1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Psikologi kriminal merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari psikologi (kondisi prilaku atau kejiwaan) si penjahat serta semua atau yang berhubungan baik langsung maupun tak langsung dengan perbuatan yang dilakukan dan keseluruhan-keseluruhan akibatnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat ditarik pemahaman bahwa ilmu psikologi kriminal merupakan suatu metode yang dipergunakan guna mengidentifikasi penyebab terjadinya kejahatan yang diakibatkan oleh kelainan perilaku atau faktor kejiwaan si pelaku tindak pidana. Psikologi kriminal dalam hal ini juga mempelajari tingkah laku individu itu khususnya dan juga mengapa muncul tingkah laku asosial maupun bersifat kriminal. Tingkah laku individu atau manusia yang asosial itu ataupun yang bersifat kriminal tidaklah dapat dipisahkan dari manusia lain, karena manusia yang satu dengan yang lainnya adalah merupakan jaringan dan mempunyai dasar yang sama. Menurut ahli-ahli ilmu jiwa bahwa kejahatan merupakan salah satu tingkah laku manusia yang melanggar hukum ditentukan oleh instansi-instansi yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. 1 Hal ini tidak lain disebabkan bahwa tingkah laku manusia yang sadar tidak mungkin dapat dipahami tanpa mempelajari kehidupan bawah sadar dan tidak sadar yang berpengaruh pada 1
Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 2007, hal. 18.
1
Universitas Sumatera Utara
2
kesadaran manusia. Oleh karena itu para ahli ilmu jiwa dalam ini mencoba untuk menganalisa tingkah laku manusia umumnya dengan cara membahas unsur-unsur intern dari hidup pada jiwa manusia itu, hal inilah yang dinamakan dengan structure of personality. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Perbuatan atau tingkah laku yang dinilai serta mendapat reaksi yang bersifat tidak disukai oleh masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan untuk muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat. 2 Kejahatan menurut J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodipuro dalam bukunya Paradox Kriminologi, sebagaimana dikutip oleh A.Gumilang, mengatakan bahwa kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh Negara. 3 Kejahatan seperti pembunuhan dalam beberapa tahun belakangan ini, tidak saja alat-alat yang digunakan untuk melakukan pembunuhan yang mengalami perubahan dan perkembangan, akan tetapi terhadap modus dan tata cara memotong-motong atau memisahkan anggota tubuh korban oleh pelaku kejahatan atau yang disebut mutilasi. Hal ini sangat menakutkan dan tidak berprikemanusiaan.
2
Ibid, hal. 25. A. Gumilang, Kriminalistik (Pengetahuan tentang Teknik dan Taktik Penyidikan), Angkasa, Bandung, 1993, hal. 4. 3
Universitas Sumatera Utara
3
Mutilasi (human cutting body) merupakan tindak pidana yang tergolong kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dalam bentuk pemotongan bagian-bagian tubuh tertentu dari korban. Apabila ditinjau dari segi gramatikal, kata mutilasi itu sendiri berarti pemisahan, penghilangan, pemutusan, pemotongan bagian tubuh tertentu. Dalam hal ini mutilasi itu sendiri diperkenankan dalam etika dunia kedokteran yang dinamakan dengan istilah amputasi yaitu pemotongan, bagian tubuh tertentu dalam hal kepentingan medis. Berdasarkan tinjauan sejarah, mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah melakukan budaya mutilasi dimana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas mereka, seperti suku-suku Aborigin, sukusuku Brazil, Meksiko, Peru, dan suku Conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum perempuan dimana tujuannya menjaga keperawanan mereka, yang sering disebut juga dengan female genital mutilation (FGM), merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang paling sensitif. 4 Pada kenyataannya,belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai filosofis, tetapi mutilasi sudah masuk kedalam modus operandi kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban, serta menghilangkan jejak dari para
4
Gilin Grosth, Pengantar Ilmu Bedah Anestesi, Prima Aksara, Yogyakarta, 2004, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
4
korban seperti kepala, tubuh dan bagian lain tubuh, yang kemudian bagianbagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah. Maraknya kasus mutilasi terjadi akhir-akhir ini diantaranya adalah vonis mati MA terhadap Rahmat Awafi yang membunuh istri dan anaknya. Mayat korban dimasukkan ke dalam koper dan kardus dan dibuang ke lokasi yang berbeda, dan juga kasus mutilasi yang dilakukan oleh tersangka Very Idham Henyansyah alias Ryan di Jombang dan kasus lainnya. 5 Maraknya modus mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor disamping untuk menghilangkan jejak, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi gangguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi tersebut, karena faktor ekonomi, karena faktor sosial atau juga karena faktor rumah tangga dari si pelaku mutilasi. Maraknya tindak pidana mutilasi sangatlah diperlukan peran dan tugas pihak-pihak
yang berwenang diantaranya Kepolisian, Kejaksaan
dan
Kehakiman. Paling penting adalah tugas Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal. Dalam pengungkapan sebab pembunuhan yang dilakukan dengan cara mutilasi atau memotong-motong korbannya sangat susah untuk dilakukan pengungkapan dikarenakan kondisi korban yang rusak dan banyaknya anggota tubuh yang hilang, ini membutuhkan kerja keras dari pihak Kepolisian. Kerja sama antara Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman dalam menyelesaikan kasus mutilasi dapat mewujudkan hukum dalam kenyataan, menjamin 5
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5182135ab88a4/ma-vonis-mati-pembunuhmutilasi, diakses pada tanggal 4 November 2015 jam 16.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
5
kepastian hukum, dan keadilan, sehingga memegang peranan penting dalam mewujudukan Negara hukum. Tindak pidana mengenai mutilasi yang menjadi bahan kajian dalam skripsi ini adalah mengenai Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 1549K/PID/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri (PN) Semarapura Nomor: 44/PID.B/2014/PN.Srp, melatar belakangi penulis untuk membahas lebih jauh mengenai motif tindak pidana mutilasi si pelaku dan bagaimana tinjauan psikologi kriminal dalam meneliti aspek-aspek kejiwaan pelaku serta faktorfaktor lain yang mempengaruhi pelaku. Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas suatu tulisan yang berjudul: “Mutilasi Ditinjau Dari Perspektif Psikologi Kriminal dan Penerapan Ketentuan Pidana Terhadap Pelaku Mutilasi (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1549K/PID/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Semarapura Nomor: 44/PID.B/2014/PN.Srp)”. B. Perumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut: 1. Faktor apakah yang menyebabkan pelaku melakukan mutilasi ditinjau dari sudut psikologi kriminal? 2. Bagaimana penerapan ketentuan pidana terhadap pelaku mutilasi dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1549K/PID/2009 dan Putusan PN Semarapura Nomor: 44/PID.B/2014/PN.Srp?
Universitas Sumatera Utara
6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan. 1. Tujuan Penulisan. Tujuan penulisan ini adalah: a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pelaku melakukan mutilasi. b. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana terhadap pelaku mutilasi di dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1549K/PID/2009 dan Putusan PN Semarapura Nomor: 44/PID.B/2014/PN.Srp. 2. Manfaat Penulisan. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu secara teoritis maupun praktis, yakni: a. Secara teoritis, yaitu dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mempunyai arti penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai tinjauan kriminologi dan psikologi kriminal dalam tindak pidana mutilasi; dan b. Secara praktis, yaitu sebagai sumbangan dan pedoman bagi pemerintah dan aparat penegak hukum khususnya kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam upaya pengembangan hukum nasional terhadap pencegahan dan penanggulangan tindak pidana mutilasi. D. Keaslian Penulisan. Penulisan skripsi yang berjudul “Mutilasi Ditinjau Dari Perspektif Psikologi Kriminal dan Penerapan Ketentuan Pidana Terhadap Pelaku Mutilasi (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1549K/PID/2009)
Universitas Sumatera Utara
7
dan Putusan Pengadilan Negeri Semarapura Nomor: 44/PID.B/2014/PN.Srp” ini adalah merupakan hasil penulisan dari penulis sendiri. Setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis tidak menemukan penulisan skripsi dengan tema yang sama yaitu skripsi ini yaitu mengenai kajian terhadap mutilasi ditinjau dari perspektif psikologi kriminal dan penerapan ketentuan pidana terhadap pelaku mutilasi. Kalaupun ada yang mirip, penulis yakin pembahasannya pasti berbeda. Atas dasar itu penulis akan mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini secara ilmiah. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kriminologi dan Psikologi Kriminal. 1.1. Kriminologi. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan kata “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. 6 Beberapa sarjana memberikan defenisi berbeda mengenai kriminologi ini. Salah satu di antaranya adalah Sutherland, 7 yang merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat
6
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persana, Jakarta, 2012, hal. 9. 7 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
8
sebagai gejala social (the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon).
Menurut
Sutherland,
kriminologi
mencakup
proses-proses
pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu: 8 a. Sosiologi hukum, yaitu Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Di sini menyelidiki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum. b. Etiologi kejahatan, yaitu merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari kejahatan. Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama. c. Penology, yang pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif. Wood 9 mendefenisikan kriminologi sebagai ilmu yang meliputi segala pengetahuan yang diperoleh baik oleh pengalaman, maupun teori-teori tentang kejahatan dan penjahat serta pengetahuan yang meliputi reaksi-reaksi masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan itu. Sementara itu, Bonger memberikan defenisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan
8
Ibid.
9
Ridwan dan Ediwarman, Asas Asas kriminologi, USU Press Medan, Medan, 1994. hal.
1.
Universitas Sumatera Utara
9
seluas-luasnya. Melalui defenisi ini, Bonger lalu membagi kriminologi murni mencakup: 10 a. Antropologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya. b. Sosiologi kriminil, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat. c. Penology, yaitu ilmu yang tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman. d. Psikopatologi dan Neuropatologi kriminil, yaitu
ilmu tentang penjahat
yang sakit jiwa atau urat syaraf. e. Psikologi Kriminil, yaitu
ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang
dilihat dari sudut jiwanya. Di samping itu terdapat kriminologi terapan yang berupa: 11 a. Higiene Kriminil, yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan.
10
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op.Cit. hal. 9.
11
Ibid. hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
10
b. Politik Kriminil, yaitu usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Di sini dilihat sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan pekerjaan. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi. c. Kriminalistik (policie scientific), yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan. Dari definisi para ahli tersebut diatas, kita melihat adanya persamaan pendapat dan pandangan sedikit banyaknya dapat kita mengambil suatu kesimpulan bahwa kriminologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari serta menyelidiki maupun membahas masalah kejahatan baik mengenai pengertiannya, bentuknya, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya, dan penyelidikan terhadap suatu kejahatan maupun hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kejahatan itu. 12 Secara umum kriminologi bertujuan untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenal fenomena kejahatan dengan lebih baik. Pada konferensi tentang pencegahan kejahatan dan tindakan terhadap delinkuen yang diselenggarakan oleh International Non Govemmental Organizations atas bantuan PBB di Jenewa pada 17 Desember 1952, antara lain memberi rekomendasi agar kriminologi diajarkan
12
Ridwan dan Ediwarman, Op.Cit. hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
11
di Universitas yang lulusannya akan bekerja dalam bidang penegakan hukum, seperti polisi, pengacara, jaksa, hakim, dan juga pegawai pemasyarakatan. 13 Sejak kelahirannya, hubungan kriminologi dengan hukum pidana sangat erat, artinya hasil-hasil penyelidikan kriminologi dapat membantu pemerintah dalam menangani masalah kejahatan, terutama melalui hasil-hasil studi di bidang etiologi kriminal dan penologi. Disamping itu, dengan penilitian kriminologi dapat
dipakai
untuk
membantu
membuat
undang-undang
pidana
atau
kriminalisasi, sehingga kriminologi sering disebut sebagai “signal-wetenschap”. Bahkan aliran modern yang diorganisasikan oleh von Liszt menghendaki kriminologi berhubungan dengan hukum pidana sebagai ilmu bantunya agar bersama-sama menangani hasil penyelidikan “politik kriminal” sehingga memungkinkan memberikan petunjuk jitu terhadap penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya yang semuanya ditujukan untuk melindungi warga Negara yang baik dari penjahat.
14
Dalam studi Kriminologi, kejahatan dirumuskan
sebagai: tiap kelakuan/tindakan yang merusak/merugikan dan asusila yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat sehingga masyarakat itu sendiri berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut. 15
13
I.S.Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011. hal. 2.
14
Ibid, hal. 20.
15
Ridwan Hasibuan, Kriminologi dalam Arti sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, Universitas Sumatera Utara Press, Medan, 1994, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
12
Dari uraian diatas, secara umum dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa obyek studi dalam kriminologi mencakup tiga hal yaitu kejahatan, penjahat dan reaksi masyarakat terhadap keduanya. 16 1. Kejahatan. Untuk mempelajari dan meneliti kejahatan menurut hukum (yuridis) dan menurut non hukum atau menurut sosiologis. a. Kejahatan menurut hukum (yuridis). Menurut Sutherland, kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh Negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. Dengan mempelajari dan meneliti perbuatan- perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan (tindak pidana). Dalam kongres ke5 tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggaran hukum, yang diselenggarakan oleh badan PBB pada bulan September 1975 di Genewa memberikan rekomendasi dengan memperluas pengertian kejahatan terhadap tindakan penyalahgunaan kekuasaan ekonomi secara melawan hukum (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan lingkungan, penyelewengan dalam bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan perusahaan transnasional, pelanggaran terhadap peraturan pajak dan terhadap “penyalahgunaan kekuasaan umum secara melawan hukum” (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap HAM. Kejahatan menurut hukum dikelompokan dalam istilah conventional crime yaitu kejahatan (tindak pidana) yang dicantumkan dalam KUHP. Istilah victimless crime (kejahatan tanpa
16
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. Op.Cit. hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
13
korban), meliputi tindak pidana korupsi, pelanggaran pajak, penyalahgunaan wewenang dan lain-lain yang dilakukan oleh tingkat elite atau high class atau dikenal dengan istilah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Istilah corporate crime adalah kejahatan badan-badan usaha. Istilah new demention crime dan mass crime (kejahatan massa). 17 b. Kejahatan menurut Non hukum (yuridis) atau kejahatan menurut sosiologis. Kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang di ciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi memiliki pola yang sama. Gejala kejahatan terjadi dalam proses interaksi antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan kelompokkelompok masyarakat mana yang memang melakukan kejahatan. Kejahatan tidak semata-mata
dipengaruhi
oleh
kepentingan-kepentingan
pribadi
atau
kelompoknya, sehingga perbuatan-perbuatan tersebut merugikan kepentingan masyarakat luas, baik kerugian materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia, walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana. 18 2. Pelaku atau penjahat. Penjahat atau pelaku kejahatan merupakan para pelaku pelanggar hukum pidana dan telah diputus oleh pengadilan atas pelanggarannya dan dalam hal ini dalam hukum pidana dikenal dengan istilah narapidana. Dalam mencari sebabsebab kejahatan, kriminologi positive, dengan asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan penjahat, perbedaan mana ada pada aspek biologik, 17
Abdussalam, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta, 2007, hal. 15
18
Ibid, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
14
psikologis maupun sosio-kultural. Oleh karena itu dalam mencari sebab-sebab kejahatan dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana, dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologiknya (determinis biologic) dan aspek kultural (determinis cultural). Keberatan utama terhadap kriminologi positivis, bukan saja asumsi dasar tersebut tidak pernah terbukti, akan tetapi kejahatan adalah konstruksi sosial. Di dalam perkembangannya studi terhadap penjahat ini diperluas dengan studi tentang korban kejahatan. B. Mendehlson mengkhendaki victimologi terlepas dari kriminologi, tetapi hal ini kurang beralasan untuk melepaskan victimologi dari kriminologi. 19 3. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan, pelaku dan korban kejahatan. Dalam hal ini mempelajari dan meneliti serta membahas pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas,tetapi undang-undang belum mengaturnya. Berdasarkan studi ini bisa menghasilkan apa yang disebut sebagai kriminalisasi, dekriminalisasi atau depenalisasi. Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini bagi masyarakat sangat penting antara lain karena KUHP merupakan peninggalan peerintahan kolonial. Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku dengan nilai-nilai sosialnya yang berbeda-beda, adanya wilayah yang sangat luas dengan tingkat kemajuan yang berbeda-beda serta pengaruh industrialisasi dan perdagangan pada
19
Ibid, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
15
akhir-akhir ini telah muncul fenomena kejahatan dan kejahatan yang baru. Sedangkan terhadap penjahat yaitu mempelajari, meneliti dan membahas pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan masyarakat terhadap pelaku kejahatan atau penjahat. Bidang ini dipelajari oleh penologi. Selain itu juga studi ini juga diarahkan untuk mempelajari proses bekerjanya dan pembuatan hukum, khususnya bekerja aparat penegak hukum. Bagaimana reaksi masyarakat terhadap kejahatan atau tindak pidana umum (conventional crimes), tindak pidana korupsi, tindak pidana korporasi yang termasuk white collar crime, tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana tanpa korban (victimless crime). Reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan terhadap semua jenis kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan baik pada pengamanan diri korban, lingkungan yang memberikan kesempatan atau peluang pada setiap orang yang semula tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan, akhirnya orang tersebut melakukan kejahatan karena adanya kesempatan atau peluang dari korban kejahatan. 20 1.2. Psikologi Kriminal. a. Pengertian Ilmu Psikologi. Menurut asal katanya psikologi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu dari kata “psyche”, yang berarti jiwa dan kata “logos (ology)” yang berarti ilmu pengetahuan. 21 Jadi, secara etimologis psikologi berarti ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari tentang jiwa baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. 20
Ibid, hal. 18
21
Chainur Arrasjid, Pengantar Psikologi Kriminal, Yani Corporation, Medan, 2007, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
16
Namun ada beberapa ahli yang kurang sependapat bahwa pengertian psikologi itu benar-benar sama dengan ilmu jiwa, walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama, perbedaannya terletak pada: 22 1) Ilmu Jiwa: a) Merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan dikenal setiap orang; b) Meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khayalan dan spekulasi mengenai jiwa; c) Istilah Ilmu jiwa menunjukkan kepada ilmu jiwa pada umumnya; 2) Psikologi: a) Merupakan istilah ilmu pengetahuan atau scientific yang dipakai untuk menunjukkan kepada pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah; b) Meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi syaratsyaratnya seperti yang dimufakati sarjana-sarjana psikologi padasekarang ini; c) Istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern. Secara umum psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia atau ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia. Namun jelas bahwa yang disebut dengan ilmu jiwa belum tentu 22
Djoko Prokoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahapan Penyidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 113-114.
Universitas Sumatera Utara
17
termasuk psikologi. Akan tetapi, setiap berbicara tentang psikologi termasuk dalam ilmu jiwa. b. Pengertian Psikologi kriminal. Jika kita perhatikan batasan-batasan yang pernah dikemukakan oleh para psikolog yang berminat dalam bidang ini, ternyata mereka mendasarkan suatu pendapat tentang adanya hubungan perbuatan dengan jiwa manusia dan pelakunya. Di antaranya adalah Crow dan Crow, yang mengemukakan bahwa psikologi itu merupakan pelajaran tentang diri (the study of self). Self adalah organisasi yang hidup dan dinamis yang senantiasa mempengaruhi serta dipengaruhi oleh diri-diri yang lain (selves). Woodworth menyatakan juga bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang aktivitas-aktivitas daripada individuindividu di dalam hubungannya dengan lingkungan.Pengertian aktivitas ini adalah dalam pengertian luas, mencakup pengertian antara lain pengertian motoris (berjalan, berlari), cognitive (melihat, berpikir) dan emosional (bahasa, duka cita). Sementara itu, Noach menyatakan psikologi kriminil adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat di pandang dari ilmu jiwa yaitu mengenai perorangan dan kelompok/masa (jiwa, tersangka, saksi, pembela, penuntut, hakim, kondisi psikologis,dll). 23 W.A. Bonger sehubungan dengan psikologi kriminil yakni psikologi kriminil dalam arti sempit dan psikologi kriminil dalam arti luas. Psikologi kriminil dalam arti sempit meliputi pelajaran jiwa si penjahat secara perorangan.
23
Kartini Hartono, Psycology abnormal, Alumni Bandung, Bandung, 1981, hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
18
Dalam arti luas meliputi dalam arti sempit serta jiwa penjahat pergolongan, terlibatnya seseorang-golongan baik langsung maupun tidak langsung serta akibat-akibatnya. c. Perkembangan Psikologi Kriminal. Pada mulanya ahli-ahli psikiatri memegang peranan penting dalam memberikan dasar perkembangan ilmu pengetahuan ini. Hal tersebut dapat dilihat tentang kondisi dan situasi pada awal abad ke- 18 Masehi sampai dengan abad 19 Masehi.Seperti P.H. Pinel seorang psikiater berbangsa Prancis yang hidup sekitar tahun 1745 – 1826 yang kemudian mendapat dukungan dari aliram prikemanusiaan telah memperhatikan nasib orang gila dianggap atau diperlakukan sebagai penjahat. Maksudnya orang gila dianggap sebagai orang merdeka yang dapat bertindak atau berkemauan bebas, atau dengan kata lain mereka dapat berbuat sesuai kehendaknya. Albert A. Ehrenzweig, guru besar di Universitas Kalifornia, Berkeley dalam bukunya yang di terbitkan pada tahun 1971 dengan tegas diberi judul ”Psychoanalityc Jurisprudence”. Ehrenzweig menjadikan Freud sebagai titik pusat untuk mengupas semua pemikiran tentang hukum. Freud dianggap sebagai seorang yang mampu memutar-balikkan anggapan-anggapan dan pemikiranpemikiran manusia, sehingga timbul zaman baru dalam ilmu, khususnya di bidang psikologi. Ehrenzweig melihat kebaruan tersebut sebagai sesuatu yang bisa juga dipakai dalam bidang kritik teori hukum, yaitu dengan mengupas apa yang selama ini diperdebatkan di kalangan para teoritis sehingga menghasilkan berbagai jenis aliran dan pendekatan dalam ilmu hukum itu. Dengan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
19
psychoanalysis mengaitkan dengan persoalan superego, ego, Ehrenzweig mengupas soal keadilan, pemidanaan dan sebagainya. 24 Paul Johan Anselm Feurbach dengan tulisannya yang berjudul “merkwurdige Kriminirechtsfalle” (1980). Beliau adalah pencipta asas Nullum delictum nulla puna sinaepravia lege poenali yang merupakan batu penjuru bagi hukum pidana. Indonesia juga menganut azas ini sesuai tertera dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana. Beliau juga menganut teori “psychologische zwang” yang mengatakan bahwa ancaman-ancaman hukuman yang dicantumkan di dalam hukum pidana sangat perlu karena sesuatu ancaman hukuman dapat menimbulkan suatu contramotif yang merupakan suatu tekanan pada jiwa. J.G.G. Schauman dalam bukunya “ideenzuiner kriminil psychologie” sebagaimana dikutip Chainur arrasjid, Suatu catatan bahwa dimasa tokoh ini perlu diperhatikan beberapa faktor antara lain: 25 1) Psikologi umum sebagai ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman masih belum maju. 2) Adanya pendapat bahwa penjahat adalah orang yang sudah gila. 3) Munculnya aliran anthropologi kriminil yang dipelopori Gall & Spuzheim dan kemudian dengan tokoh terkenalnya Lombroso. Meskipun mengalami kemacetan dan hambatan kemudian H. Gross telah membangunkan kembali psikologi kriminil dari tidurnya. Bukunya “Handbuch fur Untersuchungs Aichter” (1873) telah diterbitkannya serta dicetak berulang kali. Kemudian E. Wulfen menerbitkan pshychologie des verbrechers 24
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 353.
25
Chainur Arrasjid, Op Cit, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
20
(1908) dan M. Kaufmann dengan bukunya “die psychologie und verbrechers” (1912). Di Jerman dan Austria misalnya Th. Reix di tahun 1952 mengeluarkan “Gestandrisszwang und strafbedurfnis” serta F. Alexander dan H. Staub pada tahun 1928 dengan “Verbrecher und Seine Richter”. Begitu juga H.W. Gruhle dengan dua buah bukunya yaitu “Heidelberger Abhanslungen” dan “Die Ursachen der jugendlichen Verwahrlasung und Kriminalitat”. Di Amerika Serikat dikenal juga penelitian dalam bidang ini seperti Augusta Bronner, W. Healy, W. Bromberg dan C. Murchison. Setelah perang dunia kedua aliran Groningen di Negeri Belanda menunjukkan kemundurannya, tetapi kemudian D. Wiersma anak guru besar E.B. Wiersma pada saat-saat tahun 1941 telah membicarakan lagi pendapat-pendapat aliran tersebut.Pada waktu belakangan ini mulai tampak lagi adanya unsur-unsur psikologis yang dipergunakan dalam bidang kriminologi dan pertimbanganpertimbangan psikologis seta pertimbangan-pertimbangan kehakiman di samping unsur-unsur lainnya.Dengan terbitnya buku “Psychiatry and Law” yang diterbitkan atas kerja sama Manfred S. Guttmacher selaku chief Medical Officer dari Supreme Of Maltimore dengan Prof. Henry weichefen seorang ahli bidang hukum tahun1952, maka buku tersebut merupakan kombinasi antara hukum dan psikologi.Di samping itu, tidak ketinggalan David Abrahamsen,M.D yang menerbitkan bukunya dengan judul “Psychology of Crime” dalam buku tersebut beliau mencoba berusaha untuk mengetengahkan masalah-masalah kejahatan dengan pendekatan-pendekatan psikologis.
Universitas Sumatera Utara
21
Selanjutnya menjadi pemikiran bagi kita seberapa jauh pula perkembangan ilmu ini dan penerapannya di Indonesia. Suatu catatan bahwa Pusdiklat
Kejaksaan
Agung
di
Jakarta
telah
mempeloporinya
dengan
mencantumkan dalam kurikulumnya dan di Fakultas Hukum USU sudah dimulai sejak ajaran 1969 di jurusan hukum pidana. d. Psikologi perkembangan dan kaitannya dengan psikologi kriminil. Dalam rangka membahas psikologi kriminil ternyata psikologi perkembangan memegang peranan penting. Ilmu pengetahuan ini merupakan salah satu ilmu pembantu utama dari lingkungan psikologi sehubungan dengan pembahasan psikologi kriminil.Seperti diketahui masalah utamanya dipelajari dalam hal ini adalah tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia itu meliputi pelajaran tentang pengamatan, perasaan dan kehendak. Psikologi kriminil dalam hal ini juga mempelajari tingkah laku individu itu, khususnya mengapa muncul tingkah laku a-sosial maupun bersifat kriminil. Sedangkan jiwa manusia itu sendiri adalah suatu hal yang sangat abstrak sekali. Tingkah laku manusia yang a-sosial maupun yang berifat kriminil tidaklah dapat dipisahkan dari manusia lain karena manusia yang satu dengan lainnya adalah merupakan suatu jaringan yang mempunyai dasar yang sama. Walaupun tingkah laku a-sosial maupun kriminil ini merupakan tingkah laku yang normal yang ada pada diri manusia tetapi sebagai manusia yang berfikir, bermasyarakat dan berbudaya sudah semestinya harus ditegakkan atau diusahakan untuk tidak membuatnya.
Universitas Sumatera Utara
22
Dengan mendalami psikologi perkembangan, maka deviasi-deviasi tingkah laku manusia dapat dicegah. Karena itulah psikologi perkembangan merupakan salah satu dasar utama mengatur pembahasan psikologi kriminil. Psikologi dalam pun tidak dapat diabaikan begitu saja, walaupun jiwa manusia itu sangat sukar dipelajari, tetapi sebagai pedoman pendapat-pendapat tentang alam sadar dan tak sadar dari manusia perlu dipelajari. Mempelajari dan memahami tngkah laku manusia atau individu yang sadar tidak mungkin tanpa mempelajari kehidupan bawah sadar, Menurut psikologi-dalam kesadaran adalah suatu kualitas psikhis saja. Sedangkan psikhis itu sendiri mempunyai kualitas-kualitas sadar, bawah-sadar, dan tak-sadar. Menurut psikologi perkembangan, bahwa selama kehidupan manusia ternyata manusia itu mengalami tiga kali gelombang masa kehidupan, yakni: 26 1) Masa progresif. Masa progresif adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang sebenarnya baik fisik maupun psikhis. Secara fisik maksudnya ialah sejak kelahiran manusia tumbuh menjadi manusia yang menanjak dewasa. Begitu juga psikhisnya atau hidup kejiwaannya berkembang dari fungsi yang paling sederhana mengarah ke fungsi yang kompleks. Kalau ditinjau dari usia masa progresif dapat dikatakan dari usia kelahiran 0 tahun sampai lebih kurang 20 tahun. Di mana manusia menemui dua kali masa krisis kehidupan yang merupakan lampu merah dalam hidup ini. Disebut masa krisis karena di masa itu terjadi
26
Ibid, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
23
kegoncangan-kegoncangan
kejiwaan
maupun
jasmaniah
yang
menempatkan seseorang itu dalam keadaan yang harus di perhatikan dan mendapatkan pengarahan atau bimbingan yang serius. 2) Masa stabil. Masa stabil, adalah karena masa ini tidak dapat lagi perubahanperubahan besar baik fisik maupun psikhis. Di masa ini adalah merupakan
pengkukuhan
dan
pemantapan
pada
masa-masa
sebelumnya. Masa stabil ini dimulai lebih kurang sejak usia 20 tahun sampai 40 tahun. 3) Masa regresif. Masa regresif adalah masa yang mengalami kemunduran baik fisik maupun psikhis. Penglihatan, pendengaran mulai berkurang, tenaga fisik mulai menurun dan tulang-tulang mulai rapuh, fungsi-fungsi mulai berkurang, seperti pikiran, perasaan dan kemauan begitu juga cita-cita dan sebagainya pada umumnya. Masa regresif ini dimulai lebih kurang pada usia 40 tahun dan seterusnya. Manusia mengalami dua masa krisis yakni masa krisis pertama dan krisis kedua. Pada dasarnya krisis pertama yang di alami manusia sekitar usia 2 sampai 4 tahun. Dimasa ini terdapat sifat egosentris, sebagian orang mengatakan anak timang-timangan. Jika sifat egosentris ini tidak di salurkan kemungkinan besar akan muncul kembali beberapa tahun sesudahnya. Di samping sifat egosentris, juga bersifat keras kepala dan dusta semua. Dusta semua disebabkan
Universitas Sumatera Utara
24
belum
dicapainya
differensisasi
antara
berbagai
fungsi
psikhis
yaitu
fantasi,ingatan, pengamatan serta lain-lainnya. Masa krisis kedua merupakan masa transisi dari kanak-kanak ke masa dewasa. Ditinjau dari jasmaniah ditandai dengan tumbuhnya bulu bulu pada bagian-bagian genital remaja dan tenaga-tenaga umumnya terbangun kuat. Segala potensi yang tadinya diam dan tenang, maka dimasa ini mulai bekerja dengan giat yang mengakibatkan terguncangnya suasana remaja. e. Psikologis-dalam dan keterkaitannya dengan psikologi kriminil. Menurut ahli-ahli ilmu jiwa-dalam bahwa kejahatan yang merupakkan salah satu dari tingkah laku manusia yang melanggar hukum ditentukan oleh instansi-instansi yang terdapat pada diri manusia itu sendiri. Maksudnya tingkah laku manusia pada dasarnya didasari oleh basic needs yang menentukan aktivitas manusia itu. Para ahli ilmu jiwa-dalam ingin mencoba untuk menganalisa tingkah laku manusia umumnya itu dengan cara membahas unsur-unsur intern dari hidup dan jiwa pada manusia itu, dinamakan oleh kebanyakan ahli dengan istilah “the structure of personality”. Istilah structure personality ini kita pergunakan dalam tulisan
ini
karena
penggunaanya
sudah
memasyarakatkan
dalam
ilmu
pengetahuan. Untuk mengemukakan dan mengupas tentang struktur personality, beberapa tokoh mengemukakan beberapa pendapat: 1) Sigmund Freud. Beliau dilahirkan di Freiburg, Mevaria di tahun 1856 M. Sejak usia empat puluhan beliau telah mencoba mengumpulkan data-data yang menuntunnya
Universitas Sumatera Utara
25
kearah suatu sistem psiko-terapi dengan jasa-jasa Joseph breuer. Sigmund Freud dan para ahli ilmu jiwa-dalam lainnya mencoba menganalisa tingkah laku manusia umumnya dengan cara membahas unsur-unsur intern kehidupan manusia. Mereka mencoba menjelaskan teka teki hidup, watak, tingkah laku manusia ini dengan cara menebak unsur-unsur intern tersebut. Walaupun Sigmund Freud dan kawan-kawannya tidak dapat menghubungkan dengan kejahatannya ini, tetapi manfaatnya besar sekali. Unsur-unsur intern kehidupan jiwa manusia dinamakan “struktur personality” yang terdiri atas tiga instansi, yakni: das Es, das Ich dan das uber ich. Penulis Amerika Serikat menyebutkan dengan istilah Id, Ego, Super Ego. Das Es menurut Freud adalah sumber sesuatu yang terlupa dan juga unsur-unsur kejiwaan yang dibawa bersama kelahiran ini misalnya instink/naluri yang mengatur pada organ fisik, seperti naluri pemusnahan atau destructive instinct. Di samping itu dikenal juga constructive instinct yang dinamakan libido. Das Es adalah alam tak sadar (das unbewuszte) yang merupakan libido terorganisir, yang berisikan dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan atau nafsu-nafsu tertekan yang ditolak oleh alam sadar.Das ich merupakan pusat seluruh perawakan jiwa dan khususnya inti dari alam sadar. Walaupun das ich merupakan jembatan gantung yang menghubungkan antara kebutuhan dan tindakan, juga menyadari keadaan-keadaan yang diluar dan di dalam diri, maka ia berusaha untuk menyusuaikan keinginan/nafsu dengan norma-norma atau realitas yang ada dengan cara menyesuaikan diri agar terhindar sebanyak mungkin konflik. Contohnya das es memberikan isyarat yang menyatakan adanya
Universitas Sumatera Utara
26
gangguan pada perut. Das ich mengerti bahwa isyarat tersebut tanda lapar. Kemudian das ich bertindak untuk memberikan keputusan seperti apa dikehendaki das es. Norma-Norma dan tata kehidupan alam norma/alam nilai mengawasi das ich tentang apa yang boleh diakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, juga ia menilai tentang apa yang dilakukan, yang sedang dilakukan
dan telah
dilakukan. Penilaian tersebut berupa teguran dan pula berupa mengizinkan melakukan.Tentang apa yang telah dilakukan das uber ich memberikan pujian atau mencela. Das uber ich (super ego) ini sebenarnya terdiri dari ego ideal dan super ego, ego ideal dan super ego merupakan single function, yakni dapat dibedakan, tapi tidak dapat dipisahkan. Ego ideal bertujuan untuk mencapai kesempurnaan, oleh karena itu disamping ide, dia juga menyuruh melakukan sesuatu, agar ide tersebut tercapai. Sedangkan super ego hanya sekedar pencegahan dan larangan maka kalau dilanggar ia akan menghukum. 2) Alfred Adler. Alfred Adler adalah bekas murid S. Freud, walaupun akhirnya meninggalkan beberapa pendapat gurunya, dan kemudian mendirikan aliran Individual Psychology. Menurut istilah individual berarti tidak terbagi-bagi, dan merupakan suatu kekeliruan kalau meninjau individu sebagai sekedar unsur-unsur. Dalam hal ini beliau menitik beratkan pada totalitas daripada individu. Pengertian individu di sini adalah individu yang berjiwa. Berjiwa adalah tiap keadaan hidup yang dapat menunjukkan kebebasan gerak. Dalam kebebasan gerak ini, ia berfungsi dari yang primair sampai kepada gejala-gejala yang lebih komplek,
Universitas Sumatera Utara
27
seperti
bertahan
dan
menyelamatkan
diri.
Jadi
sifat
dari
jiwa
itu
bertujuan/teleologis. Adler mengatakan lebih dahulu ada masyarakat baru ada individu. Terhadap masyarakat, individu itu tidak netral. Gambaran individu mengenai dirinya sebenarnya merupakan kesimpulan dari pandangan masyarakat terhadap dirinya. Tiap individu mempunyai perasaan kemasyarakatan, tetapi di dalam masyarakat tersebut individu itu tidak hilang nilainya sebagai individu. Juga individu mempunyai perasaan ingin lebih daripada individu-individu yang lain.Jadi kedua azas ini yakni perasaan masyarakat dan perasaan ingin lebih, bertentangan dan dapat menimbukan ketegangan pada individu. Supaya hal ini jangan terjadi harus ada keseimbangan/equilibrium. Dan salah satu perasaan itu tidak boleh lenyap. Keduanya harus berjalan sejajar, karena sekiranya perasaan masyarakat saja unggul akan melenyapkan individu dan juga sebaliknya. 2. Tindak Pidana Terhadap Jiwa dan Mutilasi. Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen bet leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. 27 Tindak pidana terhadap nyawa dalam KUHP dimuat pada Bab XIX dengan judul “Kejahatan Terhadap Nyawa Orang” yang diatur dalam pasal 338 sampai dengan pasal 350.Mengamati pasal-pasal tersebut maka KUHP mengaturnya sebagai berikut: a. Kejahatan yang ditunjukkan terhadap jiwa manusia; 27
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
28
b. Kejahatan yang ditunjukkan terhadapa jiwa anak yang sedang/baru dilahirkan; c. Kejahatan yang ditunjukkan terhadap anak yang masih dalam kandungan. Dilihat dari segi “kesengajaan” (dolus) maka tindak pidana terhadap nyawa terdiri atas: a. Yang dilakukan dengan sengaja; b. Yang dilakukan dengan sengaja disertai kejahatan berat; c. Yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu; d. Atas keinginan yang jelas dari yang dibunuh; e. Menganjurkan atau membantu orang untuk bunuh diri Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut pada hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut: a. Dilakukan dengan sengaja, yang diatur Bab XIX; b. Dilakukan karena kelalaian/kealpaan, diatur Bab XXI; c. Karena tindak pidana lain, mengakibatkan kematian; yang diatur antara lain Pasal 170, Pasal 351 ayat (3), dan lain-lain. Kejahatan terhadap nyawa ini disebut delik materil yakni delik yang hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul, tanpa menyebut cara-cara yang menimbulkan akibat tersebut.Kejahatan terhadap nyawa dimuat dalam KUHP adalah sebagai berikut: 1. Pembunuhan (Pasal 338); 2. Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339); 3. Pembunuhan berencana (Pasal 340); 4. Pembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341);
Universitas Sumatera Utara
29
5. Pembunuhan bayi berencana (Pasal 342); 6. Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344); 7. Membujuk atau membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345); 8. Pengguguran kandungan oleh izin ibunya (Pasal 346); 9. Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347); 10. Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya (Pasal 348); 11. Dokter/bidan/tukang obat yang membantu pengguguran/matinya kandungan (Pasal 349). Pengertian Mutilasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mutilasi adalah proses atau tindakan memotong-motong (biasanya) tubuh manusia atau hewan. 28 Dalam membahas mengenai terminologi kata atau istilah mutilasi memiliki banyak penafsiran makna dengan amputasi sebagaimana yang sering di pergunakan dalam istilah medis kedokteran. Menurut beberapa sarjana peristilahan mutilasi dapat diartikan dalam terminologi sebagai berikut: 1. Zac Specter: 29 Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan satu atau beberapa bagian tubuh manusia tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
28
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat.
29
Gilin Grosth, op.cit , hal.73.
Universitas Sumatera Utara
30
2. Ruth Winfred: 30 Mutilasi atau amputasi atau disebut juga flagelasi adalah pembedahan dengan membuang bagian tubuh. 3. Definisi Black Law Dictionary: 31 Memberikan definisi mengenai mutilasi (mutilation) sebagai the act cutting off maliciously a person’s body,esp. to impair or destroy the vistim’s capacity for self defends. Berdasarkan definisi di atas maka dapat dipahami bahwa mutilasi atau amputasi adalah suatu keadaan, kegiatan yang sengaja memisahkan, memotong, membedah, membuang satu atau beberapa bagian tubuh yang menyebabkan berkurang atau tidak berfungsinya organ tubuh. Definisi terhadap mutilasi atau amputasi itu sendiri memiliki perbedaan dengan kategori tindak pidana mutilasi, selain di karenakan kepentingan medis terhadap keselamatan jiwa individu juga terdapat beberapa ciri atau karakteristik mendasar yang membedakannya dengan tindak pidana mutilasi yaitu adanya indikasi bedah amputasi berupa: 32 a. Iskemia karena penyakit rekularisasi perifer, biasanya pada orang tua seperti orang yang terkena artheroklerosis dan diabetes melitus. b. Trauma amputasi, bisa diakibatkan karena perang, kecelakaan, thermal injury seperti terbakar, tumor infeksi, gangguan metabolisme seperti pagets disease dan kelainan congenital.
30
Supardi Ramlan, Patofisiologi Umum, Rineka Cipta, Bandung, 1998, hal. 35.
31
Bryan Garner, Black Law Dictionary, Oxford University, 1999, hal. 127.
32
Ibid, hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
31
Di samping itu di dalam bedah mutilasi itu sendiri mempergunakan metode secara tersistematis sehingga berbeda dengan tindak pidana mutilasi, yaitu sebagai berikut: 33 a. Metode terbuka (guillotine amputasi). Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang mengembang. Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi. b. Metode tertutup (flap amputasi). Pada metode ini kulit tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang diamputasi. Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik suatu pemahaman jelas mengenai definisi mutilasi dalam kepentingan medis. Mutilasi memiliki beberapa dimensi, seperti dimensi perencanaan (direncanakan-tidak direncanakan), dimensi pelaku (individu-kolektif), dan dan dimensi ritual atau inisiasi, serta dimensi kesehatan atau medis. Dengan demikian perbuatan memutilasi tidak dapat dipukul rata sebagai tindakan kriminal yang dapat dikenakan sanksi pidana. Secara umum tindak pidana mengenai mutilasi dibagi menjadi dua bagian yaitu: 34 a. Mutilasi defensif (defensive mutilation) atau disebut juga sebagai pemotongan atau pemisahan anggota badan dengan tujuan untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi. Motif rasional dari pelaku adalah untuk menghilangkan
33
Ibid, hal. 43.
34
Karger Rand, The act of mutilation, Bloomington university, 1994, hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
32
tubuh korban sebagai barang bukti atau untuk menghalangi indentifikasinya potongan tubuh korban. b. Mutilasi ofensif (offensive mutilation) adalah suatu tindakan irasional yang dilakukan dalam keadaan mengamuk, “frenzied state of mind”. Mutilasi kadang dilakukan sebelum membunuh korban. Untuk dapat dikategorikan mutilasi sebagai tindak pidana dipergunakan kategori bahwa sebuah tindakan haruslah menemui beberapa persyaratan, yaitu tindakan telah tersebut didalam ketentuan hukum sebagai tindakan yang terlarang baik secara formil atau materil itu mengikuti KUHP sebagai pedoman bagi semua ketentuan hukum pidana nasional yang berlaku. KUHP membedakan tindak pidana
kedalam
dua
bentuk,
kejahatan
(misdrijven)
dan
pelanggaran
(overtredingen). Sebuah tindakan disebut kejahatan jika terdapat unsur-unsur jahat dan tercela seperti yang ditentukan didalam undang-undang. Sampai saat ini belum ada ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas, namun tidak berarti pelaku dengan bebas melakukan perbuatannya tanpa adanya hukuman. Tindak mutilasi pada hakekatnya merupakan tindakan yang sadis dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, meniadakan identitas korban oleh karena itu sangatlah jelas bahwa tindak mutilasi dikelompokkan ke dalam tindak pidana kejahatan. Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP sebenarnya memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai salah satu bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak pidana pembunuhan. Hanya saja dalam kasus yang sering terjadi jarang pelaku melakukan mutilasi
Universitas Sumatera Utara
33
bermotifkan penganiayaan, tindakan mutilasi sering kali terjadi sebagai rangkaian tindakan pembunuhan dengan tujuan agar bukti mayat tidak diketahui identitasnya. F. Metode Penelitian. 1. Jenis Penelitian. Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap peraturan perundangundangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis. 2. Data dan Sumber Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari: a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu Pasal 340 Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KUHP)
tentang
pembunuhan
berencana; b. Bahan hukum sekunder,
yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang mutilasi ditinjau dari perspektif psikologi kriminal dan penerapan ketentuan pidana terhadap pelaku mutilasi meliputi kasus dari Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung
Nomor:
1549K/PID/2009
dan
Putusan
Nomor:
44/PID.B/2014/PN.Srp), buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber
Universitas Sumatera Utara
34
ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini; c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 3. Metode Pengumpulan Data. Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundangundangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini. 4. Analisis Data. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) kemudian dianalisis. Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganilisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
35
G. Sistematika Penulisan. Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I
: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II
: Dalam bab ini diuraikan mengenai teori-teori penyebab terjadi kejahatan menurut kriminologi, teori-teori psikologi kriminal, serta penyebab terjadinya mutilasi di tinjau dari perspektif psikologi kriminal;
Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang penerapan ketentuan pidana terhadap pelaku mutilasi dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1549K/PID/2009 dan Putusan PN Semarapura Nomor: 44/PID.B/2014/PN.Srp; dan Bab IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara