1
BAB I PENGANTAR
A. Latar belakang Negara Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia. Dewasa ini bangsa Indonesia sedang giat membenahi permasalahan yang sangat penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada segala aspek kehidupan, khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia. Perlindungan anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun 1990an, setelah secara intensif berbagai bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia diangkat ke permukaan oleh berbagai kalangan. Isu ini menjadi regional bahkan global yang memberikan inspirasi kepada masyarakat dunia tentang pentingnya permasalahan ini (Lydia, 2013). Menurut Walker, Hernandez & Davey (2012) fenomena serupa muncul pula di berbagai kawasan Asia lainnya, seperti Thailand, Vietnam dan Philipina, dengan berbagai persoalan mulai dari masalah ekonomi, sosial, serta pelampiasan yang dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan laporan di media Hendra (2014), kasus kekerasan seksual terhadap siswa Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS) mulai terungkap pada akhir Maret 2014, dengan petugas kebersihan sebanyak enam orang yang menjadi tersangka. Setelah kasus JIS terungkap, beberapa kasus kekerasan seksual juga mulai terungkap, diantaranya kasus Emon, Sukabumi pada tanggal 1 Mei 2014, telah melakukan kekerasan seksual terhadap seratus
2
lebih bocah laki-laki. Tanggal 6 Mei 2014 kuli panggul Kramat Jati, Jakarta Timur telah melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak perempuan. Dalam siaran pers yang diterima media Murwani (2014), kasus seorang guru telah melakukan kekerasan seksual terhadap balita di kelompok bermain, Jakarta Utara. Selain itu ada juga seorang petugas Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Duren Sawit menjadi tersangka kekerasan seksual terhadap siswi SD. Hal yang tidak kalah mengejutkan juga terjadi pada 9 Mei 2014 seorang anak penyandang tunarungu Ngunut, Tulungagung melakukan kekerasan seksual pada sembilan anak, 8 laki-laki dan 1 perempuan dengan usia 5-8 tahun. Anak-anak merupakan aset yang akan melanjutkan masa depan dan kelangsungan hidup suatu bangsa. Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus pelecehan seksual terhadap anak dengan pelaku orang dewasa dan kebanyakan adalah orang yang telah dikenal anak. Perlindungan terhadap anak dari bentukbentuk kekerasan yang dapat mengancam kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan anak perlu diperhatikan. Semua itu bertujuan agar anak mempunyai kesempatan untuk tumbuh, berkembang, sehat dan optimal secara fisik, mental, dan sosial. Apabila salah satu aspek terganggu, maka dapat menghambat upaya membentuk generasi penerus yang berkualitas (Lydia, 2013). Anak yang seringkali digambarkan dengan berbagai kisah prestasi, dan kelucuan, justru sering tidak mendapatkan hak anak. Kekerasan sampai penelantaran saat ini masih menjadi bagian dari kehidupan anak-anak Indonesia. Salah satu pelanggaran hak yang banyak dialami anak adalah kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini jenis kekerasan lain yang terjadi pada anak (Goldman, 2010). Menurut Johnson (2004), anak-anak berusia muda atau anakanak cacat yang mengalami kekerasan seksual kemungkinan belum memiliki
3
kemampuan komunikasi yang memadai untuk melaporkan kajadian atau menjelaskan kejadian secara detail. Kekerasan seksual terhadap anak (KSA) dapat terjadi di mana saja, kapan saja tanpa membedakan jenis kelamin (Goldman, 2010). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan khususnya anak-anak, akan memikul dampak yang lebih besar sehingga penanganannya juga lebih sulit (Kenny & Capri, 2008). Hal ini karena berkaitan dengan usia dan perkembangannya, bahwa seorang anak dianggap belum mampu memahami dan melakukan tindakan seksual atas dasar kerelaan dan suka sama suka (Farid, 1997). Studi yang pernah dilakukan Kenny & Capri (2008) membuktikan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya berdampak pada kesehatan fisiknya saja tetapi juga kesehatan mentalnya. Gangguan fisik yang banyak dijumpai adalah memar, rasa sakit pada daerah sensitive, perdarahan/ infeksi vagina atau anus, sampai terjadinya kehamilan. Gangguan mental yang sering terjadi adalah depresi pada korban dari tingkat ringan, sedang, maupun berat yang semuanya dapat menjadi tahap awal untuk gaggguan berikutnya yang lebih parah. Pada tahun 2009, Pusat Data dan Informasi Nasional mencatat kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak sebanyak 1.552 kasus kekerasan terhadap anak yang terdiri dari kekerasan fisik 456 kasus, kekerasan seksual 557 kasus, kekerasan psikis 539 kasus; sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 2.413 kasus yang terdiri dari Kekerasan fisik 646 kasus, kekerasan seksual 926 kasus, kekerasan psikis 841 kasus (Samsudin, 2009). Berdasarkan data penanganan kasus dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) bersama UPPA Polres Tulungagung tahun 2012 - 2013 dari 108 kasus yang ditangani terdapat 83 kasus kekerasan seksual pada anak
4
(KSA), 7 kasus kekerasan fisik, 11 kasus penelantaran, 7 kasus emosional dan eksploitasi. Hal ini juga disampaikan oleh ketua LPA Tulungagung, bahwa kasus KSA di LPA Tulungagung lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kediri dan Blitar yang merupakan satu karisidenan. Satu hal yang memprihatinkan, berdasarkan data dari berbagai daerah dan hasil penelitian, pelaku kekerasan seksual pada anak adalah orang-orang yang telah dikenal baik dan memiliki hubungan dekat dengan anak (Barron & Topping, 2010)b. Hasil penelitian Erogul dan Hasirci (2013) menyebutkan bahwa cara-cara yang dilakukan untuk memperdayai korban adalah dengan bujuk rayu (22,5%), menggunakan uang, permen atau obat bius (5,1%), dan dengan ancaman atau paksaan (2,5%). Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak rentan terhadap bentuk-bentuk kekerasan yag berhubungan dengan syahwat. Anak-anak merupakan kelompok yang sangat rawan terhadap tindakan kekerasan, seperti penganiayaan, pelecehan bahkan yang paling menakutkan adalah tindakan pemerkosaan terhadap anak. Promosi kesehatan sebagai langkah
preventif
terhadap
permasalahan
kekerasan
seksual
ini
perlu
diupayakan dan diperlukan bagi anak. Anak-anak perlu mendapat sosialisasi dan diarahkan untuk membekali diri dengan meningkatkan kewaspadaan, menambah pengetahuan dan pemahamannya agar lebih peka terhadap berbagai tanda yang mengarah pada percobaan atau ajakan yang berkonotasi seksual (Barron & Topping, 2009). Upaya promosi sebagai prevensi kekerasan seksual pada anak sebaiknya diperkenalkan dan diajarkan sejak primer. Salah satu tempat untuk melakukan promosi kesehatan tentang kekerasan seksual ini adalah sekolah. Sebagian waktu dari anak-anak dihabiskan dengan kegiatan belajar atau kegiatan lain yang
5
berlokasi di sekolah tempat dimana mereka lepas dari pengawasan orangtua atau keluarga. Artinya anak harus mampu menjaga dirinya baik di sekolah maupun tempat di luar lingkungan sekolah (Skarbek, Hahn & Parrish, 2009). Sekolah merupakan lingkungan tempat anak berkembang secara sosial. Sekolah menjadi salah satu faktor penting bagi anak untuk mengenal lingkungan sosial di luar keluarganya. Menurut Skarbek, Hahn dan Parrish (2009) melalui peran guru di sekolah, siswa belajar menyadari keberadaan individu lain di luar diri dan keluarganya. Guru merupakan agen pengubah serta menjadi mediator yang tepat untuk menyampaikan informasi kepada para siswanya, baik informasi yang berkaitan dengan kurikulum pendidikan di sekolah maupun non kurikulum misalnya informasi tentang kesehatan, kesehatan seksual, kekerasan seksual dan perlindungan terhadap anak (Paramastri, 2010). Berbicara tentang prevensi primer artinya pencegahan dilakukan sejak primer, maka tatanan SD merupakan pilihan yang tepat untuk melakukan prevensi terkait kekerasan seksual pada anak. Hal ini diperkuat oleh Goldman & Grimbeek (2011) bahwa usia SD banyak primerlai pemerhati anak merupakan waktu yang tepat untuk memberikan pemahaman mengenai kekerasan seksual secara lebih jelas. Sebelumnya guru juga harus memahami tentang kekerasan seksual
yang
terjadi
pada
anak
dan
bagaimana
cara
mencegahnya.
Pengetahuan, sikap dan keterampilan seorang guru sangatlah penting dalam melakukan prevensi kekerasan seksual pada anak. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengetahuan, sikap dan keterampilan guru dalam menyampaikan prevensi primer kekerasan seksual pada anak dengan menggunakan “Program Pelatihan untuk Guru”. Program ini merupakan program yang disusun oleh peneliti untuk melaksanakan pelatihan terhadap guru.
6
Program ini bertujuan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan guru tentang prevensi primer kekerasan seksual pada anak. Para guru diharapkan dapat dengan mudah menerapkan dan menyampaikan pada siswa SD. Penelitian ini
termasuk penelitian payung dengan topik penelitian kekerasan
seksual pada anak (KSA). Penelitian yang dilakukan oleh Anisa Fariani yang merupakan satu bimbingan payung berjudul kader posyandu sebagai agen prevensi primer terhadap kekerasan seksual pada anak (KSA).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah yang diajukan adalah: “Apakah pelatihan perlindungan anak pada guru dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai prevensi primer terhadap kekerasan seksual pada anak SD (KSA) di Tulungagung Jawa Timur tahun 2014?”
C. Tujuan penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah menguji pemberian “Pelatihan perlindungan anak
pada
guru”
untuk
peningkatan
pengetahuan,
sikap
dan
keterampilan guru sebagai prevensi primer kekerasan seksual pada anak SD di Tulungagung Jawa Timur. 2. Tujuan Khusus a. Menguji pengaruh “Pelatihan perlindungan anak pada Guru” terhadap peningkatan pengetahuan guru sebagai prevensi primer kekerasan seksual pada anak SD di Tulungagung Jawa Timur.
7
b. Menguji pengaruh “Pelatihan perlindungan anak pada guru” terhadap peningkatan sikap guru sebagai prevensi primer kekerasan seksual pada anak SD di Tulungagung Jawa Timur. c. Menguji pengaruh “Pelatihan perlindungan anak pada guru” terhadap peningkatan keterampilan guru sebagai prevensi primer kekerasan seksual pada anak SD di Tulungagung Jawa Timur. d. Menganalisis pengaruh “Pelatihan perlindungan anak pada guru” terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan guru sebagai prevensi primer kekerasan seksual pada anak SD di Tulungagung Jawa Timur. Pengetahuan, sikap dan keterampilan menyampaikan informasi pada kelompok eksperimen lebih tinggi dibanding kelompok kontrol.
D. Manfaat penelitian Secara teoritis diharapkan dapat memberi wawasan secara mendalam pada ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis. Secara praktis, penelitian ini dapat membantu para guru SD di Tulungagung untuk mengantisipasi atau mencegah kekerasan seksual anak serta mengajarkan prevensi pada siswa terkait dengan kekerasan seksual anak (KSA).
E. Keaslian penelitian Penelitian yang pernah dilakukan mengenai kekrasan seksual terhadap anak diantaranya: 1. Wahida (2014), denagn judul “Program Jari Peri” untuk meningkatkan keterampilan dan efikasi mengajar prevensi kekerasan seksual pada
8
anak (KSA). Hasil penelitian yaitu program “jari peri” dapat meningkatkan keterampilan mengajar prevensi KSA guru di SLB-C tetapi tidak meningkatkan efikasi mengajar guru SLB-C. 2. Ismayasari (2013), melakukan penelitian dengan topik membangun iklim kelas bersahabat di taman kanak-kanak”. Metode penelitian eksperimen kuasi model untreated control group design with pretest and posttest. Hasilnya menunjukkan pelatihan efektif menciptakan peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru membangun iklim kelas yang bersahabat
pada
kelompok
eksperimen.
Persamaannya
metode
penelitian. Perbedaannya pada lokasi penelitian, subjek, program yang digunakan. 3. Sidharaharja (2008), melakukan penelitian dengan topik sekolah sehat. Metode penelitiannya quasi eksperimen non randomized pretest-postest control group design. Hasilnya terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru SD, selanjutnya guru mengimplementasikan rencana kegiatan sekolah sehat yang telah dibuat. Persamaannya pada subjek yaitu guru SD. Perbedaannya pada program, metode penelitiannya, lokasi penelitiannya. 4. Paramastri (2010), melakukan penelitian dengan topik komunitas anti kekerasan seksual pada anak-anak (KAKSA). Metode penelitiannya quasi eksperiment dengan interrupted time-series design. Hasilnya terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan penilaian program oleh KAKSA. Persamaannya pada topic yaitu kekerasan seksual pada anak (KSA). Perbedaannya pada metode penelitian, subjek, program, lokasi penelitiannya.
9
5. Ogunfowokan & Fajemilehin (2012) melakukan penelitian dengan judul “ impact of a school-based abuse prevention education program on the knowledge and attitude of high school girls”. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan pengetahuan siswa setelah diberi program, tetapi tidak ada perubahan sikap pada para siswa. 6. Dian (2009) melakukan penelitian dengan topic kekerasan seksual pada siswa SD. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan action research. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa SD dapat menerima dan memahami isi pesan kekerasan seksual anak melalui media buku cerita bergambar. 7. Lanning & Massey-Stokes (2006) melakukan penelitian dengan judul “child sexual abuse prevention programs in texas accredited non-public schools”.
Penelitian ini merupakan penelitian survei. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga, pelatihan kepada staf sekolah dan program evaluasi sangat minimal. Penelitian ini menguji program pada guru SD tentang KSA (kekerasan seksual pada anak) yang diamati perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan terhadap program. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian di atas adalah program yang dijalankan, media yang digunakan (modul), varibel yang digunakan.