1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Indonesia adalah Negara hukum. Demikian ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan Adanya kepastian hukum masyarakat akan mengetahui kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak mengetahui apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pula penerapannya. Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumanya. Kepastian hukum juga diperlukan dalam invetasi. Bagaimanapun, tak bisa sembarangan membuka ruang investasi karena akan melahirkan siapa yang kuat akan menjadi pemenang. Iklim investasi harus kondusif agar ia tak menjadi gangguan. Hukum hadir untuk membangun kondusivitas itu. Investor asing tidak akan menanamkan investasi jika kepastian hukum tak ada. Dalam investasi ada resiko-resiko hukum yang akan dihadapi. Indonesia adalah contoh negara tempat investasi yang menarik. Tetapi masalah kepastian hukum masing sering disuarakan investor. Ambil contoh perizinan. Pembenahan perizinan tampaknya masih menjadi problem serius meskipun berbagai regulasi sudah diterbitkan. Perizinan yang kurang berjalan
2
dengan baik akan menimbulkan biaya tinggi. Sudah banyak hasil riset yang membuktikan sinyalemen itu. Masalahnya ada pada implementasi regulasi yang terkesan dilaksanakan setengah hati. Upaya yang dilakukan juga masih terlaku menekankan pada formalitas ketimbang menciptakan budaya hukum yang pro investasi. Ketidakjelasan atau ketidakpastian hukum tersebut menyebabkan upaya pembenahan yang dilakukan terkesan tidak menyentuh pada permasalahan intinya dan bersifat lip service. Istilah yang menyebutkan “kalau dapat dipersulit, mengapa harus dipermudah” seperti menjadi suatu kenyataan dalam birokrasi perizinan usaha di Indonesia.1 Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar.2 Apabila kita melihat kondisi supremasi hukum di Indonesia sungguh memprihatinkan sehingga masyarakat merasakan bahwa keadilan, kebenaran, kepastian hukum, serta ketertiban merupakan suatu barang mahal.3 Investasi merupakan salah satu faktor esensial dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Melalui investasi, baik investasi dari asing maupun dalam negeri, diharapkan mampu menggerakkan roda ekonomi suatu negara. Sehingga, negara dituntut untuk mengatur sedemikian rupa agar investasi dapat memberikan pengaruh positif bagi bangsa dan masyarakatnya. Kewajiban negara mengatur investasi dikarenakan kompleksitas sifat penanaman modal serta
1
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, 2013. hal 33. 2 H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 59. 3 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia Baru, 2002. hal 26.
3
memiliki dampak terhadap banyak aspek, mulai dari masalah pertanahan, tenaga kerja, permodalan, perpajakan dan pelbagai aspek lainnya. Percepatan pembangunan ekonomi nasional dan upaya mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, merupakan salah satu alasan yang melatar belakangi pembentukkan Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada tanggal 26 April 2007 Undang-undang ini telah disahkan untuk menggantikan Undangundang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dan Undangundang No. 8 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Undang-undang ini memberikan
perubahan
yang
sangat
signifikan
dibanding Undang-undang serupa yang terdahulu. Didalamnya menganut beberapa prinsip yang yang diwarnai oleh pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Namun pembentukkannya mengusung suatu harapan untuk membawa perubahan iklim investasi yang lebih baik di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa investasi di Indonesia mengalami banyak pasang surut, yang di pengaruhi oleh berbagai kendala internal berupa mekanisme perizinan yang rumit, kondisi perekonomian dan politik yang belum sepenuhnya kondusif, serta upaya penegakkan hukum yang lemah dan eksternal seperti persaingan global terhadap pilihan Negara tujuan investasi bagi para investor asing. Kehadiran Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga memberikan dampak yuridis yang signifikan terhadap para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya. Salah satunya adalah memberikan kepastian hukum terhadap investor dalam negeri dan investor asing.
4
Dalam Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) disebutkan bahwa : “Badan Koordinasi Penanaman Modal diberi tugas mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan penanam modal. Badan Koordinasi Penanaman Modal dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jabaran tugas pokok dan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal pada dasarnya memperkuat peran badan tersebut guna mengatasi hambatan penanaman modal, meningkatkan kepastian pemberian fasilitas kepada penanam modal, dan memperkuat peran penanam modal. Peningkatan peran penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor kebijakan pembangunan nasional yang direncanakan dengan tahap memperhatian kestabilan makroekonomi dan keseimbangan ekonomi antarwilayah, sektor, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat, mendukung peran usaha nasional, serta memenuhi kaidah tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)”.4 Tujuan penanaman modal dijadikan ’mercusuar’ dalam kebijakan penanaman modal yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Teknis terkait dan Pemerintah Daerah. Tujuan dimaksud harus mampu mengarahkan kebijakan dasar penanaman modal yang diatur dalam Pasal 4 UU Penanaman Modal. Kebijakan dasar penanaman modal tersebut untuk [1] mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan [2] mempercepat peningkatan penanaman modal.5 Guna mengimplementasikan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam UU Penanaman Modal, pada tanggal 12 April 2013 BKPM menerbitkan Peraturan Badan Koordinasi Penananaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan Dan Non Perizinan Penanaman Modal (Perka BKPM No.5 Tahun 2013) yang menggantikan Peraturan Kepala
4
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal. 5
http://gubugpengetahuan.blogspot.com diakses tanggal 1 Agustus 2014
5
BKPM Nomor 12 Tahun 2009 (“Perka BKPM 12/2009”). Perka BKPM 5/2013 berlaku efektif 30 hari sejak diundangkan. Dalam Perka BKPM No.5 Tahun 2013 adalah sebagai panduan dalam layanan penanaman modal terkait prosedur pengajuan dan persyaratan permohonan perizinan dan nonperizinan penanaman modal yang ditujukan kepada pejabat di instansi penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), para pelaku usaha serta masyarakat umum lainnya. Penanaman modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing sampai saat ini kewenangan perizinannya masih berada di pundak pemerintah (pusat). Hal tersebut meliputi penanaman modal asing yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. Juga termasuk penanaman modal asing yang dilakukan oleh warga negara asing atau badan usaha asing. Termasuk pula penanaman modal yang menggunakan modal asing yang berasal dari pemerintah negara lain. Keterlibatan pemerintah dalam kewenangan perizinan tersebut bisa karena aliran modal yang masuk adalah akibat perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain. Legalitas badan usaha PMA hanya bisa berbentuk perseroan terbatas (PT) yang berlokasi di Indonesia. Berbeda dengan PMDN yang badan usahanya boleh tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, maupun berbadan hukum berdasarkan hukum yang berlaku. Jika sudah memenuhi persyaratan di atas, investor akan memperoleh layanan berupa Pelayanan Perizinan dan Pelayanan Non-perizinan. Perizinan adalah bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal. Pelayanan persetujuan ini dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesuai kewenangannya yang diatur oleh peraturan yang berlaku.
6
Sedangkan Non-perizinan adalah bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal sesuai aturan yang berlaku. PT. Tunas Mandiri Lumbis adalah suatu Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan Akta Notaris No. 11 tanggal 22 September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH dan telah mendapatkan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan No. C30025 HT.01.01.TH.2005, tanggal 31 Oktober 2005. Adapun susunan pemegang saham dan jabatan PT. Tunas Mandiri Lumbis sesuai dengan Akta Notaris No. 11 tanggal 22 September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH selengkapnya sebagai berikut : No.
Nama
1.
Zainuddin
2.
Muhammad Basri Karel Sompotan Muhammad Angka Haris Karim TOTAL
3. 4. 5.
Jumlah Saham (lembar) 30 5
Nominal Saham Jabatan (Rupiah) @ Rp.1.000.000 30.000.000 Direktur Utama 5.000.000 Direktur
5 5 5 50
5.000.000 Direktur 5.000.000 Komisaris Utama 5.000.000 Komisaris 50.000.000
Sesuai dengan Akta Notaris No. 11 tanggal 22 September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH, PT. Tunas Mandiri Lumbis semula dengan status Perseroan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kemudian sesuai dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Persetujuan Jual-Beli Saham dan Perubahan Susunan Pengurus “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, sesuai dengan Akta No. 06, tanggal 02 Agustus 2007 yang di buat oleh Yuses, SH, dengan susunan pemegang saham dan jabatan sebagai berikut : Susunan Pemegang Saham :
7
No.
1. 2. 2.
Nama
Jumlah Saham (lembar)
Magna Cristal Entity Sdn Bhd (Malaysia) Zainuddin Sunardi TOTAL
Nominal Saham (Rupiah) @ Rp.1.000.000 41.00 0.000 8.000.000 1.000.000 50.000.000
41 8 1 50
Susunan Direksi & Komisaris : - Susunan Direksi : Direktur Utama : Direktur : Direktur : - Dewan Komisaris : Komisaris Utama : Komisaris :
Zainuddin Nyonya Chin Fui Lan Tuan Chan Kin Dak Tuan Tsen Vui Chung Tuan Karel Sompotan
Selanjutnya sesuai dengan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Persetujuan Peningkatan Modal Dasar Perseroan Terbatas “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, sesuai dengan Akta No. 03, tanggal 05 Agustus 2008 yang di buat oleh Yuses, SH, MH. terjadi perubahan status Perseroan yang semula dengan status Perseroan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA) dan terdapat peningkatan Modal Dasar Perseroan Terbatas yang semula Rp. 200.000.000,00
(dua
ratus
juta
rupiah)
menjadi
Rp.
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan modal yang disetor semula Rp. 50.000.000,00 menjadi Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Bahwa Akta Notaris No. 11 tanggal 22 September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH, Akta No. 06, tanggal 02 Agustus 2007 yang di buat oleh Yuses, SH dan Akta No. 03, tanggal 05 Agustus 2008 yang di buat oleh Yuses, SH, MH. yang dijadikan dasar Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia menerbitkan Surat Persetujuan Perubahan Status Perusahaan Non Penanaman Modal Dalam Negeri/Penanaman Modal Asing (Non PMDN/PMA)
Menjadi
Penanaman
Modal
Asing
(PMA),
Nomor
:
8
208/V/PMA/2008, tanggal 01 September 2008 yang mana dalam surat tersebut menyebutkan
bahwa
Penyertaan
Modal
Perseroan
yang
semula
(NONPMDN/PMA) Menjadi (PMA) terdiri dari : Asing : Magna Cristal Entity Sdn Bhd (Malaysia) sebesar 82% atau Rp. 12.300.000.000,00 dan Indonesia : Sdr. Zaenudin sebesar 18% atau Rp. 2.700.000.000,00. Sehingga totalnya menjadi Rp. 15.000.000.000,00. Bahwa dalam Akta tertanggal 22-09-2005, Nomor : 11, di buat di hadapan Notaris Yuses, SH, MH, Zainuddin yang merupakan Direktur Utama PT. Tunas Mandiri Lumbis, namun tiba-tiba dipecat posisinya dari Direktur Utama yang mana pemecatan tersebut terdapat dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, Nomor : 20, tanggal 28 Agustus 2013 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH, MH. Bahwa dengan mendasarkan suara mayoritas atau pemegang saham terbesar maka Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, Nomor : 20, tanggal 28 Agustus 2013 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH, MH. Berisi tentang perubahan struktur Direksi yang didalamnya memecat Zainuddin serta perubahan Komposisi Pemegang Saham. Dengan didasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, Nomor : 20, tanggal 28 Agustus 2013 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH, MH., BKPM
menerbitkan Izin Prinsip Perubahan
Penanaman
:
Modal
Asing,
Nomor
1723/1/IP-PB/PMA/2013,
Nomor
Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013. Terhadap permasalahan tersebut Zainuddin melalui kuasa hukumnya pada tanggal 28 Februari 2014 mengajukan gugatan Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang deregister dengan nomor perkara : 43/G/2014/PTUN-JKT karena
9
menurut Zainuddin Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing, Nomor : 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013 diterbitkan dengan melanggar Undang-undang dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik terutama asas kepastian hukum ditinjau dari Pasal 48 ayat (1) Peraturan Badan Koordinasi Penananaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan Dan Non Perizinan Penanaman Modal (Perka BKPM No.5 Tahun 2013). Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti kepastian hukum investasi dengan mengunakan pendekatan metode Analisis Yuridis Normatif, dengan mengambil judul “KEPASTIAN HUKUM INVESTASI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DAN PERATURAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PERIZINAN DAN NON PERIZINAN PENANAMAN MODAL (Studi Kasus
Putusan
Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
Jakarta
Nomor
:
43/G/2014/PTUN-JKT, tanggal 17 Juli 2014)”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka terdapat beberapa permasalahan mengenai : 1. Prosedur penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
10
2. Izin investasi sesuai prinsip Penanaman Modal Asing dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 43/G/2014/PTUNJKT, tanggal 17 Juli 2014. C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu : 1. Bagaimanakah prosedur penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ? 2. Bagaimana kepastian hukum izin investasi sesuai dengan prinsip Penanaman Modal Asing dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 43/G/2014/PTUN-JKT, tanggal 17 Juli 2014 ? D. Tujuan Penelitian : Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Memahami prosedur penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 2. Mengetahui kepastian hukum izin investasi sesuai dengan prinsip Penanaman Modal Asing. E.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat : 1. Bagi pendidikan atau akademisi, penelitian ini dapat memperkaya khasanah kepustakaan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang mengadakan penelitian yang menyangkut investasi/penanaman modal.
11
2. Bagi peneliti dapat digunakan sebagai media aplikasi dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya yang berkaitan dengan Hukum Investasi dan hukum Tata Usaha Negara dan untuk memenuhi persyaratan akademik memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Pamulang F.
Kerangka Teori 1. Negara Kesejahteraan (Grand Theory) Negara Indonesia seringkali disebut sebagai negara yang mengusung gagasan Negara kesejahteraan (wellfare State/WS), hal ini karena di dalam pembukaan UUDRI 1945 terdapat salah satu tujuan negara
yang
mengekspresikan gagasan Negara kesejahteraan itu. Gagasan Negara kesejahteraan sebagai sebuah konsep, bukan terlahir dari sebuah ihtiar pendek. Ditilik dari perspektif sejarah, WS hadir dalam bayang-bayang pergumulan dua ideologi ekstrim yakni, individualisme dan kolektivisme. Dalam perkembangan selanjutnya gagasan Negara kesejahteraan berkembang menjadi beberapa konsep dengan menampilkan beberapa varian.6 Konsep negara kesejahteraan seringkali dipersepsikan berbeda-beda, tergantung
dari
sudut
pandang
dari
sesorang
yang
tengah
memperbincangkannya. Ada yang mempersepsikan dari spectrum ekonomi
6
Esping-Andersen membagi negara kesejahteraan ke dalam tiga bentuk yaitu: 1) Residual Welfare State, yang meliputi negara seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan dicirikan dengan jaminan sosial yang terbatas terhadap kelompok target yang selektif serta dorongan yang kuat bagi pasar untuk mengurus pelayanan publik. 2) Universalist Welfare State, yang meliputi negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda, dengan basis rezim kesejahteraan sosial demokrat dan dicirikan dengan cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif. 3) Social Insurance Welfare State, yang meliputi negara seperti Austria, Belgia, Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan dicirikan dengan sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting keluarga sebagai penyedia pasok kesejahteraan.Di sini, WS bergerak dari bentuk gagasan menuju konsep, model, dan teori.
12
(seperti Nicholas Bar),7 politik (Briggs),8 Ideolgi (Titmuss). Terhadap pandangan-pandangan itu, terdapat elemen-elemen dasar yang dapat mempertautkan gagasan yang multipersepesi tersebut, hingga membentuk pemahaman awal atas pengenalan konsep negara kesejahteraan. Elemenelemen itu adalah negara (pemerintah), pasar dan masyarakat. Jika elemenelemen dasar itu dielaborasi dan dikonstruksi, maka membentuk wujud dasar untuk mengenal konsep negara kesejahteraan, yaitu suatu konsep yang mendudukan peran pemerintah secara terukur dan berkomitmen terhadap persamaan sosial dan keadilan dengan mengacu pada tiga prinsip berikut ini:
Perbaikan dan pencegahan terhadap efek-efek yang merugikan fungsi ekonomi pasar, khususnya yang merugikan bagi kesejahteraan pihak yang secara ekonomi dan sosial dianggap kurang mampu;
Distribusi kekayaan dan kesempatan bagi semuanya secara adil dan merata; dan
Promosi terhadap kesejahteraan sosial dan sistem jaminan bagi yang kurang agar mampu memperoleh manfaat yang lebih besar. Dengan beroperasi didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut di atas,
konsep negara kesejahteraan memiliki enam tujuan dasar, yakni: pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja yang cukup, stabilitas harga, pembangunan dan ekspansi sistem jaminan sosial serta peningkatan kondisi kerja, distribusi modal dan kesejahteraan yang seluas mungkin, dan promosi terhadap kepentingan dan kelompok sosial dan ekonomi yang berbeda-beda9.
7
Bar, The economics of the welfare state, Oxford, 1998. A Briggs, The welfare State in historical Perspective, European Journal of Sociology, 1961. 9 Memahami bahwa konsep negara kesejahteraan seperti itu, maka karakter hukum pada negara kesejahteraan seharusnya adalah responsif (Demokratis). Konsep hukum responsive dikemukakan oleh Nonet dan Zelsnick. 8
13
Ide negara hukum atau konsep negara hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi,
‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah
kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.10 Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan
dalam
tradisi
Anglo
Amerika,
konsep
Negara
hukum
dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1) Perlindungan hak asasi manusia. 10
Asshidiqie, Jimly. Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://docudesk.com diakses tanggal 29 November 2013, hal. 2.
14
2) Pembagian kekuasaan. 3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang. 4) Peradilan tata usaha Negara.11
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law. 2) Equality before the law. 3) Due Process of Law.12 Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut diatas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah: 1) Negara harus tunduk pada hukum. 2) Pemerintah menghormati hak-hak individu. 3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak.13 2. Teori Penyelesaian Sengketa (Middle Theory)
11
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 180 12 Ibid. 13 Ibid., hal. 181.
15
Istilah penyelesaian sengketa berasal dari bahasa Inggris, yaitu dispute resolution. Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) sebagai : “pernyataan public mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai. (dalam Friedman, 2001) Definisi lain dikemukakan oleh Nader dan Todd. Ia mengartikan sengketa sebagai: 'keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan di muka atau dengan melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya, Ia mengemukakan istilah prakonflik dan konflik. Prakonflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. Konflik itu sendiri adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut (Kriekhoff, 2001). Steven Rosenberg esq, mengartikan konflik sebagai perilaku bersaing antara dua orang atau kelompok. Konflik terjadi ketika orang atau lebih berlomba untuk mencapai tujuan yang sama atau memperoleh sumber yang jumlahnya terbatas. Pola penyelesaian sengketa merupakan suatu bentuk atau kerangka untuk mengakhiri pertikaian atau sengketa yang terjadi antara para pihak. Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu melalui: (1) pengadilan, dan (2) alternatif penyelesaian sengketa (ADR).14 Menurut
Komar
Kantaatmadja
penyelesaian
sengketa
dapat
digolongkan dalam tiga golongan : 1. Penyelesaian dengan menggunakan negosiasi baik yang langsung (negotiation simplisiter) maupun dnegan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi). 2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi baik bersifat nasional maupun internasional. 3. Penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase baik bersifat adhoc maupun terlembaga.15
14
H. Salim HS dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indoensia. Jakarta: Rajawali Pers. 2012 hal
347-348 15
Huala Adolof. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali Pers. 1991 hal 4-5
16
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, di mana dalam penyelesaian sengketa itu diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat mengikat. Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangar dalam penyelesaian sengketa. Keuntungannya, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurangkurangnya dalam batas tertentu menjamirn bahwa kekuasaan tidak dapat memengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial. 2. Litigasi sangat baik untuk menemukan kesalahan-kesalahan dan masalahmasalah dalam posisi pihak lawan. 3. Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan. 4. Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi. 5. Dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk penyelesaikan sengketa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-undang eksplisit maupun implisit.16 Menurut Frans Hendra Winarta
bahwa secara konvensional,
penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya
dilakukan
melalui
proses
litigasi. Dalam
proses
litigasi
menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum
16
H. Salim HS dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indoensia. Jakarta: Rajawali Pers. 2012 hal
348
17
remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.17 Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.18 Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan. Salah satunya di Pengadilan Tata Usaha Negera. Peradilan
Tata
Usaha
Negara
adalah
lingkungan
peradilan di
bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.19 Proses htigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalanpersoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan. Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaiar keta (ADR) adalah. "lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
17
Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika. 2012 hal 1-2 Rachmadi Usman. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika 2012 hal 8. 19 http://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_Tata_Usaha_Negara diakses tanggal 5 Desember 2013.. 18
18
mediasi, ko atau penilaian ahli" (Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penye Sengketa). Apabila kita mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat (10) U Undang Nomor 30 Tahun 1999, cara penyelesaian sengketa : ADR dibagi menjadi lima cara, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
konsultasi; negosiasi; mediasi; konsiliasi; atau penilaian ahli.20
Di dalam literatur juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu sebagai berikut. 1. The binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur di dalam penyelesaian sengketa di mana hakim dalam memutuskan perkara mengikat para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu: (1) litigasi; (2) arbitrase; (3) mediasi-arbitrasi; dan (4) hakim partikelir. 2. The non binding adjudicative procedure, yaitu suatu proses penyelesaian sengketa, di mana hakim atau orang yang ditunjuk dalam memutuskan perkara tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dibagi menjadi enam macam, yaitu: (1) konsiliasi; (2) mediasi; (3) mini-trial; (4) summary jury trial; (5) neutral expert fact binding (6) early expert neutral evaluation. 21
Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat putusan yang dihasilkan oleh institusi tersebut. Pada the binding adjudicative procedur, putusan yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara mengikat para pihak, sedangkan the non binding adjudicative procedur, putusan yang dihasilkan tidak mengikat para pihak. Artinya dengan adanya putusan itu para pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan tersebut. Persamaan kedua
20
H. Salim HS dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indoensia. Jakarta: Rajawali Pers. 2012 hal
350 21
Ibid, hal 352
19
pola penyelesaian sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan atau pemecahan dalam suatu kasus. 22 3. Teori Kepastian Hukum (Applied Theory) Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.23 Menurut
Satjipto
Rahardjo,
untuk
mendirikan
Negara
hukum
memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan.24 Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).25 G. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai adalah pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum 22
Ibid, hal 353 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, 2000, hal. 3. 24 Fahmi, Kepastian Hukum, hal 21, mengutip Satjipto Rahardjo dengan judul: ‘Membedah Hukum Progresif’, Harian Kompas, Media Oktober 2006, hal 17. 25 Satjipto Rahardjo, ibid hal 4. 23
20
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.26 Metode pendekatan yuridis normatif digunakan dengan tujuan untuk menganalisis kepastian hukum Peraturan Badan Koordinasi Penananaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan Dan Non Perizinan Penanaman Modal (Perka BKPM No.5 Tahun 2013). 2. Spesifikasi Penelitian Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian Preskripsi. Spesifikasi penelitian ini adalah Preskripsi, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan obyek yang akan diteliti melalui kaca mata disiplin hukum, atau sering disebut oleh Peter Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya. 27 Dalam hal ini penelitian ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang seyogyanya tentang kepastian hukum Peraturan Badan Koordinasi Penananaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan Dan Non Perizinan Penanaman Modal (Perka BKPM No.5 Tahun 2013). 3. Jenis Data Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder di bidang hukum dipandang dari sudut mengikat dapat dibedakan : a. Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
26
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005,
hal.37. 27
Ibid., hal 91.
21
artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar Negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.28 Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum primer antara lain Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Peraturan Badan Koordinasi Penananaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan Dan Non Perizinan Penanaman Modal (Perka BKPM No.5 Tahun 2013). b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas. 4. Metode Pengambilan Data Data sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan literatur yang kemudian dicatat berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji sebagai suatu kajian yang utuh. 5. Metode Penyajian Data
28
Ibid, hal. 113.
22
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis. Sistematis disini maksudnya adalah keseluruhan data primer yang diperoleh akan dihubungkan data sekunder yang didapat serta dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. 6. Analisis Data Data dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan menginterpretasikan data yang berlandaskan pada teori-teori ilmu hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.29 Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. H. Kerangka Berfikir Berikut adalah gambaran alur kerangka teori hukum yang menjadi dasar penelitian ini :
GRAND THEORY
NEGARA KESEJAHTERAAN
UUD 1945
MIDDLE THEORY
APPLIED THEORY
PENYELESAIAN SENGKETA
KEPASTIAN HUKUM
SISTEM HUKUM PENEGAKAN HK PENYELESAIAN SENGKETA
HK. INVESTASI PROSEDUR INVESTASI
TUJUAN
KEADILAN
29
hal. 93.
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983,
23
Dari kerangka teori hukum tersebut dapat dibuat kerangka berfikir dalam penelitian ini sebagai berikut :
INVESTASI ASING LANGSUNG GG
GRAND THEORY NEGARA KESEJAHTERAA N
Bentuk Kerjasama dan Bidang Usaha Investasi Asing
Prosedur Penanaman Modal Asing dan Masalah Yang Dihadapi
INVESTASI ASING TIDAK LANGSUNG
PERTUMBUHAN EKONOMI & KESEJAHTERAAN
MIDDLE THEORY PENYELESAIAN SENGKETA
LITIGASI & NON LITIGASI
Mekanisme Penanaman Modal
Perlindungan Hukum Terhadap Kegiatan Penanaman Modal
Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
APPLIED THEORY KEPASTIAN HK.
Prosedur Penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing berdasarkan UU No.25/2007 Tentang Penanaman Modal Kepastian Hukum Investasi dalam Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing
PERATURAN PENANAMAN MODAL
I.
Preposisi Berdasarkan pemikiran tersebut di atas penulis dapat mengemukakan bahwa permasalahan yang timbul dari suatu penyelesaian sengketa penanaman modal ini ingin ditangani secara baik yaitu mempunyai kepastian hukum dan berkeadilan. Timbul suatu permasalahan dari pertanyaan tersebut seperti saat ini dan dihubungkan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada serta praktik yang dilakukan oleh para pihak yang berwenang untuk memutus, adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah suatu sengketa penanaman modal tersebut selesai dengan diputuskan dengan mendapat kepastian hukum dan berkeadilan ?
24
2. Bagaimanakah prosedur penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ? Berdasarkan pertanyaan tersebut penulis mulai suatu penelitian dan pengkajian yang mendalam untuk dapat jawaban yang jelas, sehingga pada akhirnya dapat mengusulkan suatu perbaikan demi kemajuan hukum di Indonesia dalam menangani suatu sengketa khususnya sengketa penanaman modal.
25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENANAMAN MODAL ASING A. Pengertian Investasi Asing Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 pengertian investasi asing adalah sebagai berikut : a.
alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa
Indonesia,
dengan
persetujuan
Pemerintah
digunakan
untuk
pembiayaan perusahaan di Indonesia. b.
alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.
c.
bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia. Investasi asing di Indonesia dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu investasi
portofolio dan investasi langsung. Investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan instrument surat berharga seperti saham dan obligasi. Sedangkan investasi langsung dikenal dengan Penanaman Modal Asing (PMA), merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau mengakuisisi perusahaan. Penanaman modal asing atau investasi seringkali diartikan dalam pengertian yang berbeda-beda. Perbedaan penggunaan istilah investasi terletak pada cakupan dari makna yang dimaksudkan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam
26
modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Peranan modal asing dalam pembangunan telah lama diperbincangkan oleh para ahli ekonomi pembangunan. Secara garis besar, pemikiran mereka adalah sebagai berikut. Pertama, sumber dana eksternal yaitu modal asing dapat dimanfaatkan oleh negara yang sedang berkembang sebagai dasar untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti dengan perubahan struktur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting dalam mobilisasi dana maupun transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal asing menjadi menurun segera setelah perubahan struktural benar-benar terjadi (meskipun modal asing di masa selanjutnya lebih produktif). Investor dapat dibagi menjadi 2, yaitu investor domestik dan investor asing. Investor domestik merupakan investor yang berasal dari dalam negeri, sedangkan investor asing berarti investor yang berasal dari negara asing. Penanaman modal asing dibagi menjadi dua yaitu : 1.
Investasi Asing Langsung Investasi asing langsung adalah investasi yang langsung ditanamkan dengan mendirikan perusahaan di industri atau bidang usaha tertentu seperti pertambangan, properti, pertanian, dan lain sebagainya. Investasi di sektor riil sangat penting karena dapat memberi manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia
melalui
penyerapan
tenaga
kerja,
pengurangan
kemiskinan,
peningkatan kualitas SDM, pertumbuhan industri, dan penggarapan berbagai sumber daya ekonomi. 2. Investasi asing tidak langsung
27
Investasi tidak langsung banyak dilakukan dalam bentuk saham korporasi, surat obligasi, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan Surat Utang Negara (SUN). Banyaknya dana asing dari investasi ini memang telah menguatkan nilai rupiah, namun penguatan tersebut tidak ada artinya apabila tidak membawa dampak positif bagi sektor riil dan rakyat.30 B. Bentuk Kerjasama dan Bidang Usaha Investasi Asing 1. Bentuk Kerjasama Investasi Asing Peningkatan penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang kemudian mengalami perubahan dan penambahan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian kedua undang-undang tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pelaksanaan Penanaman Modal Asing di Indonesia seperti yang ditetapkan dalam ketentuan penanaman modal asing sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) dinyatakan penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal asing, baik yang menggunakan modal 30
http://blog-aniz.blogspot.com/2013/05/makalah-analisis-investasi-asing-pada.html tanggal 10 Januari 2015.
diakses
28
asing sepenuhnya, maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri. Dengan adanya pengaturan tersebut di atas seperti yang termuat dalam Pasal 3 UU Penanaman Modal, maka penanaman modal asing di lndonesia diperkenankan melaksanakan usahanya dalam bentuk usaha kerja sama (jointventure) dengan pihak swasta nasional dalam bentuk dan cara kerjasama yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah khususnya dalam hal komposisi kepemilikan saham perusahaan. Bentuk kerja sama usaha yang akan didirikan oleh warga negara Indonesia (“WNI”) dan warga negara asing (“WNA”) di Indonesia bergantung pada seberapa besar kegiatan usaha yang akan dilakukan. Apabila dalam pendirian usaha membutuhkan modal yang besar, maka WNA dan WNI dalam hal ini akan melakukan Penanaman Modal Asing (‘PMA”) sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”), yaitu : “Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.” Dalam mendirikan badan usaha yang bermitra dengan WNA, prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. WNA dan WNI menandatangani perjanjian joint venture (usaha patungan); 2. Setelah
menandatangani
perjanjian joint
venture, WNA
dan
WNI
membentuk suatu badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas (“PT”)
29
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia. (Pasal 5 ayat [2] UU 25/2007); 3. Mengajukan permohonan pendaftaran PMA kepada BKPM. Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam pendirian PT dilakukan dengan “Mengambil bagian saham pada saat pendirian PT” (Pasal 5 ayat [3] UU 25/2007). Adapun pendirian PT PMA wajib untuk memperhatikan daftar negatif investasi berdasarkan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (“Perpres 36/2010”). Berdasarkan Perpres 36/2010, bidang usaha dalam hal ini restoran, terbuka untuk penanam modal asing (WNA) dengan komposisi maksimal pemilikan saham oleh WNA adalah sebesar 51% (lima puluh satu persen). Setiap Perusahaan PMA yang akan melakukan penanaman modal di Indonesia wajib untuk mendaftarkan PT PMA yang didirikannya ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”) sebelum PT PMA berstatus Badan Hukum atau sesudah berstatus badan hukum (Pasal 16 ayat [1] Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal - “Perka BKPM 12/2009”). Apabila PT PMA yang didirikan ingin mendapatkan fasilitas penanaman modal, selain permohonan pendaftaran PT PMA juga harus mengajukan permohonan pendaftaran Izin Prinsip ke BKPM (Pasal 17 ayat [2] Perka BKPM 12/2009). Dengan asumsi bahwa yang dimaksud dalam sistem hukum adalah pilihan hukum, maka WNI dapat menggunakan sistem hukum yang diatur di
30
Republik
Indonesia
sehubungan
dengan
domisili
perjanjianjoint
venture dilakukan dan/atau tempat badan hukum PT didirikan. WNA dapat memperoleh jabatan sebagai tenaga ahli di dalam PT PMA. Hal ini didasari atas kewajiban Perusahaan yang melakukan penanaman modal di Indonesia untuk mengutamakan tenaga kerja Indonesia (Pasal 10 ayat (1) jo ayat (2) UU 25/2007). Sehingga keharusan untuk memberikan pekerjaan/jabatan kepada WNA bergantung pada posisi yang akan diberikan kepada WNA tersebut. Namun,
berdasarkan Pasal
46 UU
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) jo Pasal 5 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995
tentang
Penggunaan
Tenaga
Kerja
Warga
Negara
Asing
Pendatang (“Kepres 75/1995”), terdapat laragan bagi WNA untuk memperoleh jabatan di bidang personalia dan jabatan-jabatan tertentu. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya PT PMA wajib untuk mengutamakan memperkerjakan tenaga kerja Indonesia, namun apabila posisi tersebut belum dapat dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia (dengan syarat jabatan tersebut tidak dilarang bagi WNA), maka PT PMA dapat memperkerjakan WNA tersebut. Jika PT PMA akan memperkerjakan WNA, maka harus memperhatikan peraturan tata cara memperkerjakan tenaga kerja asing yaitu Perusahaan Jasa Patungan harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). WNA yang berkerja di Perusahaan Jasa Patungan wajib untuk memperoleh Visa Tinggal Terbatas untuk bekerja di Indonesia. 31 2. Bidang Usaha Investasi Asing 31
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5137/prosedur-penanaman-modal-asing-di-bidangrestoran diakses tanggal 10 Januari 2015.
31
Salah satu usaha pemerintah dalam meningkatkan arus penanaman modal di Indonesia adalah dengan memberikan keleluasaan bagi para investor untuk menentukan bidang-bidang usaha investasi yang diminati. Hal ini memicu proses penyederhanaan peraturan terhadap Daftar Skala Prioritas menjadi Daftar Negatif Investasi (DNI). DNI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan setiap tahun dilakukan peninjauan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Pasal 10 ayat 1 Peraturan Kepala BKPM No.12 tahun 2009 (“Perka BKPM 12/2009”) menyatakan bahwa semua bidang atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.Untuk itu, investor diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, seperti DNI, sebelum melakukan kegiatan penanaman modal. DNI mencakup daftar bidang usaha yang tertutup seluruhnya atau sebagian untuk penanaman modal swasta asing maupun dalam negeri. Perubahan pengaturan DNI terbaru terdapat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No.36 tahun 2010 (“Perpres 36/2010”). a. Bidang Usaha yang Tertutup untuk Penanaman Modal Berdasarkan Pasal 1 (1) Perpres 36/2010, Bidang usaha yang tertutup adalah bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Penetapan ini didasarkan pada kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya. Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal sebagaimana diatur dalam Lampiran I Perpres 36/2010, antara lain mencakup bidang usaha budidaya ganja, perjudian/kasino, dan industri minuman mengandung alkohol.
32
Selanjutnya, Pasal 12 ayat 2 Undang-Undang No.25 tahun 2007 (“UU 25/2007”) menetapkan beberapa bidang usaha yang dilarang bagi penanaman modal asing karena dianggap menduduki peranan penting dalam pertahanan Negara, seperti: (i) produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan (ii) bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan Undang-Undang. b. Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan untuk Penanaman Modal Berdasarkan Pasal 2(1) Perpres 36/2010, bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Peraturan mengenai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal didasarkan pada kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan Usaha mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. Bidang-bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam Lampiran II Perpres 36/2010, antara lain mencakup bidang usaha budidaya tanaman pangan pokok, pengusahaan sarang burung walet di alam, pembenihan ikan laut, pembangkitan tenaga listrik skala kecil dan daur
33
ulang barang-barang bukan logam. Dalam hal penanaman modal pada bidang usaha terbuka dengan persyaratan, sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 Perpres 36/2010, investor wajib mematuhi persyaratan lokasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tata ruang dan lingkungan hidup. 32 C. Perbedaan Investasi Asing Langsung dan Tidak Langsung Investasi atau penanaman modal mempunyai dua pengertian yaitu investasi langsung (direct investment) dan investasi tidak langsung (indirect investment). Dan penulisnya memisahkan investasi langsung (direct investment) dan investasi tidak langsung (indirect investment) menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah mengenai investasi langsung, kemudian untuk investasi tidak langsung diuraikan dalam bagian kedua. 1. Investasi Langsung (Direct Investment) Dalam konteks ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pengertian penanaman modal hanya mencakup penanaman modal secara langsung. Penanaman modal secara langsung ini dilakukan baik berupa mendirikan perusahaan patungan (joint venture company) dengan mitra lokal, dengan melakukan kerjasama operasi (joint operation) tanpa membentuk perusahaan baru, dengan mengkonversikan pinjaman menjadi penyertaan mayoritas dalam perusahaan lokal, dengan memberikan bantuan teknis dan manajerial (technical and management assistance), dengan memberikan lisensi dll. 2. Investasi Tidak Langsung (Indirect Invesment)
32
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, 2013. hal 16-17.
34
Yang termasuk dalam penanaman modal tidak langsung ini mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar uang. Penanaman modal tersebut disebut penanaman modal jangka pendek karena pada umumnya mereka melakukan jual beli saham dan/atau mata uang dalam jangka waktu yang relatif singkat tergantung fluktuasi nilai saham dan/atau mata uang yang hendak mereka perjual-belikan. Perbedaan Investasi Langsung dan Tidak Langsung No. Investasi Langsung Investasi Tidak langsung 1 Investasi dengan Uang / perlengkapan Investasi dengan membeli saham 2 Mendirikan Perusahaan Tidak Perlu mendirikan perusahaan 3 Perusahaan dikendalikan sebagian Adanya pemisahan pemilik atau keseluruhan pemilik perusahaan dan manajemen 4 Investasi tidak dapat ditarik setiap Investasi dapat ditarik setiap Saat saat 5 Membutuhkan kehadiran secara fisik Tidak perlu hadir secara fisik 6 UU penanaman modal UUPM 7 Pengelola BKPM Pengelola Bapepam dan LK
Karenanya pasar modal dipandang sebagai salah satu sarana yang efektif untuk mempercepat pembangunan suatu negara. Hal ini dimungkinkan karena pasar modal merupakan wahana untuk dapat menggalang pengerahan dana dari masyarakan untuk disalurkan ke sektor-sektor produktif. Apabila pengerahan dana masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan maupun pasar modal sudah dapat berjalan dengan baik, maka dana pembangunan yang bersumber dari pinjaman luar negeri akan berkurang. Pasar Modal di negera maju merupakan salah satu lembaga yang diperhitungkan bagi perkembangan ekonomi negara tersebut. Oleh sebab itu negara/pemerintah mempunyai alasan untuk ikut mengatur jalannya dinamika pasar modal. Pasar modal di Indonesia memobilisasi dana masyarakat dengan
35
menyediakan sarana atau tempat untuk mempertemukan penjual dan pembeli dana jangka panjang yang disebut efek. Pengertian efek bukan hanya terdiri dari saham dan obligasi semata, melainkan meliputi pula surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyetoran kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek dan setiap derivatif efek. Tiga arti pasar modal, yaitu : Pertama, dalam arti luas, pasar modal adalah keseluruhan sistem keuangan yang terorganisir, termasuk bank-bank komersial dan semua perantara di bidang keuangan, surat berharga/klaim jangka panjang, pendek primer dan yang tidak langsung. Kedua, dalam arti menengah, pasar modal adalah semua pasar yang terorganisir dan lembaga-lembaga yang memperdagangkan warkat-warkat kredit (biasanya berjangka lebih dari satu tahun) termasuk saham, obligasi, pinjaman berjangka, hipotik, tabungan dan deposito berjangka. Ketiga, dalam arti sempit adalah tempat pasar uang terorganisir yang memperdagangkan saham dan obligasi dengan menggunakan jasa makelar dan underwriter. Sedangkan Undang-Undang Pasar Modal memberikan batasan pasar modal yaitu merupakan kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi
yang berkaitan dengan efek.
Dari beberapa pengertian mengenai pasar modal tersebut, kemudian disimpulkan bahwa pasar modal merupakan kegiatan yang bersangkutan dengan diterbitkan dan
36
diperdagangkannya efek dengan penawaran umum dan perdagangan jangka panjang, melalui pasar perdana dan pasar sekunder. 33 D. Prosedur Penanaman Modal Asing dan Masalah Yang Dihadapi
Pengaturan prosedur penanaman modal asing di Indonesia berkembang sangat dinamis sejak terjadinya reformat pada sekitar tahun 1999, terlebih sejak diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini dikarenakan urusan pemerintahin di bidang penanaman modal yang semula ada di tangan pemerintah dialihkan kepada pemerintah daerah baik itu pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten atau pemerintah daerah kota. Selain peraturan perundang-undangan yang mengatur secara langsung masalah penanaman modal sebagaimana disebutkan di atas, peraturan perundangundangan di bidang lainnya juga perlu diperhatikan, seperti peraturan yang mengatur masalah kewenangan pemberian izin sehubungan dengan penanaman modal, lingkungan hidup, ketenagakerjaan, perpajakan, kepabeanan, pertanahan, alih teknologi (trafer of technology), persaingan usaha yang sehat, perlindung konsumen, hak atas kekayaan intelektual, peraturan-peraturan yang bersifat sektoral seperti telekomunikasi, perhubungan, industry, perdagangan, perkebunan, kehutanan, atau bahkan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. 34 Penanaman modal asing berperan penting baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Di dalam suatu laporannya yang diterbitkan pada tahun 1996,
33
http://candraekonom.blogspot.com/2013/06/pengertian-investasi.html diakses tanggal 20 Januari 2015. 34 http://hukumpenanamanmodal.com/bidang-usaha-tertutup-daftarnegatif-investasi diakses tanggal 20 Januari 2015.
37
WTO menunjukkan bahwa telah terjadi suatu perkembangan yang cukup mendasar di bidang penanaman modal, khususnya sejak tahun 1980-an. 35 Perkembangan perekonomian suatu negara, khususnya negara berkembang seperti Indonesia sangat ditentukan dari tingkat pertumbuhan penanaman modal asing. Penanaman modal asing memegang peranan penting dalam peningkatan devisa suatu negara. Kegiatan perdagangan internasional tidak dapat terlepas dari penanaman modal asing karena memberikan keuntungan kepada semua pihak, tidak hanya bagi investor saja, tetapi juga bagi perekonomian negara tempat modal itu ditanamkan serta bagi negara asal para investor. Sebagai negara berkembang, Indonesia berada pada posisi yang sangat berkepentingan dalam mengundang investor asing untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Menyadari pentingnya penanaman modal asing, pemerintah Indonesia terus berupaya menumbuhkan iklim investasi yang kondusif guna menarik calon investor untuk menarik modal asing masuk ke Indonesia. Berbagai strategi untuk mengundang investor asing telah dilakukan agar para investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya dan merasa nyaman dalam melakukan penanaman modal di Indonesia. Strategi-strategi yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya tarik para investor agar menanamkan modalnya di Indonesia ialah dengan mengeluarkan
peraturan-peraturan
tentang
penanaman
modal
asing
dan
kebijaksanaan pemerintah yang pada dasarnya tidak akan merugikan kepentingan nasional dan kepentingan investor. Pemerintah menetapkan bidang-bidang usaha yang memerlukan penanaman modal dengan berbagai peraturan. Selain itu, pemerintah juga menentukan besarnya modal dan perbandingan antara modal nasional dan modal asing. Hal ini dilakukan agar penanaman modal tersebut dapat 35
Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
38
diarahkan pada suatu tujuan yang hendak dicapai. Bukan hanya itu seringkali suatu negara tidak dapat menentukan politik ekonominya secara bebas, karena adanya pengaruh serta campur tangan dari pemerintah asing. Di samping mengeluarkan peraturan-peraturan dalam bidang penanaman modal, pemerintah juga memberikan kebijakan-kebijakan. Kebijakan mengundang modal asing adalah untuk meningkatkan potensi ekspor dan substitusi impor, sehingga Indonesia dapat meningkatkan penghasilan devisa dan mampu menghemat devisa, oleh karena itu usaha-usaha di bidang tersebut diberi prioritas dan fasilitas. Alasan kebijakan yang lain yaitu agar terjadi alih teknologi yang dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional Indonesia. Di dalam menentukan kebijakan ekonomi, pemerintah sering dihadapkan kepada banyak kendala struktural yang tidak mudah diatasi, sehingga kebijakan yang paling optimal (first best policy) menjadi tidak relevan. Akibatnya pemerintah harus bertumpu kepada second best policy yang tentunya mempunyai dampak positif yang lebih kecil dan sering pula diikuti oleh dampak negatif yang perlu diantisipasi. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut berdampak pada penanaman modal asing. Salah satu kebijakan yang sangat berpengaruh dalam kegiatan penanaman modal asing ialah kebijakan desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan
daerah.
Desentralisasi
sebenarnya
adalah
istilah
dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
39
kewenangan.
Dalam
kaitannya
dengan
sistem
pemerintahan
Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Jadi dengan adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional.36 Lebih jelasnya, otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah, yang melekat baik pada negara kesatuan maupun negara federasi. Di dalam negara kesatuan, otonomi daerah lebih terbatas daripada di negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat. 37 Kehadiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan peluang desentralisasi
penanaman modal di daerah.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan di sempurnakan dengan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan pelaksanaan dari salah satu tuntutan reformasi pada tahun 1998 Kebijakan ini merubah penyelenggaraan
36
http://id.wikipedia.org/wiki/Desentralisasi, diakses pada 21 Januari 2015 Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 3 37
40
pemerintahan dari yang sebelumnya bersifat terpusat menjadi terdesentralisasi meliputi antara lain penyerahan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah (kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, agama, fiskal moneter, dan kewenangan bidang lain) dan perubahan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penanaman modal merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Penyerahan kewenangan untuk menangani investasi kepada daerah merupakan langkah positif dalam rangka mewujudkan otonomi daerah. Namun di lain pihak, hal tersebut justru menimbulkan
kekhawatiran
di
kalangan
investor
asing.
Investor
asing
mengeluhkan munculnya gejala tindakan sewenang-wenang pemerintah daerah, antara lain dalam hal pengaturan izin lokasi investasi. Di samping masalah tersebut, investor juga mengeluhkan banyaknya pungutan pajak yang harus dibayar dan tumpang tindihnya regulasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Bahkan sejumlah investor menilai, pemerintah daerah bertindak sewenang-wenang hanya karena merasa lebih berhak menentukan siapa yang boleh mendapat izin lokasi. Kehadiran investasi asing, khususnya investasi langsung atau Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment) di suatu negara menguntungkan negara tersebut, khususnya dalam hal pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tidak perlu dipertanyakan lagi. Kehadiran PMA memberi banyak hal positif terhadap perekonomian dari negara tuan rumah. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan investasi di dalam negeri antara lain. 38
38
Pandji Anoraga, Perusahaan Multi Nasional Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hlm. 82-83.
41
1. Stabilitas politik dan perekonomian yang sudah menunjukkan kestabilan yang mantap selama ini. 2. Kebijakan dan langkah-langkah deregulasi dan debirokrasi yang secara terusmenerus telah diambil oleh pemerintah dalam rangka menggairahkan iklim investasi. 3. Diberikannya fasilitas perpajakan khusus untuk daerah tertentu. 4. Tersedianya sumber daya alam yang berlimpah seperti minyak bumi, gas, bahan tambang dan hasil hutan maupun iklim dan letak geografis serta kebudayaan, dan keindahan alam Indonesia tetap menjadi daya tarik tersendiri yang telah mengakibatkan tumbuhnya proyek-proyek yang bergerak di bidang industri kima, industri perkayuan, industri perhotelan (tourisme), yang sekarang menjadi sector primadona yang banyak diminati para investor baik dalam rangka PMDN maupun PMA. 5. Tersedianya sumber daya manusia dengan upah yang kompetitif memberikan pengaruh terhadap peningkatan minta investor pada proyek-proyek yang bersifat padat karya, seperti industri tekstil, industri sepatu dan mainan anakanak. Pembicaraan tentang otonomi daerah di manapun, di pusat maupun terutama di daerah, masih bersifat amat umum yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sentralistik, tanpa keinginan lebih lanjut memahami apa implikasinya bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.39 Menurut M. Idris Latief (2006), banyak sekali permasalahan yang ditimbulkan oleh penanaman modal asing di dalam negeri. Yang pertama adalah dominannya kontrol dari luar negeri, entah itu dari pemerintah investor luar negeri 39
Mubyarto, Prospek Otonomi Daerah Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2001, hlm. 13.
dan
Perekonomian
Indonesia
Pasca
Krisis
42
atau dari badan internasional seperti International Monetary Funds (IMF), World Bank (Bank Dunia), dan lain-lain. Kontrol ini seringkali sangat merugikan rakyat, baik dari segi politik maupun ekonomi. Yang kedua adalah terkurasnya dan rusaknya sumberdaya alam Indonesia (natural resources). Hal ini karena kontrak biasanya diadakan sesuai dengan jumlah cadangan (deposit) di bawah tanah, sehingga ketika kontrak selesai yang tertinggal hanya kerusakan lingkungan. Tingginya angka pengangguran pun tidak bisa diatasi dengan penanaman modal asing. Sebab, investor asing biasanya bergerak di bidang pertambangan yang tidak banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu, tingginya biaya yang harus ditanggung setelah proyek beroperasi pun sangat merugikan bangsa Indonesia. Pihak Indonesia belum bisa menikmati bagi hasilnya selama biaya yang diminta investor belum terlunasi. Padahal, investor bisa saja berbohong mengenai biaya yang dibelanjakan untuk eksplorasi (recovery cost). Data yang dikemukakan pihak investor seringkali perlu dipertanyakan keakuratannya. Sebagai contoh, Exxon mobil menyatakan cadangan minyak di Blok Cepu sebesar 781 juta barel dengan kapasitas produksi 165 ribu barel per hari. Dengan demikian, masa eksploitasinya hanya berkisar 11 tahun atau 12 tahun. Namun, pihak Exxon mobil justru memperpanjang kontrak dari 2010 hingga 2030, yang mengindikasikan bawa tentu cadangan minyak jauh lebih besar dari yang dikemukakan. 40 E. Perkembangan Hukum Penanaman Modal di Indoensia 1. Kebijakan Umum Penanaman Modal Indonesia sebagai suatu Negara yang mendambakan suatu masyarakat yang adil dan makmur harus selalu melakukan pembangunan dalam berbagai
40
https://liandcy.wordpress.com/2009/06/22/tinjauan-kritis-terhadap-penanaman-modal-asingsebagai-bentuk-neokolonialisme/ diakses tanggal 21 Januari 2015.
43
bidang, di antaranya pembangunan dalam bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi identik dengan pembangunan sektor-sektor ekonomi yang terdapat di Negara
itu
sendiri,
seperti:
sektor
pertanian,
perikanan,
peternakan,
pertambangan, industri, perdagangan, jasa-jasa, dan selainnya.41 Konsekuensi pelaksanaan pembangunan ekonomi tersebut diperlukan adanya modal atau investasi yang besar dalam melakukan pembangunan. Dari investasi yang menunjang pembangunan ekonomi dimaksud, kemudian dikenal adanya kegiatan penanaman modal (investasi) di Indonesia yang dimulai pada Tahun 1967, tepatnya sejak dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.42 Kegiatan Penanaman Modal atau investasi (invest) dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun badan hukum (juridical person) dalam upaya untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment). Asset tidak bergerak, hak atas kekayaan intelektual (HaKI), maupun keahlian.43
Hal dimaksud, disebutkan dalam
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan jawaban atas perkembangan kegiatan penanaman modal/ investasi dari Tahun 1967 sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Penanaman Modal tersebut dinyatakan bahwa "Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
41
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta, Kencana, Jakarta, 2004, hal.
1. 42
Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 3. Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 3. 43
44
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia".44 Pengaturan Penanaman Modal dalam U U No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang mengatur investor bagi warga Negara Indonesia dan bagi Negara lain (Penanaman Modal Asing) seperti, UU No 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Atas U U No 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, UU No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Atas UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, PP No. 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, dan juga beberapa Kepres dan Kepmen serta keputusan Kepala BKPM, dan selainnya.45 Ada beberapa dasar hukum dalam Penanaman Modal yang dikemukakan di atas serta beberapa ketentuan-ketentuan pokok yang menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatannya, baik bidang usaha maupun beberapa aspek lainnya, seperti aspek kelembagaan, ketenagakerjaan, aspek perlindungan hukum dan selainnya. Disinilah terlihat sangat penting untuk memahami ketentuanketentuan pokok dalam bidang penanaman modal tersebut, agar semakin jelas dalam menjalankan aturan-aturan yang terkait, dan juga agar dapat melaksanakan investasi dengan baik.46 Wilayah negara republik Indonesia memiliki berbagai potensi yang sangat besar antara lain: Memiliki wilayah yang sangat subur dengan kekayaan alam yang berlimpah; Upah buruh yang relatif rendah; Pasar yang sangat besar;
44 45
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal.
17. 46
H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 17.
45
Lokasi yang strategis; Adanya upaya sungguh-sungguh pemerintah untuk mendorong iklim investasi yang sehat; Tidak adanya pembatasan arus devisa, tennasuk atas modal dan keuntungan, dan lain-lain.47 Namun di samping potensi yang besar dimaksud, Indonesia memiliki beberapa kelemahan yang menjadi kendala dalam menarik investasi, seperti: Kurangnya keterampilan tenaga kerja yang ada; Birokrasi yang terkadang berbelit sehingga dapat membengkakkan biaya awal operasi; Stabilitas keamanan yang agak kurang stabil sejak beberapa tahun terakhir (sejak 1997); Kebijakan yang seringkali berubah-ubah; Kurangnya kepastian hukum; Mekanisme penyelesaian sengketa yang kurang kredibel, sehingga kurang menguntungkan investor; Kurangnya tranparasi, dan lain-lain.48 Padahal sebelum krisis merebak (pra-1997), iklim penanaman modal di Indonesia dipandang cukup menarik bagi investor asing dan investor dalam negeri karena lingkungan politik yang relatif stabil, meskipun stabilitas yang didapat saat itu harus dibayar mahal. Sementara sekarang para investor tampaknya masih menahan diri untuk berinvestasi dan menunggu iklim politik Indonesia yang lebih favourable untuk memulai investasinya. Dalam menghadapi kenyataan yang terjadi dimaksud, diperlukan kebijakan-kebijakan mengenai investasi, baik oleh pemerintah maupun rakyat, agar dapat memulihkan kembali kondisi perkonomian Indonesia yang sempat terpuruk sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang baru, meningkatkan
keterampilan
tenaga
kerja
lokal,
dan
pada
akhirnya
mensejahterahkan rakyat.
47
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 56. 48 Ibid.
46
Langkah-langkah yang sudah, sedang dan yang akan ditempuh dalam menciptakan iklim investasi yang favourable tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut. 1. Menyederhanakan proses dan tata cara perizinan dan persetujuan dalam rangka penanaman modal; 2. Membuka secara lebih luas bidang-bidang yang semula tertutup atau dibatasi dengan penanaman modal asing; 3. Memberikan skema insentif, baik pajak maupun non-pajak; 4. Mengembangkan kawasan-kawasan untuk menanamkan modal dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan; 5. Menyempurnakan
berbagai
produk
hukum
dengan
menge-luarkan
peraturan-perundang-undangan bam yang lebih menjamin iklim investasi yang sehat; 6. Menyempurnakan proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang efektif dan adil; 7. Menyempurnakan tugas, fungsi dan wewenang instasi terkait untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik; 8. Membuka kemungkinan pemilikan saham asing yang lebih besar dan lainlain.49 Langkah-langkah
dimaksud,
sebagian
sudah
dapat
diwujudkan,
sebagaimana terlihat dengan munculnya berbagai produk hukum yang lebih menjamin iklim investasi yang sehat, misalnya UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, UU No. 49
Ibid. Hal 57-58.
47
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Keppres Nomor 183 Tahun 1998 tentang Badan kordinasi Penanaman Modal, dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menjanjikan beragam insentif dan jaminan bagi para investor,
50
serta Perundang-undangan lainnya
yang terkait dengan kebijakan-kebijakan dalam melakukan investasi baik bagi Warga Negara Indonesia maupun bagi Warga Negara Asing yang melakukan investasi di Indonesia. 51 2. Bentuk-bentuk Badan Usaha Ada beberapa bentuk Badan Usaha di Indonesia yang dapat dikemukakan sebagai berikut. 52 1.
Badan Usaha Perseorangan; Badan usaha perseorangan merupakan bentuk badan usaha yang paling sederhana, yaitu pemiliknya mempunyai tanggung jawab penuh atas usahanya sama dengan kekayaan pribadinya. Warga negara asing tidak diperkenankan untuk melakukan investasi dalam bentuk ini.
2.
Badan Usaha Berbentuk Perserikatan; Ada dua tipe yang umum dikenal, yaitu perserikatan berbentuk Firma dan persekutuan komanditer atau CV (Cammanditaire Venotschap). Setiap partner dalam perserikatan, baik Firma, CV maupun lainnya mempunyai tanggung jawab yang bersifat tidak terbatas (Unlimited) dan mencakup
50
Ibid. Hal 58-59. H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 19. 52 Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Opcit. hal 60. 51
48
keharta pribadinya, sedangkan CV tanggung jawab satu atau lebih partner bersifat terbatas pada modal yang mereka setor. 3.
Badan Usaha Berbentuk Perseroan; a. Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas terdiri atas PT tertutup/biasa dan PT terbuka/Tbk. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. b. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perseroan yang berbentuk BUMN mencakup antara lain Perum, Persero, Persero terbatas Perkebunan, Perjan dan lain-lain. Pada BUMN ini seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki oleh negara. Koordinasi dan peng-awasan atas pengelolaannya berada pada Menteri BUMN c. Perusahaan Patungan Berbentuk Penanaman Modal Asing Dalam perUU-an mengenai Penanaman Modal Asing, bentuk perusahaan patungan (joint venture company) harus berbentuk Perseroan Terbatas. d. Cabang (Branch), Perwakilan (Representative), dan Agen (Agent) dari Perusahaan-Perusahaan Asing.
3.
Aspek Kelembagaan Lembaga atau instansi yang terkait dengan kegiatan investasi, antara lain: 53 a. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) BKPM adalah lembaga pemerintah nondepartemen yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Badan Penanaman Modal dimaksud, mempunyai fungsi seragai berikut. 53
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Opcit. hal 60.
Koordinasi
49
1) Penetapan kebiaksanaan di bidang investasi dan pendapatan, dim usaha sesuai dengan kebijakan umum yang ditetapkan. 2) Pengkoordinasian kegiatan investasi dan sistem pelayanannya secara lintas sektoral dan regional serta potensi sumber daya nasional. 3) Pemberian pelayanan perizinan dan fasilitas serta pelayanan Icnis dan bisnis di bidang investasi, 4) Pelaksanaan kerja sama luar negeri di bidang investasi dan pendayagunaan bantuan teknik luar negeri, dan lain-lain. Untuk mendorong kegiatan investasi, beberapa langkah yang kini sedang dikaji oleh BKPM untuk segera ditempuh, yaitu mempermudah izin investasi, memperpanjang jangka berlakunya Hak Guna Usaha, dan lainlain. b. Koordinasi Penanaman Modal daerah (BKPMD) BKPMD dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggung
jawab
kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Setiap BKPMD bertugas untuk membantu calon investor untuk memperoleh izin-izin setempat, misalnya Izin Lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (1MB), serta Hak-hak atas tanah seperti HGU dan/atau HGB. c. Departemen Teknis Terkait Beberapa instansi lainnya yang terkait dengan penanganan dan pelayanan investasi untuk sektor-sektor tertentu, diantaranya adalah: 1) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk Sektor Pertambangan dan Energi; 2) Departemen Kehutanan untuk Sektor Kehutanan dan Perkebunan; 3) Departemen Keuangan untuk Sektor Keuangan dan Perbankan;
50
4) Departemen Perhubungan untuk Sektor Perhubungan, Pos, dan Telekomunikasi; dan 5) Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian untuk Sektor Perdagangan dan Industri. 4.
Hukum dan Kebijakan Pokok di Bidang Penanaman Modal di Indonesia Setelalah dijatuhkan rezim orde baru oleh kekuatan reformasi pada tahun 1998, serangkaian upaya pemerintah untuk melakukan penyempurnaan terhadap kebijakan dan ketentuan perundang-undangan yang berkenaan hukum investasi Indonesia.
54
Kebijakan yang dimaksud. adalah memberikan pelayanan yang
terbaik, baik dari infrastruktur, regulasi maupun Investasi.55 Untuk menciptakan investasi yang favourable kebijakan tersebut mencakup, antara lain : a. Menyederhanakan Proses dan Tata Cara Perizinan dan Persetujuan dalam Rangka Penanaman Modal Untuk menyederhanakan Proses dan Tata Cara Perizinan dan Persetujuan dalam Rangka Penanaman Modal, pemerintah Negara Republik Indonesia melakukan dan menetapkan rangkaian peraturan perundang-undangan sebagai berikut. 1) Keppres Nomor 115 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal; 2) Instruksi Presiden Nomor 22
Tahun
1998 tentang Penghapusan
Memiliki Rekomendasi Instansi Teknis dalam Permohonan Persetujuan Penanaman Modal;
54
Ibid. hal 83. H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 29. 55
51
3) Intruksi Presiden Nomor 23 Tahun 1998 tentang Penghapusan Ketentuan Kewajiban Memiliki Persetujuan Prinsip dalam Pelaksaan Realisasi Penanaman Modal di Daerah; 4) Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Nomor 30/SK/1998 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka PMDN dan PMA; 5) Keputusan bersama Menteri Luar Negeri dan Menten Negara Investasi / Kepala BKPM Nomor KB 076/OT/V/ 69/01 dan Nomor 10/SK/1999 tentang Penugasan Khusus kepada Perwakilan RI di Luar Negeri untuk Lebih Menarik Masuknya Investasi ke Indonesia; 6) Keputusan Menteri Investasi / Kepala BKPM Nomor 21/SK/1998 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Dalam Negeri Tertentu kepada Guber-nur Kepala Daerah Tingkat I; 7) Keputusan Menteri Negara Investasi / Kepala BKPM Nomor 37/SK/1999 tanggal 6 Oktober 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi; 8) Keputusan Menteri Negara Investasi / Kepala BKPM Nomor 38 Tahun 1999 tentang Prosedur dan Tata Cara Penanaman Modal (PMA dan PMDN); dan lain-lain.56 b. Membuka Secara Lebih Luas Bidang-Bidang yang Semula Tertutup atau Dibatasi Terhadap Penanaman Modal Asing
56
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 83-84.
52
Pemerintah negara republik Indonesia membuka seluruh kegiatan usaha yang termasuk dalam Daftar Negatif Investasi (selanjutnya disebut DNI). Hal dimaksud, dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyempumakan Keppres Nomor 96 Tahun 1998 tentang DNI. 57 Penyempurnaan DNI yang diusulkan adalah 16 bidang usaha diubah menjadi 10 bidang usaha, dan jumlah bidang usaha yang tertutup bagi PMA yang semula 9 bidang usaha menjadi 8 bidang usaha. DNI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan setiap tahun dilakukan peninjauan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan.58 c. Menawarkan Berbagai Insentif Dibidang Perpajakan dan Non-Perpajakan Pemerintah melakukan berbagai bentuk insentif di bidang perpajakan meliputi, antara lain: 1) PP Nomor 45 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Wajib Pajak untuk Badan Us aha Industri Tertentu; 2) PP Nomor 33 Tahun 1996 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 43 Tahun 1997 Mengenai Tempat Penimbunan Berikat; 3) PP Nomor 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Pengusaha kena Pajak Berstatus Enreport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) dan Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat; 4) PP Nomor 34 Tahun 1994 tentang Fasilitas Perpajakan atas Penanaman Modal di Bidang-Bidang Tertentu dan/atau Daerah-Daerah Tertentu; 5) Keppres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Kriteria Penilaian Pemberian Fasilitas Perpajakan di Bidang Usaha Industri Tertentu;
57
Ibid, hal. 83-84. H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 30. 58
53
6) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 44/KMK.01/1998 tentang Pajak Penghasilan yang ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Wajib Pajak Badan Usaha Industri tertentu sesuai dengan PP Nomor 45 Tahun 1996; dan lain-lain. d. Menyempurnakan Berbagai Produk Hukum dengan Mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan Baru yang Menjamin Iklim Investasi yang Sehat 1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan; 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; 3) Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen; 4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. e. Menyempurnakan proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien Dalam penegakan supremasi hukum serta mendapatkan tata cara penyelesaian sengketa di bidang hukum investasi yang efektif dan adil, telah ditempuh berbagai upaya yang mencakup, antara lain sebagai berikut. 1) Menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2) Menjadikan badan peradilan sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh eksekutif dengan mengembalikan fungsi pembinaan dan pengawasan hakim kepada Mahkamah Agung. 3) Meratifikasi New York Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Award of 1958 yang mengakui dan menjadi dasar dari berlakunya keputusan arbitrase asing.
54
f. Meningkatkan Pengakuan dan Perlindungan HaKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) Salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh investor asing untuk menanamkan modalnya di suatu negara adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual asing. Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Indonesia, mencakup: 1) Menyempumakan ketentuan-ketentuan mengenai Hak Cipta dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dengan mengubah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987; 2) Menyempumakan ketentuan-ketentuan mengenai Paten dengan UndangUndang Nomor 13 Tahun 1997 dengan mengubah Undang-Undang Nomor 6 tahun 1989 tentang Paten; 3) Menyempumakan
ketentuan-ketentuan
mengenai
Merek
melalui
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dengan mengubah UndangUndang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek; 4) Meratifikasi Trade Mark Law Treaty of 1994 dengan Keppres Nomor 17 Tahun 1997; 5) Meratifikasi Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT 1986 dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1997; 6) Meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan
Convention
Establishing
The
World
Intelectual
Property
Organization 1979 dengan Keppres Nomor 15 Tahun 1997; 7) Meratifikasi WIPO Copyright Treaty of 1996 dengan Keppres Nomor 19 tahun 1997;
55
8) Meratifikasi
Bern
Convention for the Protection of Literary and
Artistic Works of 1986 dengan Keppres Nomor 18 Tahun 1997; 9) Meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization of 1994. g. Membuka Kemungkinan Pemilikan Saham Asing yang Lebih Besar Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, dimungkinkan kepemilikan saham asing sebesar 100% pada perusahaan PMA. Selain itu, dikeluarkannnya Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM Nomor 12 / SK / 1999 tentang Partisipasi Modal dalam Perusahaan Holding, memberikan kesempatan untuk mendirikan usaha baru dalam permodalan perusahaan lain serta permodalan pada perusahaan yang sudah bergerak di bidang partisipasi permodalan. h. Menyempurnakan
Tugas,
Fungsi,
dan
Wewenang
lnstansi
untuk
memberikan Pelayanan yang Lebih Baik. Kebijakan dimaksud, dilakukan dengan meningkatkan BKPM serta meningkatkan
koordinasi dengan BKPMD, Pemerintah Daerah dan
instansi-instansi teknis.59 5.
Mekanisme Penanaman Modal Mekanisme atau tata cara penanaman modal diatur oleh Keputusan Menteri investasi/Kepala BKPM Nomor 38/SK71999 tanggal 6 Oktober 1999. Pengertian yang berlaku menurut ketentuan dimaksud, adalah sebagai berikut.
1. Permohonan penanaman modal bam adalah permohonan persetujuan penanaman modal, baik penanaman modal Dalam Negeri (PMDN) maupun
59
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 84-88.
56
Penanaman Modal Asing (PMA) serta fasilitasnya yang diajukan oleh calon penanam modal untuk mendirikan dan menjalankan usaha baru. 2. Permohonan perluasan penanaman modal adalah permohonan perluasan atau penambahan modal beserta fasilitasnya untuk menambah kapasitas terpasang yang disetujui dan/atau menambah jenis produksi barang atau jasa. 3. Perluasan penanaman modal di subsektor tanaman pangan dan perkebunan adalah peningkatan investasi untuk mem-biayai satu atau lebih kegiatan antara lain: a. Diversitifikasi, b. Rehabilitasi yang menggunakan bibit unggul c. Intensivikasi d. Menambah kapasitas produksi inti pengolahan e. Menambah area tanaman f. Integrasi usaha dengan usaha industri hulu dengan hilir. 4. Restrukturisasi 5. Permohonan perubahan penanaman modal 6. Persetujuan PMDN 7. Persetujuan PMA 8. Persetujuan perluasan 9. Persetujuan perubahan 10. Izin Mendirikan Kantor Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing (KPWPA) 11. Holding 12. Izin pelaksanaan penanaman modal 13. Persetujuan fasilitas penanaman modal
57
14. Angka pengenal infortir terbatas (APID) 15. Keputusan tentang rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) 16. Keputusan izin kerja tenaga kerja warga negara asing (IKTA) 17. Izin usaha tetap (IUT) 18. Izin usaha perluasan 19. Merger 20. Laporan kegiatan penanaman modal (LKPM) 21. Kawasan berikat 22. Penyelenggaraan kawasan berikat 23. Kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) 24. Badan pengelola kawasan pengembangan ekonomi terpadu 25. Usaha kecil 26. Ketua BKPMD dalam pengajuan permohonan 27. Kepala perwakilan RI dalam pengajuan permohonan.60 6.
Perlindungan Hukum Terhadap Kegiatan Penanaman Modal. Masalah ekonomi berkaitan peningkatan kemakmuran rakyat dengan menambah
produksi
barang
dan
jasa;
selanjutnya
adalah
masalah
mengusahakan pembagian yang adil dari barang dan jasa hasil produksi. Peningkatan produksi dapat tercapai melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen. Hal dimaksud, penanaman modal memegang peran yang penting.
60
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 100-104.
58
Untuk mengurangi dan menghentikan kemerosotan ekonomi dan melaksanakan pembangunan ekonomi maka asas penting yang harus dipegang teguh oleh setiap investor adalah segala usaha harus didasarkan kepada kemampuan serta kesanggupan rakyat Indonesia sendiri, namun begitu asas ini tidak boleh menimbulkan keseganan untuk memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia dari luar negeri. selama hal dimaksud, berkenaan kepentingan ekonomi rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri.61 Untuk mencapai hal dimaksud, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, memberikan kelonggaran perpajakan dan fasilitasfasilitas lain. Dominasi modal asing seperti pada zaman penjajahan harus dicegah. Pemerintah sepenuhnya memperhatikan kekuatan modal nasional yang ada dan rencana pembangunan yang akan disusun oleh Pemerintah. Berdasarkan kegiatan di negara Republik Indonesia yang melakukan hubungan dengan berbagai negara khususnya dalam hal investasi atau penanaman modal, maka perlu dikaji lebih dalam mengenai aspek-aspek transnasional pada kegiatan investasi atau penanaman modal terutama aspek hukumnya. Hubungan transnasional dapat diartikan sebagai hubungan antara masyarakat, organisasi, kelompok dan komunitas dari Negara yang berbeda. Dalam arti hubungan yang terjadi dalam hubungan transnasional di antara orang yang tidak merepresentasikan negaranya. James Rosau mendefinisikan transnasionalisme yaitu “proses hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai oleh hubungan individu-individu, kelompok61
C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 570.
59
kelompok dan masyarakat-masyarakat swasta yang memiliki konsekuensikonsekuensi penting baai berlangsungnya berbagai peristiwa.62 Besar kecilnya arus penanaman modal (asing) ke suatu negaraa pada umumnya dipengaruhi oleh iklim ekonomi yang cukup kondusif seperti stabilitas politik dan keamanan, sumber daya alam yang melimpah, tenaga kerja yang terampil dan upah murah, kebijakan ekonomi dan keuangan yang terbuka dan berorientasi pasar. Hal-hal tersebut menjadi daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Selain itu bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak investor asing yang dapat diberikan oleh house country.63 terutama terhadap kegiatan dan modal yang telah ditanamkan investor,
perlindungan
dimaksud, sangat
penting karena dalam keadaan-keadaan tertentu dapat terjadi tindakan yang merugikan investor, baik yang dilakukan oleh oleh negara terhadap modal yang telah ditanamkan. Tindakan yang merugikan tersebut mencakup antara lain tindakan nasionalisasi (nationalization)64, pengambilalihan (expropriation),
65
dan penyitaan (confiscation).66 Untuk itu, diperlukan suat jaminan dari house country bahwa tindakan-tindakan tersebut diberikan perlindungan yang layak
62
H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 70-71. 63 ”house country” dalam bahasa Indonesia bisa disebut ”negara tuan rumah” tempat investor asing menanamkan modalnya.. 64 Nasionalisasi adalah proses di mana negara mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Apabila suatu perusahaan dinasionalisasi, negara yang bertindak sebagai pembuat keputusan. Selain itu para pegawainya menjadi pegawai negeri. 65 Pengambilalihan (expropriation) adalah penyitaan pemerintah atas kekayaan di dalam batas negaranya sendiri yang dimiliki orang asing, diikuti dengan kompensasi yang segera, memadai dan efektif yang dibayarkan kepada pemilik sebelumnya. Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal).. 66 Penyitaan (confiscation) adalah penyitaan pemerintah atas kekayaan di dalam batas negaranya sendiri yang dimiliki orang-orang asing, tanpa pembayaran kepada mereka..
60
terhadap investor asing.67 Selain perlindungan atas kepentingan investor asing, hal yang tak kalah pentingnya dalam menciptakan iklim penanaman modal (asing) yang sehat adalah bentuk-benruk promosi yang ditawarkan oleh host country. Bentuk-benruk promosi tersebut, juga dapat beragam bentuknya, baik bentuk-bentuk insentif pajak maupun nonpajak.68 Dalam praktik pelaksanaan penanaman modal sering ditemukan perjanjian-perjanjian bilateral antar negara berkenaan upaya promosi dan perlindungan terhadap kegiatan penanaman modal (asing). Di wilayah negara Republik Indonesia sendiri telah ditandatangani berbagai perjanjian bilateral menyangkut promosi dan perlindungan di bidang penanaman modal dengan banyak negara. Tujuan utama dari perjanjian bilateral dimaksud, untul memastikan bahwa harta milik para investor tidak akan diambi alih tanpa adanya ganti rugi yang sifatnya Prompt, Adequate and Effective. Perjanjian seperti itu, mengandung ketentuan mengena: perlakuan non-diskriminatif, peralihan dana, dan prosedur penyelesaian sengketanya manakala terjadi sengketa antara pihak investor dengan pihak negara tuan rumah.69 Berkenaan penanaman modal asing dimaksud, diperlukar pengaturan pemerintah dalam memberikan arah terhadap penanaman modal asing yang dilaksanakan di Indonesia agar dapat berperan dalam pembangunan nasional. Kebijaksanaan penanaman modal asing di Indonesia, ditetapkan berdasarkan pemikiran bahwa penanaman modal asing harus dapat memberikan kontribusi
67
Ana Rokhmatussa’diyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 96. 68 Insentif pajak salah satunya dapat berbentuk tax holiday, yaitu pembebasan dari pengenaan Pajak Perseroan yang dikenakan atas laba dari perusahaan, baik yang berbentuk PT maupun perseroanperseroan lain.. 69 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Bandung, Refika Aditama, 2004, hal. 10..
61
untuk memperkuat struktur perekonomian nasional. Adanya berbagai pengaturan terhadap penanaman modal asing tidak lain dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada penanam modal asing yang lebih luas dalam melaksana-kan kegiatan penanaman modalnya melalui dukungan iklim penanaman modal yang kondusif.70
70
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2007, hal. 37-38.
62
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERIZINAN DI BIDANG INVESTASI
A. Pengertian dan Pola Penyelesaian Sengketa Sengketa dalam pengertian luas termasuk perbedaan pendapat, perselisihan, ataupun konflik. Sengketa juga dapat dipahami sebagai perbedaan pendapat yang telah mencapai eskalasi tertentu atau mengemuka. Sengketa bisnis sangat jelas dapat didefinikan sebagai suatu bentuk perbedaan pendapat, perselisihan atau konflik dalam lingkup aktivitas perdagang atau bisnis. Model penyelesaian sengketa bisnis dapat dibedakan menjadi dua, yakni; Pertama, penyelesaian sengketa melalui proses peradilan/penghakiman (adjudikasi) dan Kedua, penyelesaian sengketa melalui proses konsensual/non adjudikasi. Proses penyelesaian sengketa melalui peradilan berupa litigasi (proses pengadilan) dan arbitrase, sedangkan proses penyelesaian sengketa melalui konsensual/non adjudikasi dapat berupa alternatif penyelesaian sengketa (APS). Di Indonesia dua model penyelesaian sengketa bisnis ini dikenal. Untuk penyelesaian sengketa melalui peradilan dikenal ada empat sistem peradilan yang dikenal dengan sistem peradilan umum dan peradilan agama. Untuk sistem peradilan umum lebih banyak menyelesaikan sengketa bisnis konvensional sementara peradilan agama memiliki kewenangan menyelesaian sengketa bisnis yang berbasis pada nilai-nilai syariah. Penyelesaian
sengketa
bisnis
melalui
peradilan
dicirikan
dengan
karakteristik sebagai berikut: 1. Prosesnya sangat formal (terikat pada hukum acara). Untuk sengketa bisnis yang yang memiliki unsur sengketa perdata, yakni sengketa yang terjadi antar orang
63
dengan orang, maka proses beracaranya didasarkan pada ketentuan HIR/RBG. Secara khusus, apabila berkenaan dengan proses di peradilan niaga mengacu kepada produk perundang-undang seperti UU dalam bidang HKI. Dari dasar acuan hukum ini nampak proses sangat formal, di mana aturan mainnya ditentukan sedemikian rupa dengan pola-pola penyelesaian yang sudah given. 2. Para pihak berhadap-hadapan untuk saling melawan, adu argumentasi, mengajukan alat bukti. Sebagaimana diketahui bahwa konsep penyelesaian sengketa bisnis melalui peradilan umumnya didasarkan pada konsep win and lose, maka tegaslah bahwa penyelesain sengketa tersebut telah memposisikan para pihak untuk saling berhadapan. 3. Pihak ketiga netral (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya bersifat umum. Di dalam lembaga peradilan hakim yang berperan memeriksa dan memutuskan atas sengketa keberadaannya netral. Di mana, mereka berposisi sebagai hakim tidak ditentukan oleh para pihak. Namun demikian, umumnya hakim yang memeriksa dan memutuskan sengketa pada dasarnya tidak didasarkan pada suatu pengetahuan yang spesifik. Mengingat tugas mereka yang harus memeriksa dan memutuskan setiap sengketa, maka hal ini menyebabkan pengetahuan mereka pun cenderung generalis. 4. Proses bersifat terbuka. Di dalam peradilan tatkala suatu sengketa dalam proses penyelesaian, maka dikenal suatu asas yang menyatakan bahwa peradilan bersifat terbuka dan dibuka untuk umum. Hal ini menyebabkan tidak ada sengketa di lembaga peradilan yang tidak dapat diakses oleh pihak lain di luar para pihak. Semua orang berdasarkan asas tersebut berhak untuk dapat tahu dan mengetahui atas suatu sengketa yang diperiksa dan diputus di lembaga peradilan.
64
5. Hasil akhirnya berupa putusan. Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan yang dilakukan dengan pemeriksaan, maka akan diakhiri dengan suatu putusan. Putusan ini memiliki kekuatan dan daya ikat. Di samping itu, dengan adanya putusan dari lembaga peradilan ini, maka putusan dapat dipaksakan. Sementara, penyelesain sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) memiliki karakteristik sebagai berikut: Pertama, privat, sukarela dan konsensual berdasarkan atas kesepakatan para pihak; Kedua, kooperatif dan tidak agresif atau tidak bermusuhan dan tidak tegang; Ketiga, fleksibel dan tidak formal; Keempat, melibatkan partisipasi aktif para pihak dan sumber daya yang merek miliki; dan Kelima, bertujuan untuk mempertahankan hubungan baik.71 B. Latar Belakang Timbulnya Sengketa Untuk menjalankan bisnis di suatu negara, diperlukan adanya aktivitas perdagangan, transaksi bisnis, perekonomian, dan untuk mencapai kesemuanya itu diperlukan adanya suatu usaha dan pengorbanan untuk menanamkan modal. Penanaman modal dimaksud, merupakan suatu tindakan dari seorang atau badan hukum untuk melakukan investasi modal dengan maksud berbisnis di dalam suatu Negara. Timbulnya sengketa sering kali disebabkan oleh salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya.72 Adapun alasan lain yang menjadi seringnya timbul sengketa bisnis. yaitu ketika awal dibcntuknya kontrak, para pihak hanya mengandalkan saling percaya.73
71
http://pusathki.uii.ac.id/artikel/artikel/berbagai-alternatif-penyelesaian-sengketa-desainindustri.html. diakses tanggal 18 Maret 2015. 72 H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 153. 73 Ibid. Hal. 153.
65
Adapun pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal merupakan hal yang rawan dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di Pasar modal. Pelanggaran di bidang pasar modal merupakan pelanggaran yang sifatnya teknis administratif. Hal ini yang menyebabkan timbulnya kerugian penanaman modal sehingga menimbulkan sengketa internal penanam modal. Pelaku yang terlibat dalam pelanggaran di bidang pasar modal adalah pihakpihak yang berpendidikan cukup tinggi. Pihak-pihak yang berpotensi melakukan pelanggaran adalah emiten atau perusahaan publik dan pihak-pihak yang mempunyai posisi strategis dalam perusahaan, seperti: direksi, komisaris, dan pemegang saham utama. Selain itu, pihak lain yang berpotensi melakukan pelanggaran adalah para Profesional di bidang pasar modal, seperti: penasihat investasi, manajer investasi, akuntan publik, konsultan hukum, pemeringkat efek, dan notaris. Hal-hal yang sering disengketakan oleh penanam modal, antara lain: 1. Perizinan 2. Perpajakan 3. Ketenagakerj aan 4. Fasilitas investasi 5. Perlakuan dan kebijakan investasi 6. Materi kontrak perjanjian penanaman modal 7. Nasionalisasi 8. Dll.74 C. Gangguan Terhadap Kenyamanan Penanaman Modal
74
Ibid. Hal. 153-154.
66
Sejak masa Orde Baru penanaman modal atau investasi cukup tinggi di Indonesia karena stabilitas politik, ekonomi, keamanan pertahanan, sosial dan kemasyarakatan dalam keadaan aman terkendali. Keadaan dimaksud, para investor mendapat perlindungan dan jaminan keamanan dalam berusaha di Indonesia. Lain hal investasi asing yang berinvestasi di Indonesia mengalami penurunan sesudah masa orde baru. Hal dimaksud, dikarenakan sering terjadi konflik di dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan investor asing menghindari berinvestasi di Indonesia. Ada dua hambatan atau kendala yang dihadapi dalam menggerakan investasi di Indonesia, yaitu kendala internal eksternal. Kendala internal meliputi kesulitan perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek yang sesuai, kesulitan mendapatkan bahan baku, kesulitan dana, kesulitan pemasaran, dan adanya sengketa atau perselisihan di antara pemegang saham di perusahaan tertentu. Sedangkan kendala eksternal meliputi faktor lingkungan bisnis yang tidak mendukung serta kurang menariknya insentif yang diberikan pemerintah, ketidak pastiaan hukum, keamanan dan kestabilitasan politik.75 Selain itu, paling tidak ada enam hal yang menjadi alasan curangnya perlindungan hukum dan kepastian hukum. Pertama, banyak kontrak jangka panjang sebagai perlindungan investasi antara pihak asing dengan pihak Indonesia dibatalkan oleh pengadilan. Kedua, aparatur penegak hukum dianggap kurang mampu meredam demonstrasi para buruh yang mengarah pada anarkisme. Ketiga. investor asing tentu saja akan menjadi bulan-bulanan oleh para pejabat remerintah baik di pusat maupun di daerah untuk hal-hal yang terkait dengan uang, sehingga tidak ada ketenangan bagi investor asing pun domestik untuk berinvestasi di 75
Aminudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2007, hal. 37-38.
67
Indonesia. Keempat, perlindungan hukum tidak memadai karena kerap terjadi konflik horizontal antar-departemen di pusat dan konflik vertikal antara pusat dengan daerah terkait dengan kebijakan investasi. Kelima, berbagai peraturan rerundang-undangan di bidang hak kekayaaan intelektual tidak rerfungsi sebagaimana diharapkan oleh para investor asing. Akibatnya, keuntungan yang diharapkan tidak kunjung terwujud dengan maraknya pembajakan. Keenam, peraturan perundang-undangan penanaman modal tidak dapat melindungi investor karena implementasinya tidak seindah seperti yang tertulis. Akibatnya, para pengamat ekonomi berpendapat tidak nyaman berinvestasi di Indonesia oleh investor asing. 76 D. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
Pertimbangan utama bagi investor melakukan investasi adalah adanya jaminan hukum penyelesaian sengketa penanaman modal, adanya cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase luar negeri merupakan pilihan para investor dengan pertimbangan bahwa para investor khususnya asing tidak mengenal atau memahami sistem hukum di Negara tempat ia melakukan investasi. Di Indonesia sendiri penyelesaian sengketa penanaman modal di atur di dalam UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanam Modal (selanjutnya disebut UUPM). Hal dimaksud, diuraikan sebagai berikut. Pasal 32 UUPM mengaturnya sebagai berikut. 1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal anta Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. 76
H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 155.
68
2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau altematif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peratur perundang-undangan. 3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. 4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak menyelesaikan sengketa tersebut melalui aribtrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Pemerintah Indonesia juga telah melakukan ratifikasi terhadap Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and National of other States dengan UU No. 5 Tahun 1968. Ada ratifikasi dimaksud, investor asing dapat terlindung dari resiko investasi termasuk dari resiko politik (contoh: pengambil alihan aset/nasionalisasi). Konvensi lain yang berkaitan dengan Arbitrase atas adalah Konvensi New York 1958. Konvensi ini diratifikasi oleh Pemerintah RI dengan Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 1981 Dalam Pasal III Konvensi New York 1958 disebutkan, tiap-tiap Negara peserta dari konvensi ini akan mengakui keputusan arbitrase luar negeri dan menganggapnya sebagai mengikat serta melaksanakan keputusan arbitrase itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di wilayah dimana keputusan itu diminta untuk dilaksanakan. Selain peraturan-peraturan tersebut di atas, Pemerintah Indonesai juga menerbitkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
69
Penyelesaian Sengketa (UUAAPS), hal ini dilakukan agar tidak ada lagi keraguan tentang pelaksanaan putusan dari lembaga arbitrase. Pasal 66 UUAAPS mengatur sebagai berikut: Putusan Arbitrase Intemasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah Hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase Intemasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Intemasional. b. Putusan Arbitrase Intenasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. c. Putusan Arbitrase Intemasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. d. Putusan Arbitrase Intemasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Putusan Arbitrsse Intemasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 77
Adanya penyelesaian melalui arbitrase tak lepas karena pengadilan tak efektif menyelesaikan perkara. Menurut Yahya Harahap, penyelesaian sengketa melalui proses litigasi –berperkara di pengadilan- seringkali tak memenuhi harapan pencari keadilan. Sebab pengadilan di Negara manapun, tidak hanya di Indonesia, tak efektif dan efisien untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan, pengadilan sering kali tidak memecahkan masalah, melainkan justru menambah persoalan. 78
77
H. Zainuddin Ali, Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. hal 155-157. 78 O. C. Kaligis, Arbitrase dalam praktik, O. C. Kaligis & Associates, Jakarta Oktober 2004. hal 376.
70
Sumber : http://www.bkpm.go.id/contents/general/117247/alur-penyelesaian-sengketa diakses tanggal 11 Januari 2015
71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Hasil Penelitian 1. Prosedur Penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Permasalahan pokok yang dihadapi penanam modal dalam memulai usaha di Indonesia diperhatikan oleh Undang-Undang ini (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal) sehingga terdapat pengaturan mengenai pengesahan dan perizinan yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelayanan terpadu satu pintu. Dengan sistem itu, sangat diharapkan bahwa pelayanan terpadu di pusat dan di daerah dapat menciptakan penyederhanaan perizinan dan percepatan penyelesaiannya. Selain pelayanan penanaman modal di daerah, Badan Koordinasi Penanaman Modal diberi tugas mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan penanam modal. Badan Koordinasi Penanaman Modal dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jabaran tugas pokok dan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal pada dasarnya memperkuat peran badan tersebut guna mengatasi hambatan penanaman modal, meningkatkan kepastian pemberian fasilitas kepada penanam modal, dan memperkuat peran penanam modal. Peningkatan peran penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor kebijakan
pembangunan
memperhatian
kestabilan
nasional
yang
makroekonomi
direncanakan dan
dengan
keseimbangan
tahap
ekonomi
antarwilayah, sektor, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat, mendukung
72
peran usaha nasional, serta memenuhi kaidah tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). 79 Permohonan Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota : 1) Permohonan ini diajukan untuk mendapatkan : a. IZIN PRINSIP dalam rangka pendirian perusahaan baru / dalam rangka memulai usaha sebagai penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri/ dalam rangka perpindahan lokasi proyek untuk penanaman modal dalam negeri, atau b. IZIN PRINSIP PERLUASAN PENANAMAN MODAL dalam rangka perluasan usaha, 2. Diajukan kepada Instansi Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Bidang Penanaman Modal (PTSP BKPM/PDPPM/PDKPM/PTSP KPBPB/PTSP KEK) Berdasarkan ketentuan Bab XI tentang Pengesahan dan Perizinan Perusahaan, Pasal 25 ayat 4 menyebutkan : “Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang”. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia
79
Penjelasan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
73
Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atasa Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan tata cara perizinan dan non perizinan Penanaman Modal khususnya : 1. Pasal 103 ayat (2) mengatur : permohonan perizinan dan non perizinan penanaman modal yang diajukan setelah berstatus badan hukum indonesia, harus ditandatangani oleh direksi/pimpinan perusahaan. ; 2. Pasal 103 ayat (3) mengatur : penandatanganan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh karyawan perusahaan satu level dibawah jabatan direksi/pimpinan perusahaan dilengkapi dengan : a. Surat dari direksi/pimpinan perusahaan yang menyatakan penjelasan tentang kondisi yang tidak memungkinkan bagi direksi atau pimpinan perusahaan mengetahui serta menyetujui permohonan yang disampaikan; b. Surat perintah tugas dari direksi/pimpinan perusahaan; c. Rekaman
identitas
diri
direksi/pimpinan
perusahaan
dengan
menunjukkan aslinya; dan d. Bagi penerima kuasa dibuktikan dengan rekaman identitas diri dan surat pengangkatan terakhir sebagai karyawan dengan menunjukkan aslinya. ; 3. Pasal 103 ayat (5) : permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan ke PTSP BKPM, PDPPM/instansi penyelenggara PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya. ; 4. Pasal 103 ayat (5) b : pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh direksi/pimpinan perusahaan atau dari salah satu dari pihak-pihak dibawah ini berdasarkan surat kuasa dari direksi/pimpinan perusahaan tanpa hak substitusi, yaitu oleh : a. Karyawan Perusahaan ;
74
b. Advokat perseorangan ; c. Advokat yang membentuk persekutuan perdata sebagai konsultan hukum ; d. Notaris; e. Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham perusahaan; atau f. Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dibidang usaha jasa konsultasi. 5. Pasal 103 ayat (6) : pengajuan permohonan yang dilakukan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) a dan ayat (5) b huruf c, huruf d. Huruf e dan huruf f dapat ditugaskan kepada associate/karyawan kantor/perusahaan yang mempunyai
kompetensi
dan
kemampuan
untuk
memberikan
keterangan yang lengkap dan akurat serta bertanggungjawab atas seluruh informasi yang disampaikan. ; 6. Pasal 103 ayat (6) a : pejabat di PTSP BKPM, PDPPM / instansi penyelenggara PTSP di provinsi, PDKPM/instansi penyelenggara PTSP di kabupaten/kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya, berhak menolak permohonan yang disampaikan oleh associate / karyawan kantor / perusahaan yang tidak mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk memberikan keterangan yang lengkap dan akurat.; 2. Kepastian Hukum Investasi dalam Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan 24017, tertanggal 02 Desember 2013 sebagaimana Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 43/G/2014/PTUN-JKT, tanggal 17 Juli 2014 Berbicara tentang kepastian hukum berarti tidak terlepas dari makna apa tujuan hukum itu sebenarnya. Kepastian hukum adalah salah satu dari tujuan hukum, di samping yang lainnya yakni kemanfaatan dan keadilan bagi setiap
75
insan manusia selaku anggota masyarakat yang plural dalam interaksinya dengan insan yang lain tanpa membedakan asal usul dari mana dia berada. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum tidak akan terlepas dari fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia dalam masyarakat. Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian, artinya orang dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat karena ia dapat mengadakan perhitungan atau prediksi tentang apa yang akan terjadi atau apa yang bisa ia harapkan. Dalam dunia usaha, kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketenangan dan kepastian berusaha. Pengaturan tentang kegiatan penanaman modal di Indonesia diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa kegiatan penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas kepastian hukum. Sementara itu yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah adanya konsistensi peraturan dan penegakan hukum di Indonesia. Konsistensi peraturan ditunjukkan dengan adanya peraturan yang tidak saling bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, dan dapat dijadikan pedoman untuk suatu jangka waktu yang cukup, sehingga tidak terkesan setiap pergantian pejabat selalu diikuti pergantian peraturan yang bisa saling bertentangan. Di Indonesia kegiatan penanaman modal baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam
76
Negeri (PMDN) dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Friedrich Julius Stahl.80 seorang pelopor hukum Eropa Kontinental, ciri sebuah Negara hukum antara lain adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan. Konsep Negara hukum disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial maka Negara juga harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal
dengan Prinsip
Negara Hukum
yang Demokratis.81
Mochtar
Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.82 Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang
80
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, cet. Pertama hal 27.. Konstitusi kita menganut konsep Negara Hukum yang Demokratis dapat dilihat dalam ketentuan pasal 28 I ayat (5) yang berbunyi : ‘Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan’. (hasil perubahan kedua).. 82 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, 2000, hal. 3. 81
77
harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan.
83
Hukum
bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).84 Teori pemisahan kekuasaan menimbulkan berbagai pengertian dalam berbagai hukum konstitusi, misalnya pemahaman tentang sistem checks and balaces, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, delegasi kekuasaan legislatif, tanggungjawab eksekutif terhadap badan pembentuk undang-undang, hak uji materiil dan sebagainya. Oleh karena itu muncul berbagai modifikasi paham pemisahan kekuasaan. Hubungan antara badan legislatif dan yudikatif adalah hubungan yang paling penting dalam suatu sistem konstitusional. Pembagian kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan secara tegas dalam tugas-tugas (fungsi) keNegaraan yang secara karakteristik menunjukan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam 3 (tiga) bagian : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Adapun yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal adalah apabila pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Dalam pandangan Ismail Suny, pemisahan kekuasaan dalam arti materiil selanjutnya disebut ”pemisahan kekuasaan”,
83
Fahmi, Kepastian Hukum, hal 21, mengutip Satjipto Rahardjo dengan judul: ‘Membedah Hukum Progresif’, Harian Kompas, Media Oktober 2006, hal 17. 84 Satjipto Rahardjo, ibid hal 4.
78
sedangkan pemisahan dalam arti formal sebaiknya disebut dengan ”pembagian kekuasaan” (division of powers).85 UUD 1945 membagi dalam beberapa Pasal mengenai pembagian kekuasaan Negara, dengan tidak menekankan kepada pemisahannya. Akan tetapi dapat dimungkinkan bahwa sistem pembagian kekuasaan yang ditetapkan dalam UUD 1945 telah diilhami oleh ajaran Trias Politica. Karena dalam sistematika UUD 1945 menyebutkan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan, Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Sistematika demikian dilatar belakangi oleh pemahaman tentang ajaran-ajaran ketataNegaraan yang berkembang pada saat itu, walaupun UUD 1945 tidak secara tegas memisahkan ke tiga kekuasaan tersebut. Pembagian keuasaan dengan sistem konstitusionalisme mempunyai 3 (tiga) pengertian, yakni : 1.
2.
3.
Suatu Negara atau setiap pemerintahan, harus didasarkan atas hukum, sementara kekuasaan yang digunakan di dalam Negara menyesuaikan diri pada aturan-aturan dan prosedur-prosedur hukum yang pasti (ide dari konstitusi); Struktur pemerintahan harus memastikan bahwa kekuasaan terletak dengan atau diantara, cabang-cabang kekuasaan dan yang berkewajiban untuk bekerja sama (ide-ide pembauran kekuasaan, pemisahaan kekuasaan dan cheks and balaces); Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya harus diatur dengan cara sedemikian rupa dalam menyerahkan hak-hak dasar dengan tidak mengurangi kebebasan individu.86 Adanya ide kedaulatan rakyat yang meliputi proses pengambilan
keputusan, baik di bidang legislatif maupun eksekutif. Artinya, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum itu. Dengan perkataan alain, rakyat 85 86
Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta : Aksara Baru, 1985, hal 4. La Ode Husen, Op, Cit, hal 91.
79
berdaulat, baik dalam perencanaan, penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan Negara. Paham kedaulatan rakyat menjelaskan bahwa, yang didaulat dari segi politik tentu saja bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan keNegaraan sebagai keseluruhan. Hubungan kedaulatan bukan lagi terjadi antara Raja dengan rakyatnya, tetapi antara rakyat dengan proses pengambilan keputusan dalam Negara itu sebagai keseluruhan. Oleh sebab itu, tidak relevan untuk memisahkan kedua konsep imperium versus dominium itu secara diametral.87 Perumusan yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang 1945 dapat digunakan sebagai pedoman untuk memahami bahwa Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi (berkedaulatan rakyat) menurut ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang 1945 yang menyatakan “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Ketentuan ini telah diubah dengan Amandemen ketiga sehingga berbunyi bahwa “Kedaulatan berada ada ditangan rakyat yang dilaksakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pada hakekatnya ada 3 (tiga) ide untuk menetapkan suatu sistem pemerintahan yang demokratis dalam suatu Negara yaitu: 1. Ide partisipasi, mengandung pengertian rakyat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang politik dan bidang pemerintahan baik melalui perwakilan maupun secara langsung, dengan pernyataan pendapat baik lisan maupun tulisan yang harus dilindungi secara konstitusionil; 2. Ide pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berarti harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada rakyat (accountability) sebab pemerintah melaksanakan fungsinya berdasarkan wewenang yang 87
Jimly Asshiddqie, Op, Cit, hal 122.
80
diberikan oleh rakyat; 3. Ide kesamaan, dalam hal ini kesamaan dalam demokrasi yang berarti kesamaan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam hukum dan pemerintahan. 88 Pada hakekatnya terdapat satu ide untuk menetapkan suatu sistem pemerintahan demokratis yaitu ide partisipasi, mengandung pengertian rakyat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang politik dan pemerintahan baik melalui perwakilan maupun secara langsung, dengan pernyataan pendapat baik lisan maupun tulisan yang dilindungi secara konstitusional. Menurut Burn dalam Pito, berpendapat bahwa sistem perwakilan mendukung terciptanya pemerintahan yang benar-benar bertanggungjawab kepada yang diperintah. Dalam hal ini untuk membantu dalam memahami tentang perwakilan terdapat empat batasan tentang sistem perwakilan, yaitu sebagai berikut: 1. Perwakilan formal adalah kekuasaan untuk bertindak atas anama orang lain, yang diperoleh melalui proses kelembagaan atau pengaturan seperti pemilihan yang bebas dan terbuka. 2. Perwakilan deskriptif atau demografi (decriptive or demographic) adalah seberapa besar seorang wakil mencerminkan masyarakat.89 Menurut pemakaian istilah ini, semua badan lembaga legislatif perwakilan seharusnya menjadi gambaran yang tepat dalam miniatur dari masyarakat. Menurut Dwipurnomowati dalam Pito, berpendapat bahwa lembaga perwakilan pada dasarnya harus mencerminkan tiga jenis keterwakilan, yaitu: 1. Keterwakilan penduduk. 2. Keterwakilan ruang. 3. Keterwakilan deskriptif (khususnya berbagai kelompok masyarakat yang dalam proses pemilihan umum tidak akan terwakili).90 88
John Schwarzmantel, The State in Contemporary Society: An Introduction, Harvester Wheatsheaf, London, 1994, hal.33. 89 Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah, Mengenal Teori-teori Politik: Dari Sistem Politik sampai Korupsi,Penerbit Nuansa, Bandung, 2006, hal. 173.
81
Perubahan UUD 1945 membawa perubahan yang cukup mendasar mengenai sistem perwakilan dalam ketataNegaraan Indonesia. Paling tidak ada tigak aspek mendasar mengenai lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945, yaitu; mengenai struktur kelembagaan dalam sistem ketataNegaraan Indonesia, fungsi dan kewenangannya serta pengisian anggota lembaga perwakilan. Ada tiga lembaga perwakilan dalam sistem ketataNegaraan Indonesia yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. MPR memiliki fungsi yang sama sekali berbeda dengan DPR dan DPD, sedangkan DPR dan DPD sendiri memiliki fungsi yang hampir sama, hanya saja DPD memiliki fungsi dan peran yang sangat terbatas. Jika dilihat dari jumlah lembaga perwakilan rakyat maka sistem perwakilan yang dianut bukanlah sistem bikameral karena ada tiga lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan jika melihat hanya DPR dan DPD maka kedua lembaga perwakilan ini merupakan bentuk sistem bikameral akan tetapi bukan sistem bikameral yang murni (strong bicameral). Keanggotaan DPR adalah representasi rakyat di seluruh Indonesia secara proporsional melalui partai politik (political representation) dan DPD sebagai representasi dari daerah (daerah provinsi) dari seluruh Indonesia (regional representation) memiliki posisi yang sama sebagaimana tercermin dalam jumlah anggota DPD yang sama banyaknya dari setiap provinsi. Memperhatikan tugas dan kewenangan MPR dalam UUD 1945, sebagai lembaga perwakilan, MPR hanya memiliki tiga fungsi yang pokok yaitu; fungsi
90
Ibid., hal.111.
82
legislasi yaitu melakukan perubahan dan atau menetapkan undang-undang dasar, fungsi administratif, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memilih/mengangkat Presiden atau Wakil Presiden dalam hal-hal tertentu, serta fungsi judikatif yaitu memutuskan untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang diusulkan oleh DPR. Dengan demikian dibanding dengan sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan dari MPR menjadi sangat terbatas dan limitatif. Walaupun demikian kewenangan MPR merubah dan menetapkan undangundang dasar serta memberhentikan serta mengangkat dan memilih presiden atau wakil presiden dalam hal-hal tertentu menunjukkan adanya kwenangan besar yang dimiliki MPR. Hal ini adalah wajar karena MPR adalah gabungan dari seluruh anggota DPR dan DPD. Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 DPR memiliki kekuasaan membentuk undang-undang menunjukkan adanya semangat untuk memperkuat posisi DPR sebagai lembaga legislatif. Namun dalam kenyataannya kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang sama kuatnya dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah (Presiden) yaitu masing-masing memiliki lima puluh persen hak suara, karena setiap undang-undang harus memperoleh persetjuan bersama antara pemerintah dan DPR. Disamping itu DPR memiliki fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi anggaran terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Disinilah keterlibatan DPR dalam administrasi pemerintahan, yaitu mengontrol agenda kerja dan program pemerintahan yang terkait dengan perencanaan dan penggunaan anggaran Negara. Dalam melakukan fungsi pengawasan DPR
83
diberikan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, serta hak yang dimiliki oleh setiap anggota DPR secara perorangan yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan perndapat serta hak imunitas. a. Kewenangan Kekuasaan selalu ada di dalam setiap masyarakat baik yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks susunannya.91 Akan tetapi walaupun selalu ada, kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada semua warga masyarakat, oleh karena justru pembagian yang tidak merata tidak timbul makna pokok dari kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata. Akan tetapi acapkali letak wewenang yang diakui dan letak kekuasaan yang nyata tidak berada di dalam satu tangan atau satu tempat. Apabila kekuasaan dihubungkan dengan sistem hukum, maka paling sedikit ada 2 hal yang menonjol yaitu pertama-tama bahwa para pembentuk, penegak, maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai
kedudukan-kedudukan
yang
mengandung
unsur-unsur
kekuasaan. Akan tetapi mereka tidak dapat mempergunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, oleh karena pembatasan tertentu atas peranperannya, yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari pengguna kekuasaan itu sendiri.92 Menurut S. Mertokusumo, hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sah menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak
91
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1982, hal. 158-162. 92 Ibid, hal. 86.
84
berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukan hukum. Sebaliknya, hukum itu sendiri pada hakekatnya kekuasaan. Hukum mengatur, mengusahakan ketertiban, dan membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum menjalankan fungsi itu jika tidak merupakan kekuasaan. Intinya, hukum merupakan kekuasaan untuk mengusahakan ketertiban.93 Melalui kekuasaan lahirlah hukum dan melalui hukum timbulah kewenangan atau wewenang. Wewenang menurut HD. Stout dalam Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat didefinisikan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. 94
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata Negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kewenangan ini, maka konsep itu dapat dikatakan sebagai hal yang paling penting dalam hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara. Selain hal tersebut dalam kewenangan terdapat hak dan kewajiban yang harus dijalankan. Sedangkan menurut P Nicolai dalam Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat dikatakan: Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup rnengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. 95
93
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 16 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, 2010, hal. 136. 95 Loc cit. 94
85
Seiring dengan pilar utama Negara hukum, yaitu azas legalitas (legaliteitbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan
perundang-undangan.
Secara
teoritis,
kewenangan
yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan itu diperoleh melalui tiga cara yaitu artribusi, delegasi dan mandat.96 1) Atribusi Dalam istilah hukum, atribusi diterjemaahkan sebagai "pembagian (kekuasaan); dalam kata atributie van rechtsmacht; pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (kompentensi mutlak), sebagai lawan dari distributie van rechtmacht". Salah satu kekuasaan yang diberikan oleh UU kepada pemerintah adalah atribusi. Mengenai pengertian atribusi Indroharto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan baik yang dilakukan oleh original legislator ataupun delegated legislator". 97 2) Delegasi Dalam istilah hukum yang dimaksud dengan delegasi adalah" penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan seperti ini dianggap tidak bisa dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan, misalnya DPD Kota memerintahkan kepada majelis wali Kota untuk mengadakan peraturan tertentu.
96 97
Ibid., hal. 139 Ibid., hal. 138
praja
dan pembantu wali Kota
86
HD. van Wijk berpendapat, bahwa pengertian dari delegasi adalah "Penyerahan wewenang pemerintah dari suatu badan atau pejabat pemerintahan kepada badan atau pejabat pemerintahan lain". Selanjutnya van Wijk menjelaskan lebih lanjut, bahwa wewenang yang di dapat dari didelegasikan lagi kepada subdelegetaris. Lebih lanjutnya lagi ia mengungkapkan: Bentuk delegasi yang biasa adalah bentuk di mana dalam instansi pertama suatu wewenang pemerintahan yang dilambangkan kepada suatu lembaga pemerintahan diserahkan oleh lembaga ini kepada lembaga pemerintahan yang lainnya. Namun, pihak yang didelegasikan juga kadang-kadang bisa menyerahkan wewenang ini, sehingga kita dapat berbicara tentang subdelegasi. Untuk subdelegasi berlaku mutatis, peraturan yang sama seperti untuk delegasi. 98 3) Mandat Wewenang yang didapat melalui atribusi dan delegasi bisa dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan jika pejabat yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup untuk melakukan sendiri. HD. van Wijk menjelaskan arti mandat adalah suatu organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berbeda dengan delegasi, mengenai mandat, pemberi mandat tetap berwenang
untuk
melakukan
sendiri
wewenangnya
apabila
ia
menginginkan, dan memberi petunjuk kepada mandataris tentang apa yang diinginkannya. Mandans atau pemberi mandat tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh mandataris sebagaimana yang dikatakan oleh Van Wijk, sebagai berikut: Pada mandat kita tidak dapat berbicara tentang pemindahan kekuasaan atau wewenang di dalam arti yuridis, sekarang telah ditangani oleh dan atas nama lembaga pemerintahan yang bersangkutan, 98
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, EdisiRevisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 103.
87
penanganannya juga diserahkan kepada lembaga tersebut; berbicara secara yuridis, tetap merupakan keputusan lembaga itu sendiri. Di sini kita berbicara tentang suatu bentuk perwakilan lembaga pemerintahan. Pemberi mandat atau mandans juga tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenang bila mana ia kehendaki, ia bisa memberikan kepada para mandatarisnya segala bentuk yang dianggapnya perlu, is seluruhnya bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil berdasarkan mandat. Secara yuridis, perkataan mandataris tidak lain dari perkataan mandans. 99 Berdasarkan keseluruhan uraian di atas aka dapat disipulkan bahwa, atribusi merupakan pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat Negara tertentu baik oleh pembentuk Undang Undang Dasar maupun pembentuk Undang Undang, sedangkan delegasi, yaitu penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari badan /lembaga pejabat tata usaha Negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata usaha Negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi.
B. Analisa 1. Prosedur Penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Dalam ketentuan Peraturan Kepala Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata cara Perizinan dan non perizinan Penanaman Modal telah diatur bahwa : a. Pasal 1 angka 6 : Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk 99
Ibid., hal. 139-140
88
melakukan Penanaman MOdal yang dikeluarkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ; b. Pasal 1 angka 22 : Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal yang selanjutnya disebut izin Prinsip perubahan adalah izin prinsip yang wajib dimiliki perusahaan dalam rangka legalisasi perubahan rencana atau realisasi penanaman modal yang telah ditetapkan sebelumnya. ; c.
Pasal 1 angka 31 : Badan Koordinasi Penanaman Modal yang selanjutnya disebut BKPM adalah lembaga pemerintah non kementrian yang bertanggungjawab dibidang Penanaman Modal, yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.;
Prosedur Penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan 24017, tertanggal 02 Desember 2013 sebagaimana Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 43/G/2014/PTUN-JKT, tanggal 17 Juli 2014 Berdasarkan ketentuan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atasa Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan tata cara perizinan dan non perizinan Penanaman Modal khususnya : a. Pasal 103 ayat (2) mengatur : permohonan perizinan dan non perizinan penanaman modal yang diajukan setelah berstatus badan hukum indonesia, harus ditandatangani oleh direksi/pimpinan perusahaan. ;
89
b. Pasal 103 ayat (3) mengatur : penandatanganan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh karyawan perusahaan satu level dibawah jabatan direksi/pimpinan perusahaan dilengkapi dengan : a) Surat dari direksi/pimpinan perusahaan yang menyatakan penjelasan tentang kondisi yang tidak memungkinkan bagi direksi atau pimpinan perusahaan mengetahui serta menyetujui permohonan yang disampaikan; b) Surat perintah tugas dari direksi/pimpinan perusahaan; c) Rekaman
identitas
diri
direksi/pimpinan
perusahaan
dengan
menunjukkan aslinya; dan d) Bagi penerima kuasa dibuktikan dengan rekaman identitas diri dan surat pengangkatan terakhir sebagai karyawan dengan menunjukkan aslinya. ; c. Pasal 103 ayat (5) : permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan ke PTSP BKPM, PDPPM/instansi penyelenggara PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya. ; d. Pasal 103 ayat (5) b : pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh direksi/pimpinan perusahaan atau dari salah satu dari pihak-pihak dibawah ini berdasarkan surat kuasa dari direksi/pimpinan perusahaan tanpa hak substitusi, yaitu oleh : a. Karyawan Perusahaan ; b. Advokat perseorangan ; c. Advokat yang membentuk persekutuan perdata sebagai konsultan hukum ; d. Notaris; e. Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham perusahaan; atau
90
f. Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dibidang usaha jasa konsultasi. e. Pasal 103 ayat (6) : pengajuan permohonan yang dilakukan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) a dan ayat (5) b huruf c, huruf d. Huruf e dan huruf f dapat ditugaskan kepada associate/karyawan kantor/perusahaan yang mempunyai
kompetensi
dan
kemampuan
untuk
memberikan
keterangan yang lengkap dan akurat serta bertanggungjawab atas seluruh informasi yang disampaikan. ; f. Pasal 103 ayat (6) a : pejabat di PTSP BKPM, PDPPM / instansi penyelenggara PTSP di provinsi, PDKPM/instansi penyelenggara PTSP di kabupaten/kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya, berhak menolak permohonan yang disampaikan oleh associate / karyawan kantor / perusahaan yang tidak mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk memberikan keterangan yang lengkap dan akurat.; Berdasarkan ketentuan pasal 103 ayat (5) b Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 yang menentukan bahwa pihak yang dapat menerima kuasa dari direksi/pimpinan untuk pengajuan permohonan izin prinsip perubahan adalah antara lain karyawan perusahaan, advokat perseorangan, advokat yang membentuk persekutuan perdata sebagai konsultan hukum, Notaris, Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham perusahaan, atau Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri di bidang jasa konsultasi, sehingga dengan diberikannya kuasa dari Direksi/pimpinan kepada karyawan notaris untuk mengajukan permohonan izin prinsip perubahan maka seharusnya Tergugat berdasarkan ketentuan pasal 103 ayat (5) b Peraturan Kepala Badan
91
Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tidak dapat memproses lebih lanjut permohonan izin prinsip perubahan PT. Tunas Mandiri Lumbis tersebut. ; Sesuai ketentuan pasal 103 ayat (6) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tersebut associate/karyawan kantor/perusahaan baik dari advokat yang membentuk persekutuan perdata sebagai konsultan hukum, Notaris, Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham maupun Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dibidang usaha jasa konsultasi hanya dapat ditugaskan dalam pengajuan permohonan bukan diberi kuasa untuk mengajukan permohonan, tetapi yang bersangkutan harus mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk memberikan keterangan yang lengkap dan akurat serta bertanggungjawab atas seluruh informasi yang disampaikan. ; 2. Kepastian Hukum Investasi dalam Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan 24017, tertanggal 02 Desember 2013 sebagaimana Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 43/G/2014/PTUN-JKT, tanggal 17 Juli 2014 a. Para Pihak Yang Berperkara ZAINUDDIN, Warga Negara Indonesia, Pekerjaan Direktur, tempat tinggal di Jalan Pasar Baru Rt. 05 No. 10, Kelurahan Nunukan Timur, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, selanjutnya disebut sebagai …… PENGGUGAT; Lawan:
92
KEPALA
BADAN
KOORDINASI
PENANAMAN
MODAL
REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 44,
Jakarta 12190,
selanjutnya disebut
sebagai …… TERGUGAT; b. Dasar-dasar/alasan Gugatan Penggugat Penggugat dalam surat gugatannya tertanggal 28 Pebruari 2014 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 28 Pebruari 2014 dibawah register perkara Nomor : 43/G/2014/PTUNJKT., dan telah diperbaiki pada pemeriksaan persiapan tanggal 27 Maret 2014, telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut : Bahwa Obyek Sengketa Tata Usaha Negara dalam perkara ini adalah : Surat Keputusan Tergugat berupa : Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing, Nomor : 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013. ; DASAR & ALASAN PENGAJUAN GUGATAN PENGGUGAT : 1) Bahwa PT. Tunas Mandiri Lumbis adalah suatu Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan Akta Notaris No. 11 tanggal 22 September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH dan telah mendapatkan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
berdasarkan
Surat
Keputusan
No.
C-30025
HT.01.01.TH.2005, tanggal 31 Oktober 2005. ; 2) Bahwa adapun susunan pemegang saham dan jabatan
PT. Tunas
Mandiri Lumbis sesuai dengan Akta Notaris No. 11 tanggal 22
93
September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH selengkapnya sebagai berikut :
No.
Nama
Jumlah Saham (lembar) 30
1.
Zainuddin
2.
Muhammad Basri Karel Sompotan Muhammad Angka Haris Karim
5
TOTAL
50
3. 4. 5.
Nominal Saham Jabatan (Rupiah) @ Rp.1.000.000 30.000.000 Direktur Utama 5.000.000 Direktur
5
5.000.000 Direktur
5
5.000.000 Komisaris Utama 5.000.000 Komisaris
5
50.000.000
3) Bahwa sesuai dengan Akta Notaris No. 11 tanggal 22 September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH, PT. Tunas Mandiri Lumbis semula dengan status Perseroan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). ; 4) Bahwa kemudian sesuai dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Persetujuan Jual-Beli Saham dan Perubahan Susunan Pengurus “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, sesuai dengan Akta No. 06, tanggal 02 Agustus 2007 yang di buat oleh Yuses, SH, dengan susunan pemegang saham dan jabatan sebagai berikut : Susunan Pemegang Saham : No.
1.
Nama
Magna Cristal Entity Sdn Bhd (Malaysia)
Jumlah Saham (lembar) 41
Nominal Saham (Rupiah) @ Rp.1.000.000 41.000000
94
2.
Zainuddin
8
8.000.000
2.
Sunardi
1
1.000.000
50
50.000.000
TOTAL
Susunan Direksi & Komisaris : - Susunan Direksi :
-
Direktur Utama
: Zainuddin
Direktur
: Nyonya Chin Fui Lan
Direktur
: Tuan Chan Kin Dak
Dewan Komisaris : Komisaris Utama
: Tuan Tsen Vui Chung
Komisaris
: Tuan Karel Sompotan
5) Bahwa selanjutnya sesuai dengan
Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) Persetujuan Peningkatan Modal Dasar Perseroan Terbatas “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, sesuai dengan Akta No. 03, tanggal 05 Agustus 2008 yang di buat oleh Yuses, SH, MH. terjadi perubahan status Perseroan yang semula dengan status Perseroan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA) dan terdapat peningkatan Modal Dasar Perseroan Terbatas yang semula Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) menjadi Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) dan modal yang disetor semua Rp. 50.000.000,- menjadi Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). ; 6) Bahwa Akta Notaris No. 11 tanggal 22 September 2005 yang dibuat di
95
hadapan Notaris Yuses, SH, Akta No. 06, tanggal 02 Agustus 2007 yang di buat oleh Yuses, SH dan Akta No. 03, tanggal 05 Agustus 2008 yang di buat oleh Yuses, SH, MH. yang dijadikan dasar TERGUGAT menerbitkan Surat Persetujuan Perubahan Status Perusahaan Non Penanaman Modal Dalam Negeri/Penanaman Modal Asing (Non PMDN/PMA) Menjadi Penanaman Modal Asing (PMA), Nomor : 208/V/PMA/2008, tanggal 01 September 2008 yang mana dalam surat tersebut menyebutkan bahwa Penyertaan Modal Perseroan yang semula (NONPMDN/PMA) Menjadi (PMA) terdiri dari : -
Asing : Magna Cristal Entity Sdn Bhd (Malaysia) sebesar 82% atau Rp. 12.300.000.000,- ;
-
Indonesia : Sdr. Zaenudin sebesar 18% atau Rp. 2.700.000.000,- ;
Sehingga totalnya menjadi Rp. 15.000.000.000,- dengan kedudukan Penggugat tetap menjadi Direktur Utama. ; 7) Bahwa berdasarkan kronologi di atas Penggugat adalah Pemegang Saham di PT. Tunas Mandiri Lumbis dengan penyertaan modal sebesar 18% atau Rp. 2.700.000.000,-. Sehingga berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Penggugat adalah pihak yang berkepentingan dan oleh karenanya berkapasitas mengajukan gugatan ini, karena dengan diterbitkannya Objek Sengketa mengakibatkan kepemilikan saham Penggugat di PT. Tunas Mandiri Lumbis menjadi 6% yang sebelumnya 18%., hal ini menyebabkan hak suara Penggugat selaku pemegang saham dalam memberikan suara di RUPS berkurang dan berkurangnya
96
penerimaan deviden Penggugat serta berubahnya posisi Penggugat yang semula Direktur Utama menjadi Direktur. ; 8) Bahwa PENGGUGAT mengetahui adanya Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing, Nomor : 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013, pada tanggal 02 Desember 2013 dengan cara menerima surat tersebut diantar oleh kurir. ; Dengan demikian gugatan PENGGUGAT diajukan masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 55 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. ; 9) Bahwa Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing, Nomor : 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013. yang dibuat dan diterbitkan oleh TERGUGAT tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan dasar : -
Bahwa Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing a quo dibuat / dikeluarkan oleh Tergugat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia yang merupakan Badan / Pejabat Tata Usaha Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga Tergugat merupakan Badan / Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 1 ayat 2
97
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. ; -
Bahwa Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing a quo bersifat konkrit, individual dan final karena sudah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan terakhir diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009, yaitu :
-
“Konkrit” artinya Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing a quo telah nyata-nyata ada (berwujud) dan dapat ditentukan yaitu terkait dengan pemberian Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing ba Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing bagi PT. Tunas Mandiri Lumbis serta dibuat dan diterbitkan oleh Tergugat;
-
“Individual” artinya Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing a quo telah menunjukkan secara khusus kepada PT. Tunas Mandiri Lumbis. ;
-
“Final” artinya bahwa Sertifikat a quo merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat akhir dari Tergugat dan tidak dapat diajukan upaya administratif lainnya serta hanya bisa dicabut dan atau dibatalkan dengan suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Padahal secara yuridis perubahan struktur modal dan struktur organisasi PT. Tunas Mandiri Lumbis adalah keliru karena penerbitannya berdasarkan akta yang palsu. ;
98
-
Bahwa dengan demikian Pengadilan Tata Usaha Jakarta berwenang memeriksa dan memutus perkara a quo. ;
10) Bahwa dengan diterbitkannya Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing, Nomor : 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013, telah merugikan kepentingan PENGGUGAT yaitu kehilangan posisi sebagai Direktur Utama dan berkurangnya prosentase modal Panggugat yang semula 18% menjadi 6% sehingga akan mempengaruhi perolehan deviden Penggugat, dengan demikian gugatan PENGGUGAT telah memenuhi ketentuan Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. ; 11) Bahwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat 2 (dua) huruf a dan b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka alasan pengajuan gugatan adalah sebagai berikut : a. Bahwa Keputusan TERGUGAT dalam menerbitkan Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing, Nomor : 1723/1/IPPB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013, telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ; b. Bahwa Keputusan TERGUGAT dalam menerbitkan Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing, Nomor : 1723/1/IPPB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember
99
2013 telah bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. ; Bahwa menurut penjelasan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas : -
kepastian hukum
-
tertib penyelenggaraan Negara
-
keterbukaan
-
proporsionalitas
-
profesionalitas
-
akuntabilitas
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. ; 12) Bahwa adapun paraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh Keputusan TERGUGAT adalah sebagai berikut : a. Pasal 3 ayat (2) huruf (b) Jo. Pasal 16 huruf (e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”). ; 1) Bahwa Pasal 3 ayat (2) huruf (b) UU Penanaman Modal menyebutkan mengenai tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Sementaran Pasal 16 huruf (e) UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa setiap penanam modal bertanggung
100
jawab : menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja. ; 2) Tujuan ini belumlah tercapai karena PT. Tunas Mandiri Lubis faktanya
Pembayaran
gaji
karyawan
terlambat
setiap
bulannya, setelah bulan ketiga baru ada pembayaran untuk 1 bulan gaji saja. ; 3) Bahwa
keterlambatan
pembayaran
gaji
tersebut
jelas
menunjukkan adanya ketidaksanggupan PT. Tunas Mandiri Lumbis menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerjanya. ; 4) Keterlambatan
pembayaran
gaji
menunjukkan
bahwa
lapangan pekerjaan tidak tersedia di PT. Tunas Mandiri Lumbis karena membayar gaji karyawan yang sudah ada saja kewalahan apalagi melakukan rekrutmen untuk tenaga kerja baru. ; 5) Dengan diterbitkannya objek sengketa akan memperparah keadaan
PT. Tunas Mandiri Lumbis karena selain
diterbitkan berdasarkan hal yang keliru secara hukum yaitu berdasarkan akta yang dibuat secara palsu dalam faktanya kewajiban
PT.
Tunas
Mandiri
Lumbis
dalam
Surat
Persetujuan Perubahan Status Perusahaan Non Penanaman Modal Dalam Negeri/Penanaman Modal Asing (Non PMDN/PMA) Menjadi Penanaman Modal Asing (PMA), Nomor : 208/V/PMA/2008, tanggal 01 September 2008 belumlah direalisasikan diantaranya pada poin VII. LAIN-
101
LAIN, angka 4 huruf (b) yaitu : Perusahaan Wajib “Melaksanakan
ketentuan
Pemerintah
tentang
Ketenagakerjaan”. ; 6) Ketentuan pemerintah tentang ketenagakerjaan terutama perihal upah/gaji karyawan secara tegas telah diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) sebagai berikut : “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja / buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk
tunjangan
bagi
pekerja/buruh.” Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian. Lebih lanjut dalam Pasal 17 PP 8/1981disebutkan pula bahwa jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau selambat-lambatnya sebulan sekali kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu Minggu.; 7) Lebih lanjut mengenai keterlambatan pembayaran upah diatur dalam dalam Pasal 95 ayat (2) UUK. “Pengusaha yang karena
kesengajaan
atau
kelalaiannya
mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai
102
dengan persentase tertentu dari upah pekerja / buruh. Persentase denda ini diatur oleh pemerintah (Pasal 95 ayat [3] UUK) yang kita temui dalam Pasal 19 PP 8/1981: 8) Berdasarkan uraian tersebut diatas maka sudah jelas jika objek sengketa telah melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf (b) Jo. Pasal 16 huruf (e) UU Penanaman Modal. ; b. Pasal 3 ayat (1) huruf (a) Jo. Pasal 5 ayat (3) huruf (c) Jo. Pasal 15 huruf (e) Jo. Pasal 16 huruf (f)
UU Penanaman Modal Jo.
Lampiran IX Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (“Peraturan BKPM No.12/2009) pada angka (2) bagian Pernyataan dari Pemohon Izin Prinsip Perubahan. ; 1) Bahwa Pasal 3 ayat (1) huruf (a) UU Penanaman Modal menyatakan
:
“Penanaman
modal
diselenggarakan
berdasarkan asas kepastian hukum”. ; 2) Pasal 5 ayat (3) huruf (c) Jo. Pasal 15 huruf (e) UU Penanaman Modal menyatakan : “Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan : melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. ; 3) Pasal 15 huruf (e) UU Penanaman Modal menyatakan : “Setiap penanaman modal berkewajiban mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan”.;
103
4) Pasal 16 huruf (f)
UU Penanaman Modal menyatakan :
“Setiap penanam modal bertanggungjawab mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan”. ; 5) Bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) Jo. Pasal 5 ayat (3) huruf (c) Jo. Pasal 15 huruf (e) Jo. Pasal 16 huruf (f) UU Penanaman Modal, bahwa setiap pihak yang melakukan penanaman modal diwajibkan untuk mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. ; 6) Bahwa Lampiran IX Peraturan BKPM No.12/2009 pada angka (2) bagian Pernyataan dari Pemohon Izin Prinsip Perubahan menyatakan : “Permohonan ini kami buat dengan benar, ditandatangani oleh yang berhak di atas materai yang cukup dan sewaktu-waktu dapat dipertanggungjawabkan termasuk dokumen/data baik yang terlampir maupun yang disampaikan kemudian”. ; Bahwa
Lampiran
IX
Peraturan
BKPM
No.12/2009
merupakan formulir standar yang harus diisi oleh setiap pihak yang mengajukan permohonan izin prinsip perubahan.; 7) Bahwa merujuk kepada Lampiran IX Peraturan BKPM No.12/2009 tersebut, maka seluruh data yang disampaikan dalam Permohonan Izin Prinsip Perubahan haruslah data-data yang benar dan bukan merupakan data yang menyesatkan, sehingga Objek Sengketa yang dikeluarkan TERGUGAT didasarkan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. ;
104
8) Bahwa sebagaimana yang diuraikan sebelumnya di atas, terbukti data-data yang terdapat dalam Permohonan Izin Prinsip Perubahan yang diajukan PT. Tunas Mandiri Lumbis ternyata didasarkan kepada data-data yang tidak benar atau palsu oleh karenanya Objek Sengketa yang diterbitkan oleh TERGUGAT didasarkan kepada data-data yang tidak benar juka. ; 9) Bahwa tindakan PT. Tunas Mandiri Lumbis yang telah memasukkan
data
yang
tidak
benar
telah
mampu
memperdaya TERGUGAT dan ditambah oleh tindakan TERGUGAT yang tidak cermat karena tidak melakukan penelitian sehingga dengan mudah TERGUGAT menerbitkan Objek Sengketa. ; 10) Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka terbukti Objek Sengketa melanggar UU Penanaman Modal dan Peraturan BKPM No.12/2009. ; 13) Bahwa adapun Asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilanggar oleh Keputusan TERGUGAT adalah sebagai berikut : a. Asas KEPASTIAN HUKUM. 1) Asas kepastian hukum yang dilanggar oleh TERGUGAT sebagian telah diuraikan di atas pada poin mengenai peraturan perundang-undangan
yang
dilanggar
oleh
Keputusan
TERGUGAT. ; 2) Selain hal yang telah diuraikan sebelumnya dalam penerbitan objek sengketa TERGUGAT tidak memperhatikan hal-hal
105
sebagai berikut : a) Bahwa PT. TUNAS MANDIRI LUMBIS, berkedudukan dan berkantor pusat di Nunukan, Kalimantan Timur yang Anggaran Dasarnya dimuat dalam Akta tertanggal 22-092005, Nomor : 11, di buat di hadapan Notaris Yuses, SH, MH yang telah mendapatkan pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dengan Surat Keputusannya tertanggal
31-10-2005
Nomor
:
C-30025
HT.01.01.TH.2005. ; b) Bahwa sesuai dengan Surat Persetujuan Perubahan Status Perusahaan Non Penanaman Modal Dalam Negeri / Penanaman Modal Asing (Non PMDN/PMA) Menjadi Penanaman
Modal
Asing
(PMA),
Nomor
:
208/V/PMA/2008, tanggal 01 September 2008 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (TERGUGAT) menyebutkan bahwa Penyertaan Modal Perseroan
yang semula (NONPMDN/PMA) Menjadi
(PMA) terdiri dari : -
Asing : Magna Cristal Entity Sdn Bhd (Malaysia) sebesar 82% atau Rp. 12.300.000.000,- ;
-
Indonesia : Sdr. Zaenudin sebesar 18% atau Rp. 2.700.000.000,-
Sehingga totalnya menjadi Rp. 15.000.000.000,- ; c) Bahwa dalam Akta tertanggal 22-09-2005, Nomor : 11, di buat di hadapan Notaris Yuses, SH, MH, PENGGUGAT
106
merupakan Direktur Utama PT. Tunas Mandiri Lumbis, namun tiba-tiba PENGGUGAT dipecat posisinya dari Direktur Utama yang mana pemecatan PENGGUGAT terdapat dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, Nomor : 20, tanggal 28 Agustus 2013 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH, MH. ; d) Bahwa pemecatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena PENGGUGAT dalam Rapat Umum Luar Biasa
Para
Pemegang
Saham
tanggal
19-07-2013
menyatakan sikap : -
Tidak menyetujui pemecatan.
-
Tidak menyetujui peningkatan modal dengan alasan tidak sesuai dengan Surat Persetujuan perubahan status perusahaan Nomor : 208/V/PMA/2008, tanggal 01 September 2008 yang belum terlaksana.
-
Tidak menyetujui komposisi pemegang saham yaitu Company Magna Crystal Sdn Bhd sebanyak 42.300 saham atau sebesar Rp. 42.300.000.000,- dan Zainudin sebanyak
2.700
saham
atau
sebesar
Rp.
mayoritas
atau
2.700.000.000,e) Bahwa
dengan
mendasarkan
suara
pemegang saham terbesar maka Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, Nomor : 20, tanggal 28 Agustus 2013 yang dibuat di
107
hadapan Notaris Yuses, SH, MH. Berisi tentang perubahan struktur Direksi yang didalamnya memecat PENGGUGAT serta perubahan Komposisi Pemegang Saham. ; f) Bahwa didasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas “PT. Tunas Mandiri Lumbis”, Nomor : 20, tanggal 28 Agustus 2013 yang dibuat di hadapan Notaris Yuses, SH, MH., TERGUGAT menerbitkan Objek Sengketa. ; g) Bahwa oleh karena terbitnya Objek Sengketa merugikan PENGGUGAT maka Penggugat pada tanggal 11 Februarai 2014 telah melaporkan Yuses, SH, MH di Polres Nunukan sesuai dengan Surat Tanda Bukti Laporan, Nomor : TBL/25a/II/2014/Kaltim/Res Nunukan dengan perkara dugaan TINDAK PIDANA PEMALSUAN DOKUMEN. ; 3) Bahwa berdasarkan uraian tersebut maka sudah jelas bahwa Keputusan TERGUGAT melanggar asas kepastian hukum. ; b. Asas PROFESINALITAS. 1) TERGUGAT tidak meneliti dengan cermat (tidak professional) karena sejak diterbitkannya Surat Persetujuan Perubahan Status Perusahaan Non Penanaman Modal Dalam Negeri/Penanaman Modal Asing (Non PMDN/PMA) Menjadi Penanaman Modal Asing (PMA), Nomor : 208/V/PMA/2008, tanggal 01 September 2008 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (TERGUGAT), setelah lurun waktu lebih dari 4 tahun sebelum terbitnya objek sengketa Pihak Malaysia
108
yaitu Magna Cristal Entity Sdn Bhd (Malaysia) hanya mampu merealisasikan sebesar Rp. 21.366.845.192,- (14,24%) dari Rp. 150.000.000.000,- yang akan diinvestasikan selama 48 Bulan (01 September 2008 s/d 01 September 2012). ; a) Realisasi pembangunan kebun seluas : + 571,40 ha (2,28%) dari luas + 13.000 ha selama masa 62 bulan. ; b) Pembayaran gaji karyawan terlambat setiap bulannya, setelah bulan ketiga baru ada pembayaran untuk 1 bulan gaji saja. ; 2) Bahwa Pengaturan Joint Venture di Indonesia yang merupakan salah satu bentuk kegiatan menanam modal yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing melalui usaha patungan untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Joint venture atau usaha patungan ini dikategorikan sebagai kegiatan penanaman modal asing (“PMA”) sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 huruf (c) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”). 3) Berdasarkan Pasal 27 UU Penanaman Modal, maka Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah
dengan
pemerintah
pemerintah
daerah.
Koordinasi
daerah,
maupun
pelaksanaan
antar
kebijakan
penanaman modal ini dilakukan oleh Badan Kepala Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”). ;
109
4) Sesuai dengan Pasal 28 UU Penanaman Modal dan Pasal 2 Perpres
No. 90/2007, maka BKPM memiliki tugas utama
untuk melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kewenangan yang diberikan kepadanya, BKPM mengeluarkan Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal pada 23 Desember 2009 (“Perka BKPM No. 13/2009”). Pengendalian Pelaksanaan Modal ini dimaksudkan untuk melaksanakan pemantauan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal. ; 5) Bahwa dari uraian ketentuan tersebut di atas senyatanya TERGUGAT mengabaikan tugasnya dan hanya sekedar adminitratif saja dalam mengeluarkan Objek Sengketa. ; 6) Bahwa seharusnya sebelum menerbitkan Objek Sengketa TERGUGAT melakukan Pengendalian Pelaksanaan Modal agar dapat : a) memperoleh data perkembangan realisasi penanaman modal dan informasi masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan; b) melakukan bimbingan dan fasilitasi penyelesaian masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;
110
c) melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan penggunaan fasilitas fiskal serta melakukan tindak lanjut atas penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan. ; Dengan demikian, diharapkan tercapainya kelancaran dan ketepatan pelaksanaan penanaman modal serta tersedianya data realisasi penanaman modal. ; 7) Bahwa Tergugat juga tidak melakukan pengawasan terhadap PT. Tunas Mandiri Lumbis sebagaimana diatur dalam diatur dalam Pasal 6 huruf (c) Perka BKPM No. 13/2009 dilakukan melalui : a) penelitian
dan
evaluasi
atas
informasi
pelaksanaan
ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan; b) pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan c) tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal. ; 8) Bahwa atas sikap tidak profesionalisme TERGUGAT tersebut bisa menjadikan PT. Tunas Mandiri Lumbis hampir seluruh dikuasai asing lebih khusus sikap tidak profesinal TERGUGAT telah merugikan kepentingan PENGGUGAT yaitu kehilangan posisi sebagai Direktur Utama dan berkurangnya prosentase modal Panggugat yang semula 18% menjadi 6% sehingga akan mempengaruhi perolehan deviden Penggugat. ;
111
9) Bahwa berdasarkan uraian tersebut maka sudah jelas bahwa Keputusan TERGUGAT melanggar asas profesionalitas. ; 14) Bahwa sebelum dan sesudah terbitnya objek sengketa Penggugat telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut : a. Sebelum Terbitnya Objek Sengketa. Bahwa sebelum terbitnya objek sengketa Penggugat mengajukan keberatan, permohonan dan atau tindakan lain yang tujuan utamanya agar tidak terbit Objek Sengketa dengan cara mengirimkan surat dan melaporkan ke Pihak Kepolisian, antara lain sebagai berikut : 1) Mengirimkan
surat
Nomor
:
202/TML-NNK/VII/2012,
tanaggal 11 Juli 2012, Perihal Permohonan Penangguhan Izin Penanaman Modal Asing (PMA) kepada TERGUGAT. ; 2) Mengirimkan Surat Nomor : 223/TML-NNK/V/2013, Perihal : Permohonan
Pemutusan
PMA,
yang
ditujukan
kepada
TERGUGAT. ; 3) Mengirimkan Surat Nomor : 51/SM/VIII/2013, Perihal : Laporan Pengaduan Dugaan Pemalsuan Surat PT. Tunas Mandiri Lumbis, tanggal 26 Agustus 2013 yang ditujukan kepada Kapolres Nunukan Cq. Kasat Reskrim Polres Nunukan. ; 4) Mengirimkan Surat Nomor : 238 / TML – NNK / XI / 2013, tanggal 28 November 2013, Perihal : Permohonan Pemutusan PMA yang ditujukan kepada Bupati Nunukan, Cq. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu
112
(BKPMT) Nunukan dengan tembusan salah satunya kepada TERGUGAT. ; 5) Penggugat pada tanggal 11 Februarai 2014 telah melaporkan Yuses, SH, MH di Polres Nunukan sesuai dengan Surat Tanda Bukti
Laporan,
Nunukan
dengan
Nomor
:
TBL/25a/II/2014/Kaltim/Res
perkara
dugaan
TINDAK
PIDANA
PEMALSUAN DOKUMEN. b. Setelah Terbitnya Objek Sengketa. Bahwa setelah terbitnya Objek Sengketa Penggugat langsung mengajukan gugatan Tata Usaha Negera di Pengadilan Tata Usaha Negera Jakarta sebagai bentuk keberatan/penolakan terhadap terbitnya Objek Sengketa. ; 15) Berdasarkan uraian fakta dan yuridis di atas maka dapat diketahui bahwa perbuatan TERGUGAT telah memenuhi ketentuan Pasal 53 ayat 2 huruf a, b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dimana tindakan TERGUGAT telah bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku dan Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu Asas kepastian hukum, dan Asas profesionalitas. ; c. Permohonan Penggugat : Maka berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas, Penggugat memohon agar Majelis Hakim Pemeriksa perkara tersebut berkenan mengeluarkan putusan dengan amar yang berbunyi sebagai berikut :
113
1. Mengabulkan Gugatan PARA PENGGUGAT seluruhnya; 2. Menyatakan Batal atau Tidak Sah Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing, Nomor : 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013.; 3. Mewajibkan kepada TERGUGAT untuk mencabut Izin Prinsip Perubahan
Penanaman
Modal
Asing,
Nomor
:
1723/1/IP-
PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013. ; 4. Menghukum TERGUGAT untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini. d. Bantahan dan Jawaban Tergugat : Atas gugatan Penggugat, BKPM membantah dan menjawab yang pada pokoknya sebagai berikut : A. Keputusan
TUN
yang
diterbitkan
oleh
Tergugat
tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. ; 1. Gugatan Penggugat menyatakan bahwa Keputusan TUN (obyek sengketa) yang diterbitkan oleh Tergugat bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf b jo Pasal 16 huruf (e) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penanaman modal bertujuan menciptakan “lapangan pekerjaan” dan “keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kesejahteraan pekerja”. (Gugatan halaman 6). ; 2. Penggugat mendalilkan bahwa Keputusan TUN (obyek sengketa) bertentangan dengan ketentuan hukum tersebut di atas, karena Keputusan TUN tersebut diterbitkan dengan tidak mengindahkan
114
fakta mengenai adanya keterlambatan pembayaran gaji kepada para karyawan yang bekerja pada perusahaan yang memperoleh Keputusan TUN tersebut (PT. Tunas Mandiri Lumbis).; 3. Pendapat Penggugat sebagaimana diuraikan di atas (poin 20 dan 21) salah, karena : a. Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 16 huruf (e) UU No. 25 Tahun 2007 berhubungan dengan tujuan penanaman modal. ; b. Tujuan berarti apa yang akan dicapai di kelak kemudian hari, bukan apa yang nyata-nyata ada pada saat ini. ; Fakta mengenai keterlambatan pembayaran gaji para karyawan adalah fakta yang ada pada saat ini. Masalah ini mungkin dapat ditanggulangi dengan peningkatan modal perusahaan sesudah terbitnya Keputusan TUN yang dipersoalkan di dalam perkara ini (obyek sengketa).; 4. Disamping itu, Penggugat mendalilkan bahwa Keputusan TUN obyek sengketa bertentangan dengan Lampiran IX Peraturan BKPM No. 12/2009 dengan mengemukakan : “7) Bahwa merujuk kepada Lampiran IX Peraturan BKPM No. 12/2009 tersebut, maka seluruh data yang disampaikan dalam Permohonan Izin Prinsip Perubahan haruslah data-data yang benar dan bukan merupakan data yang menyesatkan, sehingga obyek sengketa yang dikeluarkan oleh TERGUGAT didasarkan pada
data-data
yang
dapat
dipertanggung-jawabkan
kebenarannya. ; “8) Bahwa sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, di atas, terbukti data-data yang terdapat dalam Permohonan Ijin
115
Prinsip Perubahan yang dilakukan oleh PT Tunas Mandiri Lumbis ternyata didasarkan pada data-data yang tidak benar atau palsu oleh karenanya Obyek Sengketa yang diterbitkan oleh TERGUGAT didasarkan pada data-data yang tidak benar juga”. (Gugatan, halaman 8).” ; 5. Sebagaimana diuraikan di dalam Eksepsi mengenai gugatan prematur, apa yang dikemukakan oleh Penggugat sebagaimana dikutip di atas masih bersifat prematur, karena sampai saat ini masih belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa data-data yang digunakan di dalam memohon Keputusan TUN (obyek sengketa)
yang
dipersoalkan di dalam perkara ini merupakan data palsu. ; 6. Uraian di atas menunjukkan bahwa Keputusan TUN yang menjadi obyek sengketa di dalam perkara ini tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf b jo Pasal 16 huruf (e) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.; B. Keputusan
TUN
yang
diterbitkan
oleh
Tergugat
tidak
bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. 7. Sebagaimana dikemukakan di dalam bagian Eksepsi, dalil Penggugat yang menyatakan bahwa Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Tergugat (obyek sengketa) bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan dalil yang kabur, karena : a. Penggugat tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” dan apa yang dimaksud dengan “Asas Profesionalitas”.
116
b. Penggugat tidak menjelaskan mengapa Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Tergugat (obyek sengketa) bertentangan dengan kedua asas tersebut. ; 8. Mengenai
pelanggaran
Asas
Profesionalitas
Penggugat
mengemukakan : “Bahwa Tergugat juga tidak melakukan pengawasan terhadap PT. Tunas Mandiri Lumbis sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf (c) Perka BKPM No. 13/2009 dilakukan melalui : a) Penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan.; b) Pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal, dan c) Tindak lanjut atas penyimpangan atas ketentuan penanaman modal”. ; (Gugatan, halaman 12, angka 7)). ; 9. Dalil Penggugat sebagaimana dikemukakan di atas salah, karena : a. Penggugat
tidak
menjelaskan
“Informasi
pelaksanaan
ketentuan penanaman modal” apa yang perlu diteliti dan dievaluasi oleh Tergugat. ; b. Penggugat tidak menjelaskan “fasilitas” apa yang perlu diteliti dan dievaluasi oleh Tergugat. ; c. Penggugat tidak menjelaskan “penyimpangan” apa yang harus ditindak-lanjuti oleh Tergugat. ; 10. Uraian di atas menunjukkan bahwa Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Tergugat (obyek sengketa) tidak bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. ;
117
C. Kerugian yang diderita oleh Penggugat tidak diakibatkan oleh Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Tergugat. 11. Mengenai kerugian yang diderita oleh Penggugat, gugatan mengemukakan : “Bahwa
dengan
diterbitkannya
Izin
Prinsip
Perubahan
Penanaman Modal Asing, Nomor: 1723/I/IP-PB/PMA/ 2013, Nomor Perusahaan: 24017, tanggal 02 Desember 2013, telah merugikan kepentingan PENGGUGAT, yaitu kehilangan posisi sebagai Direktur Utama dan berkurangnya prosentase modal Penggugat yang semula 18% menjadi 6% sehingga akan mempengaruhi perolehan deviden Penggugat, …”. ; (Gugatan, halaman 5, angka 10). ; 12. Kerugian yang diderita oleh Penggugat berupa “kehilangan posisi sebagai Direktur Utama” tidak disebabkan oleh Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Tergugat (obyek sengketa), melainkan disebabkan oleh “Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis, Nomor 20, tanggal 28 Agustus 2013”. (Vide gugatan, halaman 9 huruf c)).; 13. Kerugian yang diderita oleh Penggugat berupa “berkurangnya prosentase modal Penggugat yang semula 18% menjadi 6% sehingga akan mempengaruhi perolehan deviden Penggugat” tidak disebabkan oleh Keputusan TUN (obyek sengketa) yang diterbitkan oleh Tergugat, melainkan disebabkan oleh Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham PT. Tunas Mandiri Lumbis. (Vide gugatan halaman 10, huruf c)). ;
118
14. Uraian di atas menunjukkan bahwa kerugian yang diderita oleh Penggugat tidak disebabkan oleh Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Tergugat. Oleh karena itu, gugatan Penggugat harus ditolak untuk seluruhnya. ; Permohonan Tergugat : 1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menghukum Penggugat untuk membayar semua biaya perkara.; e. Bukti Tertulis Penggugat : Untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti tertulis berupa Fotokopi surat-surat yang telah dilegalisir dan dimeteraikan dengan cukup yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-32, sebagai berikut : 1. Bukti P – 1 : Surat Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing tentang Izin Perubahan
Penanaman
Modal
Asing,
Nomor
:
Prinsip
1723/1/IP-
PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013 (Fotokopi dari Fotokopi yang dilegalisir) ; 2. Bukti P – 2 : Salinan Grosse Akta Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis No. 11 tanggal 22 September 2005,
dibuat di
hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., (Fotokopi dari Fotokopi yang dilegalisir) ; 3. Bukti P – 3 : Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : C-30025 HT.01.01.TH.2005 Tentang Pengesahan Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis tanggal 31 Oktober 2005 (Fotokopi dari Fotokopi yang dilegalisir) ;
119
4. Bukti P – 4 : Salinan Grosse Akta RUPS Persetujuan Jual Beli Saham Perubahan Susunan Pengurus dan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis Nomor 06 tanggal 02 Agustus 2007, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., (Fotokopi dari Fotokopi) ; 5. Bukti P – 5 : Salinan Grosse Akta RUPS Persetujuan Modal Dasar Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis
Nomor 03
tanggal 05 Agustus 2008, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., (Fotokopi dari Fotokopi) ; 6. Bukti P – 6 : Surat Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Direksi PT. Tunas Mandiri Lumbis Nomor 208/V/PMA/2008 tentang Surat Persetujuan Perubahan Status Perusahaan Non Penanaman Modal Dalam Negeri / Penanaman Modal Asing (Non PMDN / PMA) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA) tanggal 01 September 2008 (Fotokopi dari Fotokopi yang dilegalisir) ; 7. Bukti P – 7 : Surat Direktur PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal atau Kepala PDPPM atau Kepala PDKPM Nomor 202/TMLNNK/VII/2012, perihal Permohonan Penangguhan Izin Penanaman Modal Asing (PMA) tanggal 11 Juli 2012 (Fotokopi dari Fotokopi yang ditandatangani) ; 8. Bukti P – 8 : Surat Direktur PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat Nomor 223/TML-NNK/V/2013,
perihal
Permohonan
Pemutusan
PMA,
tanggal 01 Mei 2013 (Fotokopi dari Fotokopi yang ditandatangani) ;
120
9. Bukti P – 9 : Surat Kantor Advokat / Pengacara Shahrir Mallongi, SH., Kepada Kapolres Nunukan Cq. Kasat Reskrim Polres Nunukan Nomor 51/SM/VIII/2013, Perihal Laporan Dugaan Pemalsuan Surat PT. Tunas Mandiri Lumbis, tanggal
26 Agustus 2013 (Fotokopi dari
Fotokopi) ; 10. Bukti P – 10 : Surat Direktur PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Bupati Nunukan Cq. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Perizinan
Terpadu
(BKPMPT)
Nunukan
Nomor
238/TML-
NNK/XI/2013, perihal Permohonan Pemutusan PMA, tanggal 28 November 2013 (Fotokopi dari Fotokopi) ; 11. Bukti P – 11 : Surat Ka SPK Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Kalimantan Timur Resort Nunukan tentang Surat Tanda Bukti Lapor Nomor : TBL/25a/II/2014/Kaltim/Res Nunukan, tanggal 11 Pebruari 2014 (Fotokopi sesuai dengan aslinya) ; 12. Bukti P – 12 : Salinan Grosse Akta Berita Acara Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis Nomor 09 tanggal 18 Mei 2010, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., MH., (Fotokopi dari Fotokopi yang dilegalisir) ; 13. Bukti P – 13 : Salinan Grosse Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis Nomor 10 tanggal 20 Januari 2011, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., MH., (Fotokopi dari Fotokopi yang dilegalisir) ; 14. Bukti P – 14 : Salinan Grosse Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis Nomor 20 tanggal 28
121
Agustus 2013, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., MH., (Fotokopi dari Fotokopi yang dilegalisir) ; 15. Bukti P – 15 : Surat Direktur PT. Tunas Mandiri Lumbis tentang Daftar Undangan / Panggilan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pihak PMA Malaysia dan Permasalahan Lainnya tanggal 21 Januari 2014 (Sesuai dengan aslinya) ; 16. Bukti P – 16 : Surat Direktur PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Pemegang Saham di Tawau Nomor 66/TML-NNK/I2011, Perihal Undangan Rapat Pemegang Saham tanggal
07 Juni 2010 (Sesuai
dengan aslinya) ; 17. Bukti P – 17 : Surat Direktur PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Chin Fui Lan di Tawau Nomor 76/TML-NNK/I/2011, Perihal Undangan Rapat Pemegang Saham tanggal 07 Januari 2011 (Sesuai dengan aslinya) ; 18. Bukti P – 18 : Surat Direktur PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Chin Fui Lan & Ny. Ang Theng Leng (Magna Cristal Entity Sdn.Bhd.) di Tawau Nomor 177/TML-NNK/VIII/2011, Perihal Panggilan Undangan Rapat yang ke III, tanggal 08 Agustus 2011 (Sesuai dengan aslinya) ; 19. Bukti P – 19 : Surat Direktur PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Direktur Magna Cristal Entity Sdn. Bhd di Tawau Malaysia Nomor 176/TML-NNK/VIII/2011, Perihal Pemberitahuan, tanggal 08 Agustus 2011 (Sesuai dengan aslinya) ; 20. Bukti P – 20 : Surat Pemegang Saham PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Sdr (i) Chin Fui Land an Ny. Ang Teng Leng (Pemegang Saham) di Tawau Malaysia Nomor 214/TML-NNK/I/2013, Perihal
122
Pertemuan (meeting), tanggal 23 Agustus 2013 (Fotokopi dari Fotokopi) ; 21. Bukti P – 21 : Surat Pemegang Saham PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Sdr (i) Chin Fui Land an Ny. Ang Teng Leng (Pemegang Saham) di Tawau Malaysia Nomor 216/TML-NNK/II/2013, Perihal Pertemuan (meeting) ke II, tanggal 01 Februari 2013 (Fotokopi dari Fotokopi) ; 22. Bukti P – 22 : Surat Pemegang Saham PT. Tunas Mandiri Lumbis kepada Sdr (i) Chin Fui Land an Ny. Ang Teng Leng (Pemegang Saham) di Tawau Malaysia Nomor 217/TML-NNK/II/2013, Perihal Pertemuan (meeting) ke III, tanggal 19 Februari 2013 (Fotokopi dari Fotokopi) ; 23. Bukti P – 23 : Biaya Investasi : RM19,060/HA (Rupiah 53.368.000/HA, Seluas 13.000 HA, tanggal 01 Juni 2008. (Fotokopi dari Fotokopi) ; 24. Bukti P – 24 : Notulen Rapat Berita Acara Rapat Umum Luar Biasa Para Pemegang Saham Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis tanggal 19 Juli 2013 (Fotokopi dari Fotokopi) ; 25. Bukti P – 25 : Salinan Grosse Akta Surat Perjanjian Bersama Nomor 435/L/III/2008 Tanggal 15 Agustus 2008, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., MH.,
(Fotokopi dari
Fotokopi) ; 26. Bukti P – 26 : Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-10328.AH.01.02 Tahun 2011, Tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan tanggal 28 Pebruari 2011 (Fotokopi dari Fotokopi) ;
123
27. Bukti P – 27 : Surat Kepala Dinas Pemerintah Kabupaten Nunukan Dinas
Sosial,
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
361.1/877/DSTKT-IV/XII/2013, Perihal Pembayaran Hak Pekerja / Buruh tanggal 11 Desember 2013 (Sesuai dengan aslinya) ; 28. Bukti P – 28 : Surat Sekretaris An. Kepala Dinas Pemerintah Kabupaten Nunukan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 561.6/911/DSTKT-IV/XII/2013, Perihal Pembayaran Hak Pekerja / Buruh tanggal 30 Desember 2013 (Sesuai dengan aslinya) ; 29. Bukti P – 29 : Surat Pernyataan Keputusan Sirkuler Pemegang Saham Diluar Rapat Umum Pemegang Saham PT. Fedsin Rekayasa Pratama Nomor 29, dibuat oleh dan dihadapan Doktor Udin Nasrudin, SH., MH., Notaris di Tangerang Selatan tanggal 11-10-2013 (Fotokopi dari Scanner) ; 30. Bukti P – 30 : Surat Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal R.I, tentang Izin Prinsip Perubahan
Penanaman
Modal
Asing
Nomor
:
1253/1/IP-
PB/PMA/2013, tanggal 10 Oktober 2013 (Fotokopi dari Scanner) 31. Bukti P – 31 : Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-54655.AH.01.02.Tahun 2013, Tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan tanggal 28 Oktober 2013 (Fotokopi dari Scanner) ; 32. Bukti P – 32 : Surat Keputusan Direktuir Jenderal Administrasi Hukum Umum An. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-.AH.01.10-53016, Perihal Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar
PT. Fedsin Rekayasa
Pratama, tanggal 09 Desember 2013 (Fotokopi dari Scanner) ;
124
f. Bukti Tertulis Tergugat : Untuk memperkuat dalil-dalil bantahannya, Tergugat telah mengajukan bukti tertulis berupa Fotokopi surat yang telah dilegalisir dan dimeteraikan dengan cukup yang diberi tanda T-1 sampai dengan T - 20, sebagai berikut : 1. Bukti T – 1 : Surat Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing tentang Izin Perubahan
Penanaman
Modal
Asing,
Nomor
:
Prinsip
1723/1/IP-
PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013 ( Sesuai dengan aslinya ) ; 2. Bukti T – 2 : Surat Direktur Utama Hong Yick Choon tanggal 11 Nopember 2013 tentang Permohonan Perubahan Penanaman Modal atas nama Perusahaan PT. Tunas Mandiri Lumbis ( Sesuai dengan aslinya ) ; 3. Bukti T – 3 : Surat Kuasa Hong Yick Choon kepada Agus Gunawan tanggal 8 Nopember 2013 ( Sesuai dengan aslinya ) ; 4. Bukti T – 4 : Surat Keterangan Terdaftar No. : PEM-00417/WPJ.J4/ KP.0403/2008, tanggal 19 Pebruari 2008 ( Fotokopi dari Fotokopi ) ; 5. Bukti T – 5 : NPWP 02.136.908.7-725.000 atas nama PT. Tunas Mandiri Lumbis, terdaftar tanggal 29 September 2005 ( Fotokopi dari Fotokopi ) ; 6. Bukti T – 6 : Laporan Kegiatan Penanaman Modal Tahap Pembangunan Tahun 2013, tanggal 15 Oktober 2013 ( Fotokopi dari Fotokopi ) ; 7. Bukti T – 7 : Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia atas nama Zainuddin tanggal 28 Desember 2010 ( Fotokopi dari Fotokopi ) ;
125
8. Bukti T – 8 : Surat Persetujuan Perubahan Status Perusahaan Non Penanaman Modal Dalam Negeri / Penanaman Modal Asing ( NON PMDN / PMA ) Menjadi Penanaman
Modal Asing (PMA)
Nomor 208/V/PMA/2008, tanggal 01 September 2008 ( Fotokopi dari Fotokopi ) ; 9. Bukti T – 9 : Salinan / Grosse Akta Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis Nomor 05 tanggal 07 September 2011, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., (Fotokopi dari Fotokopi); 10. Bukti T – 10 : Surat PLH. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia kepada Notaris Yuses, SH., Nomor :
AHU-
AH.01.10-23608, Perihal Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan PT. Tunas Mandiri Lumbis tanggal 28 Juni 2012 (Fotokopi dari Fotokopi); 11. Bukti T – 11 : Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-10328.AH.01.02 Tahun 2011, Tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan tanggal
28
Pebruari 2011 ( Fotokopi dari Fotokopi ) ; 12. Bukti T – 12 : Salinan Grosse Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis Nomor 10 tanggal 20 Januari 2003, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., MH.,
( Fotokopi dari
Fotokopi ) ; 13. Bukti T – 13 : Salinan Grosse Akta Berita Acara Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri
126
Lumbis Nomor 09 tanggal 18 Mei 2010, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., MH., (Fotokopi dari Fotokopi) ; 14. Bukti T – 14 : Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : C-30025 HT.01.01.TH.2005 Tentang Pengesahan Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis tanggal 31 Oktober 2005 ( Fotokopi dari Fotokopi ) ; 15. Bukti T – 15 : Memorandum And Articles of Association of Magna Crystal Entity Sdn. Bhd oleh Suruhanjaya Syarikat Malaysia, tanggal 30 Oktober 2013 ( Fotokopi dari Fotokopi ) ; 16. Bukti T – 16 : Salinan Grosse Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perseroan Terbatas PT. Tunas Mandiri Lumbis Nomor 20 tanggal 28 Agustus 2013, dibuat di hadapan Notaris & PPAT Kabupaten Nunukan Yuses, SH., MH., (Fotokopi dari Fotokopi) ; 17. Bukti T – 17 : Surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia kepada Notaris Yuses, SH., Nomor : AHU-AH.01.10-40015, Perihal Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan PT. Tunas Mandiri Lumbis tanggal 26 September 2013 (Fotokopi dari Fotokopi); 18. Bukti T – 18 : Proses Penyelesaian Surat Permohonan Aplikasi atas nama Perusahaan PT. Tunas Mandiri Lumbis, tanggal 14 November 2013 (Fotokopi dari Fotokopi); 19. Bukti T – 19 : Salinan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang
127
Pedoman Dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal (Fotokopi dari Fotokopi); 20. Bukti T – 20 : Salinan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal (Fotokopi dari Fotokopi); g. Saksi dan Ahli Penggugat : Pada persidangan juga telah didengar keterangan 1 (satu) orang Saksi, 1 (satu) orang Ahli Pihak Penggugat dan 1 (satu) orang Saksi, 1 (satu) orang Ahli Pihak Tergugat dalam perkara ini, sebagai berikut : SAKSI PIHAK PENGGUGAT, yang mengaku : Nama : ISMAIL BANDU, Tempat / Tgl. Lahir Sinjai, 23 Desember 1955, Jenis
Kelamin
Wiraswasta,
Laki-Laki,
Kewarganegaraan
Indonesia,
Pekerjaan
Alamat Jalan Cut Nyak Dien Rt / Rw. 015, Kelurahan
Nunukan Tengah, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, Agama Islam. Setelah Saksi disumpah menurut agamanya dan telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut : - Bahwa Saksi kenal dengan Saudara Zainudin selaku Direktur Mandiri Lumbis, tidak kenal dengan Pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal maupun Kuasanya serta tidak ada hubungan keluarga keduanya ; - Bahwa Saksi bekerja di PT. Tunas Mandiri Lumbis sejak Desember 2005 sebagai Office Manager ;
128
- Bahwa Saksi tidak mengenal Hong Yick Choon selaku Direktur Utama PT. Tunas Mandiri Lumbis dan Direktur Utama tidak pernah ada dikantor melainkan selalu di Malaysia. ; - Bahwa jumlah karyawan PT. Tunas Mandiri Lumbis seluruhnya 300 orang dalam keadaan normal dan selama dalam kurun waktu Tahun 2013 sampai sekarang tidak pernah ada orang dari BKPM datang; - Bahwa sehubungan dengan P-12, P-13 dan P-14 saudara Zainuddin tidak pernah hadir dalam rapat-rapat umum tersebut, karena waktu itu dia ke Malaysia; - Bahwa terhadap Akta Nomor 10 sudah dilaporkan ke Polres Nunukan sejak tanggal 28 Agustus 2013, setelah 6 bulan tidak ada tindak lanjut dilaporkan ke Polda pada Agustus 2013 dan sampai dengan sekarang belum selesai ; - Bahwa sejak kurun waktu tahun 2013 sampai dengan sekarang, BKPM tidak pernah datang kekantor PT. Tunas Mandiri Lumbis ; - Bahwa RUPS dilaksanakan di Aula Hotel Nunukan, setelah akta dibuat para pengurusnya tidak pernah lengkap ; AHLI PIHAK PENGGUGAT, yang mengaku : Nama : DR. UDIN NARSUDIN, S.H., M.Hum., SpN, Tempat / Tgl. Lahir Bandung, 31 Maret 1971, Jenis Kelamin Laki-Laki, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Dosen, Alamat BSD Sektor-I Blok I-3, Nomor 24, Serpong, Tengerang Selatan, Agama Islam. Setelah Ahli disumpah menurut agamanya dan telah memberikan Pendapat / keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut : - Bahwa Ahli tidak kenal dengan Saudara Zainudin selaku Direktur
129
Mandiri Lumbis, tidak kenal dengan Pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal maupun Kuasanya serta tidak ada hubungan keluarga keduanya ; - Bahwa menurut Ahli ketentuan Pasal 48
ayat (1) Peraturan Kepala
Badan Koordonasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan Dan Nonperizinan Penanaman Modal Juncto Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 secara garis besar dapat disimpulkan, bahwa apabila suatu Perusahaan Penanaman modal akan merubah jumlah modal dan prosentase kepemilikan saham, nama pemegang saham dan/atau negara asal pemegang saham urutannya adalah : 1. Risalah Rapat atau akta Berita Acara Rapat yang dibuat oleh notaris atau dihadapan Notaris, 2. Mengajukan
permohonan
Izin
Prinsip
Perubahan
dan
Setelah
mendapatkan Izin Prinsip Perubahan, maka dimintakan persetujuan / pengesahan di Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). ; - Bahwa menurut pendapat Ahli terhadap Obyek sengketa disebutkan di dalam Akta Notaris dibuat sebagai persyaratan atau Mengajukan permohonan Izin Prinsip Perubahan dan Setelah mendapatkan Izin Prinsip Perubahan, membuat Risalah Rapat atau akta Berita Acara Rapat yang dibuat oleh notaris atau dihadapan notaris Kemudian dimintakan persetujuan / pengesahan di Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). ; - Bahwa dalam konteks perubahan dan terhadap izin yang baru Surat Keputusan BKPM baru dibuat Akta pendirian PMA didalam perubahan
130
ada dua kemungkinan pertama dibuat RUPS dan atau dibuat dihadapan Notaris kemudian ajukan ijin perubahan dan minta persetujuan pengesahan kemenkumham. ; - Bahwa sehubungan dengan Bukti P-14 yaitu Akta pernyataan Keputusan Rapat PT. Tunas Mandiri Lumbis seharusnya seluruh pemegang saham hadir ; - Bahwa Turunnya Saham Zainuddin ditentukan dalam RUPS bukan dari Izin Prinsip dari BKPM ; - Bahwa ketentuan Pasal 48 Peraturan Kepala BKPM termasuk peraturan perundang-undangan, sehingga harus ada kepastian hukum (Konsistensi) ; h. Saksi dan Ahli Tergugat 1) SAKSI PIHAK TERGUGAT, yang mengaku : Nama : IWAN SURYANA, Tempat / Tgl. Lahir Jakarta, 15 Maret 1966,
Jenis
Kelamin
Pekerjaan Karyawan,
Laki-Laki,
Kewarganegaraan
Indonesia,
Alamat Kalibata Utara Rt. 002/Rw. 007,
Kelurahan Kalibata, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, Agama Islam. Setelah Saksi disumpah menurut agamanya dan telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut : -
Bahwa Saksi tidak kenal dengan Saudara Zainudin selaku Direktur Mandiri Lumbis, tidak kenal dengan Pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal maupun Kuasanya serta tidak ada hubungan keluarga keduanya ;
-
Bahwa Saksi bekerja di Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan Jabatan sebagai Direktur Pelayanan Aplikasi BKPM dan
131
bertugas sebagai pekerjaan utamanya adalah merumuskan suatu kebijakan atas permohonan dibidang Investasi. ; -
Bahwa sepengetahuan Saksi yang mengajukan permohonan tentunya berdasarkan Formulir yaitu Direktur Utamanya atas nama Hong Yick Choon dan persyaratan permohonan izin prinsip sudah sesuai dan syarat-syarat permohonan Izin Prinsip yaitu Pertama tentunya mengisi Formulir, kedua kalau permohonan dilakukan oleh bukan Perusahaan harus ada Surat Kuasa dan ketiga kalau dia terkait Perubahan Pemegang Saham harus ada RUPS, NPWP, Akta-Akta perubahan dan pendirian, dan kalau ada Pemegang Saham baru harus ada Identitas Pemegang Saham yang baru tersebut. ;
-
Bahwa sepengetahuan saksi terkait RUPS sebagai persyaratan kelengkapan untuk permohonan izin perubahan alam objek sengketa sudah dicatatkan di kantor Kemenkumham R.I. dalam Akta Nomor 20 tanggal 28 Agustus 2013 ;
-
Bahwa semua persyaratan pengajuan permohonan Izin perubahan oleh
-
PT. Tunas Mandiri Lumbis telah dipenuhi;
Bahwa pertimbangan dalam proses izin prinsip perubahan PMA adalah
syarat-syaratnya,
apabila
ada
kekurangan
lembaga
berwenang member fasilitas untuk dilengkapi persyaratan ; -
Bahwa atas permohonan Izin Prinsip perubahan PMA yang diajukan PT. Tunas Mandiri Lumbis, BKPM hanya mensyahkan dan memberikan persetujuan tentang perubahan tersebut ;
-
Bahwa syarat KTP tidak perlu dilampirkan lagi dalam permohonan kecuali ada pemohon saham yang baru maka harus disertakan surat kuasa ;
-
Bahwa dalam permohonan Izin Prinsip perubahan PMA PT. Tunas
132
Mandiri Lumbis diajukan oleh Kuasa dan identitas sudah ada ; -
Bahwa apabila permohonan diajukan oleh Kuasa, maka kuasa tersebut harus melampirkan identitas KTP ;
-
Bahwa dalam proses penerbitan objek sengketa tidak dilakukan penelitian lapangan, tetapi data didapat dokumen dari foto-foto lokasi kegiatan perusahaan tersebut ;
-
Bahwa dalam proses penerbitan Objek Sengketa setahu saksi tidak ada pihak yang mengajukan keberatan, bila ada pasti proses dipending dahulu ;
-
Bahwa proses penerbitan Objek Sengketa dari PTSP hasil evaluasinya di Acc, lalu diteruskan ke bagian dekofis untuk dibuatkan SP, kemudian masuk ke Kepala Seksi untuk diperiksa dan diparaf dan abru ke Saksi selaku Direktur Pelayanan, karena syaratnya sudah lengkap lalu diteruskan ke bagian perijinan untuk ditandatangani ;
2) AHLI PIHAK TERGUGAT, yang mengaku : Nama : SANTI ACHADIJATI, S.H., Tempat / Tgl. Lahir Jakarta, 11 April 1965, Jenis Kelamin Perempuan, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Karyawan Swasta, Alamat Jl. Hang Lekiu IV/ 84 Rt. 006 / Rw. 004 Kelurahan Gunung, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Agama Islam. Setelah Ahli disumpah menurut agamanya dan telah memberikan Pendapat / keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut : -
Bahwa Ahli tidak kenal dengan Saudara Zainudin selaku Direktur Mandiri Lumbis, tidak kenal dengan Pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal maupun Kuasanya serta tidak ada hubungan
133
keluarga keduanya ; -
Bahwa menurut pendapat Ahli dalam mengajukan permohonan ijin prinsip perubahan maka
direksi / pimpinan perusahaan dapat
mengajukan permohonan sendiri dan dapat juga memberikan kuasa kepada pihak lain yaitu kepada karyawan dalam perusahaan itu sendiri dan sedapat mungkin yang ada dalam sturktur organisasi perusahaan agar dapat memberikan keterangan tentang kondisi perusahaan secara akurat ; -
Bahwa didalam Ketentuan Pasal 48 ayat (1) dari Peraturan Kepala (PERKA) BKPM menyebutkan bahwa Perusahaan Penanaman Modal Asing (“PMA”) yang melakukan perubahan modal perseroan, wajib mengajukan permohonan izin prinsip perubahan. Namun demikian, PERKA BKPM dalam hal ini tidak secara khusus mengatur mengenai kapan permohonan izin prinsip perubahan yang terkait dengan perubahan modal harus dilakukan. Secara jelas didalam Lampiran II-A dari PERKA BKPM yang mengharuskan pemohon untuk melampirkan dokumen pendukung antara lain sebagai berikut : Pertama Rekaman Risalah Rapat Umum Pemegang Saham, kedua Keputusan Sirkular yang ditandatangani oleh seluruh pemegang saham dan telah dicatat (warmerking) oleh Notaris dan atau Rekaman Pernyataan Keputusan Rapat / Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta Notaris, yang memenuhi ketentuan Pasal 21 dan Bab VI Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dilengkapi dengan bukti diri pemegang saham baru.
Terhadap permohonan izin
prinsip perubahan baru dapat dilakukan setelah diadakannya rapat
134
umum pemegang saham (“RUPS”) Perusahaan PMA yang dibuktikan dengan salah satu dokumen di atas, yang mana dokumen tersebut harus disampaikan pada saat pengajuan permohonan izin
prinsip perubahan tersebut.
Sebagaimana
disebutkan di atas, salah satu dokumen yang dapat diterima oleh BKPM sehubungan dengan pelaksanaan rapat umum pemegang saham perseroan adalah “Rekaman Pernyataan Keputusan Rapat / Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta Notaris, yang memenui ketentuan Pasal 21 dan Bab VI Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan, antara lain, bahwa perubahan anggaran dasar (dalam hal ini termasuk juga perubahan modal) harus mendapat persetujuan atau diberitahukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menkumham”). Permohonan izin prinsip perubahan kepada BKPM dengan melampirkan Rekaman Pernyataan Keputusan / Berita Acara RUPS dalam bentuk Akta Notaris dan persetujuan/bukti penerimaan pemberitahuan dari Menkumham atas perubahan modal tersebut. ; -
Bahwa
pemberian
ijin
prinsip
perubahan
PMA
tidak
mengakibatkan tereduksinya Saham para pemegang saham, tereduksinya saham para pemegang saham adalah diakibatkan oleh RUPS ; -
Bahwa permohonan ijin prinsip perubahan PMA seharusnya dilakukan oleh Direktur Utama tapi dapat juga dilakukan dengan memberikan surat kuasa kepada orang lain yaitu Karyawan perusahaan itu sendiri dan sedapat mungkin yang masuk dalam struktur prganisasi perusahaan tersebut ;
135
-
Bahwa dalam proses pemberian ijin perubahan, BKPM menerima syarat-syarat dan syarat-syarat tersebut tanggung jawab perusahaan sendiri, BKPM hanya melihat apakah syarat-syarat itu sudah terpenuhi atau belum ;
-
Bahwa penerima Kuasa yang tidak masuk dalam Akta perusahaan harus dilengkapi dengan identitasnya ;
-
Bahwa terhadap PMDN, ada kewajiban BKPM untuk melakukan pengawasan bekerja sama dengan BKPMD dan perusahaan wajib membuat laporan kegiatan perusahaan ;
i. Pertimbangan Hukum Hakim Pemeriksa Perkara Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana yang telah diuraikan dalam duduknya sengketa tersebut diatas. ; Menimbang, bahwa yang menjadi objek sengketa dan dimohonkan untuk dinyatakan batal atau tidak sah oleh Penggugat adalah Surat Keputusan Tergugat berupa Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal asing, Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan 24017, tanggal 02 Desember 2013 (vide bukti P-1 = T- 1).; Menimbang, bahwa Penggugat memohon agar objectum litis dinyatakan batal atau tidak sah dengan alasan dalam penerbitan objectum litis terdapat cacat administratif karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). ;
DALAM POKOK SENGKETA :
136
Menimbang, bahwa dalil gugatan Penggugat selengkapnya adalah sebagaimana terurai dalam gugatannya dan telah dimuat dalam bagian duduk sengketa putusan ini. ; Menimbang, bahwa untuk merapkan ketentuan pasal 83 Undangundang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Majelis Hakim dalam sengketa ini telah memanggil pihak yang dituju oleh keputusan yang menjadi objek sengketa yaitu Direktur Utama PT. Tunas Mandiri Lumbis dengan alamat yang diberikan baik oleh Penggugat maupun Tergugat sebanyak 4 (empat) kali panggilan dan terakhir diumumkan di papan pengumuman Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk memberi kesempatan kepadanya memberi keterangan dan ikut masuk sebagai pihak dalam sengketa ini akan tetapi yang bersangkutan tidak pernah hadir dipersidangan dan menurut saksi Ismail Bandu selaku Office manager PT. Tunas Mandiri Lumbis dipersidangan bahwa direktur utama PT. Tunas Mandiri Lumbis tidak pernah ditempat melainkan selalu di malaysia bahkan Majelis Hakim juga telah memanggil yang bersangkutan sebanyak dua kali untuk didengar keterangannya sebagai saksi akan tetapi juga tidak pernah hadir. ; Menimbang, bahwa Tergugat telah membantah gugatan Penggugat dengan alasan bahwa dalam penerbitan keputusan objek sengketa telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan asas asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana selengkapnya terurai dalam jawaban dan duplik Tergugat. ; Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat telah membantah dalil gugatan Penggugat maka Majelis Hakim akan menguji dalil para pihak tersebut berdasarkan fakta yang diperoleh dalam persidangan a quo. ;
137
Menimbang, bahwa untuk menguji dalil para pihak tersebut Majelis Hakim berpedoman kepada instrumen hukum yang diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinyatakan batal atau tidak sah apabila : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau ; b. Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik. ; Dan penjelasan resmi pasal 53 ayat (2) Undang-undang Peradilan Tata usaha Negara yang menyatakan bahwa suatu keputusan tata usaha negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural formal, bersifat material / substansial dan dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang. ; Menimbang, bahwa dalam mencari kebenaran materiil sengketa ini Majelis Hakim berpedoman pada ketentuan pasal 107 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan : “ Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim” ,sehingga untuk menentukan adanya cacad yuridis keputusan objek sengketa Majelis Hakim tidak terikat pada materi jawab jinawab dan alat bukti yang diajukan para pihak dipersidangan.; Menimbang,
bahwa
untuk
membuktikan
dalil
gugatannya
Penggugat telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda P-1 sampai
138
dengan P-32 dan menghadirkan 1 orang saksi fakta dan 1 orang ahli dipersidangan sedangkan Tergugat untuk membuktikan dalil bantahannya telah pula mengajukan bukti surat yang diberi tanda bukti T-1 sampai dengan T- 21 serta menghadirkan 1 orang saksi fakta dan1 orang ahli dipersidangan. ; Menimbang,
bahwa
selanjutnya
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan apakah Keputusan yang menjadi objek sengketa diterbitkan bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan asas asas umum pemerintahan yang baik atau tidak baik dari segi kewenangan, prosedur maupun substansi sebagai berikut :
SEGI
KEWENANGAN
TERGUGAT
MENERBITKAN
KTUN
OBJEK SENGKETA : Menimbang, bahwa dalam ketentuan pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota disebutkan : (1) Pemerintah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2). ; (2) Khusus untuk urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. ;
Menimbang, bahwa selanjutnya dalam ketentuan Peraturan Kepala Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
139
Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata cara Perizinan dan non perizinan Penanaman Modal (vide bukti T-20) telah diatur bahwa : a. Pasal 1 angka 6 : Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan Penanaman MOdal yang dikeluarkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ; b. Pasal 1 angka 22 : Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal yang selanjutnya disebut izin Prinsip perubahan adalah izin prinsip yang wajib dimiliki perusahaan dalam rangka legalisasi perubahan rencana atau realisasi penanaman modal yang telah ditetapkan sebelumnya. ; c.
Pasal 1 angka 31 : Badan Koordinasi Penanaman Modal yang selanjutnya
disebut
BKPM
adalah
lembaga
pemerintah
non
kementrian yang bertanggungjawab dibidang Penanaman Modal, yang dipimpin
oleh
seorang
kepala
yang
berada
dibawah
dan
bertanggungjawab langsung kepada Presiden.; Menimbang, bahwa oleh karena yang dimohonkan oleh PT Tunas Mandiri Lumbis adalah izin prinsip perubahan PMA maka berdasarkan kedua peraturan tersebut diatas maka Majleis Hakim berpendapat Tergugat mempunyai wewenang untuk menerbitkan keputusan objek sengketa. ; SEGI
PROSEDUR
PENERBITAN
KEPUTUSAN
OBJEK
SENGKETA : Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat, saksi dan ahli yang diajukan para pihak dipersidangan diperoleh fakta sebagai berikut :
140
- bahwa pada tanggal 11 November 2013, PT. Tunas Mandiri Lumbis mengajukan permohonan perubahan penanaman modal (vide bukti T-2) dengan melampirkan kelengkapan syarat antara lain : a. Surat kuasa tertanggal 8 November 2013 oleh Hong Yick Choon kepada agus gunawan ( vide bukti T-3). ; b. Surat keterangan terdaftar tanggal 19 Pebruari 2008 (vide bukti T-4). ; c. NPWP PT TUnas Mandiri Lumbis tanggal 29 September 2005 dan NPWP Zainudin tanggal 29 September 2005 (vide bukti T-5). ; d. Laporan kegiatan penanaman modal tahap pembangunan tahun 2013 triwulan ketiga tanggal 15 oktober 2013 (vide bukti T-6).; e. Copy kartu penduduk atas nama Zainudin (vide bukti T-7). ; f. Surat persetujuan perubahan status perusahaan non penanaman modal dalam negeri / penanaman modal asing tanggal 1 september 2008 (vide bukti T-8). ; g. Salinan rapat umum pemegang saham PT. Tunas Mandiri Lumbis No. 5 tanggal 7 september 2011 (vide bukti T-9). ; h. Surat penerimaan pemberitahuan perubahan data perseroan PT. Tunas Mandiri Lumbis tanggal 28 Juni 2012 (vide bukti T-10) ; . i. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 28 Pebruari 2011 tentang persetujuan anggaran dasar perseroan PT. Tunas Mandiri Lumbis (vide bukti T-11). ; j. Salinan akta berita acara RUPS PT. Tunas Mandiri Lumbis no.10 tanggal
20 Januari 2011 (vide bukti T-12). ;
k. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang persetujuan perubahan anggaran dasar perseroan PT. Tunas Mandiri Lumbis (vide bukti T-13). ;
141
l. Salinan akta berita acara RUPS PT. Tunas Mandiri Lumbis No.09 tanggal 18 Mei 2010 (vide bukti T-14). ; m. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang penbgesahan akta pendirian perseroan terbatas tanggal 31 oktober 2005 (vide bukti T-15). ; n. Memorandum and articles of assiciation of magna crystal
entity
Sdn.Bhd oleh suruhanjaya syarikat Malaysia tanggal 30 oktober 2013 (vide bukti T-16).; o. Salinan akta pernyataan keputusan rapat PT. Tunas Mandiri Lumbis no.20 tanggal 28 agustus 2013 mengenai peningkatan saham dan perubahan susunan pengurus (vide bukti T-17). ; p. Surat Dirjen AHU tentang penerimaan pemberitahuan perubahan data perseroan tanggal 26 september 2013 (vide bukti T-18). ; - tanggal 14 November 2013, Tata usaha BKPM memproses penyelesaian surat permohoan aplikasi permohonan PT Tunas Mandiri Lumbis (vide bukti T-19). ; - tanggal 2 Desember 2013, Tergugat menerbitkan keputusan objek sengketa (vide bukti P-1 = bukti T-1). ; Menimbang,
bahwa
selanjutnya
berdasarkan
fakta
tersebut
dihubungkan dengan ketentuan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atasa Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan tata cara perizinan dan non perizinan Penanaman Modal (vide bukti T-20) khususnya : 1. Pasal 103 ayat (2) mengatur : permohonan perizinan dan non perizinan penanaman modal yang diajukan setelah berstatus badan hukum indonesia,
142
harus ditandatangani oleh direksi/pimpinan perusahaan. ; 2. Pasal 103 ayat (3) mengatur : penandatanganan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh karyawan perusahaan satu level dibawah jabatan direksi/pimpinan perusahaan dilengkapi dengan : a. Surat dari direksi/pimpinan perusahaan yang menyatakan penjelasan tentang kondisi yang tidak memungkinkan bagi direksi atau pimpinan perusahaan mengetahui serta menyetujui permohonan yang disampaikan; b. Surat perintah tugas dari direksi/pimpinan perusahaan; c. Rekaman identitas
diri
direksi/pimpinan
perusahaan
dengan
menunjukkan aslinya; dan d. Bagi penerima kuasa dibuktikan dengan rekaman identitas diri dan surat pengangkatan terakhir sebagai karyawan dengan menunjukkan aslinya. ; 3. Pasal 103 ayat (5) : permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan ke PTSP BKPM, PDPPM/instansi penyelenggara PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya. ; 4. Pasal 103 ayat (5) b : pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh direksi/pimpinan perusahaan atau dari salah satu dari pihak-pihak dibawah ini berdasarkan surat kuasa dari direksi/pimpinan perusahaan tanpa hak substitusi, yaitu oleh : a. Karyawan Perusahaan ; b. Advokat perseorangan ; c. Advokat yang membentuk persekutuan perdata sebagai konsultan hukum ; d. Notaris;
143
e. Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham perusahaan; atau f. Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dibidang usaha jasa konsultasi. 5. Pasal 103 ayat (6) : pengajuan permohonan yang dilakukan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) a dan ayat (5) b huruf c, huruf d. Huruf e dan huruf f dapat ditugaskan kepada associate/karyawan kantor/perusahaan yang mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk memberikan keterangan yang lengkap dan akurat serta bertanggungjawab atas seluruh informasi yang disampaikan. ; 6. Pasal 103 ayat (6) a : pejabat di PTSP BKPM, PDPPM / instansi penyelenggara PTSP di provinsi, PDKPM/instansi penyelenggara PTSP di kabupaten/kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya, berhak menolak permohonan yang disampaikan oleh associate / karyawan kantor / perusahaan yang tidak mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk memberikan keterangan yang lengkap dan akurat.; Menimbang, bahwa sesuai bukti T-3 oleh Hong Yick Choon sebagai Direktur Utama PT Tunas Mandiri Lumbis telah memberi kuasa dan kewenangan penuh tanpa hak substitusi kepada Agus Gunawan karyawan Kantor Notaris Muslim, SH. MKn, tertanggal 8 november 2013 khusus bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa untuk melakukan pengurusan permohonan izin prinsip perubahan. ; Menimbang, bahwa dengan mengacu pada ketentuan hukum tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa pemberian kuasa kepada Agus Gunawan karyawan kantor Notaris Muslim, SH., MKn., untuk
144
mengajukan permohonan izin prinsip perubahan telah melanggar ketentuan pasal 103 ayat (5) b Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 yang menentukan bahwa pihak yang dapat menerima kuasa dari direksi / pimpinan untuk pengajuan permohonan izin prinsip perubahan adalah antara lain karyawan perusahaan, advokat perseorangan, advokat yang membentuk persekutuan perdata sebagai konsultan hukum, Notaris, Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham perusahaan, atau Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri di bidang jasa konsultasi, sehingga dengan diberikannya kuasa dari Direksi/pimpinan kepada karyawan notaris untuk mengajukan permohonan izin prinsip perubahan maka seharusnya Tergugat berdasarkan ketentuan pasal 103 ayat (5) b Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tidak dapat memproses lebih lanjut permohonan izin prinsip perubahan PT. Tunas Mandiri Lumbis tersebut. ; Menimbang, bahwa sesuai ketentuan pasal 103 ayat (6) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tersebut associate/karyawan kantor / perusahaan baik dari advokat yang membentuk persekutuan perdata sebagai konsultan hukum, Notaris, Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham maupun Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dibidang usaha jasa konsultasi hanya dapat ditugaskan dalam pengajuan permohonan bukan diberi kuasa untuk mengajukan permohonan, tetapi yang bersangkutan harus mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk
memberikan
keterangan
yang
lengkap
dan
bertanggungjawab atas seluruh informasi yang disampaikan. ;
akurat
serta
145
Menimbang, bahwa dalam persidangan tanggal 26 Juni 2014, ahli dari pihak Tergugat yang bernama Santi Achadijati, SH., telah memberikan pendapat bahwa dalam mengajukan permohonan ijin prinsip perubahan maka direksi / pimpinan perusahaan dapat mengajukan permohonan sendiri dan dapat juga memberikan kuasa kepada pihak lain yaitu kepada karyawan dalam perusahaan itu sendiri dan sedapat mungkin yang ada dalam sturktur organisasi perusahaan agar dapat memberikan keterangan tentang kondisi perusahaan secara akurat, pendapat tersebut sejalan dengan ketentuan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 dan pendapat Majelis Hakim tersebut. ; Menimbang, bahwa sesuai dengan bukti T-3 dihubungkan dengan keterangan ahli Santi Achadijati, SH dan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat dalam prosedur penerbitan objek sengketa Tergugat telah melanggar ketentuan pasal 103 ayat (5) b Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013, sehingga terbukti terdapat cacat yuridis dalam penerbitan keputusan objek sengketa dan dengan demikian dalil Penggugat yang lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi. ; Menimbang, bahwa pertimbangan Majelis Hakim diatas adalah sebagai kontrol eksternal terhadap tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang melaksanakan tugas dan kewenangannya berdasarkan hukum publik. ; Menimbang, bahwa oleh karena keputusan objek sengketa terbukti mengandung cacad yuridis dari segi prosedurnya, maka tuntutan Penggugat
146
agar objek sengketa dinyatakan batal dan kepada Tergugat diwajibkan untuk mencabut keputusan objek sengketa beralasan hukum untuk dinyatakan dikabulkan untuk seluruhnya. ; Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat dinyatakan dikabulkan untuk seluruhnya maka berdasarkan ketentuan pasal 110 dan 112 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 maka kepada Tergugat dihukum untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam sengketa ini yang jumlahnya akan ditentukan dalam amar putusan ini. ; Menimbang, bahwa dalam mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa sampai menjatuhkan putusan ini, Majelis Hakim mempedomani ketentuan pasal 100 Jo. Pasal 107 Jo. Pasal 107A dan pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-undang nomor 51 Tahun 2009, dengan demikian setelah mempertimbangkan seluruh buktibukti yang diajukan para pihak, hanya bukti-bukti yang relevan dengan persoalan/masalah hukum khusus yang dijadikan dasar putusan, sedangkan terhadap bukti-bukti yang kurang relevan tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini. ; Mengingat ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
147
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undangundang Nomor 51 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan. ; j. Amar Putusan Hakim Pemeriksa Perkara Pada persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal 17 Juli 2014, Majelis Hakim pemeriksa perkara memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut : MENGADILI : DALAM EKSEPSI : -
Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya. ;
DALAM POKOK SENGKETA : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya. ; 2. Menyatakan batal Keputusan Tergugat berupa Izin Prinsip Perubahan Penanaman
Modal
Asing,
Nomor
:
1732/1/IP-PB/PMA/2013,
Nomor
Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013.; 3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Izin Prinsip Perubahan Penanaman
Modal
Asing,
Nomor
:
1732/1/IP-PB/PMA/2013,
Nomor
Perusahaan : 24017, tanggal 02 Desember 2013. ; 4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam sengketa ini sebesar Rp. 291.000,- (Dua ratus sembilan puluh satu ribu rupiah). 3. Dasar Penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan 24017, tertanggal 02 Desember 2013 1. Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia
148
Badan Koordinasi Penanaman Modal (bahasa Inggris: Investment Coordinating
Board)
adalah Lembaga
Pemerintah
Non
Departemen Indonesia yang bertugas untuk merumuskan kebijakan pemerintah di bidang penanaman modal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Badan ini didirikan sejak tahun 1973, menggantikan fungsi yang dijalankan oleh Panitia Teknis Penanaman Modal yang dibentuk sebelumnya pada tahun 1968. Dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang Penanaman Modal pada tahun 2007, BKPM menjadi sebuah lembaga Pemerintah yang menjadi koordinator kebijakan penanaman modal, baik koordinas antar instansi pemerintah,
pemerintah
dengan Bank
Indonesia,
serta
pemerintah
dengan pemerintah daerah maupun pemerintah daerah dengan pemerintah daerah. BKPM juga diamanatkan sebagai badan advokasi bagi para investor, misalnya menjamin tidak adanya ekonomi biaya tinggi. Sekarang ini BKPM dipimpin oleh Ir. Franky Sibarani yang dilantik pada 27 November 2014 oleh Presiden Joko Widodo.100 2. Susunan Kedudukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2007 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, tanggal 3 September 2007 pada Bab I mengenai Kedudukan, Tugas, dan Fungsi menyebutkan sebagai berikut : Pasal 1
100
2015.
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Koordinasi_Penanaman_Modal diakses tanggal 23 Januari
149
(1)
Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut BKPM, adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2)
BKPM dipimpin oleh seorang Kepala.
3. Tugas dan Kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2007 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, tanggal 3 September 2007 pada Bab I mengenai Kedudukan, Tugas, dan Fungsi menyebutkan sebagai berikut : Pasal 2 BKPM mempunyai tugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 3 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BKPM menyelenggarakan fungsi : a.
pengkajian dan pengusulan perencanaan penanaman modal nasional;
b.
koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang penanaman modal;
c.
pengkajian dan pengusulan kebijakan pelayanan penanaman modal;
d.
penetapan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;
e.
pengembangan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;
f.
pembuatan peta penanaman modal di Indonesia;
150
g.
koordinasi pelaksanaan promosi serta kerjasama penanaman modal;
h.
pengembangan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;
i.
pembinaan pelaksanaan penanaman modal, dan pemberian bantuan penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;
j.
koordinasi dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu;
k.
koordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia;
l.
pemberian pelayanan perizinan dan fasilitas penanaman modal;
m. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum,
ketatausahaan,
organisasi
dan
tatalaksana,
kepegawaian,
pendidikan dan pelatihan, keuangan, hukum, kearsipan, pengolahan data dan informasi, perlengkapan dan rumah tangga; dan n.
pelaksanaan fungsi lain di bidang penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Menerbitkan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing Dalam ketentuan pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota disebutkan : (1) Pemerintah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
menjadi
151
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2). ; (2) Khusus untuk urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. ;
Selanjutnya dalam ketentuan Peraturan Kepala Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata cara Perizinan dan non perizinan Penanaman Modal telah diatur bahwa : a. Pasal 1 angka 6 : Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan Penanaman MOdal yang dikeluarkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ; b. Pasal 1 angka 22 : Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal yang selanjutnya disebut izin Prinsip perubahan adalah izin prinsip yang wajib dimiliki perusahaan dalam rangka legalisasi perubahan rencana atau realisasi penanaman modal yang telah ditetapkan sebelumnya. ; c.
Pasal 1 angka 31 : Badan Koordinasi Penanaman Modal yang selanjutnya disebut BKPM adalah lembaga pemerintah non kementrian yang bertanggungjawab dibidang Penanaman Modal, yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.;
5. Prosedur Penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atasa Peraturan Kepala
152
Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan tata cara perizinan dan non perizinan Penanaman Modal khususnya : 1) Pasal 103 ayat (2) mengatur : permohonan perizinan dan non perizinan penanaman modal yang diajukan setelah berstatus badan hukum indonesia, harus ditandatangani oleh direksi/pimpinan perusahaan. ; 2) Pasal 103 ayat (3) mengatur : penandatanganan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh karyawan perusahaan satu level dibawah jabatan direksi/pimpinan perusahaan dilengkapi dengan : a. Surat dari direksi/pimpinan perusahaan yang menyatakan penjelasan tentang kondisi yang tidak memungkinkan bagi direksi atau pimpinan perusahaan
mengetahui
serta
menyetujui
permohonan
yang
disampaikan; b. Surat perintah tugas dari direksi/pimpinan perusahaan; c. Rekaman
identitas
diri
direksi/pimpinan
perusahaan
dengan
menunjukkan aslinya; dan d. Bagi penerima kuasa dibuktikan dengan rekaman identitas diri dan surat pengangkatan terakhir sebagai karyawan dengan menunjukkan aslinya. ; 3) Pasal 103 ayat (5) : permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan ke PTSP BKPM, PDPPM/instansi penyelenggara PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya. ; 4) Pasal 103 ayat (5) b : pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh direksi/pimpinan perusahaan atau dari salah satu dari pihak-pihak dibawah ini berdasarkan surat kuasa dari direksi/pimpinan perusahaan tanpa hak substitusi, yaitu oleh :
153
a. Karyawan Perusahaan ; b. Advokat perseorangan ; c. Advokat yang membentuk persekutuan perdata sebagai konsultan hukum ; d. Notaris; e. Perwakilan Kamar Dagang dan Industri dari negara calon pemegang saham perusahaan; atau f.
Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri dibidang usaha jasa konsultasi.
5) Pasal 103 ayat (6) : pengajuan permohonan yang dilakukan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) a dan ayat (5) b huruf c, huruf d. Huruf e dan huruf f dapat ditugaskan kepada associate/karyawan kantor/perusahaan yang mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk memberikan keterangan yang lengkap dan akurat serta bertanggungjawab atas seluruh informasi yang disampaikan. ; 6) Pasal 103 ayat (6) a : pejabat di PTSP BKPM, PDPPM / instansi penyelenggara PTSP di provinsi, PDKPM/instansi penyelenggara PTSP di kabupaten/kota, PTSP KPBPB, PTSP KEK sesuai kewenangannya, berhak menolak permohonan yang disampaikan oleh associate / karyawan kantor / perusahaan yang tidak mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk memberikan keterangan yang lengkap dan akurat.; 4. Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan 24017, tertanggal 02 Desember 2013 1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
154
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 2. Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Lain Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa, menyatakan bahwa: 1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi,
Gubernur,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
155
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 3. Kepastian
Hukum dan
Keadilan
dalam Ijin
Prinsip
Perubahan
Penananaman Modal Asing Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan 24017, tertanggal 02 Desember 2013 Tugas dan wewenang BKPM sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2007 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, tanggal 3 September 2007 pada Bab I mengenai Kedudukan, Tugas, dan Fungsi menyebutkan sebagai berikut : Pasal 2 BKPM mempunyai tugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. BKPM dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya memiliki UndangUndang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, BKPM menjadi sebuah lembaga Pemerintah yang menjadi koordinator kebijakan penanaman modal, baik koordinas antar instansi pemerintah, pemerintah dengan Bank Indonesia, serta pemerintah dengan pemerintah daerah maupun pemerintah daerah dengan pemerintah daerah. BKPM juga diamanatkan sebagai badan advokasi bagi para investor, misalnya menjamin tidak adanya ekonomi biaya tinggi. Lembaga Pemerintah Nonkementerian disingkat (LPNK), dahulu bernama Lembaga
Pemerintah
Nondepartemen
(LPND)
adalah lembaga
negaradi Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan
156
tertentu dari presiden. Kepala LPNK berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui menteri atau pejabat setingkat menteri yang mengoordinasikan.101 Wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata. Akan tetapi acapkali letak wewenang yang diakui dan letak kekuasaan yang nyata tidak berada di dalam satu tangan atau satu tempat. Apabila kekuasaan dihubungkan dengan sistem hukum, maka paling sedikit ada 2 hal yang menonjol yaitu pertama-tama bahwa para pembentuk, penegak, maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan-kedudukan yang mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi mereka tidak dapat mempergunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, oleh karena pembatasan tertentu atas peran-perannya, yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari pengguna kekuasaan itu sendiri.102 Menurut S. Mertokusumo, hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sah menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukan hukum.
Sebaliknya,
hukum itu sendiri pada hakekatnya kekuasaan. Hukum mengatur, mengusahakan ketertiban, dan membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum menjalankan fungsi itu jika tidak merupakan kekuasaan. Intinya, hukum merupakan kekuasaan untuk mengusahakan ketertiban.103 Melalui kekuasaan lahirlah hukum dan melalui hukum timbulah kewenangan atau wewenang. Wewenang menurut HD. Stout dalam Juniarso 101
Bab VI Pasal 25 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara. 102 Ibid, hal. 86. 103 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 16
157
Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat didefinisikan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. 104 Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata Negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kewenangan ini, maka konsep itu dapat dikatakan sebagai hal yang paling penting dalam hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara. Selain hal tersebut dalam kewenangan terdapat hak dan kewajiban yang harus dijalankan. Sedangkan menurut P Nicolai dalam Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat dikatakan: Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup rnengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. 105 Seiring dengan pilar utama Negara hukum, yaitu azas legalitas (legaliteitbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan itu diperoleh melalui tiga cara yaitu artribusi, delegasi dan mandat.106 1. Atribusi Dalam
istilah
hukum,
atribusi
diterjemaahkan
sebagai
"pembagian (kekuasaan); dalam kata atributie van rechtsmacht; pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (kompentensi mutlak), 104
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Op cit., hal. 136. Loc cit. 106 Ibid., hal. 139 105
158
sebagai lawan dari distributie van rechtmacht". Salah satu kekuasaan yang diberikan oleh UU kepada pemerintah adalah atribusi. 2. Delegasi Dalam istilah hukum yang dimaksud dengan delegasi adalah" penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. 3. Mandat Wewenang yang didapat melalui atribusi dan delegasi bisa dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan jika pejabat yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup untuk melakukan sendiri. Berdasarkan ketentuan pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota disebutkan : (1) Pemerintah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2). ; (2) Khusus untuk urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. ;
Selanjutnya
dalam
ketentuan
Peraturan
Kepala
Koordinasi
Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata cara Perizinan dan non perizinan Penanaman Modal (vide bukti T-20) telah diatur bahwa : a. Pasal 1 angka 6 : Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk
159
melakukan Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ; b. Pasal 1 angka 22 : Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal yang selanjutnya disebut izin Prinsip perubahan adalah izin prinsip yang wajib dimiliki perusahaan dalam rangka legalisasi perubahan rencana atau realisasi penanaman modal yang telah ditetapkan sebelumnya. ; c.
Pasal 1 angka 31 : Badan Koordinasi Penanaman Modal yang selanjutnya disebut BKPM adalah lembaga pemerintah non kementrian yang bertanggungjawab dibidang Penanaman Modal, yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.; Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut ternyata terdapat kewenangan
BKPM menerbitkan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing Nomor 1723/1/IP-PB/PMA/2013, Nomor Perusahaan 24017, tertanggal 02 Desember 2013. Peraturan BKPM Nomor : 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan legitimate berlaku di Negara Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan terdiri atas : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
160
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka Peraturan BKPM Nomor : 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal dapat dikatakan sebagai salah satu sumber hukum. Menurut Bagir Manan, banyak kalangan yang menganggap hukum, peraturan perundang-undangan dan undang-undang adalah hal yang sama. Padahal hal tersebut tidaklah sama. Undang-undang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari undang-undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum seperti hukum adat, kebiasaan, dan hukum yurisprudensi.107 Perundang-undangan yang dalam bahasa Inggris adalah legislation atau dalam bahasa Belanda wetgeving atau gesetzgebung dalam bahasa Jerman, mempunyai pengertian sebagai berikut : 1. Perundang-undangan sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; dan
107
2-3.
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind. Hill.Co, Jakarta, 1992, hal.
161
2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.108 Sedangkan
Satjipto
Rahardjo,
memberikan
batasan
mengenai
perundang-undangan yang menghasilkan peraturan, dengan cirri-ciri sebagai berikut : 1. 2.
3.
Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.109 Pendapat Satjipto Rahardjo tersebut melahirkan konsekuensi, bahwa
pengertian dan definisi peraturan perundang-undangan dikunci pada aspek ketentuan yang mengatur (regeling) dengan sifat berlaku umum, tidak kongkrit dan ditujukan untuk publik. Hal tersebut berbeda dengan sifat yang melekat dalam suatu keputusan (becshikking) yang bersifat kongret, individual dan berlaku sekali waktu (einmalig). Jika ditarik dalam konteks sistem perundang-undangan Indonesia, maka suatu produk hokum dalam setiap tingkatan kelembagaan Negara dapat dikatakan sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, jika memenuhi unsure peraturan (regeling) sebagaimana yang disebutkan oleh Satjipto Rahardjo tersebut. Setidaknya ada 2 (dua) aspek yang mendasari struktur dan karakterisitik peraturan perundang-undangan dimasing-masing Negara.
108
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Kanisius. Yogyakarta, 2007, hal. 10. 109 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke VII, Bandung, 2012, hal. 83-84.
162
Pertama, ilmu pengetahuan yang berkembang di Negara yang bersangkutan. Kedua, sistem ketatanegaraan yang berlaku di Negara tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat A. Hamid S. Attamimi, yang menegaskan bahwa teori perundang-undangan yang berkembang di Eropa Continental hendak memodernisasikan pranata ketatanegaraan pada umumnya dan pranata perundang-undangan pada khususnya, sehingga perlu juga dilihat, dibandingkan, dan jika perlu ditiru sistemnya di negara lain. Akan tetapi cita dan filsafat yang mendasarinya, nilai-nilai titik tolaknya, pengertian dan pemahaman
dasarnya,
serta
ruang
lingkup
dan
tata
kerja
penyelenggaraannya, singkatnya paradigma-paradigmanya, harus tetap mempertahankan apa yang digariskan oleh Cita Negara Kekeluargaan Rakyat Indonesia, Teori Bernegara Bangsa Indonesia, dan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Hukum Dasar kita, yaitu UUD 1945.110. Kedudukan Peraturan BKPM Nomor : 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan BKPM dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Untuk melihat kedudukan Peraturan BKPM Nomor : 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal dalam sistem perundang-undangan Indonesia, baiknya kita memulai dari teori piramida hukum (stufentheorie) yang diperknalkan oleh Hans Kelsen. Teori tersebut memberikan kategorisasi atau pengelompokan terhadap beragam norma hukum dasar yang berlaku. Teori Hans Kelsen ini 110
Saleh Asri Muhammad, Kompilasi Orasi Guru Besar Hukum Tata Negara, Bina Mandiri Press. Pekanbaru, 2006, hal. 75.
163
kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky melalui teori yang disebut dengan “theorie von stufenufbau der rechtsordnung”. Teori ini memberikan penjelasan susunan norma sebagai 1. 2. 3. 4.
berikut :
Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz); Undang-undang formal (formell gesetz); dan Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).111 Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi
mencoba mengaplikasikannya kedalam struktur hierarki perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, maka tata urutan perundang-undangan di Indonesi adalah sebagai berikut : 1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945). 2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. 3. Formell gesetz : Undang-Undang. 4. Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota112. Secara garis besar, Peraturan BKPM Nomor : 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal dikategorikan sebagai Verordnung en Autonome Satzung. Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom ini merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan Pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan atribusi. Atribusi kewenangan adalah pembentukan 111
Peraturan
Perundang-undangan
(attributie
van
A. Hamid A. Attamimi, 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Hal. 287. 112
Ibid., hal. 359.
164
wetgevingsbevoegdheid) ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terusmenerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batasyang diberikan. Delegasi Kewenangan dalam pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid) ialah
pelimpahan
kewenangan
membentuk
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundangundangan yanglebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sistem hierarki yang terdapat dalam Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendasarkan pada prinsip hierakhie peraturan perundang-undangan, maka Undang-udang ini menetapkan beberapa jenis peraturan perundang-undangan yang berbasiskan hierarkhie struktural yang menjadi prinsip utama dalam sistem norma Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hierarkhie struktural menggambarkan hierarkhie susunan lembaga-lembaga negara/pemerintah yang berwenang dalam penyelenggaraan pemerintahan.Namun pada sisi lain, Undang-udang ini juga mengakui "hierakhie fungsional" artinya berdasarkan kewenangan delegasi, suatu undang-undang dapat menentukan pengaturan lebih lanjut materi tertentu dengan peraturan perundangundangan yang tidak terdapat dalam hirarkhie struktural. Misalnya, delegasi langsung dari undang-undang untuk mengatur lebih lanjut dengan peraturan.113
113
Naskah Akademis, Op cit., hal. 64-65
165
Berdasarkan uraian di atas penulis memiliki pendapat bahwa, Peraturan BKPM Nomor : 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Non Perizinan Penanaman Modal dalam penelitian tersebut tidak memberikan kepastian hukum oleh karena itu perlu diterbitkan peraturan
mengenai
Prosedur
Penerbitan
Ijin
Prinsip
Perubahan
Penananaman Modal Asing yang jelas dan dapat dipahami para investor untuk menjamin kepastian hukum dalam Investasi terutama dalam Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing.
166
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan 1. Prosedur dalam menerbitkan Ijin Prinsip Perubahan Penanaman Modal Asing harus memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Pasal 25 ayat 4, Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atasa Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan tata cara perizinan dan non perizinan Penanaman Modal khususnya : Pasal 103 ayat (2), Pasal 103 ayat (3), Pasal 103 ayat (5) : Pasal 103 ayat (5) b : Pasal 103 ayat (6) , Pasal 103 ayat (6) a. 2. Kepastian hukum izin investasi sesuai dengan prinsip Penanaman Modal Asing dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 43/G/2014/PTUN-JKT, tanggal 17 Juli 2014 tidak terpenuhi karena telah melanggar prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Pasal 25 ayat 4, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman dan tata cara perizinan dan non perizinan Penanaman Modal.
167
B. Saran 1. Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Khusus untuk urusan pemerintahan di bidang penanaman modal berwenang menolak/menyetujui dalam menerbitkan Ijin Prinsip Perubahan Penanaman Modal seharusnya memenuhi Prosedur Penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing yang diterbitkan berdasarkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan peraturan lain yang berlaku untuk menjamin adanya kepastian hukum. 2. Perlu diterbitkan peraturan mengenai Prosedur Penerbitan Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing yang jelas dan dapat dipahami para investor untuk menjamin kepastian hukum dalam Investasi terutama dalam Ijin Prinsip Perubahan Penananaman Modal Asing.
168
DAFTAR PUSTAKA
Literatur A Briggs, The welfare State in historical Perspective, European Journal of Sociology, 1961. Adolf, Huala Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Bandung, Refika Aditama, 2004. ------------------, Perjanjian
Penanaman
Modal
dalam
Hukum
Perdagangan
Internasional (WTO), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Ali, H. Zainuddin Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2014. Anoraga, Pandji, Perusahaan Multi Nasional Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995. Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. FH UII PRESS. Yogyakarta. 2005 ----------------------.
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press.
Jakarta. 2006. -----------------------. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Konstitusi Pers (cetakan ke-3). Jakarta. 2006. ------------------------. Gagasan Negara Hukum Indonesia, http://docudesk.com diakses tanggal 29 November 2013, Attamimi, A. Hamid A. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I– Pelita IV. Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta. 1990. Bar, The economics of the welfare state, Oxford, 1998 Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Gramedia. Jakarta. 2008. Darmawan Tri Wiowo, Mimpi Negara Negara Kesejahteraan, LP3ES, Jakarta, 2006. Fahmi,
Kepastian Hukum, hal 21, mengutip Satjipto Rahardjo dengan judul: ‘Membedah Hukum Progresif’, Harian Kompas, Media Oktober 2006.
169
HS, Salim dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010. Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta, Kencana, Jakarta, 2004 Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan Jenis. Fungsi dan Materi Muatan. Kanisius. Yogyakarta. 2007. Kaligis, O. C. Arbitrase dalam praktik, O. C. Kaligis & Associates, Jakarta Oktober 2004. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta. Kansil, C.S.T.
Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Cetakan
Keempat, Jakarta, Sinar Grafika, 2008. Kairupan, David, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, 2013. Kelsen. Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell. 1961. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Lubis, Solly. Kebijakan Publik. Mandar Maju. Bandung. 2007. Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind. Hill.Co. Jakarta. 1992 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2005. MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi. Rajawali Pers. Jakarta. 2010. ---------------------.
Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.
Rajawali Pers : Jakarta. 2010. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Liberty. Yogyakarta. 1996. Mubyarto, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi, BPFE, Yogyakarta.
170
Muhammad, Saleh Asri.
Kompilasi Orasi Guru Besar Hukum Tata Negara. Bina
Mandiri Press. Pekanbaru. 2006. Pito, Adrianus. Efriza, dan Kemal Fasyah, Mengenal Teori-teori Politik: Dari Sistem Politik sampai Korupsi,Penerbit Nuansa, Bandung, 2006. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Cetakan ke VII. Bandung. 2012. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, EdisiRevisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. Ridwan, Juniarso. dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, 2010. Rokhmatussa’diyah, Ana dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta, Sinar Grafika, 2010. Schwarzmantel, John, The State in Contemporary Society: An Introduction, Harvester Wheatsheaf, London, 1994. S.F, Marbun. dan Moh. Mahfud MD. 2001. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. 2001 Liberty. Jakarta. Soekanto, Soerjono. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1982. Soehino. 2001. Ilmu Negara. Yogyakarta. Liberty. Soemitro, Ronny H. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1983. Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia Baru, 2002. hal 26. Sunny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta : Aksara Baru, 1985. Usman, Rachmadi, Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika 2012 Winarta, Frans Hendra Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal --------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
171
--------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara. --------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara. --------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 --------------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82.
Sumber Lainnya http://blog-aniz.blogspot.com/2013/05/makalah-analisis-investasi-asing-pada.html diakses tanggal 10 Januari 2015 http://gubugpengetahuan.blogspot.com diakses tanggal 1 Agustus 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_Tata_Usaha_Negara
diakses
tanggal
5
Desember 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Koordinasi_Penanaman_Modal diakses tanggal 23 Januari 2015. http://id.wikipedia.org/wiki/Desentralisasi, diakses pada 21 Januari 2015 https://liandcy.wordpress.com/2009/06/22/tinjauan-kritis-terhadap-penanaman-modalasing-sebagai-bentuk-neokolonialisme/ diakses tanggal 21 Januari 2015. http://www.bkpm.go.id/contents/general/117247/alur-penyelesaian-sengketa
diakses
tanggal 11 Januari 2015 http://www.bkpm.go.id/contents/general/117127/tahap-investasi diakses tanggal 11 Januari 2015. http://www.bkpm.go.id/contents/general/117127/tahap-investasi diakses tanggal 11 Januari 2015 http://candraekonom.blogspot.com/2013/06/pengertian-investasi.html 20 Januari 2015.
diakses tanggal
172
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5137/prosedur-penanaman-modal-asingdi-bidang-restoran diakses tanggal 10 Januari 2015. http://hukumpenanamanmodal.com/bidang-usaha-tertutup-daftarnegatif-investasi diakses tanggal 20 Januari 2015.