BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, hal ini sesuai dengan konstitusi negara kita, yaitu yang termuat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai negara hukum, pemerintah perlu menuntaskan kasus-kasus kejahatan yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus-kasus korupsi. Korupsi
merupakan
masalah
serius,
tindak
pidana
ini
dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moral.1 Tindak pidana korupsi dikategorikan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) karena dampak yang ditimbulkannya memang luar biasa, tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistemik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, serta melemahkan nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum sehingga dapat membahayakan kelangsungan pembangunan, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.2
1 2
Evi Hartanti, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.1. Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 175-176.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan. Pembicaraan mengenai korupsi ini juga kian ramai, seiring dengan kian hebat dan canggihnya modus operandi dan rekayasa para koruptor. Dalam perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia, yang menjadi tindak pidana korupsi yang baru yaitu gratifikasi. Gratifikasi masuk dalam jenis tindak pidana korupsi di Indonesia, setelah adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengaturan tindak pidana gratifikasi dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tercantum dalam Pasal 12B ayat (1) yang berbunyi : “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”. Gratifikasi adalah sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.3 Pemberian ini adalah pemberian yang berhubungan dengan jabatan (in zijn bediening) dan yang berlawanan dengan kewajiban
3
Penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
atau tugasnya (in strijd met zijn plicht) baik sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, dibuktikan dengan pembuktian terbalik.4 Pada dasarnya gratifikasi bukanlah hal yang negatif dan hal yang salah, namun dasar pembentukan peraturan tentang gratifikasi atau pemberian ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang
negatif
dan
dapat
disalahgunakan,
khususnya
dalam
rangka
penyelenggaraan pelayanan publik sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi.5 Tindak pidana menerima gratifikasi saat ini tidak hanya dalam bentuk materiil seperti pemberian uang, pemberian mobil baru, pemberian rumah, atau pemberian yang terdapat dalam penjelasan mengenai gratifikasi, melainkan dalam bentuk gratifikasi seksual dan ini dianggap model baru dalam tindak pidana gratifikasi. Baharuddin Lopa6 menyatakan kalau orang atau pejabat sulit dan tidak berhasil dibujuk dengan sarana klasik, seperti menyogok dengan uang, sekarang sudah lumbrah ditawarkan gadis cantik, biasanya oknum pejabat yang kurang kuat imannya mudah terpengaruh oleh daya tarik ini, sehingga berhasil digiring masuk kedalam perangkap yang telah disediakan. Di Indonesia kasus gratifikasi seksual ini mulai marak dibicarakan, terkait kasus suap pengaturan kuota impor daging sapi di Kementerian
4
Barda Nawawi Arief (i), 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 214. 5 Doni Muhahardiansyah, dkk, 2010, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, hal. 6. 6 Baharuddin Lopa, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Buku Kompas, hlm. 64.
Pertanian (Kementan). Dugaan terjadi gratifikasi seksual terjadi dalam ketika operasi tangkap tangan (OTT) pada tanggal 29 Januari 2013, orang dekat Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah ditangkap dalam sebuah kamar di Hotel Le Meridien Jakarta bersama dengan seorang perempuan muda, Maharani Suciono.7 Kemudian kasus suap terhadap Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono yang terkait dengan putusan kasus korupsi dana bantuan sosial di Pemerintah Kota Bandung senilai Rp 66,6 miliar. Selain diduga menerima suap, hakim Setyabudi Tejocahyono diduga juga menerima gratifikasi seksual.8 Selain dianggap baru dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi, gratifikasi seksual menjadi ramai juga karena belum ada penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil yang dijerat dengan dakwaan ini. Hal ini berbeda dengan negara Singapura. Di Singapura kasus gratifikasi seksual sudah pernah ditangani oleh aparat hukum negara tersebut. Seorang mantan komandan Angkatan Pertahanan Sipil Singapura (SCDF), Piter Lim Biro ditangkap oleh Investigasi Korupsi Singapura Januari 2012, dan didakwa melakukan korupsi dengan menerima gratifikasi seks. Piter Lim dinyatakan
7
Republika, 2013, Ungkap Gratifikasi Seks KPK Kerjasama Dengan Siangapura, Dikutip dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/12/30/ mymjxa-ungkap-gratifikasi, Diakses Pada Tanggal 1 April 2014. 8 Tempo, 2013, Hakim Setyabudy Diduga Menerima Gratifikasi Seks, Dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2013/04/17/063473942/Hakim-Setyabudi-Diduga-MenerimaGratifikasi-Seks, Diakses Pada Tanggal 1 April 2014.
bersalah menerima oral seks dan dihukum 6 bulan penjara atas kasus gratifikasi seks tersebut.9 Dalam kasus di atas menjadi timbul pertanyaan apa gratifikasi seksual dapat dipandang sebagai perbuatan yang dilarang atau tidak, dan apakah fasilitas seksual ini masuk kedalam gratifikasi sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, seperti yang telah dilakukan oleh negara Singapura. Mahfud MD, menyatakan bahwa gratifikasi seksual lebih dahsyat dari pada gratifikasi uang. Banyak pejabat yang kebal dengan uang, tapi tidak kebal dengan tawaran seksual.10 Melihat dampak yang begitu besar tentulah gratifikasi seksual perlu menjadi perhatian kita bersama, sesuai dengan semangat kita untuk memberantas korupsi di negara ini. Segala perbuatan dapat dikatakan dilarang atau tidak maka perbuatan tersebut harus temasuk dalam tindak pidana. Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diatur dalam suatu undang-undang dan memiliki sanksi. Untuk manjadi suatu tindak pidana, suatu perbuatan harus mengalami suatu proses yaitu kirminalisasi. Kriminalisasi adalah suatu proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.11
9
Detiknews, 2013, Terima Gratifikasi Seks, Mantan Pejabat Tinggi Singapura Dibui 6 Bulan, Dikutip dari http://news.detik.com/read/2013/06/13/terima- gratifikasi-seks-mantanpejabat-tinggi-singapura-dibui-6-bulan, Diakses Pada tanggal 28 Mei 2014. 10 Tempo, 2013, Mahfud: Gratifikasi Seks Lebih Dahsyat daripada Uang, http://www.tempo.co/read/news/2013/01/13/078454055/Mahfud-Gratifikasi-Seks-Lebih-Dahsyatdaripada-uang, Diakses Pada Tanggal 12 April 2014. 11 Suwondo, 1982, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm.61.
Hal ini juga terkait dengan asas legalitas yang dianut oleh hukum pidana kita, dimana suatu perbuatan tercela dapat ditindak jika adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan sanksi terhadapanya. Dari latarbelakang diatas maka untuk mencari kejelasan mengenai gratifikasi seksual dan mengenai pengaturan gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi, maka dengan ini penulis tertarik untuk menulis tesis dengan judul Kriminalisasi Terhadap Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan judul dan latar belakang permasalahan diatas, yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1.
Apakah gratifikasi seksual dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2.
Bagaimanakah formulasi pengaturan gratifikasi seksual dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi di Indonesia yang akan datang?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui dan mengkaji apakah gartifikasi seksual dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.
Untuk mengetahui dan menyarankan formulasi pengaturan gratifikasi seksual dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi di Indonesia yang akan datang.
D. Manfaat Penelitian Ada dua manfaaat dari penelitian ini yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana terutama berkaitan dengan kriminalisasi gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi. Selanjutnya, dalam manfaat praktis, yaitu bagi pembentuk
undang-undang
diharapkan
dapat
bermanfaat
dalam
menyempurnakan perundang-undangan dan peraturan yang sudah ada supaya terdapat kejelasan mengenai gratifikasi seksual, yakni untuk memperjelas rumusan suatu pasal dalam undang-undang sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Selain itu, juga memberikan masukan dan memperkaya pemikiran kepada masyarakat sipil terkait gratifikasi seksual yang terjadi di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang peneliti lakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan penelusuran melaui internet belum ada ditemukan adanya penelitian ilmiah dengan judul penelitian tesis yang penulis ajukan. Peneliti menemukan judul tesis yang berkaitan dengan gratifikasi dan berkaitan dengan kriminalisasi, penelitian tersebut adalah: 1.
Heri Yulianto, Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Diponogoro, dengan judul tesis: Kebijakan Formulasi Mengenai Gratifikasi Dalam Undang-Undang Korupsi dan Penerapan Hukumnya.12 Rumusan masalah : 1.
Kendala apa yang timbul dalam penerapan aturan gratifikasi dalam undang-undang korupsi saat ini?
2.
Bagaimana kebijakan formulasi mengenai gratifikasi yang baik dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam proses penegakan hukum. Adapun kesimpulan dalam tesis ini adalah terdapat beberapa kendala
yang dihadapi dalam pengaturan gratifikasi saat ini yang memerlukan pengaturan yang bersifat menyeluruh. Kebijakan formulasi mengenai gratifikasi yang telah ada saat ini dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memerlukan penyusunan ulang 12
Heri Yulianto, 2004, Kebijakan Formulasi Mengenai Gratifikasi Dalam UndangUndang Korupsi dan Penerapan Hukumnya, Tesis Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, Semarang, hlm. i.
(re-formulasi) terutama dalam substansi pengertian gratifikasi, pelaporan penerimaan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi pidana, dan kualifikasi pemberi dan penerima gratifikasi, sehingga optimalisasi penerapan dan penegakan hukum sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu kepastian dan keadilan. 2.
Ayib Rosidin, Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan judul tesis: Kriminalisasi Pencandu Narkotika Perspektif Hukum Pidana.13 Rumusan masalah : 1.
Bagaimanakah parameter kriminalisasi pecandu narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dilihat dari perspektif hukum pidana?
2.
Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pecandu narkotika? Dalam tesis ini menyimpulkan bahwa kriminalisasi pecandu
narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah tepat, karena sistem sanksi bagi pecandu narkotika selain mencantumkan sanksi pidana, juga mencantumkan tindakan rehabilitasi guna menghilangkan efek ketergantungan narkotika. Namun demikian, terkait dengan pemidanaan bagi pecandu narkotika, hakim dalam pertimbangannya mengalami disparitas atau perbedaan antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya. Padahal, baik sanksi pidana 13
Ayib Rosidin, 2013, Kriminalisasi Pencandu Narkotika Perspektif Hukum Pidana, Tesis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. i.
maupun tindakan rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bersifat komplementer atau saling melengkapi, dan tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Berdasarkan penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan penulis berbeda, karena penelitian yang dilakukan penulisi secara spesifik membahas tentang Kriminalisasi Terhadap Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Kosupsi di Indonesia. Dalam penelitian ini, menitik beratkan layanan seksual dalam tindak pidana gratifikasi. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan serta dijamin keasliannya.