BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan
bermasyarakat, pada dasarnya istilah kejahatan itu diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat (Yurdan, 2010). Pada masyarakat praliterate (sebelum mengenal huruf), tindakan kejahatan diartikan sebagai semua perbuatan-perbuatan yang melawan kekuasaan-kekuasan supernatural atau yang melanggar kekuasaan Tuhan. Sedangkan setelah masa literate, kejahatan atau kriminalitas adalah bentuk tingkah laku yang dilarang oleh Undang-Undang dengan sanksi-sanksi hukuman tertentu (Kartono, 2009). Terhadap kejahatan, masyarakat berkehendak untuk memberantas dan mencegah, sedangkan terhadap pelaku kejahatan, masyarakat menumpahkan kebencian, sumpah serapah, cacian, serta mengasingkannya dari pergaulan (Atmasasmita, 1997). Berbicara mengenai kejahatan khususnya pembunuhan, dahulu orang membunuh dengan cara yang sederhana sehingga mudah terungkap oleh aparat kepolisian. Namun sekarang terjadi peristiwa pembunuhan dengan cara yang berbeda dan cukup sadis, yakni dengan cara mutilasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk di cari petunjuk mengenai identitas korban, serta menghilangkan jejak 1
2
dari para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian tubuh lain, yang kemudian bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah (Hasibuan, 2010). Mutilasi adalah pemotongan atau perusakan mayat, tidak jarang mempunyai motif kejahatan seksual, dimana tidak jarang tubuh korban dirusak, dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Maraknya metode mutilasi digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor baik itu karena kondisi psikis seseorang yang mengalami gangguan terhadap kejiwaannya sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak manusiawi, selain itu faktor sosial, faktor ekonomi, atau keadaan rumah tangga dari pelaku (Yurdan, 2010). Di dalam Hukum Pidana Indonesia belum ada undang-undang maupun peraturan yang secara khusus mengatur tentang kejahatan dengan cara mutilasi. Padahal beberapa tahun terakhir ini, marak terjadi kasus mutilasi di Indonesia (Yurdan, 2010). Berikut ini adalah beberapa contoh pembunuhan disertai mutilasi yang akhir-akhir ini banyak terjadi: Sabtu, 2 Maret 2013. Pelaku Benget cekcok dengan korban yang tidak lain istrinya, Darna Sri Astuti. Percekcokan itu terjadi sekitar pukul 12 malam. Benget menuduh korban telah berselingkuh dengan pria lain. Tak puas, Benget lalu memukul korban dengan benda tumpul. Mengetahui istrinya meninggal, Benget panik dan memutilasi jasad istrinya dan memasukkan ke kantong plastik, serta disimpan di kamarnya menjadi 5 potongan besar. Pelaku menyimpan potongan
3
tubuh korban di dalam kamarnya sampai 2 hari. Setelah disimpan selama 2 hari, Benget lalu berniat membuang potongan tubuh istrinya di jalan tol untuk menghilangkan jejak (www.metro.sindonews.com). Alansia membunuh dan memutilasi Tonny Arifin Djomin (45) di ruko nomor 26 D di Kompleks Apartemen Marina Mediterania Residences, Jakarta Utara karena sakit hati sering ditagih utang judi bola. Diketahui korban merupakan bandar judi bola. "Korban itu bandar judi bola, motifnya yang jelas itu, korban menagih utang tersangka karena kalah judi bola sampai teriak-teriak. Jadi tersangka malu dan sakit hati," Apalagi saat korban terus mendesak untuk melunasi utang judi bola sebesar Rp 200 juta tersebut dengan menggadaikan mobil pelaku. "Sebelum dibunuh, korban minta jaminan mobil BMW tersangka. (www.replubika.co.id). Nyawa Femmy Mantik (50), warga Desa Kombi, Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa, harus berakhir secara tragis di tangan anaknya sendiri, Ian. Ibu paruh baya ini dimutilasi putra sendiri. Peristiwa yang terjadi pada Jumat (16/11/2012) subuh lalu itu menggemparkan warga Kombi. Ian dengan tega memotong tangan serta kaki ibunya dengan sebilah parang hingga wanita paruh baya tersebut tewas mengenaskan. Peristiwa tersebut berawal ketika Femmy yang malam itu meminta Ian untuk tidur setelah selesai menonton acara televisi. Tanpa diduga, ketika Femmy tertidur lelap, sekitar pukul 02.00 Wita, Ian yang sudah membawa sebilah parang menyeret ibunya dari kamar ke ruang tengah. Di ruang tengah itulah, Ian lalu mengayunkan parang ke arah kepala ibunya. Korban berusaha menangkis serangan tersebut dengan tangan yang membuat tangan
4
kanannya putus seketika, melihat ibunya yang sudah terjatuh bersimbah darah tidak membuat tindakannya surut. Pelaku malah menyabet kedua kaki korban dengan parang yang tajam itu hingga putus. Setelah puas membantai ibunya sendiri, Ian kemudian melarikan diri (www.kompas.com). Dari beberapa kasus mutilasi yang dipaparkan diatas, jelas terlihat bahwa pembunuhan disertai mutilasi sudah banyak terjadi, namun belum ada tindak ketentuan khusus tentang tindak pidana mutilasi. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, tidak ada ketentuan Khusus tentang tindak pidana mutilasi. Tetapi yang ada hanya tentang tindak pidana pembunuhan pada umumnya saja, sesuai yang diatur dalam pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Maupun dalam pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun” (Yurdan, 2010). Dari penjelasan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penanganan kasus mutilasi disamakan dengan penanganan kasus pembunuhan biasa pada umumnya. Padahal jika dilihat dari tingkat kejahatan, mutilasi tergolong lebih sadis dibandingkan dengan pembunuhan pada umumnya. Kartono 2009, mengatakan mutilasi adalah pembunuhan kejam yang tidak memiliki belas kasihan dan perikemanusiaan, serta lebih kejam dari pembunuhan biasa.
5
Kejahatan yang telah dilakukan seseorang tentunya akan mendapat sanksi hukuman dan sanksi hukuma tersebut berupa penjara dan menjadi narapidana. Menurut kamus besar bahasa indonesia online, seseorang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana yang dilakukannya dinamakan terhukum atau disebut narapidana. Menurut undang-undang No.8 Tahun 1981 tenatng Hukum Acara Pidana, pengertian terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan pengertian narapidana adalah terpidana yang hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Yudianto, 2011). Harsono (1995), mempertegas bahwa narapidana adalah manusia yang tengah menjalani krisis, berada di persimpangan jalan, mengalami disosiasi dengan masyarakat dan tengah merencanakan kehidupan baru setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Haney (2002), menyatakan bahwa ketika seseorang pertama kali menginjakkan kaki ke dalam tembok penjara, ia dipaksa untuk mampu menyesuaikan diri dengan rutinitas penjara yang kasar dan kaku, hilangnya privasi, dan mengalami suatu kondisi kritis, tidak menyenangkan dan sulit. Cooke, Baldwin, & Howison (2008), menegaskan bahwa narapidana mengalami kehilangan beberapa hal yaitu (a) kehilangan kendali memilih hidup yang dijalani bahkan melakukan fungsi dasar seperti mencuci dan tidur yang berdampak pada, putus asa, frustasi, bingung, dan agitasi, (b) kehilangan keluarga dekat seperti anak dan suami, (c) kurangnya stimulasi kegiatan sehari-hari karena kegia-tan di lembaga pemasyarakatan cenderung monoton, (d) kehilangan panutan
6
terutama pada narapidana yang usia muda. Lembaga pemasyarakatan bisa merusak pribadi dan nilai moral dan menimbulkan kehilangan lain yaitu kehilangan harta pribadi, kehilangan jati diri, kehilangan otonomi serta individualitasnya karena setiap tindakan dan rutinitasnya selalu dikontrol. Dalam “Social Readjustment Rating Scale” (SRRS) yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe (1967), hukuman penjara menempati urutan keempat dalam skala urutan pengalaman hidup yang menimbulkan stress (dalam Sarafino, 2006). Dampak psikologis akibat dari pidana penjara jauh lebih berat dibandingkan dengan pidana penjara itu sendiri, sehingga sebenarnya narapidana tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis (Harsono, 1995). Bartollas (dalam Yudianto, 2011), menyatakan bahwa secara umum dampak kehidupan di penjara merusak kondisi psikologis seseorang. Beberapa perubahan hidup yang dialami oleh narapidana dapat membawa mereka
dalam
suatu
perasaan
ketidak
nyamanan
fisik
dan
psikis.
Ketidaknyamanan selama menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan akan berdampak pada psychological well-being narapidana. Psychological well-being dapat menjadikan gambaran mengenai level yang tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya (Synder & Lopez, 2002). Individu yang memiliki psychologicall well-being yang positif adalah individu yang memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi psychological well-being yang berkesinambungan. Pada intinya psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktifitas hidup sehari-hari. Perasaan
7
ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif misalnya, ketidak puasan hidup, kecemasan, merasa tertekan, rasa percayadiri yang rendah, dan sering berperilaku agresif, sampai pada kondisi mental yang positif seperti, realisasi potensi dan aktualisasi diri (Bradburn, 1989). Psychological well being merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupannya sehari -hari. Psychological well being merupakan konstruksi dasar yang menyampaikan informasi tentang bagaimana individu mengevaluasi diri mereka sendiri dan kualitas serta pengalaman hidup mereka. (Ryff & Marshall, dalam Maulina 2012). Evaluasi terhadap pengalaman akan membuat seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan dan membuat psychological well beingnya rendah atau berusaha memperbaiki hidupnya yang akan membuat psychological well beingnya meningkat (Ryff & Singer, dalam Halim & Atmoko, 2005). Berbagai penelitian tentang psychological well-being telah banyak dilakukan dan diketahui terdapat perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu. Faktor-faktor tersebut adalah Usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan kepribadian. Dalam beberapa penelitian jenis kelamin memberi pengaruh terhadap psychological wellbeing. Wanita memiliki tingkat psychological well-being lebih tinggi jika dibanding pria (Ryff, 1989). Pada penelitian yang dilakukan oleh Wood, Rhodes, dan Whelan (1989), menghasilkan temuan bahwa perempuan memiliki tingkat psychological well-being lebih tinggi dari pada laki-laki khususnya pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, menurut Wood et al, perempuan lebih
8
terampil dalam sikap dan lebih emosional. Sementara laki-laki di gambarkan sebagai sosok yang kuat, mandiri dan agresif. Pada umumnya, individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi merupakan individu yang mendapat dukungan sosial yang baik, memiliki focus of control internal (kendali individu), memiliki tingkat sosial ekonomi tinggi, tingkat pendidikan yang tinggi dan berada di lingkungan yang baik, sedangkan narapidana berada di lingkungan yang terbatas, komunikasi yang terbatas, serta tidak memliki penghasilan (Ryff, 1995). Mengetahui keadaan psychological well-being narapidana merupakan hal yang sangat penting. Narapidana yang memiliki psychological well-being yang tinggi berarti memiliki kemampuan untuk berfungsi secara penuh sebagai individu. Pada penelitian ini yaitu narapidana kasus mutilasi, peneliti ingin mengetahui bagaimana individu sebagai narapidana dengan kasus mutilasi dalam menjalani kehidupannya setelah berada dalam Lapas dan bagaimana narapidana itu sendiri secara efektif dapat mengatur sumber-sumber kehidupan sekitarnya baik internal maupun eksternal dalam memaksimalkan tingkat fungsional mereka. Dari uraian diatas, terlihat bahwa narapidana menghadapi berbagai masalah di kehidupan mereka. Melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada narapidana ketika ia harus menjalani kehidupan di dalam Lapas, dan akibat perubahan yang mungkin terjadi pada mereka, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mengetahui gambaran Psychological well-being, dalam hal ini yaitu pada narapidana dengan kasus pembunuhan disertai mutilasi.
9
Di Indonesia, banyak penelitian yang meneliti tentang psychological wellbeing pada lansia baik perempuan maupun laki-laki, dan juga narapida namun peneliti belum menemukan penelitian yang meneliti tentang psychological wellbeing pada narapidana dengan kasus pembunuhan disertai mutilasi. Hal inilah yang menjadi dasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan tujuan mendapatkan gambaran psychological well-being narapidana kasus pembunuhan disertai mutilasi khususnya di Tangerang. Dalam melaksanakan penelitian terhadap topik ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran psychological well-being secara spesifik dan menyeluruh. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam terhadap para subjek.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan
utama yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana gambaran psychological well-being pada narapida kasus mutilasi ?” Permasalahan ini dijbarkan untuk menjawab sub-sub permasalahan berikut: 1. Bagaimanakah gambaran dimensi-dimensi dari psychological well-being pada narapidana kasus mutilasi? 2. Bagaimanakah gambaran terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being pada narapidana kasus mutilasi ?
10
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi dan memperoleh
gambaran mengenai keadaan psychological well-being narapidana dengan kasus mutilasi. 1.4.
Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dari
penulisan proposal ini, diharapakan proposal ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Manfaat yang dimaksud adalah manfaat dari segi praktis dan teoritis. Secara teoritis, diharapkan proposal ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi ilmu psikologi khususnya psikologi klinis dan psikologi sosial. 2) Memperkaya
khasanah
penelitian
psikologi
terutama
mengenai
psychological well-being pada narapidana khususnya narapidana dengan kasus pembunuhan disertai mutilasi. 3) Menjadi bahan masukkan yang berguna bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa-mahasiswi psikologi khususnya dalam melihat gambaran narapidana dengan kasus pembunuhan mutilasi dalam menjalani kehidupannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat :
11
1) Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan atau informasi kepada narapidana dalam mengahadapi dan menyesuaikan diri dengan kehidupan didalam LAPAS, serta mengenai psychological well-being (kesejahteraan psikologis) yang dapat dirasakan narapidana. 2) Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar bagi penelitian lainnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai psychological well-being pada narapidana dengan kasus pembunuhan mutilasi. 3) Bagi Lembaga Pemasyarakatan, Diharapkan penelitian ini menjadi bahan informasi dan edukasi bagi Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana khususnya dengan kasus pembunuhan mutilasi.