BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Polusi atau pencemaran lingkungan adalah suatu peristiwa masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Undang-Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No 4 Tahun 1982). Secara istilah udara merupakan campuran berbagai macam gas yang tidak berwarna dan berbau (seperti oksigen dan nitrogen) yang memenuhi ruang di atas bumi seperti yang kita hirup pada saat bernapas. Adapun uraian campuran berbagai gas tersebut antara lain nitrogen sebesar 78%, oksigen sebesar 21% dan sisanya gas lain 1%. (Suarma, 2013). Wardhana (2001) mengatakan bahwa terjadinya pencemaran udara karena kehadiran zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan yang seharusnya dan dalam waktu yang cukup lama akan mengganggu kehidupan berbagai komponen lingkungan. Pencemaran udara disebabkan oleh aktivitas alam dan aktivitas manusia. Sumber polusi udara yang dikarenakan adanya aktivitas alam misalnya debu vulkanik hasil letusan gunung berapi, asap kebakaran hutan dan lain sebagainya. Sumber polusi udara
1 Universitas Sumatera Utara
2
yang dikarenakan adanya aktivitas manusia misalnya kegiatan industri, proses pembakaran, gas buangan pabrik dan transportasi dan merupakan penyebab terbesar terjadinya pencemaran udara (Fardiaz, 2006). Menurut Gusnita (2010), daerah perkotaan besar merupakan daerah yang rawan pencemaran timbal (Pb) karena pada perkotaan banyak terdapat industri dan adanya laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi yang pesat. Rachmariska (2009) menyebutkan bahwa 70% pencemaran udara di Indonesia disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor yang tidak terawat sehingga dapat mengeluarkan zat-zat berbahaya bagi kesehatan manusia maupun komponen lingkungan lainnya. Surani (2002) yang mengutip pendapat dari Environment Project Agency menyebutkan bahwa 25% logam berat timbal (Pb) akan tetap berada pada mesin kendaraan bermotor dan 75% lainnya akan mencemari udara di mana kendaraan itu berada, dengan pembagiannya 10% akan mencemari lokasi dalam radius kurang dari 100 meter, 5% dalam radius 20 kilometer dan sisanya akan terbawa oleh udara dalam jarak yang lebih jauh lagi. Mengingat jarak pergerakan timbal di udara untuk mencemari komponen lingkungan sekitarnya cukup jauh dan banyak ditemukan para pedagang gorengan yang mengolah dan menjajakan dagangannya di persimpangan jalan raya yang selalu padat akan lalu lintas kendaraan bermotor, dikhawatirkan kondisi di mana minyak yang digunakan oleh para pedagang tercemar oleh timbal yang merupakan hasil pembuangan kendaraan bermotor tersebut. Apabila minyak yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
3
sudah tercemar timbal, maka dapat dipastikan bahwa makanan yang digoreng menggunakan minyak tersebut juga sudah mengandung timbal. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengetahuan pedagang akan prinsip higiene sanitasi pengolahan makanan, seperti penggunaan minyak goreng secara berulang, penggunaan peralatan masak yang tidak higienis dari paparan timbal (Pb) karena terbuat dari bahan yang mengandung timbal atau mungkin sudah mengalami kontaminasi timbal (Pb) terlebih dahulu atau menggunakan wajan penggorengan berbahan dasar aluminium yang dilapisi dengan timbal untuk mencegah karat serta kebiasaan tidak menggunakan penghalang pada wajan penggorengan untuk menghindari kontaminasi dengan kontaminan yang terdapat pada udara sekitar lokasi dagangnya. Hasibuan (2012) dalam penelitiannya terhadap paparan timbal pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan yang berada di beberapa kawasan traffic light di kota Medan menyatakan bahwa semua sampel minyak goreng terbukti mengandung kadar timbal yang melewati baku mutu. Kondisi kedua adalah proses ketengikan minyak goreng yang merupakan salah satu bentuk penurunan kualitas minyak goreng. Proses ketengikan ini dapat disebabkan oleh aktivitas pemanasan minyak goreng pada suhu tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama, adanya kontak dengan udara dan material yang terkandung dalam udara, termasuk logam tertentu serta kontak langsung dengan air yang terkandung dalam bahan yang digoreng. Hal ini dapat menyebabkan terputusnya rantai triglesirida menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol yang sangat membahayakan tubuh.
Universitas Sumatera Utara
4
Menurut Sudarmaji (1982), sebagai indikator bahwa minyak atau lemak yang telah mengalami oksidasi sebagai tanda terjadinya proses ketengikan adalah dengan menentukan bilangan peroksida pada minyak atau lemak tersebut. Nilai ambang batas kandungan bilangan peroksida minyak goreng yang ditetapkan dalam SNI 01-3741 Tahun 2013 per 100 gram minyak adalah sebesar 10 mek O2 /kg minyak. Chairunissa (2013) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa kadar bilangan peroksida sebagai indikator ketengikan minyak goreng pada pedagang gorengan di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melewati baku mutu, yakni mencapai 15,11 mek O2 /kg. Secara umum, mengonsumsi makanan yang digoreng dengan minyak yang sudah mengalami proses ketengikan dapat mengakibatkan timbulnya gejala keracunan yang ditandai dengan iritasi saluran pencernaan, diare, pembengkakan organ tubuh, penyakit terkait pembuluh darah bahkan penyakit degeneratif berbahaya lainnya seperti kanker (Muchtadi, 1989). 1.2
Rumusan Masalah Banyaknya pedagang gorengan yang membuka usahanya di persimpangan
Kelurahan Kenangan yang sangat dekat dengan lalu lalang kendaraan bermotor dan kebiasaan menggunakan minyak goreng secara berulang serta membiarkan wajan penggorengan dalam keadaan terbuka dalam jangka waktu yang panjang dapat mengakibatkan 2 (dua) bahaya sekaligus, yaitu adanya cemaran logam berat timbal (Pb) pada minyak goreng dan terjadinya peristiwa ketengikan minyak goreng, sehingga diperlukan analisis mengenai kadar timbal (Pb) dan ketengikan yang dinyatakan dalam bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
5
secara berulang oleh pedagang gorengan di persimpangan di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan tahun 2015. 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) dan kadar bilangan peroksida
pada minyak goreng sebagai indikator kualitas minyak goreng yang digunakan secara berulang oleh pedagang gorengan di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan tahun 2015. 1.3.2
Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui kadar timbal (Pb) dan kadar bilangan peroksida sebagai indikator ketengikan, apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam SNI 01-3741 Tahun 2013.
2
Untuk mengetahui perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) para pedagang gorengan akan pencemaran timbal pada minyak goreng dan penggunaan minyak goreng bekas dalam proses penggorengan bahan makanan yang dijajakan.
Universitas Sumatera Utara
6
1.4
Manfaat Penelitian 1. Bermanfaat oleh masyarakat sebagai informasi seberapa aman makanan gorengan yang dijual di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan. 2. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang kadar cemaran timbal (Pb) dan ketengikan pada minyak goreng, khususnya cara penentuan kadar timbal (Pb) dan bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan di Kelurahan Kenangan Perumnas Mandala. 3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya sehingga penelitian ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dapat bermanfaat bagi khalayak ramai.
Universitas Sumatera Utara