BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara Indonesia Adalah Negara Hukum. Kosekuensi Negara hukum menegaskan bahwa dalam setiap kebijakan dan perbuatan berbangas dan bernegara harus berlandaskan pada norma hukum. Hukum sebagai panglima tertinggi sehingga setiap perbuatan manusia harus dinilai berdasarkan hukum yang berlaku. Kemajuan dan perkembangan teknologi yang sangat pesat dewasa ini yang diikuti dengan pertambahan penduduk yang cukup tinggi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat menimbulkan dampak lain, misalnya semakin tingginya kepemilikan kendaraan bermotor, baik yang beroda dua maupun beroda empat. Keadaan ini sekaligus mengakibatkan timbulnya persoalan-persoalan di jalan raya yang cukup serius sehingga pemerintah memandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur hal ini, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan. Lalu
lintas
dan
angkutan
jalan
berperan
mendukung pembangunan dan integrasi nasional
strategis dalam
sebagai bagian dari
upaya memajukan kesejahteraan umum. Lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan peran dan potensinya untuk mewujudkan keamanan dan 1
ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, dimana terdapat kebijakan-kebijakan baru yang sebelumnya belum ada di undangundang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pengertian tentang lalu lintas diartikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Sedangkan angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan. Lalu lintas dan angkutan jalan adalah suatu kesatuan system yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan, serta penggolonggannya. Perbuatan melanggar lau linta tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja akan tetapi juga telah melanda anak remaja yang sebetulnya menurut hukum yang berlaku belum memiliki ijin untuk mengendarai sepeda motor. Bahkan para pelajar dengan mudahnya dan begitu banyak yang mengendarai kendaraan pribadi ketika kesekolah, baik itu kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Peningkatan pelanggaran lalu lintas yang terjadi di Indonesia begitu memprihatinkan. Dalam bahan hukum yang dirilis oleh Dirlantas Republik Indonesia dalam tahun 2015 setidaknya terjadi rata-rata 3.450 kasus setiap 2
harinya di seluruh wilayah Indonesia. Pelanggaran lalu lintas bervariasi mulai dari pelanggaran administrasi, lampu merah,kelengkapan fisik, kendaraan maupun kecelakaan lalulintas. Mengamati peningkatan pelanggaran lalu lintas yang terjadi di Indonesia, juga sejalan dengan yang terjadi di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan bahan hukum Dirlantas Polda Sultra bahwa telah terjadi setidaknya pada setiap harinya telah terjadi pelanggran lalulintas rata-rata 213 kasus. Upaya penanggulangan pelanggaran yang salah satu lingkup substansinya dilakukan oleh penegak hukum yang mempunyai wewenang adalah kepolisian dan Pegawai Negeri Sipil Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (LLAJR) dan dibantu Polisi Pamong Praja
merupakan hal yang sudah
seharusnya diberikan dalam rangka optimalisasi dalam melakukan penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap pelanggaran sepeda motor. Dewasa ini ditengah masyarakat sering dijumpai pengguna kendaraan bermotor yang melakukan pelanggaran bukan hanya didorong oleh ketidak pahaman terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, akan tetapi terdapat proses legitimasi dari pengambil kebijakan dibidang lalu lintas dan angkutan jalan itu sendiri. Sebagai contoh ketika masyarakat melakukan pembelian kendaraan baik dalam bentuk kredit maupun tunai, acap kali diberikan plat kendaraan sementara agar kendaraan yang telah dimiliki tersebut dapat dipergunakan 3
sambil menunggu plat kendaraan resmi/permanen yang dikeluarkan oleh Samsat. Pengguna plat kendaraan sementara ini dari sisi administratif menimbulkan tanda tanya bagi pengendara, apakah telah melekat hak kepadanya untuk berkendara atau tidak, sebab plat sementara selain belu terdaftar pada registrasi kendaraan, juga menjadi masalah ketika kendaraan tersebut mengalami kecelakaan lalu lintas. Fenomena plat sementara ini biasanya digunakan dalam waktu yang tidak pasti, tergantung cepat atau lambatnya proses pengurusan plat kendaraan permanen yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak yang berwajib. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Pengoperasian Kendaraan Bermotor Yang Belum Memiliki Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) Dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana implikasi yuridis pemilik kendaraan bermotor yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan menggunakan Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB) dan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor (STCKB)? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang dikaji maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implikasi yuridis pemilik kendaraan bermotor yang 4
mengemudikan kendaraan bermotor dengan menggunakan Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB) dan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor (STCKB). D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapakan dapat memperkaya bagi perkembangan pengetahuan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan memberi manfaat praktis sebagai berikut: a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pemerintah, kepolisian, maupun pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini dalam pengambilan kebijakan untuk penanggulangan tindak pidana di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian dalam rangka pengembangan penelitian dan sebagai bahan informasi bagi mereka yang akan melakukan penelitian yang sejenis dengan tema tulisan ini.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Tentang Tindak Pidana (Delik) 1. Pengertian Tindak Pidana (Delik) Istila tindak pidana atau delik bersal dari istila Latin yaitu delicta atau delictum, yang dalam istila Belanda dikenal dengan straatbaar feit. Pengertian straatbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan atau suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Sementara menurut Moeljatno (1993: 54), straatbaar feit diartikan sebagai perbuatan pidana. perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, perlu diingat bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatnnya yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan seseorang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada seseorang yang menimbulkan kejadian itu (perbuatan). Selanjutnya Moeljatno, menyatakan antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat karena antara kejadian dengan orang yang meninmbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula. Kemudian untuk menunjukan hubungan yang erat itu, maka digunakannlah istila perbuatan 6
yaitu suatu pengertian yang abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit. Pertama, adanya kejadian tertentu, dan kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. Istila straatbaar feit dalam kepustakaan hukum pidana sering mempergunakan
istila
delik,
sedangan
perbuatan
undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunkan istila peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana menurut Simons (Kansil, 2001: 106) adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, perbuatan mana dilakukan oleh seseorang yang dipertanggung jawabkan, dapat diisyaratkan kepada pelaku. Tindak pidana merupakan suatu istila yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istila yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan cirri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwaperistiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditntukan dengan jelas untuk dapat memisahkan degan istila yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (Amir Ilyas, 2012 : 18). Para pakar asing hukum pidana menggunakan istila tindak pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan istilah: 1. Straatbaar feit adalah peristiwa pidana; 2. Strafbare handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana, yang digunkan oleh para sarjana hukum pidana Jerman; dan
7
3. Criminal act diterjemahkan dalam istila perbuatan kriminal olehnpenulis Amerika. Delik yang dalam bahasa Belanda disebut straatbaar feit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit, yang masing-masing memiliki arti yaitu straf diartikan sebagai pidana dan hukum; baar diartikan sebagai dapat dan boleh; dan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi, istila straatbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana). Menurut Andi Hamzah (Amir Ilyas, 2012:19) delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana). Moeljatno (Ilyas 2012 Amir: 19) mengartikan straatbaar feit itu sebenarnya adalah “suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.” Sementara Jonkers (Amir Ilyas, 2012: 20) merumuskan bahwa straatbaar feit sebagai perisiwa pidana yangdiartikannya sebagai “ suatu perbuatan yang melawan hukum (wederecthttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”. Simons (Amir Ilyas, 2012 : 20) merumuskan straatbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas
8
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Sianturi (Amir Ilyas 2012: 22) memberikan rumusan, tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan di lakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab). Sehubungan dengan hal tersebut Andi Zainal Abiding Farid (1981: 145) berpendapat bahwa “Pada hakikatnya istilah yang paling tepat adalah “delik” yang berasal dari bahasa latin “delictum” atau “delicta”karena: 1. Bersifat universal, semua orang di dunia mengenal. 2. Bersifat ekonomis dan singkat, 3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “peristiwa pidana”, “perbuatan pidana”, (bukan peristiwa atau perbuatan yang dipidana tetapi perbuatnnya). 4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh koorporasi, orang mati, orang tidak dikenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia”. Van Hattum sebagaimana dikutip oleh Lamintang (1997 : 175) menyatakan bahwa perkataan straatbaar feit itu berarti “voor straf in aanmerking komend” atau “straf verdienend”, yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan straatbaar feit seperti telah digunakan oleh pembuat undang-undang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu secara “elipstis” harus diartikan sebagai “tindakan” yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum.
9
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari suatu kesalahan yang dilakukan terhadapseseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya keasalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangakan pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabbkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas perbuatnnya tersebut maka dia harus dipertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh
seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana (Delik) Upaya menjabarkan suatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat dijumpai adalah disebutkan suatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tinadk pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. 10
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termaksud kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan (Lamintang, 1997: 193). Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut diatas, Moeljatno (1993: 63) menyebutkan bahwa mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e.
Kelakuan atau akibat (perbuatan); Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan; Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; Unsur melawan hukum yang objektif; Unsur melawan hukum yang subjektif.
Kelima unsur atau elemen tersebut diatas pada dasarnya dapat diklasifikasikan kedalam 2 (dua) unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif. a. Unsur pokok objektif 1) Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut: a. Act adalah perbuatan aktif yang disebut perbuatan positif; dan
11
b. Omnission, adalah tidak akif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif. 2) Akibat perbuatan manusia. Hal ini erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan. 3) Keadaan-keadaan. Pada umumnya keadaan-keadaan dibedakan atas: a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan. 4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat di hukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sikap engan hukum yakni melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. c. Unsur Pokok Subjektif. Asas pokok hukum pidana adalah “tidak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld). Kesalahan di maksud disini adalah sengaja (dolus/opzet) dan kealpaan (schuld). 1) Kesengajaan, menurut para pakar, ada 3 (tiga) bentuk kesengjaan yaitu: a. Sengaja sebagai maksud; b. Sengaja sebagai kepastian; dan c. Sengaja sebagai kemungkinan. 12
2) Kealapaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripda kesengajaan, ada 2 (dua) bentuk kelapaan yaitu: a. Tidak berhati-hati; dan b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu. c. Unsur melawan hukum. Salah satu unsur perbuatan pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur itu merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Umumnya para ahli hukum membagi sifat melawan hukum itu kedalam dua macam yaitu: 1) Sikap melawan hukum formal. Menurut ajaran sifat melawan hukum formal, yang dikatakan melawan hukum apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan
pembenar,
alasan-alasan
tersebut
harus
juga
disebutkansecara tegas dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis); dan 2) Sikap melawan hukum material. Menurut ajaran sifat melawan hukum material, disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dan tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. 13
B. Konsep Tentang Pengemudi 1. Pengertian Pengemudi Kepolisisian Negara Republik Indonesia rupanya kurang selektif dalam menentukan orang-orang yang boleh mengemudikan kendaraan bermotor di jalan raya. Hamper semua orang bisa jadi pengemudi mulai dari sifat yang perangainya buruk sampai anak-anak bisa berkeliaran di jalan raya tanpa ada yang bisa mencegahnya. Masyrakat sebagai mitra polisi lalu lintas pun harus membantu melakukan control masyarakat demi menekan kasus kecelakaan di jalan raya yang termasuk jalan-jalan disekitar pemukiman warga masyarakat. Kendaraan adalah suatu sarana angkut dijalan raya yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakan oleh peralatan mekanik berupa mesin
selain
kendaraan
kendaraa.bermotor
yang
perseorangan
berjalan dan
diatas
kendaraan
rel,
terdiri
bermotor
dari
umum.
Kendaraan tidak bermotor adalah kendaraanyang digerkan oleh tenaga orang atau hewan (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009). Jenis kendaraan bermotor, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yaitu: 1. Sepeda motor adalahkendaraan bermotor beroda duadengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. 14
2. Mobil penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. 3. Mobil bus adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi lebih dari 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi,
baik
dengan
maupun
tanpa
perlengakapan
pengangkutan bagasi. 4. Mobil barang adalah setiap kendaraan bermotor selain dari yang termasuk dalam sepeda motor, mobil penumpang dan mobil bus. 5. Kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor selain daripada kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor untuk barang, yang penggunaanya untuk keperluan khusus atau mengangkat barang-barang khusus. Menurut pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. Setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang di kemudikan. Surat Izin Mengemudi terdiri atas 2 (dua) jenis yaitu Surat Izin Mengemudi kendaraan bermotor perseorangan dan Surat Izin mengemudi kendaraan bermotor umum. Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon pengemudi harus memiliki 15
kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. Untuk mendapatkan surat izin mengemudi kendaraan bermotor umum, calon pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan pengemudi angkutan umum. Surat Izin Mengemudi untuk kendaraan bermotor perseorangan digolongkan menjadi: a. Surat izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kg; b. Surat izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan penumpang mobil dan barang perseorang dengan jumlah berat yang diperolehkan dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kg; c. Surat izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan menarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangn dengan berat yang diperolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.ooo (seribu) kg; d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat. 16
2. Syarat-syarat Pengemudi Kendaraan Bermotor Secara yuridis syarat untuk mengemudikan kendaraan bermotor sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum. Pasal 77 ayat (1) menyatakan bahwa memiliki surat izin mengemudi kendaraan bermotor wajib memiliki surat izin mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan. Selanjutnya ayat (2) menyatakan surat izin mengemudi dimaksud pada ayat (1) terdri atas 2 (dua) jenis: a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum. Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon pengemudi wajib
mengikuti
pendidikan
dan
pelatihan
pengemudi
angkutan.pendidikan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan. Pasal 107 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menyatakan pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu. Pengemudi sepeda motor selain memetuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
17
Berikut ini merupaka kriteria
atau persyaratan yang seharusnya
dipenuhi oleh setiap pengguna jalan raya untuk menciptakan kondisi berkendara yang menyenangkan, aman dan nyaman bagi semua orang termasuk pejalan kaki, pemakai sepeda, warga yang bermukim dipinggiran jalan antara lain yaitu (anomin,
syaratmengemudikankendaraan,
wester.blogspot.com.diakses
2
januari 2016). 1. Bisa mengemudi dengan baik. Seharusnya dibuatkan tempat-tempat dan metode khusus untuk latihan orang-orang yang belum lancar membawa kendaraan sehingga dapat meminimalisir angka kecelakaan akibat belajar mengemudi. Jalan raya seharusnya merupakan tempat bagi orang-orang yang sudah mahir mengemudi. 2. Memahami peraturan lalu lintas.
Para pengemudi wajib mentaati
peraturan-peraturan di jalan raya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis secara langsung. 3. Bisa menghargai orang lain. Dijalan banyak orang yang tidak peduli dengan orang lain sehingga senang main serobot, memgganggu pejalan kaki, membuat kaget pengendara lain, membawa kendaraan yang menimbulkan asap atau polusi tingkat tinggi dan lain-lain. 4. Sifat sabar di jalan. Setipa kendaraan bermotor harus bisa sabar dan antri dikemacetan jalan, sabar menghadapi lampu merah yang lama, sabar menghadapi tingkah laku buruk pemakai jalan lainnya, sabar menhhadapi kondisi kritis, dan lain sebagainya. Kepentingan pribadi 18
yang ingin segera cepat sampi di tempat tujuan harus diabaikan demi kepentingan dan keselamatan bersama di jalan raya. 5. Cerdas di jalan raya. Seorang pengemudi harus cerdas dan mampu berpikir cepat serta mampu mengambil keputusan dalam waktu yang singkat. Semua itu harus memperhatikan kepentingan orang lain juga. Dasar-dasar pengetahuan di jalan raya harus di kuasai termasuk bagaimana harus bersikapdalam kondisi yang sulit. Sedikit banyak tentang mesin atau teknik kendaraan harus diketahuai agar tidak selalu mengandalkan teknisi atau bengkel saat ada masalah ataukerusakan mesin kendaraan yang mendadak. 6. Tidak berorientasi pada uang/ waktu. Biasanya para awak kendaraan barang dan kendaraan umum seperti supir dan kernet/kondektur hanya mempedulikan kepentingan sendiri saja, tanpa mau tahu bahwa kelakuan buruk mereka di jalan raya sangat mengganggu dan membahayakan pengguna jalan yang lain. Ini merupakan tugas pemerintah untuk mengatur system transportasi agar tidak lagi ada sistem nguber setoran atau sistem nguber waktu. Bis atau angkot dengan sistem setoran biasanya memilki kelakuan yang kurang baik di jaln raya akibat tekanan target yang cukup berat. 7. Mengutamakan keselamatan. Setiap pengguna jalan dan warga masyarakat yang berada disekitar jalan raya harus bersama-sama bahu-
19
membahu
menciptakan kondisi di jalan raya yang baik demi
keselamatan bersama. C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana 1. Pengertian
Pertanggungjawaban Pidana
Alf Ross (Moeljatno, 1995:153) mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan seseorang yang bertanggung jawab atas perbuatnnya. Pertanggungjawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan perbuatan itu pelaku mempunayi kesalahan, sebab asas dalam Pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada keslahan (geen straf zonder; actus non facitreus mens rea). Pertanggungjawaban pidana dalam istila asing dikenal dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seoseorang terdakwa atau tersangka di pertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, diisyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsurunsur yang telah di tentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan 20
atas suatu tindakan, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannnya. Apabila dilihar dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat di pertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamakan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini pelaku mempunyai kesalahan. (Moeljatno, 1993:153). 2. Unsur-unsur Kemampuan Bertanggungjawab (Moeljatno, 1993:165), menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggung jawab, ialah: a. Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum; b. Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Sementara
itu,
Jonkers
(1987:107)
berpendapat
bahwa
pertanggungjawaban pidana meupakan sendi dari pada pengertian kesalahan yang luas, yang tidak boleh dicampur adukan dengan yang disebutkan dalam pasal 44 KUHP. Tidak mudah untuk menentukan syarat umum pertanggungjawaban pidana. Jonkers menyebut ada tiga syarat umum pertanggungjawaban pidana, yaitu: 21
a. Kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan; b. Mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu; c. Keinsyafan bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat. Simons (1992:203-204) menyatakan bahwa cirri-ciri psikis yang dimilki oleh orang yang mampu bertanggungjawab pada umumnya adalah cirri-ciri yang dimilki oleh orang yang sehat rohaninya, mempunyai pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandanganpandangan yang dihadapinya, yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula. Rumusan lain mengenai pertanggungjawaban pidana adalah seperti yang disebutkan oleh Satochid Kartanegara. Menurutnya orang yang mampu bertanggung jawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga ia bebeas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia (akan ) lakukan; 2. Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannyan beserta akibatnya; 3. Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang akan dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakukan yang tidak dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata susila. (Adami Chazawi, 2002:149). Mengenai kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP, tidak adarumusan yang tegas tentang itu. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan 22
(secara negatif) dari kemampuan bertanggungjawab. Sementara itu, kapan seseorang dianggap mampu bertanggung jawab, dapat diartikan kebaliknnya, yaitu apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaiman yang diterangkan dalam pasal 44 tersebut. Mengenai hal itu haruslah diambil sikap bahwa mengenai kemapuan bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana. Jadi, untuk terjadinya tindak pidana
tidak
di
persoalkan
tentang
apakah
terdapat
kemapuan
bertanggungjwab ataukah tidak ampu bertanggungjawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti dengan pidana kepada petindaknya. Ketika menghubungkan perbuatan ini kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana, bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah diperhatikan atau dipersoalkan tentang ketidak mampuan bertanggung jawab, Dan haruslah pula dibuktikan untuk tidak dipidananya terhadap pembuatnya. (Adami Chazawi, 2002:146). Untuk menentukan adanya pertanggungjawaban, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan” (dolus) atau karena “kelalaian” (culpa). Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur 23
kesengjaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada 3 macam, yaitu: a. Kesengajaan yang bersifat tujuan bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suati tindak pidana, sipelaku pantas dikenakan pidana. Adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benarbenar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. b. Kesengjaan secara keinsyafan kepastian. Kesengjaan ini ada apabila sipelaku dengan perbuatnnya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. c. Kesengjaan secara keinsyafan kemungkinan. Kesengajaan ini yang terang-terang tidak tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. (Pipin Syarifin, 2000:93). Pertanggungjawaban dalam hukum pidana menganut asaa “tiada pidana tanpa kesalahan”(geen straf zonder schuld), walaupun tidak dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dianut dalam praktek. Tidak dapat dipsahkan antara kesalahan dan pertanggungjwaban atas perbuatan. Orang 24
yang melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. (Adami Chazawi, 2002:151). Moeljatno membahas kesalahan dengan mula-mula memberikan contoh sebagai berikut: (a) seorang anak bermain korek api didekat rumah yang mengakibatkan kebakaran; (b) seorang gila tanpa diduga melakukan penyerangan dan pemukulan terhadap orang lain; (c) seorang dokter terpaksa membuat surat keterangan bahwa seseorang menderita penyakit karena ditodong pistol. Berdasarkan contoh tersebut dikatakan bahwa, sesungguhnya baik sianak kecil, si gila, maupun dokter tadi dalam keadaanya masingmasing, tidak dapat dipersalahkan karena berbuat demikian, sebab mereka dianggap, tidak dapat berbuat lain daripada apa yang telah dilakukan. Kalau orang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak dapat diharapkan, jadi juga tidak dapat diharuskan berbuat lain dari pada apa yang telah dilakukan, maka sudah sewajarnyalah bahwa orang itu tak mungkin kita bela, dan karenanya pula tidak mungkin kita pertanggung jawabkan atas perbuatannya. (Moeljatno, 1993:156-157). Menurut Simons, kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana, pertama: adanya 25
psikis (batin) tertentu, dan kedua: adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga menimbulkan celaan tadi. (Moeljatno, 1993:158) Lebih lanjut dikemukakan bahwa, untuk adanya kesalahan, hubungan antara kedaan batin dengan perbuatannya (atau dengan suatu keadaan yang menyertai perbuatan) yang menimbulkan celaan tadi harus berupa kesengajaan atau kealpaan. (Moeljatno, 1993:161). Sementara itu, Sianturi memetakan pengertian kesalahan dalam beberapa pemahaman sebagai berikut: pertama, pendapat Simons. Untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu: 1. Kemampuan bertanggungjawab (toerekenings-vatbaarheid); 2. Hubungan kejiwaam (psichologistiche betrekking) antara pelaku, kelakuannnya dan akibat yang di timbulkan (termasuk pula kelakuan yang tidak bertentangan dengan hukum dalam penghidupan sehari-hari); 3. Dolus atau culpa. (Sianturi, 1996:161). Kedua, pendapat Noyon Lanjemeyer, bahwa ciri-ciri umum kesalahan yang berhubungan dengan hukum positif adalah: 1. Bahwa pelaku mengetahui atau harus dapat mengetahui hakekat dari kelakukannya dan keadaan yang bersamaan dengan kelakuakn itu. (sepanjang keadaan itu ada hubungnnya); 2. Bahwa pelaku mengetahui atau patut harus menduga bahwa kelakuannya itu bertentangan dengan hukum (onrechtmatig); 3. Bahwa kelakuannya itu dilakukan bukan karena sesuatu keadaaan jiwa yang tidak normal (vide pasal 44 KUHP); 4. Bahwa kelakuannya itu dilakukan bukan karena pengaruh dari sesuatu keadaan darurat/paksa .(Sianturi,1996:162). 26
Ketiga, pendapat Pompe. Menurutnya, dilihat dari kehendak kesalahan itu merupakan bagian dalam dari kehendak pelaku, sedangakn sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), merupakan bagian luar dari padanya. Artinya, kesalahan merupakan kelakuan yang bertentanagn dengan hukum yang (seharusnya) dapat dihindari (vermijdbare wederrechtelijke gedraging), pengangguran ketertiban hukum (seharusnya) dapat di hindarkan. Sedang sifat melawan hukum, merupkan kelakukan yang bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana ia dicela. (Sianturi, 1996:163). Keempat pendapat Roeslan Saleh. Hubungannya dengan kesalahan, menurutnya unsur kesalahan tidak termasuk dalam pengertian perbuatan pidana lagi, dan harus merupakan unsur bagi pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian. (Sianturi, 1996:164). Dilihat dari segi masyarakat ini menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandang psikologis. Demikian misalnya, pandangan dari pembentuk WVS. Kemudian pandangan ini kemudian ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi bergantung bagaimana penilaian hukum keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada ataukah 27
tidak ada kesalahannya. Kemudian dapat disimpulkan bahwa unsur kesalahan itu, mempunyai unsur-unsur, yaitu: 1. Kemampuan bertanggungjawab; 2. Kesengajaan atau kealpaan, sebagai bentuk kesalahan dan pula sebagai penilaian dari hubungan batin dengan perbuatannya pelaku); 3. Tidak adanya alasan pemaaf. (Sianturi, 1996:165-166). Penentuan adanya keasalah sebagai dasar pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya kemampuan bertanggunag jawab pada si pembuat Menurut para ahli sejarah bahwa untuk adanya kemampuan bertannggungjawab harus ada: a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk: yang sesuai hukum dan yang melawan hukum; b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi 2. Hubungan antara batin pelaku dengan perbuatnnya yang berupa kesengajaan (Dolus) atau kealpaan (Culpa) ini disebut bentukbentuk kesalahan. 3. Tidak adanya alasan pengahpus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. (Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, 2005:62). Pertanggung jawaban atas tindak pidana dapat dibebankan kepada subyek hukum sebagai pelaku dalam hal ini yaitu:
28
1. Manusia (natuurlijke person) adalah tiap orang dan warga Negara ataupun orang asing dengan tidak memandang agama dan kebudayaannya’ mempunyai hak-hak dan kewajiban dalam melakukan perbuatan hukum, yang dimulai saat dia dihadirkan sampai meninggal. Pengecualian dalam hukum tidak semua orang cakap hukum diantara mereka yang oleh hukum tidak cakap melakukan perbuatan hukum tertuang dalam pasal 44 KUHP. (S.Wiratmo, 1979:41). 2. Korporasi merupakan subyek hukum baru dalam hukum pidana dan KUHP kita tidak mengenal karena menurut pasal 59 KUHP Subyek hukum pidana pada umumnya adalah manusia. (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991:22) Penempatan korporasi sebagai hukum pidana tidak lepas dari modernisasi sosial sebagaimana menurut Satjipto Raharjo,”modernisasi sosial dampaknya pertama harus diakui bahwa semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat disitu maka kebutuhan akan sistem pengadilan kehidupan yang formal akan semakin besar pula. Itulah sebanya kenapa korporasi dijadikan subyek hukum karena untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan sebuah keadilan. (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991: 28).
29
Pengertian korporasi dalam hukum pidana lebih luas sifatnya dibandingan dalam hukum perdata sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum dan non badan hukum dan hal ini diatur di luar KUHP seperti dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, sedangkan korporasi dalam hukum perdata adalah sebatas badan hukum (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991:20-21). Terpenuhi semua unsur diatas, maka seorang dapat dijatuhi suatu sanksi pidana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Lain halnya perbuatan pidana dilakukan oleh korporasi atau badan hukum tanpa spesifikasi yang jelas atau identitas yang jelas, maka masalah kesulitan siapa pembuatnya akan selalu timbul, dan hal ini akan membawa konsekuensi tentang masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, walaupun telah terpenuhi untuk dapat dipidana. (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991:67). Mengenai hal tersebut ada 3 (tiga) cara yang ditempuh dalam hal menetapkan kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; 3. korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991:67).
30
D. Konsep Tentang Surat Kelengkapan Kendaraan Bermotor 1. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) adalah dokumen yang berfungsi sebagai bukti legitimasi pengoperasian kendaraan bermotor yang berbentuk surat atau bentuk lain yang diterbitkan Polri yang berisi identitas pemilik, identitas kendaraan bermotor dan masa berlaku termasuk pengesahannya. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) wajib dibawa atau selalu melekat dengan kendaraan saat kendaraan bermotor digunakan/dioperasikan dijalan dan masa berlakunya masih berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) adalah tanda regident kendaraan bermotor kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai bukti legitimasi pengoperasian kendaraan bermotor berupa Pelat atau berbahan lain dengan spesifikasi tertentu yang diterbitkan Polri dan berisiskan kode wilayah, nomor registrasi serta masa berlaku dan dipasang pada kendaraan bermotor. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) adalah tanda bukti pendaftaran dan pengesahan suatu kendaraan bermotor berdasarkan identitas dan kepemilikannya yang telah di daftar. Di Indonesia, STNK diterbitkan
oleh
SAMSAT,
yakni
tempat
pelayanan
penerbitan/pengesahan STNK oleh instansi: Polri, Dinas Pendapatan Propinsi dan PT Jasa Raharja. STNK merupakan titik tolak kepemilikan yang sah atas sebuah kendaraan bermotor. 31
Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) berisi identitas kepemilikan (nomor Polisi, Nama pemilik, Alamat pemilik) dan identitas kendaraan bermotor (merek/type, jenis/model, tahun pembuatan, tahun perakitan, isi silinder, warna, nomor rangka/NIK, nomor mesin, nomor BPKB, warna TNKB, bahan bakar, kode lokasi, dsb). Nomor polisi dan masa berlaku yang tertera dalam STNK kemudian di cetak pada pelat nomor untuk di pasang pada kendaraan bermotor bersangkutan. Masa berlaku STNK adalah lima tahun dan setiap perpanjangan STNK kendaraan diharuskan untuk cek fisik, yakni pengecakan nomor rangka dan nomor mesin kendaraan yang dikeluarkan Satuan Lalu Lintas Polri. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengatur tentang Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) yaitu: Pasal 64 1) Setiap kendaraan bermotor wajib diregistrasikan; 2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Registrasi kendaraan bermotor baru b. Registrasi perubahan identitas kendaraan bermotor dan pemilik; c. Registrasi perpanjangan kendaraan bermotor; dan d. Registrasi pengesahan kendaraan bermotor.
Pasal 65 1. Registrasi Kendaraan Bermotor baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan: a. Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan pemiliknya; b. Penerbitan buku pemilik Kendaraan Bermotor; 32
c. Penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. 2. Sebagai bukti bahwa Kendaraan Bermotor telah diregistrasi, pemilik diberi buku pemilik kendaraan bermotor, surat tanda nomor kendaraan bermotor dan tanda nomor kendaraan bermotor. Pasal 66 Registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor untuk pertama kali harus memenuhi persyaratan: a. Memiliki sertifikat registrasi uji tipe; b. Memiliki bukti kepemilikan kendaraan bermotor yang sah; dan c. Memiliki hasil pemeriksaan cek fisik kendaraan bermotor. Pasal 67 1. Registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor, pembayaran pajak kendaraan bermotor, dan pembayaran sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan diselenggarakan secara terintegrasi dan terkoordinasi dalam sistem administrasi manuggal satu atap. 2. Sarana dan prasarana penyelenggaraan sistem administrasi manuggal satu atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh pemerintah daerah. 3. Mekanisme penyelanggaraan sistem administrasi manuggal satu atap dikoordinasikanoleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur serta pelaksanaan sistem administrasi manuggal satu atap sebagai mana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan presiden. Pasal 68 1. Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan surat tanda nomor kendaraan bermotor dan tanda nomor kendaraan bermotor. 2. Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagai mana dimaksud pada ayat (1) memuat data kendaraan bermotor, identitas pemilik, nomor registrasi kendaraan bermotor dan masa berlaku. 3. Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagai mana dimaksud pada ayat (1) memuat kode wilayah, nomor registrasi dan masa berlaku. 4. Tanda nomor kendaraan bermotor harus memenuhi syarat bentuk, ukuran, bahan,dan cara pemasangan. 5. Selain Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaiman dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan Tanda Nomor Kendaraan bermotor khusus dan/tanda nomor kendaraan bermotor rahasia. 33
Pasal 70 1. Buku pemilik Kendaraan Bermotor berlaku selama kepemilikannya tidak dipindahtangankan. 2. Surat tanda nomor kendaraan bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahannya setiap tahun. 3. Sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan tanda nomor kendaraan bermotor wajib diajukan permohonan perpanjangan.
3. Surat Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) adalah buku yang dikeluarkan/diterbitkan oleh satuan lalu lintas polri sebagaimana bukti kepemilikan kendaraan bermotor. BPKB berfungsi Sebagai Surat Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor. Bersamaan dengan pendaftaran BPKB, diberikan STNK dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) dapat disamakan dengan certificate of ownership yang disempurnakan dan merupakan dokumen penting. BPKB juga dapat dijadikan sebagai jaminan atau tanggungan dalam pinjam-meminjam berdasarkan kepercayaan masyarakat. Spesifikasi teknis dan pengadaan BPKB ditetapkan oleh Polri. BPKB brbentuk buku berukuran 17x12 cm, dengan lembar kulit berwarna biru tua dan tulisan putih perak, serta dibubuhi nomor BPKB. BPKB terdiri atas 22 halaman dengan warna dasar keabu-abuan. Untuk mencegah pemalsuan, BPKB juga dilengkapi dengan tanda air (watermark), serta warna-warni tidak kasat mata (invisible fibre), dan benang pengaman hologram. Isi BPKB 34
meliputi:
identifikasi
kendaraan
bermotor,
keterangan
kepabeanan,
pendaftaran polisi, catatan mengenai perubahan pemilik kendaraan bermotor, catatan tentang pelunasan pajak/BBN, catatan pejabat polisi lalu linta, serta keterangan. Komponen BPKB meliputi: Blanko BPKB, formulir permohonan, kartu induk BPKB,
buku register, formulir tanda periksa, formulir
permohonan mutasi, serta brosur. Buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) berisi semua data identifikasi kendaraan bermotor seperti nomor Polisi, merek dan tipe, tahun pembuatan, nomor mesin, nomor rangka dan juga asal usuk kendaraan seperti Negara pembuat, cara impor, nama perusahaan penjual atau dealer, dan nama pembeli atau pemilik. BPKB juga memeuat data mutasi yakni apabila kendaraan berganti pemilik, nomor Polisi, atau apabila kendaraan tersebut mengalami modifikasi ataupun diubah cirinya. BPKB adalah buku yang dikeluarkan/diterbitkan oleh Satuan Lalu Lintas Polri sebagai Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor. BPKB berfungsi sebagai Surat Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor. Penerbitan BPKB dilaksanakan oleh Satuan Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Spesifikasi teknis dan pengadaan BPKB ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bersamaan dengan pendaftaran BPKB diberikan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Surat Tanda Nomor Bermotor (STNK). 35
a. Tujuan 1. Penyelenggaraan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dalam bentuk BPKB adalah untuk kepentingan pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menciptakan keamanan dan
ketertiban
masyarakat,
terutama
yang
berkaitan
dengan
penyelidikan/penyidikan pada kasus pelanggaran dan kejahatan yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. 2. Perkembangan kejahatan semakin canggih dan kompleks, sehingga mengaharuskan Polri mengerahkan segenap untuk menanggulangi, antara lain melalui registrasi dan identifikasi lalu lintas/ pendaftaran kendaraan bermotor. 3. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah guna menyamakan persepsi dan tindakan dalam proses penerbitan BPKB terutama mekanisme dan prosedur penerbitan BPKB. b. Fungsi dan Peranan BPKB 1. Semua jenis kendaraan bermotor yang sudah terdaftar dan mempunyai STNK untuk suatu kendaraan bermotor keadaan berjalan maupun dalam keadaan rusak diharuskan memiliki BPKB sebagi tanda pengenal kendaraan bermotor. 2. BPKB dapat disamakan dengan Certificate of ownership yang disempurnakan dan merupakan dokumen penting harus disimpan baikbaik oleh yang bersangkutan. 36
3. BPKB akan mempertinggi daya guna dari tata cara Adminstrasi Pendaftaran Kendaraan Bermotor, sehingga meningkatkan publik service juga dimanfaatkan untuk menyempurnakan cara pengawasan terhadap pemasukan keuangan Negara non pajak, kepemilikan kendaraan bermotor dan sebagainya. 4. BPKB dapat dijadikan sebagai jaminan/tanggungan dalam pinjammeminjam berdasarkan kepercayaan masyarakat.
37
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Pengertian tipe penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa sustansi peraturan perundang-undangan atas pokok permasalahan atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas hukum yang ada (Peter Mahmud Marzuki, 2005:32). Tipe penelitian ini juga dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam buku dan literatur, tulisan-tulisan ilmiah, dokumen-dokumen atau tulisan para ahli, yurisprudensi yang berhubungan dengan obyek penelitian. B. Metode Pendekatan Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah antara lain: 1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach)
dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam pendekatan perundangundangan ditujukan untuk mempelajari kesesuaian dan konsistensi antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya, atau antara undangundang dengan Undang-Undang Dasar
atau antara regulasi dengan
peraturan perundang-undangan. 38
2. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum. Konsep hukum dapat diketemukan dalam undang-undang yang kemudian dipahami melalui pandangan para sarjana dan doktri-doktrin yang ada C. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber yang berupa bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). 1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autiritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer antara lain terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer antara lain: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Perauran Hukum Pidana b. Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
39
c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 tentang Pemerikasaan Kendaraan Bermotor dijalan. e. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republi Indonesia Nomor 5 Tahun 12 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Sumber bahan hukum sekunder merupakan sumber bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai sumber bahan hukum primer. D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian hukum normative dialkukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari bahan hukum yang terdapat dalam buku dan literaur, tulisantulisan ilmiah, dokumen-dokumen atau tulisan para ahli, yurisprudensi serta berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi atau isi permasalahan. Pengumpulan bahan hukum diperlukan oleh penulis berkaitan dengan penyelesaian proposal skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap 40
literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan
dalam
skripsi ini. Tujuan dari tinjauan kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh bahan hukum
sekunder yang meliputi peraturan
perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. E. Analisis Bahan Hukum Melakukan analisis bahan hukum merupakan suatu metode atau cara yang ditujukan untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang diangkat. Keseluruhan bahan-bahan hukum yang ada maka kegiatan terakhir yang dilakukan adalah menganalisis bahan-bahan-hukum secara preskriptif yaitu menguraikan bahan-bahan hukum kedalam bentuk kalimat secara sistematis berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari penelitian, sehingga memudahkan untuk menarik kesimpulan dalam menjawab isu hukum yang diangkat dalam permasalahan di dalam penulisan ini.
41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Implikasi Yuridis Pemilik Kendaraan Kendaraan Bermotor Yang Mengemudikan Kendaraan Bermotor Dengan Menggunakan Tanda Coba (TCKB) dan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor (STCK) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamantkan oleh UndangUndang Dasar Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan Negara. Transportasi atau pengakutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang memungkinkan pengankutan dialkukan melalui darat, perairan dan udara guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia (Abdulkadir Muhammad, 1998:7). Hal lain yang juga tidak kalah pentingnnya akan kebutuhan alat transportasi adalah kebutuhan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran pengangkutan yang menunjang pelaksanaan pembangunan yang berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan dan distribusi hasil pembangunan 42
diberbagai sektor keseluruh pelosok tanah air misalnya, sektor industry, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan (Abdulkadir Muhammad, 1998:8). Secara umum transportasi memegang peranan penting dalam dua hal yaitu pembanguna ekonomis dan pembangunan non ekonomis. Tujuan yang bersifat ekonomis misalnya peningkatan pendapatan nasional, mengembangkan industri nasional dan menciptakan serta memelihara tingkat kesempatan kerja bagi masyarakat. Sejalan dengan tujuan ekonomis tersebut adapula tujuan yang bersifat non ekonomis yaitu untuk mempertinggi integritas bangsa, serta meningkatkan pertahanan dan keamanan nasioanl (Abbas Salim, 2006:2) Arti pentingnnya transportasi atau pengankutan harus pula diikuti oleh pengembangan peraturan sistem transportasi secara terpadu yag mampu mewujudkan tersediannya jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tetib, aman nyaman, teratur, dan lancar bagi masyarakat. Sistem transportasi dapat terselenggara dengan tertib, aman nyaman, teratur dan lancar haruslah memperhatikan kondisi teknis sarana kendaraan, disamping unsur-unsur lainnya seperti pengendara, kondisi jalan dan lingkungan. Hal ini dikarenakan banyaknya kecelakaan transportasi yang diakibatkan oleh tidak diperhatikannya kondisi kendaraan dalam hal ini kendaraan bermotor dijalan.
43
Lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia memiliki peranan yang penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh Negara, dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan Lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman dan efisien. Lalu lintas merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, hamper seluruh aktifitas kehidupan masyrakat berhubungan dengan lalu lintas. Permasalahanpermasalahan lalu lintas tidak sebatas menghambat tata kehidupan masyrakat tetapi bahkan bisa menghacurkan bahkan mematikan perekonomian. Untuk itu, dibutuhkan peningkatan keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan raya, sehingga masyarakat
dapat
melaksanakan segala ktifitasnya denga baik, lancer, aman, dan nyaman sehingga produk-produ yang dihasilakn dapat terus tumbuh dan berkembang. Keberadaan lalu lintas yang aman dan lancar mampu mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, memperkukuh persatuan dan kesatuanserta mampu memperlancar arus pemerataan hasi-hasil pembangunan dan perdagangan. Dengan demikian maka, keberadaan lalu lintas memiliki fungsi dan peranan yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yaitu membentuk masyrakat yang adil dan makmur baik secara materill maupun spiritual berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 44
Salah satu kebutuhan masyarakat yaitu dapat dengan cepat, nyaman dan aman bergerak dari satu tempat ketempat lain. Kebutuhan tersebut akan dapat terpenuhi, bilamana didukung oleh tersediannya alat transportasi yang memadai dan adanya penjamin sistem keselamatan yang baik dalam arti, jumlah alat transportasi yang disediakan seimbang dengan jumlah kebutuhan
masyarakat dan
adanya jaminan keselamatan dalam berlalu lintas dan ankutan jalan raya. Namun sulit dipungkiri, bahwa sejak awal tahun 2000 kecepatan, keamanan dan kenyamanan yang dibutuhkan oleh masyarakat pengguna jasa transportasi cenderung memprihatinkan. Akibatnya mobilisasi masyarakat menjadi tersendat. Hal ini berarti, telah terjadi penurunan kinerja transportasi dan hak-hak sosial masyarakat menjadi tidak
terpenuhi
yang
kemudian
berdampak
pada
kegiatan
pembangunan lainnya seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain. Di Negara maju maupun berkembang keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan selalu menjadi sorotan, keselamatan lalu linntas dan angkutan jalan merupakan hal yang mutlak untuk ditingkatkan dan sulit dinilai harganya. Salah satu masalah lalu lintas dan angkutan jalan adalah masalah keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan. Masalah lalu lintas dan angkutan jalan banyak yang berkaitan dengan prilaku manusia dan sumber daya manusia, baik sumber daya manusia
45
dari pengemudi, sumber daya manusia dari masyarakat dan sumber daya manusia dari petugas lalu lintas dan angkutan jalan raya. Pembangunan sistem lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia selama ini sering mendapat kritik karena selalu menekankan pada segi fisik (hardware), dan dianggap kurang memperhatikan sisi pembangunan pranata aturan lalu lintas dan pengembangan Sumber Daya Manusia pada diri aparatur pemerintah bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Peranan lalu lintas dan angkutan jalan bersifat strategis, karena berdampak luas bagi kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek
baik politi, ekonomi, budaya dan lain-lain. Oleh
karena itu, ketersediaan moda transportasi dalam lalu lintas dan angkutan jalan yang seimbang dengan kebutuhan masyarakat adalah merupakan keharusan. Guna mendukung ketersediaan moda transportasi dalam lalu lintas dan angkutan jalan dari segi peraturan maka di undangkannlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini berbeda dengan undang-undang sebelumnya mengenai lalu lintas . perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok terlihat dengan adanya inovasi-inovasi baru yang banyak menimbulkan pro dan kontra didalam masyarakat.
46
Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memilki kekuatan
sanksi
Negara/aparat
yang
pelaksanaannya
dapat
dipaksa
oleh
penyelenggara Negara. Hukum berisi seperangkat
aturan yang mengatur sebagian besar kehidupan manusia. Hukum terdiri atas hukum tertulis. Hukum tertulis dituangkan dalam bentuk pasal-pasal, dalam undang-undang yang disusun secara sistematis dalam lembaran Negara, sedangkan hukum tidak tertulis bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hukum diciptakan untuk melindungi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang diamksud adalah nilai-nilai penghormatan atas jiwa , tubuh ,harta, kehormatan dan kemerdekaan. Kegiatan manusia amat banyak dan hukum itu sendiri suadh dipastikan tidak mampu untuk mengkomodir atau melindungi dan mengatur
seluruh kegiatan
manusia. Peraturan tentang lalu lintas dan angkutan jalan pada dasranya belum ada seorang sarjanapun mendefenisikannya. Hukum lalu lintas dan angkutan jalan biasanya hanya diidentiakan dengan hukum pengankutan dalam kajian pengangkutan dalam lapangan hukum dagang. Hukum lalu lintas dan angkutan jalan tidak hanya memiliki segi pengankutan, tetapi jauh lebih luas daripada hukum dagang, seperti kajian hukum perdata, hukum pidana dan juga hukum administrasi Negara walaupun pada hakekatnya hukum lalu lintas dan angkutan jalan lebih bersifat spesifik dibandingkan hukum pengankutan, 47
hal ini karena hukum lalu lintas hanya mengatur mengenai lalu lintas angkutan darat, sedangkan pengkutan terdiri dari beberapa jenis baik darat, laut, udara dan pos. Pembicaraan mengenai hukum selalu berkaitan dengan masalah penegak hukum (law enforcement) dalam pengertian luas juga merupakan penegakan keadilan (Bambang Purnomo, 1988:88), apabila dikonkritkan lagi, akan terarah pada aparat penegak hukum, yaitu mereka yang secara langsung terlibat dalam memperjuangkan penegakan hukum dan keadilan. penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi/aparat penegak hukum. “tujuan hukum tersebut mempunyai tiga unsur, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan” (Soedikno Mertokusumo, 1988:14). Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu alat Negara yang mempunyai kedudukan dan peranan sebagai penegak hukum, terutama bertugas
memelihara
keamanan
di
dalam
negeri.
Inklusif
dalam
implementasinya adalah mencegah dan menanggulangi tindak kejahatan dan pelanggaran. Dengan demikian peranan POLRI tidak sekedar penegakan hukum, tetapi juga dituntut memainkan peran mencegah patologi sosial dengan berbagai corak dan variasinya. Tugas dan peranan POLRI dalam upaya penegakan hukum, tidak hanya setuju pada masalah kejahatan, tetapi juga pada masalah pelanggaran, 48
salah satunya adalah mengenai masalah pelanggaran lalu lintas. POLRI khususnya Polisi lalu lintas, yang mempunyai tugas dan peranan dalam upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu laintas, ternyata tidak akan dapat menjlankan tugasnya secara maksimal tanpa adanya partisipasi dari masyarakat luas. Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembanguan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembanguan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan Negara. Undang-undang tentang lalu lintas dan angkutan jalan memiliki tujuan yang hendak dicapai, sperti yang tercantum dalam pasal 3 bahwa: Lalu lintas dan angkutan jalan diselenggarakan dengan tujuan: a. Terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, menunjukan kesejahteraan umum,
49
meperkukuh kesatuan dan perastuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; c. Terwujudnya penegkan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat Untuk mewujudkan tujuan tersebut pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pembinaan antara lain yang disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) dan, (2) yang meliputi:a, perencanaan, b. pengaturan, c. pengendalian,. dan d. pengawasan. Oleh karena itu dalam rangja mewujudkan sistem transportasi nasional semua aktivitas transportasi harus berada pada perencanaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Setiap pengguna jalan, terutama pengguna kendaraan bermotor wajib berprilaku tertib serta mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan maupun yang dapat menimbulkan kerusakan jalan. Guna mencapai ketertibandan keselamatan dalam berlalu lintas, maka menurut pasal 106 Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh kosentrasi. 2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda 3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan layak jalan. 4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan mematuhi ketentuan: a. Rambu perintah atau rambu larangan; b. Marka jalan;
wajib wajib wajib wajib
50
5)
6)
7)
8)
9)
c. Alat pemberi isyarat lalu lintas; d. Gerakan lalu lintas e. Berhenti dan parker; f. Peringatan dengan bunyi dan sinar; g. Kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau h. Tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain. Pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib menunjukan: a. Surat tanda nomor kendaraan bermotor atau surat tanda coba kendaraan bermotor; b. Surat izin mengemudi; c. Bukti lulus ujian berkala; d. Tanda bukti lain yang sah. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan dan penumpang yang duduk disampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah dijalan dan penumpang yang duduk disampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kertas samping dilarang membawa penumpang lebih dari 1 (satu) orang. Berdasarkan uraian di atas maka persoalan mengenai aturan dan sanksi
dalam Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan sudah mulai terlihat, hanya saja bagaimana penerapan aturan dan sanksi dilaksanakan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi dewasa ini, maka masalah ketertiban lalu lintas selalu menjadi perhatian masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan. Masalah tersebut meliputu kemacetan lalu lintas, pelanggaran lalu lintas samapi kecelakaan lalu lintas. Masalah yang ada dalam bidang lalu lintas tersebut tidak akan lepas dari masyarakat pemakai jalan khususnya pengemudi kendaraan bermotor. 51
Kurangnya kedisiplinan dan kesadaran hukum yang dimiliki oleh para pengemudi, baik karena kesengajaan, misalnya tidak memakai helm, melanggar lampu merah, maupun karena kealpaan, misalnya: lupa membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), merupakan salah satu terjadinya kemacetan atau pelanggaran lalu lintas yang dapat berujung pada kecelakaan lalu lintas. Disamping itu faktor kendaraan juga berpengaruh terhadap pelanggaran lalu lintas maupun terjadinya kecelakaan lalu lintas, misalnya tidak di penuhinya syarat uji kelayakan kendaraan bermotor. Pelanggaran berasal dari kata “langgar” dalam kamus besar bahasa Indonesia mengadung arti masjid kecil, surau, musalla, tempat mengaji atau bershalat. Melanggar sama dengan menubruk ,menabrak, menumbuk, menyalahi, melawan, melewati atau melalui secara tidak sah. Sedangkan pelanggar yaitu orang yang melanggar. Pelanggaran menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti perbuatan (perkara) melanggar tindak pidana yang lebih ringan dari kejahatan. Pelanggaran lalu lintas adalah masalah penyebab sebagian besar kecelakaan lalu lintas, terutama karena faktor manusia yang patuh terhadap pengghadap peraturan lalu lintas. Namun dapat juga ditemukan penyebab di luar faktor amnesia seperti ban pecah, rem blong, jalan berlubang dan lainlain. Demikian juga masalah kemacetan lalu lintas, data menunjukan bahwa kemacetan itu diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh pemakai atau pengguna jalan. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab kemacetan 52
selain pelanggaran lalu lintas seperti volume kendaraan yang tinggi melalui ruas jalan tertentu, kondisi jalan, dan infrastruktur jalan yang kurang memadai. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap aturan yang berlaku mengakibatkan suatu kesengajaan yang berpotensi memunculkan permasalahan dalam berlalu lintas, baik antar pengguna jalan itu sendiri maupun antara pengguna jalan dengan aparat yang bertugas untuk melaksaknakan penegakan hukum di jalan raya. Pemberlakuan tilang terasa belum efektif
sampai saat ini sebagai alat dalam menegakan peraturan
perundang-undangan dan sarana dalam meningkatkan disiplin masyarakat pemakai atau pengguna jalan, sehingga angka pelanggaran lalu lintas belum dapat ditekan. Upaya lain dalam mengurangi pelanggran dengan cara persuasive tampaknya sangat komplek dan tidak dapat ditangani secara baik dan benar oleh satu instansi saja yaitu kepolisian, maka diperlukan koordinasi yang baik antar instansi untuk mengoptimalkan penegkan hukum lalu lintas yang bersifat represif. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dijelaskan mengenai arti pelanggaran, pelanggaran hanya dapat dibedakan dengan kejahatan melalui sanksi yang di jatuhkan. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia sudah jelas membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Semua jenis kejahatan dimuat dalam buku II
53
KUHP sedangkan pelanggran dimuat dalam buku III KUHP yang dibedakan secara prinsip yaitu: 1. Kejahatan sanksi hukumannya lebih berat dari pelanggaran, yaitu berupa hukuman badan (penjara) yang waktunya lebih lama. 2. Percobaan melakukan pelanggaran dihukum sedangkan pada pelanggaran percobaan melakukan pelanggaran tidak dihukum. 3. Tenggang waktu daluwarsa bagi kejahatan lebih lama dari pelanggaran. Berdasarkan penjelasan yang elah dikemukan diatas dapat ditarik kesimpulan bahawa pelanggaran adalah 1. Perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana. 2. Pelanggaran merupakan tindak pidana yang lebih ringan dari kejahatan baik perbuatan maupun hukumannya. Sanksi kepada pelaku pelanggaran umunya lebih ringan dari pelaku kejahatan. Pelanggaran adalah delik undang-undang (wetsdelicten) yaitu sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya undang-undang yang mengaturnya. Suatu tindakan dinyatakan telah melanggar jika hakikat dari perbuatan itu menimbulkan adanya sifat melawan hukum dan telah ada aturan hukum sebelumnya atau undang-undang yang mengaturnya. Walaupun perbuatan itu telah menimbulakn suatu sifat melawan hukum namun belum
54
dapat dinyatakan sebagai suatu bentuk pelanggaran sebelum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lalu lintas dalam kamus besar bahasa Indonesia sama dengan berjalan bolak balik, hilir mudik, perhubungan antara sebuah tempat dengan tempat yang lain. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan bahwa lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan dijalan. Sedangkan dalam undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pengganti Dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1992 yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi perubahan lingkunagn strategis, dan kebutuhan penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti, dijelaskan bahwa lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Adapun yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah kendaran, orang, dan/atau barang yang berupa jalan fasilitas pendukung. Dalam hal ini pemerintah mempunyai tanggung jawab besar dalam mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur, nyaman dan efisien melalui manajemen lalu lintas dan rekayasa lalu lintas. Berdasarkan uraian diatas maka pelanggaran lalu lintas dapat disimpulkan sebagai perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan perturan perundang-undangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
55
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, adapun jenis pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang harus dialakukan penegakan hukumnya adalah pelanggaran pemenuhan persyaratan teknis dan layak jalan, pelanggaran muatan, pelanggaran perizinan, dan pelanggaran makar serta alat pemberi isyarat lalu lintas. Adapun beberapa bentuk pelanggaran lalu lintas serta ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: 1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000 (Pasal 274). 2) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat, fasilitas pejalan kaki, dan alat penagaman pengguna jalan jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 bulan atau dengan denda paling banyak Rp 250.000 (Pasal 275); 3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum dalam trayek tidak singgah diterminal dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (Pasal 276). 4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (Pasal 278); 5) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat menggannggu keselamatan berkendara lalu lintas dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000 (Pasal 279); 6) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang tidak dipasangi tanda nomor kendaran bermotor yang ditetapkan oleh kepolisian Negara reublik Indonesia dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000 (Pasal 280); 56
7) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang tidak memiliki surat izin mengemudi dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000 (Pasal 281); 8) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh sesuatu keadaan yang mengakibatkan gangguan kosentrasi dalam mengemudi dijalan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.750.000 (Pasal 283); 9) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau persepeda dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000 (Pasal 284); 10) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih dijalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak RP 500.000 (Pasal 285 ayat 2); 11) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat dijalan yang tidak memenuhi persyaratan layak jalan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000 (Pasal 286); 12) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang melanggar gerakan aturan lalu lintas atau tata cara berhenti dan parkir dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (Pasal 287 ayat 3); 13) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang tidak dilengkapi dengan surat tanda nomor kendaraan bermotor atau surat tanda kendaraan bermotor yang ditetapkan oleh kepolisian Negara republic Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp.500.000. 14) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan yang tidak dapat menunjukan surat izin mengemudi yang sah sebagai mana dimaksud dalam pasal 106 ayat (5)huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp.250.00.; 15) Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak dilengakapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji berkala dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp.500.000 (Pasal 288 ayat 3) 16) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang akan membelok atau berbalik arah, tanpa memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (Pasal 294), 57
17) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memasang segiti pengaman lampu isyarat pengaman bahaya atau isyarat lain pada saat berhenti atau parkir dalam keadaan darurat di jalan dpidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau dendan paling banyak Rp. 500.000 (Pasal 298); 18) Dipidana dengan pidana kurungan 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (Pasal 300); Setiap pengemudi kendaraan bermotor yang: a. Tidak menggunakan jalur yang telah ditentukan atau tidak menggunakan jalur paling kiri kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah; b. Tidak memberhentikan kendaraannya selama menaikan dan atau menurunkan penumpang; c. Tidak menutup pintu kendaraan selama kendaraan berjalan; 19) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum angkutan orang yang tidak berhenti selain ditempat yang telah ditentukan mengeram, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian atau melewati jarinag jalan selain yang telah ditentukan dalam izin trayek dipidana dengan pidana kurungan 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (pasal 302). Penggolongan
perbuatan
sebagaimana
diuraiakan
sebelumnya
berdasarkan ketentuan dalam pasal 316 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 274, pasal 275 ayat 1, pasal 276, pasal 278, pasal 280, pasal 281, pasal 282, pasal 283, pasal 284, pasal 285, pasal 286, pasal 287, pasal 288, pasal 289, pasal 290, pasal 291, pasal 292, pasal 293, pasal 294, pasal 295, pasal 296, pasal 297, pasal 298, pasal 299, sampai pasal 309 dan pasal 313 adalah pelanggaran. Berdasarkan uraian ketentuan tersebut salah satu tindak pidana lalu lintas adalah pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) atau surat tanda nomor kendaraan (STNK) yang sah. Permasalahan yang lain yaitu penggunaan tanda coba kendaraan bermotor (TCKB) oleh pembeli atau pemilik kendaraan bermotor. Jadi pemilik kendaraan bermotor menggunakan kendaraan bermotor tidak 58
dilengakpi dengan tanda nomor kendaraan (TNKB) dan surat tanda nomor kendaraan (STNK) yang sah. Jika merujuk pada ketentuan mengenai penggunaan TNKB dan STNK kendaraan bermotor dapat dilihat dari ketentuan undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan serta peraturan Kapolri tentang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. Dalam peraturan tersebut bahwa setiap kendaraan bermotor harus diregistrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan yang diatur lebih rinci dalam peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor. Dalam undang-undang terdapat pengaturan mengenai registrasi dan dentifikasi kendaraan bermotor, yaitu terdapat dalam pasal 68 dan 69: Pasal 68 1. Proses pemindahtanganan dalam wilayah Regident dan penggantian BPKB dilaksanakan oleh petugas kelompok kerja identifikasi dan verifikasi berdasarkan permohonan. 2. Setelah menerima permohonan, petugas kelompok kerja identifikasi dan verifikasi melakukan: a. penelitian kelengkapan dokumen persyaratan, asal-usul Ranmor, kelaikan Ranmor, dan/atau kepemilikan Ranmor; b. pengecekan keabsahan dokumen persyaratan melalui instansi/lembaga yang mengeluarkan dokumen Ranmor; c. pencocokan hasil Pemeriksaan Cek Fisik Ranmor dengan berkas; dan d. pengecekan kesesuaian antar dokumen asal-usul, kelaikan dan kepemilikan Ranmor. 3. Dalam hal terdapat persyaratan permohonan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap dan/atau tidak sah, petugas memberitahukan dan mengembalikan kepada pemohon untuk melengkapi kekurangan persyaratan. 59
4. Dalam hal persyaratan permohonan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah lengkap dan sah, petugas kelompok kerja identifikasi dan verifikasi melakukan: a. memilah dokumen persyaratan untuk: 1. proses penerbitan BPKB; dan 2. proses penerbitan STNK; b. menyampaikan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud huruf a angka 1 kepada petugas kelompok kerja pendaftaran BPKB; c. menyampaikan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud huruf a angka 2 kepada petugas kelompok kerja pendaftaran, pendataan dan verifikasi di Samsat; d. memberitahukan kepada petugas kelompok kerja penerimaan pembayaran PNBP Penerbitan BPKB. Pasal 69 1. Atas dasar pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4) huruf d, Petugas kelompok kerja penerimaan pembayaran memberitahukan kepada pemohon untuk melakukan pembayaran PNBP penerbitan BPKB melalui Bank yang ditunjuk. 2. Tanda bukti pembayaran diserahkan kepada kelompok kerja pendaftaran dan kepada pemohon diberi Tanda Bukti Pendaftaran yang berisi identitas pemilik, Ranmor, dan nomor urut pendaftaran. 3. Setelah Tanda Bukti Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, pemohon dapat mengajukan permohonan penerbitan STNK ke Samsat.
Berdasarkan
uraian tersebut bahwa mengemudikan kendaraan
bermotor dan hanya dilengkapi dengan tanda coba kendaraan bermotor serta surat tanda kendaraan bermotor hanya diperuntunkan untuk kepentingan tertentu. Dalam hal ini kepentingan tertentu tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh pemilik kendaraan bermotor untuk digunakan oleh pemilik kendaraan bermotor ketika dioperasikan dijalan. Pemilik kendaraan bermotor hanya dapat mengoperasikan kendaraan bermotor dijalan setelah memiliki Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dan STNK yang sah. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan penggunaan 60
Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dan Tanda Coba Kendaraan Bermotor diatur dengan Kepala Kepolisian Negra Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Registrasi Dan Identifikasi Kendaraan Bermotor. Menurut pasal 2 peraturan Kapolri tentang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor disebutkan bahwa setiap kendaraan bermotor harus diregistrasi dengan tujuan: a. Tertib Administrasi,dalam rangka: 1. T e r j a m i n n ya k e a b s a h a n R a n m o r d a n k e p e m i l i k a n n ya s e r t a o p e r a s i o n a l Ranmor dalam rangka mewujudkan perlindungan dan kepastian hukum;dan 2. T e r w u j u d n y a sistem informasi dan komunikasi R e g i d e n t R a n m o r s e b a g a i bentuk tertib administrasi sebagai landasan penyelenggaraan fungsi control dan forensik kepolisian; b. Pengendalian dan pengawasan Ranmor,dalam rangka: 1. p e m b e r i a n dukungan pengendalianjumlah dan operasional Ranmor;dan 2. p e n g a w a s a n R a n m o r y a n g d i o p e r a s i k a n ; c. Mempermudah penyidikan pelanggaran dan/atau kejahatan dalam bentuk: 1. penyediaan data forensik kepolisian untuk mendukung penyidikan kejahatan yang terkait dengan Ranmor;dan 2. p e n ye d i a a n d a t a u n t u k d u k u n g a n p r o s e s p e n e g a k a n h u k u m t e r h a d a p pelanggaran lalu lintas; d. Perencanaan, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka penyediaan data untuk mendukung: 1. perencanaan manajemen kapasitas dan kebutuhan lalu lintas dan angkutan jalan; 2. p e r e n c a n a a n m a n a j e m e n d a n r e k a ya s a i n f r a s t r u k t u r l a l u l i n t a s d a n angkutan jalan;dan 3. o p e r a s i o n a l d a n m a n a j e m e n r e k a ya s a s e r t a p e n d i d i k a n l a l u l i n t a s d a n angkutan jalan; e. perencanaan pembangunan nasional dalam rangka penyediaan data untukmendukung: 1. p e m b a n g u a n d i b i d a n g j a l a n ; 2. p e m b a n g u n a n s a r a n a d a n p r a s a r a n a l a l u l i n t a s d a n angkutan jalan; 3. p e n g e m b a n g a n i n d u s t r i d a n t e k n o l o g i l a l u l i n t a s d a n angkutan jalan; 61
4. p e m b a n g u n a n d i b i d a n g l a i n ya n g t e r k a i t d e n g a n l a l u l i n t a s d a n a n g k u t a n jalan. Kemudian dalam ketentuan disebutkan bahwa untuk kendaraan bermotor baru yang belum memilki TNKB dan STNK meggunakan TCKB dan STCK sebagai mana ketentuan dalam Pasal 9 Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Registrasi Dan Identifikasi Kendaraan Bermotor disebutkan bahwa: 1) Regident Ranmor dilaksanakan secara rutin dan khusus. 2) Selain Regident rutin dan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdilakukan Praregident. 3) Praregident sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk Ranmor baruyang belum diregistrasi dan diidentifikasi agar dapat dioperasikan di jalan denganpenerbitan STCK dan TCKB. Persyaratan penggunaan STCK dan TCKB dibatasi dengan syarat tertentu sebagaiman ditentukan dalam pasal 18 peraturan Kapolri tentang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor yaitu, 1. Praregident sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)dilakukan dengan penerbitan STCK dan TCKB untuk kepentingan: a. m e m i n d a h k a n R a n m o r b a r u d a r i t e m p a t p e n j u a l , distributor, dan/atau p a b r i k a n k e t e m p a t t e r t e n t u untuk mengganti atau melengkapi komponen penting dari Ranmor yang bersangkutan atau ke tempat p e n d a f t a r a n Ranmor; b. m e m i n d a h k a n Ranmor baru dari satu tempat p e n yi m p a n a n d i s u a t u p a b r i k k e tempat penyimpanan di pabrik lain; c. m e n c o b a R a n m o r b a r u s e b e l u m d i j u a l ; d. m e n c o b a R a n m o r b a r u yangsedang dalamtaraf p e n e l i t i a n ; d a n / a t a u e.memindahkanRanmor baru dari tempat penjual ke tempat pembeli; 2. STCK dan TCKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada badan usaha di bidang penjualan, pembuatan, perakitan, dan/atau impor Ranmor, serta lembaga penelitian di bidang Ranmor. 62
3. S T C K s e b a g a i m a n a d i m a k s u d p a d a a ya t ( 1 ) m e m u a t d a t a a. N o m o r R e g i s t r a s i ; b. n a m a p e n a n g g u n g j a w a b ; c. n a m a b a d a n u s a h a a t a u l e m b a g a p e n e l i t i a n ; d. a l a m a t b a d a n u s a h a a t a u l e m b a g a p e n e l i t i a n ; e. k o d e l o k a s i ; d a n f. n o m o r u r u t p e n d a f t a r a n . 4. Setiap STCK harus dilengkapi Formulir STCK yang berisi data mengenai: a. N o m o r R e g i s t r a s i ; b. m a k s u d d a n t u j u a n p e n g g u n a a n S T C K d a n T C K B ; 5. STCK dan Formulir STCKmerupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan yangdigunakan untuk setiap kendaraan bermotor dan STCK tidak berlaku apabila tidakdilengkapi Formulir STCK. 6. STCK dan Formulir STCKsebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku selama14 (empat belas) hari sejak mulai digunakan dan sebelum berakhirnya masaberlaku dapat diajukan permohonan perpanjangan/penggantian. 7. Pengisian data STCK oleh petugas Polri sedang blanko Formulir STCKdiisi oleh APM/Importir sendirisecara komputerisasi/manual dan setiap mengajukan permohonan STCK yang baru harus melampirkan STCKdan Formulir STCK yang telah digunakan sebagai laporan dan wasdal., 8. Ranmor yang diterbitkan STCK dan TCKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)pengemudi dan penumpang maksimal3 (tiga) orang dengan menggunakanseragam badan usaha serta tidak diberikan kepada Ranmor yang di pergunakanangkutan umum dan angkutan barang. 9. TCKB sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di pasang pada bagian sisi depandan belakang pada tempat yang telah disediakan pada masing-masing kendaraan bermotor, yang berisi data mengenai:. a. k o d e w i l a y a h ; b. n o m o r r e g i s t r a s i ; d a n c. h u r u f s e r i . 10. TCKB berlaku selama badan usaha masih melakukan usaha sebagaimana dimaksud ayat (2). 11. TCKB berwarna dasar putih dengan tulisan merah. 12. S T C K , T C K B d a n F o r m u l i r S T C K d i b u a t d a r i b a h a n ya n g m e m p u n ya i u n s u r pengamanberupa logo lalu lintas dan/atau pengaman lain serta diadakan secara terpusat oleh Korlantas Polri. 13. Penerbitan STCK dan TCKB dipungut biaya PNBP sesuai peraturan perundangundangan. 14. Spesifikasi teknis STCK,TCKBdan Formulir STCK ditetapkan dengan Keputusan Kakorlantas Polri.
63
Berdasarkan uraian tersebut menurut penulis terdapat pembatasan dalam pemggunaan TCKB dan STCK bagi pengemudi kendaraan bermotor, yaitu hanya untuk kepentingan tertentu sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan serta Perturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor tersebut berdasarkan ketentuan pasal yang dikutip tersebut diatas, jelaslah pada saat mengendarai kendaraan tersebut tidak dilengkapi dengan surat yang sah yang meskipun pada saat pemeriksaan dapat menunjukan STCK, karena pengemudi tidak berhak/ tidak berwenang untuk menggunakn STCK tersebut sekalipun selaku pembeli dari kendaraan tersebut.
64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada hasil penelitian dan pembahsan maka penulis dapat menyimpulkan bahwa implikasi yuridis pemilik kendaraan bermotor dengan tidak menggunakan Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB) dan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB). Adalah merupakan pelanggaran lalu lintas berdasarkan ketentuan pasal 280 Juncto Pasal 288 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan serta merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor. B. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian terhadap pemilik kendaraan bermotor yang belum memilki Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), maka penulis menyarankan: 1. Perlu ada peraturan yang jelas yang mengatur tentang penggunaan plat sementara yang digunakan oleh pengemudi kendaraan bermotor. 2. Aparat kepolisian khususnya Satuan Lalu Lintas (Sat Lantas) seharusnya melakukan tindakan tegas terhadap pengemudi yang masih menggunakan
65
Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB) atau Plat sementara dan STNK sementara dalam mengemudikan kendaraan bermotor.
66
67
68