BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, maka dari itulah semua permasalahan apalagi yang berhubungan dengan tindak pidana sudah sepatutnya di selesaikan melalui jalur hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Negara kita. Kemudian dari pandangan seperti itulah kemudian muncul pertanyaan apakah Undang-Undang kita saat ini sudah selaras dengan perkembangan masyarakat sekarang ini. Maka yang sekarang menjadi pembahasan adalah aparatur penegak hukum yang berhubungan langsung dengan masyarakat yang dalam hal ini adalah polisi yang menjadi pihak paling menentukan dalam penentuan atau pengkategorian dalam perspektif hukum pidana. Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara keamanan sosial juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, Dalam Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga menegaskan : “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
1
Dalam menjalankan tugas sebagai aparat hukum polisi senantiasa menghormati hukum dan hak asasi manusia. Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral. Kode etik profesi Polri mencakup norma prilaku dan moral yang dijadikan pedoman sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu nurani bagi setiap anggota untuk pemulihan profesi kepolisian agar dijalankan sesuai tuntutan dan harapan masyarakat. Jadi polisi harus benar-benar jadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang bersih agar tercipta clean governance dan good governance. Didalam terjadinya sebuah tindak pidana polisilah yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa terjadinya tindak pidana tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.1 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa: “Kepolisian adalah segala 1
.Undang-undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2
2
hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia bertugas untuk memelihara keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat. Didalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa Polisi mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai penyelidik atau penyidik dengan ketentuan dalam KUHAP tersebut. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.2 Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang maka polisi boleh melakukan penahan terhadap tersangka untuk kepentingan penyidikan dan karena di khawatirkan tersangka melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi kembali tindak pidana yang serupa proses penahan yang dilakukan oleh penyidik hanya berlaku paling lama 20 hari (Pasal
2
UU NO.8 Tahun 1981tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3
24 Ayat 1 UU NO.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), namun apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, maka diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang paling lama 40 hari(Pasal 24 Ayat 2 UU NO.8 Tahun 1981tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).3 Dari beberapa penjabaran diatas kita bisa mengetahui fungsi dan peranan polisi sebagaimana diatur didalam Undang-Undang, baik dalam kewenangan dalam menyelesaikan sebuah kasus ataupun dalam aturan beracara sebagaimana diatur di dalam KUHAP ataupun Undang-Undang no.2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lalu kembali kepembahasan semula dimana akan timbul sebuah pertanyaan apakah Undang-Undang kita saat ini sudah selaras dengan perkembangan masyarakat yang ada. Banyak kasus yang dirasa dan dinilai kurang tepat dalam penyelesaiannya belakangan ini. Ini dikarenakan banyak yang berpendapat bahwa kasus tersebut sebenarnya bisa diselesaikan tanpa harus melalui jalur persidangan. Disinalah peran polisi di Indonesia akan dinilai oleh masyarakat. Sebut saja conttohnya kasus yang menyangkut penanganan kasus tindak pidana perjudian yang di lakukan oleh anak-anak. Dimana kasus ini mendapat perhatian khusus dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Selain mendesak menghentikan proses persidangan dan membebaskan anak-anak tersebut dari jeratan hukum, KPAI juga meminta agar kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang telah menghukum mereka meminta maaf kepada anak-anak tersebut.Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menyatakan menyesalkan sikap kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri yang telah menghukum anak-anak tersebut. KPAI menilai Proses hukum yang dilakukan selama ini melanggar Pasal 16 dan 62
3
Ibid
4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak”. Dampak atas perbuatan yang dilakukan anak-anak tersebut, mereka didakwa melanggar Pasal 303 kesatu butir kedua KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mengenai perjudian yang ancaman hukumannya 10 tahun. Selain itu, para terdakwa (anak) didakwa dengan dakwaan subsider, yakni melakukan perjudian yang melanggar Pasal 303 bis KUHP. Hal ini terlihat ketika adanya proses persidangan terhadap anak-anak tersebut yang dilakukan pada sidang pertama hari senin tanggal 13 Juli 2009, dimana mereka disangka, dituduh telah melanggar Undang-undang pidana.4
Di lihat dari Undang-undang No. 23 Tahun 2009, definisi anak pada Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan seorang anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Seperti yang diberitakan, bahwa usia anak-anak tersebut masih berusia 10 sampai dengan 16 tahun, maka hal tersebut menjadi pertanyaan, pantaskah mereka diberlakukan seperti itu?
Kemudian perkembangan dari kasus itu sendiri, anak-anak yang menjadi terdakwa diputus bebas untuk melindungi perkembangan dari anak itu sendiri. Anak-anak tersebut dikembalikan kepada orang tua masing-masing anak untuk mendapatkan pengawasan yang lebih baik, dan agar menghindarkan anak dari pendangan negatif dikemudian hari.
Memang persidangan tersebut tertutup untuk umum, dimana para hakim, jaksa, dan pengacara juga tidak memakai jubah saat bersidang, melainkan berbaju safari. Namun, hal tersebut justru merupakan hal yang keliru bila tetap dilakukan. Proses 4
www.detik.com tanggal 14 juli 2009
5
persidangan ke dua yang kembali digelar di Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa pada tanggal 21 Juli 2009 justru mengenyampingkan pelaksanaan suatu proses yang pada dasarnya adalah proses penyelesaian tindak pidana anak atau kasus anak yang berhadapan dengan hukum dari proses formal ke informal atau juga disebut dengan Diversi.5
Diversi, merupakan aturan ke-11 United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules). Diversi sendiri dalam pengaturan sistem peradilan pidana anak di indonesia memang belum mendapatkan pengaturan yang tegas, namun pada Pasal ayat (1) 18 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pada ayat (2), Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini seharusnya kembali dipikir ulang oleh berbagai pihak, bukan hanya Kepolisian dalam menangani perkara anak tersebut. Tapi juga Jaksa, Hakim, Penasihat Hukum dan juga seluruh komponen banga dan negara ini.
Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Bagaimana dengan Indonesia, tentunya konsep restorative
5
www.gugustugastrafficking.org › Provinsi › Aceh - Cached - Similar
6
jusrtice bila kita melihat UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), pada Pasal 66 menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap anak dilakukan sebagai upaya terakhir untuk anak. Hal ini juga disebutkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 pada Pasal 64 yang menyatakan secara tegas bahwa penjatuhan sanksi yang tepat adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak.
Dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, polisi senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana. Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan restorative juctice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihkan (diversi). Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihakpihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Dalam perkembangannya sendiri konsep diversi merupakan konsep yang baru di Indonesia, awalnya konsep diversi ini muncul dalam sebuah wacana-wacana seminar yang sering diadakan. Diversi sendiri merupakan konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke informal. Konsep Diversi memang belum mendapatkan pengaturan yang jelas dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Berawal dari pengertian dan pemahaman dari wacana seminar yang diadakan tentang konsep diversi menumbuhkan 7
semangat dan keinginan untuk mengkaji dan memahami konsep diversi tersebut.6
Kadang terjadi kesalahfahaman dalam membedakan antara diversi dengan diskresi karena itulah perlu dibedakan antara diversi dan diskresi itu sendiri. Diversi diartikan sebagai langkah/gerak yang menjauhi (movement away) pemrosesan perkara pidana secara formal atau merupakan konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke informal7. Sedangkan diskresi diatur pada Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Dasar hukum yang dapat di jadikan sebagai landasan dalam melakukan diversi yaitu :
UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 18 ayat (1)
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), pada Pasal 66
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 64
Telegram (TR) Kabareskrim Polri No.1124/XI/2006.
Dari uraian diatas maka kepolisian merupakan lembaga yang dapat melakukan upaya diversi dalam menyelesaikan sebuah kasus tindak pidana dikarenakan lembaga kepolisian dapat menggunakan kewenangan diskresioner yang dimilikinya. Disinilah
6
. Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan. Hal 161. 7
Ibid hal 162
8
kemudian banyak pertanyaan tentang bagaimana implementasi yang dilakukan seorang penyidik dalam melakukan tindakan diversi dalam penanganan sebuah kasus tindak pidana, apakah penyidik sudah menerapkan konsep diversi tersebut jika memang dirasa kasus tersebut tidak perlu diselesaikan melalui persidangan dan dapat di selesaikan atau ditempuh dengan cara yang dirasa lebih menguntungkan bagi semua pihak.
Dari ulasan latar belakang
tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan hukum yang menitik beratkan bagaimanakah implementasi yang dilakukan penyidik dalam melakukan tindakan deversi dan kemudian penulis mengangkat judul Kewenangan Penyidik Melakukan Tindakan Diversi Dalam Menyelesaikan Kasus Tikdak Pidana yang dilakukan oleh anak ( studi di polresta kediri).
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berkut :
1. Bagaimana Kewenangan Penyidik Melakukan Tindakan Diversi dalam Menyelesaikan Kasus Tindak Pidana ?
2. Kendala Apakah Yang Dihadapi Oleh Penyidik Dalam Menjalankan Diversi ?
C. Tujuan Penulisan Sesuai dengan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kewenangan yang dimiliki oleh seorang penyidik melakukan
9
tindakan diversi dalam menyelesaikan sebuah kasus tindak pidana.
2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang timbul dalam menjalankan diversi yang dilakukan oleh seorang penyidik.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Secara Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan hukum acara pidana pada khususnya dan pada umumnya dapat dijadikan sebagai ilmu yang dapat dipelajari bagi para mahasiswa ataupun siapa saja yang ingin lebih mengerti tentang kemajuan dari perkembangan konsep diversi di Indonesia. Sehingga kedepannya diharapkan akan ada pemahaman yang cukup mengenai konsep diversi ini dan dalm penerapannya juga akan mendapat respon yang baik dari semua pihak. Selain itu terkait dengan konsep diversi sendiri, semoga dengan penelitian ini akan banyak orang yang lebih memahami konsep ini dan akan terdapat peraturan yang jelas didalam peraturan perundangundangan di Indonesia yang membahas pengaturan tentang diversi.
2. Secara praktis a. Bagi aparat kepolisian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran mengenai praktik penerapan konsep diversi yang dilakukan oleh pihak kepolisian khususnya bagi para penyidik dalam penanganan sebuah kasus tindak pidana yang sekiranya tidak perlu diselesaikan hingga melalui proses peradilan yang 10
berkepanjangan. Selain itu hasil dari penelitian ini akan memberi gambaran kepada pihak kepolisian khususnya bagi para penyidik tentang kendalakendala yang timbul dalam menjalankan konsep diversi ini, sehingga kedepannya para penyidik akan lebih bisa memecahkan kendala-kendala tersebut dengan lebih baik lagi.
b. Bagi masyarakat Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana baru atau gambaran yang lebih jelas kepada masyarakat bahwa terdapat konsep baru di Indonesia berkaitan tentang penyelesaian sebuah tindak pidana beserta kendala yang timbul dalam pelaksanaannya.
Bagi para akademis dan para generasi muda diharapkan dengan hasil penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan sebuah konsep atau ilmu baru yang dapat mencerminkan keadilan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang ada.
E. Metode Penulisan 1. Pendekatan Metode yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah yuridis sosiologis, yaitu suatu metode dengan pendekatan ilmu hukum dan ilmu sosiologis yang ditempuh melalui penelitian yang sistematis dan terkontrol berdasarkan suatu kerangka pembuktian untuk memastikan, memperluas dan menggali atau mendapatkan data secara langsung dari lapangan terhadap obyek yang diteliti, baik data primer sebagai data utama, serta data sekunder sebagai 11
data pendukung atau pelengkap8. Dari segi yuridis dimana memandang hukum sebagai gejala sosial yang terjadi dimasyarakat sesuai dengan norma-norma yang ada sebagaimana tertuang dalam undang-undang yang berlaku. Sedangkan pendektan sosiologis disini digunakan sebagai acuan untuk mengkaji berlakunya aturan hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan ketika diterapkan dimasyarakat atau melihat realita yang terjadi di masyarakat.
2. Lokasi Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis, disini penulis memilih Polresta Kediri sebagai lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan banyak kasus yang terjadi di wilayah hukum Polresta Kediri yang kiranya dapat diselesaikan dengan konsep diversi dengan kewenangan polisi dalam melakukan tindakan diskresi, sehingga penulis menganggap dan tertarik untuk meneliti apakah konsep diversi tersebut sudah diterapkan oleh para penyidik di Polresta Kediri guna penyelesaian sebuah kasus tindak pidana yang lebih efisien
3. Sumber Data Dalam hal ini sumber data yang dipergunakan oleh penulis ada dua macam, yaitu :
a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian dan dikumpulkan, dari tangan pertama dan diolah oleh suatu
8
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian hukum dalam praktik, Sinar Grafika, Jakarta.hlm. 16
12
organisasi atau perorangan9 . Dalam hal ini penulis mendapatkan data dari arsip-arsip yang diperoleh dari Polresta Kediri. Selain itu data primer ini diperoleh penulis dengan cara melakukan wawancara atau interview kepada penyidik dak penyelidik yang pernah menangani atau menyelesaikan sebuah kasus tindak pidana dengan melakukan tindakan diskresi yang kiranya dapat dikategorikan masuk kedalam konsep diversi.
b. Sumber Data Sekunder Adalah data yang diperoleh dari suatu organisasi atau perorangan yang berasal dari pihak lain yang pernah mengumpulkan dan mengolahnya sebelumnya.10 Data yang mendukung serta melengkapi data primer diatas. Data
pendukung
tersebut
melalui
studi
kepustakaan
yaitu
dengan
menggunakan peraturan perundang-undangan dan sumber bacaan lain yang terkait dengan pokok permasalahan.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik studi lapangan (field research), yaitu sebuah teknik pengumpulan data secaa langsung dari lapangan melaui beberapa cara, yakni :
a. Teknik Pengumpulan Data Primer
9
Interview
Muslin Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, hlm.112 Ibid.
10
13
Yaitu pengumpulan fakta sosial sebagai bahan kajian hukum empiris, dilakukan dengan tanya jawab secara langsung dimana semua pertanyaan disusun secara sistematik, jelas dan terarah sesuai dengan isu hukum yang diangkat dalam penelitian.11 Metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak , sesuai dengan tujuan penelitian.
Macam macam interview :
1. Guided Interview ( interview terpimpin ) : interview yang pertanyaanya sudah disiapkan, penginterview tinggal membacakan. 2. Unguided interview ( interview tidak terpimpin / bebas ) 3. Focused interview ( sudah disiapkan untuk mslh tertentu ) Merupakan metode pembantu, data interview hanya untuk melengkapi data yang sudah terkumpul dengan metode yang lain. Namun bisa juga menjadi metode pokok terutama dalam kualitatif.12 Peneliti menggunakan jenis interview Guided Interview yang mana interview yang pertanyaannya sudah disiapkan, penginterview tinggal membacakan.
Penulis melakukan interview langsung dengan pihak-pihak yang berkompeten dan relevan dengan permasalahan yang diangkat dan diteliti oloeh penulis. Dalam hal ini langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian agar data yang diperoleh lebih
11 12
Bahder Johan Nasution, op cit. hlm. 167 Dekrizky, loc cit.
14
jelas dan akurat. Adapun yang dijadikan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini adalah: 1) Kanit
PPA
Satreskrim
Polresta
Kediri,
Candra
Hendrawan, SH berpangkat Ajun Inspektur satu. 2) Penyidik/Penyidik Pembantu pada Unit PPA Satreskrim Polresta Kediri, Dian Waluyo berpangkat BRIGADIR Selain itu penulis melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek permasalahan yang diteliti.
Pengambilan Sampel
Secara garis besar teknik pengambilan sampel tersebut dibagi atas 2 kelompok besar, yaitu :
a) Probability Sampling (Random Sample), yang dimana terdapat lima (5) cara dalam pengambilan sampel yang dilakukan secara random13, yaitu :
1) Sampel
Random
Sederhana
(Simple
Random
Sampling). Proses pengambilan sampel dilakukan dengan memberi kesempatan yang sama pada setiap anggota populasi untuk menjadi anggota sampel. Sampel dan populasi dipilih secara random.
13
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian hukum dalam praktik, Sinar Grafika, Jakarta.hlm.67
15
2) Sampel Random Sistematik (Systematic Random Sampling). Sampel Random Sistematik (Systematic Random Sampling). Keuntungan dari cara ini adalah setiap
perencanaan
yang
dilakukan
mudah.
Kekurangannya adalah cara ini membutuhkan daftar populasi. 3) Sampel Random Berstrata (Stratified Random Sampling). Merupakan dimana
populasi
kita
suatu teknik sampling bagi
kedalam
sub
populasi(strata), 4) Merupakan cara pengambilan sampel dengan cara gugus. 5) Sampel Bertingkat (Multi Stage Sampling). Metode ini dapat dipakai apabila jumlah populasi yang diamati besar dan bersifat homogen.
b) Non Probability Sampling (Non Random Sample), yang dimana terdapat tiga (3) cara dalam pengambilan sampel yang dilakukan secara tidak random14, yaitu :.
1) Sampel Dengan Maksud (Purposive Samping). Pengambilan sampel dilakukan dengan melihat
14
Ibid hal 68
16
unsur-unsur yang dikehendaki dari data yang sudah ada. 2) Sampel Tanpa Sengaja (Accidental Sampling). Sampel diambil berdasarkan keperluan saja. Tidak ada perencanaan ataupun pertimbangan khusus di dalamnya. 3) Sampel Berjatah (Quota Sampling).Besar dan criteria dalam pengambilan sampel telah ditentukan terlebih dahulu.
Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik Sampel Dengan Maksud (Purposive Samping). Dimana teknik sampling yang Satuan samplingnya dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh satuan sampling yang memiliki karakteristik atau kriteria yang dikehendaki dalam pengambilan sampel. Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud dan tujuan yang diinginkan peneliti atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki atau mengetahui informasi yang diperlukan bagi penelitian yang peneliti buat15.
b. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
15
Studi Kepustakaan
Ibid hal 70
17
Penulis melakukan studi kepustakaan untuk memperoleh dan mendapatkan data yang bersifat teoritis, yaitu berupa data yang diperoleh atau terdapat didalam peraturan perundang-undangan, literatur atau buku-buku, tulisan ilmiah dan dokumen-dokumen yang dapat dipergunakan sebagai referensi dan mempunyai relevansidengan penelitian yang diangkat oleh penulis
Studi Dokumentasi Yaitu teknik penumpulan data yang ditujukan kepada subjek penelitian.16 Dilakukan dengan cara mencari dokumen-dokumen yang terkait dengan penegakan hukum dalam penegakan kasus tindak pidana di Kota Kediri, dan tekhnik ini digunakan untuk memperoleh data sekunder.
5. Analisa Data Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode analisis diskriptif, dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut subaspek dan melakukan interpretasi untuk memberikan makna terhadap tiap subaspek dan hubungannya satu sama lain.17 Sehingga dapat memberikan gambaran tentang suatu gejala/ agar dapat tersimpulkan masalah yang ada untuk dianalisis dan mendapatkan cara penyelesain yang baik sesuai peraturan perundang-undangan.
16 17
Sukandarrumidi, op cit. hlm. 100 Bahder Johan Nasution, op cit. hlm. 174
18
F. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 (empat) bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab dimana bertujuan agar mempermudah dalam pemahamannya. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN Membahas mengenai pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah yakni memuat alasan atau faktor dorongan yang menjadi pentingnya dilakukan suatu penelitian berdasarkan atas permasalahan yang ada. Rumusan masalah adalah meliputi pertanyaan yang terfokus dan spesifik terhadap masalah yang akan diteliti serta merupakan dasar pemilihan judul penulisan hukum. Tujuan penulisan adalah memuat pernyataan singkat tentang apa yang hendak dicapai dalam penelitian. Manfaat penulisan adalah merupakan uraian mengenai kegunaan secara praktis dan teoritis. Metode penulisan adalah yang menguraikan tentang metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan. Metode penggumpulan bahan
dan metode analisis hasil penelitian serta sistematika
pembahasan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis akan memaparkan landasan teori atau kajian teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis, baik memaparkan teori-teori maupun kaidah-kaidah yang bersumber dari perundangundangan maupun literatur-literatur yang akan dipakai untuk mendukung analisis
19
yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini. Teori-teori yang akan dipergunakan antara lain tentang pendapat para ahli tentang perkembangan dan perlunya konsep diversi serta berlakunya KUHAP dan undang-undang no 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB III PEMBAHASAN Merupakan bab yang berisi tentang uraian pembahasan permasalahan yang diteliti, dimana akan dianalisis secara deskriptif kualitatif sehubungan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sebuah permasalahan yang akan diteliti oleh penulis. Adapun uraian gambaran analisis penulis akan berfokus terhadap implementasi yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan tinakan diversi dalam menyelesaikan sebuah kasus tindak pidana beserta kendala yang timbul dalam penerapan diversi tersebut.
BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini, dimana berisikan kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisi saran atau rekomendasi penulis terhadap permasalahan yang diangkat oleh penulis.
20