseorang atau kelompok bersifat melawan kaidah-kaidah kehidupan yang berlaku didalam masyarakat dan bersifat melawan norma-norma hukum serta melawan hukum.
3
Dunia pelacuran merupakan suatu pelanggaran atau kejahatan yang semakin hari semakin menunjukan kenaikan jumlah dalam kualitas kejahatan dan gejala ini akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi, industrialisasi dan urbanisasi. Pelacuran termasuk dalam salah satu penyakit masyarakat, karena akibat dari pelacuran banyak terjadinya kemorosotan di bidang pendidikan dan agama yang mengakibatkan kemerosotan moral, kenakalan anak-anak, dsb, sehingga norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya tindak pidana pelacuran dalam segala bentuknya. Yang mana Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan nasional berdasaskan Pancasila, yakni
sila pertama
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu sudah selayaknya kalau perilaku pelacuran itu tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat Indonesia. Untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut, maka perlu memperhatikan pembangunan di bidang hukum, yang salah satunya adalah tentang pelaksanaan hukum pidana. Hukum pidana bagi suatu bangsa merupakan indikasi yang penting tentang tingkat peradaban bangsa itu, karena di dalamnya tersirat bagaimana pandangan bangsa tersebut tentang etika (tata susila), moralitas, sistem masyarakat, dan norma-norma sosial. Perbuatan pelacuran merupakan suatu perzinahan, Perzinahan adalah setiap hubungan kelamin antara wanita dan pria di luar perkawinan yang sah. Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
4
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Diperjelas pula dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut huku masing-masing agama dan kepercayaan”. Dari ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 tersebut diatas dapat dilihat bahwa perbuatan pelacuran merupakan suatu perzinahan karena dilakukan diluar dari perkawinan yang sah antara laki-laki dan wanita oleh salah satu pihaknya (pelaku), perbuatan ini dilakukan dengan maksud mendapat suatu keuntungan bagi dirinya atau orang lain atau mendapat imbalan jasa atas perbuatannya. Pelacuran disini tidak dijadikan suatu perbuatan pidana dalam arti, bahwa perbuatan pelacurnya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana. 6 Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) tidak ada satupun pasal yang mengatur secara khusus atau tegas yang melarang praktekpraktek pelacuran. Ketidak tegasan pemerintah dapat dilihat pada Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 506 KUHP. Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal, artinya larangan hanya diberikan untuk muchikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya secara khusus. Adapun ukurannya, perbuatan melawan hukum yang mana yang ditentukan sebagai perbuatan pidana, hal itu adalah termasuk kebijaksanaan pemerintah, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perbuatan pelacuran ini sendiri sangat menimbulkan kerugian yang sangat besar dalam masyarakat maka dari hal ini lah perlunya suatu sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran. Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam 6
Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 3-4.
5
industri seks di Indonesia, karena larangan pemberian layanan seksusal khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan, dengan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang adanya tindak pidana pelacuran tersebut. Bali memang kota yang tidak sebesar Jakarta, Bandung, Surabaya ataupun Yogyakarta, namun statusnya sebagai kota pariwisata menjadikan Bali mendapat suatu permasalahan sosial seperti pelacuran sebagai suatu masalah yang semakin kompleks. Di Bali masalah pelacuran sangat bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesopanan, maupun norma kesusilaan. Perkembangan industri pariwisata yang sangat pesat
merupakan salah satu faktor penyebab
adanya pelaku tindak pidana pelacuran, selain itu pula adanya beberapa oknum pemerintah yang memanfaatkan keadaan dengan mencari keuntungan yang lebih berusaha untuk memfasilitasi suburnya praktek pelacuran baik yang secara terselubung maupun yang terang-terangan yang membuat prakter pelacuran itu sendiri berkembang semakin pesat. Daerah Bali khususnya kota Denpasar telah melakukan berbagai upaya penanggulangan pelacuran dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 (selanjutanya disebut Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar) sebagai dasar hukum untuk menanggulangi pelacuran diwilayah kota Denpasar. Dalam
6
pelaksanaanya, penanggulangan pelacuran lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap perempuan pelacur yang ditangkap oleh aparat penegak hukum. Mengenai penanggulangan ini sendiri terhadap pelacur selaku pihak yang disewa dikenakan sanksi sesuai dengan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar. Seperti yang kita ketahui sekarang ini praktek pelacuran telah terang-terangan beroprasi ditengah masyarakat, bahkan dalam menjalankan bisnisnya para pelaku tindak pidana pelacuran seolah-olah tidak takut terhadap adanya penindakan dari aparat penegak hukum, maupun reaksi keras dari masyarakat yang menolak adanya praktek pelacuran tersebut. Bahkan sanksi pidana yang diberikan juga tidak membuat efek jera pada para pelaku untuk terus mengulangi kembali perbuatannya, dalam Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar masih banyak ditemukan permasalahan dalam memberikan sanksi pidana sehingga membuat tidak jeranya dan membuat para residivis mengulangi perbuatan yang sama kembali. Diperlukan suatu keseriusan para penegak hukum dalam menanggulangi, menertibkan serta memberikan sanksi pidana pada para pelaku tindak pidana pelacuran karena penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pelacuran di Kota Denpasar hanya dimungkinkan dengan menggunakan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar sebagai suatu dasar hukum untuk menjerat para pelaku.
7
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka kiranya layak untuk diangkat
dalam
karangan
ilmiah
dalam
bentuk
skripsi
dengan
judul
“PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR”.
1.2 Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar ? 2. Bagaimana hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran dan bagaimana upaya penanggulangannya?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting. Untuk mecegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka perlu diberikan penegasan dan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah akan diurai nanti. Permasalahan yang dikaji diberikan batasan yang bermaksud menghindari kekaburan dalam mendeskripsikannya. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pencarian, penyusunan data dan akan dijabarkan secara deskriptif dalam bentuk penulisan ilmiah. Ruang lingkup yang akan dibahas
8
adalah penerapan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar dan hal- hal apa saja yang menjadi hambatan bagi penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran.
1.4 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan data yang didapat oleh penulis, penulis menemukan adanya penelitian sejenis dengan penelitian yang penulis lakukan. Indikator pembeda penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan dengan penelitian penulis disajikan dengan tabel dibawah ini : Tabel 1 : Daftar Penelitian Sejenis No. 1.
Judul Skripsi
Penulis
Kajian Hukum Pidana R.P. Tentang
Rumusan Masalah 1. Apakah
Pelacuran MOHAMMAD
pihak-pihak
yang terlibat dalam
Terselubung (Criminal FARID
kasus pelacuran bisa
Law
dijerat hukum pidana
Analysis
About JAUHARI,
Undercover
Fakultas Hukum
Prostitution)
Universitas Jember, 2008.
indonesia ? 2. Apa
Tahun
yang
menjadi
kendala yuridis dalam penegakan pidana pelacuran terselubung?
hukum terhadap
9
2.
Sanksi Pidana Terhadap RACHMAT Pelaku
Pelacuran PRASETIYO,
Berdasarkan
Pidana
Bagaimana
tindak
pidana pelacuran yang
Kitab Fakultas Hukum
Undang-Undang Hukum
1.
diatur dalam Kitab
Universitas
Undang-Undang
Dan Pancasakti Tegal,
Hukum Pidana Dan
Peraturan Daerah Kota Tahun 2010
Peraturan
Tegal Nomor 4 Tahun
Kota Tegal Nomor 4
2006
Tahun 2006? 2.
Daerah
Bagaimana
bentuk
pertanggungajawaban pelaku
pelacuran
menurut
Peraturan
Daerah Kota Tegal Nomor
4
Tahun
2006?
Berdasarkan tabel diatas tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis menyusun skripsi berjudul “Penerapan Sanksi Pidana Pada Pelaku
10
Tindak Pidana Pelacuran Berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Di Pengadilan Negeri Denpasar”.
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan suatu hasil. Demikian pula halnya dengan setiap penulisan karya ilmiah haruslah menunjukan suatu tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan. a.
Tujuan umum Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk
memperoleh pemahaman mengenai penerapan sanksi pidana pada pelaku tindak pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 di Pengadilan Negeri Denpasar. b.
Tujuan khusus 1.
Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar.
2.
Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran dan upaya penanggulangannya.
1.6 Manfaat Penulisan Dalam penelitian ini adapun yang menjadi manfaatnya adalah manfaat secara Teoritis dan Praktis, yaitu sebagai berikut :
11
a.
Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk menegakkan dan menambah
khasanah ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan hukum pidana berkaitan dengan Tindak Pidana Pelacuran. b.
Manfaat Praktis 1.
Untuk mendalami dan mempraktekkan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
2.
Dapat memberikan informsi dan pengetahuan kepada masyarakat tentang penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran.
3.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah, untuk memperbaharui Peraturan Perundang-undangan yang lebih tegas lagi dan menjerat bagi pelaku tindak pidana.
1.7 Landasan Teoritis Perundang-undangan mengenai sanksi pidana dapat dilihat dari Pasal 10 KUHP yang menyebutkan bahwa “Pidana Pokok terdiri atas : 1. 2. 3. 4.
Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Dan Pidana Denda7 Tindak pidana pelacuran merupakan suatu tindak pidana ringan yang mana
perbuatan tersebut banyak meresahkan masyarakat, sehingga aparat penegak hukum berusaha untuk membrantasnya. Mengenai acara pemeriksaan tindak
7
P.A.F Lamintang dan Theo Lumintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 35.
12
pidana ringan ini sendiri diatur dalam Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), menyebutkan bahwa : (1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini. (2) Dalam perkara sebagaimana ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa ke sidang pengadilan. (3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding. Pekerja seks komersial merupakan profesi dengan menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan, biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Pengertian pelacuran itu sendiri dapat dilihat dari Pasal 1 huruf e Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Permberantasan Pelacuran Kota Denpasar menyatakan bahwa “Pelacur adalah seorang laki-laki maupun perempuan yang melakukan hubungan kelamin dan atau seksual tanpa ikatan perkawinan yang sah dengan maksud mendapat imbalan jasa baik finansial maupun material bagi dirinya sendiri atau pihak lain”. Berkaitan dengan tindak pidana pelacuran dalam hal prostitusi merupakan suatu bentuk penyimpangan seksual dengan pola-pola organisasi inpuls/ dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintergrasi dalam bentuk pelampiasan nafsunafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang disertai eksploitas dan komersialisasi seks yang impersional tanpa afeksi sifatnya.8
8
Kartini Kartono, 1997, Pathologi Sosial jilid I, Cv Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat Kartini Kartono I), hlm. 207.
13
Selain itu pula tindak pidana pelacuran memiliki dampak yang ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang tidak baik (negatif) : a. Dampak
sosiologis,
pelacuran
merupakan
perbuatan
amoral
yang
bertentangan dengan norma dan etika yang ada didalam masyarakat. b. Dampak pendidikan, pelacuran merupakan kegiatan yangdemoralisasi c. Dampak kewanitaan, pelacuran merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita. d. Dampak ekonomi, pelacuran dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja. e. Aspek kesehatan, pelacuran merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya. f. Dampak keamanan dan ketertiban masyarkat, pelacuran dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan kriminal. Khususnya di Kota Denpasar dalam pemberantasan tindak pidana pelacuran menggunakan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhi hukuman terhadap terdakwa yang telah melanggar aturan. Dimana hakim berusaha untuk memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan agar terdakwa jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya sebagai pekerja seks komersial. Jika dilihat dari asas hukum, dalam mengambil keputusannya hakim menggunakan asas legalitas yakni asas yang menentukan perbuatan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
14
terlebih dahulu dalam perundang-undangan yang mengaturnya
biasa disebut
“Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege” (tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).9 Serta dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pelacuran, hakim memiliki pertimbangan berdasarkan alasan yuridis yakni berpedoman pada Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar Kaitannya dengan keefektifan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”, sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektifitas hukum berarti keberhasilan, kemajemukan hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.10 Secara terminologi pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing. Soerjono Soekanto berbicara mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak
9
. Moeljatno, Op.cit, hlm. 23.
10
Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30, hlm. 11.
15
hukumnya.11 Efektivitas hukum dilain pihak juga dipandang sebagai tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.12 Efektifitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sistem hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.13 Struktur hukum merupakan suatu wadah, kerangka maupun bentuk sistem hukum, yakni susunan dari pada unsur-unsur sistem hukum yang bersangkutan. Substansi hukum mencakup norma-norma atau kaidah-kaidah mengenai patokan perilaku yang pantas dan prosesnya. Budaya hukum mencakup segala macam gagasan, sikap, kepercayaan, harapan maupun pendapat-pendapat (pandanganpandangan) mengenai hukum.14 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, antara lain : 11
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hlm. 62. 12
Ibid, hlm. 20.
13
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta, hlm. 225. 14
Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hlm. 41.
16
1. 2. 3. 4. 5.
Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi UndangUnsang saja; Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.15 Substansi hukum itu adalah Peraturan Perundang-Undangan, Struktur Hukum
itu sering disebut penegak hukum, budaya hukum itu sangat luas, dapat dipahami budaya hukum itu adalah kepatuhan masyarakat. Kebudayaan (Culture) berarti keseluruhan dan hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan, pengertian ini pertama kali dikemukakan oleh E.B Tylor dalam bukunya Primitive Culture di New York. Jadi dari pengertian itu, kebudayaan lebih dari kesenian, melainkan ada kepandaian, hukum, moral, dan termasuk kepercayaan, itu menunjukan budaya bukan seni.
1.8 Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengkaji permasalahan berdasarkan peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku dan mengkaitkan dengan 15
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, ((selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), hlm. 5.
17
pelaksanaannya dilapangan. Penelitian ini direalisasikan terhadap efektivitas hukum atau peraturan yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum.16 Dengan demikian tidak hanya sebatas mempelajari pasalpasal perundangan dan pendapat para ahli untuk kemudian diuraikan, tetapi juga menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif tersebut dalam rangka mengolah dan menganalisis data-data dari lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.
B. Jenis Pendekatan Pembahasan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekan perundangundangan (the statue approach), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 2 tahun 2000, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas, pendekatan fakta (the fact approach), dalam hal ini penulis juga melihat fakta-fakta yang ada dilapangan Pengadilan Negeri Denpasar serta Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar berkaitan dengan penerapan sanksi pidana tindak pidana pelacuran, dan pendekatan analisis (analitycal and conseptual approach) yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya.
16
Suratman dan Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, hlm. 53.
18
C. Sifat penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran menurut Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Perda No. 2 Tahun 2000 dan yang menjadi hambatan dalam upaya menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran. Selain itu, bersifat kualitatif karena memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. Sehingga dapat diperoleh data kualitatif yang merupakan sumber dari deskripsi yang luas, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.
D. Data Dalam penulisan skripsi ini digunakan data yaitu : a.
Data Primer Data primer yaitu
suatu data yang diperoleh langsung bersumber dari
lapangan, dengan menggunakan teknik wawancara terbuka kepada para informan dan responden. Dalam hal ini penelitian akan dilakukan di wilayah Pengadilan Negeri Denpasar serta Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar.
19
b.
Data Sekunder Data sekunder merupakan data-data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
yaitu penelaahan terhadap Peraturan Perundang-Undangan terkait, serta bukubuku litrature sebagai bahan bacaan. Studi kepustakaan ini menelaah bahan-bahan hukum yang pokok yaitu undang-undang dalam arti materil dan formil, hukum kebiasaan dan hukum adat yang tercatat, yurisprudensi, traktat dan doktrin. Dalam hal ini Peraturan Perundang-Undangan yakni Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Perda Kota Denpasar No. 2 tahun 2000. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji menyatakan bahwa dalam suatu penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat), bahan hukum sekunder (yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer), dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).17
E. Teknik Pengumpulan Data Adapun cara yang digunakan dalam hal tehnik pengumpulan data untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini dengan cara : a.
Teknik studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca, mencatat, dan menelaah, mengkaji dan menganalisa dari peraturan 17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, hlm. 39.
20
perundang-undangan, hasil penelitian hukum, dan buku-buku yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang ada. Keseluruhan data kepustakaan tersebut dibuat dalam bentuk card system. b.
Teknik Wawancara, merupakan proses interaksi dan komunikasi serta cara memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada narasumber yang akan diwawancarai. Tehnik yang dilakukan bukan hanya bertanya pada seorang melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang secara terbuka untuk memeperoleh informasi yang relevan dengan masalah penelitian.
c.
Teknik Observasi yakni suatu pengamatan yang dilakukan untuk tujuan penelitian yang dilakukan serta dilakukan secara sistematis melalui perencanaan yang matang. Pengamatan dimungkinkan berfokus pada fenomena sosial ataupun perilaku-perilaku sosial. Pengamatan merupakan salah satu metode pengumpulan data pada penelitian hukum empiris/ sosiologis.18 Pengamatan ini dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar dengan melihat atau mengamati sidang tindak pidana pelacuran secara langsung.
F. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam penelitian ini, teknik penentuan sampel yang dipergunakan adalah teknik non-probability sampling. Teknik ini digunakan agar diperoleh subyeksubyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian, dimana semua populasi mempunya kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk ditetapkan menjadi
18
Suratman dan Philips Dillah, Op.cit, hlm. 135.
21
sampel. Teknik pengumpulan sampel dengan teknik non- probabilitas yang digunakan menekankan pada bentuk Purposive Sampling yaitu penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kreteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. Sampel yang dipergunakan peneliti dalam penelitian skripsi ini diambil dari Pengadilan Negeri Denpasar serta Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar yang dapat mewakili keadaan yang sebenarnya.
G. Teknik Analisis Data Setelah keseluruhan data yang diperoleh dikumpulkan secara lengkap baik melalui studi kepustakaan, wawancara, ataupun dengan observasi kemudian ditelaah dan dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif yang menggambarkan secara menyeluruh serta mendetail aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah dan kemudian dianalisa untuk mendapatkan kebenaran, dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan skripsi ini.