BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang melanggar
hukum. Kejahatan yang terjadi di masyarakat saat ini tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, akan tetapi sering juga dilakukan oleh anak. Jika kita perhatikan dalam media cetak maupun elektronik kasus anak yang berhadapan dengan hukum cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dibuktikan berdasarkan data yang di dapat dari Dirjen Pemasyarakatan, jumlah anak yang berkonflik dengan dengan hukum pada tahun 2015 adalah 2735 anak, tahun 2016 berjumlah 2319 anak, dan pada Juni 2017 adalah 2593 anak (dalam smslap.ditjenpas.go.id, 14 Juni 2017). Berdasarkan data tersebut, dapat dinyatakan bahwa jumlah anak didik pemasyarakatan menurun pada tahun 2016 tetapi hal itu tidak dapat membuktikan bahwa program pembinaan anak didik pemasyarakatan berhasil karena pada bulan Juni 2017 anak didik pemasyarakatan di Indonesia mengalami peningkatan. Seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum sebenarnya bukan didasarkan kepada motif yang jahat, melainkan mereka hanya melakukan penyimpangan norma-norma sosial yang dianggap masyarakat sebagai “anak nakal” atau dengan istilah “Juvenile Delinquency”. Dengan istilah tersebut anakanak yang melakukan tindak pidana dapat terhindar dari golongan yang katakan sebagai penjahat (criminal).
1
2
Sambas (2013: 13) menyatakan bahwa: Secara etimologis, istilah Juvenile Delinquency berasal dari bahasa latih Juvenils yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja; dan Delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan. Kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Dengan demikian, Juvenile Delinquency adalah perilaku jahat/dursila atau kejahata/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Selanjutnya menurut Atmasasmita (dalam Haryanti, 2015: 18) juvenile delinquency adalah “setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap normanorma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.” Anak yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain latar belakang ekonomi keluarga yang tidak mampu memenuhi segala kebutuhan anak menyebabkan anak mencari pemenuhan kebutuhannya dari lingkungan luar, adanya dampak negatif dari arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, serta pengawasan dari orang tua. Anak yang seperti itu akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.
3
Seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum akan dihadapkan kepada tanggung
jawab
atas
perbuatannya.
Dengan
demikian
undang-undang
memungkinkan untuk melakukan penahanan di lembaga pemasyarakatan apabila si anak terbukti melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Sejalan dengan pendapat Jatnika (2015: 17) yang mengungkapkan bahwa “anak dengan perilaku menyimpang yang melanggar hukum akan dikenai sanksi dengan menyandang status sebagai Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan (Andikpas).” Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah “anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan yang dicabut kebebasan sipilnya ini, memiliki hak untuk diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai untuk meningkatkan martabat dan harga dirinya, yang dapat memperkuat penghargaan anak pada hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain sesuai dengan usianya. Anak yang berkonflik dengan hukum yang menyandang status sebagai anak didik pemasyarakatan merupakan insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya UU Pemasyarakatan) yang menyatakan bahwa: Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batasan serta cara pembinaan wargabinaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembinaan, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar
4
menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Anak yang berkonflik dengan hukum akan dibina di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (selanjutnya LPKA) Kelas I Medan. LPKA merupakan sarana perlindungan dan pembinaan bagi anak negara, anak sipil, dan anak pidana yang berdasarkan keputusan pengadilan. Sasaran akhir dari kehadiran lembaga pemasyarakatan adalah pembinaan. LPKA Kelas I Medan merupakan salah satu LPKA terbesar di Sumatera Utara. LPKA Kelas I Medan merupakan instansi Pemerintah dan sebagai pelaksana teknisi yang menampung, merawat dan membina anak yang berkonflik dengan hukum. Salah satu pembinaan yang ada di LPKA ialah pembinaan kemandirian yang meliputi program pembinaan keterampilan tertentu supaya kelak setelah masa hukuman mereka selesai, mereka mempunyai bekal keterampilan untuk mencari pekerjaan. Sehingga hal ini menjadi tanggung jawab LPKA dalam membekali anak didik pemasyarakatan. Pembinaan
keterampilan
itu
sendiri
bertujuan
untuk
membentuk
kemandirian anak didik pemayarakatan di bidang keterampilan kerja, yang sangat berguna bagi mereka setelah bebas dari LPKA. Dengan diberikannya pembinaan keterampilan bagi anak didik pemasyarakatan diharapkan mereka dapat menjadi manusia mandiri sehingga setelah mereka kembali ke masyarakat, mereka tidak akan menjadi penggangguran atau beban bagi orangtuanya serta mampu dengan mudah mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilan yang mereka peroleh selama di LPKA.
5
Berdasarkan hasil penelitian Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang didukung oleh UNICEF Indonesia (dalam Sambas, 2010: 118), menunjukkan bahwa: Pada bulan Januari sampai Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak, baik yang berada di rumah tahanan maupun di Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar (84,2 %) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Pada rentan waktu yang sama, yaitu Januari sampai Mei 2002, tercatat 9,465 anak-anak yang berstatus sebagai anak didik pemasyarakatan. Kemudian berdasarkan data yang di dapat melalui tahap observasi di LPKA Kelas I Medan, tercatat jumlah seluruh anak didik pemasyarakatan yang berkonflik dengan hukum juga mengalami peningkatan. Tabel 1 Data Jumlah Anak Didik Pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan No
Tahun
Jumlah
1
2015
637 Anak Didik
2
2016
513 Anak Didik
3
Februari 2017
548 Anak Didik
Sumber: Bagian Registrasi LPKA Kelas I Medan Bulan Februari 2017 Dalam tabel 1 tersebut dapat dilihat jumlah anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan yang berkonflik dengan hukum meningkat pada awal bulan Februari 2017 yaitu mencapai 548 anak didik pemasyarakatan. Sementara idealnya kapasitas dari LPKA ini hanya mampu menampung sekitar 423 anak didik pemasyarakatan. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa jumlah anak didik pemasyaratan di LPKA Kelas I Medan mengalami kelebihan kapasitas. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah sehingga pembinaan yang diberikan petugas LPKA tidak efektif.
6
Berdasarkan latar belakang masalah dan data awal yang ditemukan maka timbul ketertarikan penulis untuk mengadakan penelitian tentang “Sistem Pembinaan Keterampilan Anak Didik Pemasyarakatan Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Medan.” B.
Identifikasi Masalah 1.
Semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang berkonflik dengan hukum sehingga mereka dikenai sanksi dengan menyandang status sebagai anak didik pemasyarakatan di LPKA.
2.
Sistem pembinaan keterampilan anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan yang tidak efektif.
3.
Terbatasnya jumlah petugas LPKA dalam melaksanakan pembinaan keterampilan bagi anak didik pemasyarakatan.
4.
Faktor-faktor
yang
menjadi
penghambat
dalam
pembinaan
keterampilan anak didik pemasyarakatan LPKA. C.
Pembatasan Masalah 1. Sistem pembinaan keterampilan anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan . 2. Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pembinaan anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan .
D.
Rumusan Masalah 1.
Bagaimaana sistem pembinaan keterampilan bagi anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan?
7
2.
Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pembinaan anak didik pemasyarakatan di LPKA?
E.
Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui sistem pembinaan keterampilan anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam pembinaan anak
2.
didik pemasyarakatan di LPKA. F.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis : a. Memberikan masukan untuk memperkaya pemikiran dibidang ilmu sosial khususnya jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam mengkaji ulang serta memperbaiki dan meningkatkan layanan pembinaan keterampilan anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan. b. Meningkatkan
pengetahuan
dan
pengalaman
penulis
dalam
melaksanakan penelitian ilmiah dan menambah serta memperluas wawasan berfikir penulis dalam pembinaan keterampilan anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan. 2. Manfaat praktis : a.
Secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, baik itu bagi anak didik pemasyarakatan yang melakukan pembinaan keterampilan di LPKA Kelas I Medan dan supaya masyarakat dapat
8
menerima kembali anak didik pemasyarakatan yang telah menjalani pembinaan di LPKA Kelas I Medan. b.
Masukan bagi LPKA dan instansi terkait untuk mengevaluasi faktorfaktor penghambat dalam pembinaan anak didik pemasyarakatan di LPKA Kelas I Medan.