BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum dengan norma fundamental negara yaitu Pancasila dan aturan dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib dan tentram. Untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan adanya upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berbicara mengenai kepastian hukum, terdapat berbagai problematika hukum di Indonesia yang salah satunya yaitu mengenai hukum waris. Akibat dari kematian seorang manusia di dunia ini dalam bidang hukum adalah masalah status harta benda yang ditinggalkannya. Bila status ini dihubungkan dengan seorang manusia lain yang masih hidup, maka timbullah apa yang dinamakan masalah warisan. Hukum waris adalah : "suatu
rangkaian
ketentuan-ketentuan,
dimana,
berhubungan
dengan
meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.”1
1
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hal. 7.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Hukum yang mengatur masalah warisan dinamakan kewarisan dan setiap lembaga hukum mempunyai hukum kewarisannya masing-masing. Indonesia masih terdapat pluralisme hukum, sehingga dikenal hukum kewarisan Islam merupakan ketentuan Al-Quran dan Hadits, hukum kewarisan adat yang beraneka, tergantung di lingkungan mana masalah warisan itu terbuka dan hukum kewarisan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).2 Hukum kewarisan mengenai harta peninggalan berlaku setelah kematian seseorang. Sebelum harta warisan dibagi, diawali dengan penentuan siapa-siapa yang akan menjadi ahli waris dari harta peninggalan. Untuk menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris perlu dibuktikan dengan suatu surat keterangan waris. Ketentuan pembuatan surat keterangan waris di Negara Indonesia sampai saat ini msih didasarkan pada pembagian golongan penduduk yang merupakan politik Belanda untuk penduduk di wilayah jajahannya yaitu Hindia-Belanda. Negara Indonesia merupakan negara yang pernah mengalami masa penjajahan yaitu kolonialisasi Belanda. Selama penjajahan, masyarakat Indonesia dibedakan berdasarkan unsur suku, agama, ras dan golongan. Pembagian dilakukan secara sistematis, terstruktur oleh Belanda. Pada saat itu penduduk dibedakan menjadi beberapa golongan seperti dalam Pasal Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) juncto Pasal 109 Regerings Reglement (RR), yaitu golongan Eropa, golongan Bumi 2
Surini Ahlan Sjarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek ( Kitab UndngUndangHukum Perdata ), ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
3
Putera/Pribumi, dan golongan Timur Asing. Pembedaan pada golongan penduduk ini membawa pula perbedaan dalam hukum keperdataan masing-masing golongan tersebut yang diatur dalam Pasal 131 IS juncto 73 RR. Penggolongan penduduk dan hukum yang berlaku untuk setiap golongan itu merupakan politik hukum dari pemerintah kolonial untuk mengawasi penduduk yang berada di daerah jajahannya dengan politik pembodohan dan politik devide et impera (politik adu domba) untuk penduduk di wilayah Hindia-Belanda pada saat itu.3 Setelah merdeka, Indonesia menjelma menjadi negara hukum. Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang kemudian dipertahankan pada perubahan UndangUndang Dasar Negara. Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dalam Pasal 1 ayat (3); “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum”. Setiap aspek tindakan pemerintahan dalam suatu negara hukum, baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan, harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas.4 Artinya pemerintah tidak dapat melakukan kebijakan-kebijakannya tanpa dasar kewenangan. Namun, perundangundangan sebagai dasar kewenangan tidak dibuat sesuka hati. Terdapat suatu hierarki tata susunan, berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis di mana suatu norma yang lebih 3 Sonny Tobelo Manyawa, 2011, “Warisan dan Wasiat” (online), http://sonnytobelo.blogspot.com/2011/11/warisan-wasiat.html, diakses pada tanggal 15 Januari 2014. 4 Jazim Hamidi, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hal. 153.
Universitas Sumatera Utara
4
rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm). Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut maka dikeluarkanlah Surat Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tertanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan yuncto Pasal 42 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yuncto ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 8 Tahun 2012 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perkaban No. 8 Tahun 2012), dapat dibuat dalam bentuk surat keterangan hak waris yang kewenangan pembuataannya dibedakan berdasarkan ras dan golongan penduduk, sebagai berikut: 1. Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia; 2. Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta surat keterangan waris dari Notaris, 3. Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
Universitas Sumatera Utara
5
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian jika seorang Notaris melakukan suatu tindakan di luar wewenangnya yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Bagi warga Negara Indonesia keturunan tionghoa, berdasarkan Perkaban No. 8 Tahun 2012 tersebut di atas maka surat keterangan warisnya dibuat oleh Notaris. Notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 (UUJN No. 2 Tahun 2014 ). Wewenang Notaris tercantum dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN No. 2 Tahun 2014, yaitu Pasal 15 ayat (1) menyebutkan : ‘Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan pada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”. Pasal 15 Ayat (2) menyebutkan : Notaris berwenang pula : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;
Universitas Sumatera Utara
6
b. Membubuhkan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta ; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan g. Membuat akta risalah lelang. Pasal 15 Ayat (3) menyebutkan : “ Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Penyebutan wewenang Notaris yang lebih luas berdasarkan Pasal 15 ayat (1) dan (3) UUJN Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris tidak menyebutkan secara tegas mengenai wewenang Notaris untuk membuat Surat Keterangan Waris. Menurut Pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang Notaris adalah membuat akta, bukan membuat surat, seperti Surat Keterangan Waris ( SKW ). Dalam Peraturan Jabatan Notaris ( PJN ) tidak ditemukan ketentuan yang menegaskan bahwa Notaris mempunyai kewenangan membuat Surat Keterangan Waris5, demikian pula dalam 5 Menurut I Gede Purwaka, apabila kita teliti pasal-pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), ternyata tidak dijumpain adanya pasal yang mengatur mengenai ketentuan yang berhubungan dengan ketentuan hak mewaris yang harus dibuat di hadapan/oleh Notaris. Yang ada adalah ketentuan yang berhubungan dengan pembagian dan pemisahan harta peninggalan sebgaimana
Universitas Sumatera Utara
7
UUJN tidak mengaturnya. Dalam Wet op het Notarisambt (1842) Pasal 38 ayat (2) dimasukkan ketentuan bahwa Notaris berwenang membuat verklaring van erfrecht ketika Wet op het Notarisambt (1842) diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda) ke dalam Het Regelement op het Notarisambt in indonesie (Nederlandsc Indie) 1860 (kemudian diterjemahkan menjadi PJN) ketentuan Notaris berwenang membuat veklaring van erfrech tidak dimasukkan. Dengan demikian Notaris membuat SKW hanya merupakan kebiasaan saja (kebiasaan yang berasal dari para Notaris Belanda yang pernah paraktek di Indonesia yang kemudian diikuti oleh para Notaris Indonesia)6. Pembuatan keterangan waris oleh seorang Notaris di Indonesia tidak mempunyai dasar dalam undang-undang Indonesia, seyogyanya kebiasaan ini dijadikan dasar suatu undang-undang baru.7 Meskipun Notaris di Indonesia sekarang diatur berdasarkan UUJN, mengenai Notaris berwenang membuat SKW tetap tidak diatur. Hal ini berbeda dengan Wet op het Notarisambt (1982) dalam Pasal 47 menegaskan bahwa Notaris berwenang membuat veklaring van erfrecht yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik. Kebiasaan tersebut sebaiknya secara tegas dijelaskan dalam pengaturan kewenangan Notaris di UUJN No. 2 Tahun 2014, sehingga SKW tersebut merupakan kewenangan Notaris dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik. diatur dalam pasal 1074 KUH Perdata. Dalam Pasal ini ditentukan bahwa Akta Pembagian dan Pemisahan Harta Peninggalan harus dibuat dihadapan Notaris. I Gede Purwaka, Keterangan Hak Mewaris yang Dibuat Oleh Notaris, (Program Spesialis Notariat dan Pertanahan, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999), hal. 17. 6 Selanjutnya I Gede Purwaka menegaskan bahwa, Notaris berwenang membuat Keterangan Hak Mewaris, hanya berdasarkan kepada penafsiran peraturan perundang-undangan yang berlaku, Ibid, hal. 20. 7 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 362.
Universitas Sumatera Utara
8
Pada dasarnya hukum memberikan beban tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan, namun demikian tidak berarti setiap kerugian terhadap pihak ketiga seluiruhnya menjadi tanggung jawab Notaris, ada kalanya Notaris yang beritikad baik. Hukum sendiri memberikan batas-batas atau rambu-rambu tanggung jawab Notaris, sehingga tidak semua kerugian merupakan tanggung jawab Notaris. Inilah yang dalam ilmu hukum dikenal bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas memberikan pelayanan masyarakat. Mengenai ketentuan yang mengatur batas tanggung jawab Notaris dapat dilihat pada Pasal 65 UUJN No. 2 Tahun 2014. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktina sempurna, namun apabila melanggar ketentuan tertentu atau dapat dikatakan cacat, maka akta tersebut akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, kedudukan akta Notaris yang kemudian mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan merupakan penilaian atas suatu alat bukti. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan beberapa permasalahan hukum yaitu bagaimana kekuatan hukum akta pembuatan Surat Keterangan Waris (SKW), bagaimana hak uji materil bagi Notaris atas pembuatan SKW, dan bagaimana pula perlindungan hukum bagi Notaris yang beritikad baik. Perumusan masalah hukum yang berkaitan tersebut dalam penelitian
Universitas Sumatera Utara
9
ini diberi judul “Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014”. B. Perumusan Masalah Ada beberapa pokok permasalahan hukum yang akan dibahas dalam penyusunan penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana kekuatan hukum Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris mengandung cacat hukum? 2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris mengandung cacat hukum? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan Penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris mengandung cacat hukum. 2. Untuk mengetahui dan mengalisis bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris mengandung cacat hukum. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
10
1.
Secara Teoritis Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya di bidang Hukum Waris. 2.
Secara Praktis Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat
berharga bagi berbagai pihak yang terkait. Adanya dikriminasi terhadap golongan penduduk sehingga mengakibatkan perbedaan institusi/pejabat yang berwenang membuat bukti sebagai ahli waris bagi golongan penduduk tersebut, hal ini bertentangan dengan norma fundamental negara yaitu Pancasila dan aturan dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945, sudah seharusnya hal ini untuk dipahami dan dikaji oleh pihak legeslatif maupun eksekutif agar memberikan kepastian hukum pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum waris khususnya pada kewenangan Notaris yang diharapkan sebagai pejabat satu-satunya dalam menerbitkan Surat Keterangan Waris, sehingga dikriminasi tersebut dapat diahapuskan dan memberikan kepastian hukum dan kekuatan hukum bagi pihak yang membuatnya. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan Penelitian dan Penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap hasil-hasil yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan khususnya pada
Universitas Sumatera Utara
11
perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, mengenai penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014” belum pernah dilakukan. Menurut hasil penelusuran di perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara pernah ada penelitian yang juga membahas mengenai keterangan hak waris, tapi khusus mengenai keterangan hak waris yang diterbitkan untuk warga negara Indonesia golongan Tionghoa, yang dilakukan oleh Aida Verwati Wahab, Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Tahun 2000, dengan Judul :Keterangan Hak Waris Dalam Hukum Perdata (Suatu Kajian Terhadap Warga Negara Indonesia Keturunan Cina di Kota Medan). Di dalam hasil penelitian tersebut membahas mengenai : 1.
Pejabat yang berwenang mengeluarkan surat keterangan hak waris bagi warga negara keturuanan cina;
2.
Kekuatan pembuktian dari keterangan hak waris yang dikeluarkan oleh Notaris tanpa melakukan pengecekan ke Daftar Pusat Wasiat, dan
3.
Mengapa masih ada dualisme dalam penerbitan surat keterangan hak waris bagi golongan penduduk yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Disamping itu juga ada peneletian mengenai keteragan hak waris oleh Fitreni
Chris Lily, Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Tahun 2003, dengan Judul
Universitas Sumatera Utara
12
Pengaturan Mengenai Bukti Keterangan Hak Waris Yang Berlaku Bagi Warga Negara Indonesia. Di dalam hasil penelitian tersebut membahas mengenai : 1. Apakah peraturan yang sudah ada dapat menjamin tercapainya kepastian hukum dalam hal penentuan hak-hak kewarisan warga negara Indonesia; 2. Penyebab tidak adanya unifikasi mengenai kewenagan hak waris, dan 3. Bentuk keterangan hak waris yang paling idela yang dikehendaki dalam praktek. Dalam penelitian ini yang berjudul Analisis Yuridis Akta Keterangan Waris Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Ketentuan Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014 akan membahas mengenai : 1. Bagaimana kekuatan hukum Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris mengandung cacat hukum? 2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap Surat Keterangan Waris yang dibuat Notaris mengandung cacat hukum? Dengan demikian stressing point dalam penelitian yang dilakukan ini sangatlah berbeda. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori
memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak dan berdiri sendiri bisa
Universitas Sumatera Utara
13
disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian
memberikan
penjelasan
dengan
cara
mengorganisasi
dan
mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.8 Michalos (1980) membagi pengertian teori dalam lima kategori, yaitu:9 a. Teori sebagai pernyataan yang aksiomatis (axiomatic)10 untuk memberi makna atau pengertian tentang serangkaian fakta yang sebelumnya membingungkan atau tidak bermakna. b. Teori sebagai upaya menyusun data dan fakta secara sistematis walaupun pernyataan-pernyataannya belum tentu aksiomatis. c. Teori dianggap sebagai generalisasi tak terbatas tentang kebenaran universal yang ditaati oleh para ilmuan; di sini teori dianggap sebagai “hukum” tentang kebenaran. d. Teori sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan ilmiah, tanpa
bentuk
yang pasti atau seragam. e. Teori sebagai aturan-aturan untuk mengambil kesimpulan dalam proses penelitian. Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun dan memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.11 8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2012 ), hal. 269. Internet, http://eprints.rclis.org/17564/1/Penggunaan%20Teori%20dalam%20Penelitian %20Ilmu%20Perpustakaan.pdf, diakses pada tanggal 30 Januari 2014. 10 Dalam dunia ilmu pengetahuan, sebuah aksiom disebut juga postulat atau rumus dasar, merupakan sebuah pernyataan yang dianggap logis dan mengandung kebenaran. 9
Universitas Sumatera Utara
14
Kerangka teori juga dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,12 yang nantinya merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini. Menurut Soerjono Soekanto, kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut :13 a. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
11 12
hal. 80.
13
Jimly Asshiddigie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Konstitusi Pres, 2006), hal. 61. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
15
Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum jaminan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positivisme yang analitis dari Hans Kelsen. Dalam aliran hukum positivismenya menjelaskan bahwa “law is a coercive order of human behavior, it is the primary norm which stipulates the sanction” (hukum adalah sesuatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi).14 Penelitian ini berusaha untuk menganalisis Bagaimana kekuatan hukum kekuatan hukum akta pembuatan SKW hak uji materil bagi Notaris atas pembuatan SKW dan Bagaimana perlindungan hukum bagi Notaris yang beritikad baik. Sejarah asal-muasal Bangsa Indonesia menemukan berbagai macam ragam suku atau etnis di Indonesia. Bangsa Indonesia tidak tidak dihuni dan dibangun oleh salah satu etnis saja, tetapi semua etnis yang ada di Indonesia telah memberikan kontribusi dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Bahkan sebelum masa penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang para penduduk yang ada pada waktu itu tidak tersegmentasi atau dipisah-pisahkan berdasarkan etnis atau golongan, mereka hidup saling berdampingan dan tidak mempersoalkan darimana mereka berasal. Pemisahan penduduk Indonesia berdasarkan etnis dan golongan muncul setelah penjajahan kolonial Belanda mencengkram Indonesia, untuk kepentingan
14
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009), hal 55.
Universitas Sumatera Utara
16
politiknya telah mengeluarkan aturan yang membagi 3 (tiga) golongan penduduk dan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan tersebut. Penggolongan penduduk Indonesia (Hindia –Belanda) berdasarkan ketentuan Pasal 163 IS dan Pasal 109 RR dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk berdasarkan Pasal 131 IS dan Pasal 75 RR yang berasal dari warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.15 Adanya penggolongan penduduk dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk tersebut merupakan Politik Hukum dari pemerintah Kolonial untuk mengawasi penduduk yang berada di daerahnya jajahannya dan Politik Pembodohan dan politik devide et impera (adu domba) untuk penduduk di wilayah Hindia-Belanda pada waktu. Adanya berbagai peraturan perundangan-perundangan tersebut di atas, tidak terlepas dari kehadiran peraturan perundang-undangan produk Kolonial yang sampai saat ini masih dinyatakan berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal 163 IS dan Pasal 109 RR mengenai penggolongan penduduk sebagai berikut : 1. Golongan Eropa, meliputi : Semua orang Belanda, semua orang yang berasal dari Eropa, tetapi bukan Belanda; semua orang Jepang; semua orang yang berasal dari tempat lain, 15
R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1988), hal.
Universitas Sumatera Utara
17
tetapi tidak termasuk orang Belanda atau orang yang berasal dari Eropa bukan Belanda, yang di negaranya tunduk kepada hukum keluarga yang asas-asasnya sama dengan hukum Belanda. Anak sah atau yang diakui menurut undangundang dan keturunan selanjutnya dari orang-orang yang berasal dari Eropa bukan Belanda dan semua orang yang berasal dari tempat lain, tetapi bukan Belanda atau Eropa yang lahir di Hindia-Belanda. 2. Golongan Bumiputera, meliputi : Semua orang yang termasuk rakyat asli Hindia-Belanda dan tidak pernah pindah ke dalam golongan penduduk lain dari golongan Bumiputera; golongan penduduk lainnya yang telah meleburkan diri menjadi golongan Bumiputera dengan cara meniru atau mengikuti kehidupan sehari-hari golongan Bumiputera dan meninggalkan hukumnya atau karena perkawinan. 3. Golongan Timur Asing, meliputi : Mereka yang tidak termasuk golongan Eropa dan golongan Bumiputera. Golongan Timur Asing ini dibedakan atas Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing Bukan Tionghoa, seperti Arab, India. Pasal 131 IS dan 75 RR mengadakan 3 (tiga) golongan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk sebagaimana tersebut di atas, dan ditegaskan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
18
1.
Hukum Perdata dan dagang, hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus dikodifisir, yaitu diletakkan dalam suatu kitab undang-undang. Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (azas konkordansi).
2.
Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing jika ternyata bahwa kebutuhan masyarakat mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama; untuk lainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dari aturan-aturan mana boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka.
3. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan orang Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk orang Eropa, penundukkan boleh dilakukan baik seluruhnya maupun hanya mengenai suatu perbuatan tertentu. Sebelum hukum untuk orang Indonesia ditulis di dalam undang-undang, maka bagi mereka akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, ialah hukum adat asli orang Indonesia.16
16
R. subekti, Pembinaan Hukum Nasional, (Alumni, bandung, 1975), hal. 11
Universitas Sumatera Utara
19
Penggolongan penduduk seperti itu dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk tersebut17 seharusnya sudah tidak lagi, tetapi dalam kenyataanya masih diberlakukan, antara lain telah dijadikan dasar hukum dalam pembentukan aturan hukum yang berlaku setelah Indonesia merdeka untuk pembuatan bukti sebagai ahli waris seperti tercantum dalam :18 1. Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20
Desember 1969, nomor
Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan.19 2. Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 17 Melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966, telah diteapkan penghapusan pembedaan golongan penduduk di Indonesiadengan dasar pertimbangan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogeny, serta adanya perasaan persamaan nasib di anatar sesama bangsa Indonesia. 18 Mengenai Pembuktian sebagai ahli waris sebagaimana tersebut di atas sebenarnya tidak berlaku umum, tapi hanya untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau pembebanan yang berlaku pada Kantor Pendaftaran Tanah atau pada Kantor Pertanahan/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dikaitkan dengan kewarganegaraan seseorang sehingga ( menurut kedua aturan hukum tersebut ) etnis atau golongan penduduk harus diperhatikan, tapi kedua aturan hukum tersebut seakanakan menjadi aturan hukum yang umum dalam pembuktian sebagai ahli waris yang masih diskriminatif. Dengan menempatkan Notaris sebagai satu-satunya pejabat/instusi yang berwenang membuat bukti ahli waris dalam bentuk formal akta pihak (Akta Keterangan Ahli Waris ), maka telah mengakhiri semua dikriminasi dalam pembuatan bukti ahli waris tersebut. Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notari (Dalam Bentuk Akta Keterangan Ahli Waris), (Bandung : CV. Mandar Maju, Bandung, 2008), hal. 7. 19 Mengenai Pembuktian Kewarganegaraan sudah tidak berlaku lagi, karena sudah dicabut sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaarn, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634).
Universitas Sumatera Utara
20
Kedua aturan hukum tersebut menetukan, bahwa untuk golongan Eropa, Cina/Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris (SKW), dalam bentuk Surat Keterangan. Golongan Timur Asing (bukan Cina/Tionghoa), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan SKW yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Pribumi (Bumiputera), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan SKW yang dibuat di bawah tangan, bermaterai, oleh para ahli waris sendiri dan diketahui atau dibenarkan oleh Lurah dan Camat sesuai dengan tempat tinggal terakhir pewaris.20 Kantor Pertanahan/BPN hanya akan menerima peralihan hak atas sebidang tanah yang berasal dari warisan kepada ahli warisnya, jika bukti ahli warisnya berdasarkan etnis atau golongan penduduk. Notaris/PPAT akan meminta bukti sebagai ahli waris sesuai dengan etnis dan isntusi yang membuatnya, jangan berharap Kantor Pertanahan/BPN dan Notaris/PPAT akan melayaninya. Padahal Kantor Pertanahan/BPN tidak membuat arsip sertipikat atau peralihan hak dicatat tersendiri berdasarkan etnis/ras. Hal ini menunjukkan bahwa instansi yang terkait mempunyai jiwa penjajahan Kolonial Belanda, bahkan ada kemungkinan Pemerintah Belanda sekarang ini akan tertawa jika ternyata bangsa Indonesia masih mempertahankan dan memberlakukan aturan hukum seperti tersebut di atas masih berdasarkan etnis.
20
Habib Adjie, Ibid, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
21
Masalahnya bila terjadi pencampuran etnis melalui perkawinan, sangat sulit untuk menulusuri bahwa mereka termasuk dalam ketiga golongan tersebut betul etnis berdarah Eropa, Cina/Tionghoa, Timur Asing dan Pribumi. Sesuai dengan perkembangan zaman sudah tentu penggolongan penduduk seperti itu harus sudah ditinggalkan sebagaimana dikehendaki oleh seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu bagaimana jadinya jika bukti ahli waris masih harus berdasarkan etnis orang yang bersangkutan. Adanya pembedaan pembuktian bukti sebagai ahli wais berdasarkan kepada golongan penduduk seperti merupakan tindakan diskriminatif sekaligus rasialis, dan melanggar prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia (HAM), maka dengan demikian, aturan hukum dalam pembuktian sebagai ahli waris yang masih harus berdasarkan etnis dan instusi yang membuatnya yang berbeda harus segera diakhiri, disamping itu tidak ada akibat hukum apapun dengan adanya pembedaan bukti ahli waris berdasarkan etnis tersebut. Menjadikan Notaris sebagai satu-satunya lembaga atau institusi yang berwenang untuk membuatnya. Sesuai dengan aturan hukum yang ada, maka Notaris sebagai satu-satunya lembaga yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris tanpa berdasarkan kepada golongan penduduk atau etnis, agama apapun, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia, dan perkembangannya saat ini Notaris telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia yang akan melayani seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa melihat etnis apapun. Untuk menghilangkan dan menghapus dikriminasi dalam
Universitas Sumatera Utara
22
bentuk formal dan pejabat/isntitusi yang mebuat bukti ahli waris untuk Warga Negara dan Penduduk Indonesia, maka Notaris diharapkan berperan sebagai satu-satunya pihak (pejabat/isntitusi) yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris tersebut. Notaris diharapkan secara aktif ikut serta mengimplementasikan nilai-nilai kemerdekaan dalam suatu tindakan nyata, menjadi agen pembahuruan dalam membuat bukti ahli waris bagi seluruh Warga Negara Indonesia tanpa melihat golongan/etnis/suku ataupun agama. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan Notaris sebagai unifikasi hukum pengaturan Notaris. Kewenangan Notaris terdapat pada Pasal 15 ayat (1) dan (2) (ius constitutum), sedangkan Pasal 15 ayat (3) akan berlaku dan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian (ius constituendum). Kalau dikaji secara cermat, bahwa SKW yang dibuat oleh para Notaris berdasarkan kebiasaan yang tidak ada dasar hukumnya sama sekali. Dalam praktik Notaris di Indonesia telah biasa membuat SKW untuk mereka yang termasuk ke dalam etnis Cina. Praktik Notaris seperti ini tidak pernah ada pengaturannya dalam Peraturan Jabatan Notaris (Peraturan Jabatan Notaris sebelum lahirnya UUJN No. 2 Tahun 2014), tapi hanya merupakan kebiasaan Notaris yang sebelumnya, kemudian diikutin secara langsung oleh Notaris yang datang kemudian, tanpa mencari maksud dan tujuannya bahwa SKW dibuat dibedakan berdasarkan etnis. Hal tersebut merupakan bentuk diskriminasi dalam pembuatan bukti ahli waris. Meskipun telah menjadi kebiasaan bagi Notaris untuk membuat SKW , ternyata kebiasaan tersebut tidak
Universitas Sumatera Utara
23
dimasukkan dalam UUJN dan hal ini berakibat tidak adanya wewenang Notaris dalam membuat SKW yang diatur dalam Pasal 15 UUJN.21 Pembuatan keterangan waris oleh Notaris di Indonesia tidak mempunyai dasar hukum dalam undang-undang Indonesia, hal ini perlu diperhatikan dan diharapkan agar pembuatan keterangan waris oleh Notaris dijadikan dasar suatu undang-undang yang baru. Pada awalnya jabatan Notaris di Indonesia dan ketentuan-ketentuan untuk menjalankan jabatan tersebut diatur dalam undang-undang yang dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris atau Reglemnent op het Notarisambt tertanggal 11 Januari 1860 dengan Staatsblad 1860 Nomor 3. Peraturan jabatan Notaris yang berlaku di Indonesai disusun hampir seluruhnya menurut text dari Wet op het Notarisambt di Negeri Belanda yang dimuat dalam Staatsblad 1842 Nomor 20. Hanya beberapa peraturan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia pada masa penjajahan. Pada masa itu polotik Pemerintah Kolonial Belanda menganut prinsip konkordnasi (concordantie beginsel), yaitu dalam bidang hukum dan peundangundangan pemerintah menggunakan dasar-dasar yang berlaku di Negeri Belanda untuk ditetapkan di Indonesia. Juga dalam bidang kenotariatan diperlakukan prinsip konkordansi tersebut. Oleh sebab itu isi, penulisan text dan penggunaan istilah-istilah dari Peraturan Jabatan 21
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Refika Aditama, Bandung, 2008), hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
24
Notaris tidak banyak berbeda dengan ini dan text dari Wet op het Notarisambt. Hanya mengenai keterangan hak waris yang diatur dalam Pasal 38 Wet op het Notarisambt terdapat perbedaan. Pasal tersebut dikonkordansikan ke dalam Pasal 35 Reglement op het Notarisambt tersebut dalam ayat (2)-nya ada beberapa perbuatan yang di Wet op het Notarisambt disebutkan tetapi dalam Reglement op het Notarisambt tidak dicantumkan, antara lain mengenai verklraing van erfrecht atau keterangan hak waris. Pasal 38 ayat (2) Wet op het Notarisambt ternyata tidak dikutip dengan lengkap ke dalam Pasal 35 ayat (2) Reglement op het Notarisambt sehingga dasar hukum pembuatan keterangan hak waris oleh Notaris di Indonesai sama sekali tidak ada dalam Peraturan Jabatan Notaris. Pada tahun 1913 di Negeri Belanda dikeluarkan undang-undang yang bernama de Wet op de Grootboeken der National Schuld yang ada mengatur tentang bentuk dan isi dari verkraing van erfecht, Pasal 14 dari de Wet op de Grootboeken der Nationale Schuld antara lain berbunyi : 1. Para ahli waris seseorang yang mempunyai suatu hak terdaftar dalam bukubuku besar hutang-hutang nasional harus membuktikan hak mereka dengan suatau keterangan hak waris setelah kematian pewaris dibuktikan; 2. Keterangan hak waris harus memuat data-data berikut : a.
Nama, nama kecil serta tempat tinggal terakhir pewaris;
Universitas Sumatera Utara
25
b.
Nama, nama kecil, tempat tinggal dan jika masih di bawah umur, tanggal dan tahun kelahiran mereka yang mendapat hak dengan menyebutkan bagian mereka menurut undang-undang dan surat wasiat atau surat pemisahan dan pemabgian (boedelscheiding);
c.
Sedapat mungkin nama, nama kecil dan tempat tinggal wakil anak-anak di bawah umur (yaitu wali, pemegang kekuasaan orang tua), termasuk para pengurus khusus (bewindvoerder);
d.
Suatu perincian tetap surat wasiat, atau dalam hal pewarisan menurut undang-undang, hubungan antara pewaris dan para ahli waris, yang menjadi dasar diperolehnya hak itu;
e.
Semua pembatasan yang ditentukan oleh pewaris terhadap hak untuk memindahtangankan apa yang diperoleh, dengan menyebut nama, nama kecil dan sedapat mungkin tempat tinggal mereka yang boleh menerimanya
dan
mereka
yang
harus
membantunya
apabila
pemindahtangan harus dilakukan; f.
Suatu pernyataan pejabat yang membuat keterangan hak waris bahwa dia telah meyakinkan diri atas kebenaran dari apa yang ditulisnya;
3. Jika warisan itu terbuka dalam negeri ini (Negeri Belanda), keteangan hak waris dibuat oleh seorang Notaris. Akta yang dibuat dari keterangan itu harus dikeluarkan in originali;
Universitas Sumatera Utara
26
4. Jika warisan itu terbuka di wilayah jajahan atau di luar negeri, keterangan hak waris harus dibuat oleh seseorang pejabat yang berwenang di wilayah atau negeri itu; 5. Dokumen-dokumen untuk membuktikan fakta-fakta tertulis di dalam keterangan itu harus dilampirkan dengan keterangan hak waris; 6. Para penerima hibah wasiat harus membuktikan hak mereka dengan cara yang sama sephka erti ahli waris. Disamping itu mereka harus pula membuktikan bahwa hibab wasiat itu telah diserahkan kepada mereka sesuai degan Pasal 1006 N.B.W (Pasal 959 ayat 1 I.B.W) atau bahwa para ahli waris dan para legimaris mengakui hak mereka; Singkatnya, keterangan hak waris harus memuat hal-hal sebagai berikut : 1. Nama lengkap dan alamat terakhir pewaris; 2. Nama lengkap dan tempat tinggal para ahli waris, kalau ada ahli waris yang belum dewasa sedapat mungkin dicatat hari dan tahun kelahirannya; 3. Ada tidaknya pewaris meninggalkan surat wasiat; 4. Disebutkan hak bagian dari para ahli waris; 5. Nama lengkap dan alamat lengkap para wakil; 6. Penyebutan dasar hubungan pewaris dengan ahli waris; 7. Semua pembatasan kewenangan yang diamatkan oleh pewaris dan mereka yang terkena pembatasan;
Universitas Sumatera Utara
27
8. Suatu pernyataan dari pejabat yang membuat akta bahwa ia yakin akan kebenaran semua yang termuat di dalamnya. Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa keterangan hak waris tidak perlu memuat keterangan lain dari pada yang disebutkan di atas. Keterangan hak waris menyebutkan peristiwa-peristiwa yang menyangkut diri pewaris yang tidak relevan untuk menentukan ahli waris, pewaris, dan pembagian warisan. Dengan adanya dasar hukum tersebut di atas, para Notaris di negeri Belanda membuat keterangan waris secara leluasa atas permintaan yang berkepentingan. Masyarakat di negeri itu memberi penghargaan yang tinggi kepada keterangan hak waris tersebut, khususnya karena dibuat oleh seorang Notaris yang dianggap ahli dalam hukum waris. Bahkan di Belanda para Notaris menjalankan fungsinya yang mirip dengan hakim. Telah menjadi suatu kenyataan bahwa Notaris yang baik sering berhasil mencegah dibawanya suatu sengketa ke pengadilan, khususnya dalam hal penyelesaian urusan warisan. Di Negeri Belanda sedikit sekali terjadi perkara dalam bidang warisan berkat pekerjaan yang efektif dan bersifat mendamaikan yang dilakukan oleh Notaris. Kebiasaan membuat keterangan hak waris serta kepercayaan masyarakat tersebut dibawa oleh penjajahan ke Indonesia. Keadaan di negeri jajahan memungkinkan diterimanya kebiasaan ini tanpa suatu peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan khusus untuk Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
28
Keterangan hak waris adalah salah satu dari alat bukti bagi pihak yang berkehendak membuktikan haknya atas harta peninggalan pewaris terhadap pihak ketiga, akan tetapi hanya sebagai alat bukti permulaan saja. Yang penting bagi pihak ketiga adalah bahwa ia dengan itikad baik sepatutnya dapat dipercaya, bahwa surat keterangan hak waris sebagai surat bukti yang dipergunakan tersebut membutikan kebenaran. Perbuatan keterangan hak waris oleh seorang Notaris bagi orang-orang yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada dasar hukumnya dalam hukum tertulis yang berlaku di Indonesia. Karena pembuatan surat keterangan hak waris di Indonesai tidak mempunyai dasar hukum positif, walaupun dibuat oleh seorang Notaris, surat keterangan hak waris di Indonesia tetap tidak mempunyai kekuatan sebagai alat pembuktian otentik. Dengan demikian selama ini surat keterangan waris untuk etnis/golongan penduduk eropa, cina/tiongha, timur asing (kecuali orang arab yang beragama islam) tidak mempunyai landasan hukum (berdasarkan hukum positif) sama sekali, tetapi tindakan hukum tersebut hanya merupakan kebiasaan Notaris sebelumnya yang kemudian diikuti oleh Notaris berikutnya apa adanya, tanpa mengkaji lebih lebih jauh kewenangan Notaris untu membuat SKW. Bahkan tindakan Notaris seperti itu dapat dikualifikasikan sebagai tindakan di luar wewenang Notaris. 2.
Konsepsi Dalam pemberian suatu konsep atau pengertian merupakan salah satu unsur
pokok yang penting dalam suatu penelitian, pentingnya konsepsional untuk
Universitas Sumatera Utara
29
menghindari perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang digunakan. Maka perlu diuraikan beberapa konsep yang menjadi pegangan dalam proses penelitian yaitu : a.
Pewaris Orang yang meninggal dan meninggalkan harta kekayaan.
b. Ahli Waris Orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewarisnya.22 Orang yang berhak menerima pusaka ( peninggalan ) dari orang yang meninggal.23 c.
Hukum waris Keseluruhan peraturan dengan mana pembuat undang-undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang, terhadap harta kekayaan, perpindahannya kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.
d. Warisan Harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik itu berupa aktiva maupun pasiva. e.
Keterangan Hak Waris Suatu surat yang diterbitkan oleh pejabat atau instansi pemrintah yang berwenang, atau dibuat sendiri oleh segenap ahli yang kemudian dibenarkan dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Lurah atau Camat, yang dijadikan alat bukti yang 22
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, Cetakan Pertama, (Rajawali Pers, Jakarta, 1995),
hal. 41. 23
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Cetakan Kelima (Balai Pustaka, Jakarta), hal. 1148.
Universitas Sumatera Utara
30
kuat tentang adanya suatu peralihan hak atas suatu harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris.24. f.
Akta Suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.25
g.
Pejabat umum Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum (pemerintah), dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.26
h. Notaris Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut Sutrisno, Pasal 1 angka 1 UUJN tersebut merupakan pengertian mengenai notaris secara umum, untuk definisi apa itu notaris, diuraikan lebih lanjut di dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. Jadi, bila digabung Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 15 ayat (1), terciptalah definisi notaris, yaitu :27
24
I Gede Purwaka, Op. Cit, hal. 5 Rocky Marbun, CS, Kamus Hukum Lengkap, (Visimedia, Jakarta, 2012), hal. 12. 26 Sutrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I, Medan, 2007, hal. 119. 27 Ibid, hal. 117. 25
Universitas Sumatera Utara
31
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan
dan/atau
yang
dikehendaki
oleh
yang
berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. G. Metode Penelitian Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian hukum adalah kaedah, norma atau das sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti fakta atau das sein.28 Sebagai suatu penelitian yang ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian diawali dengan pengumpulan data hingga analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut: 1.
Spesifikasi Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan deskriptif
analitis, yaitu memaparkan dan menganalisis data secara sistematis dengan maksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejalagejala lainnya. Deskriptif mengandung arti, bahwa penulis ingin menggambarkan dan 28
Soedikno Mertokesumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Liberty, Yogyakarta, 2001), hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
32
memberikan data yang seteliti mungkin, sistematis dan menyeluruh. Analisis mengandung makna, mengelompokkan, menghubungkan dan membandingkan aspek yang berkaitan dengan masalah secara teori dan praktek. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan historis dan perundang-undangan (statute approach) serta sinkronisasi vertical dan horizontal dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan menurut Soerjono Soekamto mencakup :29 a. penelitian terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sitematik hukum; c. penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal; d. perbandingan hukum; e. sejarah hukum. 2.
Sumber Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung
penelitian lapangan, sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.30
29 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal 7 30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1995), hal.39.
Universitas Sumatera Utara
33
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni : a)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). c)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. e)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012.
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan dengan SKW. 3) Bahan Hukum tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan SKW. b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan penelitian ini, yaitu melakukan wawancara kepada 1 (satu) orang dari praktisi Pejabat Notaris Kota Medan, 1 (satu) orang Pejabat Lurah,
1
(satu) orang dari Balai Harta Peninggalan. 3.
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni
dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
Universitas Sumatera Utara
34
Bahan Hukum primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan akta otentik yang mengandung konflik yang dapat menyebabkan notaris menjadi tersangka. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan dokumen yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan dua metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka/studi dokumen (documentary study) dan penelitian lapangan (Field Research). Studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) ini dimaksudkan untuk memperoleh data, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier, dengan memperhatikan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan, akurasi datanya serta aktualitas. Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian ini juga didukung oleh data primer yang diperoleh melalui Penelitian lapangan (Field Research). Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam yang menggunakan pedoman wawancara (interview) kepada 1 (satu) orang dari praktisi Pejabat Notaris Kota Medan, 1 (satu) orang dari Pejabat Lurah, 1 (satu) dari Pegawai Balai Harta Peninggalan.
Universitas Sumatera Utara
35
4.
Alat Pengumpul Data Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu: a. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait
dengan
permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku- buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada
yang terkait
penelitian lapangan.
b. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada responden yang telah ditetapkan yang terkait dengan SKW. 5.
Analisis Data Dalam suatu penelitian diperlukan adanya analisis terhadap data yang
ditemukan yang gunanya akan memberikan jawaban terhadap permasalahan dari penelitian yang dilakukan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angkaangka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan responden hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh kemudian dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis, dan disusun secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara