BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Apabila kita bicara tentang hukum, pada umumnya yang dimaksudkan
adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.1 Cicero menyatakan bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia. Maka untuk membicarakan hukum kita tidak dapat lepas membicarakannya dari kehidupan manusia. Sebab hukum baru berguna ketika dapat menciptakan keadilan bagi masyarakat. Hukum adalah alat untuk mengatur manusia, akan tetapi hukum bukan satu-satunya alat untuk mengatur manusia dalam masyarakat. Sebagai salah satu alat untuk mengatur masyarakat, dibelakang hukum terdapat alat perlengkapan yang diberi wewenang oleh masyarakat agar supaya hukum dapat berlaku dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Hal ini membedakan ciri norma hukum dibandingkan dengan norma yang lain.2 Ideal sebuah negara hukum adalah terselenggaranya kekuasaan yang berkaitan erat dengan kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. A.V. Dicey mengaitkan prinsip negara hukum dengan rule of law, and
1
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 40. 2 Bambang Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm.9.
2
not and Man. Maknanya, hukum menjadi pemandu, pengendali, pengontrol, dan pengatur dari segala aktivitas berbangsa dan bernegara. Ciri penting negara hukum (the rule of law) adalah Supremacy of Law; Equality Before The Law; Due Process of Law; Prinsip pembagian kekuasaan, Peradilan bebas tidak memihak; Peradilan Tata Usaha Negara; Peradilan Tata Negara; Perlindungan Hak Asasi Manusia; Demokrasi; Negara Kesejahteraan (welfare state); Transparansi dan Kontrol Sosial.3 Sebagai negara hukum, Indonesia membutuhkan seperangkat alat untuk pemandu, pengendali, pengontrol, dan pengatur dari segala aktivitas berbangsa dan bernegara.Salah satu alat tersebut adalah hukum pidana. Ilmu hukum pidana khusus mempelajari pelanggaran kaidah-kaidah hukum (rechtsnormen) yang mengatur tindakan-tindakan manusia dalam pergaulannya dengan manusia lain.4 Delik itu terutama suatu perbuatan manusia (menselijke handeling), yaitu suatu perbuatan dari manusia dalam pertentangan (conflict) dengan beberapa kaidah, yaitu petunjuk hidup (levensvoorschriften), yang ditentukan oleh masyarakat di tengahnya manusia itu hidup (kaidah-kaidah sosial).5 Dalam perkembangan hukum pidana, terjadi perubahan perilaku dalam kejahatan. Salah satu perubahan perilaku yang nyata tersebut adalah usaha pelaku kejahatan untuk berusaha menyamarkan uang hasil kejahatan yang diperoleh untuk mempersulit proses penelusuran kejahatan yang dilakukan. Pencucian uang atau istilah asingnya “money laundering” merupakan sebuah kejahatan yang 3
Mokhamad Najih, 2008, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana Sebagai Instrumen Dalam Mewujudkan Tujuan Negara, In-Trans Publising, Malang, hlm. 1-12. 4 E. Uthrecht, 1958, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum Suatu Pembahasan Pelajaran Umum, hlm. 136. 5 Ibid.
3
sebelumnya didahului oleh kejahatan lainnya yang menghasilkan uang. Uang hasil kejahatan tersebut kemudian disamarkan oleh pelaku dengan tujuan untuk membuat seolah-olah uang tersebut berasal dari sektor keuangan yang sah. Dalam kejahatan, pelaku pasti berusaha untuk menghilangkan jejak yang dapat merugikannya dikemudian hari. Pencucian uang merupakan salah satu usaha untuk menghilangkan jejak agar kejahatan yang dilakukan tidak dapat terdeteksi. Hal ini membuat proses pemberantasan tindak pidana yang dilakukan menjadi sulit. Kesulitan pemberantasan tindak pidana tersebut menyebabkan tindak pidana pencucian uang mendapatkan perhatian besar, tidak hanya dari para penegak hukum dan pakar hukum pidana, namun juga negara-negara di dunia. Saat ini, kegiatan pencucian uang telah melewati batas jurisdiksi yang menawarkan tingkat kerahasiaan yang tinggi atau menggunakan bemacam mekanisme keuangan dimana uang dapat “bergerak” melalui bank, money transmitters, kegiatan usaha bahkan dapat dikirim keluar negeri sehingga menjadi clean-laundered money.6 Hal tersebut menyebabkan kejahatan money laundering tidak hanya menjadi permasalahan hukum. Kejahatan pencucian uang dapat menyebabkan ancaman ekonomi dimana tatanan ekonomi secara menyeluruh dapat dirusak. Kegitan ekonomi dalam sektor keuangan yang sah dapat terganggu. Kejahatan pencucian uang juga dapat merusak stabilitas pasar modal yang juga berakibat pada rusaknya investasi secara makro pada ekonomi dalam suatu negara. Selain itu penerimaan negara dari sektor pajak juga dapat terganggu. Secara politik, kemanan suatu negara dan dunia internasional dapat terganggu. 6
Yunus Hussein, 2007, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Books Terrace & Library, Bandung, hlm. 3.
4
Hal inilah yang membuat perhatian dunia internasional terhadap kegiatan pencucian uang. Kerjasama antar negara secara bilateral dan multilateral dilakukan dalam upaya kriminalisasi tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang di Indonesia dianggap sebagai sebuah perbuatan pidana yang diancam dengan sanksi pidana setelah dikeluarkannya UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebelum dikeluarkannya undangundang tersebut, Indonesia merupakan target kegiatan pencucian uang. Pengaturan mengenai kerahasiaan bank juga dianggap turut membantu maraknya kegiatan pencucian uang dimana para pelaku kejahatan dapat dengan aman menaruh uang hasil kejahatan yang diperoleh di bank untuk kemudian dikemudian hari ditarik kembali dan menjadi uang yang seolah-olah halal. Terjadi perubahan yang signifikan pasca dikeluarkannya UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diubah dengan dikeluarkannya UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan kemudian dicabut dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Salah satu perubahan yang nyata dengan dikeluarkannya UU Nomor 8 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah dengan dibentuknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang independen dan berperan besar dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang bukanlah merupakan kejahatan yang dapat berdiri sendiri. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pencucian uang merupakan perbuatan
5
yang bertujuan menyamarkan uang hasil kejahatan agar terlihat sah. Untuk dapat dikatakan melakukan pencucian uang, harus dipastikan bahwa uang tersebut merupakan hasil kejahatan. Meskipun demikian, peraturan perundang-undangan menempatkan pencucian uang secara terpisah dari kejahatan asal. Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer,
mengalihkan,
membelanjakan,
membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uangdengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 7 Kemudian, Pasal 4 menyatakan bahwa setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling tama 20 (dua tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).8 Terakhir, Pasal 5 menyatakan bahwa setiap orang yang menerima
7
Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 8 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
6
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).9 Namun terjadi kontradiksi antara pasal-pasal tersebut dengan ketentuan dalam Pasal 69 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan bahwa pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak perlu menunggu pembuktian tindak pidana asal. Padahal Pasal 2 ayat (1) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3, 4, dan 5 ayat (1) secara tegas mengatur mengenai apa saja yang termasuk dalam tindak pidana asal dalam pencucian uang. Apakah ketidaksinkronan ini sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum? Ataukah justru sebaliknya? Asas Rule of Law, berarti bahwa dalam penyelenggaraan negara, tindakantindakan penguasanya harus didasarkan hukum, bukan didasarkan kekuasaan atau kemauan penguasaan belaka dengan maksud untuk membatasi, kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakat, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi anggota-anggota masyarakat dari tindakan sewenangwenang. 10 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke IV Pasal 1 Ayat (3) menjelaskan dengan tegas, bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal itu berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara Hukum yang demokratis 9
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 10 Joeniarto, 1968, Negara Hukum, YBP Gajah Mada, Yogyakarta, hlm. 53.
7
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kekecualian.11 Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini. Adapun asas tersebut antara lain, adalah:12 1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka umum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. 2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang. 3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti 11 12
Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
8
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi. 5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. 6. Setiap orang memperoleh
yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan bantuan
hukum
yang
semata-mata
diberikan
untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. 7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum. 8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. 9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang. 10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara untuk mengakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganegara, serta penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di
9
daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini.13 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ketentuan Pasal 69 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uangmenyatakan bahwa pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak tergantung pada tindak pidana asal. Permasalahan yang muncul adalah apabila tindak pidana asal tidak terbukti, pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak terhalangi. Apakah aturan tersebut sesuai dengan asas-asas dan teori-teori dalam hukum pidana? Ataukah sebaliknya, justru ketentuan tersebut bertentangan dengan asas-asas dan teori-teori dalam hukum pidana? Atas dasar itulah Penulis tertarik untuk mengangkatnya menjadi permasalahan dalam penulisan hukum ini, dengan
judul
“PembuktianTindak
Pidana
AsaldalamUndang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Ditinjau dari Asas Legalitas”. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
Penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan antara tindak pidana asal (predicate crime) dengan tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?
13
Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
10
2. Apakah ketentuan mengenai pembuktian tindak pidana asal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sesuai dengan asas legalitas? C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari Penulisan Hukum ini adalah: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui bagaimana hubungan mengenai tindak pidana asal (predicate crime) dengan tindak pidana pencucian uang dalam UndangUndang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. b. Untuk mengetahui apakah ketentuan mengenai pembuktian tindak pidana asal dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sesuai dengan asas legalitas. 2. Tujuan Subjektif a. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Daerah
Istimewa
Yogyakarta. b. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analisis Penulis mengenai ilmu hukum secara umum dan hukum pidana secara khusus terutama mengenai pembuktian tindak pidana pencucian uang.
11
D.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Penulis di perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Penulis tidak dapat menemukan Penulisan Hukum dengan judul yang serupa. Yang dapat Penulis temukan adalah Penulisan Hukum yang memiliki sedikit kemiripan mengenai tema yang dipilih, diantaranya: 1. Skripsi yang disusun oleh Bayu Dwi Putra, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan rincian sebagai berikut: a. Judul Skripsi: “Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Ditinjau dari Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)”.14 b. Perumusan Masalah: Bagaimana pengaturan dan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? Apakah Pelaksanaan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi dan pencucian uang di Indonesia bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah?
14
Bayu Dwi Putra, 2012, “Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Ditinjau dari Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
c. Hasil Penelitian Penulisan Hukum dengan judul “Undang Pidana Korupsi dan UndangUndang Pencegahan dan Pemberantasan TIndak Pidana Pencucian Uang Ditinjau dari Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)”
mengungkapkan
mengenai
pengaturan
pembuktiant
terbalik dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Hasil dari penelitian ini juga menyatakan bahwa sistem pembuktian terbalik melanggar asas praduga tidak bersalah d. Perbedaan: Penulisan Hukum tersebut fokus membahas mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana Penulis dalam Penulisan Hukum ini membahas mengenai pembuktian tindak pidana asal dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu Penulisan Hukum tersebut membandingkan pembuktian terbalik dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), sementara Penulis dalam Penulisan Hukum ini membandingkan ketentuan mengenai pembuktian tindak pidana asal dengan asas legalitas dan teori hubungan sebab akibat dalam hukum pidana. 2. Skripsi yang disusun oleh Aqidatul Awwami, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dengan rincian sebagai berikut: a. Judul Skripsi:
13
“Kedudukan Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya Diketahui Berasal dari Tindak Pidana Korupsi”.15 b. Perumusan Masalah: Bagaimanakah kedudukan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya (predicate crime) diketahui hasil dari tindak pidana korupsi, sedangkan tindak pidana asal tersebut telah diadili dan memiliki kekuatan hukum yang tetap? Apakah suatu tindak pidana korupsi yang telah terbukti di persidangan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap dan uang hasil tindak pidana korupsi yang ditransfer tersebut telah disita oleh pengadilan dapat dikenakan sebagai tindak pidana pencucian uang? Bagaimanakah jika perbuatan mentransfer dana dari hasil tindak pidana korupsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari tindak pidana korupsi, apakah perbuatan mentransfer dana hasil tindak pidana korupsi tersebut dapat dikenakan tindak pidana pencucian uang atau menjadi bagian dari tindak pidana korupsi? Bagaimanakah penerapan doktrin perbarengan perbuatan pidana atau perbuatan pidana berlanjut dalam kasus tindak pidana korupsi yang hasilnya ditransfer melalui jasa perbankan? c. Hasil Penelitian: Penulisan Hukum dengan judul “Kedudukan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Tindak Pidana Asalnya Diketahui Berasal Dari Tindak 15
Aqidatul Awwami, 2011, “Kedudukan Tindak Pidana Pencucian Uang yang Tindak Pidana Asalnya Diketahui Berasal dari Tindak Pidana Korupsi”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
14
Pidana Korupsi” mengungkapkan mengenai kedudukan tindak pidana pencucian uang, modus operandi, dan pengaturan hukumnya serta kedudukan terhadap tindak pidana korupsi yang mempunya kekuatan hukum tetap sebagai tindak pidana asalnya, serta penerapan doktrin concursus terhadap tindak pidana korupsi yang hasilnya diperoleh melalui media perbankan. d. Perbedaan: Penulisan Hukum tersebut fokus membahas mengenai kedudukan tindak pidana pencucian uang dimana tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi yang telah diadili dan terbukti. Sementara Penulisan Hukum yang Penulis lakukan membahas mengenai hubungan antara tindak pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana pencucian uang tanpa membatasi apa jenis tindak pidana asal (predicate crime) dan kesesuaian antara ketentuan mengenai pembuktian tindak pidana asal dengan asas legalitas. E.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari Penulisan Hukum ini adalah
sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penulisan Hukum ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan dan meningkatkan pemahaman tentang hukum pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia dan keterkaitannya dengan asas-asas dalam hukum pidana.
15
2. Manfaat Praktis Penulisan Hukum ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembentuk undang-undang dalam proses legislasi untuk tetap berpegang pada asas-asas dalam ilmu hukum. Selain itu, hasil Penulisan Hukum ini diharapkan mampu memberi manfaat bagi mahasiswa hukum lainnya.